Problem Evaluasi Pembelajaran Kerangka Teori

27

b. Problem Evaluasi Pembelajaran

Evaluasi pembelajaran ialah penilaian terhadap kegiatan belajar mengajar. Dalam praktik sehari-hari evaluasi pendidikan selalu dihubung-hubungkan dengan ujian. Sekalipun ada kaitannya, akan tetapi tidak mencakup keseluruhan maknanya. Ujian pada umumnya atau ujian akhir sekalipun, belum dapat menggambarkan esensi evaluasi pendidikan, terutama dalam konteks pendidikan Islam. Sebab evaluasi pendidikan pada dasarnya bukan hanya menilai hasil belajar, tetapi juga proses-proses yang dilalui pendidik dan peserta didik dalam keseluruhan proses pembelajaran. 49 Dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Penilaian Pendidikan Bab X Pasal 64 ayat 3 disebutkan bahwa penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dilakukan melalui : 50 a. pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan kepribadian peserta didik; serta b. ujian, ulangan, danatau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik. Selama ini memang sangat dirasakan sekali bahwa sistem evaluasi PAI, bentuk soal-soal ujian agama Islam menunjukkan prioritas utama pada kognitif dan jarang pertanyaan tersebut mempunyai bobot muatan “nilai” dan “makna” spiritual keagamaan yang fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun dalam pembelajarannya, terdapat juga materi pelajaran berupa praktik, namun tetap saja ketika dilaksanakan ujian, yang diukur ranah kognitif dan yang dimasukkan ke dalam rapor juga nilai dari ranah kognitif. Akibatnya, sering dijumpai peserta didik yang kurang atau bahkan tidak pandai membaca Alquran dengan baik tapi di rapor mendapat nilai yang tinggi bahkan terkadang lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan peserta didik yang pandai membaca Alquran, sering dijumpai peserta didik yang malas dan merasa terpaksa mengikuti pelajaran agama tetapi ketika dievaluasi mendapatkan nilai yang lebih tinggi daripada peserta didik yang rajin dan aktif mengikuti pelajaran agama. Tentu 49 Siddik, Ilmu Pendidikan, h. 148. 50 Peraturan Pemerinntah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Jakarta: Sinar Grafika, 2009, h. 37 28 evaluasi seperti ini merugikan bagi peserta didik. Jika cara mengevaluasi terus menerus dilakukan seperti ini tentunya peserta didik penuh kognisinya dengan pengetahuan namun tidak memiliki akhlak mulia. Peserta didik takut bila nilai agama mereka tidak tuntas dan dimarahi guru, namun tidak merasa berdosa dan takut pada Allah ketika tidak melaksanakan perintah agama. Tidaklah heran bila masih dijumpai peserta didik yang pintar, yang penuh kognisinya dengan ilmu tapi tidak memiliki iman dan akhlak yang mulia. Artinya selama ini, nilai untuk ranah afektif dan psikomotorik belum dijadikan syarat ketuntasan dalam mata pelajaran PAI di sekolah, padahal ketiga ranah tadi penting untuk dibelajarkan dan dievaluasi. Dalam kurikulum 2013, evaluasinya telah mencakup tiga ranah tersebut urutannya dalam kompetensi inti adalah KI 1 untuk ranah afektif atau yang disebut dengan sikap spritual yaitu sikap yang mengatur antara peserta didik dengan Tuhannya, KI 2 untuk ranah afektif atau disebut dengan sikap sosial yaitu sikap yang mengatur antara peserta didik dengan manusia dan alam sekitar, KI 3 untuk ranah kognitif atau pengetahuan dan KI 4 yaitu ranah psikomotorik atau keterampilan. 51 Dari urutan ketiga ranah di atas maka dapat dikatakan bahwa kurikulum 2013 ini sangat mengutamakan ranah afektif sikap, karena posisinya yang menempati urutan pertama, baru kemudian ranah kognitif pengetahuan dan psikomotorik keterampilan, berbeda dengan pendapat oleh Bloom dengan urutan kognitif, afektif dan psikomotorik yang selama ini dijadikan rujukan dalam kurikulum sebelumnya KBK dan KTSP. Untuk melaksanakan evaluasi ranah kognitif KI 3, dilakukan ujian tulis, tes lisan berupa pertanyaan dan penugasan. Evaluasi ranah psikomotorik KI 4 biasanya melakukan ujian praktik. 52 Untuk menilai ranah afektif KI 2 sikap sosial dapat dinilai selama kegiatan belajar berlangsung, bagaimana peserta didik bersikap kepada teman-temannya di kelas, bersikap kepada guru ketika berdiskusi, dsb. Namun, untuk mengevaluasi KI 1 sikap spritual dirasa sangat sulit karena keterbatasan waktu guru untuk mengawasi kegiatan keagamaan yang dilakukan 51 Silabus PAI, Kelas X, Kurikulum 2013 52 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, No. 66 Tahun 2013 Tentang Standar Penilaian, h. 4-5. 29 peserta didik misalnya salat lima waktu, membaca Alquran, bersedekah, berkata yang baik, husnuẓan pada Allah, dsb. Guru PAI hanya memiliki waktu 3 jam pelajaran untuk setiap minggunya dan harus memahami dan mengidentifikasi paling sedikit 30 orang siswa dalam setiap kelas. Tentunya sekali lagi diperlukan kerjasama antara guru PAI dan orangtua peserta didik agar sikap spritual peserta didik tetap diamati dan dievaluasi. Menurut peneliti perlu di buat lembar penilaian diri kegiatan keagamaan para peserta didik untuk sikap spritualnya KI 1. 53 Selain itu pula seharusnya Pendidikan Agama Islam sebaiknya masuk pada ujian nasional, sehingga menjadi bahan untuk dipertimbangkan peserta didik lulus atau tidak lulus di suatu lembaga pendidikan. Ujiannya jangan sekedar mengukur kemampuan kognitif melainkan juga kemampuan yang bersifat psikomotor praktik serta sikap peserta didik sebagai orang yang menganut ajaran agama Islam.

G. Metode Penelitian