2.1.6 Gejala Klinis Pneumonia
Gejala dan tanda klinis pneumonia bervariasi tergantung kuman penyebab, usia pasien, status imunologis pasien dan beratnya penyakit. Manisfestasi klinis
bisa berat yaitu sesak, sianosis, dapat juga gejalanya tidak terlihat jelas seperti neonatus. Gejala dan tanda pneumonia dapat dibedakan menjadi gejala umum
infeksi non spesifik, gejala pulmonal, pleural dan ekstrapulmonal. Gejala non spesifik meliputi demam, menggigil, sefalgia dan gelisah. Beberapa pasien
mungkin mengalami gangguan gastrointestinal seperti muntah, kembung, diare atau sakit perut Correa, 1998.
Gejala klinis pneumonia pada balita meliputi demam, dingin, batuk produktif atau kering, malaise, nteri pleural, terkadang dyspnea dan hemoptisis, dan sel
darah putih berubah 10.000mm
3
atau 6.000mm
3
Astuti dan Rahmat, 2010.
Patokan penghitungan frekuensi nafas pada balita dengan pneumonia bervariasi tergantung kelompok umur. Dikategorikan nafas cepat apabila pada
anak usia 2 bulan – 12 bulan frekuensi pernafasan sebanyak ≥ 50 kali per menit.
Pada anak usia 12 bulan – 5 tahun frekuensi pernafasn sebanyak ≥ 40 kali per
menit. Penghitungan frekuensi nafas cepat dilakukan dalam satu menit penuh pada waktu anak dala keadaan tenang. Nafas sesak ditentukan dengan melihat
adanya cekungan dinding dada bagian bawah waktu menarik nafas adanya retraksi epigastrium atau retraksi subkosta, sianosis dideteksi dengan melihat
warna kebiruan di sekitar mulut atau puncak hidung anak UNICEF, 2006; MTBS, 2010.
2.1.7 Faktor Risiko Pneumonia
Faktor risiko merupakan faktor pencetus kejadian pneumonia Purnamasari, 2012. Faktor risiko adalah faktor atau keadaan yang mengakibatkan seorang anak
rentan menjadi sakit atau sakitnya menjadi berat Kartasasmita, 2010.
2.1.7.1 Faktor Lingkungan
2.1.7.1.1 Kualitas udara dalam rumah
Polusi udara yang berasal dari pembakaran di dapur dan di dalam rumah mempunyai peran pada risiko kematian balita di beberapa negara berkembang.
Diperkirakan 1,6 juta kematian berhubungan dengan polusi udara dari dapur. Hasil penelitian Dherani, dkk 2008 menyimpulkan bahwa dengan menurunkan
polusi pembakaran dari dapur akan menurunkan morbiditas dan mortalitas pneumonia. Hasil penelitian juga menunjukkan anak yang tinggal di rumah yang
dapurnya menggunakan listrik atau gas cenderung lebih jarang sakit ISPA dibandingkan dengan anak yang tinggal dalam rumah yang memasak dengan
menggunakan minyak tanah atau kayu. Selain asap bakaran dapur, polusi asap rokok juga berperan sebagai faktor risiko. Anak dari ibu yang merokok
mempunyai kecenderungan lebih sering sakit ISPA daripada anak yang ibunya tidak merokok 16 berbanding 11 Kartasasmita, 2010. Asap rokok dan asap
hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dan untuk pemanasan dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga akan
memudahkan balita terkena infeksi bakteri pneumokokus ataupun Haemophilus influenzae.
2.1.7.1.2 Ventilasi Udara Dalam Rumah
Ventilasi mempunyai fungsi sebagai sarana sirkulasi udara segar masuk ke dalam rumah dan udara kotor keluar rumah dengan tujuan untuk menjaga
kelembaban udara didalam ruangan. Rumah yang tidak dilengkapi sarana ventilasi akan menyebabkan suplai udara segar didalam rumah menjadi sangan minimal.
Kecukupan udara segar didalam rumah sangat di butuhkan oleh penghuni didalam rumah, karena ketidakcukupan suplai udara segar didalam rumah dapat
mempengaruhi fungsi sistem pernafasan bagi penghuni rumah, terutama bagi bayi dan balita. Ketika fungsi pernafasan bayi atau balita terpengaruh, maka kekebalan
tubuh balita akan menurun dan menyebabkan balita mudah terkena infeksi dari bakteri penyebab pneumonia.
Hasil penelitian Hartati 2011 menunjukkan bahwa balita yang tinggal di rumah yang tidak ada ventilasi udara rumah mempunyai peluang mengalami
pneumonia sebanyak 2,5 kali dibandingkan dengan balita yang tinggal dirumah yang memiliki ventilasi udara. Berbeda dengan penelitian Yuwono 2008, pada
penelitian ini anak balita yang tinggal di rumah dengan luas ventilasi rumah tidak memenuhi syarat memiliki risiko terkena pneumonia sebesar 6,3 kali lebih besar
dibandingkan anak balita yang tinggal di rumah dengan luas ventilasi rumah memenuhi syarat.
2.1.7.1.3 Jenis Lantai Rumah
Balita yang tinggal di rumah dengan jenis lantai tidak memenuhi syarat memiliki risiko terkena pneumonia sebesar 3,9 kali lebih besar dibandingkan anak
balita yang tinggal di rumah dengan jenis lantai memenuhi syarat. Hal tersebut
menunjukkan bahwa risiko balita terkena pneumonia akan meningkat jika tinggal di rumah yang lantainya tidak memenuhi syarat. Lantai rumah yang tidak
memenuhi syarat tidak terbuat dari semen atau lantai rumah belum berubin. Rumah yang belum berubin juga lebih lembab dibandingkan rumah yang
lantainya sudah berubin. Risiko terjadinya pneumonia akan lebih tinggi jika balita sering bermain di lantai yang tidak memenuhi syarat Yuwono, 2008.
Jenis lantai tanah tidak kedap air memiliki peran terhadap proses kejadian pneumonia, melalui kelembaban dalam ruangan karena lantai tanah cenderung
menimbulkan kelembaban. Hubungan antara jenis lantai dengan kejadian pneumonia pada balita bersifat tidak langsung, artinya jenis lantai yang kotor dan
kondisi status gizi balita yang kurang baik memungkinkan daya tahan tubuh balita rendah sehingga rentan terhadap kejadian sakit atau infeksi dan dapat dengan
mudah terkena pneumonia kembali, atau pneumonia berulang.
2.1.7.1.4 Kepadatan Hunian Rumah
Kepadatan penghuni rumah merupakan luas lantai dalam rumah dibagi dengan jumlah anggota keluarga penghuni tersebut. Kepadatan hunian dalam
rumah menurut
Keputusan Menteri
Kesehatan RI
Nomor 829MenkesSKVII1999 tentang Persyaratan Kesehatan perumahan, luas ruang
tidur minimal 8 meter, dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah umur 5 tahun. Dengan kriteria
tersebut diharapkan dapat mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas.
Risiko balita terkena pneumonia akan meningkat jika tinggal di rumah dengan tingkat hunian padat. Tingkat kepadatan hunian yang tidak memenuhi
syarat disebabkan karena luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah keluarga yang menempati rumah. Luas rumah yang sempit dengan jumlah
anggota keluarga yang banyak menyebabkan rasio penghuni dengan luas rumah tidak seimbang. Kepadatan hunian ini memungkinkan bakteri maupun virus dapat
menular melalui pernapasan dari penghuni rumah yang satu ke penghuni rumah lainnya. Tempat tinggal yang sempit, penghuni yang banyak, kurang ventilasi,
dapat meningkatkan polusi udara didalam rumah, sehingga dapat mempengaruhi daya tahan tubuh balita. Balita dengan sistem imunitas yang lemah dapat dengan
mudah terkena pnuemonia kembali setelah sebelumnya telah terkena pneumonia atau pneumonia berulang.
Balita yang tinggal di kepadatan hunian tinggi mempunyai peluang mengalami pneumonia sebanyak 2,20 kali dibandingkan dengan balita yang tidak
tinggal di kepadatan hunian tinggi Hartati, 2011. Sedangkan menurut penelitian Yuwono 2008 yang dilakukan di Kabupaten Cilacap, menunjukkan bahwa anak
balita yang tinggal di rumah dengan tingkat hunian padat memiliki risiko terkena pneumonia sebesar 2,7 kali lebih besar dibandingkan anak balita yang tinggal di
rumah dengan tingkat hunian tidak padat.
2.1.7.1.5 Keberadaan Perokok di Dalam Rumah
Asap rokok mengandung kurang lebih 4000 elemen, dan setidaknya 200 diantaranya dinyatakan berbahaya bagi kesehatan, racun utama pada rokok adalah
tar, nikotin dan karbonmonoksida. Tar adalah substansi hidrokarbon yang bersifat
lengket dan menempel pada paru-paru, Nikotin adalah zat adiktif yang mempengaruhi syaraf dan peredaran darah. Zat ini bersifat karsinogen, dan
mampu memicu kanker paru-paru yang mematikan. Karbon monoksida adalah zat yang mengikat hemoglobin dalam darah, membuat darah tidak mampu mengikat
oksigen Sugihartono dan Nurjazuli, 2012. Asap rokok yang mencemari di dalam rumah secara terus-menerus akan dapat
melemahkan daya tahan tubuh terutama bayi dan balita sehingga mudah untuk terserang penyakit infeksi, yaitu pneumonia Sugihartono dan Nurjazuli, 2012.
Berdasarkan penelitian Yuwono 2008, penelitian tersebut menunjukkan bahwa risiko balita terkena pneumonia akan meningkat jika tinggal di rumah yang
penghuninya memiliki kebiasaan merokok. Asap rokok bukan menjadi penyebab langsung kejadian pneumonia pada balita, tetapi menjadi faktor tidak langsung
yang diantaranya dapat menimbulkan penyakit paru-paru yang akan melemahkan daya tahan tubuh balita.
2.1.7.1.6 Kondisi Dinding Rumah
Besarnya risiko menderita pneumonia dapat dilihat dari nilai OR = 2,9 artinya anak balita yang tinggal di rumah dengan kondisi dinding rumah tidak memenuhi
syarat memiliki risiko terkena pneumonia sebesar 2,9 kali lebih besar dibandingkan anak balita yang tinggal di rumah dengan kondisi dinding rumah
memenuhi syarat Yuwono, 2008. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa risiko balita terkena pneumonia
akan meningkat apabila tinggal di rumah yang kondisi dinding rumahnya tidak memenuhi syarat. Kondisi dinding rumah yang tidak memenuhi syarat ini dapat
disebabkan karena status sosio ekonomi yang rendah, sehingga keluarga hanya mampu membuat rumah dari dinding yang terbuat dari anyaman bambu atau
belum seluruhnya terbuat dari bahan yang tidak mudah terbakar. Dinding rumah yang yang terbuat dari anyaman bambu maupun dari kayu umumnya banyak
menghasilkan debu yang dapat menjadi media bagi virus atau bakteri, sehingga mudah terhirup penghuni rumah yang terbawa oleh angin. Ketika bakteri atau
virus terhirup oleh penghuni rumah, terutama balita maka akan menyebabkan balita mudah terkena infeksi saluran pernafasan.
2.1.7.1.7 Penggunaan obat nyamuk bakar
Anak balita yang tidur dikamar yang memakai obat nyamuk bakar berisiko 2,31 kali lebih besar untuk mengalami pnoumenia daripada yang tidak
mengunakan obat nyamuk bakar Widodo, 2007. Asap yang dihasilkan oleh obat nyamuk bakar akan menyebabkan rangsangan pada saluran pernapasan pada
balita, sehingga balita menjadi rentan terinfeksi oleh bakteri atau virus yang menyebabkan terjadinya pneumonia.
Obat nyamuk bakar mengandung insektisida yang disebut d-aletrin 0,25. Apabila dibakar akan mengeluarkan asap yang mengandung d-aletrin sebagai zat
yang dapat mengusir nyamuk, akan tetapi jika ruangan tertutup tanpa ventilasi maka orang di dalamnya akan keracunan d-aletrin. Selain itu, yang dihasilkan dari
pembakaran juga CO dan CO2 serta partikulat-partikulat yang bersifat iritan terhadap saluran pernafasan. Jadi penggunaan obat anti nyamuk bakar mempunyai
efek yang merugikan kesehatan, termasuk dapat bersifat iritan terhadap saluran
pernafasan, yang dapat menimbulkan dampak berlanjut yaitu mudah terjadi infeksi saluran pernafasan.
2.1.7.1.8 Kondisi Jendela Rumah
Jendela merupakan salah satu ventilasi yang berfungsi sebagai tempat pertukaran udara di dalam rumah atau ruangan. Jendela tidak akan berfungsi
semestinya apabila selalu ditutup ataupun bersifat permanen yaitu terbuat dari kaca yang tidak dapat dibuka. Jendela yang permanen akan membuat ruangan
menjadi pengap dan lembab. Ruang tidur yang pengap dan lembab memungkinkan berkembangnya mikroorganisme patogen, salah satunya
mikroorganisme penyebab pneumonia yaitu pneumokokus. Dengan daya tahan tubuh balita yang menurun, balita akan mudah terinfeksi oleh mikroorganisme
yang berada di dalam rumah. Oleh karena itu, jendela hendaknya memenuhi syarat yaitu 10 dari luas lantai. Jendela hendaknya juga bersifat tidak permanen
agar dapat dibuka setiap hari sehingga udara dapat keluar masuk dengan lancar.
2.1.7.1.9 Suhu
Suhu didalam rumah yang terlalu tinggi dapat menyebabkan gangguan kesehatan bagi penghuni rumah, seperti hypotermia. Sedangkan suhu yang terlalu
tinggi dapat menyebabkan dehidrasi sampai dengan heat stroke bagi penghuni rumah. Perubahan suhu udara didalam rumah dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain penggunaan bahan bakar biomassa, ventilasi yang tidak memenuhi syarat, kepadatan hunian, bahan dan struktur bangunan, kondisi geografis, dan
kondisi topografi.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 1077 Tentang Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah Tahun 2011, kadar suhu dalam ruang rumah yang
dipersyaratkan adalah suhu udara antara 18
o
C-30
o
C. Apabila suhu udara dalam ruang rumah di atas 30ºC, maka suhu diturunkan dengan cara meningkatkan
sirkulasi udara dengan menambahkan ventilasi mekanikbuatan. Dan apabila suhu udara dalam ruang rumah kurang dari 18ºC, maka perlu menggunakan pemanas
ruangan dengan menggunakan sumber energi yang aman bagi lingkungan dan kesehatan.
Bakteri Pneumokokus tumbuh di suhu antara 25
o
C - 37,5
o
C. Suhu udara didalam rumah yang sesuai dengan suhu pertumbuhan bakteri, maka akan
meningkatkan pertumbuhan bakteri di dalam rumah. Meningkatnya pertumbuhan bakteri pneumokokus di dalam rumah dan dengan daya tahan tubuh balita yang
menurun, maka rentan terjadi infeksi akibat bakteri pneumokokus.
2.1.7.1.10 Kelembaban
Kelembaban di dalam ruang rumah yang terlalu tinggi maupun terlalu rendah dapat menyebabkan suburnya pertumbuhan mikroorganisme. Bakteri gram positif
Pneumokokus hidup pada kelembaban yang cukup tinggi yaitu sekitar 85 Rh. Dengan suburnya pertumbuhan mikroorganisme ini, maka dapat menyebabkan
penghuni rumah terkena penyakit infeksi akibat mikroorganisme. Konstruksi rumah yang tidak baik seperti atap yang bocor, lantai, dan dinding rumah yang
tidak kedap air, serta kurangnya pencahayaan baik buatan maupun alami dapat menjadi penyebab terlalu tinggi atau terlalu rendahnya kelembaban dalam ruang
rumah.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 1077 Tentang Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah Tahun 2011, kadar Kelembaban dalam ruang rumah yang
dipersyaratkan adalah kelembaban antara 40-60 Rh. Ketika kelembaban dalam rumah kurang dari 40, maka dapat dinaikkan dengan cara membuka
jendela rumah, dan menambah jumjlah dan luas jendela rumah. Dan ketika kelembaban dalam rumah lebih dari 60, maka dapat diturunkan dengan cara
memasang genteng kaca.
2.1.7.1.11 Pencahayaan
Nilai pencahayaan Lux yang terlalu rendah akan berpengaruh terhadap proses akomodasi mata yang terlalu tinggi, sehingga akan berakibat terhadap
kerusakan retina pada mata. Sedangkan nilai pencahayaan Lux yang terlalu tinggi akan mengakibatkan kenaikan suhu pada ruangan. Intensitas cahaya yang
terlalu rendah, baik cahaya yang bersumber dari alamiah maupun buatan dapat mempengaruhi nilai pencahayaan Lux. Cahaya sangat berpengaruh pada proses
pertumbuhan bakteri. Bakteri gram positif dapat hidup dengan baik pada cahaya normal. Tempat tinggal yang meiliki cahaya normal, dapat meningkatkan
pertumbuhan bakteri gram positif tersebut. Dengan daya tahan tubuh yang kurang, maka akan rentan terjadi penyakit infeksi akibat bakteri gram positif.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 1077 Tentang Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah Tahun 2011, kadar nilai pencahayaan Lux dalam ruang
rumah yang dipersyaratkan adalah nilai pencahayaan Lux minimal sebesar 60 Lux. Pencahayaan dalam ruang rumah diusahakan agar sesuai dengan kebutuhan
untuk melihat benda sekitar dan membaca berdasarkan persyaratan minimal 60 Lux.
2.1.7.2 Faktor Individu anak
2.1.7.2.1 Jenis Kelamin
Anak dengan jenis kelamin laki-laki lebih berisiko terserang pneumonia dibandingkan dengan anak dengan jenis kelamin perempuan Astuti dan Rahmat,
2010. Dalam penelitian Hartati dkk 2012, anak dengan jenis kelamin laki laki lebih berisiko terkena pneumonia, hal ini disebabkan karena diameter saluran
pernafasan anak laki-laki lebih kecil dibandingkan dengan anak perempuan atau adanya perbedaan dalam daya tahan tubuh anak laki-laki dan perempuan.
2.1.7.2.2 Berat Badan Lahir
Pada bayi dengan berat badan lahir rendah BBLR, pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna, berisiko terkena penyakit infeksi terutama
pneumonia sehingga risiko kemtian menjadi lebih besar dibanding dengan berat badan lahir normal Hartati dkk, 2012. Berat Bayi Lahir Rendah BBLR
mempunyai risiko untuk meningkatnya ISPA, dan perawatan di rumah sakit penting untuk mencegah BBLR Kartasasmita, 2010.
2.1.7.2.3 Status Gizi
Pemberian Nutrisi yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak dapat mencegah balita terhindar dari penyakit infeksi sehingga pertumbuhan dan
perkembangan anak menjadi optimal Hartati dkk, 2012 Status gizi pada anak berkontribusi lebih dari separuh dari semua kematian
anak di negara berkembang, dan kekurangan gizi pada anak usia 0-4 tahun
memberikan kontribusi lebih dari 1 juta kematian pneumonia setiap tahunnya. Status gizi menempatkan balita pada peningkatan risiko pneumonia melalui dua
cara. Pertama, kekurangan gizi melemahkan sistem kekebalan tubuh balita secara keseluruhan, protein dan energi dengan jumlah yang cukup dibutuhkan untuk
sistem kekebalan tubuh balita. Kedua, balita dengan status gizi kurang dapat melemahkan otot pernapasan, yang dapat menghambat sistem pernafasan pada
balita tersebut UNICEF, 2006.
2.1.7.2.4 Pemberian ASI Eksklusif
Hal ini secara luas diakui bahwa anak-anak yang mendapatkan ASI eksklusif mengalami infeksi lebih sedikit dan memiliki penyakit yang lebih ringan daripada
mereka yang tidak mendapat ASI eksklusif. ASI mengandung nutrisi, antioksidan, hormon dan antibodi yang dibutuhkan oleh anak untuk bertahan dan berkembang,
dan membantu sistem kekebalan tubuh agar berfungsi dengan baik. Kekebalan tubuh atau daya tahan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik akan menyebabkan
abak mudah terkena infeksi. Namun hanya sekitar sepertiga dari bayi di negara berkembang yang diberikan ASI eksklusif selama enam bulan pertama
kehidupannya. Bayi di bawah enam bulan yang tidak diberi ASI ekslusif berisiko 5 kali lebih tinggi mengalami pneumonia, bahkan sampai terjadi kematian. Selain
itu, bayi 6 - 11 bulan yang tidak diberi ASI juga meningkatkan risiko kematian akibat pneumonia dibandingkan dengan mereka yang diberi ASI UNICEF, 2006
2.1.7.2.5 Pemberian Vitamin A
Pemberian vitamin A pada balita bersamaan dengan imunisasi dapat meningkatkan titer antibodi yang spesifik. Pemberian kapsul vitamin A diberikan
setahun dua kali, sejak anak berusia enam bulan. Kapsul merah dosis 100.000 IU diberikan untuk bayi umur 6-11 bulan dan kapsul biru dosis 200.000 IU
untuk anak umur 12-59 bulan Hartati, 2011. Program pemberian vitamin A setiap 6 bulan untuk balita telah dilaksanakan
di Indonesia. Vitamin A bermanfaat untuk meningkatkan imunitas dan melindungi saluran pernapasan dari infeksi kuman. Hasil penelitian Sutrisna di Indramayu
1993 menunjukkan peningkatan risiko kematian pneumonia pada anak yang tidak mendapatkan vitamin A. Namun, penelitian Kartasasmita 1993
menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna insidens dan beratnya pneumonia antara balita yang mendapatkan vitamin A dan yang tidak, hanya waktu untuk
sakit lebih lama pada yang tidak mendapatkan vitamin A Kartasasmita, 2010. Menurut penelitian Susi Hartati 2011 yang dilakukan pada anak balita di
RSUD Pasar Rebo Jakarta, Balita yang tidak mendapatkan vitamin A mempunyai peluang mengalami pneumonia sebanyak 1,58 kali dibanding dengan balita yang
mendapatkan vitamin A.
2.1.8 Diagnosis Pneumonia
X-ray rongga dada dan tes laboratorium dapat digunakan untuk mengkonfirmasi adanya pneumonia, termasuk luas dan lokasi infeksi beserta
penyebabnya. Tapi tidak semua kasus dapat didiagnosis dengan cara ini karena tidak semua pelayanan kesehatan memiliki X-ray dan laboratorium. Kasus
pneumonia dapat didiagnosis dengan cara lain, yaitu dengan melihat gejala klinis mereka. Gejala klinis tersebut meliputi batuk, napas cepat atau sulit bernapas. Ibu
balita memiliki peran penting dalam mengenali gejala pneumonia pada balita dan mencari perawatan medis yang diperlukan oleh balita tersebut UNICEF, 2006.
2.1.9 Penatalaksanaan Pneumonia