subsektor perdagangan, hotel, dan restoran yang tinggi seperti Kabupaten Badung, Gianyar, dan Kota Denpasar cendrung memiliki
pendapatan per kapita yang lebih tinggi dalam hal ini di atas median pendapatan per kapita kabupatenkota, baik pada tahun
2001 maupun tahun 2008. Sebaliknya, kabupatenkota yang mempunyai andil subsektor perdagangan, hotel, dan restoran yang
rendah cenderung memiliki pendapatan per kapita yang rendah dari median, seperti Kabupaten Karangasem dan Tabanan.
2.5 Ketimpangan Kapasitas Fiskal Antar KabupatenKota
Sebagai akibat tidak meratanya sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi kemampuan kabupatenkota di Propinsi Bali
dalam menghimpun Pendapatan Asli Daerah PAD sangat timpang, seperti yang disajikan pada Tebel 2.5
Tabel 2.5 Pendapatan Asli Daerah KabupatenKota di Propinsi Bali,
Tahun Anggaran 2001 – 2006 Rp juta
No KabKota 2001 2002 2003 2004 2005 2006
1 Buleleng 14.922
16.162 18.769
19.290 22.874 26.037
2 Jembrana 5.540
11.555 11.056
9.785 9.916 12.770
3 Tabanan 22.246
33.107 34.574
43.359 42.403 44.224
4 Badung 355.375
310.666 221.438
332.317 388.583 362.125
5 Gianyar 50.108
54.386 37.132
49.739 55.007 67.372
6 Bangli 5.049
6.000 7.962
7.395 7.693 9.413
7 Klungkung 9.837
11.250 12.234
11.913 16.374 18.983
8 Kr.Asem 18.560
21.124 19.513
19.763 23.910 28.840
9 Denpasar 113.202
91.763 88.548
90.728 116.303 126.148
18
Total 594.839
556.013 451.227
584.289 683.062
695.914
Sumber: Biro Keuangan Setda Propinsi Bali, 2007 Berdasarkan Tabel 2.5 dapat dilihat bahwa penerimaan PAD
kabupatenkota di Propinsi Bali pada tahun 2001 – 2006 sangat tidak merata. Halim 2001 mengatakan bahwa kemampuan suatu
daerah untuk menggali pendapatan asli daerah antara lain sangat ditentukan oleh potensi yang dimiliki suatu wilayah, seperti
pendapatan dan juga kontribusi sektor-sektor ekonomi terhadap PDRB, di samping struktur sosial politik dan kelembagaan,
kemampuan atau kecakapan administratif, kejujuran dan integritas dari semua elemen perpajakan daerah. Kondisi ini juga terjadi di
Bali, misalnya Kabupaten Badung, Kota Denpasar, Kabupaten Gianyar, dan Tabanan yang merupakan wilayah-wilayah yang
banyak terdapat hotel dan restoran, sehingga menerima pajak daerah yang lebih tinggi di antara kabupatenkota di Propinsi Bali.
Sebagai bagian dari wilayah Republik Indonesia, seluruh kabupatenkota di Propinsi Bali, yaitu yang berjumlah 9 sejak
tahun 2001 juga melaksanakan otonomi daerah. Peneriman daerah, baik yang bersumber dari PAD dan dana perimbangan
kabupatenkota di Propinsi Bali pada tahun anggaran 2005 seperti Tabel 2.6.
19
Peningkatan penerimaan
daerah seperti yang disajikan pada Tabel 2.6 lebih banyak diakibatkan oleh meningkatnya bantuan
pemerintah pusat berupa Dana Alokasi Umum DAU dan juga Dana Alokasi Khusus DAK. DAU adalah dana yang berseumber
dari APBN yang dialokasikan untuk tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan
daerah dalam rangka desentralisasi, sedangkan DAK juga bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu
dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
Tabel 2.6 Total Penerimaan Daerah Pemerintah KabupatenKota
di Propinsi Bali Tahun Anggaran 2001 – 2006 Rp juta
No KabKota 2001 2002 2003 2004 2005 2006
1 Buleleng 246.257 291.239 383.341 342.268 376.914 552.767
2 Jembrana 145.928 175.690 197.832 208.032 221.904 346.454
3 Tabanan 209.373 276.360 308.759 318.841 343.436 464.089
4 Badung
614.574 515.957 441.688 573.946 651.740 663.449 5
Gianyar 302.025 288.786 312.128 298.649 309.949 466.547
6 Bangli 110.992 142.421 176.449 181.941 204.142 296.978
7 Klungkung
124.772 149.681 174.582 184.094 213.423 320.642 8 Kr.Asem
182.512 217.630 243.758 253.273 283.281 407.154 9 Denpasar
347.760 330.865 340.487 349.335 414.961 501.056 Total 2.284.193
2.388.628 2.579.023 2.710.379 3.019.750 4.019.135
Sumber: Biro Keuangan Setda Propinsi Bali, 2007 Kemampuan suatu daerah dalam melaksanakan otonomi
daerah dapat dilihat dari besarnya derajat desentralisasi fiskal DDF suatu daerah, yaitu dengan menggunakan variabel pokok
20
kemampuan keuangan daerah. Selanjutnya kemampuan keuangan daerah dapat dilihat dari rasio Pendapatan Asli Daerah PAD
terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD, khususnya terhadap total pengeluaran daerah TPD. Kemandirian
keuangan daerah dengan menggunakan Derajat Desentralisasi Fiskal DDF terhadap kabupatenkota di Provinsi Bali pada tahun
2001, 2003 dan 2005 disajikan dalam Table 2.7. Tabel 2.7
Rasio Kemandirian Pemerintah Kabupatenkota di Provisni Bali, Tahun Anggaran 2001 - 2006
No KabKota
2001 2002 2003 2004 2005 2006 Rata-rata
1 Buleleng
6,18 6,49 4,90 4,90 6,48 5,03 5,66 2
Jembrana 4,30 7,32 6,73 4,62 4,38 3,87 5,20
3 Tabanan
10,05 12,14 12,16 13,66 11,32 9,67 11,50 4
Badung 69,59 62,14 51,87 60,44 63,46 56,59 60,68
5 Gianyar
19,81 17,79 11,90 15,68 17,99 15,48 16,44 6
Bangli 4,87 4,01 4,95 4,03 3,91 3,38 4,19
7 Klungkung
8,51 7,21 7,57 6,49 8,14 6,60 7,42 8
Karangasem 10,47 10,79 8,68 7,77 9,35 7,35 9,07
9 Denpasar
43,21 28,54 24,88 25,98 31,59 25,33 29,92 Rata-rata
19,67 17,38 14,85 15,95 17,40 14,81 16,68
Sumber: Biro Keuangan Setda Propinsi Bali, 2007 diolah
Apabila diperhatikan Tabel 2.7 dapat diketahui bahwa kemandirian keuangan daerah kabupatenkota di Propinsi Bali
selama tahun 2001 – 2006 sangat timpang. Hal ini tentu akan berdampak adanya ketimpangan pelayanan kepada masyarakat,
khususnya yang dapat mempengaruhi Indeks Pembangunan
21
Manusia IPM seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan. Berkaitan dengan hal itu diperlukan intervensi Pemerintah Propinsi
untuk ikut menangani ketimpangan tersebut. Untuk dapat menyediakan pelayanan yang lebih baik, pemerintah memerlukan
dana. Kemampuan keuangan daerah ditentukan oleh ketersediaan sumber-sumber penerimaan pajak atau retribusi dan tingkat hasil
dari objek pajak dan retribusi tersebut. Tingkat hasil tersebut
ditentukan oleh sejauh mana sumber pajak atau retribusi tax bases
responsif terhadap kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi obyek pengeluaran seperti inflasi, pertumbuhan penduduk dan
pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap tingkat pelayanan, baik secara kuantitatif maupun
kualitatif. Devey, dalam Suwandi, 2000.
Pada umumnya Pemda-pemda di negara-negara berkembang kurang mempunyai akses kepada sumber-sumber pendapatan yang
lukruatif seperti pajak pendapatan, pajak penjualan, atau pajak penghasilan dari perdagangan internasional. Mereka hanya
diberikan akses dari pajak-pajak kecil, yang tidak ekonomis untuk dipungut, misalnya pajak anjing, pajak sepeda, pajak kuburan, dan
lain sebagainya. Oleh karena itu, cara lain adalah mengusulkan
22
kepada Pemerintah Pusat untuk merevisi undang-undang untuk memperbesar hak bagi bagi Pemerintah Propinsi.
BAB III PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
3.1 Konsep Letak Titik Berat Otonomi Pada Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang
dasar Negara Republik Indonesia 1945
Bercermin dan belajar dari latar belakang sejarah yakni dengan silih bergantinya Undang-Undang Pemerintahan Daerah
selama ini, belum menunjukan suatu konsep yang mengarah kepada hubungan Pemerintah Pusat-Daerah dalam format Negara Kesatuan
dalam asas desentralisasi yang benar. Tetapi, dari praktek berbagai Undang-Undang yang masih berlaku Undang-Undang No. 1 Tahun
1945, Undang-Undang No. 22 Tahun 1948, Undang-Undang No. 18 tahun 1965, Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 dan Undang-
Undang No. 22 Tahun 1999. Kemudian setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah melahirkan Undang-Undang No.
32 Tahun 2004, selalu mengalami bolak-balik dalam hubungan Pusat-Daerah dari desentralisasi ke sntralisasi dan sebaliknya,
bahkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang
23
No. 32 Tahun 2004, merambah hubungan Pusat- Daerah seperti dalam konteks negara Federal.
Model hubungan kerja perangkat Pemerintah Pusat, tidak seiring dengan hubungan kerja perangkat Pemerintah Daerah.
Pemerintah Pusat punya desain tersendiri dan daerah punya desain tersendiri, sehingga hubungan kerja secara fungsional antara Pusat
dan daerah sering tidak sinkron. Kalau pun, memang tidak harus sama, tetapi harus mengacu kepada fungsi dari instansi-instansi
antara pusat dan daerah, sehingga lebih mudah untuk koordinasi dalam pelaksanaan pembangunan dan termasuk pemerintahan.
Dengan demikian, pusat dan daerah memiliki visi yang sama untuk mewujudkan cita-cita Negara sebagaimana diamanatkan
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alenia ke-4.
Target yang ingin dicapai dari penelitian ini, adalah : 1
Ingin meletakan kembali nalar yuridis hubungan pemerintah Pusat- Daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak
kearah dan mengambil unsur Federal, yang selama dua Undang- Undang Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-
Undang No. 32 Tahun 2004 bercampur aduk.
24
2 Memformat kembali letak otonomi ada pada Provinsidan
otonomi pada kabupatenkota merupakan pelimpahan dari provinsi.
3 pembentukan lembaga-lembaga di daerah harus seirama dengan
beban tugas dan wewenang dan secara fungsional merupakan kelanjutan, walau pun tidak ada hubunagnnya secara struktural.
Banyak buku, tesis, dan disertasi yang telah mengkaji sistem pemerintahan daerah dari waktu ke waktu dan dari berbagai segi,
tetapi selalu terjebak dalam pola Undang-Undang Pemerintahan Daerah tersebut dan boleh dikatakan tidak pernah ada yang
mengkaji hubungan Pusat-Daerah dalam konteks Negara Kesatuan sebagai titik awal pemencaran kekuasaan pemerintah dan
pembangunan. Seberapa besar dan luas kajian pustaka dapat dilihat dari daftar pustaka, namun hanya sebagian kecil yang diangkat
pada penelitian ini. Ada beberapa tulisan yang perlu dipaparkan sebagai titik
awal pencapaian tujuan penelitian ini dan untuk berikutnya dikembangkan dan menghasilkan sebagai apa yang diharapkan.
Harapan yang ingin dicapai sangat fundamental dalam menata hubungan Pusat- Daerah dalam Negara Kesatuan Indonesia, bukan
25
bias dai Negara Federal, kalaupun dulu para the founding fathers ada yang menghendaki Indonesia memilih Negara Federal.
Adapun hasil penjelahan studi pustaka lihat daftar pustaka dan sebagian dari pustaka tersebut yang akan diuraikan, berikut ini :
1 Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar
1945, jilid I, II dan III, yang diterbitkan Prapantja, Jakarta, tahun 1960. Meneliti sejarah pembahasan Undang-Undang Dasar 1945,
khususnya yang menyangkut makna, hakikat dan substansi hubungan Pusat-Daerah dari segi ide dasar dan filosofis. Para the
founding fathers dan sesuai dengan jiwa pasal Pasal 18 Undang-
Undang Dasar 1945 sebelum Amandemen adalah menghendaki keutuhan budaya suku bangsa yang ada dalam Negara Kesatuan,
maka dikehendaki otonomi apa adanya provinsi dan provinsi melimpahkan sebgai otonomi trersebut kepada KabupatenKota,
tetapi ide dasar tersebut kurang ditransformasikan oleh berbagai Undang-Undang sebagai normatifasi Pasal 18 Undang-Undang
Dasar 1945 sebelum Amandemen tersebut. 2
Disertasi, Ateng Safruddin; Pengaturan Koordinasi Pemerintah di Daerah, diterbitkan tarsito, Bandung, tahun 1976. Ateng
Syafruddin adalah seorang birokrat di Propinsi Jawa Barat, dari
26
pengalaman sebagai birokrat dan ia menemukan banyak kendala dalam koordinasi dengan berbagai instansi di daerah, dari
pengalaman tersebut, maka Ateng Syafruddin mengangkat disertasi dengan judul: Pengaturan Koordinasi Pemerintah di
Daerah. Kerumitan koordinasi pada pemerintah daerah dengan keluarnya Undang-Undang No.22 tahun 1999, menunjukkan
kerumitan soal koordinasi pembangunan yang dilakukan oleh Gubernur terhadap KabupatenKota. Dengan demikian pada
saat sekarang perlu ditera ulang soal koordinasi pemerintah daerah sebagai implikasi terbukanya kran demokrasi.
3 Disertasi, M. Solly Lubis, Perkembangan Garis Politik dan
Perundang-Undangan Pemerintah daerah, diterbitkan Alumni, Bandung, tahun 1983. Solly lubis adalah seorang dosen di
Universitas Sumatera Utara, dari pengalaman mengajar mata kuliah Pemerintah Daerah dan melihat dari sejarah
bergantiannya Undang-Undang Pemerintah Daerah, yang sering berubah-ubah, sedangkan payung landasan konsitusinalnya
tidak berubah yaitu Pasal 18 Undang-Undang Dasar yang sebelum diamandemen maupun yang sudah diamandemen.
27
Dalam berbagai Undang-Undang pemerintahn daerah yang silih berganti tersebut, ditemukan berbagai prinsip :
a. Garis politik otonomi yang nyata dan bertanggungjawab;
b. Otonomi yang riil dan seluas-luasnya;
c. Asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan
asas dekonsentrasi, ini berarti hubungan pusat-daerah ditarik ke arah sentralisasi; dan
d. Otonomi diberikan untuk hasilguna dan daya guna
pelaksanaan pemerintahan daerah.
4 Disertasi Bagir Manan yang berjudul ”Hubungan Antara Pusat
dan Daerah Menurut UUD 1945”, diterbitkan Sinar harapan, Jakarta, tahun 1994. Menurut Bagir Manan hubungan pusat-
daerah masih belum serasi selama ini, dan itu diperintahkan oleh GBHN sebagai salah satu sasaran pembangunan, maka oleh
sebab itu beberapa pertanyaan yang harus diteliti yaitu meliputi : a
Dapatkah ketentuan hubungan pusat dan daerah diatur secara khusus atau ekslusif, karena tidak ada aturan yang
mengatur secara khusus seluruh hubungan pusat-daerah.
28
b Hubungan pusat dan daerah tidak hanya menyangkut
masalah keuangan, tetapi juga tugas, wewenang dan tanggungjawab penyelenggaraan urusan pemerintah.
c Hubungan pusat-daerah juga hubungan pengawasan,
sebagai akibat sistem urusan rumah tangga dan tugas pembantuan.
d Oleh sebab itu sebagai mana menciptakan keserasian
hubungan pusat-daerah dalam Negara Kesatuan Indonesia. e
Pembagian tugas, wewenang, dan tanggungjawab biasanya diatur dalam berbagai peraturan, sesuai dengan sistem
urusan rumah tangga. f
Dalam rangka mewujudkan konsepsi negara kesejahteraan yang membawa perubahan ruanglingkup kewenangan,
tugas dan tanggungjawab pemerintah secara kualitatif dan kuantitatif.
5 Disertasi Juanda yang berjudul ”Hukum Pemerintahan Daerah
Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah”, diterbitkan Alumni, Bandung, tahun 2004. Juanda
mengkaji pasamh surut hubungan pusat dan daerah antara DPRD dan Kepala Daerah, yang melihat dari pendekatan sejarah
29
keberlakuan dari berbagai Undang-Undang Pemerintahan Daerah yaitu :
a Undang-Undang No.1 tahun 1945, Organ yang ada di daerah
adalah Badan Perwakilan Rakyat Daerah BPRD, Badan Eksekutif dan Kepala Daerah sebagai pemerintahan daerah.
Hubungan kewenangan antara kedua lembaga yang dimaksud masih tampak berat sebelah yaitu kewenangan
kepala daerah masih sangat dominan, karena sebagai pimpinan BPRD dalam membuat peraturan daerah, juga
sebagai pimpinan eksekutif yang menjalankan pemerintah. b
Undang-Undang No.22 tahun 1948, ada dua institusi yaitu DPRD dan Dewan Pertimbangan daerah DPD serta Kepala
Daerah. Prinsip yang terkandung dalam Undang-Undang ini, cendrung mengikuti format pertanggungjawaban yang
dilakukan oleh pemerintah pusat dengan sistem Parlementer. Hal ini dapat dilihat bahwa DPD sebagai pelaksana
pemerintahan sehari-hari dan bertanggungjawab kepada DPRD dan dapat diberhentikan oleh DPRD. Kolam konteks
ini kelihatan kedudukan DPRD lebih dominan dari DPD,
30
sementara Kepala Daerah pada saat itu hanya alat pengawas pemerintah Pusat.
c Penetapan Presiden No.6 tahun 1959 dan Penpres No.5 tahun
1960, setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, mengatur struktur pemerintahan daerah yang terdiri dari Kepala Daerah dan
DPRD, Kepala Daerah berfungsi ganda, yaitu sebagai kepala daerah otonom dan juga wakil pusat di daerah. Meskipun
DPRD tidak bisa menjatuhkan kepala daerah, kepala daerah otonom bertanggungjawab kepada kepada pemerintah pusat.
Dalam kapasitas sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah diberi wewenang untuk menangguhkan keputusan DPRD
dan Keputusaan – keputusan DPRD tingkat bawahannya, apabila dipandang bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kepala daerah mempunyai kedudukan yang lebih kuat dibandingkan
DPRD.
6 Pasang surut otonomi daerah Sketsa Perjalanan 100 tahun,
Soetandyo Wignosubroto et.al, diterbitkan Insiue for Local Developmen, Yayasan Ifa, Jakarta, 2005. Buku ini mengkaji secara
menyeluruh tetapi tidak dalam teori hubungan pusat-daerah
31
format negara kesatuan, namun larut arus Undang-Undang yang dipengaruhi oleh berbagai kepentingan, khususnya kepentingan
yang berkuasa dan kelompok tertentu. Adapun fokus kajiannya yaitu :
a. Sentralisasi dan desentralisasi pemerintahan masa pra
kemerdekaan 1903-1945 b.
Otonomi daerah masa kemerdekaan, hingga demokrasi terpimpin 1945-1965.
c. Desentralisasi dan otonomi daerah masa Orde baru 1966-
1998. d.
Desentralisasi dan otonomi daerah masa reformasi 1999- 204
e. Dimensi Hubungan pusat-daerah dan kewenangan pusat-
daerah.
Berdasarkan pemikiran dalam formulasi Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang
menentukan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas
Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap propinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-
32
Undang. Kemudian dikaitkan dengan pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh para pakar tersebut di atas, maka dapat
dikemukakan bahwa format penataan hubungan pusat – daerah seharusnya diletakkan dalam konteks spirit Negara Kesatuan seperti
yang diformulasikan pada Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yaitu Otonomi diletakkan pada
daerah Propinsi. Selanjutnya, propinsilah yang mendelegasikan kepada kabupatenkota.
3.2 Implikasi Titik Berat Otonomi Diletakkan pada Propinsi