Hadis-hadis larangan menafsirkan Al-Qur'an dengan ra'y: ( studi pemahaman hadis nabi )

(1)

HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN DENGAN RA’Y ; (Studi Pemahaman Hadis Nabi)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana (S-1) Ushuluddin

Oleh : Fitroh Fuadi NIM : 105034001205

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN DENGAN RA’Y ; (Studi Pemahaman Hadis Nabi)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana (S-1) Theologi Islam

Oleh :

Fitroh Fuadi NIM : 105034001205

Dosen Pembimbing:

Dr. Bustamin, M.Si. NIP : 196307011998031003

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “Hadis-Hadis Larangan Menafsirkan Dengan Ra’y ; Studi Pemahaman Hadis Nabi” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S-1) pada Jurusan Tafsir Hadis.

Jakarta, 23 September 2010 Sidang Munaqasyah,

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Dr. Bustamin, M.Si Rifqi Muhammad Fathi, MA NIP : 19630701 199803 1 003 NIP : 19770120 200312 1 003

Anggota,

Dr. M. Isa H. A. Salam, MA Rifqi Muhammad Fathi, MA NIP : 19531231 198603 1 010 NIP : 19770120 200312 1 003

Dr. Bustamin, M.Si NIP : 19630701 199803 1 003


(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji serta syukur selalu tercurahkan kepada Allah Swt. ‘Azza Wajalla yang senantiasa memberikan rahmat, taufik serta inayah-Nya dan selalu mengiringi langkah-langkah penulis dalam melewati jalan panjang dan berliku dalam proses penulisan skripsi ini. Dan atas segala nikmat dan karunia-Nya itu pula, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Shalawat serta salam tercurahkan selalu kepada baginda besar Nabi Muhammad Saw. yang telah membawa manusia dari zaman jahiliyyah ke zaman yang beradab. Semoga kita selaku ummatnya mendapatkan syafaatnya di akhirat nanti. Amîn.

Penulis menyadari bahwa dukungan, dorongan dan do’a dari pihak-pihak luar sangat berperan dalam membantu penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, sebagai wujud syukur dan hormat penulis, kiranya sangat perlu untuk memaparkan nama-nama tersebut, akan tetapi karena adanya keterbatasan, penulis tidak mampu untuk menuliskannya satu persatu secara lengkap namun pada hakikatnya penulis berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada siapapun yang telah banyak membantu penulisan skripsi ini.

Terlebih dahulu sembah bakti dan terimakasih penulis haturkan kepada ayahanda H. Bahruddin dan ibunda Hj. Choziah tercinta, yang telah mendidik dan mengarahkan penulis dengan penuh kesabaran, kasih sayang dan keikhlasan serta tak bosan-bosannya mendo’akan penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini. Semoga Allas Swt. Senantiasa memberikan kesehatan


(5)

kepada beliau sehingga bisa terus membimbing penulis dalam mengarungi bahtera kehidupan ini, dan semoga Allah Swt. mengampuni segala kesalahan mereka serta menempatkan derajat keduanya pada derajat yang tinggi. Amîn. Demikian pula kepada adik penulis Umi Hani, Inayatullah, Nawa Syarif, Very Mahmudi serta seluruh keluarga besar yang penulis cintai.

Selanjutnya ucapan syukur dan hormat penulis haturkan dan tujukan kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, M.A. selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.

2. Bapak Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Fakih, M.A. selaku dekan Fakultas Ushuluddin beserta para Pembantu Dekan I, II, dan III.

3. Bapak Dr. Bustamin, M.Si. selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis sekaligus Dosen Pembimbing dalam skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kerelaannya rela meluangkan waktu, bimbingan dan saran-sarannya mengarahkan penulis dengan penuh kesabaran dalam menyelesaikan skripsi ini. Lalu Bapak Rifqi Muhammad Fathi, M.A. selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis, yang selalu memfasilitasi penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan.

4. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu. Terima kasih atas ketulusan dan keikhlasannya dalam memberikan ilmu yang telah diberikan kepada penulis. semoga ilmu dan pengalaman yang telah diajarkan menjadi amal jariyah bagi mereka semua dan senantiasa membawa berkah dan manfaat bagi masa depan penulis.


(6)

5. Pimpinan dan seluruh staff Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Umum Islam Iman Jama’, yang telah membantu pengadaan sumber bacaan dari awal perkuliahan hingga selesainya skripsi ini.

6. Keluarga besar pondok pesantren al-Khiyaroh Buntet Cirebon yang telah banyak memberikan sumbangsih dalam bidang keagamaan kepada penulis sehingga dapat membantu penulis dalam memahami dan mengerjakan skripsi ini.

7. Ustadzuna Sururi yang telah banyak memberikan masukan kepada penulis sehingga dapat membuka cakrawala pemahaman dalam menyelesaikan masalah.

8. Kawan-kawan seperjuangan di Tafsir Hadis, Syahid Akhyari yang selalu menjadi motivator yang dapat membangkitkan semangat penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, Alvin yang menjadi target agar bisa wisuda bareng, Haris yang udah ngebet banget mau kawin, Kojek, Manaf, Bangkit, Amar MD, Taufik, Jazuli, Lukman, Tezar, Noval, yang masih sering ngelobi dosen untuk ngeluarin nilai, sorry ga bisa wisuda bareng bro, abis pada lama-lama sih lu. Tak lupa pula untuk Baihaqi, Ghafar, Sofyan, Dillah, Asep, Labib, Bedah, Indri, Sumi, Mona, Qurtubi, Hazami, Umam, Irfan, Fauzi, Farhan, Farel, Nyinyip, dan seluruh kawan-kawan lainnya, semoga Allah Swt. selalu melindungi kalian dan semoga kita semua dapat menjadi manusia yang bermanfaat bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Amîn.


(7)

9. Kawan-kawan sepenanggungan, Kayis, Zulham, Azri, Petoy, Bolay, Farqo, Fauzan, Andre, Panca, Ajik, dan lain-lainnya. sorry ga bisa ngumpul-ngumpul bersama dulu sebelum skripsi selesai.

10.Semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Mengakhiri rangkaian pengantar ini, Penulis hanya bisa memohon kepada Yang Maha Kuasa untuk membalas segala kebaikan meraka. Mudah-mudahan Allah Swt. memberikan balasan yang setimpal atas segala amal kebaikannya. Hanya kepada Allah Swt. penulis berserah diri dan bertawakkal serta memohon ampunan-Nya atas segala kesalahan dan kekhilafan dalam penulisan skripsi ini. Dan penulis berharap karya tulis kecil ini dapat bermanfaat sebagai sumbangsih sederhana dalam khazanah keilmuan hadis di Fakultas Ushuluddin tercinta.

ءاﺰﺠﻟا ﻦﺴﺣأ ﷲا ﻢھاﺰﺟ

Jakarta, 22 September 2010 Penulis,


(8)

Pedoman Transliterasi

Berdasarkan Buku “Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat 2005/2006” A. Aksara

Huruf Arab Huruf Latin

ا

tidak dilambangkan

ب

b

ت

t

ث

ts

ج

j

ح

h

خ

kh

د

d

ذ

dz

ر

r

ز

z

س

s

ش

sy

ص

s

ض

d

ط

t

ظ

z

ع

‘ (koma terbalil di atas, menghadap ke kanan)

غ

g

ف

f

ق

q

ك

k

ل

l

م

m

ن

n

و

w

ـھ

h

ء

’ (apostrof)


(9)

B. Vokal

1. Vokal Tunggal

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ـــ

َ

ـــ a fathah

ــــ

ِ

ــ i kasrah

ــــ

ُ

ـــ u dammah

2. Vokal Rangkap

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ــ

َ

ـ

ي

ai a dan i

ــ

َ

ـ

و

au a dan u

3. Vokal Panjang

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ـــ

َ

ﺎــــ â a dengan topi di atas

ــــ

ِ

ﻲـ î i dengan topi di atas

ــــ

ُ


(10)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..……… PEDOMAN TRANSLITERASI………...…. DAFTAR ISI………. BAB I. PENDAHULUAN……….……… A. Latar Belakang Masalah………..……….…….. B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah………..…….………. C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan………..………

D. Kajian Pustaka………..……….…….

E. Metodologi Penelitian………..………….. F. Sistematika Penulisan………..…….………..

BAB II. PENGANTAR PEMAHAMAN HADIS……… A. Problematika Pemahaman Hadis……….…..….…………. B. Metodologi Pemahaman Hadis………….…….………..…….……...

BAB III. STUDI KUALITAS SANAD HADIS LARANGAN

MENAFSIR-KAN DENGAN RA’Y...……….………..

A. Takhrîj Hadis………….………..………

B. Penelitian Sanad Hadis………..……….………. C. Kesimpulan (Natijah)………..


(11)

BAB IV. PEMAHAMAN TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN DENGAN RA’Y...… A. Tafsir bi al-Ra’y.………..…... B. Pemahaman Tekstual Hadis Larangan Menafsirkan Al-Qur’an

Dengan Ra’y………..………..

C. Pemahaman Kontekstual Hadis Larangan Menafsirkan Al-Qur’an

Dengan Ra’y………………..………...

BAB V. PENUTUP……….……

A. Kesimpulan………..

B. Saran-saran………..


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Umat Islam mengakui bahwa hadis Rasulullah Saw. itu merupakan pedoman hidup yang utama setelah al-Qur’an. Tingkah laku manusia yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak diterangkan cara mengamalkannya, tidak diperincikan menurut petunjuk dalil yang masih utuh, tidak dikhususkan menurut petunjuk ayat yang masih mutlak dalam al-Qur’an, hendaklah dicarikan penyelesaiannya dalam Hadis.

Meskipun keduanya merupakan sumber utama ajaran Islam, namun hadis Nabi berbeda dengan al-Qur’an. Semua periwayatan ayat-ayat al-Qur’an berlangsung secara mutawâtir1, sedangkan hadis Nabi diriwayatkan sebagiannya secara mutawatir dan sebagian lainnya diriwayatkan secara ahâd.2 Oleh karenanya, al-Qur’an memiliki kedudukan qat‘î al-wurûd sedangkan hadis Nabi sebagiannya berkedudukan qat‘î al-wurûd dan sebagian lainnya bahkan yang terbanyak berkedudukan zannî al-wurûd.3

Berdasarkan asumsi di atas, maka dilihat dari segi periwayatannya seluruh

1 Istilah mutawâtir secara bahasa yaitu berurutan, sedangkan dalam terminologi ‘Ulûm

al-Hadîts, istilah mutawâtir arti berita yang diriwayatkan oleh banyak orang pada setiap tingkatan

mulai dari tingkat sahabat hingga mukharrij yang menurut ukuran rasio serta kebiasaan, mustahil

para periwayat yang jumlahnya banyak tersebut bersepakat untuk berdusta. Lihat Subhi al-Salîh,

‘Ulûm al-Hadîts wa Mustalâhuhu, (Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malayîn, 1977), h. 146.

2 Istilah ahâd dalam ‘Ulûmal-Hadîts memiliki pengertian berita yang disampaikan oleh

orang perorang yang tidak sampai pada derajat mutâwatir.

3 Maksud dari qat‘î al-wurûd atau qat‘î al-tsubût adalah kebenaran beritanya bersifat

absolut (mutlak), sedangkan zannî al-wurûd atau zannî al-tsubût adalah tingkatan kebenaran dari


(13)

al-Qur’an tidak perlu dilakukan penelitian kembali tentang orisinalitasnya, sedangkan terhadap hadis Nabi Saw. khususnya yang termasuk kategori ahâd, maka diperlukan penelitian akan orisinalitasnya.4

Sebagaimana telah diakui bahwa apa yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw. yang kemudian dihimpun dalam hadis-hadis nabawi merupakan bagian tak terpisahkan dari al-Qur’an itu sendiri, hal ini disadari karena salah satu fungsi Nabi Saw. adalah menjelaskan al-Qur’an baik lisânî maupun fi’lî agar maksud al-Qur’an dapat dengan segera dipahami dan diamalkan ummatnya. Namun manusia menyadari bahwa persoalan tidak pernah selesai, bahkan terus berkembang sementara sang penjelas (Nabi Saw.) telah wafat, oleh karena itu persoalan ini menjadi tantangan bagi ummatnya untuk diselesaikan melalui teknik atau cara-cara yang dilakukan oleh Nabi Saw. agar nilai Islam yang tertuang dalam al-Qur’an tetap relevan hingga akhir zaman, sebagaimana prinsip agama ini yang dikenal dengan sâ1ih 1ikulli zamân wa makân.

Bila ajaran Islam yang sesuai dengan tuntutan zaman dan tempat ini dihubungkan dengan berbagai kemungkinan persamaan dan perbedaan masyarakat, berarti di dalam ajaran Islam ada ajaran-ajaran yang berlakunya tidak terikat oleh waktu dan tempat, disamping ada ajaran-ajaran yang terikat oleh waktu dan tempat tertentu, sehingga di dalam ajaran Islam ada muatan universal, ada pula yang temporal maupun yang lokal.5

Menurut petunjuk al-Qur’an Nabi Muhammad Saw. diutus oleh Allah Swt.

4 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 4.

5 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Telaah Ma‘âni

al-Hadîts tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 4.


(14)

untuk semua umat manusia, seperti pada surat al-Sabâ’ ayat 28 :                  

Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.

Dan Nabi Muhammad Saw. diutus oleh Allah Swt. sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan li al-‘âlamîn), seperti pada surat al-Anbiyâ’ ayat 107 :

        

Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

Dalam pengertian bahwa kehadiran Nabi Muhammad Saw. membawa misi kebajikan dan kerahmatan bagi semua umat manusia dalam segala ruang dan waktu. Di sisi lain, hidup Nabi Muhammad Saw. dibatasi oleh ruang dan waktu, dengan demikian apa yang direkam dari kehidupan Nabi Muhammad Saw. dalam hadis-hadis Nabawi memiliki muatan ajaran yang bersifat universal, sekaligus ada muatan temporal dan lokal.6

Sebagaimana telah diungkap sebelumnya, bahwa salah satu fungsi Nabi Saw. adalah menjelaskan al-Qur’an serta mengejawantahkan Islam melalui ucapan, perbuatan serta perjalanan hidupnya baik dalam kesendiriannya maupun di tengah masyarakat, saat mukim ataupun saat bepergian, saat terjaga maupun pada saat tidur, dalam kehidupan khusus maupun umum, dalam hubungannya kepada Allah ataupun dengan sesama makhluk, dengan orang-orang terdekat maupun orang-orang jauh, dengan mereka yang mencintai maupun yang


(15)

memusuhi, pada masa damai maupun masa perang. saat sehat maupun saat menerima musibah.7

Hal-hal di atas itulah yang menuntut umat Islam mempelajari serta memahami sunnah Nabi Saw. dengan sebaik-baiknya, sebagaimana yang telah dicontohkan para sahabat dan generasi tabi‘în yang secara sungguh-sungguh berusaha menggali dan mempelajari aktualitas Nabi Saw. untuk kemudian mereka amalkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dikenallah generasi ini sebagai generasi sebaik-baik ummat karena mereka mengikuti jejak Nabi Saw. demikian pula bagi mereka yang senantiasa mengikuti jalan yang benar tersebut.8

Tidak sedikit hadis Nabi yang telah dibukukan oleh para ulama, dan di dalamnya memuat berbagai persoalan yang tak habis-habisnya untuk diperbincangkan, salah satunya adalah hadis yang memuat tentang larangan Nabi Saw. terhadap ummatnya untuk menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y, yang di sisi lain tafsir-tafsir al-Qur’an yang berkembang sampai saat ini, ada yang dikenal dengan sebutan tafsir bi al-ra’y, disamping tafsir bi al-riwâyah, lalu bagaimanakah kita menyikapi tafsir bi al-ra’y tersebut.

Guna memecahkan persoalan-persoalan tersebut, perlu kiranya mempelajari akar polemik di sekitar boleh dan tidaknya menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y yaitu dengan mempelajari lebih jauh dan mendalam tentang hadis “larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y”, dengan harapan tersingkapnya maksud Nabi Saw. tersebut sekaligus bentuk-bentuk pelarangannya. Salah satu

7 Yûsuf Qardâwî, Metode Memahami al-sunnah dengan Benar, terj. Syaifullah Kamalie,

(Jakarta : Media Dakwah, 1994), h. 35.


(16)

hadis tersebut adalah hadis riwayat al-Turmudzî:

ﻋﹶﺄﹾﻟﺍ ﺪﺒﻋ ﻦﻋ ﹶﺔﻧﺍﻮﻋ ﻮﺑﹶﺃ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﻲﹺﺒﹾﻠﹶﻜﹾﻟﺍ ﻭﹴﺮﻤﻋ ﻦﺑ ﺪﻳﻮﺳ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﹴﻊﻴﻛﻭ ﻦﺑ ﹸﻥﺎﻴﹾﻔﺳ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﻰﹶﻠ

ﺒﺟ ﹺﻦﺑ ﺪﻴﻌﺳ ﻦﻋ

ﹶﺚﻳﺪﺤﹾﻟﺍ ﺍﻮﹸﻘﺗﺍ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻢﻬﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻲﹺﺒﻨﻟﺍ ﹺﻦﻋ ﹴﺱﺎﺒﻋ ﹺﻦﺑﺍ ﹺﻦﻋ ﹴﺮﻴ

ﹾﻟﺍ ﻲﻓ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻦﻣﻭ ﹺﺭﺎﻨﻟﺍ ﻦﻣ ﻩﺪﻌﹾﻘﻣ ﹾﺃﻮﺒﺘﻴﹾﻠﹶﻓ ﺍﺪﻤﻌﺘﻣ ﻲﹶﻠﻋ ﺏﹶﺬﹶﻛ ﻦﻤﹶﻓ ﻢﺘﻤﻠﻋ ﺎﻣ ﺎﱠﻟﹺﺇ ﻲﻨﻋ

ﻥﺁﺮﹸﻘ

ﻮﺒﺘﻴﹾﻠﹶﻓ ﻪﹺﻳﹾﺃﺮﹺﺑ

ﻦﺴﺣ ﹲﺚﻳﺪﺣ ﺍﹶﺬﻫ ﻰﺴﻴﻋ ﻮﺑﹶﺃ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﹺﺭﺎﻨﻟﺍ ﻦﻣ ﻩﺪﻌﹾﻘﻣ ﹾﺃ

)

ﻯﺬﻣﺮﺘﻟﺍ

(

٩

Sufyân bin Wakî’ menceritakan kepada kami, (Sufyân berkata): Suwaid bin ‘Amr al-Kalbî menceritakan kepada kami, (Suwaid berkata): Abû ‘Awânah menceritakan kepada kami dari ‘Abd al-A’lâ dari Sa‘îd bin Jubair dari Ibn ‘Abbâs dari Nabi Saw., beliau bersabda: “takutlah kalian (hati-hati dalam memegangi) hadis-hadis dariku kecuali yang benar-benar telah aku ajarkan kepada kalian, barangsiapa berbohong atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya dari api neraka, siapa yang mengatakan sesuatu tentang al-Qur’an dengan ra’y-nya maka hendaklah ia menempati tempat duduknya dari api neraka”. Abû ‘Îsâ (al-Turmudzî) berkata: hadis ini hasan.

Hadis di atas dipegangi oleh sebagian ulama sebagai dasar penolakan atas tafsir bi al-ra’y, namun sebagian yang lain memahami hadis tersebut sebagai larangan menafsirkan dengan hawa nafsu dan bukan penafsiran melalui kemampuan ijtihad yang melahirkan tafsir bial-ra’y yang dikenal saat ini.

Tentang tafsir bi al-ra’y, ulama juga berselisih pendapat hingga mengkristal pada dua model tafsir bi al-ra’yi, yaitu tafsir bial-ra’y yang mahmûd (terpuji) dan tafsir bi al-ra’y yang mazmûm (tercela).10 Terlepas dari klasifikasi tersebut, kata al-ra’y itulah yang menjadi kata kunci dari perdebatan di atas.

Kata al-ra’y sendiri dimaknai berbeda-beda oleh para ulama, sebagian memaknai al-ra’y dalam konteks hadis di atas sebagai ijtihad, ada pula yang

9 Abû ‘Îsâ Muhammad bin ‘Îsâ al-Turmudzî al-Silmî, Sunân al-Turmudzî, (Beirut : Dâr

Ihyâ’ al-Turas al-‘Arabî, tt.), juz 5, h. 199.

10 Fahd bin ‘Abd al-Rahmân al-Rumî, Ulûm al-Qur’an: Studi Kompleksitas al-Qur’an,


(17)

memaknainya sebagai penafsiran tanpa menggunakan ilmu, artinya tidak didasarkan pada dalil-dalil syara’, sebagian yang lain memaknainya sebagai hawa nafsu. Mereka yang memaknai al-ra’y dengan hawa nafsu inilah yang memfatwakan bahwa barang siapa berbicara mengenai al-Qur’an menurut hawa nafsunya dan tidak memberikan perhatian kepada keterangan yang telah disampaikan kaum salaf, maka sekalipun pendapatnya itu benar, ia tetap dianggap sebagai perbuatan yang keliru, hal tersebut disebabkan karena telah menentukan makna ayat al-Qur’an tanpa memperhatikan kaedah-kaedah yang ditentukan oleh ahli hadis.11

Bertolak dari permasalahan di atas, maka sangat urgen untuk melakukan pendalaman atas hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y, mengingat banyaknya tafsir al-Qur’an yang berkembang hingga saat ini dikelompokkan pada kategori tafsir bi al-ra’y, apakah kemudian penafsiran-penafsiran tersebut jatuh pada kelompok yang diancam Nabi atau tidak.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dalam pembahasan tentang penafsiran menggunakan al-ra’y terdapat beberapa hadis yang membolehkan dan ada yang melarangnya, dan dalam skripsi ini penulis membatasi pembahasan dengan hanya mengangkat hadis-hadis yang melarang menafsirkan dengan ra’y saja dengan disertai kajian sanad melalui metode takhrîj al-hadîts serta rijâl al-hadîts dan juga kajian matan hadis melalui metode pemahaman hadis, dengan harapan pembahasan yang berbelit-belit dan

11 Ahmad al-Syirbasî, Sejarah Tafsir al-Qur’an, terj. Tim Pustaka firdaus, (Jakarta :


(18)

tidak mengarah kepada maksud dapat dihindari.

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, maka pokok masalah dalam penelitian skripi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kualitas sanad dari hadis-hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan al-ra’y?

2. Bagaimanakah kandungan dan juga maksud dari hadis-hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y?

3. Apakah tafsir bi al-ra’y itu termasuk yang dilarang dalam hadis tersebut?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, penulisan skripsi ini bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui kualitas sanad hadis-hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan al-ra’y.

2. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y dan mengkorelasikannya dengan tafsir bi al-ra’y.

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Menambah wawasan serta memperkaya khazanah intelektual, khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

2. Menambah kepustakaan bagi Universitas, Fakultas dan Jurusan pada khususnya.


(19)

3. Untuk melengkapi sebagian dari syarat-syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S-1) pada Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Kajian Pustaka

Untuk menghindari terjadinya kesamaan pembahasan pada skripsi ini dengan skripsi lainnya, terlebih dahulu penulis menelusuri kajian-kajian yang sudah ada atau memiliki kesamaan. Hasil penulusuran ini akan menjadi acuan penulis untuk tidak mengangkat pembahasan ataupun pendekatan yang sama, dengan harapan semoga kajian yang penulis lakukan tidak terkesan plagiat dari kajian yang telah ada.

Berdasarkan pengamatan dan pencarian yang penulis lakukan, ditemukan satu skripsi yang membahas tentang tafsir al-Qur’an bi al-Ra’y, yaitu skripsi yang berjudul “studi hadis nabi tentang penafsiran al-Qur’an dengan akal (tafsîr bi al-ra’y)” yang ditulis oleh mahasiswa jurusan tafsir hadis Muhammad Hafizh Lidinillah pada tahun 2006. Yang mana skripsi tersebut menjelaskan tentang seputar tafsir bi al-ra’y disertai dengan takhrij hadis yang berkaitan pembahasan tersebut.

Sedangkan kajian yang penulis lakukan dalam skripsi ini berbeda dengan yang dilakukan oleh Muhammad Hafizh, walaupun membahas tema yang hampir sama. Dalam skripsi Muhammad Hafizh hanya fokus kepada metode pentakhrijan hadis saja, sedangkan pada skripsi ini lebih mengkaji secara khusus terhadap hadis-hadis yang melarang menafsirkan al-Qur’an dengan al-ra’y dengan disertai


(20)

pemahaman kandungan hadis serta mengkorelasikannya dengan tafsir bi al-ra’y yang berkembang hingga saat ini.

E. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyusunnya dengan langkah-langkah metodologis sebagai berikut;

1. Penelitian skripsi ini merupakan penelitian kepustakaan, karena data-data penelitian ini hampir keseluruhannya adalah data-data kepustakaan.

2. Karena fokus penelitian ini ada pada hadis Nabi sebagai kunci persoalan, maka sumber primer penelitian ini adalah kitab-kitab hadis Nabi. Adapun sumber-sumber sekunder yang dapat digunakan dalam memahami hadis secara tekstual maupun kontekstual, maka digunakanlah kitab-kitab syarh hadis juga kitab-kitab yang terkait dengan perdebatan tafsir al-Qur’an bi al-ra’y.

3. Pedoman yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah buku “Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat 2005/2006”.

F. Sistematika Penulisan

Secara garis besar penyusunan skripsi ini dibagi ke dalam tiga bagian yaitu pendahuluan, isi dan penutup. Ketiga bagian tersebut saling terkait atau satu bagian yang integralistis.

Adapun sistematika secara rinci sebagai berikut: Bab pertama berisi pendahuluan yang memuat latar belakang terbentuknya masalah, pembatasan dan


(21)

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, kajian pustaka, metodologi penelitian serta sistematika penulisan. Bab kedua berisi pengantar tentang problematika pemahaman hadis dengan disertai metodologi pemahaman hadis Nabi. Bab ketiga berisi redaksi hadis tentang larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y berikut penelitian kualitas sanadnya. Bab keempat berisi tentang pemahaman tekstual dari hadis, penjelasan tentang tafsir bi al-ra’y serta kolerasi antara hadis larangan menafsirkan dengan ra’yu dan tafsir bi al-ra’y. Dan pada bab kelima berisi kesimpulan serta saran-saran.


(22)

BAB II

PENGANTAR PEMAHAMAN HADIS

A. Problematika Pemahaman Hadis

Keberadaan Hadis Nabi Saw. sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur’an telah disepakati oleh sebagian besar umat Islam. Oleh karena itu kedudukan hadis Nabi Saw. sangat strategis dalam kehidupan umat Islam, ia memiliki otoritas tertinggi setelah al-Qur’an karena di dalamnya memuat sejumlah sunnah Nabi Saw. yang menuntut umat Islam menggunakan atau mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Pada mulanya sunnah Nabi Saw. diikuti secara langsung oleh sahabat-sahabatnya baik yang mendengar secara langsung maupun melalui sistem periwayatan yang pada umumnya masih berlangsung secara safahî (lisan), Kemudian berangsur-angsur atsâr Nabi Saw. ini dikhawatirkan memudar bahkan menjadikan hilangnya sunnah Nabi Saw. yaitu seiring dengan mulai sedikitnya penghafal hadis, satu demi satu sahabat mulai wafat berikut generasi tabi’în yang memeliharanya juga semakin berkurang, terlebih berkecamuknya politik yang mengakibatkan munculnya hadis-hadis palsu dan sebagainya. Kondisi inilah yang dipikirkan ‘Umâr bin ‘Abdul ‘Azîz (w. 101) untuk melakukan kebijakan strategis yang terkait dengan kekuasaannya yang dibarengi kecintaan akan ilmu agama, yaitu penghimpunan hadis-hadis Nabi Saw.12

12 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992),


(23)

Adanya selisih waktu yang cukup panjang antara periwayatan hadis secara lisan dengan penghimpunan serta pembukuan hadis secara resmi memunculkan kesangsian atas otentisitas hadis sebagai suatu berita yang benar-benar bersumber dari Nabi Saw., lebih-lebih di antara periwayatan dengan masa pembukuan tersebut telah terjadi berbagai konflik serta pertikaian yang terkait dengan ideologi, politik dan sebagainya.13

Hal itulah yang menjadikan pengkajian terhadap keotentikan suatu hadis menjadi bagian tak terpisahkan dari studi kritis terhadap hadis Nabi Saw. Problem tersebut tidak terhenti begitu saja saat telah dipastikan hadisnya sahih, sebab rentang waktu yang panjang itu pula yang menyebabkan proses pemahaman terhadap suatu hadis ada kalanya mudah dan segera dapat dipraktekkan namun sebagian yang lain dipahami kurang tepat, sehingga status hadis yang sahih adakalanya ma’mûl bih adakalanya gair ma’mûl bih. Hal inilah yang mendorong lahirnya ilmu ma‘ânî al-hadîts guna menjembatani teks yang hadir pada masa Nabi Saw. hidup dengan realitas kehidupan umatnya yang terus ada sampai sekarang dan dalam ruang yang berbeda.14

Realita juga menunjukkan bahwa tidak semua sanad hadis yang berkualitas sahih, secara otomatis matannya juga berkualitas sahih. M. Syuhudi Ismail mengemukakan beberapa kemungkinan sebab di antaranya:

1. Karena telah terjadi kesalahan dalam melaksanakan penelitian matan, umpamanya karena kesalahan dalam menggunakan pendekatan ketika

13 Lihat M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h.12-13.

14 Indal Abror, Syuhudi Ismail dan Metodologi Pemahaman terhadap Hadis Nabi,


(24)

meneliti matanyang bersangkutan.

2. Karena telah terjadi kesalahan dalam melaksanakan penelitian sanad, atau

3. Karena matan hadis yang bersangkutan telah mengalami periwayatan secara makna yang ternyata mengalami kesalahpahaman.

Memperhatikan kemungkinan terjadinya kesalahan yang terjadi di atas, maka penelitian ulang terhadap sanad dan matan hadis tidak hanya bersifat komfirmatif semata, melainkan perlu dan penting.15

Pada aspek isi hadis, yang dipahami sahabat dari aktualitas diri Nabi Saw., baik ucapan, perbuatan maupun hal-hal lain yang bersumber darinya sarat akan kemampuan dan daya tangkap sahabat, ada yang berusaha menggambarkan secara detail yaitu berikut dengan sebab munculnya hadis (asbâb al-wurûd al-hadîts), ada pula yang tidak (hanya menuturkan essensinya saja), sehingga bagi generasi selanjutnya mengalami kesulitan bahkan kesalahan di dalam memahami maksud hadis yang sebenarnya.

Terlebih suatu aktifitas Nabi Saw., ada kalanya disaksikan oleh perorangan, adakalanya beberapa orang, terkadang dari beberapa orang tersebut berlangsung secara bersamaan, ada kalanya berlangsung dalam waktu yang berbeda dengan situasi dan kondisi yang berbeda, di antaranya ada yang menjaga periwayatan secara lafzî adakalanya cukup memahami isi dan dibahasakan sendiri oleh Sahabat. Hal ini pulalah yang memunculkan ragam redaksi hadis yang tak jarang


(25)

antara satu redaksi hadis dengan redaksi hadis lainnya dalam satu persoalan berbeda bahkan ada yang saling bertolak belakang (mukhtalaf).

Atas dasar hal tersebut di atas, umat Islam dituntut untuk kritis dalam mengkaji serta memahami suatu hadis, tanpa upaya kritis tersebut hanya akan memunculkan selisih paham yang sudah barang tentu akan menumbuhkan perpecahan di kalangan umat Islam sendiri.

B. Metodologi Pemahaman Hadis

Menurut M. Syuhudi Ismail, al-Qur’an telah menjelaskan fungsi serta tugas Nabi Muhammad, baik sebagai rahmatan li al-‘âlamîn, juga sebagai manusia biasa. Oleh karenanya apa yang lahir dari ekspresi Nabi Saw., disamping memiliki muatan universal, pada saat yang sama, ekspresi tersebut juga muncul dari diri Muhammad sebagai manusia biasa yang hidup pada konteks waktu dan wilayah yang terbatas. Beliau juga hidup bersama yang lain (berinteraksi) baik sebagai keluarga, tetangga, kepala negara, da‘i dan sebagainya, sehingga kompleksitas diri yang integral dalam dirinya turut mewarnai apa yang terlahir dari aktualisasi hidupnya.16

Berdasarkan argumen itulah maka hadis Nabi sarat akan nilai universal, temporal dan lokal, pada sisi lain sarat akan fungsi beliau sebagai Rasul, kepala negara, pemimpin masyarakat, panglima perang, hakim, pribadi dan lainnya. Hal

16 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Telaah Ma‘âni

al-Hadîts tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 3-4.


(26)

ini pulalah yang harus diperhatikan ketika memahami hadis tersebut.17

Syuhudi Ismail juga menjelaskan bahwa apa yang terekam dari aktualisasi Nabi yang kemudian dikenal dengan hadis-hadis Nabawi merupakan teks-teks yang kemudian dapat dipahami dari makna yang tersurat, tetapi sekaligus dapat dipahami pada konteks apa teks tersebut muncul. Itulah sebabnya, ada beberapa hadis yang tepat ketika dipahami secara teks, tetapi ada pula yang kurang tepat kalau tidak dipahami konteksnya. Hal inilah yang melahirkan pemahaman tekstual dan kontekstual.18

Menurutnya, perlunya penelitian matan hadis tidak hanya karena keadaan matan itu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh keadaan sanad saja, tetapi juga karena dalam periwayatan, matan hadis dikenal adanya periwayatan secara makna (riwâyah bi al-ma’nâ). Adanya periwayatan secara makna menyebabkan penelitian matan dengan pendekatan semantik tidak mudah dilakukan. Kesulitan tersebut terjadi karena matan tersebut terlebih dahulu telah beredar pada sejumlah periwayat yang berbeda generasi dan tidak jarang juga berbeda latar belakang budaya dan kecerdasannya, sehingga menyebabkan timbulnya perbedaan penggunaan dan pemahaman dalam suatu kata ataupun istilah.19 Penggunaan pendekatan bahasa dalam penelitian matan sangat diperlukan selain pendekatan semantik karena sangat membantu kegiatan penelitian yang berhubungan dengan kandungan petunjuk dari matan hadis yang bersangkutan.

Untuk meneliti matan hadis dari segi kandungannya, acapkali diperlukan

17 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual danKontekstual, h. 5.

18 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual danKontekstual, h. 6-7.


(27)

penggunaan pendekatan rasio, sejarah dan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam. Penelitian matan dengan beberapa macam pendekatan tersebut ternyata memang masih tidak mudah dilakukan, apalagi kandungan matan hadis berhubungan dengan masalah keyakinan tentang hal-hal gaib dan petunjuk-petunjuk agama yang bersifat taabbudî. Dengan begitu, penelitian hadis memang membutuhkan kecerdasan penelitian dalam mengunakan cara pendekatan yang relevan dengan masalah yang diteliti. Kesulitan penelitian matan juga disebabkan masih sangat langkanya kitab-kitab yang secara khusus membahas kritik matan.20

Adapun tolak ukur penelitian matan, Salâh al-Dîn al-Adlabî menyimpulkan ada empat macam, yaitu :21

1. Tidak bertentangan dengan al-Qur’an.

2. Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat.

3. Tidak bertentangan dengan akal yang sehat, indera dan juga sejarah. 4. Susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.

Dalam buku Metodologi Hadis Nabi Saw. Karya M. Syuhudi Ismail dijelaskan langkah-langkah metodologi kegiatan penelitian matan hadis, yaitu:22

1. Meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya. 2. Meneliti susunan lafaz matan yang semakna.

3. Meneliti kandungan matan, yakni dengan membandingkan kandungan matan yang sejalan ataupun tidak sejalan (bertentangan).

20 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h.27-28.

21 Salâh al-Dîn bin Ahmad al-Adlabî, Manhâj Naqd al-Matan, (Beirut: Dâr Afâq

al-Jadîdah, 1993), h. 238.


(28)

Syuhudi Ismail juga mengemukakan beberapa upaya ulama sebelumnya dalam menyelesaikan hadis-hadis yang tidak sejalan atau tampak bertentangan, yaitu dengan cara :23

1. al-Tarjîh , yakni meneliti dan menentukan petunjuk hadis yang memiliki argumen yang lebih kuat.

2. al-Jam‘u a1-Taufîq atau al-Talfîq, yakni kedua hadis yang tampak bertentangan dikompromiskan, atau sama-sama diamalkan sesuai konteksnya.

3. al-Nasîkh wa al-Mansûkh, petunjuk dalam hadis yang satu dinyatakan sebagai “penghapus” dan yang lainnya sebagai “yang dihapus”.

4. al-Tauqîf, “menunggu” sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat menjernihkan dan menyelesaikan pertentangan.

Dari beberapa model penyelesaian tersebut antara ulama satu dengan ulama lainnya menggunakan tolok ukur serta prioritas yang berbeda, ada yang mendahulukan al-jam‘u, ada yang mendahulukan al-tarjîh, ada pula yang mendahulukan al-nasîkh wa al-mansûkh diatas cara yang lainnya.

Upaya ini dilakukan ulama untuk meyakinkankan bahwa pada dasarnya dalam hadis-hadis itu tidak ada pertentangan, kalaupun ada perbedaan redaksi yang seolah bertentangan, boleh jadi itu karena perbedaan dalam memahami konteks masing-masing sejarah atau kapan hadis itu muncul.


(29)

BAB III

STUDI KUALITAS SANAD HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR‘AN DENGAN RA’Y

Tidak sedikit hadis Nabi yang telah dibukukan oleh para ulama, dan di dalamnya memuat berbagai persoalan yang tak habis-habisnya untuk diperbincangkan, salah satunya adalah hadis yang memuat tentang larangan Nabi Saw. terhadap ummatnya untuk menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y, yang di sisi lain tafsir-tafsir al-Qur’an yang berkembang sampai saat ini, ada yang dikenal dengan sebutan tafsir bi al-ra’y, disamping tafsir bi al-riwâyah, lalu bagaimanakah kita menyikapi tafsir bi al-ra’y tersebut.

Kata al-ra’y sendiri dimaknai berbeda-beda oleh para ulama, sebagian memaknai al-ra’y dalam konteks hadis di atas sebagai ijtihad, ada pula yang memaknainya sebagai penafsiran tanpa menggunakan ilmu, artinya tidak didasarkan pada dalil-dalil syara’, sebagian yang lain memaknainya sebagai hawa nafsu. Mereka yang memaknai al-ra’y dengan hawa nafsu inilah yang memfatwakan bahwa barang siapa berbicara mengenai al-Qur’an menurut hawa nafsunya dan tidak memberikan perhatian kepada keterangan yang telah disampaikan kaum salaf, maka sekalipun pendapatnya itu benar, ia tetap dianggap sebagai perbuatan yang keliru, hal tersebut disebabkan karena telah menentukan makna ayat al-Qur’an tanpa memperhatikan kaedah-kaedah yang ditentukan oleh ahli hadis.24

24 Ahmad al-Syirbasî, Sejarah Tafsir al-Qur’an, terj. Tim Pustaka firdaus, (Jakarta :


(30)

Bertolak dari permasalahan di atas, maka sangat urgen untuk melakukan pendalaman atas hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan al-ra’y, mengingat banyaknya tafsir al-Qur’an yang berkembang hingga saat ini dikelompokkan pada kategori tafsir bi al-ra’y, apakah kemudian penafsiran-penafsiran tersebut jatuh pada kelompok yang diancam Nabi atau tidak. Namun sebelum membahas pada aspek pemahaman materi hadis, penulis akan terlebih dahulu dilakukan penelitian dari segi sanad dan juga kualitas perawi hadis tersebut.

A. Takhrîj Hadis

Hadis yang akan diteliti adalah hadis yang berisi tentang “Larangan Menafsirkan Al-Qur’an Dengan Ra’y” dan hadis yang sering dijadikan landasan ketika membahas persoalan ini adalah yang intinya berbunyi sebagai berikut:

...

ﻦﻣ

ﹺﺭﺎﻨﻟﺍ ﻦﻣ ﻩﺪﻌﹾﻘﻣ ﹾﺃﻮﺒﺘﻴﹾﻠﹶﻓ ﻪﹺﻳﹾﺃﺮﹺﺑ ﻥﺁﺮﹸﻘﹾﻟﺍ ﻲﻓ ﹶﻝﺎﹶﻗ

“……siapa yang mengatakan sesuatu tentang al-Qur’an dengan ra’y-nya maka hendaklah ia menempati tempat duduknya dari api neraka”

Penelitian ini difokuskan kepada beberapa redaksi hadis yang memungkinkan memuat maksud yang saling berkaitan. Hal ini dimaksudkan untuk memfokuskan bahasan pada aspek pemahaman materi hadis bukan semata-mata aspek sanad hadis, sekalipun aspek yang terakhir ini menjadi bagian tak terpisahkan dari hadis itu sendiri.

Karena objek penelitiannya adalah hadis-hadis yang tercantum dalam kitab-kitab hadis, maka dalam proses pengumpulan data dilakukan kegiatan takhrîj al-hadîts, yaitu pencarian teks hadis pada berbagai kitab hadis yang merupakan sumber asli dari hadis yang bersangkutan, yang di dalamnya


(31)

disebutkan secara lengkap sanad dan matan hadisnya.

Metode takhrîj yang digunakan adalah dengan penelusuran kata yang terdapat dalam hadis yang akan dibahas, dengan menggunakan kitab al-Mu’jâm al-Mufahrâs li Alfâz al-Hadîts al-Nabâwî sebagai rujukan, penulis menggunakan lafaz يأر 25 dan أﻮﺑ 26 sebagai kata kunci dalam pencarian hadis. Melalui dua kata kunci tersebut ditemukan banyak rujukan hadis yang dimaksud, namun setelah ditelusuri ke dalam kitab-kitab hadis, terdapat beberapa hadis yang tidak cocok terhadap inti hadis yang akan dijadikan pembahasan pada skripsi ini. Untuk itu, maka penulis hanya mengambil hadis-hadis yang berkaitan dengan pembahasan saja, yakni yang terdapat pada :

1. Sunan al-Turmudzî, Kitab Tafsîr, bab 1, nomor hadis 2874 dan 2875. 2. Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz 1, halaman 233, 269, 323 dan 327. Ketika penulis menelusuri hadis-hadis tersebut, penulis menemukan hadis yang berkaitan dengan inti hadis di atas, hanya saja pada matannya terdapat sedikit perbedaan lafaz, dan inti hadis tersebut sebagai berikut :

ﹶﺄﹶﻄﺧﹶﺃ ﺪﹶﻘﹶﻓ ﺏﺎﺻﹶﺄﹶﻓ ﻪﹺﻳﹾﺃﺮﹺﺑ ﱠﻞﺟﻭ ﺰﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹺﺏﺎﺘﻛ ﻲﻓ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻦﻣ

Guna mendukung upaya pemahaman hadis tentang “larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y”, penulis kemudian memasukkan hadis tersebut dalam pembahan skripsi ini. Dan hadis tersebut terdapat pada :

1. Sunan al-Turmudzî, Kitab Tafsîr, bab 1, nomor hadis 2876. 2. Sunan Abî Dâwud, Kitab ‘Ilmu, bab 5.

25 A.J. Wensinck, al-Mu’jâm al-Mufahrâs li Alfâz al-Hadîts al-Nabâwî, (Leiden : EJ.

Brill, 1943), Juz II, h. 204.


(32)

B. Penelitian Sanad Hadis

Hadis yang akan diteliti kemudian ditemukan dari hasil takhrîj yang dilakukan pada pembahasan sebelumnya, yang kemudian ditelusuri hadis yang terdapat pada kitab asalnya dengan rangkaian sanad dari setiap mukharrij-nya.

١ .

ﻦﻣ

ﺭﺎﻨﻟﺍ ﻦﻣ ﻩﺪﻌﹾﻘﻣ ﹾﺃﻮﺒﺘﻴﹾﻠﹶﻓ ﹴﻢﹾﻠﻋ ﹺﺮﻴﻐﹺﺑ ﻥﺁﺮﹸﻘﹾﻟﺍ ﻲﻓ ﹶﻝﺎﹶﻗ

ِ

a. Teks hadis yang dikeluarkan oleh Imâm al-Turmudzî :

o

ﺳ ﻦﻋ ﻰﹶﻠﻋﹶﺄﹾﻟﺍ ﺪﺒﻋ ﻦﻋ ﹸﻥﺎﻴﹾﻔﺳ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﻱﹺﺮﺴﻟﺍ ﻦﺑ ﺮﺸﹺﺑ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﹶﻥﺎﹶﻠﻴﹶﻏ ﻦﺑ ﺩﻮﻤﺤﻣ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﹺﻦﺑ ﺪﻴﻌ

ﻦﻣ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻢﻬﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹸﻝﻮﺳﺭ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﺎﻤﻤﻬﻨﻋ ﻢﻬﱠﻠﻟﺍ ﻲﺿﺭ ﹴﺱﺎﺒﻋ ﹺﻦﺑﺍ ﹺﻦﻋ ﹴﺮﻴﺒﺟ

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ٌ ﺢﻴﺤﺻ ﻦﺴﺣ ﹲﺚﻳﺪﺣ ﺍﹶﺬﻫ ﻰﺴﻴﻋ ﻮﺑﹶﺃ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﹺﺭﺎﻨﻟﺍ ﻦﻣ ﻩﺪﻌﹾﻘﻣ ﹾﺃﻮﺒﺘﻴﹾﻠﹶﻓ ﹴﻢﹾﻠﻋ ﹺﺮﻴﻐﹺﺑ ﻥﺁﺮﹸﻘﹾﻟﺍ ﻲﻓ

.

٢٧

o

ﻋﹶﺄﹾﻟﺍ ﺪﺒﻋ ﻦﻋ ﹶﺔﻧﺍﻮﻋ ﻮﺑﹶﺃ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﻲﹺﺒﹾﻠﹶﻜﹾﻟﺍ ﻭﹴﺮﻤﻋ ﻦﺑ ﺪﻳﻮﺳ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﹴﻊﻴﻛﻭ ﻦﺑ ﹸﻥﺎﻴﹾﻔﺳ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﻦﻋ ﻰﹶﻠ

ﹶﺚﻳﺪﺤﹾﻟﺍ ﺍﻮﹸﻘﺗﺍ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻢﻬﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻲﹺﺒﻨﻟﺍ ﹺﻦﻋ ﹴﺱﺎﺒﻋ ﹺﻦﺑﺍ ﹺﻦﻋ ﹴﺮﻴﺒﺟ ﹺﻦﺑ ﺪﻴﻌﺳ

ﺎﻣ ﺎﱠﻟﹺﺇ ﻲﻨﻋ

ﻪﹺﻳﹾﺃﺮﹺﺑ ﻥﺁﺮﹸﻘﹾﻟﺍ ﻲﻓ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻦﻣﻭ ﹺﺭﺎﻨﻟﺍ ﻦﻣ ﻩﺪﻌﹾﻘﻣ ﹾﺃﻮﺒﺘﻴﹾﻠﹶﻓ ﺍﺪﻤﻌﺘﻣ ﻲﹶﻠﻋ ﺏﹶﺬﹶﻛ ﻦﻤﹶﻓ ﻢﺘﻤﻠﻋ

ﹾﺃﻮﺒﺘﻴﹾﻠﹶﻓ

ﻦﺴﺣ ﹲﺚﻳﺪﺣ ﺍﹶﺬﻫ ﻰﺴﻴﻋ ﻮﺑﹶﺃ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﹺﺭﺎﻨﻟﺍ ﻦﻣ ﻩﺪﻌﹾﻘﻣ

.

٢٨

b. Teks hadis yang dikeluarkan Imâm Ahmad bin Hanbal :

o

ﹴﺱﺎﺒﻋ ﹺﻦﺑﺍ ﹺﻦﻋ ﹴﺮﻴﺒﺟ ﹺﻦﺑ ﺪﻴﻌﺳ ﻦﻋ ﻲﹺﺒﹶﻠﻌﱠﺜﻟﺍ ﻰﹶﻠﻋﹶﺄﹾﻟﺍ ﺪﺒﻋ ﻦﻋ ﹸﻥﺎﻴﹾﻔﺳ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﻊﻴﻛﻭ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﹶﻝﺎﹶﻗ ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﹶﻓ ﹴﻢﹾﻠﻋ ﹺﺮﻴﻐﹺﺑ ﻥﺁﺮﹸﻘﹾﻟﺍ ﻲﻓ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻦﻣ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻢﻬﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹸﻝﻮﺳﺭ

ﹺﺭﺎﻨﻟﺍ ﻦﻣ ﻩﺪﻌﹾﻘﻣ ﹾﺃﻮﺒﺘﻴﹾﻠ

.

٢٩

o

ﹶﻗ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﹴﺱﺎﺒﻋ ﹺﻦﺑﺍ ﹺﻦﻋ ﹴﺮﻴﺒﺟ ﹺﻦﺑ ﺪﻴﻌﺳ ﻦﻋ ﻰﹶﻠﻋﹶﺄﹾﻟﺍ ﺪﺒﻋ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﹸﻥﺎﻴﹾﻔﺳ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﹲﻞﻣﺆﻣ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﹶﻝﺎ

27 Abû ‘Îsâ Muhammad bin ‘Îsâ al-Turmudzî al-Silmi, Sunân al-Turmudzî, (Beirut : Dâr

Ihyâ’ al-Turas al-‘Arabî, tt.),juz 5, h. 199.

28 Abû ‘Îsâ al-Turmudzî, Sunân al-Turmudzî, juz 5, h. 199.

29 Ahmad bin Hanbal Abû ‘Abdillâh al-Syaibani, Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal,


(33)

ﹺﺮﻴﻐﹺﺑ ﻥﺁﺮﹸﻘﹾﻟﺍ ﻲﻓ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻦﻣ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻢﻬﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹸﻝﻮﺳﺭ

ﹺﺭﺎﻨﻟﺍ ﻦﻣ ﻩﺪﻌﹾﻘﻣ ﹾﺃﻮﺒﺘﻴﹾﻠﹶﻓ ﹴﻢﹾﻠﻋ

.

٣٠

o

ﹴﺱﺎﺒﻋ ﹺﻦﺑﺍ ﹺﻦﻋ ﹴﺮﻴﺒﺟ ﹺﻦﺑ ﺪﻴﻌﺳ ﻦﻋ ﻰﹶﻠﻋﹶﺄﹾﻟﺍ ﺪﺒﻋ ﻦﻋ ﹶﺔﻧﺍﻮﻋ ﻮﺑﹶﺃ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﺪﻴﻟﻮﹾﻟﺍ ﻮﺑﹶﺃ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﹶﻝﺎﹶﻗ ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﹶﺚﻳﺪﺤﹾﻟﺍ ﺍﻮﹸﻘﺗﺍ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻢﻬﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹸﻝﻮﺳﺭ

ﻲﹶﻠﻋ ﺏﹶﺬﹶﻛ ﻦﻣ ﻪﻧﹺﺈﹶﻓ ﻢﺘﻤﻠﻋ ﺎﻣ ﺎﱠﻟﹺﺇ ﻲﻨﻋ

ﻩﺪﻌﹾﻘﻣ ﹾﺃﻮﺒﺘﻴﹾﻠﹶﻓ ﹴﻢﹾﻠﻋ ﹺﺮﻴﻐﹺﺑ ﻥﺁﺮﹸﻘﹾﻟﺍ ﻲﻓ ﺏﹶﺬﹶﻛ ﻦﻣﻭ ﹺﺭﺎﻨﻟﺍ ﻦﻣ ﻩﺪﻌﹾﻘﻣ ﹾﺃﻮﺒﺘﻴﹾﻠﹶﻓ ﺍﺪﻤﻌﺘﻣ

ﺭﺎﻨﻟﺍ ﻦﻣ

.

٣١

o

ﺪﺣ ﹶﺔﻧﺍﻮﻋ ﻮﺑﹶﺃ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﹸﻥﺎﱠﻔﻋ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﹺﻦﻋ ﹴﺱﺎﺒﻋ ﹺﻦﺑﺍ ﹺﻦﻋ ﹴﺮﻴﺒﺟ ﹺﻦﺑ ﺪﻴﻌﺳ ﻦﻋ ﻲﹺﺒﹶﻠﻌﱠﺜﻟﺍ ﻰﹶﻠﻋﹶﺄﹾﻟﺍ ﺪﺒﻋ ﺎﻨﹶﺛ

ﻰﹶﻠﻋ ﺏﹶﺬﹶﻛ ﻦﻣﻭ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻢﺘﻤﻠﻋ ﺎﻣ ﺎﱠﻟﹺﺇ ﻲﻨﻋ ﹶﺚﻳﺪﺤﹾﻟﺍ ﺍﻮﹸﻘﺗﺍ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻢﻬﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻲﹺﺒﻨﻟﺍ

ﻮﺒﺘﻴﹾﻠﹶﻓ ﹴﻢﹾﻠﻋ ﹺﺮﻴﻐﹺﺑ ﻥﺁﺮﹸﻘﹾﻟﺍ

ﹺﺭﺎﻨﻟﺍ ﻦﻣ ﻩﺪﻌﹾﻘﻣ ﹾﺃ

.

٣٢

٢

.

ﹶﺄﹶﻄﺧﹶﺃ ﺪﹶﻘﹶﻓ ﺏﺎﺻﹶﺄﹶﻓ ﻪﹺﻳﹾﺃﺮﹺﺑ ﱠﻞﺟﻭ ﺰﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹺﺏﺎﺘﻛ ﻲﻓ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻦﻣ

a. Teks hadis yang dikeluarkan oleh Imâm al-Turmudzî :

ﻦﺑ ﹸﻞﻴﻬﺳ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﹴﻝﺎﹶﻠﻫ ﻦﺑ ﹸﻥﺎﺒﺣ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﺪﻴﻤﺣ ﻦﺑ ﺪﺒﻋ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﹴﻡﺰﺣ ﻮﺧﹶﺃ ﹴﻡﺰﺣ ﻲﹺﺑﹶﺃ ﻦﺑﺍ ﻮﻫﻭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﺪﺒﻋ

ﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹸﻝﻮﺳﺭ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﺪﺒﻋ ﹺﻦﺑ ﹺﺏﺪﻨﺟ ﻦﻋ ﻲﹺﻧﻮﺠﹾﻟﺍ ﹶﻥﺍﺮﻤﻋ ﻮﺑﹶﺃ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﻲﻌﹶﻄﹸﻘﹾﻟﺍ

ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻢﻬ

ﺪﹶﻘﹶﻓ ﺏﺎﺻﹶﺄﹶﻓ ﻪﹺﻳﹾﺃﺮﹺﺑ ﻥﺁﺮﹸﻘﹾﻟﺍ ﻲﻓ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻦﻣ ﻢﱠﻠﺳﻭ

ﺐﻳﹺﺮﹶﻏ ﹲﺚﻳﺪﺣ ﺍﹶﺬﻫ ﻰﺴﻴﻋ ﻮﺑﹶﺃ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﹶﺄﹶﻄﺧﹶﺃ

.

٣٣

b. Teks hadis yang dikeluarkan oleh Imâm Abû Dâud :

ﻨﹶﺛﺪﺣ ﻲﻣﺮﻀﺤﹾﻟﺍ ﺉﹺﺮﹾﻘﻤﹾﻟﺍ ﻕﺎﺤﺳﹺﺇ ﻦﺑ ﺏﻮﹸﻘﻌﻳ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﻰﻴﺤﻳ ﹺﻦﺑ ﺪﻤﺤﻣ ﻦﺑ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﺪﺒﻋ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﹶﺃ ﹶﻥﺍﺮﻬﻣ ﻦﺑ ﹸﻞﻴﻬﺳ

ﻰﱠﻠﺻ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹸﻝﻮﺳﺭ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﹴﺏﺪﻨﺟ ﻦﻋ ﹶﻥﺍﺮﻤﻋ ﻮﺑﹶﺃ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﻲﻌﹶﻄﹸﻘﹾﻟﺍ ﹴﻡﺰﺣ ﻲﺧ

ﹶﺄﹶﻄﺧﹶﺃ ﺪﹶﻘﹶﻓ ﺏﺎﺻﹶﺄﹶﻓ ﻪﹺﻳﹾﺃﺮﹺﺑ ﱠﻞﺟﻭ ﺰﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹺﺏﺎﺘﻛ ﻲﻓ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻦﻣ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻢﻬﱠﻠﻟﺍ

.

٣٤

30 Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal, jilid 1, h. 269.

31 Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal, jilid 1, h. 323.

32 Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal, jilid 1, h. 327.

33 Abû `Îsâ al-Turmudzî, Sunân al-Turmudzî, juz 5, h. 200.

34 Sulaimân bin al-Asy‘as Abû Dâwud al-Sijistanî al-Azdî, Sunân Abî Dâwud, (Beirut,


(34)

Hadis-hadis di atas secara umum bersumber dari dua orang sahabat, hadis pertama bersumber dari Ibn ‘Abbâs, sedangkan hadis kedua bersumber dari Jundub, artinya hadis-hadis di atas diriwayatkan oleh orang perorang (ahâd) atau tidak sampai pada derajat mutawâtir, oleh karena itu meneliti sejauh mana kualitasnya menjadi penting guna digunakannya sebagai hujjah.

Pada hadis-hadis model pertama, keenam matan hadis tersebut bersamaan maknanya. Perbedaan lafaz memang ada, tetapi tidak menjadikan perbedaan makna. Untuk memperlihatkan jalur sanad hadis yang diteliti, maka penulis akan melakukan i’tibâr.35 Kegiatan i’tibâr dilakukan untuk memperlihatkan dengan jelas seluruh jalur sanad hadis yang diteliti, termasuk juga nama-nama periwayatnya, dan metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan.36

Sebelum dikemukakan skema sanadnya, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan terlebih dahulu sehingga skema akan lebih mudah disusun dan dipahami. Dalam hadis model pertama, pada keenam sanadnya terdapat nama-nama periwayat yang ditulis secara berbeda, tetapi maksudnya sama yakni ‘Abd al-A’lâ yang pada dua sanad Ahmad bin Hanbal ditulis secara lengkap, yakni ‘Abd A’lâ Tsa’labî, yang pada sanad lainnya hanya ditulis dengan ‘Abd al-A’lâ. Dan pada skema nanti, akan ditulis dengan ‘Abd al-A’lâ saja. Selanjutnya,

35 Kata i’tibâr merupakan masdar dari kata i’tabara yang berarti peninjauan terhadap

berbagai hal yang dimaksud untuk dapat mengetahui yang sejenis dengannya. Sedangkan menurut

ilmua hadis i’tibâr berarti menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadistertentu yang pada

bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja, dan dengan menyertakan sanad-sanad lain akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak ada. Lihat M.

Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 52.

36 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992),


(35)

mulai periwayat pertama sampai dengan periwayat ketiga, tidak terdapat periwayat yang berstatus pendukung (corroboration) baik berupa syahid37 maupun mutabi’38. Pada periwayat keempat, kelima, dan bagi sanad Turmudzî periwat keenam, barulah terdapat mutabi’. Dengan demikian, mulai periwayat pertama sampai dengan periwayat ketiga, sanad hadis termasuk garîb, dan barulah pada periwayat keempat, sanad tersebut menjadi masyhûr.

Pada hadis model kedua, pada kedua sanadnya terdapat tiga orang periwayat yang nama-nama mereka dikemukakan secara tidak seragam, yakni Jundub, Abû ‘Imrân dan Suhail bin Mihrân yang pada sanad Turmudzî ditulis Jundub bin ‘Abdillah, Abû ‘Imrân al-Jaunî dan Suhail bin ‘Abdillah, sedangkan pada sanad Abû Dâwud ditulis Jundub, Abû ‘Imrân dan Suhail bin Mihrân. Dan pada skema nanti akan ditulis Jundub bin ‘Abdillah, Abû ‘Imrân al-Jaunî dan Suhail bin ‘Abdillah. Selanjutnya, mulai periwayat pertama sampai dengan periwayat ketiga, tidak terdapat periwayat yang berstatus pendukung (corroboration) baik berupa syahid maupun mutabi’. Pada periwayat keempat, kelima, dan bagi sanad Turmudzî periwat keenam, barulah terdapat mutabi’.

Dan untuk memperjelas dan mempermudah proses penelitian sanad, maka diperlukan pembuatan skema untuk seluruh sanad hadis yang akan diteliti. Berikut gambaran skematis jalur periwayatan hadis-hadis di atas :

37 Pengertian syahid (dalam istilah ilmu hadis biasa diberi kata jamak dengan syawahid)

ialah periwayat yang berstatus pendukung yang berkedudukan sebagai sahabat Nabi. Lihat M.

Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 53.

38 Yang dimaksud mutabi’ (biasa juga disebut tabi’ dengan jamak tawabi’) ialah

periwayat yang berstatus pendukung pada periwayat yang bukan sahabat Nabi. Lihat M. Syuhudi


(36)

ﻦﻋ ﻦﻋ ﻦﻋ ﻦﻋ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

SKEMA SANAD HADIS TENTANG LARANGAN MENAFSIRKAN DENGAN RA’YU

Hadis I

ْﻦَﻣ َﻢﱠﻠَﺳَو ِﮫْﯿَﻠَﻋ ﻢﮭﱠﻠﻟا ﻰﱠﻠَﺻ ِﮫﱠﻠﻟا ُلﻮُﺳَر َلﺎَﻗ ِنآْﺮُﻘْﻟا ﻲِﻓ َلﺎَﻗ

ِرﺎﱠﻨﻟا َﻦِﻣ ُهَﺪَﻌْﻘَﻣ ْأﱠﻮَﺒَﺘَﯿْﻠَﻓ ٍﻢْﻠِﻋ ِﺮْﯿَﻐِﺑ

ﹺﻦﺑﺍ

ﹴﺱﺎﺒﻋ

ﺪﻴﻌﺳ

ﹺﻦﺑ

ﹴﺮﻴﺒﺟ

ﺪﺒﻋ

ﻰﹶﻠﻋﹶﺄﹾﻟﺍ

ﻮﺑﹶﺃ

ﹶﺔﻧﺍﻮﻋ

ﹸﻥﺎﻴﹾﻔﺳ

ﹲﻞﻣﺆﻣ

ﻊﻴﻛﻭ

ﺪﻳﻮﺳ

ﻦﺑ

ﻭﹴﺮﻤﻋ

ﹸﻥﺎﱠﻔﻋ

ﺪﻴ

ﻟﻮﹾﻟﺍ

ﻮﺑﹶﺃ

ﻱﹺﺮﺴﻟﺍ

ﻦﺑ

ﺮﺸﹺﺑ

ﹸﻥﺎﻴﹾﻔﺳ

ﻦﺑ

ﹴﻊﻴﻛﻭ

ﹶﻥﺎﹶﻠﻴﹶﻏ

ﻦﺑ

ﺩﻮﻤﺤﻣ

ﻯﺬﻣﺮﺘﻟﺍ


(37)

ﻦﻋ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﺪﺣ ﺎﻨﹶﺛ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

SKEMA SANAD HADIS TENTANG LARANGAN MENAFSIRKAN DENGAN RA’YU

Hadis II

َﻋ ﻢﮭﱠﻠﻟا ﻰﱠﻠَﺻ ِﮫﱠﻠﻟا ُلﻮُﺳَر َلﺎَﻗ َﺄَﻄْﺧَأ ْﺪَﻘَﻓ َبﺎَﺻَﺄَﻓ ِﮫِﯾْأَﺮِﺑ ِنآْﺮُﻘْﻟا ﻲِﻓ َلﺎَﻗ ْﻦَﻣ َﻢﱠﻠَﺳَو ِﮫْﯿَﻠ

ﹺﺏﺪﻨﺟ

ﹺﻦﺑ

ﺪﺒﻋ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻮﺑﹶﺃ

ﹶﻥﺍﺮﻤﻋ

ﻲﹺﻧﻮﺠﹾﻟﺍ

ﹸﻞﻴﻬﺳ

ﻦﺑ

ﺪﺒﻋ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﺏﻮﹸﻘﻌﻳ

ﻦﺑ

ﻕﺎﺤﺳﹺﺇ

ﺪﻤﺤﻣ

ﹺﻦﺑ

ﻰﻴﺤﻳ

ﻦﺑ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﺪﺒﻋ

ﻮﺑﺍ

ﺩﻭﺍﺩ

ﹸﻥﺎﺒﺣ

ﻦﺑ

ﹴﻝﺎﹶﻠﻫ

ﺪﺒﻋ

ﻦﺑ

ﺪﻴﻤﺣ

ﻯﺬﻣﺮﺘﻟﺍ


(38)

Pada gambaran skema sanad hadis pertama di atas, telihat hadis ini diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbâs dari Nabi Muhammad Saw. Secara marfû’ qawlî haqîqî.39 Hadis tersebut keseluruhannya bersumber dari Ibn ‘Abbâs, yang kemudian ditransmisikan kepada Sa`îd bin Jubair, lalu kepada ‘Abd al-A’lâ, melalui ‘Abd al-A’lâ inilah bercabang kepada Sufyân dan Abû ‘Awânah. Beberapa rawi yang meriwayatkan dari Sufyân antara lain Wakî’ dan Muammal sebagaimana di-takhrîj Imam Ahmad, sementara yang meriwayatkan dariSufyan yang di-takhrîj Imam al-Turmudzî adalah Bisyr bin al-Sariyy melalui Mahmûd bin Gailân. Sementara rawi yang meriwayatkan dari Abû `Awânah antara lain Suwaid bin ‘Amr yang di-takhrîj Imam al-Turmudzî melalui Sufyân bin Wakî’, rawi lainnya adalah (yang meriwayatkan dari Abû ‘Awânah) Abû al-Walîd dan ‘Affân yang di-takhrîj Imam Ahmadbin Hanbal.

Dan pada hadis kedua di-takhrîj oleh dua mukharrij yaitu Imam al-Turmudzî dan Imam Abû Dâwud, yang di-takhrîj Imam al-Turmudzî dari ‘Abd bin Humaid dari Habbân bin Hilâl dari Suhail dari Ab^u ‘Imrân al-Jaunî dari Jundub bin ‘Abdillâh. Yang lainnya di-takhrîj Imam Abû Dâwud melalui ‘Abdullâh bin Muhammad bin Yahyâ dari Ya’qûb bin Ishâq al-Hadrâmî dari Suhail dengan jalur yang sama dengan jalur sanad al-Turmudzî.

Dalam hubungannya dengan penelitian sanad, maka unsur-unsur kaidah kesahihan hadis yang berlaku untuk sanad dijadikan sebagai acuan. Unsur-unsur itu ada yang berhubungan dengan rangkaian atau persambungan sanad dan ada

39Marfû’ qawlî haqîqî ialah apa yang disandarkan oleh sahabat kepada Nabi Saw. tentang

sabdanya, bukan perbuatan atau ikrarnya. Lihat Fatchur Rahman, Ikhtisâr Mustalahul Hadîts,


(39)

yang berhubungan dengan keadaan pribadi atau kualitas para periwayatnya, untuk itu diperlukan penelitian secara spesifik terhadap masing-masing periwayatnya. Dan hasilnya dapat dilihat pada keterangan di bawah ini :

o Hadis I

Jalur al-Turmudzî melalui Mahmûd bin Gailân 1. Al-Turmudzî

Nama lengkapnya adalah Abû Îsa Muhammad bin Îsâ bin Surah, beliau adalah seorang muhaddits yang dilahirkan di kota Turmudz, sebuah kota kecil di pinggir utara sungai Amuderiya, sebelah utara Iran. Beliau dilahirkan di kota tersebut pada bulan dzulhijjah tahun 200 H (824 M) dan wafat di Turmudz juga pada akhir Rajab tahun 279 H (892 M).40

Beliau menyusun satu kitab Sunan dan kitab ‘Ilâl al-Hadîts. Pada akhir kitabnya beliau menerangkan, bahwa semua hadis yang terdapat dalam kitab ini adalah ma’mûl (dapat diamalkan).41

Beliau meriwayatkan hadis dari Qutaibah bin Sa’d, Ishâq bin Rahawaih, Muhammad bin Amru al-Sawaq al-Balkhî, Mahmûd bin Gailân, Ismâ‘îl bin Mûsâ al-Fazari, Abû Mus‘ab al-Zuhrî, Bisyri bin Mu‘âdz al-Aqdî, al-Hasan bin Ahmad bin Abî Syu‘aib, Sufyân bin Wakî’, ‘Ali bin Hujr, Hannnâd, ‘Abd bin Humaid, Yûsuf bin Îsâ, Muhammad bin Yahyâ, Khalad bin Aslam, Ahmad bin Munî’, Bukhârî, Muslim, Ahmad bin Hanbal, Abû ‘Umar al-Dârir, Muslim bin Ibrâhîm, Abû Kuraib dan lainnya. Sedangkan yang meriwayatkan hadis darinya

40 Fatchur Rahman, Ikhtisâr Mustalahul Hadîts, h. 382-383.


(40)

di antaranya yaitu Abû Hamid Ahmad bin ‘Abdillah bin Dâwud al-Marwazî, Makhul bin Fadl, Muhammad bin Mahmûd bin ‘Anbar, Hammâd bin Syakir, Ahmad bin Yûsuf al-Nasafi, ‘Abd al-Rahmân Mubârakfûrî dan lainnya. Beberapa penilaian ulama terhadapnya antara lain Ibn Hibbân menilai tsiqah, al-Khalîl menilai tsiqah muttafaq ‘alaih.42

Pernyataan al-Turmudzî bahwa ia menerima riwayat dari Mahmûd bin Gailân dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis, serta masa hidup dan tahun wafat mereka berdekatan.

2. Mahmûd bin Gailân

Nama lengkapnya Mahmûd bin Gailân al-‘Adawî, Abû Ahmad al-Marwazî al-Bagdâdî, ia wafat pada tahun 249 H. Ia meriwayatkan hadis dari Wakî’, Ibn ‘Uyainah, al-Nadr bin Syumail, Abû Ahmad al-Zubairî, ‘Abd al-Razzâq, Abû Usâmah, Basyar bin al-Sariyy, Sa`id bin ‘Amîr al-Dabî`iy, Abû Dâwud al-Badramî, Mu`awiyyah bin Hisyâm dan lainnya.

Perawi yang meriwayatkan darinya cukup banyak dari kalangan ulama selain Abû Dâwud, al-Hakîm dan beberapa perawi saja. Ulama menilainya bagus seperti Al-Nasâ’î menilainya tsiqah, Ibn Hibbân juga menyebutkan namanya dalam kitab al-tsiqât.43

Pernyataan Mahmûd bin Gailân bahwa ia menerima riwayat dari Bisyr bin al-Sariyy dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang

42 Shihâb al-Dîn Ahmad bin ‘Alî bin Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, (Beirut: Dâr

al-Fikr, 1984), juz 10, h. 113.


(41)

bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis, serta masa hidup dan tahun wafat mereka berdekatan.

3. Bisyr bin al-Sariyy

Nama lengkapnya Bisyr bin al-Sariyy al-Basrî, Abû ‘Amr al-Makkî, ia wafat pada tahun 196 H dalam usia 63 tahun.44 Ia meriwayatkan hadis dari Sufyân al-Tsaurî, Hammâd bin Salamah, Ibn al-Mubârak, al-Lais bin Sa‘d, Ibrâhîm bin Tuhmân, ‘Umar bin Sa‘îd bin Abî Husain, ‘Abd al-Razzâq, Nâfi’ bin ‘Umar bin Muhammad dan lainnya. Perawi yang meriwayatkan darinya antara lain Yahyâ bin Adam, Ahmad bin Hanbal, Abû Haisamah, Khalid bin Yazîd al-Qarnî, Abû Sâlih (sekretarisnya al-Lais), Mahmûd bin Gailân al-Marwazî dan lainnya.

Beberapa penilaian ulama di antaranya adalah Abû Hatîm menilainya Tsabt Sâlih, Ibn Sa‘d menilainya tsiqah, al-‘Ijlî menilainya tsiqah, Ahmad menyebutkan muttaqîn fî al-hadîts, ibn Ma’în menilainya tsiqah. 45

Pernyataan Bisyr bin Sariyy bahwa ia menerima riwayat dari Sufyân al-Tsaurî dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis, serta masa hidup dan tahun wafat mereka berdekatan.

4. Sufyân

Nama lengkapnya adalah Sufyân bin Sa‘îd bin Masrûq al-Tsaurî, Abû ‘Abdillah al-Kûfî. Ia lahir pada tahun 96 H di Kuffah, kemudian ia pergi ke

44 Jamaluddin Yûsuf al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl, (Beirut: Dâr al-Fikr,

1994), Juz 11, h. 79.


(42)

Basrah pada tahun 155 H, dan wafat pada tahun 161 H.46

Ia meriwayatkan hadis dari bapaknya Sa‘îd bin Masrûq al-Tsaurî, Ibrâhîm bin ‘Abd al-A’lâ, Ibrâhîm bin ‘Uqbah, Ibrâhîm bin Muhammad bin al-Muntasyir, Usamah bin Zaid al-Laitsî, Zaid bin Aslam, Hisyâm bin ‘Urwah, , Suhail bin Abî Sâlih, ‘Abd al-A’lâ bin ‘Âmir, ‘Abdullah bin Jâbir al-Basrî dan lainnya.

Perawi yang meriwayatkan hadis darinya antara lain Ibrâhîm bin Sa’d, Umayyah bin Khâlid, Bisyr bin Sariyy, Sufyân bin ‘Uyainah, Wakî’ bin al-Jarrâh, Yahyâ bin Sa‘îd al-Qattân, ‘Abdullah bin Wahab, ‘Abd al-Rahman bin Mahdî, Muhammad bin al-Hasan al-Asadî, Muammal bin Ismâ‘îl dan lainnya.

Beberapa penilaian ulama terhadapnya adalah Wakî’ bin Syu’bah mengatakan Sufyân ahfazu minnî, al-‘Ijlî menilainya ahsanu isnâd, Syu’bah mengatakan bahwa Ia seorang yang wara’ dan ‘alîm.47

Pernyataan Sufyân al-Tsaurî bahwa ia menerima riwayat dari ‘Abd al-A’lâ dengan ungkapan ‘an dapat diterima sebagai sanad yang bersambung karena penilaian ta’dil terhadapnya oleh kritikus hadis, serta tempat tinggal Sufyân al-Tsaurî dan ‘Abd al-A’lâ sama-sama di Kuffah .

5. ‘Abd al-A’lâ

Nama lengkapnya ‘Abd al-A’lâ bin ‘Âmir al-Sa’labî al-Kûfî. Ia meriwayatkan hadis dari Abû ‘Abd al-Rahmân al-Sulâmî, Muhammad bin Hanafiyyah, Sa‘îd bin Jubair, Bilâl bin Abî Musâ dan lainnya.

Perawi yang meriwayatkan darinya adalah ‘Alî bin ‘Abd al-A’lâ, Muhammad bin Jahadah, Isrâ‘il bin Yûnus, Abû ‘Awânah, Sufyân al-Tsaurî,

46 Jamaluddin Yûsuf al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl, Juz 7, h. 363-364.


(43)

Abû al-Ahwâs dan lainnya.

Beberapa penilaian ulama antara lain, Abû Zur‘ah dan Ahmad bin Hanbal menilainya da’îf al-hadîts, Al-Nasâ’î dan Abû Hatim menilainya laisa bi al-qawî,48 namun al-Turmudzî menilainya hasan bahkan al-Hakîm menilainya sahîh.49

‘Abd al-A’lâ dinilai oleh ulama kritikus hadis dengan tajrih, tetapi tingkat pen-tajrih-annya adalah yang paling rendah, dan ulama yang tajrih-nya adalah ulama yang terkenal berkesangatan bila men-tajrih seorang perawi yakni Abû Hâtim dan al-Nasâ’î. Di sisi lain al-Turmudzî menilainya hasan bahkan al-Hâkim menilainya sahîh, dalam hal ini memang dikarenakan al-Turmudzî termasuk kritikus hadis hadis yang moderat (tawasut) dalam menilai perawi, sedangkan al-Hâkim termasuk kritikus hadis yang longgar (tasahul) dalam menilai perawi. Oleh karena itu, penulis lebih condong pada penilaian moderat al-Turmudzî yakni ‘Abd al-A’lâ adalah orang yang hasan. Dan penilaian tajrih kepadanya itu bisa dikarenakan kurangnya ke-dabit-an bukan dari keadilannya. Dan pernyataan bahwa ‘Abd al-A’lâ menerima riwayat dari Sa’îd bin Jubair dengan ungkapan ‘an dapat diterima sebagai sanad yang bersambung karena di dalam kitab Tahdzîb al-Kamâl dijelaskan bahwa ‘Abd al-A’lâ meriwayatkan hadis dari Sa’îd bin Jubair serta tempat tinggal mereka sama-sama di Kuffah.

6. Sa‘îd bin Jubair

Nama lengkapnya Sa’îd bin Jubair bin Hisyâm al-Asadî, Abû ‘Abdillah

48 Jamaluddin Yûsuf al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl, Juz 11, h. 6-7.


(44)

al-Kûfî, wafat di Iraq pada tahun 94 H. Ia meriwayatkan hadis dari Ibn ‘Abbâs, Ibn al-Zubair, Ibn ‘Umâr, Ibn Ma’qîl, Abû Mas‘ûd al-Ansârî, Abû Hurairah, ‘Âisyah, Abî Mûsâ al-Asy‘arî, Anas bin Mâlik, Abî Sa‘îd al-Khudrî dan lainnya.

Di antara perawi yang meriwayatkan darinya adalah Abdullah bin Sa‘îd ‘Abd al-Malîk bin Sa‘îd, ‘Abd al-A’lâ, Abû Ishâq al-Sabi‘î, Adam bin Sulaimân, Mansûr bin al-Mu’tamir, Talhah bin Masrâf dan lainnya. Tentang kualitasnya, Abû al-Qâsim al-Tabarî menilainya tsiqah, Ibn Hibbân menyebutkan dalam kitabnya al-Tsiqât bahwa ia seorang yang faqîh serta ‘abîd.50

Pernyataan Sa’îd bin Jubair bahwa ia menerima riwayat dari Ibn ‘Abbâs dengan ungkapan ‘an dapat diterima sebagai sanad yang bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis, serta masa hidup dan tahun wafat mereka berdekatan.

7. Ibn ‘Abbâs

Nama lengkapnya adalah ‘Abdullâh bin ‘Abbâs bin `Abd al-Mutallib al-Hasyimî, anak laki-laki dari paman Nabi Muhammad Saw., ia dikenal dengan habr dan bahr (tinta dan lautan) karena banyaknya ilmu Ibn `Abbâs ini, ia wafat pada tahun 69 H ada juga yang menyatakan tahun 70 H.51

Beliau banyak meriwayatkan hadis dari Nabi Muhamad Saw., juga dari ayahnya, ibunya (Umm Fadl), saudara laki-lakinya (Fadl), bibinya (Maimunah), Abû Bakr, ‘Umâr, ‘Utsmân, ‘Alî, ‘Abd al-Rahmân bin ‘Auf dan lainnya. Dan yang meriwayatkan hadis darinya antara lain: ‘Abdullâh Ibn ‘Umâr bin al-Khattâb, Sa’labah bin al-Hakam, al-Laisi, Sa’îd bin al-Musayyib, ‘Abdullâh bin

50 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 4, h. 11-13.


(45)

al-Haris bin Naufal, Sa’îd bin Jubair dan lainnya.52

Tentang kredibilitasnya tidak dipertanyakan lagi, lebih-lebih Nabi Muhammad Saw. pernah berdo’a khusus untuknya allâhumma faqqihhu fî al-dîn wa ‘a11imhu al-ta’wîl. Oleh karena itu, pernyataan Ibn ‘Abbâs bahwa ia menerima riwayat dari Nabi Saw. dengan ungkapan qâla dan ‘an yang menunjukkan bahwa Ibn ‘Abbâs benar-benar mendapatkan hadis tersebut dari Nabi Saw. dapat diterima. Dengan demikian, antara Nabi dan Ibn ‘Abbâs telah terjadi persambungan periwayatan hadis.

Jalur al-Turmudzî melalui Sufyân bin Wakî’ 1. Al-Turmudzî (telah dijelaskan di halaman 28-29)

Al-Turmudzî menyatakan bahwa ia menerima riwayat dari Sufyân bin Wakî’ dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis terhadapnya, serta masa hidup dan tahun wafat mereka berdekatan.

2. Sufyân bin Wakî’

Nama lengkapnya adalah Sufyân bin Wakî’ bin al-Jarrâh al-Ruwâsî, Abû Muhammad al-Kûfî, ia wafat pada tahun 247 H yaitu pada bulan Rabî’ al-Tsanî.

Dia meriwayatkan hadis dari Abû Mu‘awiyyah, Humaid bin ‘Abd al-Rahmân al-Ruwâsî, Ibn Idrîs, Ibn ‘Uyainah, Ibn Wahhâb, Suwaid bin ‘Amr, Jarîr bin ‘Abd al-Humaid, ‘Isâ bin Yûnus dan lainnya.

Di antara perawi yang meriwayatkan darinya adalah al-Turmudzî, ibn


(46)

Mâjah, Ibn Makhlad, anaknya ‘Abd al-Rahmân bin Sufyân, Abû Bakar bin ‘Alî al-Marwazî dan lainnya. Penilaian para kritikus hadis terhadapnya seperti Al-Nasâ’î menilainya laisa bisyai’, Ibn Hibbân menyatakan kâna syaikhan fâdilan sadûqan.53

Pernyataan Sufyân bin Wakî’ bahwa ia menerima riwayat dari Suwaid bin ‘Amr dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis, tempat tinggal mereka yang sama-sama di Kuffah serta masa hidup dan tahun wafat mereka berdekatan. 3. Suwaid bin ‘Amr

Nama lengkapnya Suwaid bin ‘Amr al-Kalbî, Abû al-Walîd al-Kûfî, ia wafat tahun 203 H. ada pula yang menyebutkan tahun 204 H. Ia meriwayatkan hadis dari Hammâd bin Salamah, Zuhair bin Mu‘awiyyah al-Bimsi, Abû ‘Awânah, al-Hasan bin Sâlih, Dâwud bin Nâsir, Anas bin Huyy dan lainnya. Dan perawi yang meriwayatkan darinya adalah Ahmad bin Hanbal, Ahmad bin Muhammad, Abu Bakr bin Abî Syaibah, Sufyân bin Wakî’ dan lainnya.

Komentar ulama terhadapnya antara lain al-Nasâ’î, ‘Usmân bin Sa‘îd, dan ibn Ma‘în menilainya tsiqah, al-‘IjIî menilainya tsiqah tsabat fî al-hadîts, kâna rijâlan sâlihan mutaabbidan, 54.

Pernyataan Suwaid bin ‘Amr bahwa ia menerima riwayat dari Abû ‘Awânah dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis, serta masa hidup dan tahun wafat mereka berdekatan.

53 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 4, h. 109-110.


(1)

Akan tetapi Syarîf al-Murtadâ mengatakan bahwa ةﺮﻇﺎﻧ dalam ayat itu tidaklah dimaksud melihat dengan mata kepala, tetapi ia membawa kepada salah satu dari beberapa kemungkinan arti lain yaitu رﺎﻈﺘﻧٍﻻا (menunggu) atau ﺔﻤﺣﺮﻟاو ﻒﻄﻌﻟا (kasih sayang) atau ﺮﻜﻔﺘﻟاو ﻞﻣﺄﺘﻟا (berfikir dan merenungkan) atau ءﺎﺟﺮﻟاو ﻊﻗﻮﺘﻟا (menunggu) atau kemungkinan arti lainnya. Di antara mereka bahkan ada yang mengatakan bahwa kata ﻰﻟٍا dalam ayat tersebut bukanlah huruf, tapi merupakan kata benda yang berarti nikmat. Sehingga ayat tersebut diartikan “menunggu nikmat Tuhan mereka”. Pengertian tersebut menunjukkan suatu takwil yang sangat jauh dan menyimpang serta bertolak dari segi uslûb al-bayân dan kaedah bahasa.107

Dengan maksud membela kepentingan aliran mereka, tokoh dari aliran ini telah berani menundukkan sebagian dari lafaz dan ayat al-Qur’an dalam karyanya sesuai dengan kehendak bebas nalarnya. Sehingga ulama menilai ini sebagai tindakan yang berlebihan dalam menafsirkan al-Qur’an dan jauh dari kebenaran.108

Demikianlah satu contoh tafsir terhadap ayat yang semata-mata hanya berlandaskan rasio, tanpa didukung oleh dalil atau bukti yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, serta telah secara sengaja menakwilkan al-Qur’an sesuai nalar bebas mereka.

107 Kusmana dan Syamsuri, ed., Pengantar Kajian Al-Qur’an: Tema Pokok, Sejarah dan

Wacana Kajian, (Jakarta: Pustaka AlHusna Baru, 2004), h. 191.


(2)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melakukan penelitian terhadap hadis-hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y, maka dapat disimpulkan bahwa kualitas keseluruhan hadis tidak sampai derajat sahih, melainkan hasan saja, karena terdapat perawi yang tingkat ke-dabit-annya lemah seperti ‘Abd al-A’lâ dan Mu’ammal pada jalur sanad hadis model pertama. Dan Suhail bin ‘Abdillâh pada jalur sanad model kedua.

Apabila ditinjau dari isi hadis, kesemuanya berupa ungkapan Nabi Saw., artinya termasuk kategori hadis qaulî. Semua hadis tersebut bersandar kepada Rasulullah Saw., artinya semuanya berkategori marfû’, lebih spesifiknya marfû’ qaulî haqîqî Dan apabila ditinjau dari jumlah perawi yang meriwayatkan hadis tersebut, hadis model pertama hanya diriwayatkan oleh Sahabat Ibn ‘Abbâs bahkan hingga tâbi’ al-tabi‘în diriwayatkan oleh satu perawi saja, oleh karena itu hadis tersebut dinilai sebagai hadis garîb, demikian pula dengan hadis model kedua yang juga garîb mulai dari Sahabat Jundub bin ‘Abdillâh hingga tâbi’ al-tabi‘în.

Tentang kandungan hadis tersebut terdapat perbedaan beberapa ulama yakni yang melarang menafsirkan dengan ra’y dan yang membolehkannya, dan apabila diteliti kembali sebenarnya perbedaan pendapat tersebut bukan pada tataran makna al-ra’y secara kontekstual, melainkan pada tataran tekstual saja.


(3)

Sehingga secara garis besar pemaknaan al-ra’y dalam perdebatan ini perlu dipahami dari dua sisi, yaitu:

3. Sekiranya al-ra’y itu digunakan pada ayat dengan tetap memiliki kesesuaian dengan ungkapan orang Arab juga seirama dengan kandungan al-Qur’an dan al-Sunnah (secara umum) berikut tetap memelihara keseluruhan persyaratan yang dibutuhkan dalam menafsirkan al-Qur’an, maka penggunaan al-ra’y seperti ini diperbolehkan tanpa keraguan.

4. Sebaliknya, bila al-ra’y tersebut diberlakukan tanpa memandang ketentuan-ketentuan kebahasan (dalam hal ini bahasa Arab) juga tidak sesuai dengan dalil-dalil syar‘î atau tidak memenuhi persyaratan-persyaratan yang dibutuhkan di dalam penafsiran. Maka semua ulama sepakat penggunaan al-ra’y yang demikian ini terlarang.

Sehingga tafsir bi al-ra’y yang masih memenuhi persyaratan penafsiran yaitu yang menelaah dari segi kebahasaan, rnemperhatikan riwayat yang terkait dengan situasi dan kondisi saat ayat tersebut turun, memahami nasîkh mansûkh dan lainnya juga selaras dengan prinsip syar‘î, maka diperkenankan.

B. Saran-saran

Setelah penulis melakukan penelitian ini tampaknya perlu ditindak lanjuti dengan penelitian berikutnya yaitu meneliti secara seksama kitab-kitab tafsir yang ada, apakah masih dalam koridor tafsir bi al-ra’y yang tidak masuk pada kategori diancam Nabi Saw. atau justru tafsir tersebut benar-benar hanya menggunakan nalar atau hawa nafsunya semata.


(4)

Penulis juga merasa bahwa apa yang telah dilakukan belum sepenuhnya menyelesaikan persoalan, oleh sebab itu masih membutuhkan kritik konstruktif dari berbagai pihak yang memiliki konsen di bidang kajian tafsir dan hadis Nabi Saw. Selebihnya, penulis berharap apa yang telah dilakukan ini ada manfaatnya khususnya bagi penulis sendiri, dan umumnya bagi pembaca skripsi ini.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Âbâdî, Muhammad Syâm al-Haq al-‘Azîm Abû al-Tayyib. ‘Aun al-Ma’bûd. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415.

Abror, Indal. Syuhudi Ismail dan Metodologi Pemahaman terhadap Hadis Nabi. Yogyakarta: Juli, 2000.

Abû ‘Abdillâh al-Syaibanî, Ahmad bin Hanbal. Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal. Mesir: Mu‘assasah Qartah, tt.

Abû al-Fadl, Jamâl al-Dîn Muhammad bin Mukarram al-Ifriqî al-Misrî. Lisân al-‘Arab. Beirut: Dâr al-Sadîr, 1990.

Abû Dâwud al-Sijistanî al-Azdî, Sulaimân bin al-Asy‘as. Sunân Abî Dâwud. Beirut, Dâr al-Fikr, tt.

Al-Adlabî, Salâh al-Dîn bin Ahmad. Manhâj Naqd al-Matan. Beirut: Dâr al-Afâq al-Jadîdah, 1993.

Al-‘Asqalânî, Shihâb al-Dîn Ahmad bin `Alî bin Hajar. Tahdzîb al-Tahdzîb. Beirut: Dâr al-Fikr, 1984.

Al-Dzahabî, Al-Imâm Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman. Siar al-A’lam al-Nubalâ. Beirut: Muassasat al-Risâlah, 1992.

Al-Dzahabî, Muhammad Husain. Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn. Beirut: Dâr al-Kutub al-Hadisah, tt.

Al-Gazâlî, Muhammad bin Muhammad. Ihya ‘Ulûm al-Dîn. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.

Al-Mizzî, Jamaluddin Yûsuf. Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl. Beirut: Dâr al-Fikr, 1994.

Al-Mubârakfurî, Abû al-‘Ulâ Muhammad ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Abd al-Rahîm. Tuhfah al-Ahwazi bi Syarh Jâmi’ al-Turmudzî. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.

Al-Qattân, Mannâ’ Khalîl. Mabâhits fî ‘Ulûm Qur’ân. Beirut: Mu’assasah al-Risâlah, 1990.


(6)

Al-Rumî, Fahd bin ‘Abd al-Rahmân. ‘Ulûm al-Qur’ân: Studi Kompleksitas al-Qur'an, terj. Amirul Hasan dan Muhamad Halabi. Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999.

Al-Sa‘âtî, Ahmad ‘Abd al-Rahmân al-Banna. Al-Fath al-Rabbânî. Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turas al-‘Arabî, tt.

Al-Sâbûnî, Muhammad ‘Alî. Al-Tibyân fî ‘Ulûm Qur’ân. Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1984.

Al-Salîh, Subhi. ‘Ulûm al-Hadîts wa Mustalâhuhu. Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malayin, 1977.

Al-Syirbasî, Ahmad. Sejarah Tafsir al-Qur’an, terj. Tim Pustaka firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.

Al-Turmudzî al-Silmî, Abû ‘Îsâ Muhammad bin ‘Îsâ. Sunan al-Turmudzî. Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turas al-`Arabî, tt.

Al-Zarkâsyî, Muhammad bin’Abdullah. Al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Beirut: Dâr al-Fikr, 1988.

Ismail, Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Telaah Ma‘ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

_____, Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Kusmana dan Syamsuri, ed. Pengantar Kajian Al-Qur’an: Tema Pokok, Sejarah dan Wacana Kajian. Jakarta: Pustaka AlHusna Baru, 2004.

Mûsâ, Kamîl dan Dahruj, ‘Alî. Kaifa Nafham al-Qur’ân, Dirâsah fî al-Mazâhib al-Tafsriyah wa Ijtihâdihâ. Beirut: Dâr al-Mahrusah, 1992.

Qardâwî, Yûsuf. Metode Memahami al-sunnah dengan Benar, terj. Syaifullah Kamalie. Jakarta : Media Dakwah, 1994.

Rahman, Fatchur. Ikhtisâr Mustalâhul Hadîts. Bandung : Alma’arif, 1974.

Wensinck, A.J. Al-Mu’jâm al-Mufahrâs li Alfâz al-Hadîts al-Nabâwî. Leiden : EJ. Brill, 1943.

Yunus ‘Ubaid, Hasan. Dirâsat wa Mabâhits fî Tarîkh al-Tafsîr wa Manâhij al-Mufassirîn. Mesir: Markâz al-Kitâb Ii al-Nasyr, tt.