IMPLEMENTASI KEBIJAKAN RINTISAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (Studi Komparasi di Propinsi DKI Jakarta)

(1)

(2)

ABSTRACT

POLICY IMPLEMENTATION OF PIONEERING OF INTERNATIONAL

SCHOOL

(Comparison Study in DKI Jakarta)

By

LAYLA RAHMADANTY

Pioneering of international school (RSBI) policy is a beginning for school in order

to be considered as school with a degree of international school. This policy has

been regulated by the government in Permendiknas Number 78 Year of 2009

which there was a regulation regarding the implementation of school to be

afterward be an international school. This research was conducted to find out how

the implementation of RSBI and what are the constraints that are in the process of

implementation.

This research is focused on implementation of RSBI at the level of senior high

school. This research is also a comparison study in DKI Jakarta by taken two

samples of high school, 68 Senior High School dan 81 Senior High School. This

research have type a descriptive qualitative with a case studies based on the real

phenomenon.

Based on the research that has been done, the implementation of RSBI basically is

well done although there was some constraints that influence this policy

implementation process. The implementation of RSBI at 81 Senior High School

more going well than 68 Senior High School. There are two constraints that

influence this policy implementation process, those are low budgetary and low

public support.


(3)

ABSTRAK

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN RINTISAN SEKOLAH BERTARAF

INTERNASIONAL

(Studi Komparasi di Propinsi DKI Jakarta)

Oleh

LAYLA RAHMADANTY

Kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) merupakan suatu

permulaan bagi sekolah agar dapat dikatakan sebagai sekolah dengan gelar SBI.

Kebijakan tersebut telah diatur oleh pemerintah dalam Permendiknas Nomor 78

Tahun 2009 yang didalamnya terdapat aturan mengenai pelaksanaan sekolah

untuk kemudian dapat menjadi SBI. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui

bagaimana implementasi kebijakan RSBI dan apa saja kendala-kendala yang

terdapat dalam proses implementasinya selama ini.

Kebijakan RSBI yang diteliti adalah implementasi kebijakan RSBI pada jenjang

SMA. Penelitian ini merupakan sebuah studi komparasi yang dilakukan di

Propinsi DKI Jakarta dengan mengambil dua sampel sekolah. Kedua sekolah

tersebut adalah SMAN 68 dan SMAN 81 Jakarta. Penelitian ini dilakukan

menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian deskriptif. Jenis

penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis studi kasus. Desain

penelitian yang digunakan adalah desain multikasus.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa

implementasi kebijakan RSBI lebih berjalan dengan baik di SMAN 81 Jakarta

dibandingkan dengan SMAN 68 Jakarta. Terdapat pula dua hal yang menjadi

kendala pada implementasi kebijakan RSBI ini, yaitu dana yang kurang memadai

dan minimnya dukungan publik terhadap kebijakan ini.


(4)

(5)

(6)

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ABSTRACT RIWAYAT HIDUP MOTTO

PERSEMBAHAN SANWACANA

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

A. Tinjauan Tentang Kebijakan Publik ... 13

1.Definisi Kebijakan Publik ... 13

2.Ciri-Ciri Kebijakan Publik ... 15

3.Tahap-Tahap Kebijakan Publik ... 16

B. Tinjauan Tentang Implementasi Kebijakan Publik ... 19

1.Definisi Implementasi Kebijakan Publik ... 19

2.Model Implementasi Kebijakan Publik ... 22

C. Tinjauan Tentang Kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional .. 29


(8)

C. Unit Analisis dan Lokasi Penelitian ... 41

D. Sumber Data ... 43

E. Teknik Pengumpulan Data ... 44

F. Analisis Data ... 46

G. Teknik Keabsahan Data ... 47

IV.GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN, HASIL DAN PEMBAHASAN ... 48

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 48

1.Gambaran Umum Dinas Pendidikan Propinsi DKI Jakarta ... 48

2.Gambaran Umum SMA Negeri 68 Jakarta dan SMA Negeri 81 Jakarta ... 50

a.Gambaran Umum SMA Negeri 68 Jakarta ... 50

1)Sejarah SMA Negeri 68 Jakarta ... 50

2)Visi dan Misi Pendidikan SMA Negeri 68 Jakarta ... 51

3)Struktur Organisasi SMA Negeri 68 Jakarta... 52

b.Gambaran Umum SMA Negeri 81 Jakarta ... 53

1)Sejarah SMA Negeri 81 Jakarta ... 53

2)Visi dan Misi SMA Negeri 81 Jakarta ... 54

3)Struktur Organisasi SMA Negeri 81 Jakarta... 55

B. Penyajian Data ... 56

1.Implementasi Kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional ... 57

a.Karakteristik Masalah ... 59

b.Daya Dukung Peraturan ... 63

c.Variabel Lingkungan ... 79

2.Kendala-kendala dalam Implementasi Kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional ... 76

a.Kendala Internal ... 77

b.Kendala Eksternal ... 78

3.Model Empiris Implementasi Kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional ... 78

C. Pembahasan ... 83

1.Implementasi Kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional ... 83

a.Karakteristik Masalah ... 83

b.Daya Dukung Peraturan ... 88

c.Variabel Lingkungan ... 97

2.Kendala-kendala dalam Implementasi Kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional ... 107

a.Kendala Internal ... 108

b.Kendala Eksternal ... 109

3.Komparasi Kebijakan di Kedua Sekolah ... 109

4.Model Rekomendasi Implementasi Kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional ... 117

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 120

A. Kesimpulan ... 120


(9)

Peraturan-peraturan Implementasi Kebijakan RSBI Panduan Wawancara

Surat Riset Tabel Triangulasi Foto-foto Penelitian


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Perkembangan Peringkat Human Development Indeks Indonesia ... 3

2. Daftar SMA RSBI di Jakarta ... 8

3. Dokumentasi Penelitian ... 46

4. Data Jumlah Sekolah, Siswa, dan Guru Tahun Ajaran 2011/2012 ... 56

5. Data SMA RSBI tahap awal di Propinsi DKI Jakarta ... 57

6. Bantuan Dana SMA RSBI ... 66

7. Hasil Penelitian menggunakan Model Mazmanian dan Sabatier ... 111


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Proses Kebijakan Publik I ... 17

2. Model Implementasi Top-Down Mazmanian dan Sabatier ... 27

3. Mekanisme Penetapan SMA RSBI ... 34

4. Kerangka Pikir ... 37

5. Komponen dalam analisis data (interactive model) ... 46

6. Struktur Organisasi Dinas Pendidikan ... 49

7. Model Empiris Implementasi Kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional ... 82

8. Model Rekomendasi Implementasi Kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional ... 119


(12)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada era globalisasi seperti sekarang ini, Human Development Index (HDI) atau yang lebih dikenal dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan sebuah tolak ukur yang digunakan untuk menilai klasifikasi setiap negara. HDI adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan, dan standar hidup untuk semua negara di seluruh dunia. HDI mengukur peringkat suatu negara dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan ekonomi.

HDI digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang, atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup. Human Development Report (HDR) yang diterbitkan setiap tahun oleh United Nations Development Programme (UNDP) merupakan laporan yang memotret dan memberikan peringkat perkembangan pembangunan negara-negara di dunia. Indonesia termasuk satu dari 187 negara-negara yang dilaporkan dalam HDR tersebut.


(13)

Peringkat perkembangan pembangunan manusia dalam HDR dikategorikan kedalam empat kelompok, yaitu: Very High Human Development (kelompok Negara berperingkat pembangunan sangat tinggi, 1−47), High Human Development (kelompok negara berperingkat pembangunan manusianya tinggi, 48−94), Medium Human Development (kelompok negara berperingkat pembangunan manusianya sedang, 95−141), dan Low Human Development (kelompok negara berperingkat pembangunan manusianya rendah, 142−187). (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Indeks_Pembangunan_Manusia/, diakses pada tanggal 21 Oktober 2012)

Peringkat Indonesia dalam HDR selama 11 tahun (1999−2010) selalu berada pada peringkat 102 hingga 112. Sehingga Indonesia masuk kedalam kategori Medium Human Development. Peringkat terbaik dicapai oleh Indonesia pada tahun 2001, yaitu peringkat 102 dan tahun 1999 dengan peringkat 105. Sedangkan peringkat terburuk terjadi pada tahun 2003, yaitu peringkat ke-112. (Sumber: HDR 2011, UNDP)

Berdasarkan HDR yang dikeluarkan pada November tahun 2011 lalu, Indonesia menempati posisi 124, dengan umur harapan hidup yaitu 69,4 tahun, income percapita sebesar US$ 3716, dan jumlah penduduk yang dihitung sebanyak 242,3 juta jiwa. Secara garis besar, untuk Asia-Pasifik, HDI Indonesia menempati posisi ke-12 dari 21 negara. Nilai HDI pada tahun 2011 adalah 0,617 sedangkan di tahun 2010 adalah 0,600. Pada dasarnya, hal ini menunjukkan bahwa tingkat HDI Indonesia secara umum mengalami peningkatan. Namun, perkembangan pembangunan Indonesia mengalami penurunan, yaitu berada di peringkat 124.


(14)

Padahal, pada tahun 2010 Indonesia berada di peringkat 108. (Sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2011/11/02/indonesia-ranks-124th-2011-human-development-index.html/, diakses pada tanggal 23 Oktober 2012)

Tabel 1. Perkembangan Peringkat Human Development Indeks Indonesia Tahun Peringkat HDI Indonesia

1999 105

2000 109

2001 102

2002 110

2003 112

2004 111

2005 110

2006 106

2007 107

2008 107

2009 111

2010 108

2011 124

2012 121

Sumber: UNDP, HDR 1999-2012 yang telah diolah

Perubahan peringkat dari 108 menjadi 124 ini menunjukkan bahwa pembangunan manusia di Indonesia mengalami perlambatan dibandingkan negara-negara lain. Derajat kesejahteraan masyarakat Indonesia mengalami penurunan secara drastis, hal ini ditunjukkan dari usia harapan hidup (life expectancy at birth). HDR 2010 menunjukkan usia harapan hidup masyarakat Indonesia adalah 71,5 tahun, sedangkan HDR pada tahun 2011 menunjukkan usia harapan hidup masyarakat Indonesia berada di usia 69,4 tahun.

Menurunnya peringkat Indonesia tersebut, khususnya di bidang pendidikan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan sekolah-sekolah di Indonesia belum dapat bersaing dalam tingkat internasional. Padahal, pendidikan merupakan sebuah langkah awal bagi generasi penerus bangsa untuk menerima pengetahuan


(15)

guna menghasilkan sumber daya manusia yang mampu dan siap melaksanakan pembangunan Indonesia dikemudian hari.

Melihat kenyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa titik terlemah pembangunan Indonesia berada di sektor pendidikan. Kinerja tertinggi bidang pendidikan di ASEAN diraih oleh Malaysia, yang rata-rata penduduknya mampu menempuh jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) ke atas. Sedangkan penduduk Indonesia rata-rata hanya mampu mendapatkan pendidikan hingga lulus Sekolah Dasar (SD) saja. Padahal, yang dibicarakan dalam hal ini hanya dilihat dari sisi kuantitas, bukan kualitas. Dapat dikatakan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih belum bisa bersaing dengan dunia internasional.

Melihat fenomena tersebut, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang ada di Indonesia. Berbagai kebijakan maupun program dibuat dan dilaksanakan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan. Kepedulian pemerintah dalam mewujudkan pendidikan yang lebih berkualitas diawali dari adanya program pendidikan yang bermutu. Salah satu kebijakan tersebut adalah adanya program pendidikan Wajib Belajar 9 Tahun.

Program Wajib Belajar 9 Tahun dicanangkan pada tahun 1994 yang merupakan kelanjutan dari program Wajib Belajar 6 Tahun. Sejak tahun 1984, pendidikan Wajib Belajar 9 Tahun sudah ditetapkan. Namun, pada waktu itu pendidikan belum bisa dinikmati oleh seluruh anak Indonesia. Hal ini dikarenakan akses ekonomi masyarakat Indonesia yang belum mencukupi untuk bisa mendapat pendidikan hingga sembilan tahun. Padahal, pendidikan sesungguhnya adalah


(16)

komitmen antara pemerintah dan masyarakat, seperti yang tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945 bahwa tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pendidikan Wajib Belajar 9 Tahun sejalan dengan semangat untuk membebaskan bangsa Indonesia dari kebodohan dan kemiskinan. Bahkan, program Wajib Belajar 9 Tahun mengakomodir semangat pendidikan secara internasional. Pengakuan bahwa pendidikan merupakan hak setiap umat manusia termuat dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang pada pasal 26 ayat (1) berbunyi

“Setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan harus dengan cuma-cuma, setidak-tidaknya untuk tingkatan sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan rendah harus diwajibkan. Pendidikan teknik dan kejuruan secara umum harus terbuka bagi semua orang dan pendidikan tinggi harus dapat dimasuki dengan cara yang sama, berdasarkan kepantasan.”

Namun, program tersebut pada saat implementasinya ternyata tidak dapat berjalan sesuai dengan harapan pemerintah. Masih banyak anak-anak di Indonesia yang belum merasakan indahnya pendidikan selama sembilan tahun. Hal ini dikarenakan biaya pendidikan yang terbilang cukup mahal bagi kalangan menengah ke bawah. Untuk menyiasati hal tersebut, pemerintah menggalakkan program dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) untuk SD dan SMP Negeri. Dengan adanya dana BOS ini, diharapkan tujuan pemerintah untuk mengatasi permasalahan pendidikan yang masih minim dapat teratasi.

Setelah dijalankannya program wajib belajar, pemerintah kembali membuat kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas sekolah-sekolah di Indonesia. Sehubungan dengan upaya peningkatan mutu pendidikan,


(17)

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 ayat (3) yang berbunyi “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan yang akan dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf Internasional”. Dengan adanya landasan tersebut, pemerintah Indonesia membuat Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Kebijakan ini dibuat dalam rangka peningkatan mutu sekolah dan lulusannya agar dapat bersaing di dunia internasional.

Pelaksanaan kebijakan SBI pada dasarnya merupakan strategi alternatif perbaikan mutu pendidikan dalam memenuhi hak tiap warga negara sesuai amanat Undang-undang untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. Kebijakan SBI ini juga merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk memeratakan mutu sekolah yang ada di seluruh penjuru tanah air dengan maksud untuk meningkatkan daya saing lulusan-lulusan sekolah itu sendiri. Penyelenggaraan kebijakan ini dapat mendorong setiap sekolah yang menerapkan kebijakan ini dapat mengembangkan keunggulan dari potensi yang dimiliki sekolah itu sendiri. Sekolah Berstandar Internasional itu sendiri adalah sekolah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan yang diperkaya dengan keunggulan mutu tertentu yang berasal dari negara anggota Organization for Economic Co-operation & Development (OECD) atau negara maju lainnya. (Sumber: Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 78 Tahun 2009)

Kebijakan SBI sudah mulai diimplementasikan sejak tahun 2006. Namun, kebijakan ini tidak dapat langsung diterapkan dalam sebuah sekolah melainkan


(18)

harus terlebih dahulu melalui tahapan, mulai dari Sekolah Standar Nasional (SSN) yang kemudian berlanjut menjadi Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan pada akhirnya dapat dikatakan sebagai Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).

Kebijakan RSBI merupakan suatu permulaan bagi sekolah agar dapat dikatakan sebagai sekolah dengan gelar SBI. Pada dasarnya, kebijakan mengenai pelaksanaan RSBI memiliki acuannya yang sama dengan kebijakan SBI, karena kebijakan RSBI merupakan bagian dari kebijakan SBI. Kebijakan tersebut telah diatur oleh pemerintah dalam Permendiknas Nomor 78 Tahun 2009 yang di dalamnya terdapat aturan mengenai pelaksanaan sekolah untuk kemudian dapat menjadi SBI.

Sekolah-sekolah RSBI memiliki cara masing-masing untuk meningkatkan mutu dan kualitasnya sehingga sekolah tersebut layak untuk dinyatakan sebagai SBI. Oleh karena itu, pelaksanaan kebijakan SBI yang pada saat ini masih berada pada tahap RSBI, menjadi hal yang penting bagi kemajuan sekolah tersebut. Masing-masing sekolah memiliki cara unuk melaksanakan kebijakan ini sesuai dengan potensi yang terdapat dalam sekolah itu sendiri, namun tetap mengikuti prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam aturannya yang terdapat dalam Permendiknas Nomor 78 Tahun 2009.

Selain itu, penyelenggaraan RSBI juga mengikuti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Dengan


(19)

demikian, implementasi kebijakan RSBI dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah.

Pada saat ini, banyak sekolah-sekolah yang telah menjadi RSBI. Data hingga tahun 2012 menyatakan bahwa SMA RSBI yang ada di seluruh Indonesia saat ini mencapai 357 sekolah, dengan rincian 301 SMA Negeri dan 56 SMA Swasta. Data ini sudah banyak meningkat sejak pertama kali dicetuskannya kebijakan pemerintah tentang SBI pada tahun 2006 lalu, yaitu sebanyak 100 sekolah, baik SMA Negeri dan Swasta se-Indonesia. (Sumber : Dit. PSMA Kemendikbud)

Sesuai dengan judul dari penelitian ini, peneliti mengambil contoh implementasi kebijakan RSBI di dua sekolah yang bertempat di Propinsi DKI Jakarta. Agar lebih spesifik, daftar secara rinci mengenai SMA RSBI yang ada di Propinsi DKI Jakarta dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 2. Daftar SMA RSBI di Propinsi DKI Jakarta

No. Nama Sekolah Kabupaten/Kota Tahun

Penetapan 1 SMA Negeri 68 Jakarta Kota Administrasi Jakarta

Pusat 2006

2 SMA Negeri 13 Jakarta Kota Administrasi Jakarta Utara 2006 3 SMA Negeri 78 Jakarta Kota Administrasi Jakarta Barat 2006 4 SMA Negeri 8 Jakarta Kota Administrasi Jakarta Selatan 2006 5 SMA Negeri 70 Jakarta Kota Administrasi Jakarta Selatan 2006 6 SMA Islam Al Azhar 1

Jakarta Kota Administrasi Jakarta Selatan 2006 7 SMA Labschool Jakarta Kota Administrasi Jakarta Timur 2006 8 SMA Negeri 81 Jakarta Kota Administrasi Jakarta

Timur 2006

9 SMA Negeri 28 Jakarta Kota Administrasi Jakarta Selatan 2007 10 SMA Negeri 61 Jakarta Kota Administrasi Jakarta Timur 2007 11 SMA Islam Al Azhar

Kelapa Gading Kota Administrasi Jakarta Utara 2007 12 SMA Negeri 3 Jakarta Kota Administrasi Jakarta Selatan 2009 13 SMA Negeri 21 Jakarta Kota Administrasi Jakarta Timur 2009 14 SMA Jubilee Kota Administrasi Jakarta Utara 2010 Sumber: Dit. PSMA Kemendikbud, 2012


(20)

Keberhasilan kebijakan RSBI dapat dilihat dari meningkatnya standar pendidikan Indonesia, seperti sarana dan prasarana yang menjadi jauh lebih baik, standar kelulusan SMA yang meningkat, dan juga tingginya passing grade untuk masuk ke SMA RSBI tersebut. Dapat dilihat pula dari kemajuan setiap SMA RSBI yang banyak memenangkan olimpiade-olimpiade yang diadakan baik di tingkat regional, nasional, bahkan internasional. Tingkat penerimaan siswa di berbagai Perguruan Tinggi Negeri (PTN) juga menjadi salah satu indikator keberhasilan dari implementasi RSBI tersebut.

Kebijakan RSBI ini juga menimbulkan banyak kontra dengan alasan kebijakan ini dirasa lebih banyak memiliki kegagalan dibanding dengan keberhasilan. Kegagalan dari kebijakan ini antara lain, kebijakan RSBI dianggap tidak sesuai dengan Pancasila karena menggunakan bilingual dalam kegiatan belajar-mengajarnya, biaya yang terlalu mahal sehingga dianggap tidak sesuai dengan amanat Undang-undang yang menginginkan pendidikan harus diterapkan kepada seluruh lapisan sosial, dan memiliki konsep yang kurang matang.

Pada dasarnya, munculnya keberhasilan dan kegagalan seperti di atas tergantung pada bagaimana sekolah menerapkan kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah guna memperbaiki mutu pendidikan yang ada di Indonesia. Sehingga kebijakan yang saat ini sedang diimplementasikan tidak menjadi sebuah kebijakan sia-sia yang melanggar amanat Undang-undang Dasar 1945. Implementasi kebijakan di setiap daerah akan berbeda-beda sesuai dengan kebijakan yang daerah tersebut. Setiap Dinas Pendidikan mempunyai kebijakan untuk mengimplementasikan kebijakan RSBI tersebut agar dapat mencapai


(21)

tujuan. Setiap sekolah juga memiliki strategi masing-masing dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut.

Kebijakan RSBI di Propinsi DKI Jakarta sudah dimulai sejak tahun 2006. Hingga saat ini, SMA RSBI di Propinsi DKI Jakarta ada 14 sekolah dengan rincian 10 SMA Negeri dan empat SMA Swasta. Kebijakan ini pada awalnya hanya berupa pemberian predikat kepada sekolah-sekolah yang sebelumnya telah ditetapkan menjadi SSN. Dengan adanya SMA RSBI, daftar sekolah unggulan yang ada di Jakarta juga semakin terlihat. Sekolah yang berpredikat sebagai RSBI diasumsikan menjadi sekolah unggulan dan selalu menjadi favorit bagi para lulusan-lulusan SMP. Berbagai prestasi juga diukir oleh siswa sebagai bentuk dari implementasi kebijakan RSBI yang berusaha unggul di setiap bidang. Sebagai kota besar, Jakarta sering dijadikan teladan bagi kota-kota lain sehingga studi-studi banding sering sekali. Studi banding dilakukan dengan tujuan untuk memahami apa strategi dibalik keberhasilan Jakarta, khususnya di bidang pendidikan.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti lebih dalam mengenai implementasi kebijakan RSBI di SMA-SMA Negeri yang telah RSBI di Propinsi DKI Jakarta. Dalam implementasi kebijakan, pasti ada faktor-faktor dan kendala-kendala yang mempengaruhi mengapa kebijakan tersebut berjalan atau tidak berjalan dengan baik. Oleh karena itu, penelitian ini dimaksudkan untuk memahami bagaimana implementasi kebijakan RSBI, maka penelitian ini dilakukan bukan hanya pada satu sekolah saja, melainkan di dua sekolah yang ada di Propinsi DKI Jakarta. Penelitian ini konteksnya adalah memfokuskan pada


(22)

perbandingan implementasi kebijakan RSBI di masing-masing sekolah. Pada akhirnya, penelitian ini akan diharapkan dapat dijadikan masukan agar masing-masing sekolah dapat mengimplementasikan kebijakan RSBI dengan lebih baik.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang ada dalam latar belakang, maka permasalahan yang timbul adalah :

1. Bagaimanakah implementasi kebijakan RSBI di SMA Negeri yang ada di Propinsi DKI Jakarta, studi komparasi pada SMA Negeri 68 Jakarta dan SMA Negeri 81 Jakarta?

2. Apasajakah kendala-kendala yang mempengaruhi implementasi kebijakan RSBI di SMA Negeri di Jakarta, studi komparasi pada SMA Negeri 68 Jakarta dan SMA Negeri 81 Jakarta?

C. Tujuan Penelitian

Setiap penelitian dari sebuah fenomena atau masalah pasti mempunyai tujuan yang hendak dicapai, karena dengan adanya tujuan tersebut penelitian akan dapat memberikan manfaat yang sesuai dengan harapan peneliti. Oleh karena itu, tujuan peneliti melakukan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui implementasi kebijakan RSBI di SMA Negeri di Jakarta, studi komparasi pada SMA Negeri 68 Jakarta dan SMA Negeri 81 Jakarta serta membandingkannya sesuai dengan kajian Ilmu Administrasi Negara. 2. Untuk mengetahui kendala-kendala apa sajakah yang mempengaruhi

implementasi kebijakan RSBI di SMA Negeri di Jakarta, studi komparasi pada SMA Negeri 68 Jakarta dan SMA Negeri 81 Jakarta.


(23)

D. Manfaat Penelitian

Dengan dilakukannya penelitian ini, peneliti berharap akan adanya manfaat yang dapat diambil baik bagi peneliti maupun masyarakat. Manfaat penelitian ini dibagi menjadi dua bentuk, yaitu :

1. Teoritis

Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan pengetahuan secara lebih mendalam mengenai implementasi sebuah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, yang dalam hal ini berupa kebijakan dalam bidang pendidikan, yaitu kebijakan RSBI.

2. Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memberikan informasi dan pengetahuan yang lebih mendalam mengenai kebijakan RSBI dan implementasinya selama ini sehingga dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran, baik bagi pihak pemerintah maupun pihak sekolah di kedua sekolah tersebut dalam rangka meningkatkan kualitas kebijakan tentang pendidikan yang akan dilakukan selanjutnya di Indonesia pada umumnya dan di Propinsi DKI Jakarta pada khususnya sehingga kedepannya dapat meningkatkan kualitas dan standar nasional pendidikan.


(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Kebijakan Publik 1. Definisi Kebijakan Publik

Dewasa ini, kebijakan publik menjadi suatu hal yang tidak asing lagi bahkan di kalangan masyarakat awam. Setiap saat terasa sekali bahwa di sekeliling kita saat ini telah hadir fenomena kebijakan publik. Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini kebijakan publik telah menjadi sesuatu yang banyak mempengaruhi kehidupan manusia, baik disadari maupun tidak. Makna yang terkandung dalam kebijakan publik juga menjadi beragam. Istilah kebijakan seringkali disamakan dengan keputusan atau usulan-usulan dari para pembuat kebijakan. Para ahli administrasi publik terkait dengan definisi kebijakan publik, secara umum juga memberikan penafsiran yang berbeda-beda. Akan tetapi, ada juga yang memiliki kesamaan persepsi atas definisi kebijakan publik tersebut.

Menurut Charles O. Jones dalam Winarno (2007:16), istilah kebijakan (policy

term) digunakan dalam praktek sehari-hari namun digunakan untuk

menggantikan kegiatan atau keputusan yang sangat berbeda. Istilah ini sering dipertukarkan dengan tujuan (goals), program, keputusan (decision), standar,


(25)

kebijakan sering disama-artikan dengan pengertian kebijaksanaan. Istilah

“policy” seringkali diartikan sebagai tujuan (goals), program, keputusan,

undang-undang, ketentuan-ketentuan, usulan-usulan, dan rancangan-rancangan besar.

Definisi kebijakan publik yang paling populer atau dikenal adalah pendapat dari Thomas R. Dye, 1995 dalam Agustino (2012:7) yang berbunyi kebijakan publik adalah apa yang dipilih oleh pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan. Dye mengatakan, jika pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus memiliki tujuan dan kebijaksanaan negara harus meliputi semua tindakan pemerintah, bukan hanya keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja. Definisi lainnya mengenai kebijakan publik yang ditawarkan oleh James Anderson dalam Winarno (2007:18) menggambarkan bahwa kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Konsep kebijakan ini dianggap tepat karena memusatkan perhatian pada kegiatan yang sebenarnya dilakukan dan bukan pada kegiatan yang diusulkan atau dimaksudkan. Selain itu, konsep ini juga membedakan kebijakan dari keputusan yang merupakan pilihan di antara berbagai alternatif yang ada.

Dengan melihat definisi-definisi yang telah diungkapkan oleh beberapa ahli di atas, maka kebijakan publik dapat diartikan sebagai serangkaian keputusan dan tindakan yang diambil serta dilakukan oleh pemerintah (institusi publik) bersama-sama dengan aktor-aktor elit politik untuk dilakukan atau tidak dilakukan dalam rangka menyelesaikan persoalan-persoalan publik demi kepentingan seluruh


(26)

masyarakat. Kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) adalah serangkaian keputusan dan tindakan yang diambil serta dilakukan oleh pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan standar kompetensi lulusan, khususnya SMA dengan menampilkan keunggulan lokal yang mampu bersaing di tingkat internasional.

2. Ciri-Ciri Kebijakan Publik

Ciri-ciri yang melekat pada kebijakan publik bersumber pada kenyataan bahwa kebijakan dirumuskan oleh apa yang David Easton dalam Wahab (2005:5) sebut sebagai orang-orang yang memiliki wewenang, yakni para tetua adat, ketua suku, eksekutif, legislator, hakim, administrator, dan lain sebagainya.

Ciri-ciri kebijakan publik yang dikemukakan dalam Wahab (2005:6) ada empat ciri, yaitu:

a. Kebijakan publik merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan daripada

sebagai tindakan yang kebetulan (tindakan yang berpola);

b. Kebijakan publik merupakan tindakan-tindakan yang saling terkait dengan

berpola yang dilakukan oleh pejabat-pejabat publik atau pemerintah dan bukan merupakan keputusan yang berdiri sendiri;

c. Kebijakan publik merupakan tindakan yang senyata-nyatanya telah

dilakukan oleh pemerintah dalam bidang-bidang tertentu;

d. Kebijakan publik mempunyai dampak positif dan negatif.

Berdasarkan ciri-ciri yang telah disebutkan di atas, kebijakan RSBI merupakan salah satu bentuk kebijakan yang mengarah pada suatu tujuan dan terpola dengan


(27)

baik. Kebijakan ini adalah salah satu tahap dimana SMA RSBI nantinya akan menjadi SMA bertaraf internasional. Kebijakan ini diambil dan diputuskan berdasarkan proses yang jelas dengan berbagai landasan hukum dan pertimbangan-pertimbangan matang yang pada akhirnya terciptalah kebijakan RSBI. Kebijakan ini merupakan kebijakan yang diambil oleh pemerintah di bidang pendidikan. Berdasarkan ciri yang terakhir, setiap kebijakan tentu saja mempunyai dampak positif maupun negatif. Oleh karena itu, nantinya sebuah kebijakan akan mengalami tahap yang disebut evaluasi sehingga dampak-dampak yang dihasilkan dapat diatasi dan membuat kebijakan tersebut kembali seperti tujuan awalnya.

3. Tahap-Tahap Kebijakan Publik

Dalam Winarno (2007:32), dijelaskan bahwa proses kebijakan publik merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu, beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik ke dalam beberapa tahap. Tahap-tahap kebijakan publik yang ada juga sangat beragam, mulai dari yang sederhana, hingga yang rumit. Dalam Winarno (2007:33), tahapannya dibagi menjadi lima, yaitu penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Tahap penyusunan agenda merupakan sebuah tahap dimana pembuat kebijakan menyusun dan merancang pokok-pokok permasalahan dalam suatu kebijakan. Pada akhirnya, masalah yang telah difokuskan akan dimasukkan ke dalam agenda kebijakan. Selanjutnya agenda kebijakan yang telah disusun tersebut akan


(28)

diformulasikan oleh pembuat kebijakan. Dalam formulasi kebijakan, permasalahan yang ada akan dicari pemecahan masalah yang paling baik. Kemudian, pada tahap adopsi kebijakan, alternatif kebijakan yang sebelumnya telah dibuat nantinya akan diadopsi dengan dukungan dari pihak legislatif.

Tahapan selanjutnya adalah implementasi kebijakan yang merupakan tahap dimana alternatif kebijakan yang telah diambil akan dilaksanakan oleh pelaksana kebijakan. Tahap ini merupakan tahap yang sangat penting karena keberhasilan suatu kebijakan salah satunya dapat dilihat dari bagaimana pelaksanaan kebijakan tersebut. Kebijakan tanpa implementasi hanyalah berupa berkas yang tidak berguna. Oleh karena itu, tahapan ini merupakan tahapan yang paling penting dalam seluruh tahapan kebijakan. Selanjutnya ada tahap evaluasi, yaitu tahap dimana kebijakan tersebut akan ditinjau kembali apakah kebijakan tersebut harus dilanjutkan atau diperbaiki.

Proses kebijakan publik secara sederhana dapat dilihat pada skema di bawah ini :

Gambar 1. Proses Kebijakan Publik I Sumber: Winarno (2007:33) yang telah diolah peneliti, 2012

Agenda Setting

Evaluasi Kebijakan Publik

Implementasi Kebijakan Publik Perumusan

Kebijakan Publik

Output Outcome

Adopsi Kebijakan


(29)

Penjelasan dari skema diatas adalah tahap pembuatan kebijakan publik berawal dari adanya agenda setting yang selanjutnya dirumuskan, kemudian dilakukanlah adopsi atas kebijakan tersebut yang selanjutnya kebijakan akan diimplementasikan. Pada akhirnya, kebijakan yang telah diimplementasikan tersebut akan sampai pada tahap evaluasi kebijakan publik. Dari evaluasi kebijakan akan muncul dua hasil dari implementasi kebijakan tersebut, yaitu

output (dampak yang dirasakan secara langsung) dan outcome (dampak yang

dirasakan oleh masyarakat dalam jangka panjang). Dari hasil evaluasi tersebut, pembuat kebijakan akan dapat mengetahui apakah kebijakan yang telah dibuat dapat kembali diimplementasikan, diperbaiki atau harus dihapuskan.

Seperti penjelasan di atas, tahap implementasi kebijakan merupakan tahap dimana kebijakan yang telah dibuat dapat dijalankan dan dilihat apakah kebijakan tersebut berjalan sesuai dengan rumusan dan tujuan, sehingga kedepannya dapat dilakukan evaluasi kebijakan. Implementasi merupakan tahapan yang krusial, rumit, dan kompleks dalam proses kebijakan publik. Namun, implementasi memegang peran yang cukup vital dalam proses kebijakan. Tanpa adanya tahap implementasi kebijakan, program-program kebijakan yang telah disusun hanya akan menjadi catatan-catatan resmi saja. Pada saat implementasi, dilakukan pemantauan untuk memastikan implementasi kebijakan konsisten dengan rumusan kebijakan. Hasil implementasi kebijakan adalah kinerja kebijakan. Pada saat inilah diperlukan evaluasi kebijakan. Hasil evaluasi akan menentukan apakah kebijakan dilanjutkan atau membawa isu kebijakan baru, yang mengarah pada dua pilihan, revisi atau penghentian kebijakan.


(30)

Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan diteliti tahap implementasi dalam kebijakan publik. Penelitian ini dilakukan karena kebijakan RSBI merupakan sebuah kebijakan bidang pendidikan yang memiliki tujuan baik bagi peningkatan mutu pendidikan di Indonesia, sehingga tahap implementasinya merupakan tahap yang paling tepat untuk diteliti serta untuk melihat apakah tujuan dari kebijakan tersebut telah tercapai dalam pelaksanaannya dan efektif untuk dilaksanakan.

B. Tinjauan Tentang Implementasi Kebijakan Publik

1. Definisi Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi kebijakan merupakan sebuah tahapan dari kebijakan publik setelah sebelumnya adalah perumusan kebijakan. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, tahap implementasi merupakan tahap dimana sebuah kebijakan yang sebelumnya telah dirumuskan, kemudian dilaksanakan oleh para pelaksana kebijakan. Implementasi kebijakan merupakan tahap dari proses kebijakan segera setelah penetapan undang-undang atau peraturan tertulis lainnya. Tahap implementasi ini adalah suatu tahapan yang penting dalam sebuah kebijakan. Implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang dinamis, dimana para pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan sesuai dengan perumusan kebijakan yang sebelumnya telah dilakukan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran dari kebijakan itu sendiri. Namun, dalam praktiknya implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang sangat kompleks dan tidak jarang bermuatan politis dengan adanya intervensi dari berbagai kelompok. Oleh karena itu, implementasi kebijakan ini pun diartikan berbeda-beda oleh para ahli.


(31)

Van Meter dan Van Horn dalam Winarno (2007:146) membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan tersebut dilakukan untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu serta melanjutkan usaha-usaha tersebut untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan.

Sementara itu, Grindle dalam Winarno (2007:146) juga memberikan pandangannya tentang implementasi dengan mengatakan bahwa secara umum, tugas implementasi adalah membentuk suatu kaitan (linkage) yang memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah. Dengan demikian, kebijakan publik diterjemahkan ke dalam program-program tindakan yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang dinyatakan dalam suatu kebijakan. Dengan demikian, berbagai program bisa dikembangkan untuk merespon tujuan-tujuan kebijakan yang sama.

Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1979) dalam Wahab (2005:65), menjelaskan makna implementasi ini dengan mengatakan bahwa:

“Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijaksanaan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan negara, yang untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.”


(32)

Dari ketiga pendapat para ahli di atas, dapat disederhanakan bahwa pendapat Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier tentang implementasi lebih terfokus pada apa yang menjadi tujuan dari kebijakan tersebut secara tegas, agar proses pelaksanaannya yang berupa kegiatan-kegiatan tidak melenceng dari apa yang telah ditetapkan. Sedangkan, tidak jauh berbeda dengan Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier, Van Meter dan Van Horn mengemukakan selain proses dan pencapaian tujuan, implementasi juga harus melihat kelangsungan dari kebijakan tersebut agar dapat ditransformasikan menjadi pola-pola operasional, intinya bahwa implementasi kebijakan tersebut pada dasarnya harus berkelanjutan. Terakhir, pendapat dari Grindle juga memiliki persamaan dengan pendapat Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier yang memberikan penjelasan bahwa

implementasi kebijakan harus berfokus pada tujuan kebijakan, agar output dan

outcome tidak menyimpang dari apa yang diharapkan .

Melihat paparan berbagai definisi implementasi kebijakan di atas, dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan adalah serangkaian kegiatan yang merupakan tindak lanjut dari suatu kebijakan setelah kebijakan tersebut ditetapkan guna merealisasikan program sebagai hasil dari aktivitas pemerintah terhadap kebijakan tersebut. Dari definisi tersebut, dalam penelitian ini implementasi kebijakan RSBI pada awalnya berwujud Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang didalamnya menyinggung permasalahan tentang pendidikan bertaraf internasional yang pada akhirnya dirumuskanlah Permendiknas tentang SBI. Kebijakan RSBI sendiri merupakan sebuah tahap bagi sekolah untuk mencapai tahap SBI. Hal ini sejalan dengan definisi yang sebelumnya telah diungkapkan oleh Van Meter dan Van Horn,


(33)

dimana setelah adanya sebuah keputusan maka selanjutnya kebijakan tersebut akan ditransformasikan secara operasional ke dalam kegiatan, dalam hal ini adalah kebijakan RSBI.

2. Model Implementasi Kebijakan Publik

Dalam mengimplementasikan kebijakan publik, ada beberapa model yang perlu digunakan untuk menjadi pedoman atau penuntun agar pada saat pelaksanaan, kebijakan tersebut tidak akan menyimpang dari apa yang sebelumnya telah dirumuskan. Model implementasi kebijakan merupakan kerangka dalam melakukan analisis terhadap proses implementasi kebijakan sebagai alat untuk menggambarkan situasi dan kondisi yang terjadi setelah ditetapkannya kebijakan tersebut, sehingga perilaku yang terjadi di dalamnya dapat dijelaskan. Oleh karena itu, penggunaan model implementasi kebijakan sangat diperlukan untuk melakukan studi implementasi kebijakan. Ada beberapa model implementasi kebijakan menurut para ahli yang seringkali diterapkan. Pada umumnya, model-model tersebut menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan yang diarahkan pada pencapaian kebijakan.

Model Merilee S. Grindle dalam Agustino (2012:154) mengemukakan bahwa ada dua variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik. Keberhasilan implementasi suatu kebijakan publik dapat diukur dari proses pencapaian hasil akhir (outcomes), yaitu tercapai atau tidaknya tujuan yang ingin diraih. Pengukuran keberhasilan implementasi kebijakan publik dapat dilihat dari dua hal, yaitu dilihat dari prosesnya dan dilihat apakan tujuan kebijakan tercapai


(34)

atau tidak. Keberhasilan suatu implementasi kebijakan publik juga sangat ditentukan oleh tingkat implementability kebijakan tersebut yang terdiri atas:

a. Content of policy yang meliputi kepentingan-kepentingan yang

mempengaruhi, tipe manfaat, derajat perubahan yang ingin dicapai, letak pengambilan keputusan, pelaksana program, dan sumber-sumber daya yang digunakan.

b. Context of policy yang meliputi kekuasaan, kepentingan-kepentingan, dan

strategi dari aktor-aktor yang terlibat, karakteristik lembaga-lembaga dan rezim yang berkuasa, serta tingkat kepatuhan dan adanya respon dari pelaksana.

Model implementasi kebijakan Van Meter dan Van Horn dalam Agustino (2012:141) adalah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu

atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang

diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam kebijaksanaan. Implementasi kebijakan menyangkut tiga hal, yaitu adanya tujuan dan sasaran, adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan, dan adanya hasil kegiatan. Dalam implementasi ini, terdapat enam variabel yang membentuk hubungan antara kebijakan dan pelaksanaan, antara lain:

a. Standar dan tujuan kebijakan merupakan apa yang hendak dicapai oleh

program atau kebijakan, baik yang berwujud maupun tidak, jangka pendek, menengah atau panjang.

b. Sumber daya, terdiri dari sumber daya manusia dan sumber daya finansial.


(35)

menentukan suatu keberhasilan proses implementasi. Sumber daya finansial juga ikut menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan.

c. Komunikasi antar-organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan, komunikasi

merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan publik.

d. Karakteristik agen pelaksana, yaitu pusat perhatian pada agen pelaksana

meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat dalam proses implementasi kebijakan publik.

e. Lingkungan ekonomi, sosial, dan politik, ketiga kondisi ini mengacu pada

sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan suatu kebijakan publik yang telah diterapkan.

f. Sikap dan kecenderungan para pelaksana, yaitu sikap penerimaan atau

penolakan dari para pelaksana kebijakan banyak mempengaruhi keberhasilan kinerja implementasi kebijakan publik.

Model implementasi kebijakan publik selanjutnya adalah model yang dikemukakan oleh George C. Edward III dalam Indiahono (2009:31) yang menunjuk pada empat variabel yang berperan penting dalam pencapaian keberhasilan implementasi. Empat variabel tersebut adalah komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi.

a. Komunikasi, setiap kebijakan akan dapat dilaksanakan dengan baik jika

terjalin komunikasi yang efektif. Terdapat tiga indikator yang dapat digunakan dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi. Tiga indikator tersebut adalah transmisi, kejelasan, dan konsistensi.

b. Sumber daya, setiap kebijakan harus didukung oleh sumber daya yang


(36)

Indikator-indikator yang digunakan untuk melihat implementasi kebijakan adalah staf, informasi, wewenang, fasilitas, dan anggaran (budgetary).

c. Disposisi, yaitu kecenderungan perilaku atau watak pelasana kebijakan.

Faktor-faktor yang menjadi perhatian Edward III mengenai disposisi dalam implementasi kebijakan adalah pengangkatan birokrat dan insentif.

d. Struktur birokrasi, menunjuk bahwa struktur birokrasi menjadi penting

dalam implementasi kebijakan. Menurut Edward III, terdapat dua

karakteristik utama dari birokrasi, yaitu Standard Operational Procedure

(SOP) dan fragmentasi.

Selanjutnya adalah model implementasi kebijakan yang dapat dikatakan telah merangkum seluruh model-model implementasi kebijakan yang telah ada sebelumnya, yaitu model implementasi kebijakan Daniel A. Mazmanian dan Paul

A. Sabatier yang sering disebut sebagai Frame Work for Implementation

Analysis. Dalam Agustino (2012:144−149) Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier menyatakan bahwa implementasi kebijakan adalah pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Peran penting dari implementasi kebijakan publik adalah kemampuannya dalam mengidentifikasi variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Model ini memiliki tiga variabel pokok, antara lain:

a. Karakteristik masalah atau tingkat kesulitan masalah yang harus dipecahkan

melalui implementasi suatu kebijakan. Semakin sulit masalah yang harus dipecahkan tentu akan semakin kecil peluang keberhasilan implementasi


(37)

kebijakan. Variabel ini meliputi ketersediaan teknologi dan teori teknis, keragaman perilaku kelompok sasaran, persentase populasi, dan perubahan perilaku yang diharapkan.

b. Daya dukung peraturan atau kemampuan kebijakan dalam merespon masalah

yang akan dipecahkan. Semakin jelas tujuan, dukungan, sumber daya, dan lain-lain maka akan semakin besar peluang keberhasilan implementasi kebijakan. Variabel ini meliputi kecermatan dan kejelasan penjenjangan tujuan-tujuan resmi yang akan dicapai, teori kausalitas, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan hierarki di dalam lingkungan dan di antara instansi-instansi pelaksana, aturan-aturan pembuat keputusan dari badan-badan pelaksana, kesepakatan para pejabat terhadap tujuan yang termaktub dalam undang-undang, rekrutmen dan akses formal pihak-pihak luar.

c. Lingkungan kebijakan yang mempengaruhi implementasi. Semakin baik

dukungan lingkungan kebijakan, maka akan semakin besar pula peluang keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Variabel ini meliputi kondisi sosio-ekonomi, perhatian terhadap kebijakan, dukungan publik, sikap dan sumber daya, dukungan kewenangan, serta komitmen dan kepemimpinan pejabat pelaksana.

Ketiga variabel di atas merupakan hal-hal yang dapat mempengaruhi implementasi kebijakan, namun penekanannya masih sangat bergantung kepada tipologi pelaksana dan masih bersifat administratif dengan menitikberatkan pada bagaimana cara untuk mencapai tujuan. Ketiga variabel ini disebut sebagai variabel bebas (independent variable), dibedakan dari tahap-tahap implementasi yang harus dilalui yang disebut sebagai variabel terikat (dependent variable).


(38)

Variabel terikat yang ditunjukkan melalui tahapan dalam proses implementasi mencakup: (i) output kebijakan badan pelaksana, (ii) kesediaan kelompok sasaran

mematuhi output kebijakan, (iii) dampak nyata output kebijakan, (iv) dampak

output kebijakan sebagaimana yang dipersepsikan, dan (v) perbaikan.

Inti dari pemikiran Mazmanian dan Sabatier ini dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2. Model Implementasi Top-Down Mazmanian dan Sabatier

Sumber: Mazmanian dan Sabatier (1983) dalam Purwanto dan Sulistyastuti (2012:41), yang telah dialih bahasakan oleh peneliti, 2013

Variabel Terikat Proses Implementasi: Karakteristik Masalah:

13. Ketersediaan teknologi dan teori teknis 14. Keragaman perilaku kelompok sasaran 15. Persentase populasi

16. Perubahan perilaku yang diharapkan Daya dukung peraturan:

22. Kejelasan dan konsistensi tujuan yang hendak dicapai

23. Teori kausalitas

24. Ketepatan alokasi sumber dana 25. Keterpaduan hierarki di dalam

lingkungan

26. Kesepakatan terhadap tujuan yang termaktub dalam undang-undang 27. Rekrutmen

28. Akses formal pelaksana organisasi

Variabel non-peraturan: 16. Kondisi sosio ekonomi 17. Dukungan publik 18. Sikap dan sumber daya 19. Dukungan kewenangan 20. Komitmen dan kemampuan

pejabat pelaksana Output kebijakan dari badan pelaksana Kesediaan kelompok sasaran

mematuhi output kebijakan Dampak nyata output kebijakan Dampak yang diperkirakan Perbaikan peraturan Karakteristik Masalah:

9. Ketersediaan teknologi dan teori teknis 10. Keragaman perilaku kelompok sasaran 11. Persentase populasi

12. Perubahan perilaku yang diharapkan Daya dukung peraturan:

15. Kejelasan dan konsistensi tujuan yang hendak dicapai

16. Teori kausalitas

17. Ketepatan alokasi sumber dana 18. Keterpaduan hierarki di dalam

lingkungan

19. Kesepakatan terhadap tujuan yang termaktub dalam undang-undang 20. Rekrutmen

21. Akses formal pelaksana organisasi

Variabel non-peraturan: 11. Kondisi sosio ekonomi 12. Dukungan publik 13. Sikap dan sumber daya 14. Dukungan kewenangan 15. Komitmen dan kemampuan

pejabat pelaksana Karakteristik Masalah:

5. Ketersediaan teknologi dan teori teknis 6. Keragaman perilaku kelompok sasaran 7. Persentase populasi

8. Perubahan perilaku yang diharapkan Daya dukung peraturan:

8. Kejelasan dan konsistensi tujuan yang hendak dicapai

9. Teori kausalitas

10. Ketepatan alokasi sumber dana 11. Keterpaduan hierarki di dalam

lingkungan

12. Kesepakatan terhadap tujuan yang termaktub dalam undang-undang 13. Rekrutmen

14. Akses formal pelaksana organisasi

Variabel non-peraturan: 6. Kondisi sosio ekonomi 7. Dukungan publik 8. Sikap dan sumber daya 9. Dukungan kewenangan 10. Komitmen dan kemampuan

pejabat pelaksana Karakteristik Masalah:

1. Ketersediaan teknologi dan teori teknis 2. Keragaman perilaku kelompok sasaran 3. Persentase populasi

4. Perubahan perilaku yang diharapkan Daya dukung peraturan:

1. Kejelasan dan konsistensi tujuan yang hendak dicapai

2. Teori kausalitas

3. Ketepatan alokasi sumber dana 4. Keterpaduan hierarki di dalam

lingkungan

5. Kesepakatan terhadap tujuan yang termaktub dalam undang-undang 6. Rekrutmen

7. Akses formal pelaksana organisasi

Variabel non-peraturan: 1. Kondisi sosio ekonomi 2. Dukungan publik 3. Sikap dan sumber daya 4. Dukungan kewenangan 5. Komitmen dan kemampuan


(39)

Model implementasi kebijakan Mazmanian dan Sabatier ini termasuk dalam kategori model top-down. Model top-down merupakan suatu pola kebijakan yang dikerjakan oleh pemerintah untuk rakyat. Dalam model top-down, implementasi kebijakan yang dilakukan tersentralisasi dan dimulai dari aktor tingkat pusat yang keputusannya diambil pula dari tingkat pusat. Model top-down bertitik tolak dari perspektif bahwa keputusan-keputusan politik atau kebijakan yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus dilaksanakan oleh administrator-administrator atau birokrat-birokrat pada level di bawahnya.

Model milik Mazmanian dan Sabatier ini dikenal dan dianggap sebagai salah satu

model top-down yang paling maju dan paling lengkap dalam menggabungkan

berbagai variabel yang ada dari hasil peneliti sebelumnya. Sehingga dalam

penelitian ini, dimana kebijakan RSBI merupakan sebuah bentuk kebijakan

top-down, maka peneliti menggunakan model ini karena dirasa paling tepat untuk mengungkap fenomena implementasi kebijakan RSBI beserta faktor-faktor yang mempengaruhi dan juga kendala apa saja yang mungkin dihadapi dalam implementasi kebijakan RSBI.

Model implementasi top-down digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor

yang membuat implementasi sukses ataupun gagal. Kebijakan RSBI merupakan kebijakan yang termasuk pula dalam model top-down karena kebijakan ini dibuat oleh pemerintah dan keputusannya diambil oleh pihak pemerintah pusat. Dengan menggunakan model milik Mazmanian dan Sabatier, akan dapat diketahui faktor-faktor apa saja yang menjadi pendukung maupun penghambat implementasi kebijakan RSBI.


(40)

Model implementasi kebijakan Mazmanian dan Sabatier ini juga termasuk dalam mekanisme paksa. Mekanisme paksa adalah model yang mengedepankan arti penting lembaga publik sebagai lembaga tunggal yang mempunyai monopoli.

Karena kebijakan RSBI merupakan sebuah kebijakan dengan model top-down

yang memiliki pola dari atas ke bawah, maka mekanisme yang digunakan adalah mekanisme paksa dimana pemerintah pusat membuat kebijakan RSBI untuk dilaksanakan oleh para pelaksana kebijakannya, bukan mekanisme pasar yang orientasinya kepada model bottom-up dimana pelaksanaannya berpola dari bawah ke atas atau dari rakyat ke pemerintah.

Penggunaan model implementasi kebijakan Mazmanian dan Sabatier ini diambil oleh peneliti dengan dasar pemikiran bahwa tidak ada pilihan model yang terbaik, yang ada adalah pilihan-pilihan yang harus kita pilih secara bijaksana sesuai dengan kebutuhan kebijakannya sendiri. Berdasarkan hal tersebut, peneliti memilih model ini karena unsur-unsur pokok dalam suatu implementasi kebijakan terutama karakteristik masalah, daya dukung peraturan, variabel lingkungan dan juga proses implementasi lebih dibahas secara detail dalam model implementasi kebijakan Mazmanian dan Sabatier.

C. Tinjauan Tentang Kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) adalah sekolah yang sudah memenuhi standar nasional pendidikan dan diperkaya dengan mengacu pada standar

pendidikan salah satu negara anggota Organization for Economic Development

(OECD) atau negara tertentu yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan sehingga memiliki daya saing di forum internasional.


(41)

Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 pasal 1 “pendidikan bertaraf internasional adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju”. Sedangkan dalam pasal 143 dijelaskan bahwa satuan pendidikan bertaraf internasional merupakan satuan pendidikan yang telah memenuhi SNP dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju.

Penyelenggaraan SBI yang didahului dengan penyelenggaraan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) menjadi kebutuhan mendesak karena membangun

sekolah yang sudah memenuhi seluruh SNP dan diperkaya dengan keunggulan

mutu tertentu yang berasal dari negara maju merupakan modal dasar dari pembangunan. Dalam konteks ini, implementasi kebijakan RSBI hakekatnya merupakan strategi alternatif perbaikan mutu pendidikan yang dilakukan pemerintah dalam memenuhi hak tiap warga negara sesuai amanat Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Variasi kualitas penyelenggaraan pendidikan dapat teramati dari berbagai komponen, yaitu kmasukan, proses, dan keluaran. Komponen masukan meliputi kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, siswa, bahan ajar, teknologi, ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan, kondisi lingkungan, manajemen sekolah, serta kendali mutu. Komponen proses meliputi pemanfaatan sarana dan prasarana dalam bentuk kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan. Komponen keluaran berupa hasil penilaian, hasil ujian nasional dan internasional, lulusan yang kompetitif, terserap didunia kerja dan diterima di perguruan tinggi favorit baik dalam maupun luar negeri. (Sumber: Depdiknas, 2007)


(42)

Implementasi kebijakan RSBI mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Selain Permendiknas, kebijakan RSBI di Indonesia juga menggunakan berbagai landasan hukum dalam implementasinya, yaitu sebagai berikut:

1. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Pasal 50 ayat (3) yang menyebutkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional.

2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

3. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

4. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan

Nasional.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional

Pendidikan.

6. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang

Standar lsi.

7. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang

Standar Kompetensi Lulusan.

8. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 6 Tahun 2007 sebagai

penyempurnaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Permendiknas Nomor 22 dan 23 Tahun 2006.


(43)

9. Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009.

10.Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 61 Tahun 2007 tentang

Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.

Dibuat dan diimplementasikannya kebijakan RSBI memiliki tujuan, yaitu tujuan secara umum dan khusus. Tujuan secara umum kebijakan RSBI ini adalah:

1. Meningkatkan kualitas pendidikan nasional.

2. Memberi peluang pada sekolah yang berpotensi untuk mencapai kualitas

bertaraf nasional dan internasional.

3. Memberi layanan kepada siswa berpotensi untuk mencapai prestasi bertaraf

nasional dan internasional.

4. Menyiapkan lulusan yang mampu berperan dalam masyarakat global.

Sedangkan tujuan khusus kebijakan ini adalah untuk menyiapkan lulusan SMA yang memiliki kompetensi seperti tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan yang diperkaya dengan standar kompetensi lulusan berciri internasional sehingga lulusan yang dihasilkan diharapkan akan menjadi:

1. Individu yang nasionalis dan berwawasan global.

2. Individu yang cinta damai dan toleran.

3. Pemikir yang kritis, kreatif, dan produktif.

4. Pemecah masalah yang efektif dan inovatif.

5. Komunikator yang efektif.

6. Individu yang mampu bekerjasama.


(44)

Menurut Direktorat Jenderal Mendikdasmen Kementerian Pendidikan Nasional, terdapat beberapa kriteria yang harus dimiliki RSBI, yaitu sebagai berikut:

1. Telah memiliki akreditasi “A” dari Badan Akreditasi Sekolah.

2. SMA Kategori Mandiri (SKM).

3. Diutamakan Kabupaten/Kota yang belum ada Rintisan SMA Bertaraf

Internasional.

4. Kabupaten/Kota yang telah mempunyai program Rintisan SMP Bertaraf

Internasional.

5. Penyelenggaraan sekolah satu shift (tidak double shift).

6. Memiliki sarana dan prasarana yang lengkap antara lain:

a. Memiliki tiga laboratorium IPA (Fisika, Kimia, dan Biologi).

b. Memiliki perpustakaan yang memadai.

c. Memiliki laboratorium komputer.

d. Ada akses internet.

e. Memiliki web sekolah.

f. Tersedia ruang kelas yang sesuai dengan rombongan belajar.

g. Memiliki kultur sekolah yang memadai (bersih dan bebas asap rokok).

7. Memiliki sumber daya manusia yang memadai:

a. Memiliki kepala sekolah:

1. SK Pengangkatan dari pejabat yang berwenang.

2. Mampu mengoperasikan komputer.

3. Memiliki kemampuan Bahasa Inggris minimal secara pasif.

b. Memiliki guru mata pelajaran yang cukup (minimal 80% mengajar


(45)

c. Memiliki staf penunjang yang memadai (staf TU, Laboran, Pustakawan, Teknisi).

8. Memiliki minimal sembilan rombongan belajar.

9. Mengajukan proposal.

Setelah melihat kriteria yang ada, dapat dikatakan bahwa kebijakan ini memiliki mekanisme dalam rangka memilih sebuah sekolah untuk diputuskan menjadi Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional, khususnya dalam penelitian ini adalah SMA. Mekanisme tersebut dilakukan agar dalam penetapannya, sekolah-sekolah tersebut telah melalui dan memenuhi standar dan kriteria sebuah sekolah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional.

Mekanisme penetapan SMA RSBI dapat dilihat dari bagan berikut ini:

Tidak

Proposal Ya

Gambar 3. Mekanisme Penetapan SMA RSBI

Sumber: PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan

Sekolah + Komite Sekolah/Yayasan (Membuat Proposal)

Dinas Kab/Kota (Mengetahui/Menyetujui

Proposal)

Dinas Pendidikan Provinsi (Mengetahui/Menyetujui

Proposal)

Ditjen Mandikdasmen c.q. Dit. Pembinaan SMA

Tim

Penilai Seleksi dan Verifikasi

Penetapan SMA RSBI


(46)

D. Kerangka Pikir

Pada saat ini permasalahan mengenai mutu pendidikan di Indonesia menjadi sangat penting dalam pembangunan yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, dibuatlah sebuah kebijakan yang diharapkan dapat membantu meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, yaitu kebijakan RSBI. Kebijakan RSBI dimulai pada tahun 2006 berdasarkan amanah dari adanya Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 dan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Setelah tiga tahun berjalan, Kemendikbud akhirnya mengeluarkan peraturan yang mengatur tentang kebijakan RSBI tersebut. Peraturan tersebut adalah Permendiknas Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Peraturan tersebut dikeluarkan agar kebijakan ini dapat berjalan lebih spesifik sehingga menghasilkan apa yang telah menjadi tujuan dan amanah Undang-undang Sisdiknas sebelumnya.

Dikeluarkannya peraturan tersebut yang di dalamnya telah dijelaskan secara lebih rinci mengenai hal-hal yang bersangkutan tentang penyelenggaraan kebijakan RSBI ini, saat ini sekolah-sekolah yang berpredikat RSBI menggunakan peraturan tersebut sebagai pedoman dalah menjalankan sekolahnya. Pada dasarnya RSBI merupakan sebuah tahap dimana pada akhirnya sekolah yang mendapatkan predikat RSBI ini akan menjadi SBI seperti yang diharapkan oleh pemerintah. Apabila telah memiliki kelayakan dan telah memenuhi standar yang telah ditetapkan, pada akhirnya nanti RSBI ini akan menjadi SBI dan diharapkan sekolah-sekolah tersebut dapat bersaing secara internasional.


(47)

Untuk menjadi sekolah yang mendapat predikat RSBI, tentu saja harus melewati proses dimana pada awalnya yang kemudian akan diseleksi oleh tim penilai sehingga sekolah tersebut dinyatakan layak diberikan predikat RSBI atau masih harus melewati pembinaan kembali oleh Dinas Pendidikan. Penilaian tersebut dilakukan agar sekolah yang mendapatkan predikat tersebut benar-benar sesuai dengan kriteria dan memiliki kualitas yang baik untuk menjadi SBI. Setelah penetapan sekolah-sekolah tersebut, dimulailah implementasi kebijakan RSBI sesuai dengan peraturan yang telah dibuat. Dalam penelitian ini, implementasi kebijakan RSBI difokuskan pada dua tempat di wilayah Jakarta, yaitu Jakarta Timur dan Jakarta Pusat. Implementasi kebijakan ini akan dilihat dari masing-masing wilayah yang diwakilkan oleh satu sekolah yang berpredikat RSBI, yaitu SMA Negeri 68 dan SMA Negeri 81 Jakarta.

Implementasi kebijakan RSBI ini menggunakan model implementasi kebijakan Mazmanian dan Sabatier, karena model ini paling lengkap jika digunakan dalam studi implementasi kebijakan dan juga dapat digunakan untuk membandingkan implementasi dari kebijakan tersebut. Sehubungan dengan studi komparasi yang dilakukan dalam penelitian ini, maka model inilah yang digunakan oleh peneliti. Menurut model ini, dalam implementasi kebijakan terdapat beberapa variabel dan indikator yang mempengaruhi berjalannya kebijakan tersebut. Variabel tersebut adalah karakteristik masalah, daya dukung peraturan, dan variabel lingkungan. Selain itu, peneliti juga akan melihat kendala-kendala apa saja yang terdapat dalam implementasi kebijakan RSBI ini. Alur kerangka pikir dalam tulisan ini dapat digambarkan seperti pada bagan berikut ini:


(48)

Gambar 4. Kerangka Pikir Sumber: Peneliti, 2013

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional dan PP Nomor

19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional

Pendidikan

Permendiknas Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar

dan Menengah Hal-hal yang mempengaruhi: Karakteristik Masalah, Daya Dukung Peraturan, dan Lingkungan Kebijakan

Implementasi Kebijakan RSBI Implementasi Kebijakan RSBI:

:

SMAN 68 Jakarta SMAN 81 Jakarta

Komparasi implementasi kebijakan RSBI di Propinsi DKI Jakarta

Masalah mutu pendidikan di

Indonesia

Kendala-kendala


(49)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah metode penelitian yang memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasar perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan sosial manusia. Penelitian kualitatif merupakan proses penelitian yang bertujuan memahami suatu masalah kemanusiaan yang didasarkan pada penyusunan suatu gambaran yang kompleks dan menyeluruh menurut pandangan yang rinci dari para informan serta dilaksanakan di tengah setting alamiah.

Bogdan dan Taylor (1992) dalam Basrowi dan Suwandi (2008:1) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang pemecahan masalahnya dilakukan dengan menggunakan data empiris.

Alasan digunakannya pendekatan ini adalah karena penelitian ini ingin lebih memahami secara lebih mendalam mengenai implementasi kebijakan yang


(50)

dilakukan oleh pemerintah dalam bidang pendidikan yang berupa kebijakan RSBI dalam rangka mewujudkan tujuan dan amanat yang terkandung dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Selain itu, penelitian ini juga disusun dengan sifat kontekstualisasi, maksudnya penelitian ini hanya dapat dilakukan pada fenomena ini saja dan tidak dapat dipakai secara generalisasi seperti pada penelitian kuantitatif.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis studi kasus. Studi kasus adalah suatu pendekatan untuk mempelajari, menerangkan, atau menginterpretasi suatu kasus dalam konteksnya secara natural tanpa adanya intervensi dari pihak luar. Jenis penelitian ini akan segera berlaku jika terdapat pertanyaan mengenai bagaimana (how) dan mengapa (why). Kecenderungan dalam studi kasus ini adalah bahwa studi ini berusaha untuk menyoroti suatu keputusan atau seperangkat keputusan, dan mengapa keputusan tersebut diambil, bagaimana pelaksanaannya, dan apakah hasilnya.

Alasan digunakannya jenis penelitian studi kasus adalah karena metode penelitian yang digunakan merupakan metode penelitian deskriptif, dimana metode kualitatif ini dalam pelaksanaannya dapat dilakukan melalui studi kasus maupun studi komparasi. Berdasarkan hal tersebut, jenis penelitian studi kasus ini dipilih juga karena sifat kecenderungannya yang biasa memperhatikan permasalahan mengenai mengapa suatu kebijakan diambil dan bagaimana pelaksanannya, karena dalam penelitian ini yang ingin diteliti adalah bagaimana implementasi kebijakan RSBI yang telah diterapkan di beberapa sekolah yang terdapat di Propinsi DKI Jakarta.


(51)

Dalam penelitian ini, terdapat desain penelitian yang digunakan, yaitu desain multikasus. Desain multikasus digunakan pada saat kasus yang digunakan dalam suatu penelitian ada lebih dari satu. Oleh karena itu, desain ini banyak digunakan dalam studi komparatif. Dalam penelitian ini, objek yang akan diteliti ada dua, yaitu implementasi kebijakan RSBI di SMA Negeri 68 dan SMA Negeri 81 Jakarta yang pada akhirnya nanti akan dibandingkan berdasarkan indikator-indikator yang telah ditentukan.

B. Fokus Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, fokus kajian penelitian dan atau pokok soal yang hendak diteliti mengandung penjelasan dimensi-dimensi apa yang menjadi pusat perhatian serta yang kelak akan dibahas secara mendalam dan tuntas. Adapun fokus penelitian dalam penelitian ini adalah:

1. Impementasi kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional di SMA Negeri di Propinsi DKI Jakarta yang dapat dilihat dari beberapa variabel, antara lain:

a. Variabel Bebas:

1) Karakteristik masalah atau tingkat kesulitan masalah yang harus dipecahkan melalui implementasi suatu kebijakan. Indikatornya adalah ketersediaan teknologi dan teori teknis, keragaman perilaku kelompok sasaran, sifat populasi, dan derajat perubahan perilaku yang diharapkan.

2) Daya dukung peraturan atau kemampuan kebijakan dalam merespon masalah yang akan dipecahkan. Indikatornya adalah kecermatan dan


(52)

kejelasan tujuan-tujuan yang akan dicapai, keterandalan teori kausalitas yang diperlukan, ketetapan alokasi sumber dana, keterpaduan hierarki di dalam lingkungan pelaksana, aturan-aturan pembuat keputusan dari badan-badan pelaksana, kesepakatan para pejabat terhadap tujuan yang termaktub dalam undang-undang, dan akses formal pihak-pihak luar.

3) Variabel lingkungan yang mempengaruhi implementasi. Indikatornya adalah kondisi sosial, ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok masyarakat, dan kesepakatan serta kemampuan kepemimpinan para pejabat pelaksana. b. Variabel Terikat

Variabel terikat dalam implementasi kebijakan menurut Mazmanian dan Sabatier ada lima, yaitu output kebijakan badan pelaksana, kesediaan kelompok sasaran mematuhi output kebijakan, dampak nyata output kebijakan, dampak output kebijakan sebagaimana yang dipersepsikan, dan perbaikan kebijakan tersebut.

2. Kendala-kendala dalam implementasi kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di Propinsi DKI Jakarta dilihat dari identifikasi dan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan.

C. Unit Analisis dan Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian merupakan tempat dimana peneliti melakukan penelitian dalam rangka mendapatkan data-data penelitian yang akurat. Lokasi yang diambil dalam penelitian ini ditentukan dengan sengaja (purposive), sesuai dengan judul dari


(53)

penelitian ini, yaitu “Implementasi Kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (Studi Komparasi di Propinsi DKI Jakarta)”, maka lokasi dari penelitian ini adalah Propinsi DKI Jakarta.

Pemilihan lokasi dilandaskan atas dasar pemikiran bahwa di Indonesia, Pulau Jawa menjadi salah satu pulau yang sangat pesat perkembangannya diberbagai bidang dalam rangka pembangunan. Oleh karena itu, peneliti mengambil lokasi di Ibukota Indonesia yaitu DKI Jakarta sebagai perwakilan dari Pulau Jawa yang sekaligus merupakan pusat pembangunandan pemerintahan, dimana dalam hal ini sudah sering sekali Jakarta dijadikan sebagai pembanding suatu implementasi kebijakan dalam sebuah studi komparasi.

Dalam meneliti kebijakan RSBI, peneliti secara sengaja memilih Kota Administrasi Jakarta Timur dan Kota Administrasi Jakarta Pusat sebagai lokasi strategis penelitian. Pemilihan Kota Administrasi Jakarta Timur dilandasi dengan fakta bahwa koordinator pelaksana kebijakan RSBI untuk wilayah DKI Jakarta terdapat di Kota Administrasi Jakarta Timur. Sehingga dengan sengaja, peneliti memilih Kota Administrasi Jakarta Timur sebagai lokasi penelitian dari sebuah penelitian yang berjudul “Implementasi Kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (Studi Komparasi di Propinsi DKI Jakarta)”.

Sedangkan pemilihan Kota Administrasi Jakarta Pusat sebagai objek yang akan dibandingkan dalam penelitian ini dilakukan dengan sengaja juga karena menyesuaikan dengan pengambilan lokasi pertama yang didasari atas pentapan RSBI pada awal dikeluarkannya keputusan tentang RSBI tersebut.


(54)

Dengan mempertimbangkan hal tersebut di atas, maka penelitian ini akan dilakukan di:

1. Dinas Pendidikan Propinsi DKI Jakarta

Alasan pemilihan lokasi ini adalah karena Dinas Pendidikan yang merupakan salah satu pihak yang berkaitan erat dengan kebijakan RSBI secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan wewenang kepada pihak Sudin untuk mengatur dan mengawasi berjalannya kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah tersebut.

2. SMA Negeri 68 dan SMA Negeri 81 Jakarta

Alasan pemilihan kedua SMA tersebut adalah karena masing-masing sekolah telah mengimplementasikan kebijakan RSBI sejak tahun 2006 hingga tahun 2012. Pilihan ini didasari dengan alasan peneliti ingin melihat bagaimana implementasi kebijakan RSBI di sekolah tersebut.

Kedua SMA tersebut jika dilihat secara luas memiliki banyak sekali persamaan maupun perbedaan, namun dalam penelitian ini dipilihnya lokasi tersebut justru dikarenakan adanya kedua hal tersebut agar dapat lebih jelas dalam membandingkan bagaimana implementasi kebijakan tersebut.

D. Sumber Data

Dalam memecahkan suatu masalah yang akan diteliti, diperlukan adanya data-data yang menunjang. Data-data-data ini kemudian diolah melalui sejumlah langkah. Pertama-tama dilakukan penyeleksian terhadap data dilakukan berdasarkan pada dasar-dasar kebenaran dan bobot data tersebut. Kemudian data-data tersebut dikualifikasikan berdasarkan masalah yang akan dibahas. Oleh karena itu,


(55)

terdapat dua jenis data dalam penyusunan penelitian ini, kedua jenis tersebut adalah sebagai berikut:

1. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari informan atau objek penelitian. Informan ditentukan sesuai dengan masalah penelitian. Informan dalam penelitian ini berasal dari Dinas Pendidikan, SMA Negeri 68 dan SMA Negeri 81 Jakarta.

2. Data sekunder

Selain menggunakan data primer, penelitian ini juga menggunakan data sekunder. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari sumber lain, biasanya didapatkan dari berbagai jenis publikasi untuk mendukung data primer. Data sekunder dalam penelitian ini dapat diperoleh dari sumber pustaka seperti buku, dokumen-dokumen pihak terkait, maupun sumber dari media lain yang dapat menunjang kelengkapan data penelitian agar penelitian ini dapat berjalan akurat dan sesuai dengan kenyataannya.

E. Teknik Pengumpulan Data

Sesuai dengan bentuk pendekatan penelitian kualitatif dan sumber data yang akan digunakan, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan analisis dokumen, observasi dan wawancara. Metode pengumpulan data yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian kualitatif pada umumnya menggunakan teknik observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Atas dasar konsep tersebut, maka ketiga teknik pengumpulan data di atas digunakan dalam penelitian ini. Ketiga teknik pengumpulan data tersebut adalah sebagai berikut:


(56)

1. Observasi

Dalam penelitian ini, teknik observasi digunakan untuk memperkuat data, terutama implementasi kebijakan RSBI. Dengan demikian hasil observasi ini sekaligus untuk mengkonfirmasi data yang telah terkumpul melalui wawancara. Observasi ini digunakan untuk mengamati secara langsung dan tidak langsung tentang bagaimana implementasi kebijakan RSBI.

2. Wawancara

Wawancara yang dilakukan dengan dua bentuk, yaitu wawancara terstruktur dan wawancara tak terstruktur. Dalam penelitian ini wawancara digunakan untuk mengadakan komunikasi dengan pihak terkait atau subjek penelitian, antara lain Dinas Pendidikan, SMA Negeri 68 dan SMA Negeri 81 Jakarta. Oleh karena itu, wawancara ini akan dilakukan kepada informan yang berkaitan dengan implementasi kebijakan RSBI, yaitu sebagai berikut:

a. Dinas Pendidikan Propinsi DKI Jakarta

b. SMA Negeri 68 Jakarta dan SMA Negeri 81 Jakarta 1. Kepala Sekolah

2. Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum 3. Guru

4. Perwakilan siswa 3. Dokumentasi

Teknik dokumentasi adalah mencari data mengenai hal yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, dan sebagainya. Teknik dokumentasi ini dilakukan untuk menunjang proses penelitian, dimana tidak semua hal dapat diketahui hanya dengan observasi dan wawancara saja.


(57)

Tabel 3. Dokumentasi Penelitian

No. Nama Dokumen Substansi

1. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional 2. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

Nomor 78 Tahun 2009 Penyelenggaraan Internasional pada Jenjang Pendidikan Sekolah Bertaraf Dasar dan Menengah

3. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun

2010 Pengelolaan Pendidikan dan Penyelenggaraan 4. Pedoman Pelaksanaan RSBI Penjelasan dan Panduan pelaksanaan

RSBI 5. Surat Keputusan Direktur Pembinaan

Sekolah Menengah Atas Nomor: 564.a/C4/MN/2007

Penetapan Sekolah Penyelenggara Program Rintisan Sekolah Menengah Atas Bertaraf Internasional (SMA BI) 6. Silabus dan Rancangan Pelaksanaan

Pembelajaran Rencana pembelajaran yang dibuat sesuai KTSP untuk masing-masing mata pelajaran

7. Kurikulum Cambridge Peraturan dan contoh pembelajaran untuk kurikulum Cambridge, contoh soal, dan ketentuan untuk mengikuti A/AS Level Sumber: Data diolah Peneliti, 2013

F. Analisa Data

Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2009:246) mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh.

Gambar 5. Komponen dalam Analisis Data (Interactive Model) Sumber: Sugiyono (2009:247)

Data Collection Data Reduction Conclusions Data Display


(1)

123

9. Kendala internal yang dihadapi kedua sekolah RSBI yang diteliti dalam proses implementasi kebijakan RSBI pada dasarnya adalah sama, yaitu terkait anggaran dari pemerintah. Hal ini berdampak pada adanya pungutan SPP yang dilakukan oleh pihak sekolah dalam rangka menunjang fasilitas yang akan diberikan kepada para siswa. Hal ini pula yang saat ini menjadi penyebab adanya kendala yang kedua, yaitu dukungan publik. Dengan adanya tambahan biaya SPP di sekolah RSBI, masyarakat menganggap bahwa pihak sekolah hanya ingin mendapatkan keuntungan saja. Sehingga masyarakat menganggap sekolah RSBI hanya diperuntukkan bagi kalangan menengah keatas saja. Dengan demikian dukungan akan kebijakan ini akhirnya menjadi menurun dari yang sebelumnya antusiasme akan adanya kebijakan RSBI sangat besar dari masyarakat.

10. Kendala lainnya adalah kualitas dan kemampuan guru yang mengajar. Di dalam peraturan tercantum bahwa staf pengajar setidaknya memiliki kemampuan yang baik dalam menggunakan Bahasa Inggris sehingga dalam proses belajar-mengajar dapat diterapkan dengan baik dan dapat membuat siswa tetap memahami apa yang disampaikan oleh guru walaupun menggunakan bahasa pengantar selain Bahasa Indonesia. Kenyataannya masih banyak guru di kedua SMA tersebut yang belum menguasai Bahasa Inggris dengan baik. Pendidikan guru yang ada juga masih belum memadai dan sesuai dengan kriteria. Hal ini terjadi pada SMAN 68 dimana jumlah guru yang berpendidikan S2 belum sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Sedangkan pada SMAN 81 kuota 30% yang telah ditentukan sudah memenuhi syarat. Ditambah dengan yang saat ini sedang menempuh


(2)

jenjang pendidikan tersebut maka dapat dikatakan bahwa SMAN 81 terus meningkatkan mutu pengajar guna meningkatkan mutu pendidikan di sekolah tersebut.

11. Kendala eksternal dalam proses implementasi kebijakan RSBI adalah minimnya dukungan dari masyarakat terhadap berjalannya RSBI di kedua sekolah tersebut. Hal ini dikarenakan kurangnya pemahaman masyarakat mengenai kebijakan sehingga banyak masyarakat yang menganggap bahwa kebijakan ini tidak merata untuk seluruh lapisan dan golongan masyarakat. 12. Berdasarkan implementasi kebijakan RSBI di kedua sekolah, dapat

dikatakan bahwa implementasi kebijakan RSBI di SMAN 81 Jakarta Lebih baik dan berjalan lebih baik dibandingkan dengan SMAN 68 Jakarta.

13. Melihat implementasi kebijakan RSBI yang terhitung telah berlangsung selama kurang lebih enam tahun tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa kebijakan RSBI pada dasarnya belum siap diterapkan di sekolah-sekolah yang ada di Indonesia, sehingga dilihat dari berbagai sisi dan sudut pandang masih banyak sekali kekurangan yang ditemukan.

B. Saran

Saran yang dapat diberikan oleh peneliti dalam penelitian implementasi kebijakan RSBI ini adalah sebagai berikut:

1. Pemerintah Propinsi DKI Jakarta harus mengutamakan pendidikan dengan cara membuat sebuah kebijakan pengganti yang harus dirancang dengan matang dan telah tersusun anggaran dengan cukup detail sehingga sesuai bagi setiap sekolah untuk dapat menggunakan dana yang telah disediakan


(3)

125

tersebut dengan sebaik-baiknya dalam rangka menjalankan setiap kegiatan yang ada di sekolah.

2. Pihak sekolah juga harus memanajemen anggaran dengan baik sehingga sebisa mungkin pihak sekolah tidak perlu membebani para siswa dengan biaya yang mahal agar siapa saja dan berasal dari kalangan mana saja tetap dapat mewujudkan cita-cita dan meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. 3. Pemerintah bersama dengan pihak sekolah harus mengadakan sosialisasi dan

penjelasan dalam bentuk apapun mengenai kebijakan apapun yang nantinya akan menggantikan kebijakan RSBI ini agar nantinya kebijakan yang baru tersebut tidak dipandang menyimpang dari Pancasila dan dapat memuaskan keinginan masyarakat serta dapar dipergunakan dalam jangka waktu yang cukup lama.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Agustino, Leo. 2012. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Alfabeta: Bandung.

Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Rineka Cipta: Jakarta.

Indiahono, Dwiyanto. 2009. Kebijakan Publik Berbasis Dynamic Policy Analysis. Gava Media: Yogyakarta.

Indiahono, Dwiyanto. 2009. Perbandingan Administrasi Publik. Gava Media: Yogyakarta.

Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press): Jakarta.

Masyhuri dan M. Zainuddin. 2008. Metodologi Penelitian: Pendekatan Praktis dan Aplikatif. PT Refika Aditama: Bandung.

Purwanto, Erwan Agus dan Dyah Ratih Sulistyastuti. 2012. Implementasi Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Gava Media: Yogyakarta.

Putra, Fadillah. 2003. Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Salim, Agus. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. PT Tiara WacanaYogya: Yogyakarta.

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta: Bandung.


(5)

127 Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar. 2009. Metodologi Penelitian Sosial.

Bumi Aksara: Jakarta.

Wahab, Solichin Abdul. 2005. Analisis Kebijaksanaan: dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Bumi Aksara: Jakarta.

Winarno, Budi. 2007. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. PT Buku Kita: Jakarta.

Sumber Lain

http://datakesra.menkokesra.go.id/content/hdi-indonesia-2011/, diakses pada tanggal 23 Oktober 2012

http://id.wikipedia.org/wiki/Indeks_Pembangunan_Manusia/, diakses pada tanggal 21 Oktober 2012

http://www.thejakartapost.com/news/2011/11/02/indonesia-ranks-124th-2011-human-development-index.html/, diakses pada tanggal 23 Oktober 2012

http://www.mitrainvestor.com/blog/2013/03/18/human-development-index-indonesia-nomor-121-tingkat-dunia/, diakses pada 20 April 2013

Peraturan

Pedoman Pelaksanaan Kurikulum Cambridge Tahun 2012

Pedoman Pelaksanaan RSBI oleh Direktorat Jenderal Mandikdasmen, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 61 Tahun 2007 tentang Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional


(6)

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan

Surat Keputusan Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Atas Nomor 564.a/C4/MN/2007 tentang Penetapan Sekolah Penyelenggara Program Rintisan Sekolah Menengah Atas Bertaraf Internasional (SMA BI)


Dokumen yang terkait

IMPLEMENTASI PROGRAM RINTISAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (SBI) (Studi Pelaksanaan Rintisan SBI di SMA Negeri 1 Surakarta)

1 17 128

KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH PADA RINTISAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH PADA RINTISAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (Studi situs di SMP Negeri 1 Ungaran).

0 0 15

PENGELOLAAN RINTISAN SEKOLAH BERTARAF PENGELOLAAN RINTISAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL ( Studi Pelaksanaan Rintisan SBI SMA Negeri 1 Boyolali).

0 1 11

BUDAYA BELAJAR MATEMATIKA SISWA RINTISAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL Budaya Belajar Matematika Siswa Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (Studi Etnografi Di SMPN2 Rintisan Sekolah Bertaraf Internasioanl Demak).

0 3 16

PENDAHULUAN Budaya Belajar Matematika Siswa Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (Studi Etnografi Di SMPN2 Rintisan Sekolah Bertaraf Internasioanl Demak).

0 4 7

BUDAYA BELAJAR MATEMATIKA SISWA RINTISAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL Budaya Belajar Matematika Siswa Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (Studi Etnografi Di SMPN2 Rintisan Sekolah Bertaraf Internasioanl Demak).

0 1 16

IMPLEMENTASI PROGRAM RINTISAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (SBI) (Studi Pelaksanaan Rintisan SBI di SMP Negeri 4 Surakarta).

0 0 18

Implementasi Program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (Sbi) (Studi Pelaksanaan Rintisan Sbi Di Smp Negeri 4 Surakarta) cover

0 1 18

Implementasi program rintisan sekolah bertaraf internasional (rsbi) di sma negeri 1 Karanganyar

1 1 129

Analisis implementasi program rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) di SMA Negeri 1 Salatiga

1 1 116