t9hyXU0Xtp hub pusda dan penge sde unud

(1)

LAPORAN PENELITIAN

HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT - DAERAH DAN

IMPLIKASINYA TERHADAP HUBUNGAN KEUANGAN,

PELAYANAN UMUM, PEMANFATAN SUMBER DAYA

ALAM, DAN SUMBER DAYA EKONOMI

K ERJ ASAM A AN T ARA

DEWAN PERWAK I LAN DAERAH REPU BLI K I N DON ESI A DEN GAN


(2)

KATA PENGANTAR

Berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, maka laporan akhir penelitian yang berjudul “Hubungan Pemerintah Pusat-Daerah dan Implikasinya Terhadap Hubungan Keuangan, Pelayanan Umum, Pemanfaatan Sumberdaya Alam, dan Sumberdaya Ekonomi” dapat diselesaikan. Laporan ini merupakan tanggungjawab Universitas Udayana dalam memenuhi tugas seperti yang diamanatkan dalam kontrak kerjasama kegiatan penelitian dengan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia.

Laporan akhir ini memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, motode pembahasan, gambaran umum wilayah Propinsi Bali, hasil dan bahasan, serta penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

Terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penyusunan laporan ini. Semoga laporan ini dapat memenuhi kebutuhan dan manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.


(3)

RINGKASAN

Otonomi daerah yang dilaksakan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 yang diperbaharui menjadi Undang-undang No. 32 tahun 2004 yang meletakkan otonomi daerah pada tingkat kabupaten/kota. Hal yang demikian menyebabkan tidak ada hubungan antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/kota. Karena kabupaten/kota menganggap dirinya sebagai penerima otonomi, yang tidak ada hubungannya dengan provinsi, sehingga kabupaten/kota juga kurang responsif kepada provinsi dalam mengkoordinasikan pembangunan di daerah. Dalam keadaan yang demikian posisi gubernur sebagai perangkat pusat di daerah kurang efektif. Berkaitan dengan hal itu tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji secara cermat dari berbagai sudut pandang pada tingkatan mana sebaiknya otonomi daerah diletakkan, sehingga negara kesatuan memiliki pola yang lebih

statika lekstar dinamika.

Penelitian ini hanya terbatas mengkaji hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi yang dilakukuan berkaitan dengan penelusuran dan menginventarisasi data yang dikaitkan dengan fakta-fakta di lapangan, tim peneliti memfokuskan pada penelitian pendapatan PT Angkasa Pura I Ngurah Rai Bali. Dalam melakukan penelitian hubungan antara Pemerintah Pusat dan daerah peneliti menggunakan pendekatan interdisipliner yang normatif terapan. Penelusuran terhadap Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen telah dijabarkan dalam berbagai Undang-Undang yang masih berlaku dan yang pernah diberlakukan.

Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa format Negara Kesatuan Otonomi diletakkan pada Propinsi. Formulasi perimbangan keuangan Pusat daerah bukan pada sumber daya alam saja, namun diperluas sampai ke sumber daya ekonomi. PT Angkasa Pura I Bandara Ngurah Rai Bali bersedia akan membayarkan perimbangan pendapatannya, bila aturan hukumnya sudah ditentukan. Bentuk aturan hukum dalam mengatur perhimbangan pendapatan PT Angkasa Pura I Bandara Ngurah Rai, dapat dalam bentuk Peraturan Daerah. Untuk keperluan bentuk hukum mengatur pendapatan PT Angkasa Pura I Bandara Ngurah Rai,


(4)

dilakukan studi banding ke Cengkareng/Juanda/Banjarmasin/ Menado.

Berkaitan dengan kesimpulan di atas, pada masa yang akan datang adalah merupakan tugas dan wewenang DPDRI yang terhormat untuk memperjuangkan kepentingan daerah melalui perbaikan hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah daerah tentunya tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... ii

RINGKASAN ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...…... 1.2 Rumusan Masalah ... 1 3 1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Metode Pembahasan ... 5

1.5 Ruang Lingkup Kegiatan... 6

1.6 Ruang Lingkup Kegiatan ... 6

1.7 Sistematika Penyajian ... 7

BAB II GAMBARAN UMUM PROPINSI BALI 2.1 Wilayah Geografis dan Batas Wilayah ... 9

2.2 Kependudukan ... 11

2.2.1 Jumlah dan Kepadatan Penduduk ... 11

2.2.2 Laju Pertumbuhan Penduduk ... 12

2.3 Kawasan Pariwisata dan Objek serta Daya Tarik Wisata Khusus ... 14

2.4 Sektor Pariwisata dan Pemerataan Hasil Pembangunan ……… 16

2.5 Ketimpangan Kapasitas Fiskal Antar Kabupaten/ Kota ………. 18

BAB III PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 3.1 Konsep Letak Titik Berat Otonomi Pada Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia 1945 ... 23

3.2 Implikasi Titik Berat Otonomi Diletakkan pada Propinsi ... 33

3.3 Konsep Bentuk Hukum/Kebijakan Agar Pemerintah Daerah Bali Mendapat Bagian Sumber Penerimaan Pembangunan dari Bandara Ngurah Rai Bali ... 34


(6)

3.4 Aspek Ekonomi dan Keuangan ... 36 3.4.1 Kontribusi, Program dan Kegiatan yang telah

dilakukan oleh PT Angkasa Pura I Bandara

Ngurah Rai Bali .... 38

3.4.2 Peluang Jangka Pendek ……….. 40

3.4.3 Peluang Jangka Panjang ………. 41

BAB IV PENUTUP

4.1 Simpulan ……… 44

4.2 Saran/Rekomendasi ……… 45


(7)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Luas Wilayah Menurut Kabupaten/Kota, Jumlah

Kecamatan, Jumlah Desa/Kelurahan di Propinsi Bali,

Tahun 2009 ... 10

Tabel 2.2 Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Rasio Kelamin dan

Kepadatan Penduduk Per Kabupaten/Kota di

Propinsi Bali, Tahun 2009 ... 11

Tabel 2.3 Laju Pertumbuhan Penduduk di propinsi Bali

Menurut Kabupaten/Kota pada Tahun 1980 – 2008 ... 13

Tabel 2.4 Pendapatan Per Kapita dan Andil Sektor

Perdagangan dan Restoran pada Kabupaten/Kota di

propinsi Bali, Tahun 2001 dan 2008 ... 17

Tabel 2.5 Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota di Propinsi

Bali, Tahun Anggaran 2001 – 2006 (Rp juta) ... 18

Tabel 2.6 Total Penerimaan Daerah Pemerintah Kabupaten/

Kota di Propinsi Bali Tahun Anggaran 2001 – 2006

(Rp juta) ... 20

Tabel 2.7 Rasio Kemandirian Pemerintah Kabupaten/kota di

Provisni Bali, Tahun Anggaran 2001 - 2006 (%) ... 21

Tabel 3.1 Kontribusi PT Angkasa Pura I Bandara Ngurah Rai

Terhadap Pemerintah Propinsi, Pemerintah

Kabupaten, Desa, dan Masyarakat (Rp juta) …………


(8)

DAFTAR GAMBAR

Halaman


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik (Pasal 1 ayat 1), Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 1 ayat 2), Negara Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat 3 ) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Formulasi kekuasaan dalam negara kesatuan ada pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Pusat melimpahkan kepada Pemerintah daerah melalui asas desentralisasi yang melahirkan otonomi daerah. Landasan konstitusional otonomi daerah ditentukan dalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Di dalam format negara kesatuan, konstruksi otonomi daerah berdasarkan Pasal 18 ayat (1), seharusnya diletakkan pada propinsi, kemudian propinsi melimpahkan ke kabupaten/kota. Ketentuan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, otonomi ditempatkan pada kabupaten/kota, sedangkan otonomi pada provinsi adalah lintas


(10)

kabupaten/kota. Hal yang demikian menyebabkan tidak ada hubungan antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/kota. Karena kabupaten/kota menganggap dirinya sebagai penerima otonomi, yang tidak ada hubungannya dengan provinsi, sehingga kabupaten/kota juga kurang responsif kepada provinsi dalam mengkoordinasikan pembangunan di daerah. Dalam keadaan yang demikian posisi gubernur sebagai perangkat pusat di daerah kurang efektif.

Akibatnya tidak ada koordinasi antara provinsi dan kabupaten/kota dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, maka kemudian Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 diganti dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, tetapi tidak menentukan otonomi berada dimana, apakah di provinsi atau kabupaten/kota, sehingga jiwa Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dalam praktek pemerintahan daerah masih berlaku. Hal inilah yang menjadi alasan untuk memilih judul penelitian ”Kajian Hubungan Pemerintah Pusat-Daerah dan Implikasinya terhadap Hubungan Keuangan, Pelayanan Umum, Pemanfatan Sumber Daya Alam, dan Sumber daya Ekonomi”. Oleh karena substansi lapangan penelitian ini demikian luas, sedangkan waktu untuk turun ke lapangan dan juga


(11)

anggaran yang dialokasikan terbatas, maka penelitian mengenai hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi yang dilakukuan berkaitan dengan penelusuran dan menginventarisasi data yang dikaitkan dengan fakta-fakta di lapangan, tim peneliti memfokuskan pada penelitian pendapatan PT Angkasa Pura I Ngurah Rai Bali.

1.2 Rumusan Masalah

Bertitik tolak pada paparan latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini, yakni sebagai berikut :

a. Apakah konsep letak titik berat otonomi pada negara kesatuan

Republik Indonesia berdasarkan landasan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pada propinsi ataukah berjenjang terlebih dahulu melalui propinsi kemudian propinsi melimpahkan ke kabupaten/kota ?

b. Apakah implikasi titik berat otonomi diletakkan pada propinsi

dalam menata hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi?


(12)

c. Apakah konsep bentuk aturan hukum supaya Pemerintah Daerah Propinsi Bali memiliki kewenangan yang lebih besar dalam ikut mengoptimalkan kontribusi Bandara Ngurah Rai Bali terhadap pembangunan Daerah Bali?

1.3 Tujuan Penelitian

Implementasi Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum Amandemen, telah melahirkan bebagai Undang-Undang yaitu: Undang-Undang No. 1 Tahun 1945, Undang-Undang No. 22 Tahun 1948, Undang-Undang No. 18 tahun 1965, Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Kemudian setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah melahirkan Undang No. 32 Tahun 2004, demikian juga Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang dilahirkan di bawah naungan UUDS 1950.

Hubungan pemerintah pusat-daerah seharusnya sudah dapat diformat secara konsisten dan tidak berubah-ubah. Namun sampai saat ini dapat dikatakan bahwa Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 masih mencari format dan inilah yang membuat transformasi pembangunan di daerah kurang berjalan secara baik. Berkaitan


(13)

dengan hal itu tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji secara cermat dari berbagai sudut pandang pada tingkatan mana sebaiknya otonomi daerah diletakkan, sehingga negara kesatuan memiliki pola

yang lebih statika lekstar dinamika.

1.4 Metode Pembahasan

Dalam melakukan penelitian hubungan antara Pemerintah Pusat dan daerah peneliti menggunakan pendekatan interdisipliner yang normatif terapan. Penelusuran terhadap Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen telah dijabarkan dalam berbagai Undang-Undang yang masih berlaku dan yang pernah diberlakukan (Undang-Undang No.1 Tahun 1945, Undang-Undang No. 22 Tahun 1948, Undang No.18 Tahun 1965, Undang-Undang No.5 Tahun 1974, Undang-Undang-Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Kemudian setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dibentuklah Undang-Undang No.32 Tahun 2004), selalu mengalami perubahan (bolak-balik) dalam menata hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dari desentralisasi ke sentralisasi dan sebaliknya.


(14)

Dari kenyataan tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah praktek dari berbagai Undang-Undang tersebut dapat menumbuhkan pola hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dan hubungan antara propinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam konteks spirit Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kesemuanya itu tergantung bagaimana Pemerintah Pusat mempraktekkan hubungan pusat–daerah. Untuk tingkat hubungan propinsi dan kabupaten/kota, tergantung letak otonomi, seperti Undang 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, otonomi pada kabupaten/kota, sedangkan propinsi mengurus kewenangan lintas kabupaten/kota.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan interdisipliner, yaitu penelitian hukum yang didukung dengan penelitian non hukum. Mengkaji hukum yang didukung oleh ilmu non hukum, seperti politik, ekonomi, dan sosial budaya dalam rangka menemukan prinsip, makna, hakekat dan pola hubungan pusat-daerah, hubungan propinsi dan kabupaten/kota.

1.5 Ruang Lingkup Kegiatan

1) Pengumpulan data pendahuluan dan peninjauan aspek


(15)

2) Observasi lapangan dan mengadakan audensi dengan pihak manajemen PT. Angkasa Pura I Bandara Ngurah Rai, Bali sesuai dengan sasaran penelitian yang telah ditetapkan.

3) Mengindentifikasi, menginvetarisir dan menganalisis data

yang diperoleh.

4) Melakukan Focus Discussion Group dengan pemangku

kebijakan (stakeholders), yaitu anggota Dewan Perwakilan

Daerah yang berasal dari Bali, Pemerintah Daerah Bali, anggota DPRD Bali, Pemerintah Daerah Kabupaten Badung, anggota DPRD Kabupaten Badung, dan pihak PT. Angkasa Pura I Bandara Ngurah Rai.

5) Menyelesaikan seluruh laporan yang harus disusun dan

diserahkan.

6) Melakukan seminar hasil penelitian.

1.6 Sistematika Penyajian

Sistematika penyajian Laporan Pendahuluan terdiri dari lima Bab meliputi:

BAB I PENDAHULUAN

Menguraikan mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, lingkup kegiatan, serta sistematika penyajian.


(16)

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH

Menguraikan gambaran umum wilayah penelitian yang terdiri dari letak geografis dan batas wilayah, kependudukan, kawasan pariwisata dan objek serta daya tarik wisata khusus, sektor pariwisata dan pemerataan hasil pembangunan, dan ketimpangan kapasitas fiskal antar kabupaten/kota.

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bagian ini dibahas mengenai konsep letak titik berat otonomi pada Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia 1945, implikasi titik berat otonomi iiletakkan pada propinsi, konsep bentuk hukum/kebijakan agar Pemerintah Daerah Bali mendapat bagian sumber penerimaan pembangunan dari Bandara Ngurah Rai Bali, serta aspek ekonomi dan keuangan.

BAB IV PENUTUP

Pada Bab ini diuraikan mengenai simpulan berdasarkan uraian-uraian sebelumnya, disertai dengan saran dan rekomendasi untuk kebijakan.


(17)

BAB II

GAMBARAN UMUM PROPINSI BALI

2.1 Letak Geografis dan Luas Wilayah

Provinsi Bali dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 64, Tahun 1958. Provinsi Bali terdiri dari beberapa pulau, yaitu Pulau Bali sebagai pulau terbesar dan beberapa pulau kecil, seperti Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa Ceningan, Pulau Serangan, dan Pulau Menjangan. Secara geografis Provinsi Bali

terletak pada posisi 08o--0340”---08o 5048Lintang Selatandan 114o

25’23”–- 15o 4240 Bujur Timur. Batas-batas wilayah Provinsi Bali

(Gambar 2.1) adalah:

• Sebelah utara Laut Bali,

• Sebelah timur Selat Lombok,

• Sebelah selatan Samudra Indonesia

• Sebelah barat Selat Bali

Luas wilayah Provinsi Bali adalah 5.636,66 km2 atau 0,29%

luas wilayah Republik Indonesia. Secara administratif Propinsi Bali terbagi atas 9 kabupaten/kota, 59 kecamatan, dan 714 desa/kelurahan. Adapun nama kabupaten/kota dan luas wilayah tiap-tiap kabupaten disajikan pada Tabel 2.1.


(18)

Gambar 2.1

P. Nusa Penida P. Lembongan P. Ceningan P. Menjangan

P. Serangan

S A M U D E R A I N D O N E S I A

S E L A T B A L I

L A U T B A L I

S E L A T L O M B O K

S E L A T B A D U N G

KABUPATEN BULELENG

KABUPAT EN T ABANAN KABUPATEN JEMBRANA

KABUPAT EN KARANGASEM KABUPAT EN BAN GLI KABUPAT EN BADUN G KABUPAT EN GIANYAR KABUPATEN KLUNGKUNG KOTA DENPASAR N E W S

10 0 10 KM

BAL I

Peta dan Letak Geografis Propinsi Bali Tabel 2.1.

Luas Wilayah Menurut Kabupaten/Kota, Jumlah Kecamatan, Jumlah Desa/Kelurahan di Propinsi Bali, Tahun 2009

No Kabupaten/Kota Luas Wilayah

(km2)

Jumlah Kecamatan

Jumlah Desa

1 Jembrana 841,80 5 51

2 Tabanan 839,33 10 131

3 Badung 418,52 6 62

4 Gianyar 368,00 7 70

5 Klungkung 315,00 4 59

6 Bangli 520,81 4 72

7 Karangasem 839,54 8 78

8 Buleleng 1.365,88 9 148

9 Denpasar 127,78 4 43

Jumlah 5.636,66 57 714


(19)

2.2 Kependudukan

2.2.1 Jumlah dan Kepadatan Penduduk

Berdasarkan evaluasi hasil regrestrasi penduduk tahun 2008 jumlah penduduk Provinsi Bali tahun 2008 adalah 3.409.845 meningkat dari 3.372.880 orang pada tahun 2007 atau mengalami pertumbuhan 1,096 persen. Angka pertumbuhan penduduk tahun 2007 ke tahun 2008 lebih rendah jika dibandingkan dengan periode 2006-2007 yang tercatat sebesar 1,89 persen. Sebaran jumlah penduduk menurut kabupaten/kota di Provinsi Bali tahun 2009 disajikan dalam Tabel 2.2.

Tabel 2.2

Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Rasio Kelamin dan Kepadatan Penduduk Per Kabupaten/Kota di Propinsi Bali, Tahun 2009

Penduduk tahun 2004 (jiwa) No Kabupaten Luas Wilayah

(km2) Laki-laki Perempuan

Laki2 & Perempuan

Rasio Kelamin

Kepadatan

(jiwa/km2)

1 Jembrana 841,80 133.622 134.647 268.269 99,24 319

2 Tabanan 839,33 206.712 210.031 416.743 98,42 497

3 Badung 418,52 192.914 190.966 383.880 101,02 917

4 Gianyar 368,00 197.049 197.706 394.755 99,67 1.073

5 Klungkung 315,00 86.849 89.973 176.822 96,53 561

6 Bangli 520,81 106.637 107.171 213.808 99,50 411

7 Karangasem 839,54 215.283 214.968 430.251 100,15 512

8 Buleleng 1365,88 325.678 324.559 650.237 100,34 476

9 Denpasar 127,78 245.150 229.930 475.080 106,62 3.718

Jumlah 5.636,66 1.709.894 1.699.951 3.409.845 100,58 605


(20)

Kabupaten Buleleng merupakan wilayah yang mempunyai penduduk paling banyak pada tahun 2008, yaitu 650.237 orang. Kota Denpasar sebagai ibukota Propinsi Bali berada di urutan di urutan kedua dengan jumlah 475.080 orang. Sementara itu, Kabupaten Klungkung mempunyai penduduk yang paling sedikit, yaitu 176.822 orang.

Kepadatan penduduk Provinsi Bali pada tahun 2008 rata-rata

605 orang/km2, meningkat dari 598 orang/km2 pada tahun 2007.

Kota Denpasar masih merupakan wilayah paling padat

penduduknya di Bali yaitu mencapai 3.718 orang/km2, sedangkan

yang paling rendah kepadatannya adalah Kabupaten Jembrana,

yaitu sebesar 319 orang/km2. Kabupaten lainnya yang relatif padat

jumlah penduduknya adalah Kabupaten Gianyar, yaitu mencapai

1.073 orang/km2.

2.2.2 Laju Pertumbuhan Penduduk

Pertumbuhan penduduk Provinsi Bali selama periode 1980 -2008 cenderung terus mengalami peningkatan. Pada periode tahun 1980--1990 laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,18 persen pertahun, meningkat sedikit pada periode 1990—2000, yaitu sebesar 1,19 persen per tahun. Selanjutnya pertumbuhan tahunan penduduk


(21)

periode 2000--2008 kembali mengalami peningkatan menjadi 1,04 persen, seperti yang disajikan pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3

Laju Pertumbuhan Penduduk di propinsi Bali Menurut Kabupaten/Kota pada Tahun 1980 – 2008

Pertumbuhan Penduduk rata per tahun (%)

No Kabupaten/ Kota

1980--1990 1990--2000 2000—2008

1 Jembrana 0,60 0,60 1,97

2 Tabanan 0,19 0,68 1,35

3 Badung 2,78 2,20 1,37

4 Gianyar 0,96 1,52 0,05

5 Klungkung 0,12 0,23 1,74

6 Bangli 0,88 0,89 1,29

7 Karangasem 0,89 0,46 2,42

8 Buleleng 1,04 0,32 2,06

9 Denpasar *) 3,01 -1,35

Propinsi Bali 1,18 1,19 1,04

Sumber : SP 1980, SP 1990, SP 2000 dan 2008 Hasil Registrasi Penduduk Catatan *) pada periode tersebut Kota Denpasar merupakan wilayah Kab.

Badung

Sejak tahun 1990 sampai dengan 2000 Kota Denpasar mempunyai laju pertumbuhan penduduk paling tinggi di Bali, tetapi pada periode 2000 - 2008 laju pertumbuhan penduduk di Kota Denpasar ternyata paling rendah, bahkan mengalami pertumbuhan minus, yaitu -1,35 persen. Demikian juga halnya Kabupaten Badung, selama tahun 1980 – 1990 mempunyai tingkat pertumbuhan yang paling tinggi, dan pada periode tahun 1990 – 2000 mempunyai tingkat pertumbuhan rata-rata kedua tertinggi, namun pada


(22)

periode tahun 2000 – 2008 mempunyai tingkat pertumbuhan penduduk relatif rendah. Hal ini disebabkan terpuruknya sektor pariwisata yang merupakan sektor unggulan Kabupaten Badung dan Kota Denpasar sejak Tragedi Bom Kuta pada bulan Oktober 2002. Kondisi tersebut mengakibatkan sebagian penduduk di Kota Denpasar kehilangan mata pencaharian sehingga melakukan migrasi ke daerah kabupaten lainnya, seperti ditunjukkan pula oleh tingginya laju pertumbuhan penduduk di kabupaten lainnya selama periode tahun 2000 - 2008, seperti Kabupaten Buleleng, Karangasem, Jembrana, dan Tabanan. 7,24 persen.

2.3 Kawasan Pariwisata dan Objek serta Daya Tarik Wisata Khusus

Di Provinsi Bali ditetapkan 15 kawasan pariwisata terbuka seluas 99.226 ha (18,0 persen luas daerah Bali) yang di dalamnya bisa terdapat kawasan pariwisata yang bersifat tertutup dan berada di bawah satu badan pengelola. Luas daerah efektif pariwisata untuk akomodasi dan fasilitas penunjang kepariwisataan adalah 12.497 ha (2,2 persen luas daerah Bali). Kawasan-kawasan pariwisata terbuka tersebut tersebar di berbagai wilayah kabupaten/kota, yaitu sebagai berikut.


(23)

(a) Kabupaten Jembrana: Kawasan Pariwisata Candikesuma dan Kawasan Pariwisata Perancak;

(b)Kabupaten Tabanan: Kawasan Pariwisata Soka;

(c) Kota Denpasar: Kawasan Pariwisata Sanur;

(d)Kabupaten Badung: Kawasan Pariwisata Kuta, Kawasan

Pariwisata Tuban, dan Kawasan Pariwisata Nusa Dua;

(e) Kabupaten Gianyar: Kawaan Pariwisata Ubud dan Kawasan

Pariwisata Lebih;

(f) Kabupaten Klungkung: Kawasan Pariwisata Nusa Penida;

(g)Kabupaten Karangasem: Kawasan Pariwisata Candidasa,

Kawasan Pariwisata Ujung, dan Kawasan Pariwisata Tulamben;

(h)Kabupaten Buleleng: Kawasan Pariwisata Kalibukbuk dan

Kawasan Pariwisata Batu Ampar.

Selain itu, terdapat beberapa Objek dan Daya Tarik Wisata Khusus (ODTWK) dan taman wisata alam. Objek dan Daya Tarik Wisata Khusus merupakan segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata dengan kekhususan pengembangan sarana dan prasarana. Taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Taman wisata alam di Bali luasnya 4.154,4 ha, yang tersebar pada beberapa kawasan hutan.


(24)

2.4 Sektor Pariwisata dan Pemerataan Hasil Pembangunan

Untuk membandingkan keberhasilan pembangunan ekonomi pada suatu wilayah, pendapatan per kapita sering digunakan sebagai indikatornya. Meskipun pendapatan perkita mempunyai banyak kelemahan, apabila digunakan sebagai indikator keberhasilan pembangunan, kurang tersedianya data lainnya dan wilayah yang relatif berdekatan sehingga perbedaan biaya hidup antarkabupaten relatif kecil, maka variabel tersebut sering digunakan sebagai indikator keberhasilan pembangunan pada suatu wilayah. Di Provinsi Bali distribusi pendapatan per kapita penduduk di kabupaten/kota relatif tidak merata, seperti yang ditampilkan pada Tabel 2.4.

Ketidakmerataan pendapatan tersebut disebabkan oleh sumber daya yang dimiliki seperti alam, semberdaya manusia, modal, dan teknologi, baik kualitas maupun kuantitasnya, tidak merata. Salah satu faktor yang menyebabkan ketidakmerataan pendapatan per kapita penduduk Bali karena potensi dan pengembangan sektor pariwisata lebih banyak terkonsentrasi di wilayah Bali Selatan, yaitu Kabupaten Badung, Kota Denpasar, Kabupaten Tabanan dan Kabupaten Gianyar.


(25)

Tabel 2.4

Pendapatan Per Kapita dan Andil Sektor Perdagangan dan Restoran pada Kabupaten/Kota di propinsi Bali, Tahun 2001 dan 2008

Pendapatan Per kapita* Andil PHR terhadap PDRB Kabupaten/

Kota 2001 2008 Pertum –

buhan (%) 2001 2008

Perubah-an (%)

Jembrana 5.015 6.191 3,35 24,55 24,35 -0,20

Tabanan 4.119 5.390 4,41 22,20 22,15 -0,05

Badung 10.409 12.485 2,85 43,08 37,92 -5,16

Gianyar 5.447 6.883 3,77 31,32 28,01 -3,31

Klungkung 5.412 7.072 4,38 19,98 20,70 0,72

Bangli 3.848 4.533 2,54 28,24 23,21 -5,03

Karangasem 3.360 4.318 4,07 17,07 17,33 0,26

Buleleng 3.830 4.921 4,07 25,30 25,11 -0,19

Denpasar 6.254 8.398 4,90 34,11 35,71 1,60

Bali 5.640 7.082 3,65 29,94 28,96 -0,98

Keterangan : *Dalam Harga Konstan Tahun 2000 Sumber : BPS Provinsi Bali Tahun 2006 dan 2009

Berdasarkan Tabel 2.4 dapat dilihat bahwa pendapatan per kapita tertinggi pada tahun 2001 dan tahun 2008 dimiliki oleh Kabupaten Badung, sedangkan yang terendah Kabupaten Karangasem. Tinggi rendahnya pendapatan per kapita sangat berkaitan dengan andil dari sektor pariwisata yang ditunjukkan oleh persentase sumbangan subsektor perdagangan, hotel, dan restoran terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tiap-tiap kabupaten. Wilayah kabupaten/kota yang mempunyai andil


(26)

subsektor perdagangan, hotel, dan restoran yang tinggi seperti Kabupaten Badung, Gianyar, dan Kota Denpasar cendrung memiliki pendapatan per kapita yang lebih tinggi dalam hal ini di atas median pendapatan per kapita kabupaten/kota, baik pada tahun 2001 maupun tahun 2008. Sebaliknya, kabupaten/kota yang mempunyai andil subsektor perdagangan, hotel, dan restoran yang rendah cenderung memiliki pendapatan per kapita yang rendah dari median, seperti Kabupaten Karangasem dan Tabanan.

2.5Ketimpangan Kapasitas Fiskal Antar Kabupaten/Kota

Sebagai akibat tidak meratanya sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi kemampuan kabupaten/kota di Propinsi Bali dalam menghimpun Pendapatan Asli Daerah (PAD) sangat timpang, seperti yang disajikan pada Tebel 2.5

Tabel 2.5

Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota di Propinsi Bali, Tahun Anggaran 2001 – 2006 (Rp juta)

No Kab/Kota 2001 2002 2003 2004 2005 2006

1 Buleleng 14.922 16.162 18.769 19.290 22.874 26.037

2 Jembrana 5.540 11.555 11.056 9.785 9.916 12.770

3 Tabanan 22.246 33.107 34.574 43.359 42.403 44.224

4 Badung 355.375 310.666 221.438 332.317 388.583 362.125

5 Gianyar 50.108 54.386 37.132 49.739 55.007 67.372

6 Bangli 5.049 6.000 7.962 7.395 7.693 9.413

7 Klungkung 9.837 11.250 12.234 11.913 16.374 18.983

8 Kr.Asem 18.560 21.124 19.513 19.763 23.910 28.840


(27)

Total 594.839 556.013 451.227 584.289 683.062 695.914 Sumber: Biro Keuangan Setda Propinsi Bali, 2007

Berdasarkan Tabel 2.5 dapat dilihat bahwa penerimaan PAD kabupaten/kota di Propinsi Bali pada tahun 2001 – 2006 sangat tidak merata. Halim (2001) mengatakan bahwa kemampuan suatu daerah untuk menggali pendapatan asli daerah antara lain sangat ditentukan oleh potensi yang dimiliki suatu wilayah, seperti pendapatan dan juga kontribusi sektor-sektor ekonomi terhadap PDRB, di samping struktur sosial politik dan kelembagaan, kemampuan atau kecakapan administratif, kejujuran dan integritas dari semua elemen perpajakan daerah. Kondisi ini juga terjadi di Bali, misalnya Kabupaten Badung, Kota Denpasar, Kabupaten Gianyar, dan Tabanan yang merupakan wilayah-wilayah yang banyak terdapat hotel dan restoran, sehingga menerima pajak daerah yang lebih tinggi di antara kabupaten/kota di Propinsi Bali.

Sebagai bagian dari wilayah Republik Indonesia, seluruh kabupaten/kota di Propinsi Bali, yaitu yang berjumlah 9 sejak tahun 2001 juga melaksanakan otonomi daerah. Peneriman daerah, baik yang bersumber dari PAD dan dana perimbangan kabupaten/kota di Propinsi Bali pada tahun anggaran 2005 seperti Tabel 2.6.


(28)

Peningkatan penerimaan daerah seperti yang disajikan pada Tabel 2.6 lebih banyak diakibatkan oleh meningkatnya bantuan pemerintah pusat berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan juga Dana Alokasi Khusus (DAK). DAU adalah dana yang berseumber dari APBN yang dialokasikan untuk tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka desentralisasi, sedangkan DAK juga bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.

Tabel 2.6

Total Penerimaan Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota di Propinsi Bali Tahun Anggaran 2001 – 2006 (Rp juta)

No Kab/Kota 2001 2002 2003 2004 2005 2006 1 Buleleng 246.257 291.239 383.341 342.268 376.914 552.767 2 Jembrana 145.928 175.690 197.832 208.032 221.904 346.454 3 Tabanan 209.373 276.360 308.759 318.841 343.436 464.089 4 Badung 614.574 515.957 441.688 573.946 651.740 663.449 5 Gianyar 302.025 288.786 312.128 298.649 309.949 466.547 6 Bangli 110.992 142.421 176.449 181.941 204.142 296.978 7 Klungkung 124.772 149.681 174.582 184.094 213.423 320.642 8 Kr.Asem 182.512 217.630 243.758 253.273 283.281 407.154 9 Denpasar 347.760 330.865 340.487 349.335 414.961 501.056 Total 2.284.193 2.388.628 2.579.023 2.710.379 3.019.750 4.019.135

Sumber: Biro Keuangan Setda Propinsi Bali, 2007

Kemampuan suatu daerah dalam melaksanakan otonomi daerah dapat dilihat dari besarnya derajat desentralisasi fiskal (DDF) suatu daerah, yaitu dengan menggunakan variabel pokok


(29)

kemampuan keuangan daerah. Selanjutnya kemampuan keuangan daerah dapat dilihat dari rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), khususnya terhadap total pengeluaran daerah (TPD). Kemandirian keuangan daerah dengan menggunakan Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) terhadap kabupaten/kota di Provinsi Bali pada tahun 2001, 2003 dan 2005 disajikan dalam Table 2.7.

Tabel 2.7

Rasio Kemandirian Pemerintah Kabupaten/kota di Provisni Bali, Tahun Anggaran 2001 - 2006 (%)

No Kab/Kota 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Rata-rata

1 Buleleng 6,18 6,49 4,90 4,90 6,48 5,03 5,66

2 Jembrana 4,30 7,32 6,73 4,62 4,38 3,87 5,20

3 Tabanan 10,05 12,14 12,16 13,66 11,32 9,67 11,50

4 Badung 69,59 62,14 51,87 60,44 63,46 56,59 60,68

5 Gianyar 19,81 17,79 11,90 15,68 17,99 15,48 16,44

6 Bangli 4,87 4,01 4,95 4,03 3,91 3,38 4,19

7 Klungkung 8,51 7,21 7,57 6,49 8,14 6,60 7,42

8 Karangasem 10,47 10,79 8,68 7,77 9,35 7,35 9,07

9 Denpasar 43,21 28,54 24,88 25,98 31,59 25,33 29,92

Rata-rata 19,67 17,38 14,85 15,95 17,40 14,81 16,68

Sumber: Biro Keuangan Setda Propinsi Bali, 2007 (diolah)

Apabila diperhatikan Tabel 2.7 dapat diketahui bahwa kemandirian keuangan daerah kabupaten/kota di Propinsi Bali selama tahun 2001 – 2006 sangat timpang. Hal ini tentu akan berdampak adanya ketimpangan pelayanan kepada masyarakat, khususnya yang dapat mempengaruhi Indeks Pembangunan


(30)

Manusia (IPM) seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan. Berkaitan dengan hal itu diperlukan intervensi Pemerintah Propinsi untuk ikut menangani ketimpangan tersebut. Untuk dapat menyediakan pelayanan yang lebih baik, pemerintah memerlukan dana. Kemampuan keuangan daerah ditentukan oleh ketersediaan sumber-sumber penerimaan (pajak atau retribusi) dan tingkat hasil dari objek pajak dan retribusi tersebut. Tingkat hasil tersebut

ditentukan oleh sejauh mana sumber pajak atau retribusi (tax bases)

responsif terhadap kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi obyek pengeluaran seperti inflasi, pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap tingkat pelayanan, baik secara kuantitatif maupun

kualitatif. (Devey, dalam Suwandi, 2000).

Pada umumnya Pemda-pemda di negara-negara berkembang kurang mempunyai akses kepada sumber-sumber pendapatan yang lukruatif seperti pajak pendapatan, pajak penjualan, atau pajak penghasilan dari perdagangan internasional. Mereka hanya diberikan akses dari pajak-pajak kecil, yang tidak ekonomis untuk dipungut, misalnya pajak anjing, pajak sepeda, pajak kuburan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, cara lain adalah mengusulkan


(31)

kepada Pemerintah Pusat untuk merevisi undang-undang untuk memperbesar hak bagi bagi Pemerintah Propinsi.

BAB III

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

3.1 Konsep Letak Titik Berat Otonomi Pada Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia 1945

Bercermin dan belajar dari latar belakang sejarah yakni dengan silih bergantinya Undang-Undang Pemerintahan Daerah selama ini, belum menunjukan suatu konsep yang mengarah kepada hubungan Pemerintah Pusat-Daerah dalam format Negara Kesatuan dalam asas desentralisasi yang benar. Tetapi, dari praktek berbagai Undang-Undang yang masih berlaku Undang-Undang No. 1 Tahun 1945, Undang-Undang No. 22 Tahun 1948, Undang-Undang No. 18 tahun 1965, Undang No. 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Kemudian setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah melahirkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, selalu mengalami bolak-balik dalam hubungan Pusat-Daerah dari desentralisasi ke sntralisasi dan sebaliknya, bahkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang


(32)

No. 32 Tahun 2004, merambah hubungan Pusat- Daerah seperti dalam konteks negara Federal.

Model hubungan kerja perangkat Pemerintah Pusat, tidak seiring dengan hubungan kerja perangkat Pemerintah Daerah. Pemerintah Pusat punya desain tersendiri dan daerah punya desain tersendiri, sehingga hubungan kerja secara fungsional antara Pusat dan daerah sering tidak sinkron. Kalau pun, memang tidak harus sama, tetapi harus mengacu kepada fungsi dari instansi-instansi antara pusat dan daerah, sehingga lebih mudah untuk koordinasi dalam pelaksanaan pembangunan dan termasuk pemerintahan. Dengan demikian, pusat dan daerah memiliki visi yang sama untuk mewujudkan cita-cita Negara sebagaimana diamanatkan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alenia ke-4.

Target yang ingin dicapai dari penelitian ini, adalah :

1) Ingin meletakan kembali nalar yuridis hubungan pemerintah

Pusat- Daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak kearah dan mengambil unsur Federal, yang selama dua Undang (Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004) bercampur aduk.


(33)

2) Memformat kembali letak otonomi ada pada Provinsidan otonomi pada kabupaten/kota merupakan pelimpahan dari provinsi.

3) pembentukan lembaga-lembaga di daerah harus seirama dengan

beban tugas dan wewenang dan secara fungsional merupakan kelanjutan, walau pun tidak ada hubunagnnya secara struktural.

Banyak buku, tesis, dan disertasi yang telah mengkaji sistem pemerintahan daerah dari waktu ke waktu dan dari berbagai segi, tetapi selalu terjebak dalam pola Undang-Undang Pemerintahan Daerah tersebut dan boleh dikatakan tidak pernah ada yang mengkaji hubungan Pusat-Daerah dalam konteks Negara Kesatuan sebagai titik awal pemencaran kekuasaan pemerintah dan pembangunan. Seberapa besar dan luas kajian pustaka dapat dilihat dari daftar pustaka, namun hanya sebagian kecil yang diangkat pada penelitian ini.

Ada beberapa tulisan yang perlu dipaparkan sebagai titik awal pencapaian tujuan penelitian ini dan untuk berikutnya dikembangkan dan menghasilkan sebagai apa yang diharapkan. Harapan yang ingin dicapai sangat fundamental dalam menata hubungan Pusat- Daerah dalam Negara Kesatuan Indonesia, bukan


(34)

bias dai Negara Federal, kalaupun dulu para the founding fathers ada yang menghendaki Indonesia memilih Negara Federal.

Adapun hasil penjelahan studi pustaka (lihat daftar pustaka) dan sebagian dari pustaka tersebut yang akan diuraikan, berikut ini :

1) Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar

1945, jilid I, II dan III, yang diterbitkan Prapantja, Jakarta, tahun 1960. Meneliti sejarah pembahasan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya yang menyangkut makna, hakikat dan substansi

hubungan Pusat-Daerah dari segi ide dasar dan filosofis. Para the

founding fathers dan sesuai dengan jiwa pasal Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum Amandemen adalah menghendaki keutuhan budaya suku bangsa yang ada dalam Negara Kesatuan, maka dikehendaki otonomi apa adanya provinsi dan provinsi melimpahkan sebgai otonomi trersebut kepada Kabupaten/Kota, tetapi ide dasar tersebut kurang ditransformasikan oleh berbagai Undang-Undang sebagai normatifasi Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum Amandemen tersebut.

2) Disertasi, Ateng Safruddin; Pengaturan Koordinasi Pemerintah di

Daerah, diterbitkan tarsito, Bandung, tahun 1976. Ateng Syafruddin adalah seorang birokrat di Propinsi Jawa Barat, dari


(35)

pengalaman sebagai birokrat dan ia menemukan banyak kendala dalam koordinasi dengan berbagai instansi di daerah, dari pengalaman tersebut, maka Ateng Syafruddin mengangkat disertasi dengan judul: Pengaturan Koordinasi Pemerintah di Daerah. Kerumitan koordinasi pada pemerintah daerah dengan keluarnya Undang-Undang No.22 tahun 1999, menunjukkan kerumitan soal koordinasi pembangunan yang dilakukan oleh Gubernur terhadap Kabupaten/Kota. Dengan demikian pada saat sekarang perlu ditera ulang soal koordinasi pemerintah daerah sebagai implikasi terbukanya kran demokrasi.

3) Disertasi, M. Solly Lubis, Perkembangan Garis Politik dan

Perundang-Undangan Pemerintah daerah, diterbitkan Alumni, Bandung, tahun 1983. Solly lubis adalah seorang dosen di Universitas Sumatera Utara, dari pengalaman mengajar mata kuliah Pemerintah Daerah dan melihat dari sejarah bergantiannya Undang-Undang Pemerintah Daerah, yang sering berubah-ubah, sedangkan payung landasan konsitusinalnya tidak berubah yaitu Pasal 18 Undang-Undang Dasar yang sebelum diamandemen maupun yang sudah diamandemen.


(36)

Dalam berbagai Undang-Undang pemerintahn daerah yang silih berganti tersebut, ditemukan berbagai prinsip :

a. Garis politik otonomi yang nyata dan bertanggungjawab;

b. Otonomi yang riil dan seluas-luasnya;

c. Asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan

asas dekonsentrasi, ini berarti hubungan pusat-daerah ditarik ke arah sentralisasi; dan

d. Otonomi diberikan untuk hasilguna dan daya guna

pelaksanaan pemerintahan daerah.

4) Disertasi Bagir Manan yang berjudul ”Hubungan Antara Pusat

dan Daerah Menurut UUD 1945”, diterbitkan Sinar harapan, Jakarta, tahun 1994. Menurut Bagir Manan hubungan pusat-daerah masih belum serasi selama ini, dan itu diperintahkan oleh GBHN sebagai salah satu sasaran pembangunan, maka oleh sebab itu beberapa pertanyaan yang harus diteliti yaitu meliputi :

a) Dapatkah ketentuan hubungan pusat dan daerah diatur

secara khusus atau ekslusif, karena tidak ada aturan yang mengatur secara khusus seluruh hubungan pusat-daerah.


(37)

b) Hubungan pusat dan daerah tidak hanya menyangkut masalah keuangan, tetapi juga tugas, wewenang dan tanggungjawab penyelenggaraan urusan pemerintah.

c) Hubungan pusat-daerah juga hubungan pengawasan,

sebagai akibat sistem urusan rumah tangga dan tugas pembantuan.

d) Oleh sebab itu sebagai mana menciptakan keserasian

hubungan pusat-daerah dalam Negara Kesatuan Indonesia.

e) Pembagian tugas, wewenang, dan tanggungjawab biasanya

diatur dalam berbagai peraturan, sesuai dengan sistem urusan rumah tangga.

f) Dalam rangka mewujudkan konsepsi negara kesejahteraan

yang membawa perubahan ruanglingkup kewenangan, tugas dan tanggungjawab pemerintah secara kualitatif dan kuantitatif.

5) Disertasi Juanda yang berjudul ”Hukum Pemerintahan Daerah

Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah”, diterbitkan Alumni, Bandung, tahun 2004. Juanda mengkaji pasamh surut hubungan pusat dan daerah antara DPRD dan Kepala Daerah, yang melihat dari pendekatan sejarah


(38)

keberlakuan dari berbagai Undang-Undang Pemerintahan Daerah yaitu :

a) Undang-Undang No.1 tahun 1945, Organ yang ada di daerah

adalah Badan Perwakilan Rakyat Daerah (BPRD), Badan Eksekutif dan Kepala Daerah sebagai pemerintahan daerah. Hubungan kewenangan antara kedua lembaga yang dimaksud masih tampak berat sebelah yaitu kewenangan kepala daerah masih sangat dominan, karena sebagai pimpinan BPRD dalam membuat peraturan daerah, juga sebagai pimpinan eksekutif yang menjalankan pemerintah.

b) Undang-Undang No.22 tahun 1948, ada dua institusi yaitu

DPRD dan Dewan Pertimbangan daerah (DPD) serta Kepala Daerah. Prinsip yang terkandung dalam Undang-Undang ini, cendrung mengikuti format pertanggungjawaban yang dilakukan oleh pemerintah pusat dengan sistem Parlementer. Hal ini dapat dilihat bahwa DPD sebagai pelaksana pemerintahan sehari-hari dan bertanggungjawab kepada DPRD dan dapat diberhentikan oleh DPRD. Kolam konteks ini kelihatan kedudukan DPRD lebih dominan dari DPD,


(39)

sementara Kepala Daerah pada saat itu hanya alat pengawas pemerintah Pusat.

c) Penetapan Presiden No.6 tahun 1959 dan Penpres No.5 tahun

1960, setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, mengatur struktur pemerintahan daerah yang terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD, Kepala Daerah berfungsi ganda, yaitu sebagai kepala daerah otonom dan juga wakil pusat di daerah. Meskipun DPRD tidak bisa menjatuhkan kepala daerah, kepala daerah otonom bertanggungjawab kepada kepada pemerintah pusat. Dalam kapasitas sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah diberi wewenang untuk menangguhkan keputusan DPRD dan Keputusaan – keputusan DPRD tingkat bawahannya, apabila dipandang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kepala daerah mempunyai kedudukan yang lebih kuat dibandingkan DPRD.

6) Pasang surut otonomi daerah Sketsa Perjalanan 100 tahun,

Soetandyo Wignosubroto (et.al), diterbitkan Insiue for Local Developmen, Yayasan Ifa, Jakarta, 2005. Buku ini mengkaji secara menyeluruh tetapi tidak dalam teori hubungan pusat-daerah


(40)

format negara kesatuan, namun larut arus Undang-Undang yang dipengaruhi oleh berbagai kepentingan, khususnya kepentingan yang berkuasa dan kelompok tertentu. Adapun fokus kajiannya yaitu :

a. Sentralisasi dan desentralisasi pemerintahan masa pra

kemerdekaan (1903-1945)

b. Otonomi daerah masa kemerdekaan, hingga demokrasi

terpimpin (1945-1965).

c. Desentralisasi dan otonomi daerah masa Orde baru

(1966-1998).

d. Desentralisasi dan otonomi daerah masa reformasi

(1999-204)

e. Dimensi Hubungan daerah dan kewenangan

pusat-daerah.

Berdasarkan pemikiran dalam formulasi Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang menentukan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap propinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan


(41)

Undang-Undang. Kemudian dikaitkan dengan pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh para pakar tersebut di atas, maka dapat dikemukakan bahwa format penataan hubungan pusat – daerah seharusnya diletakkan dalam konteks spirit Negara Kesatuan seperti yang diformulasikan pada Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yaitu Otonomi diletakkan pada daerah Propinsi. Selanjutnya, propinsilah yang mendelegasikan kepada kabupaten/kota.

3.2 Implikasi Titik Berat Otonomi Diletakkan pada Propinsi

Memperbaiki hubungan Pusat-daerah dengan meletakkan otonomi pada Propinsi, akan berimplikasi pada penataan hubungan pusat-daerah pada konsep kewenangan, hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber ekonomi. Semua itu arahnya pada pemerataan, keadilan dengan menjungjung kedaulatan rakyat.Khususnya propinsi akan dapat menepatkan posisi kewenangannya secara adil dan demokratis dengan kabupaten/kota.

Berkaitan dengan analisis tersebut ke depan harus mendapat perhatian Undang-Undang No. 32 tahun 2004 dan Undang-Undang


(42)

No. 33 tahun 2004, yang berkaitan dengan otonomi dan sumber alam dan sumber ekonomi harus diamandemen. Dengan demikian, maka otonomi diletakan pada propinsi, demikian juga pemerintah daerah harus memperoleh kontrinusi yang memadai dari sumber daya alam dan sumber ekonomi yang dihasilkan di daerah tersebut. Sumber daya alam keberadaannya sangat terbatas, artinya tidak mungkin secara teknologi untuk diremajakan, sedangkan sumber ekonomi dengan dukungan teknologi akan sangat menjanjikan dan akan berkembang terus seperti : Pendapatan pada Bandara Ngurah Rai Bali.

3.3 Konsep Bentuk Hukum/Kebijakan Agar Pemerintah Daerah Bali Mendapat Bagian Sumber Penerimaan Pembangunan dari Bandara Ngurah Rai Bali

Untuk memperoleh masukan dalam rangka mencari bentuk hukum/kebijakan agar Pemerintah Daerah Propinsi Bali mendapatkan bagian yang lebih besar sumber penerimaan pembangunan dari Bandara Ngurah Rai Bali, tim Peneliti Universitas Udayana melakukan audiensi sebanyak dua kali ke PT Angkasa Pura I Bandara Ngurah Rai Bali yaitu, pertama 1 4 Juli 2009, dan kedua 19 Agustus 2009. Tim Peneliti Universitas Udaya


(43)

diterima dengan sangat terbuka oleh General Manager dan jajarannya. Semua informasi dan data yang berkaitan dengan Bandara Ngurah Rai bisa diakses, malahan sampai rencana pengembangan Bandara Ngurah Rai menjadi Bandara yang bertaraf internasional yang akan mampu menampung penumpang 20 – 25 juta per tahun.

Kontribusi pendapatan PT Angkasa Pura I Bandara Ngurah Rai dengan Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota di Bali adalah merupakan persoalan kewenangan hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Angkasa Pura I Bandara Ngurah Rai menyetor keuntungannya kepada pemerintah pusat sesuai Undang-Undang yang berlaku. Dengan demikian dapat dipertegas bahwa PT Angkasa Pura I Bandara Ngurah Rai melaksanakan kewajibannya sesuai Undang-Undang yang berlaku, berapapun perimbangannya tentu akan dibayarkan. Jadi persoalan ini adalah menyangkut legislasi dalam bidang format hubungan Pusat – Daerah.

Berdasarkan informasi awal keuntungan bersih PT.Angkasa Pura I Bandara Ngurah Rai Bali tahun 2006 Rp.234.096.832.003,- tahun 2007 Rp. 303.104.269.1147,-. Perbandingan/bencmarking


(44)

untuk legislasi yang dapat digunakan sebagai dasar penataan perimbangan pendapatan PT Angkasa Pura I Bandara Ngurah Rai dapat dilakukan Pemda Maros dalam pemanfaatan Bandara Hasanuddin. Atau kalau memungkinkan Ke Australia atau Ke Belanda. Idealnya perimbangan pendapat PT Angkasa Pura I Bandara Ngurah Rai diatur dalam bentuk Peraturan Daerah Propinsi Bali.

3.4 Aspek Ekonomi dan Keuangan

Bali sangat terkenal, brand Bali sangat menjanjikan. Segala

sesuatu yang berbau Bali sangat diminati. Bandara Ngurah Rai juga sama. Bandara yang sangat terkenal tersebut setiap tahun menikmati kucuran laba yang tidak sedikit. Bali dinilai kurang berani memperjuangkan sesuatu yang kemungkinan menjadi haknya. Selain kurang berani, ada kecendrungan kurang lincah dalam bernegosiasi. Bisa dirunut perjuangan pejabat ke Bali yang nyaris tanpa ada hasil. Mulai memperjuangkan mendapat bagian “kue” bandara Ngurah Rai selalu mentok. Padahal untuk PT. Angkasa Pura di Bali termasuk salah satu pendapatan tertinggi dibandingkan dengan bandara lainnya. Tak hanya itu, walaupun Bali tak banyak protes, pusat kembali tak mengalokasikan anggaran


(45)

yang proposional bagi Bali. Bahkan dana perimbangan Bali kecolongan sampai 10 triliun. Yang diterima hanya 557 miliar saja.

Jumlah dana perimbangan yang diperoleh Bali sangat kecil. Sebenarnya ada mekanisme yang berlaku dalam kondisi Negara berkembang pemerintah mesti mendorong pertumbuhan daerah. Dengan mengalokasikan anggara 20 – 50 persendari PDB (produk domestik bruto) untuk dana perimbangan daerah atau Bali. Jika dikalikan PDB dari sektor pariwisata saja, yaitu USD 2 miliar atau 22 triliun. Jika dikalikan 20 – 25 persen dengan PDB sektor pariwisata, Bali mestinya memperoleh berlipat-lipat dari yang diterima sekarang yakni 557 miliar. PDB Bali yang dikumpulkan dari semua sektor untuk tahun 2008 mencapai Rp. 47,8 triliun. Ini berasal dari pariwisata, pertanian, perkebunan, perikanan, industri dan lain-lain. Jika dikaitkan dengan rumus yang diberikan di atas yaitu hak Bali adalah 20-25 persen, ada angka paling rendah Rp. 10 triliun yang mesti didapatkan Bali.

Hampir sebagian besar orang mungkin mengira bahwa gemercing dolar yang dihamburkan di Bali sepenuhnya bisa masuk ke kantong Pemerintah Provinsi Bali. Kenyataannya berkata lain. Pajak hotel dan restauran masuk ke kantong pemerintah kabupaten,


(46)

artinya dana yang masuk ke Pemrop tidaklah besar. Beberapa pendapat menyatakan Kontribusi PAP I kepada Bali tidak cukup hanya The economic impact air port, tapi kontribusi riil yang mendekati dana bagi hasil. Selama ini memang tidak ada kongkret berapa keuntungan dari pariwisata yang masuk pemerintah pusat. Namun diperkirakan mencapai trilyunan rupiah. Visa on Arrival (VOA) setahun diperkirakan 250 milyar, belum lagi dari keuntungan sejumlah BUMN di Bali dan devisa yang disetor ke pemerintah pusat. Berkaitan dengan hal itu, beberapa hal dapat dibahas sebagai berikut.

3.4.1 Kontribusi, Program dan Kegiatan yang telah dilakukan oleh PT Angkasa Pura I Bandara Ngurah Rai Bali

Sampai dengan Juli tahun 2009 PT Angkasa Pura I Bandara Ngurah Rai telah memberikan kontribusi seperti yang disajikan pada Tabel 1. Pada prinsipnya, sesuai dengan UU No. 33 tahun 2004 Pemerintah Kabupaten/kota memperoleh bagian hasil pajak dari Pajak Bumi dan Bangunan dari pemerintah pusat. Selain itu, Pemerintah Kabupaten/kota juga mendapatkan Pajak Penerangan Jalan, Pajak Air Bawah Tanah dan Permukaan, Retribusi Parkir dari PT Angkasa Pura I Bandara Ngurah Rai. Disamping itu, PT Angkasa


(47)

Pura I Bandara Ngurah Rai juga memberikan sumbangan bina lingkungan bagi masyarakat disekitarnya.


(48)

Tabel 3.1

Kontribusi PT Angkasa Pura I Bandara Ngurah Rai Terhadap Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten, Desa, dan Masyarakat

(Rp juta)

Jenis Kontribusi Tahun 2008 Juli 2009 Keterangan

Pajak Penerangan Jalan 1.400,00 709,38 Pemkab Badung

Pajak Air Bawah Tanah 857,04 397,717 Pemkab Badung

Pajak Bumi dan Bangunan

6.009,00 7.121,00 Pemerintah

Pusat Pajak Kendaraan

Bermotor

92,00 Pemprop Bali

Retribusi Parkir 591,52 431,87 Pemkab Badung

Sumbangan untuk Desa Adat Kelan dan Tuban

236,61 172,75 Desa Adat

Mitra Binaan 1.740,00 Masyarakat

Sumber: Bali Post, 6 Agustus 2009

Program penyaluran dana pinjaman kepada usaha kecil dan Koperasi mulai dilaksanakan tahun 1992. Selain memberikan pinjaman dana untuk modal kerja maupun investasi, PAP I juga berupaya memberikan pembinaan dalam bentuk pendidikan, pelatihan, pemagangan, pemasaran, promosi serta pengkajian/penelitian yang berkaitan dengan Program Kemitraan kepada mitra binaan.


(49)

Ada program lainnya yang diberi nama Program Bina Lingkungan yang yang mulai dilaksanakan sejak tahun 2001 (misalnya untuk membangun fasilitas social, sarana ibadah, pendidikan dan lain-lain).

3.4.2 Peluang Jangka Pendek

Berdasarkan verifikasi di lapangan dan wawancara dengan pihak-pihak terkait ada beberapa peluang jangka pendek yang bisa dimanfaatkan baik oleh pihak Pemerintah Provinsi Bali maupun Kabupaten Badung.

(1) Kerja Sama: Seiring dengan ditetapkannya UU No. 1 tahun 2009 tentang penerbangan Peluang-peluang tersebut bisa

didapatkan dari non core bisnis yang memang bisa

dikerjasamakan (outsourcing). Di lain pihak Pemda harus

mengantisipasi keadaan tersebut dengan membentuk Unit Bisnis seperti Perusahaan Daerah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Revisi Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 yang intinya pajak dan retribusi daerah akan termuat dalam daftar yang bersifat close list harus menjadi payung bagi pihak Pemda untuk melangkah. Jangan


(50)

sampai terjadi Pihak Pemda “memaksakan” suatu Perda padahal tidak ada dalam daftar.

(2) Pajak Reklame dalam Bandara: pajak reklame dalam bandara bisa menjadi peluang baru bagi Pemda Kabupaten Badung untuk menjadi sumber pendapatan daerah

(3) Dana CSR: mengacu pada UU Perseroan Terbatas setiap perusahaan harus memberikan kontribusi sebesar 2 % sebagai

dana CSR (corporate social responsibility) atau tanggung jawab

sosial perusahaan. Apakah CSR PAP I dapat berjalan efektif, tepat sasaran dan berkesianmbungan?. Hal tersebut belum bisa dijawab, karena tidak ada data yang menunjukkan hal tersebut. Sampai saat ini belum ada mekanisme audit terhadap alokasi dan penggunaan dana CSR tersebut. Program CSR diharapkan bisa menyentuh langsung kepentingan masyarakat Bali.

3.4.3 Peluang Jangka Panjang

Peluang jangka panjang adalah memperbaiki semangat UU berkenaan dengan desentralisasi fiskal. Selama ini kebijakan


(51)

fungsi pokok pelayanan publik didaerahkan, dengan dukungan pendanaan melalui: penyerahan sumber-sumber penerimaan dan alokasi. Prinsip ini diperkuat dengan memperhatikan kapasitas dan tanggung jawab daerah yang bersangkutan. Pemerintah Provinsi Bali mempunyai tanggung jawab yang tidak ringan dalam mempertahankan adat dan budaya Bali yang bersumberkan pada nilai-nilai agama Hindu untuk menjaga ikon pariwisata Bali sebagai pariwisata budaya. Pemerintah dan jajarannya dibebankan tugas untuk menjaga citra Bali, keamanan, memperbaiki infrastruktur dan kesehatan. Atmosfer kehidupan masyarakat Bali merupakan intangible asset yang diharapkan menjadi bagian dari sumber daya lainnya. Sumber daya lain inilah yang menjadi daya tarik wisata yang memberikan devisa bagi Negara. Bandara Ngurah Rai misalnya mampu mensubsidi sejumlah bandara di Indonesia dari keuntungan Rp 600 milyar lebih per tahunnya. Kewenangan daerah untuk memungut pajak dan retribusi daerah harus selalu diselaraskan dengan pemberian tanggung jawab di bidang pemerintahan dan pelayanan masyarakat dan kewenangan tersebut harus selalu diselaraskan dengan perkembangan keadaan dengan arah memperkuat otonomi daerah. Sampai dengan tahun 2004


(52)

pendapatan asli daerah (PAD) hanya 5,3% dari total pendapatan nasional.

Bagi Bali jalan yang elegan adalah mengusulkan untuk merevisi UU No. 33 tahun 2004 tentang pengelolaan keuangan pusat dan daerah. Revisi Undang-Undang hendaknya mencantumkan sumber daya ekonomi sebagai salah satu variabel atau parameter dalam mengalokasikan dana transfer.

Dalam jangka panjang pihak Pemrop Bali atau Pemkab Badung dapat ikut serta dalam penyertaan saham di PAP I. Mekanisme ini memungkinkan dengan asumsi pihak Pemrop atau Pemkab mempersiapkan diri ke arah itu.


(53)

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Bertitik tolak dari paparan dan analisis pada bagian-bagian sebelumnya, maka pada bagian ini dapat dikemukakan kesimpulan yakni:

1) Dalam format Negara Kesatuan Otonomi diletakkan pada

Propinsi.

2) Formulasi perimbangan keuangan Pusat daerah bukan pada

sumber daya alam saja, namun diperluas sampai ke sumber daya ekonomi.

3) PT Angkasa Pura I Bandara Ngurah Rai Bali bersedia akan

membayarkan perimbangan pendapatannya, bila aturan hukumnya sudah ditentukan.

4) Bentuk aturan hukum dalam mengatur perimbangan pendapatan

PT Angkasa Pura I Bandara Ngurah Rai, dapat dalam bentuk Peraturan Daerah.

5) Untuk keperluan bentuk hukum mengatur pendapatan PT


(54)

Cengkareng/Juanda/Banjarmasin/ Menado. Bila dianggap perlu ke Australia atau ke Belanda.

4.2 Saran

Berkaitan dengan kesimpulan di atas, pada masa yang akan datang adalah merupakan tugas dan wewenang DPDRI yang terhormat untuk memperjuangkan kepentingan daerah melalui perbaikan hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah daerah tentunya tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.


(55)

DAFTAR PUSTAKA

Ateng Safruddin, 1976, Pengaturan Koordinasi Pemerintqahan di Daerah, Penerbit, Tarsito, Bandung.

Bagir Manan, 1994, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

BPS Propinsi Bali, 2006. Produk Domestik Regional Bruto Propinsi Bali, 2001 - 2005

---, 2009. Produk Domestik Regional Bruto Propinsi Bali, 2004 - 2008

Demokrasi di Indonesia, Makalah diskusi Panel pada Perancangan dan Advokasi Hubungan Pusat-Daerah DPD RI di Denpasar, 5-7 Februari 2009.

Ekskutif dalam Pembaruan UUD 1945, Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung.

---, 2009, Hubungan Pemerintah Pusat-Daerah dan Konstalasi

Halim, Abdul. 2001. Bunga Rampai : Manajemen Keuangan Daerah.

Edisi Pertama. Yogyakarta : UPP AMP YKPN.

Ibrahim, 1995, Sinopsi Penelitian Ilmu Hukum, Raja wali Grafino Persada, Jakarta.

---, 2003, Sistem pengawasan Konstitusional antara Legislatif dan

Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan

Kewenangan Antara DPRD dan Kepala Daerah, Penerbit Alumni, Bandung.

Marsono, 2005, Sejarah Pemerintahan Dalam Negeri, CV Eka Jaya, Jakarta


(56)

Muhammad Yamin, 1960, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I,II dan III, Parapantja, Jakarta.

Perjalanan 100 Tahun, Institusi for for Local Development dan Yayasan Tifa, Jakarta.

Proses Kelahiran (1903-2004), Institusi for Local Development dan Yayasan Tfa, Jakarta.

Robert Endi Jaweng (ed), Kompilasi UU Otonomi Daerah dan Sekilas

Soetandy Wignosubroto (et.al), 2005, Pasang Surut Otonomi Daerah Sketsa

Solly lubis,M, 1983, Perkembangan Garis Politik dan Perundang-Undangan Pemerintahan Daerah, Penerbit Alumni, Bandung.

Suwandi, Made, 2000. Agenda Strategis Penataan Otonomi Daerah (Sebagai tindak janjut UU No. 22 dan UU No. 25 tahun 1999),

Makalah Work Shop Otonomi Daerah, Kerjasama LPEM- UI dan IRIS Jakarta.


(1)

fungsi pokok pelayanan publik didaerahkan, dengan dukungan pendanaan melalui: penyerahan sumber-sumber penerimaan dan alokasi. Prinsip ini diperkuat dengan memperhatikan kapasitas dan tanggung jawab daerah yang bersangkutan. Pemerintah Provinsi Bali mempunyai tanggung jawab yang tidak ringan dalam mempertahankan adat dan budaya Bali yang bersumberkan pada nilai-nilai agama Hindu untuk menjaga ikon pariwisata Bali sebagai pariwisata budaya. Pemerintah dan jajarannya dibebankan tugas untuk menjaga citra Bali, keamanan, memperbaiki infrastruktur dan kesehatan. Atmosfer kehidupan masyarakat Bali merupakan intangible asset yang diharapkan menjadi bagian dari sumber daya lainnya. Sumber daya lain inilah yang menjadi daya tarik wisata yang memberikan devisa bagi Negara. Bandara Ngurah Rai misalnya mampu mensubsidi sejumlah bandara di Indonesia dari keuntungan Rp 600 milyar lebih per tahunnya. Kewenangan daerah untuk memungut pajak dan retribusi daerah harus selalu diselaraskan dengan pemberian tanggung jawab di bidang pemerintahan dan pelayanan masyarakat dan kewenangan tersebut


(2)

pendapatan asli daerah (PAD) hanya 5,3% dari total pendapatan nasional.

Bagi Bali jalan yang elegan adalah mengusulkan untuk merevisi UU No. 33 tahun 2004 tentang pengelolaan keuangan pusat dan daerah. Revisi Undang-Undang hendaknya mencantumkan sumber daya ekonomi sebagai salah satu variabel atau parameter dalam mengalokasikan dana transfer.

Dalam jangka panjang pihak Pemrop Bali atau Pemkab Badung dapat ikut serta dalam penyertaan saham di PAP I. Mekanisme ini memungkinkan dengan asumsi pihak Pemrop atau Pemkab mempersiapkan diri ke arah itu.


(3)

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Bertitik tolak dari paparan dan analisis pada bagian-bagian sebelumnya, maka pada bagian ini dapat dikemukakan kesimpulan yakni:

1) Dalam format Negara Kesatuan Otonomi diletakkan pada Propinsi.

2) Formulasi perimbangan keuangan Pusat daerah bukan pada sumber daya alam saja, namun diperluas sampai ke sumber daya ekonomi.

3) PT Angkasa Pura I Bandara Ngurah Rai Bali bersedia akan membayarkan perimbangan pendapatannya, bila aturan hukumnya sudah ditentukan.

4) Bentuk aturan hukum dalam mengatur perimbangan pendapatan PT Angkasa Pura I Bandara Ngurah Rai, dapat dalam bentuk Peraturan Daerah.


(4)

Cengkareng/Juanda/Banjarmasin/ Menado. Bila dianggap perlu ke Australia atau ke Belanda.

4.2 Saran

Berkaitan dengan kesimpulan di atas, pada masa yang akan datang adalah merupakan tugas dan wewenang DPDRI yang terhormat untuk memperjuangkan kepentingan daerah melalui perbaikan hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah daerah tentunya tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Ateng Safruddin, 1976, Pengaturan Koordinasi Pemerintqahan di Daerah, Penerbit, Tarsito, Bandung.

Bagir Manan, 1994, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

BPS Propinsi Bali, 2006. Produk Domestik Regional Bruto Propinsi Bali, 2001 - 2005

---, 2009. Produk Domestik Regional Bruto Propinsi Bali, 2004 - 2008

Demokrasi di Indonesia, Makalah diskusi Panel pada Perancangan dan Advokasi Hubungan Pusat-Daerah DPD RI di Denpasar, 5-7 Februari 2009.

Ekskutif dalam Pembaruan UUD 1945, Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung.

---, 2009, Hubungan Pemerintah Pusat-Daerah dan Konstalasi Halim, Abdul. 2001. Bunga Rampai : Manajemen Keuangan Daerah.

Edisi Pertama. Yogyakarta : UPP AMP YKPN.

Ibrahim, 1995, Sinopsi Penelitian Ilmu Hukum, Raja wali Grafino Persada, Jakarta.

---, 2003, Sistem pengawasan Konstitusional antara Legislatif dan

Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan

Kewenangan Antara DPRD dan Kepala Daerah, Penerbit Alumni, Bandung.


(6)

Muhammad Yamin, 1960, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I,II dan III, Parapantja, Jakarta.

Perjalanan 100 Tahun, Institusi for for Local Development dan Yayasan Tifa, Jakarta.

Proses Kelahiran (1903-2004), Institusi for Local Development dan Yayasan Tfa, Jakarta.

Robert Endi Jaweng (ed), Kompilasi UU Otonomi Daerah dan Sekilas

Soetandy Wignosubroto (et.al), 2005, Pasang Surut Otonomi Daerah Sketsa

Solly lubis,M, 1983, Perkembangan Garis Politik dan Perundang-Undangan Pemerintahan Daerah, Penerbit Alumni, Bandung.

Suwandi, Made, 2000. Agenda Strategis Penataan Otonomi Daerah (Sebagai tindak janjut UU No. 22 dan UU No. 25 tahun 1999),

Makalah Work Shop Otonomi Daerah, Kerjasama LPEM- UI dan IRIS Jakarta.