Fungsi-fungsi Hadis terhadap Alquran

kepada sunah yang mereka ketahui atau menanyakan Hadis kepada sahabat yang lain. 87 d. Hadis Mu’az secara tegas menyatakan urutan kedudukan antara Alquran dan Hadis sebagai berikut: ََ سر َوأ - ملسو هيلع َ لص - اق نميْلا لإ اًااعم ثعْ ي ْوأ ارأ اَمل ذ ٌءا ق كل رع ااإ ْق فْيك د . ََ ا ك ْقأ اق . اق ذ ْوإف ََ ا ك ف ْدج ْمل د . ََ سر َنس ف اق - ملسو هيلع َ لص .- اق ذ ََ سر َنس ف ْدج ْمل ْوإف - ملسو هيلع َ لص - ََ ا ك ف َو د . لآ َو يْأر د ْجأ اق . ََ سر ر ف - ملسو هيلع َ لص - رْدص اقو ذ ََ سر ضْري امل ََ سر سر قَفو ى َلا َ دْم ْلا د . يمرادلاو يئاسنلا مر لاو وا أ اور . 88 Bahwasanya tatkala Rasulullah mengutus Mu‟az ibn Jabal ke Yaman, beliau bertanya kepada Mu‟az, “Bagaimana engkau memutuskan perkara jika diajukan kepadamu?” maka Mu‟az menjawab, “Aku akan memutuskan berdasarkan kitab A llah Alquran” Rasul bertanya lagi, “Apabila engkau tidak menemukan jawabannya di dalam kitab Allah?” Mu‟az menjawab, “Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku.” Rasul menepuk dada Mu‟az seraya berkata, “Alhamdulillah atas taufik yang telah dianugrahkan Allah kepada utusan Rasul- Nya.” Argumen di atas mejelaskan bahwa kedudukan Hadis Nabi saw., berada pada peringkat kedua setelah Alquran. Meskipun demkian, hal tersebut tidaklah mengurangi nilai Hadis, karena keduanya sama-sama berasal dari wahyu Allah swt. Karenanya keduanya adalah seiring dan sejalan. Dan dengan banyaknya ayat yang menjelaskan dan memerintahkan agar kita bersikap patuh dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya, kepatuhan kepada Rasul saw., merupakan bukti atas kepatuhan kepada Allah swt. 89

II.2. Fungsi-fungsi Hadis terhadap Alquran

87 Ibid. Muhammad Khu ḍari, Uṣul al-Fiqh Kairo: Maktabah at-Tijariyyatal-Kubra, 1969, h.241-242. 88 Abu Dawud Sulaiman ibn Asy- Sya’ats as-Sijistani, Sunan Abu Dawud Beirut: Dảr al- Fikr,1994, juz 3. h. 295; At- Tirmiżi, Sunan at-Tirmiżi, juz 3. h. 62; an-Nasảḭ, Sunan an-Nasảḭ, juz 8. h. 244; ad-D ảrimḭ, Sunan ad-Dảrimḭ, juz I. h. 60. 89 Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h. 65. Ditinjau dari segi fungsi, bahwa Hadis berfungsi sebagai penjelas Alquran. Sebagai contoh penjelasan teks Alquran tentang salat dan zakat. Alquran hanya menyebutkan sebatas anjuran secara garis besar menyangkut wajibnya setiap muklaf melakukan ibadah salat dan mengeluarkan zakat. Sementara menyangkut detail operasional pelaksanaan salat dan zakat tidak membicarakannya lebih banyak. Dalam kaitan ini teks Hadis banyak memberikan penjelasan, misalnya tentang jumlah salat yang wajib dilaksanakan, jumlah jenis-jenis salat yang disunahkan, jumlah bilanga rakaat masing-masing dan lain-lain. 90 Barangkali, karena besarnya peran Hadis dalam menjelaskan pokok-pokok Alquran. Dengan cara apa pun yang menyempurnakan penjelasan tersebut menjadi penyebab bagi sebagian ulama dahulu menetapkan bahwa Hadis bersifat menghukumi menentukan Alquran. Al- ‘Auza’i bahkan sampai berkata: “Alquran lebih membutuhkan Hadis, daripada kebutuhan Hadis terhadap Alquran ”. 91 Begitu urgennya keberadaan Hadis pada setiap aspek dalam Islam. Tidak mungkin seorang memahami agama semata-mata dengan Alquran tanpa Hadis. Melihat bahwa fungsi utama Hadis adalah sebagai bayan penjelas terhadap Alquran, maka tidak mungkin seorang dapat mengamalkan hukum dalam Alquran tanpa mengetahui penjelasan detail oprasionalnya. penjelasan itu hanya dapat dijelaskan oleh Hadis. Sebagian dari ayat-ayat Alquran, memang terdapat ayat-ayat yang tidak dimengerti tafsir ataupun ta’wilnya kecuali setelah mendapatkan penjelasan Rasul saw. Seperti perincian terhadap aspek wujuh perintah dan larangan atau mengenai batasan maq ảdir dari hukum-hukum yang difarḍukan oleh Allah swt. 92 Mengenai Hadis-hadis yang menafsirkan Alquran, berkenaan dengan Hadis- hadis tafsir, maka tidak meragukan lagi bagi setiap orang yang meneliti kitab- kitab Sunan bahwa Hadis-hadis itu kebanyakan adalah mantap kedudukannya, sebagian memalui saluran yang benar tanpa diragukan. Imam Abu Ja’far Aṭ- 90 Abu Yasid, Nalar dan Wahyu,…, h. 37. 91 Subhi a ṣ- alih, Membahas Ilmuilmu Hadis Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2013, h. 272. 92 Said Agil, h. 67. abari mengatakan dalam tafsirnya, sebenarnya termasuk yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya dalam Alquran itu ada yang mengantarkan kita kepada pengetahuan tentang interpretasinya kecuali dengan keterangan dari Rasul saw. Dan itu meliputi interpretasi tentang semua yang termuat di dalamnya, dari sudut perintah-Nya, larangan-Nya, anjuran-Nya dan petunjuk-Nya, dan seterusnya. 93 Alquran menjelaskan hukum syar’i secara kulli, sedangkan Hadis itu menjelaskan hukum-hukumnya secara rinci. Menurut Imam Malik, kita memerlukan Hadis bukan karena ia merupakan sumber hukum kedua setelah Alquran, tetapi Hadis itu menafsirkan Alquran, yaitu menafsirkan terhadap ayat- ayat yang mujmal. Imam Malik merupakan Imam di kalangan muhaddisin, sebagaimana pula beliau Imam dalam bidang fiqih. Hadis menurut Imam Malik mengandung tiga pokok yaitu, mentaqrirkan hukum, tabyin Alquran, dan tajdid al-ahkam. Az-Zarkasyi membagi kandungan Alquran menjadi dua bagian, yaitu: 1. Bagian yang tafsirnya dikemukakan memalui naql. Yaitu, ada yang langsung dari Nabisaw., ada yang dari sahabat, dan ada pula dari tabi’in. 2. Bagian yang tidak disebutkan tafsirnya. Dalam Al Burhan Az- Zarkasyi berkata, “Dari mereka yang hendak menyusun tafsir Alquran tersedia banyak sumber yang dapat digunakannya. Diantaranya ada empat yang merupakan induknya, salah stu daripadanya adalah dengan jalan mengutip naqal sabda Nabi saw. Cara ini merupakan metode yang lazim. Akan tetapi dalam menggunakan metode ini, hendaklah berhati-hati terhadap hadis daif dan mau ḍu‟. 94 Memang dalam Hadis terdapat kerawanan yang tidak terdapat dalam Alquran, yakni kemungkinan pemalsuan yang tidak sedemikian gampang diawasi. Oleh karena itu, beberapa tokoh Islam kurang simpatik terhadap Hadis. Itu pulalah sebabnya Imam Abu Hanifah yang tinggi di Irak lebih condong untuk menggunakan rasio penalaran intelektual daripada menyandarkan diri kepada 93 Mus ṭafa As-Siba’i, Sunah dan Perannya dalam Penetapan Syari‟at Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991, h. 191-192. 94 Ibid, h. 312. Hadis. Demikian juga Muhammad Abduh dalam keadaan tertentu menafsirkan Alquran memenangkan rasio ketimbang Hadis. 95 Mengenai penafsiran Alquran terdapat perbedaan paham. Apakah sembarang orang boleh melakukannya atau tidak?. Segolongan berpendapat bahwa tidak seorangpun diperkenankan memberikan tafsiran apapun tentang Alquran. Walaupun yang bersangkutan memiliki pengetahuan, berakhlak yang luhur, luas ilmunya dalam menggunakan dalil-dalil, fiqaih, nahwu, Hadis, dan a ṡar. Ia hendaknya mencukupkan diri dengan apa yang telah diriwatkan dari Nabi saw. 96 Betapapu pandangan ini berbeda dengan pandangan yang mu’tamad, namun di dalamnya tersirat dalil bahwa memang ada a ṡar-aṡar tentang penafsiran. Fakta ini tidak dianggap sepia tau dipungkiri oleh ulama manapun. Bagaiman pula dapat dipungkiri, Asy- Syafi’i dalam kitab Mukhtaṣar Al-Buwaiṭi, telah mengemukakan bahwa hanya boleh menafsirkan ayat-ayat mutasyabih dengan bersandar kepada Hadis Nabi saw, atau khabar salah seorang sahabat atau ijmak ulama. Memang benar bahwa tafsir yang dinukil manqul dari Nabi jumlahnya kurang dari yang gairu manqul. Demikian pula yang sahih tidak sebanyak yang tidak sahih. Akan tetapi hal seperti ini jangan dijadikan alasan untuk meragukan keseluruhannya. 97 Seperti halnya Imam Ahmad yang menyebutkan tentang hadis tafsir, bahwa seolah- olah Imam Ahmad menganggap tafsir, sya’ir dan peperangan tidak mempunyai snadaran tidak tegas penafsirannya. Namun, hal ini dapat ditinjau dari empat sudut pandang: 1. Mengenai masalah kesahihan, Imam Ahmad sendiri dalam Musnad-nya telah menyebutkan banyak Hadis mengenai tafsir. Bagaimana mungkin beliau meriwayatkan Hadis ini, serta mengukuhkan tokoh-tokoh dalam sanadnya, sambil menetapkan bahwa tidak ada satupun hadis tafsir yang sahih. Tidak masuk akal pula apabila Imam Ahmad menolak semua 95 Zafran Rahman, Kajian Sunah Nabi...,h. 126. 96 Musthafa As- Siba’I, Hadis Sebagai Sumber Hukum…, h. 309-310. 97 Ibid, 310. riwayat mengenai aneka peristiwa, termasuk perjuangan bersenjata yang pernah dilakukan kaum muslimin. 98 2. Mengenai penolakan kesahihan tidak harus berarti menentukan palsu atau daif. Khusus mengenai Imam Ahmad telah diketahui bahwa, penolakan terhadap kesahihan Hadis, tidak mengimplikasikan ia menolak penggunaan Hadis tersebut sebagai hujah. Hal ini dapat dijelaskan, mengenai istilah tidak sahih, bagi Imam Ahmad mempunyai arti tersendiri. Dalam banyak hal hadis ini dikatakan tidak sahih atau hadis ini tidak mantap, dan mereka yang tidak mengetahui duduk perkaranya dengan cepat menganggap Hadis tersebut daif atau palsu. Keputusannya ini disebabkan karena ia tidak menguasai mus ṭalah hadisnya atau tidak mengetahui dengan jelas. 99 3. Imam Ahmad tidak pernah berkata bahwasanya Hadis tafsir itu tidak ada stupun yang sahih. Ia hanya mengatakan bahwa ada tiga hal yang tidak mempunyai dasar. Ia menolak kitab-kitab tertentu yang membahas tafsir, syair dan magazi. Ucapan Imam Ahmad itu menunjukkan keberatannya terhadap kitab-kitab tertentu dalam tiga bidang tersebut. Sebagai contoh Al Bagdadi menunjuk kepada dua buah kitab yaitu, karya Al Kalbi dan Munqatil bin Sulaiman. Mengenai tafsir Al Kalbi, Imam Ahmad berkata, “Sejak permulaan sampai akhir tafsir yang dddimuat dalam kitab ini dusta semata dan tidak selayaknya dijadikan reference. 100 4. Banyak ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksud Imam Ahmad mengenai hal tersebut, ialah hadis tafsir yang sahihnya yang sedikit disbanding yang tidak sahih. Ringkasnya tentang kesahihan hadis tafsir yang disandarkan kepada Imam Ahmad tidaklah relevan. Pandangannya itu digugurkan oleh ṡubutnya hadis tafsir yang termuat dalam kitab induk hadis sahih, seperti Bukhari, Muslim, 98 Ibid. 99 Ibid, h. 310-311. 100 Ibid, 311. Muwatta’, Turmuzi, bahkan digugurkan pula oleh Hadis-hadis yang terkandung dalam Musnad Ahmad bin Hanbal sendiri. 101 Selain yang demikian As-Suyu ṭi melukiskan ucapan Ibnu Taimiyah mengenai hadis tafsir, “Alhamdulillah, ternyata banyak hadis tafsir yang dapat diterima kesahihannya. 102 Dalam menafsirkan Alquran, Abu Hayyan, pengarang kitab Al-Muhi ṭ, berkenaan dengan syarat-syarat yang diperlukan seorang penafsir, mengatakan: yang keempat ialah menjelaskan mana yang samar, dan merinci mana yang bersifat garis besar, mengetahui tentang sebab musabab turunnya ayat dan tentang nasikh-mansukh. Itu semua harus diambil dari penuturan sahih dari Rasulullah saw., dan ini termasuk ilmu Hadis. 103 Dalam menafsirkan Alquran terdapat beberapa metode cara yang digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran yaitu: 104 1. Menafsirkan Alquran dengan Alquran. 2. Menafsirkan Alquran dengan Hadis, tetapi harus menghindari riwayat- riwayat yang daif dan palsu. 3. Menafsirkan Alquran dengan pendapat para sahabat, hasil penafsirannya sederajat dengan riwayat yang marfu‟ kepada Nabi. 4. Menafsirkan ayat Alquran dengan berdasarkan kemutlakan bahasa Arab, sebab Alquran diturunkan dengan menggunakan lisan Arab. Metode yang keempat ini diakui oleh sekelompok ulama. Menafsirkan lafal harus sesuai dengan pengertian yang diberikan oleh bahasa Arab dan penggunaannya yang sesuai dengan kaidahnya dan balagah Alquran yang menjadi mukjizat. 105 Disamping itu, ada lafal-lafal yang digunakan dalam bentuk majas dan musytarak ‘kombinasi’, yang menujukkan lebih dari satu makna dan lainnya. 101 Ibid. 102 Ibid. 103 Ibid. h. 192. 104 Muhammad Bin Alami Al-Maliki Al-Hasani, Zubdah Al Itqan fi Ulum Alquran, Inti Sari Kitab Al Itqan fi Ulum Alquran As-Suyu ṭi 105 Qar ḍawi, Berinteraksi..., h. 334. Memilih satu makna dari makna-makna lainnya membutuhkan ketelitian dan perenungan yang mendalam terhadap kalam Allah. 106 5. Menafsirkan dengan cara mempertimbangkan konteks kalimat. Memperhatikan konteks ayat di tempatnya dalam Alquran dan konteks kalimat ditempatnya dalam ayat. Ayat itu harus dikaitkan dengan konteksnya yang ada. Ia tidak boleh diputus hubungannya dengan yang sebelumnya dan yang sesudahnya. Petunjuk konteks ini membantu untuk memperjelas sesuatu yang global dan menentukan kemungkinan tidak adanya makna yang lain selain yang dikehendaki, mengkhususkan yang umum, mengikat yang mutlak, dan keberagaman pengertian. 107 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Muqaddimah fi U ṣṵl at-Tafsir, “Cara penafsiran yang paling sahih adalah Alquran menafsirkan Alquran. Apa yang dimaksud secara ijmal pada satu tempat diperinci pada tempat lain, dan apa ya ng disebut secara simple pada satu tempat dijelaskan pada tempat lain. Jika engkau tidak menemukan itu, maka engkau mengambil sunah karena ia adalah penjelas Al quran. Bahkan Imam Syafi’i berkata bahwa seluruh apa yang dihukumkan kepada Rasulullah saw., adalah dari apa yang beliau dapat dari Alquran. 108 Allah berfirman: نينئاخْلل ْنك َو ََ كارأ ام ساَنلا نْي مكْ ل ِق ْلا ا كْلا كْيلإ انْلزْنأ اَنإ اًميصخ . ءاسنلا : 105 “Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang orang yang tidak bersalah karena membela orang yang khianat.” QS. An-Nisa’: 105. Seiring perkembangan zaman, demikian juga terhadap metode penafsiran yang juga berkembang hingga melahirkan bentuk dan corak tafsir yang beragam. Mengenai metode-metode penafsiran, yang dikenal sekarang adalah metode tahlili, ijmali, muqaran, dan maudu’i. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa metode yang paling sahih dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran adalah 106 Ibid. 107 Ibid, h. 243. 108 Qar ḍawi,Berinteraksi ..., h. 323. dengan menafsirkannya dengan ayat lainnya. Jika tidak ditemukan maka menafsirkannya dengan Hadis, metode ini tepatnya saat sekarang disebut dengan corak bil ma‟ṡur. Tafsir bil ma‟ṡur adalah merupakan tafsir yang paling baik bila sanadnya benar-benar berasal dari Nabi saw. Ibnu Ka ṡḭr berkata, “sesungguhnya kebanyakan tafsir bil ma’ṡur telah banyak terpengaruh oleh perawi-perawi Zindik, Yahudi, Parsi, dan ahli kitab yang masuk Islam. Karena itu perlu penyelidikan dari segi perawinya. 109 Disamping Rasulullah tidak menafsirkan seluruh ayat-ayat Alquran. Dalam hal ini terdapat dua pendapat, pertama, mereka yang sepakat bahwa Rasul saw., menafsirkan seluruh ayat-ayat Alquran. Pendapat ini diwakili oleh Ibnu Taimiyah. Kedua, mereka yang berpendapat bahwa Rasul saw., hanya menjelaskan sedikit saja dari makna Alquran. Artinya Rasul saw., tidak menafsirkan seluruh Ayat-ayat Alquran. Pendapat ini didukung oleh Khuwaibi dan As-Suyu ṭi. 110 Adz-Dzahabi juga berpegang pada pendapat kedua. Syeikh Asy- Sya’rawi berkata, “Rasulullah tidak meninggalkan penafsiran Alquran kepada kita. Seandainya beliau telah menafsirka seluruh ayat-ayat Alquran, tentunya penafsirannya harus berupa sesuatu yang dapat diterima rasio orang-orang yang berada pada masanya.bila penafsirannya berupa sesuatu yang bakal terjadi pada abad XX atau XXX atau XL, tentunya mereka kan terheran- heran. Sebab sampai sekarangpun masih ada sekelompok orang yang mengingkari bahwa bumi itu merupakan bentuk bola yang berotasi. Bila penafsirannya berupa sesuatu yang sesuai dengan kadar rasio dan pengetahuan alam orang semasanya, tentu pemikiran kita akan beku dan Alquran akan terasa kaku, sebab orang-orang yang memunculkan penafsiran baru setelah generasi Nabi saw., akan dibantah oleh penafsiran yang mengatakan bahwa Nabi saw., tidak menafsirkan seperti itu; dan memang anda tidak diberi kewenangan untuk menambah-nambah penafsiran Nabi saw., jika itu memang ada. Oleh karena itu, Rasulullah saw., membiarkan 109 Muhammad Ali A ṡ- abuniy, Studi Ilmu Alquran, terj dari, At-Tibyan fi Ulumil Alquran Bandung: Pustaka Setia, 1998, h. 256. 110 Muhammad Husei Adz-Dzahabi, Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran Alquran Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993, h. 3-4. penafsiranAlquran berkembang sesuai dengan fase-fase pemikiran umat Islam. Yang dijelaskan ini berkaitan dengan ayat-ayat yang berhubungan dengan kosmologis. Adapun ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum-hukum telah dijelaskan dan diperinci oleh Nabi saw. 111 Sahabat Nabi saw., juga mendiskusikan suatu ayat untuk menkaji kandungan maknanya yang sangat dalam. Seperti yang diriwayatka oleh Al- Bukhari melalui sanad Ubaid bin Amir ia berkata: pada suatu hai Umar bin Khattab bertanya kepada sahabat-sahabat Nabi yang lain tentang hal apa menurut pendapat kalian ayat berikut ini: 112 ا يف هل را ْن ْْا ا ْ ْنم رْج انْعأو ليخن ْنم ٌ َنج هل و ك ْوأ ْمكدحأ ُ يأ ٌران هيف ٌراصْعإ ا اصأف ءا عض ٌ َيِرا هلو ر كْلا ه اصأو اارمَثلا ِلك ْنم وورَك ْمكَلعل ااي ْاا مكل ََ نِي ي كل ك ْ قر ْحاف . رق لا : 266 . “apakah ada salah seorang diantara kamu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir dibawahnya sungai-sungai; ia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat- ayatnya kepada kamu supaya kamu memikirkannya.” QS.Al Baqarah: 266. Sahabat- sahabat menjawab: “Allah swt., lebih mengetahui maksud ayat itu”. Mendengar jawaban itu Umar marah, kemudian ia berkata: “Berkatalah kalian, tahu atau tidak mengenai ayat itu”. Ibnu Abbas berkata: “Aku mempunyai pendapat hai Amirul Mu;minin”. Umar menyahut: “Hai anak saudaraku, berkatalah dan jangan me rasa dirimu hina”. Ibnu Abbas berkata: “Ayat itu mengemukakan suatu peribahasa tentang amal perbuatan”. Umar berkata: “Peribahasa tentang seorang yang kaya melakukan ketaatan kepada Allah, kemudian Allah mengutus syetan kepadanya, lalu ia melakukan maksiat, sehingga terbakarlah amal- amal perbuatannya”. 113 111 Muhammad bin Alawi..., Zubdah..., h. 441 112 Said Agil, Alquran Membangun..., h 68. 113 Ibid. 68-69. Cukup menarik untuk diamati bahwa peran akal juga cukup memiliki tempat yang layak pada penafsiran ayat-ayat Alquran dengan menggunakan ijtihad dan menggali maknanya yang mendalam. Untuk itu maka, tidak cukup hanya memadakan penafsiran dengan Hadis saja tanpa mempertimbangkan aspek lainnya. Oleh karena itu, menafsirkan sesuai dengan kebutuhan dan tuntunan zaman berkembangnya adalah merupakan keniscayaan. 114 Akan tetapi, perkembangan penafsiran dalam memaknai ayat-ayat Alquran ini tidak berlaku pada ayat-ayat penetapan hukum. Karena kewenangan dalam penetapan hukum itu hanya hak priogatif Allah dan Rasul-Nya. Dan ini juga telah ditetapkan dalam Alquran dan Hadis. 115 Mengenai hubungan Alquran dan Hadis, Hadis berfungsi menjelaskan atau menafsirkan ayat-ayat Alquran yang membutuhkan interpretasi dari Hadis. Fungsi-fungsi Hadis ini dapat dirincikan sesuai dengan bidang pembahasan ayat- ayat tersebut. Fungsi-fungsi Hadis tersebut, sebagai berikut: 1. Menegaskan kembali keterangan atau perintah yang terdapat di dalam Alquran yang sering disebut dengan bayan takrir. Dalam hal ini Hadis datang dengan keterangan atau perintah yang sejalan dengan kandungan ayat Alquran, bahkan persis sama, baik dari segi keumumannya mujmal maupun perinciannya tafsil. 116 Bayan ini disebut juga bayan muw ảfiq atau bayan ta‟kid 117 dan bayan i ṣbat. 118 Seperti, keterangan Rasul saw., mengenai kewajiban salat, puasa, zakat, haji dan lainnya yang termuat di dalam Hadis beliau: سمخ لع مَسْا ين : ، َ سر ادم م وأو َ َإ هلإ َ وأ ا ش عاط سا نم ي لا جحو ، وا مر م صو ، اكزلا ءا يإو ، َصلا ماقإو َي س هيلإ . 114 Ibid, h. 69. 115 Ibid. 116 Ibid. 117 Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis Bandung: Ciptapustaka Media Perintis, 2011, h. 31. 118 Munzier Suparta, Ilmu Hadis, h. 58. “Dibangun Islam atas lima fondasi, yaitu: yaitu kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, membayarkan zakat, berpuasa bulan Rama ḍan, dan menunaikan haji bagi yang telah mampu. ” Hadis ini berfungsi untuk menegaskan kembali ayat-ayat berikut: ... و ضرْعم ْم ْنأو ْمكْنم ًَيلق ََإ ْم ْيَل َمث اكَزلا ا آو ََصلا ا ميقأو “ ... dan tegakkan kamulah salat dan bayar kamulah zakat.” QS. Albaqarah: 83. ْمكَلعل ْمكلْ ق ْنم ني َلا لع ك امك مايِصلا مكْيلع ك ا نمآ ني َلا ا ُيأاي و قَ . “hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu semoga kamu bertakwa.” QS. Al-Baqarah: 183. ... َي س هْيلإ عاط ْسا نم ْي ْلا ُجح ساَنلا لع َ و ... “... Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang-orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitul lah ...” QS. Ali Imran: 97. Dengan kata lain, Hadis dalam hal ini hanya mengungkapkan kembali apa yang telah dimuat dan terdapat di dalam Alquran, tanpa menambah atau menjelaskan apa yang termuat di dalam ayat-ayat tersebut. 119 2. Menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat Alquran yang datang secara mujmal, „am dan muṭlak. Seperti, penjelasan Rasul saw., tentang tata cara pelaksanaan salat: jumlah rakaatnya, waktu-waktunya. Demikian juga penjelasan beliau tentang tata cara pelaksanaan ibadah haji, zakat dan lainnya. Dalam hal ini Hadis berfungsi sebagai bayan tafsir. Fungsi Hadis sebagai penafsir terhadap Alquran dapat dibagai kepada tiga bentuk, yaitu: a. Menafsirkan serta memperinci ayat-ayat yang mujmal. Contohnya, seperti penjelasan Nabi saw., tentang tata cara pelaksanaan salat: ... ِلصأ ن م ْيأر امك ا ُلصو ... راخ لا اور 119 Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h. 71. “... Dan salatlah kamu sebagaiman kamu melihatku salat ...” HR. Bukhari Secara fi‟li hadis fi‟li Nabi saw., mendemonstrasikan tata cara pelaksanaan salat di hadapan para sahabat, mulai dari yang sekecil- kecilnya, seperti kapan dan cara mengangkat tangan ketika bertakbir, sampai kepada hal-hal yang harus dilaksanakan dan merupakan rukun dalam pelaksanaan salat, seperti membaca surat al-Fatihah, sujud, rukuk, serta jumlah rakaat masing-masing salat dan sebagainya. 120 b. Mengkhusukan takhṣiṣ ayat-ayat yang bersifat umum „am penjelasan sunah terhadap Alquran, disamping memperinci hukum yang bersifat global mujmal, juga ada yang bersifat takh ṣiṣ yaitu menghususkan keumuman ayat, seperti penjelasan Rasul saw., tentang ayat: نْييثْن ْْا ِ ح لْثم ركَ لل ْمك َْوأ يف ََ مكيص ي … ءاسنلا : 11 “Allah mewasiatkan kepadamu tentang anak-anakmu, bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan. ” Ayat di atas adalah bersifat umum, yaitu menjelaskan adanya kewarisan setiap anak terhadap orang tuanya. Kemudian Hadis menghususkannya, diantaranya bahwa keturunan Rasul anak-anaknya tidak mewarisi, sebagaimana yang dijelaskan beliau di dalam sabdanya 121 : قدص ف انكر ام ر ن َ ءاي نْا رشاعم ن ن . راخ لا اور “kami, seluruh para Nabi, tidak diwarisi, apa yang kami tinggalkan adalah sedekah. ” HR. Bukhari. Demikian juga pengkhususan terhadap anak yang membunuh orang tuanya, maka dia tidak memproleh warisan dari ayahnya yang terbunuh. اق ملس و هيلع َ لص َ سر وأ رير ي أ نع : ل اقلا ريَ Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw., bersabda, “pembunuh tidak mewarisi” HR. Ibnu Majah. 122 120 Ibid. h. 72. 121 Ibid, h. 72-73. 122 Ibid, h. 73-74 c. Memberikan batasan taqyid terhadap ayat-ayat Alquran yang bersifat mutlak. Umpamanya Hadis Nabi saw., yang memberikan penjelasan tentang batasan untuk melakukan pemotongan tangan pencuri, yang di dalam Alquran disebutkan secara mutlak, yaitu: ام يدْيأ ا عطْقاف قراَسلاو قراَسلاو … دئاملا : 38 Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya ... QS. Al-Maidah : 38. Ayat tersebut masih bersifat mutlak, yaitu belum diterangkan tentang batasan yang jelas baik dari ukuran yang dicuri dan tangan yang akan dipotong. Maka Hadis yang menjelaskan batasan tersebut. ا ش ن ا نع دعس ن مي ار إ انثدح ملسم ن َ د ع انثدح نع رمع شئاع نع : ملس و هيلع َ لص ي نلا اق ع ر يف ديلا عطق ادعاصف راني 123 Menceritakan kepada kami Abdullah ibn Maslamah menceritakan kepada kami Ibrahim ibn Sa‟d dari ibn Syihab dari „Umrah dari Aisyah: Berkata Nabi saw., Dipotong tangan yang mencuri pada seperempat dinar atau lebih. اقو ام يدْيأ ا عطْقاف قراَسلاو قراَسلاو عْطقْلا ف َنُسلا ناكف مُميَ لا نْعي واَ كْلاو هْج ْلا امَنإ نْيَ كْلا . ٌثيدح ا سيع أ اق ٌيي ص ٌنسح . 124 ... Dan firman Allah Dan pencuri laki-laki dan perempun maka potonglah tangan keduanya maka sunah pada potonan dua telapak tangan yaitu hanya satu bagian dan dua telapak tangan yaitu tayammum. Berkata Abu „Isa ini hadis hasan sahih. Kedua Hadis di atas menjelaskan kemutlakkan ayat pada surah al- Maidah ayat 38 yang tidak menjelaskan batasannya, maka kedua Hadis diatas, yang pertama menjelaskan ukuran yang dicuri sehingga berlakunya hukuman potong tangan. Dan Hadis kedua menjelaskan 123 Muslim, Sahih Muslim, juz 5, h. 112. Dalam redaksi yang agak bervariasi Hadis ini diriwayatkan juga oleh Bukhari, Sahih Bukhari, juz 6, h. 2492. Abu Daud, Sunan Abu Daud, juz 4, h. 236. An- Nasa’i, Sunan An-Nasa‟i, juz 8, h. 78. 124 At-Tirmizi, Sunan at-Tirmizi, h. 145. batasan tangan yang akan dipotong, yaitu hingga pergelangan tangan dari salah satu tangan. 3. Menetapkan hukum-hukum yang tidak ditetapkan oleh Alquran, yaitu yang disebut dengan bayan tasyri‟. Hal demikian adalah seperti ketetapan Rasulullah tentang haramya mengumpulkan menjadikan istri sekaligus antara seorang wanita dengan makciknya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Hadis beliau: 125 ا يخأ ن ا َو ا ْخأ ن ا َو ا لاخ لع َو ا َمع لع أْرمْلا يكْن َ . Tidak boleh dinikahi seorang perempuan bersama menjadi istri sekaligus dengan makcik saudara perempuan ayahnya tidak juga dengan bibi saudara perempuan ibunya dan tidak dengan anak perempuan saudara perempuannya atau anak perempuan saudara laki-lakinya. Ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Hadis di atas tidak ada di dalam Alquran. Ketentuan yang ada hanyalah larangan terhadap suami yang memadu istrinya dengan saudara perempuan sang istri, sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya 126 : ... فلس ْدق ام ََإ نْي ْخ ْْا نْي ا عمْج ْوأو ... ءاسنلا : 23 “... Diharamkan atas kamu menghimpun dalam perkawinan dua orang perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau ...” QS. An-Nisa’: 23 Terhadap fungsi Hadis yang pertama dan kedua ulama telah sepakat. Namun, terhadap fungsinya yang ketiga yaitu fungsi tasyri‟ para ulama berbeda pendapat: pertama, ada yang melihatnya sebagai hukum yang secara permulaan ditetapkan oleh Hadis, dan kedua, ada yang melihatnya sebagai hukum yang asalnya tetap dari Alquran. 127 Dalam hal ini, jumhur ulama berpendapat bahwa Rasul saw., dapat saja membuat hukum tambahan yang tidak diatur oleh Alquran. Dalam konteks ini umat Islam dituntut untuk taat kepada Rasul saw., sebagaimana taat kepada Allah 125 Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h. 75. 126 Ibid. h. 75-76. 127 Ibid, h. 76. swt. Imam Syafi’i pernah mengatakan bahwa dia tidak mengetahui ulama yang berbeda pendapat tentang fungsi Hadis, termasuk di dalamnya fungsi membuat hukum tambahan yang tidak diatur oleh Alquran. 128 Para ulama yang tidak menerima fungsi ketiga dari Hadis seperti yang disebutkan di atas, memahami bahwa keseluruhan hukum yang ditetapkna Rasul saw., itu adalah dalam rangka menjabarkan dan menjelaskan Alquran. Seperto, penetapkan tentang keharaman menikahi wanita sekaligus dengan bibinya, bukanlah merupakan hukum yang secara mandiri ditetapkan oleh Rasul saw., tetapi merupakan qias terhadap larangan Allah untuk mengawini dua orang wanita bersaudara sekaligus. 129 Dari ketiga fungsi Hadis di atas, terlihat bahwa fungsi Hadis yang pertama dan yang kedua berkedudukan sebagai bayan terhadap Alquran. Pada dasarnya suatu ketetapan ataupun hukum sudah ada dalam Alquran. Akan tetapi suatu ketetapan ataupun hukum tersebut tidak akan ditemukan tanpa penjelasan dari Hadis. Disinilah Hadis memiliki hubungan interrelasi yang saling melengkapi dalam membangun aturan ataupun ketetapan hukum sebagai acuan hidup. 130 Mengenai fungsi Hadis yang ketiga, maka Hadis berkedudukan sebagai sumber hukum yang kedua setelah Alquran. Jika suatu masalah tidak disebutkan di dalam Alquran seperti contoh di atas, maka dicarilah di dalam Hadis. Disinilah Hadis menempati posisi inferior setelah Alquran. 131

II.3. Pe rbandingan Hadis dengan Alqur’an