Berdasarkan pengertian undang-undang tersebut, maka karakteristik yang dimiliki oleh pemilih pemula dilihatdari karakter yang berbeda dengan pemilih yang sudah
terlibat  pemilu  periode  sebelumya,  yaitu:  1  belum  pernah  memilih  atau melakukan  penentuan  suara  di  dalam  TPS,  2  belum  memiliki  pengalaman
memilih,3 memiliki antusias yang tinggi, 4 kurang rasional, 5 pemilih muda yang  masih  penuh  gejolak  dan  semangat,yang  apabila  tidak  dikendalikan  akan
memiliki  efek  terhadap  konflik-konflik  sosial  di  dalam  pemilu,  6  menjadi sasaran  peserta  pemilu  karena  jumlahnya  yang  cukup  besar,  7memiliki  rasa
ingin  tahu,  mencoba,  danberpartisispasi  dalam  pemilu,  meskipun  kadang  dengan bebagai latar belakang yang berbeda.
Empat  alasan  mendasar  yang  menyebabkan  pemilih  pemula  mempunyai
kedudukan  dan  makna  strategis  dalam  Pemilihan  Umum  adalah,  1  alasan kuantitatif  yaitu  bahwa  pemilih  pemula  ini  merupakan  kelompok  pemilih  yang
mempunyai jumlah secara kuantitatif relatif banyak dari setiap pemilihan umum, 2 pemilih pemula adalah merupakan satu segmen pemilih yang mempunyai pola
perilaku  sendiri  dan  sulit  untuk  diatur  atau  diprediksi,  3  kekhawatiran  bahwa pemilih  pemula  akan  lebih  condong  menjadi  golput  dikarenakan  kebingungan
karena  banyaknya  pilihan  partai  politik  yang  muncul  yang  akhirnya  menjadikan mereka  tidak  memilih  sama  sekali,  dan  4  masing-masing  organisasi  sosial
politik mengklaim sebagai organisasi yang sangat cocok menjadi penyalur aspirasi bagi pemilih pemula yang akhirnya muncul strategi dari setiap partai politik untuk
mempengaruhi pemilih pemula.
Pemilih  pemula  banyak  memiliki  peran  di  dalam  pemilu  baik  pilkada  maupun pemilu  legislatif  dan  presiden.  Sebagian  besar  pemilih  pemula  memiliki  peran
yang  sangat  besar  secara  kualitas  dan  kuantitas.  Rata-rata  memiliki  usia  yang cukup  muda  dan  memiliki  dinamika  yang  cukup  tinggi.  Partisipasi  pemilih
pemula  sebagian  besar  adalah  berupa  pemilih  aktif  dan  bukan  pemilih  pasif Dumadia, 2009. Oleh karena itu, pemilih pemula terutama kalangan pelajar dan
remaja, perlu diberikan pendidikan politik menjelang Pemilu.
Karena belum memiliki pengalaman memilih dalam pemilu, pemilih pemula perlu mengetahui  dan  memahami  berbagai  hal  yang  terkait  dengan  pemilu.  Misalnya
untuk apa pemilu diselenggarakan, apa saja tahapan pemilu, siapa saja yang boleh ikut  serta  dalam  pemilu,  bagaimana  tata  cara  menggunakan  hak  pilih  dalam
pemilu  dan  sebagainya.  Pertanyaan  itu  penting  diajukan  agar  pemilih  pemula menjadi pemilih cerdas dalam menentukan pilihan politiknya di setiap pemilu.
Dalam  penghitungan  suara  pemilu,  satu  suara  saja  sangat  berarti  karena  bisa mempengaruhi  kemenangan  politik.  Apalagi  suara  yang  berjumlah  jutaan
sebagaimana halnya yang dimiliki kalangan pemilih pemula. Itu sebabnya, dalam setiap  pemilu,  pemilih  p
emula  menjadi  “rebutan”  berbagai  kekuatan  politik. Menjelang  pemilu,  partai  politik  atau  peserta  pemilu  lainnya,  biasanya  membuat
iklan  atau  propaganda  politik  yang  menarik  para  pemilih  pemula.  Mereka  juga membentuk komunitas kalangan muda dengan aneka kegiatan yang menarik anak-
anak  muda,  khususnya  pemilih  pemula.  Tujuannya  agar  para  pemilih  pemula tertarik  dengan  partai  atau  kandidat  tersebut  dan  memberikan  suaranya  dalam
pemilu  untuk  mereka  sehingga  mereka  dapat  mendulang  suara  yang  signifikan dan meraih kemenangan.
Selain  memiliki  banyak  kelebihan,  pemilih  pemula  juga  memiliki  kekurangan, yakni  belum  memiliki  pengalaman  memilih  dalam  pemilu.  Pemilu  mendatang
merupakan  pengalaman  pertama  bagi  pemilih  pemula  untuk  menggunakan  hak pilihnya.  Karena  belum  memiliki  pengalaman  memilih  dalam  pemilu,  pada
umumnya  banyak  dari  kalangan  mereka  yang  belum  mengetahui  berbagai  hal yang  terkait  dengan  pemilihan  umum.  Mereka  juga  tidak  tahu  bahwa  suaranya
sangat  berarti  bagi  proses  politik  di  negaranya.  Bahkan  tidak  jarang  mereka enggan  berpartisipasi  dalam  pemilu  dan  memilih  ikut-ikutan  tidak  mau
menggunakan hak pilihnya alias golongan putih golput. Oleh  karena  itu,  penting  bagi  pemilih  pemula  mendapatkan  pendidikan  politik
yang  secara  spesifik  ditujukan  bagi  pemilih  pemula.  Dalam  pendidikan  emilih pemula  akan  disampaikan  arti  penting  suara  pemilih  pemula  dalam  pemilu,
berbagai  hal  yang  terkait  dengan  pemilu,  seperti  fungsi  pemilu,  sistem  pemilu, tahapan  pemilu,  peserta  pemilu,  lembaga  penyelenggara  pemilu  dan  sebagainya.
Tujuannya  agar  pemilih  pemula  memahami  apa  itu  pemilu,  mengapa  perlu  ikut pemilu  dan  bagaimana  tatacara  menggunakan  hak  pilih  dalam  pemilu.  Setelah
pemilih pemula memahami berbagai persoalan pemilu diharapkan pemilih pemula menjadi pemilih yang cerdas yakni pemilih yang sadar menggunakan hak pilihnya
dan dapat memilih pemimpin yang berkualitas demi perbaikan masa depan bangsa dan negara.
2.8 Terpaan Media Media Exposure
Terpaan media tidak hanya menyangkut apakah seorang secara fisik cukup dekat
dengan  kehadiran  media  massa,  tetapi  apakah  seseorang  itu  benar-benar  terbuka terhadap  pesan-pesan  media  tersbeut.  Terpaan  media  merupakan  kegiatan
mendengarkan,  melihat  dan  membaca  pesan  media  massa  ataupun  mempunyai pengalaman dan perhatian terhadap pesan tersebut, yang dapat terjadi pada tingkat
individu ataupun kelompok.
Terpaan  media  menurut  Shore  1985:26  tidak  hanya  menyangkut  apakah seseorang secara fisik cukup dekat dengan kehadrian media massa, tetapi apakah
seseorang  itu  benar-benar  terbuka  terhadap  pesan  pesan  media  tersebut.  Terpaan media  merupakan  kegoatan  mendengarkan,  melihat  dan  membaca  pesan  media
massa  ataupun  mempunyai  pengalaman  dan  perhatian  terhadap  pesan  tersebut, yang dapat terjadi pada tingkat individu ataupun kelompok.
Menurut  pendapat  Rosengren  1974  yang  dikutip  oleh  Jalaludin  Rakhmat 2004:66,  penggunaan  media  terdiri  dari  jumlah  waktu  yang  digunakan  dalam
berbagai  media,  jenis  media  yang  di  konsumsi,  dan  berbagai  hubungan  antara indivdu konsumen dengan isi media yang di konsumsi atau dengan media secara
keseluruhan.  Dari  pendapat  tersebut  peneliti  menyimpulkan  bahwa  terpaan informasi  dapat  dioperasionalkan  melalui  frekuensi  membaca  berita  pemilu  di
surat kabar. Terpaan  media  juga  bisa  didefinisikan  sebagai  penggunaan  media  baik  jenis
media,  frekuensi  penggunaan  maupun  durasi  penggunaan.  Penggunaan  jenis
media meliputi media audio, audiovisual, media cetak dan lain sebagainya. Lebih lanjut  Ardianto  dan  Erdinaya  menjelaskan  bahwa  frekuensi  penggunaan  media
mengumpulkan data khalayak tentang berapa kali sehari seseorang menggunakan media dalam satu  minggu untuk meneliti program  harian, berapa  kali seminggu
seseorang  menggunakan  dalam  satu  bulan  untuk  program  mingguan  dan  tengah bulanan  serta  berapa  kali  sebulan  seseorang  menggunakan  media  dalam  satu
tahun untuk program bulanan, sedangkan untuk durasi penggunaan media dapat dilihat  dari  berapa  lama  khalayak  bergabung  dengan  suatau  media  atau  berapa
lama  khalayak  mengikuti  suatu  program.  Selain  kedua  hal  diatas,  menurut Rakhmat 2007:55 hubungan antara khalayak dengan isi media itu juga berkaitan
dengan perhatian attention
Menurut  Andersen,  Rakhmat,2007:66  mendefinisikan  atensi  sebagai  proses mental  ketika  stimuli  atau  rangkaian  stimuli  menjadi  menonjol  dalam  kesadaran
pada stimuli yang lainnya melemah. Dari teori mengenai terpaan media ini, maka peneliti mengukur terpaan media berdasarkan frekuensi, durasi dan atensi.
Berdasakan beberapa pengertian diatas terpaan media adalah banyaknya informasi yang diperoleh dari media melalui kegiatan mendengarkan, melihat dan membaca
pesan media massa ataupun mempunyai pengalaman dan perhatian terhadap pesan tersebut  yang  berhubungan  dengan  frekuensi,  atensi  dan  durasi  dalam
memperoleh  informasi.  Dalam  penelitian  ini  frekuensi  dapat  dilihat  dari  berapa kali dalam seminggu seseorang membaca surat kabar tersebut, durasi penggunaan
media dapat dilihat dari berapa lama seseorang membaca berita pada surat kabar
tersebut  dan  lama  mengikuti  berita  tersebut.  Sedangkan  atensi  dilihat  dari perhatian yang diberikan ketika membaca berita mengenai pemilu tersebut.
2.9 Teori S-O-R
Dalam  penelitian  ini  model  yang  digunakan  adalah  model  S-O-R  Stimulus,
Organism,  Respon.  Teori  SOR  sebagai  singkatan  dari  Stimulus-Organism- Response.  Objek  materialnya  adalah  manusia  yang  jiwanya  meliputi  komponen-
komponen : sikap, opini, perilaku, kognisi, afeksi dan konasi. Menurut model ini, organism  menghasilkan  perilaku  tertentu  jika  ada  kondisi  stimulus  tertentu  pula,
efek  yang  ditimbulkan  adalah  reaksi  khusus  terhadap  stimulus  khusus,  sehingga seseorang  dapat  mengharapkan  dan  memperkirakan  kesesuaian  antara  pesan  dan
reaksi komunikan.
Menurut  Prof.  Onong  Uchajana  Effendy  Teori  S-O-R  adalah  singkatan  dari Stimulus-Organisme-Respon  ini  semula  berasal  dari  psikologi.  Kalau  kemudian
menjadi  teori  komunikasi  tidaklah  mengherankan,  karena  objek  material  dari psikologi dan ilmu komunikasi adalah sama, yaitu manusia yang jiwanya meliputi
komponen-komponen : sikap, opini, perilaku, kognisi, afektif, dan konasi. Onong Uchajana Effendy,2003:225.
Asumsi  dasar  dari  model  ini  adalah  :  media  massa  menimbulkan  efek  yang terarah, segera dan langsung terhadap komunikan. Stimulus Response Theory atau
S-R  theory.  Model  ini  menunjukkan  bahwa  komunikasi  merupakan  proses  aksi- reaksi. Artinya model ini mengasumsi bahwa kata-kata verbal, isyarat non verbal,
simbol-simbol  tertentu  akan  merangsang  orang  lain  memberikan  respon  dengan cara tertentu. Pola S-O-R ini dapat berlangsung secara positif atau negatif.
Menurut  Prof.  Dr.  H.M    Burhan  Bungin,  S.Sos,  M.Si.  2007:227.  Sosiologi komunikasi,  Prinsip  stimulus
–  respon  ini  merupakan  dasar  teori  dari  jarum hipodermik,  teori  klasik  mengenai  proses  terjadinya  efek  media  massa  yang
sangat  berpengaruh.  Dalam  masyarakat  media  massa,  di  mana  prinsip  stimulus- respon  mengasumsikan  bahwa  pesan  informasi  dipersiapkan  oleh  media  dan
didistribusikan  secara  sistematis  dan  dalam  skala  yang  kuas,  sehingga  secara serempak  pesan  tersebut  dapat  diterima  oleh  sejumlah  besar  individu,  bukan
ditujukan pada orang per orang.
2.10 Teori Pemrosesan Informasi Teori  pendukung  penelitian  ini  adalah  teori  pemrosesan-informasi  yang
merupakan  salah  satu  teori  dari  sekian  banyak  teori  yang  berkaitan  dengan persuasi  untuk  merubah  sikap.  Untuk  melakukan  persuasi  diperlukan  intuisi  dan
akal  sehat  manusia.  Teori  ini  dikembangkan  oleh  McGuire.  McGuire menyebutkan  bahwa  perubahan  sikap  terdiri  dari  enam  tahap,  yang  masing-
masing  tahap  merupakan  kejadian  penting  yang  menjadi  patokan  untuk  tahap selanjutnya.  Severin  dan  Tankard,  2008.  Tahap-tahap  tersebut  adalah  sebagai
berikut: 1. Pesan persuasif harus dikomunikasikan.
2. Penerima akan memperhatikan pesan. 3. Penerima akan memahami pesan
4. Penerima terpengaruh dan yakin dengan argumen-argumen yang disajikan. 5. Tercapai posisi adopsi baru.
6. Terjadi perilaku yang diinginkan. Teori pemrosesan informasi McGuire memberikan sebuah pandangan yang bagus
tentang  proses  perubahan  sikap,  mengingatkan  bahwa  ia  melibatkan  sejumlah komponen. Sikap pada dasarnya adalah cara pandang kita terhadap sesuatu. Sikap
memiliki  tiga  komponen,  yakni  komponen  afektif,  komponen  kognitif  dan komponen perilaku. Komponen afektif berisi perasaan-perasaan tertentu terhadap
objek  sikap.  Komponen  kognitif  berisi  keyakinan  terhadap  objek  sikap. Sedangkan  komponen  perilaku  berisi  perilaku  yang  disengaja  terhadap  objek
sikap. Pengetahuan  yang  diproses  dan  dimaknai  dalam  memori  kerja  disimpan  dalam
memori jangka panjang dalam bentuk skema-skema teratur secara hirarkis. Tahap pemahaman  dalam  pemrosesan  informasi  dalam  memori  kerja  berfokus  pada
bagaimana  pengetahuan  baru  dimodifikasi.  Pemahaman  berkenaan  dan dipengaruhi  oleh  interpretasi  terhadap  stimulus.  Setiap  penerima  informasi
memiliki  kapasitas  pemrosesan  informasi  yang  terbatas,  maka  alokasi  sumber kognitif yang tepat penting bagi penyampaian informasi yang efisien, khususnya
bagi penerima yang relative baru alam suatu bidang. Alasan peneliti menggunakan teori  pemrosesan  informasi  ini  sebagai  teori  pendukung  adalah  karena  proses
perubahan  yang  bertahap  memiliki  tahapan  yang  sama  dengan  teori  utama penelitian ini yaitu teori S-O-R.