Optimasi formula gel antiacne ekstrak daun belimbing wuluh (averrhoa bilimbi, l.) menggunakan gelling agent carbopol 940 dan humectant gliserol –aplikasi metode desain faktorial - USD Repository
OPTIMASI FORMULA GEL ANTIACNE EKSTRAK DAUN BELIMBING
WULUH (Averrhoa bilimbi, L.) MENGGUNAKAN GELLING AGENT
CARBOPOL 940 DAN HUMECTANT GLISEROL – APLIKASI METODE
DESAIN FAKTORIAL
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh: Omega Bagus Pamuji
NIM: 058114064
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
OPTIMASI FORMULA GEL ANTIACNE EKSTRAK DAUN BELIMBING
WULUH (Averrhoa bilimbi, L.) MENGGUNAKAN GELLING AGENT
CARBOPOL 940 DAN HUMECTANT GLISEROL – APLIKASI METODE
DESAIN FAKTORIAL
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh: Omega Bagus Pamuji
NIM: 058114064
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
HALAMAN PENGESAHAN
HALAMAN PERSEMBAHAN
Setiap masalah dan tantangan yang kita hadapi akan selalu ada resiko
yang harus diambil, yang mungkin dapat berbuah kegagalan. Namunbila resiko tersebut tidak diambil, kita sudah pasti gagal
.......................tetapi takutlah akan Tuhan senantiasa.Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang.
(Amsal 23:17b-18)
Diatas batas yang kita pahami selalu ada batasan yang baru. Hidup
adalah melompati batasan-batasan tersebut dan terus belajar dari tiap
lompatannya .Karya kecil ini ku persembahkan untuk : Tuhan Yesus Kristus, Ayah dan Ibuku, Kakak dan Adikku,
Bunga, Teman-temanku, dan Almamaterku
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
PRAKATA
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Optimasi Formula Gel Antiacne Ekstrak Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa
bilimbi, L.) Menggunakan Gelling agent Carbopol 940 dan Humectant Gliserol –
Aplikasi Metode Desain Faktorial” tepat pada waktunya. Laporan akhir ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata Satu pada Program Studi Farmasi (S. Farm).
Semua kelancaran dan keberhasilan penulis dalam menyelesaikan laporan ini tidak lepas dari dukungan, bimbingan, bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu pada penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :
1. Tuhan Yesus Kristus atas segala anugrah-Nya yang selalu indah di hidupku
2. Rita Suhadi, M. Si., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
3. Sri Hartati Yuliani, M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak waktu untuk mendampingi dan memberikan arahan kepada penulis baik selama penelitian maupun penyusunan laporan akhir
4. Agatha Budi Susiana Lestari, M.Si., Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan, kritik dan saran kepada penulis.
5. Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt yang telah meluangkan waktunya selaku dosen penguji serta atas saran dan kritik kepada penulis.
6. Keluarga (Bapak, Ibu, mbak Yuli, mbak Heni, dan mbak Ari) dan saudara- saudariku yang telah memberi dukungan, semangat, dan doa
7. Bunga Mahardhika Nasrani yang selalu menjadi sumber inspirasi, semangat dan harapanku, terimakasih karena kau mau menjadi bagian dalam hidupku
8. Kelompok skripsiku Ong dan Vanny atas kerjasama dan bantuannya selama mengerjakan penelitian dan laporan skripsi ini; temanku Bayu dan Jovan atas bimbingannya dalam menyelesaikan laporan ini; teman-teman kelompok PKM asam jawa (Rio, Ade, Dissa, dan Ong lagi) dan Bu Rini Dwiastuti, S.Farm., skripsiku dimulai dari sini; Teman-teman angkatan 2005, khususnya teman-teman FST 05 dan teman-teman ex kelas B.
9. Ni Ketut Candra dan segenap tim dosen Laboratorium Mikrobiologi Politeknik Kesehatan Yogyakarta Jurusan Analis Kesehatan yang telah bersedia memberikan bakteri uji
10. Segenap laboran (Mas Agung, Pak Musrifin, Mas Wagiran, Mas Sigit, Mas Sarmanto, Mas Bimo, Mas Ottok, Mas Iswandi) atas bantuan selama penulis menyelesaikan penelitian ini
11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu Penulis menyadari bahwa dalam laporan akhir ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan.
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
INTISARI
Penelitian mengenai optimasi formula sediaan antiacne ekstrak daun belimbing wuluh (Averrhoa billimbi, L.) dengan gelling agent carbopol 940 dan
humectant gliserol bertujuan untuk memperoleh komposisi optimum dari carbopol
940 dan gliserol, dan mengetahui faktor dominan antara carbopol 940, gliserol, dan interaksi keduanya terhadap sifat fisik (daya sebar dan viskositas) dan stabilitas fisik gel (pergeseran viskositas).
Penelitian ini menggunakan rancangan eksperimental dengan variabel eksperimental ganda (desain faktorial) dengan dua faktor yaitu carbopol 940– gliserol serta menggunakan dua level yaitu level tinggi – rendah. Tiap formula diuji sifat fisik dan stabilitas fisiknya. Data dianalisis menggunakan perhitungan desain faktorial dan analisis statistik menggunakan Yate’s Treatment dengan taraf kepercayaan 95%.
Dari hasil penelitian tidak diperoleh area optimum komposisi carbopol 940 dan gliserol yang meliputi sifat fisik dan stabilitas fisik gel, dengan daya sebar optimal antara 5-7 cm; viskositas 150-250 dPa.s; dan pergeseran viskositas <10%. Carbopol 940 menghasilkan efek yang dominan pada respon daya sebar, viskositas, dan pergeseran viskositas.
Kata kunci : ekstrak daun belimbing wuluh, gel antiacne, carbopol 940, gliserol,
desain faktorial
ABSTRACT
The study of formula optimization of antiacne gel from belimbing wuluh leaves (Averrhoa bilimbi, L.) extract with gelling agent carbopol 940 and humectant glycerol intended to get the optimum composition of carbopol 940 and glycerol, and to determined the dominant factor among carbopol 940, glycerol, and its interaction on the physical characteristics (spreadability and viscosity) and physical stabilities of gel (viscosity shift).
The research used a experimental design with double experimental variables (factorial design) with two factors carbopol 940-glycerol, and two levels which were high level-low level. Each formula was tested its physical characteristics and physical stability. The data were analyzed statistically using factorial design calculation and statistical analysis used the Yate's treatment with 95% level of confidence.
From this research, wasn’t gained an optimum area compotition of carbopol 940 and glycerol, with optimal spreadability was 5-7 cm; viscocity 150- 250 dPa.s; and viscocity friction <10 %. Carbopol 940 was dominant on determining spreadability, viscosity and viscosity friction respon.
Keywords : belimbing wuluh leaves extract, antiacne gel, carbopol 940, glycerol,
factorial design
DAFTAR ISI
BAB
BAB II
BAB III
BAB IV
BAB
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Determinasi Tanaman ..................................................................... 63 Lampiran 2. Uji Organoleptis Ekstrak ................................................................ 64 Lampiran 3. Perhitungan Rendemen dan Data Pengujian Ekstrak ..................... 65 Lampiran 4. Perhitungan Penimbangan Ekstrak Daun Belimbing Wuluh ......... 66 Lampiran 5. Notasi Desain Faktorial dan Percobaan Desain Faktorial .............. 67 Lampiran 6. Data Zona Hambat Gel ................................................................... 68 Lampiran 7. Data Sifat Fisis dan Stabilitas Fisis Gel ......................................... 69 Lampiran 8. Perhitungan Desain Faktorial ......................................................... 72 Lampiran 9. Perhitungan Yate’s Treatment ........................................................ 78 Lampiran 10. Dokumentasi ................................................................................... 83
BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Jerawat merupakan suatu proses peradangan kronik kelenjar-kelenjar
pilosebasea. Keadaan ini sering dialami oleh usia remaja dan dewasa muda, dan akan menghilang secara spontan pada usia sekitar 20-30 tahun. Penyebaran jerawat ini sesuai dengan daerah kelenjar pilosebasea meliputi wajah, punggung, dada, dan leher (Price dan Wilson, 1985). Patogenesis jerawat ini meliputi banyak faktor, diantaranya disebabkan oleh ganguan terhadap sekresi hormon androgen, proses keratinisasi dan imunitas serta infeksi bakteri (Webster, 2001). Jerawat biasanya ditandai dengan pembentukan komedo, terjadi inflamasi dan terdapat bakteri Propionibacterium acnes, Staphylococcus epidermidis dan Staphylococcus
aureus dalam folikel rambut serta produksi sebum (Kumar, Javaveera, Kumar,
Sanjay, Swamy, Kumar, 2007).Propionibacterium acnes merupakan suatu bakteri yang dapat
menyebabkan terjadinya inflamasi karena kemampuannya memetabolismekan trigliserida menjadi asam lemak. Sebaliknya Staphylococcus epidermidis dan
Staphylococcus aureus merupakan suatu bakteri yang sering terlibat dalam infeksi superficial pada unit sebasea. Bakteri Staphylococcus epidermidis dan
Staphylococcus aureus dapat menyebabkan terbentuknya nanah sehingga
menghasilkan inflamasi pada jerawat (Kumar et al, 2007). Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang bersifat patogen dan invasif. Faktor penyebab jerawat ini menjadi target yang potensial untuk pengobatan jerawat. Propionibacterium acnes, Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis merupakan target untuk obat-obat antiacne dengan kemampuan antibakteri.
Hasil penelitian Feralusiana (2001) dan Triwulan (2004) membuktikan bahwa ekstrak etanol dari daun belimbing wuluh memiliki kemampuan sebagai antibakteri terhadap Staphyloccocus aureus. Staphyloccocus aureus ini dikenal paling patogen diantara bakteri Gram positif dan bakteri golongan Staphylococcus lainnya. Jika senyawa antibakteri yang terdapat di dalam ekstrak etanol daun belimbing wuluh dapat membunuh bakteri Staphyloccocus aureus, maka kemungkinan juga memiliki kemampuan sebagai antibakteri terhadap
Propionibacterium acnes dan Staphylococcus epidermidis yang bersifat kurang
patogen. Hasil identifikasi ekstrak etanol daun belimbing wuluh ini menunjukkan bahwa ekstrak mengandung senyawa flavonoid golongan flavon dimana senyawa tersebut juga memiliki kemampuan sebagai antibakteri. Ekstrak etanol daun belimbing wuluh ini berpotensi untuk dikembangkan menjadi suatu sediaan farmasi untuk pengobatan jerawat. Penggunaan ekstrak untuk formulasi jauh lebih ekonomis dan praktis daripada harus menggunakan isolat flavonoidnya.
Menjadi suatu hal yang menarik dan inovatif apabila dalam penelitian ini dibuat suatu sediaan gel antiacne dari bahan alam menggunakan ekstrak daun belimbing wuluh. Alasan dipilih sediaan gel karena sediaan gel memiliki konsistensi lembut, mampu melekat dalam waktu lama, dan memberikan sensasi dingin saat diaplikasikan pada kulit. Sediaan gel (hydrogel) tidak mengandung minyak, karena adanya minyak seperti yang terdapat pada make-up dan cream pelembab dapat memperparah dan merangsang timbulnya jerawat (Price dan Wilson, 1985). Adanya struktur koloid tiga dimensi pada gel dapat menjerat dan melindungi senyawa aktif pada ekstrak daun belimbing wuluh. Dalam penelitian ini akan dioptimasi komposisi carbopol 940 sebagai gelling agent dan gliserol sebagai humectant menggunakan metode Desain Faktorial untuk mendapatkan sediaan gel yang berkhasiat, serta memenuhi parameter sifat fisik dan stabilitas fisik sediaan gel.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah:1. Manakah diantara faktor carbopol 940, gliserol, atau interaksi keduanya yang lebih dominan dalam menentukan respon daya sebar, viskositas dan pergeseran viskositas?
2. Apakah ditemukan area optimum dari komposisi carbopol 940 dan gliserol yang dapat menghasilkan respon sifat fisik dan stabilitas fisik yang diharapkan?
C. Keaslian Penelitian
Sejauh pengetahuan penulis, penelitian mengenai Optimasi Formula Gel
Antiacne Ekstrak Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi, L.) Menggunakan
Gelling agent Carbopol 940 dan Humectant Gliserol Aplikasi Metode Desain
Faktorial belum pernah dilakukan. Adapun penelitian yang serupa adalah
Pengembangan Formulasi Sediaan Gel Antiacne serta Penentuan Konsentrasi Hambat Minimum Ekstrak Daun Pepaya (Carica papaya A Linn.) (Ardina, 2007).
Sedangkan penelitian lain yang berhubungan yaitu Daya Antibakteri Ekstrak Etanol dan Infus Daun Belimbing Wuluh (Averhoa bilimbi, L) terhadap
Staphylococcus aureus dan Salmonella typhi (Feralusiana, 2001) dan Potensi
Antibakteri Isolat Flavonoid Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) Terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli (Triwulan, 2004).
D. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan diperoleh:
1. Manfaat teoritis
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan serta dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan sediaan gel antiacne menggunakan bahan alam.
2. Manfaat praktis
Dengan adanya sediaan gel antiacne ini masyarakat dapat menggunakan sediaan gel dari bahan alam sebagai alternatif untuk mengatasi masalah jerawat.
E. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Penelitian ini ditujukan untuk membuat sediaan gel antiacne ekstrak daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi l.) yang memenuhi karakteristik fisik tertentu dan mempunyai potensi sebagai antiacne.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui pengaruh antara carbopol 940, gliserol, atau interaksi keduanya yang lebih dominan dalam menentukan respon daya sebar, viskositas dan pergeseran viskositas.
b. Mengetahui area optimum dari komposisi carbopol 940 dan gliserol yang dapat menghasilkan respon sifat fisik dan stabilitas fisik yang diharapkan.
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Jerawat Jerawat merupakan penyakit kulit yang disebabkan multifaktor, meliputi
ganguan proses keratinisasi, sekresi hormon dan imunitas. Kerusakan utama yang ditimbulkan antara lain meliputi komedo, penyumbatan folikel sebagai hasil pengelupasan tidak normal dari dinding folikel (Webster, 2001). Jerawat terjadi karena penyumbatan pada pilosebasea dan peradangan yang umumnya dipicu oleh bakteri Propionibacterium acnes, Staphylococcus epidermidis, dan
Staphylococcus aureus (Ardina, 2007) Penyebaran jerawat ini sesuai dengan
daerah kelenjar pilosebasea meliputi wajah, leher, dada, punggung dan bahu (Price dan Wilson, 1985).
Timbulnya jerawat dimulai karena terjadi saluran sebum menuju permukaan kulit mengalami penyumbatan sehingga sebum akan terakumulasi.
Bakteri, terutama Propionibacterium acnes ikut telibat dalam tahap ini. Bakteri- bakteri yang terdapat pada folikel akan memetabolismekan trigliserida pada sebum menjadi asam lemak bebas. Asam lemak yang terbentuk ini akan menimbulkan terjadinya inflamasi jerawat. Neutrofil, monosit dan enzim yang dapat menghancurkan dinding folikel akan ikut tertarik dan terakumulasi. Bakteri akan terdegradisi lambat sehingga menyebabkan respon inflamasi bertahan lama (Webster, 2001 dan Tortora et al, 2002).
1. Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis
Staphylococcus merupakan bakteri Gram positif yang selnya berbentuk
bola berukuran 0,5-1,5 µm; ditemukan dalam bentuk tunggal, berpasangan atau bergerombol dengan susunan tidak teratur. Dapat tumbuh dalam lingkungan anaerobik namun lebih bagus dalam lingkungan yang aerobik; tumbuh optimal dalam temperatur 30-37 C; koloninya keruh dengan warna putih dan terkadang kuning hingga oranye; sering ditemukan dalam kulit, membran mukosa dan terkadang di dalam makanan, debu dan air (Holt, Krieg, Sneath, Staley, Williams, 2000).
Staphylococcus aureus merupakan bakteri golongan Staphylococcus yang
paling patogen; memiliki sifat koagulase positif; diameter berukuran 0,8-1,0 µm; koloni berwarna kuning hingga oranye; tumbuh dalam lingkungan aerobik dan anaerob fakultatif. Bakteri ini dapat diisolasi dari nanah; habitat pertumbuhannya pada membran mukosa dan kulit (folikel rambut) (Holt et al., 200 dan Tortora et
al., 2002). Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri bersifat koagulase
negatif; memiliki koloni berwarna putih dengan ukuran sel 0,5-06 µm; tumbuh dalam lingkungan aerobik dan anaerob fakultatif dengan temperatur optimal 37 C (Breed, Murray, Smith, 1957). Staphylococcus aureus dan Staphylococcus
epidermidis sering terlibat dalam infeksi superficial pada unit sebaseus (pada
kulit). Kedua bakteri ini diketahui sebagai bakteri yang menyebabkan timbulnya nanah sehingga menimbulkan inflamasi pada jerawat (Kumar et al, 2007)
2. Propionibacterium acne
Propionibacterium merupakan bakteri Gram positif yang memiliki bentuk
batang pleomorfi dengan ukuram 0,5-0,8 x 1-5 µm; ditemukan dalam bentuk sel tunggal, berpasangan atau membentuk rantai yang pendek; bersifat anaerob fakultatif (tumbuh lemah dalam lingkungan aerobik) namun tumbuh baik dalam lingkungan anaerob dengan temperatur optimal 37 C; sering ditemukan pada kulit manusia. Propionibacterium acne memiliki habitat pertumbuhan pada jerawat, kulit dan folikel rambut (Holt et al., 2000 dan Breed et al., 1957). Dapat menyebabkan timbulnya nanah dan inflamasi pada jerawat (Kumar et al. 2007)
B. Tanaman Belimbing Wuluh
1. Sistematika tumbuhan
Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Geraniales Suku : Oxalidaceae Marga : Averrhoa Jenis : Averhoa bilimbi, L.
(Becker dan Van den Brink, 1965)
2. Morfologi
Pohon belimbing wuluh mempunyai tinggi mencapai 5-10 meter. Daunnya majemuk menyirip gasal, berseling, jumlah anak daun 21-45. Anak daunnya bertangkai pendek berbentuk bulat telur sampai jorong, ujung runcing, pangkal membundar, tepi rata dengan panjang 2-10 cm dan lebar 1-3 cm. Warna daun hijau dengan bagian permukaan bawah berwarna hijau muda. Bunganya berupa malai berbentuk kecil serupa bintang, berkelompok, keluar dari batang atau percabangan yang besar dan berwarna ungu kemerahan. Buahnya bulat lonjong persegi dengan panjang 4-6,5 cm, berwarna hijau kekuningan, berair banyak dan terasa asam. Biji belimbing wuluh berbentuk elips, umumnya 2-3 setiap ruang, tanpa selaput biji dan ukurannya 6-7 mm. Tanaman ini dapat tumbuh alami di daratan asia beriklim tropis, lembab dan biasanya ditanam pada ketinggian kurang dari 500 meter dpl (Sudarsono, 2002).
3. Kandungan kimia
Daun, buah, batang mengandung saponin, flavonoid, disamping itu daunnya mengandung tanin, batangnya mengandung alkaloid dan polifenol (Perry,1980).
4. Kegunaan
Buah belimbing wuluh dapat digunakan untuk obat tradisional yaitu bagian bunganya untuk penyakit obat batuk dan sariawan. Daunnya dapat untuk mengobati reumatik, sakit perut, gondongan. Buahnya dapat digunakan untuk batuk rejan, gusi berdarah, sariawan, sakit gigi berlubang, jerawat, panu, tekanan darah tinggi, kelumpuhan radang rektum, memperbaiki fungsi pencernaan (Sandi dan Andriani,2006). Flavonoid yang terdapat pada daun dapat berfungsi sebagai antimikroba (Robinson, 1995).
C. Flavonoid Flavonoid merupakan senyawa fenol yang terdapat dalam tumbuhan.
Flavonoid mengandung 15 atom karbon dalam inti dasarnya yang tersusun sebagai C6-C3-C6. Cincin tersebut diberi tanda dengan huruf A, B, dan C. Atom karbon dinomori menurut sistem penomoran yang menggunakan angka biasa untuk cincin A dan C, serta angka beraksen untuk cincin B (Markham,1988)
3' 4' 2' B
8 O 5' 7 1'
6' A C
3
6
5 O
4 Gambar 1. Kerangka Dasar Flavonoid Berserta Penomorannya
Flavonoid terdapat dalam tumbuhan dalam bentuk campuran, jarang sekali dijumpai hanya flavonoid tunggal dalam tumbuhan. Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air. Sebagian besar flavonoid terdapat dalam vakuola, yang umumnya bersifat hidrofilik, sehingga ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut air atau pelarut-pelarut alchoholic. Pelarut universal yang umumnya digunakan untuk mengekstraksi flavonoid pada semua tipe jaringan tumbuhan adalah metanol atau etanol yang berkadar 70-80%. Flavonoid berupa senyawa fenol. Flavonoid umumnya larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, butanol, aseton, dimetil sulfoksida, dimetil formamida, air. Flavonoid dapat digunakan untuk menghambat pendarahan, antimikroba, antivirus, pengatur tumbuh, pengatur fotosintesis, dan kerja terhadap serangga (Robinson, 1995).
D. Maserasi
Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang diluar sel, maka larutan terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Pengadukan perlu dilakukan untuk meratakan konsentrasi di luar butir serbuk simplisia. Kelebihan cara maserasi ini adalah cara pengerjaan dan peralatannya sangat sederhana dan mudah diusahakan, sedangkan Kekurangannya adalah pengerjaannya membutuhkan waktu lama dan hasil penyarian kurang sempurna. Cara penyarian ini dapat dipercepat dengan menggunakan mesin pengaduk yang terus-menerus berputar sehingga mempercepat waktu maserasi menjadi 6-24 jam (Anonim, 1986).
E. Deklorofilasi
Pada produk alam dari tanaman, terutama dari bagian daun, juga akan mengandung klorofil yang merupakan pigmen tanaman. Secara umum, klorofil ini harus dihilangkan dari ekstrak agar metabolit sekunder yang diperoleh dalam bentuk murni. Proses penghilangan klorofil disebut dengan deklorofilasi. Proses deklorofilasi dapat dilakukan dengan cara ekstraksi pelarut, kromatografi kolom dan elektrokoagulasi (Jumpatong, Phutdhawong dan Budhasukh, 2006).
1. Klorofil
Klorofil ditemukan di dalam kloroplas tanaman hijau dan membuat tanaman berwarna hijau. Struktur dasar molekul klorofil adalah cincin porfirin, koordinat dengan atom sentral. Strukturnya sangat mirip dengan heme yang terdapat pada hemoglobin, kecuali atom sentral pada heme adalah besi, sedangkan pada klorofil adalah magnesium (May, 2002).
Gambar 2. Struktur Kimia Klorofil a, b, c1, c2, dan d (May, 2002)
Ada 4 macam tipe klorofil yaitu a, b, c (1, 2) dan d. Namun kandungan klorofil yang paling banyak dalam tanaman adalah klorofil a dan klorofil b. Kedua tipe klororfil ini merupakan fotoreseptor yang sangat efektif karena mereka mengandung jaringan ikatan tunggal dan rangkap yang bergantian. Poliena yang terlokalisir memiliki absorpsi yang sangat kuat pada spektrum visible, sehingga tanaman dapat mengabsorpsi energi dari cahaya matahari (May, 2002). Klorofil yang diekstraksi dari daun akan menyerap cahaya dan mengemisikan kembali cahaya yang diterminya. Klorofil menyerap cahaya pada panjang gelombang warna biru dan merah, tetapi klorofil akan terkihat berwarna hijau karena tidak menyerap warna tersebut (Anonim, 1999).
2. Elektrokoagulasi
Elektrokoagulasi merupakan suatu teknik elektrokimia dimana dapat menghilangkan secara efektif berbagai partikel terlarut dan bahan tersuspensi, baik organik maupun anorganik, dari suatu larutan dengan cara elektrolisis (Jumpatong et al., 2006). Elektrokoagulasi adalah teknik elektrokimia yang akan meningkatkan koagulasi, dengan pembentukan ion metal secara in-situ oleh reaktor kimia, yang akan membentuk kompleks metal oksida atau hidroksida untuk menghilangkan impurities (Ghosh, Medhi, Solanki, Purkait, 2008).
Bila dalam suatu elektrolit ditempatkan dua elektroda dan dialiri arus listrik searah, maka akan terjadi reaksi elektrokimia. Reaksi ini merupakan gejala dekomposisi elektrolit, yaitu ion positif (kation) bergerak ke katoda dan menerima elektron yang direduksi dan ion negatif (anion) bergerak ke anoda dan menyerahkan elektron yang dioksidasi. Pada proses elektrokimia akan terjadi
Gambar 3. Deskripsi Metode Elektrokoagulasi 3+
pelepasan Al dari plat elektroda (anoda) sehingga membentuk flok Al(OH)
3
yang mampu mengikat senyawa yang mengandung logam. Proses elektrokoagulasi dilakukan pada bejana elektrolisis yang di dalamnya terdapat dua penghantar arus listrik searah yang disebut elektroda, yang tercelup dalam larutan sebagai elektrolit (Sunardi, 2007).
F. Pengujian Aktivitas Antibakteri
Senyawa antibakteri adalah senyawa yang digunakan untuk membasmi bakteri dan khususnya bakteri yang merugikan. Terdapat senyawa antibakteri yang memiliki sifat menghambat pertumbuhan bakteri (bacteriostatic) dan ada yang bersifat membunuh bakteri (bactericide). Pengukuran aktivitas antibakteri secara in vitro dapat dilakukan dengan metode difusi dan dilusi (Jawetz et al., 1986).
Prinsip pemeriksaan antibakteri dengan metode difusi ini adalah dengan pengukuran diameter hambatan obat, berdasarkan kemampuan obat untuk berdifusi ke dalam media tempat bakteri uji. Cakram kertas atau paper disk yang mengandung antibiotika atau zat uji diletakkan di atas atau apabila dengan cara sumuran zat tersebut dimasukkan ke dalam sumuran. Besarnya daerah difusi sesuai dengan hambatan bakteri uji dan sebanding dengan kadar yang diberikan Jawetz et al., 1986).
G. Gel
Gel didefinisikan sebagai suatu sistem setengah padat yang terdiri dari suatu dispersi yang tersusun baik dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar dan saling diresapi cairan (Ansel, 1989). Beberapa sistem gel biasanya transparan, tetapi ada juga yang keruh karena ada bahan-bahan yang terdispersi koloidal (Allen, 2002). Konsistensi dari sediaan gel disebabkan oleh adanya gelling agent (thickening agent) yang pada umumnya merupakan suatu polimer yang membentuk suatu jaringan tiga dimensi. Gaya intermolekuler akan mengikat molekul-molekul pelarut dengan jaringan antar polimer sehingga akan mengurangi mobilitas dari molekul-molekul pelarut yang akhirnya akan menyebabkan meningkatnya viskositas sistem (Paye, Barel, Maibach, 2006). Gel bersifat tiksotropik yaitu berbentuk semipadat dengan pendiaman namun berbentuk cair pada saat diaplikasikan. Gel pada umumnya memiliki sifat
rheology pseudoplastik (Zatz dan Kushla, 1996).
Gel digolongkan berdasarkan 2 sistem klasifikasi. Sistem klasifikasi pertama membagi gel kedalam inorganik dan organik. Inorganik gel pada umumnya berupa sistem 2 fase, sedangkan organik gel berupa sistem 1 fase. Klasifikasi yang kedua membagi gel kedalam hydrogel dan organic gel. Hydrogel mengandung bahan-bahan yang terdispersi sebagai koloid atau larut dalam air, sedangkan organogel mengandung pelarut non aqueous sebagai fase kontinyu.
Hydrogel bersifat hidrofil yang sebagian besar (85%-95%) tersusun atas air atau
suatu campuran alchoholic dengan gelling agent (Zatz dan Kushla, 1996; Paye et al., 2006).
Setelah diaplikasikan pada kulit, hydrogel akan menghasilkan efek dingin yang disebabkan oleh penguapan dari pelarutnya. Akan tetapi jika diaplikasikan dalam waktu yang lama akan menyebabkan kulit menjadi kering, oleh karena itu perlu adanya penambahan humectant seperti gliserol (Paye et al., 2006).
Polimer yang digunakan dalam hydrogel terhidrolisis lambat dan secara bertahap melepaskan obat bebas. Banyak polimer untuk tujuan ini telah disintesis (Zatz dan Kushla, 1996). Hydrogel cocok sebagai salep tidak berlemak untuk kulit dengan fungsi kelenjar sebasea yang berlebihan. Setelah kering, hydrogel akan meninggalkan suatu lapisan tipis transparan elastis dengan daya lekat tinggi, tidak menyumbat pori kulit, tidak mempengaruhi respirasi kulit, dan dapat mudah dicuci dengan air (Voigt, 1994).
H. Gelling Agent
Suatu sistem gel memerlukan sejumlah polimer (gelling agent) untuk menunjang stuktur jaringan tiga dimensinya. Suatu senyawa polimer organik seperti contohnya asam poliakrilat (Carbopol), digunakan sebagai gelling (thickening) agent pada sediaan farmasi atau kosmetik (Zatz dan Kushla, 1996; Rowe, Sheskey, Owen, 2006,).
H 2 H C C COOH
n
Gambar 4. Struktur Umum Carbopol (Anonim, 2001)
Carbopol (carbomer) merupakan polimer sintetik asam akrilat BM tinggi dengan 56-68% terdiri atas gugus karboksilat (COOH), berupa serbuk putih dengan bau yang khas, sangat mudah terion, sedikit asam, serta bersifat higroskopis. Dalam bentuk netral, carbopol larut dalam air, alkohol, dan gliserin serta akan membentuk gel yang jernih dan stabil. Pada larutan asam (pH 3,5-4,0) dispersi carbopol menujukkan viskositas yang rendah hingga sedang dan pada pH 5,0-10,0 akan menunjukkan viskositas yang optimal (Anonim, 2001). Carbomer 1% mempunyai pH 3. Senyawa-senyawa yang dapat menetralkan carbomer antara lain: NaOH, KOH, Na
2 CO 3 , borax, asam amino, trietanolamin (Anonim, 1983).
I. Humectant
Humectant merupakan bahan kosmetik yang ditujukan untuk
meningkatkan kandungan air pada permukan kulit. Humectant merupakan senyawa higroskopis yang umumnya larut dalam air. Gliserol sering digunakan sebagai humectant dalam produk-produk perawatan pribadi. Kegunaan umum gliserol adalah sebagai pelarut, plasticizer, pemanis, pengawet, lubricant, agen tonisitas. Gliserol berupa cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, rasa manis, dan stabil pada suhu rendah; dapat bercampur dengan air dan alkohol, sedikit larut dalam aseton, dan tidak larut dalam kloroform dan eter (Rowe et al., 2006).
HO OH
OH
Gambar 5. Struktur Gliserol (Anonim, 1995)
Gliserol telah diketahui memiliki tolerabilitas yang tinggi terhadap kulit, tidak mengiritasi dan tidak menimbulkan efek samping pada kulit yang kering (Rowe et al., 2006).
J. Desain Faktorial
Desain faktorial digunakan untuk mencari efek dari berbagai faktor atau kondisi terhadap hasil penelitian. Desain faktorial adalah desain pilihan untuk menentukan secara serentak efek dari beberapa faktor sekaligus interaksinya. Desain faktorial merupakan aplikasi persamaan regresi yaitu teknik untuk memberikan model hubungan antara variabel respon dengan satu atau lebih variabel bebas (Bolton, 1990).
Perencanaan percobaan secara faktorial juga dinyatakan sebagai perencanaan percobaan faktorial (desain faktorial), merupakan suatu metode rasional untuk menyimpulkan dan mengevaluasi secara objektif efek besaran yang berpengaruh terhadap kualitas produk. Dengan model ini dapat dilakukan percobaan untuk mengoptimasi formula (Voigt, 1994). Desain faktorial merupakan aplikasi persamaan regresi yaitu teknik untuk memberikan model hubungan antara factorial respons dengan satu atau lebih faktorial bebas. Model yang diperoleh dari analisis tersebut berupa persamaan matematika (Bolton,
Desain faktorial mengandung beberapa pengertian, yaitu faktorial, level, efek, dan respon. Faktor dimaksudkan sebagai setiap besaran yang mempengaruhi harga kebutuhan produk pada prinsipnya dapat dibedakan antara faktor kuantitatif dan kualitatif (Voigt, 1994). Level merupakan nilai atau tetapan untuk faktor.
Pada percobaan dengan desain faktorial perlu ditetapkan level yang diteliti yang meliputi level rendah dan level tinggi. Efek adalah perubahan respon yang disebabkan variasi tingkat faktor. Efek faktor atau interaksi merupakan rata-rata respon pada level tinggi dikurangi rata-rata respon pada level rendah. Respon merupakan sifat atau hasil percobaan yang diamati. Respon yang diukur harus dapat dikuantitatifkan (Bolton, 1990).
Desain faktorial dua faktor dan dua level berarti ada dua faktor (faktor A dan B) yang masing-masing faktor diuji pada level yang berbeda, yaitu level rendah dan level tinggi. Dengan desain faktorial dapat didesain percobaan untuk mengetahui faktor yang dominan berpengaruh secara signifikan terhadap suatu respon.
Tabel I. Notasi Formula Desain Faktorial
Formula A B Interaksi
1
- A + - B
- AB + + +
Persamaan umum untuk desain faktorial adalah : Y = b + b X + b X + b
X X (1)
1 A
2 B
12 A B Keterangan :
Y = respon hasil atau sifat yang diamati b , b
1 , b 2 , b 12 = koefisien, dapat dihitung dari hasil percobaan
Besarnya efek dapat dihitung dengan mengurangkan rata-rata respon pada level tinggi dengan rata-rata respon pada level rendah (Bolton, 1990)
ab a b (
1 )
- −
{ } { }
Efek Faktor A = (2)
2
ab b a (
1 )
- −
{ } { }
Efek Faktor B = (3)
2 ( 1 ) ab a b
− + +
{ } { }
Efek faktor interaksi = (4)
2 (Bolton, 1990)
K. Landasan Teori
Menurut Ardina (2007) dan Kumar et.al.(2007) jerawat terjadi karena penyumbatan pada pilosebasea dan peradangan yang umumnya dipicu oleh bakteri Propionibacterium acnes, Staphylococcus epidermidis, dan
Staphylococcus aureus. Bakteri tersebut dapat dijadikan sebagai target untuk pengobatan.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Feralusiana (2001) dan Triwulan (2004) membuktikan bahwa ekstrak etanol dari daun belimbing wuluh senyawa yang diduga mengandung senyawa flavonoid mampu digunakan untuk membunuh bakteri Staphyloccocus aureus. Ekstrak etanol dari daun belimbing wuluh ini berpotensi untuk dikembangkan menjadi suatu sediaan farmasi untuk pengobatan jerawat.
Diperlukan suatu bentuk sediaan farmasi yang memenuhi persyaratan mutu supaya daya antibakteri ekstrak daun belimbing wuluh dapat digunakan masyarakat dengan mudah, praktis, nyaman dan manjur. Pada penelitian ini dipilih sediaan topikal dengan bentuk gel untuk membawa agen antibakteri dari ekstrak daun belimbing wuluh. Alasan pemilihannya karena gel memiliki beberapa kelebihan dibandingkan sediaan semisolid-liquid lainnya. Kelebihannya antara lain yaitu karena konsistensinya yang lembut, daya lekat pada kulit lama, nyaman digunakan, memberikan sensasi dingin, dan menarik. Untuk tujuan
antiacne sediaan gel (hydrogel) juga tidak memperparah kondisi jerawat karena
tidak mengandung komposisi yang berminyak dimana adanya minyak di dalam make up atau lotion dapat merangsang timbulnya jerawat.
Di dalam sediaan gel ini gelling agent akan membentuk struktur tiga dimensi yang dapat menjerat air dan zat aktif pada ekstrak. Gelling agent dan
humectant diperkirakan berpengaruh terhadap respon sifat fisik dan stabilitas fisik
gel. Untuk mendapatkan sediaan gel dengan parameter-parameter yang dikehendaki, perlu dilakukan optimasi komposisi dari kedua faktor tersebut. Dua faktor yang diteliti dengan metode desain faktorial adalah carbopol 940 sebagai gelling agent dan gliserol sebagai humectant.
L. Hipotesis
Diduga terdapat pengaruh yang bermakna dari komposisi carbopol 940 sebagai gelling agent dan gliserol sebagai humectant dalam formula gel antiacne ekstrak daun belimbing wuluh pada level yang diteliti terhadap respon daya sebar, viskositas dan pergeseran viskositas. Diduga dapat ditemukan area komposisi yang optimum antara carbopol 940 dengan gliserol.
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk dalam penelitian eksperimental murni yang bersifat eksploratif dengan variabel eksperimental ganda (desain faktorial). B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
1. Variabel penelitian
a. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah variasi dan level dari gelling
agent dan humectant yaitu: 1) Carbopol 940
: 2,10 g (level rendah) dan 2,70 g (level tinggi)
2) Gliserol
: 30,0 g (level rendah) dan 60,0 g (level tinggi)
b. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah daya sebar, viskositas dan pergeseran viskositas.
c. Variabel pengacau terkendali dalam penelitian ini adalah lama
penyimpanan (24 jam setelah pembuatan dan 2 bulan), lama (7 menit) dan kecepatan pengadukan (500 rpm), diameter lubang sumuran (6 mm).
d. Variabel pengacau tak terkendali adalah suhu saat pengujian, suhu penyimpanan dan kelembaban ruangan.
2. Definisi operasional
a. Ekstrak daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi, L.) merupakan ekstrak kering yang diperoleh dari hasil maserasi simplisia daun Averrhoa
billimbi, L. menggunakan pelarut etanol 70% (juga disebut ekstrak etanol) yang kemudian dideklorofilasi dan dikeringkan.
b. Deklorofilasi adalah proses penghilangan atau meminimalisasi senyawa klorofil yang terdapat pada ekstrak daun belimbing wuluh, pada penelitian ini dilakukan dengan metode elektrokoagulasi (penggumpalan dengan prinsip elektrokimia).
c. Gel antiacne ekstrak daun belimbing wuluh adalah sediaan semisolid yang dibuat dari ekstrak daun belimbing wuluh, gelling agent (carbopol 940),
humectant (gliserol) dan bahan lain sesuai dengan formula yang telah ditentukan dalam penelitian ini.
d. Sifat fisik gel adalah parameter yang digunakan untuk mengetahui kualitas fisik gel yang meliputi daya sebar gel, viskositas dan pergeseran viskositas setelah penyimpanan 2 bulan.
e. Contour plot adalah grafik yang merupakan hasil dari respon sifat fisik tertentu dengan persamaan desain faktorial yang dapat digunakan untuk memprediksi area optimum formula gel.
f. Contour plot superimposed adalah grafik yang diperoleh dengan menggabungkan garis–garis dan area optimum dari semua contour plot yang telah ditentukan pada uji daya sebar, viskositas dan pergeseran viskositas.
g. Area optimum adalah area komposisi carbopol 940 dan gliserol yang menghasilkan gel dengan daya sebar 5-7 cm, viskositas 150 sampai 250 dPa.s dan pergeseran viskositas (setelah penyimpanan 2 bulan) <10 %.
C. Bahan dan Alat Penelitian
1. Bahan penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini daun belimbing wuluh, carbopol 940, gliserol, etanol 96%, aquadest dan metil paraben yang digunakan dalam pembuatan gel. Bahan lainnya meliputi etanol 70%, nutrient agar (Oxoid), nutrient broth (Oxoid), Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis.
2. Alat penelitian
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah
glasswares (Pyrex-Germany), neraca analitik, mixer, Viscometer seri VT 04
(Rion-Japan), seperangkat alat maserasi, oven, seperangkat alat elektrokoagulasi (modifikasi, Farmasi USD), hotplate, magnetic stirer merk Cenco Instrumen b.v.,
TM
autoklaf, spektrofotometer UV-Vis seri Genesys 6 (Thermospectronic-USA), pipet mikro 5-100 µl, inkubator dan Laminar Air Flow (LAF).
D. Tata Cara Penelitian
1. Pembuatan ekstrak daun belimbing wuluh
a. Pengumpulan dan pembuatan serbuk daun belimbing wuluh. Daun
belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi, L.) diperoleh dari daerah Karangmojo, Gunungkidul. Daun dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan kotoran yang menempel pada daun. Daun yang telah dicuci diangin-anginkan kemudian dikeringkan menggunakan oven pada suhu 40ºC sampai daun benar-benar kering, ditandai dengan mudah dipatahkan atau hancur bila diremas. Simplisia yang sudah kering diserbuk dengan mesin penyerbuk.
. Sebanyak kurang lebih 12
b. Pembuatan ekstrak cair daun belimbing wuluh
g serbuk daun belimbing wuluh dimasukkan ke dalam erlenmeyer (300 ml) bertutup, dan ditambahkan larutan penyari etanol 70% sebanyak 100 ml.
Kemudian erlenmeyer diletakkan pada shaker. Proses maserasi dilakukan selama 2x24 jam menggunakan penggojogan dengan kekuatan 160 rpm. Setelah 48 jam, ekstrak keruh disaring dengan kertas saring hingga diperoleh ekstrak cair daun belimbing wuluh.
Deklorofilasi ekstrak cair daun belimbing wuluh . Sebanyak 500 mL c. ekstrak cair daun belimbing wuluh dimasukkan ke dalam bejana elektrokoagulasi 500 mL. Kemudian dimasukkan sepasang lempeng aluminium berukuran 15 x 3 cm sedalam 7 cm kedalam larutan ekstrak cair. Jarak antar kedua lempeng aluminium diatur 1,5 cm. Kemudian larutan ekstrak cair diaduk dengan menggunakan magnetic stirer dengan kecepatan 150 rpm. Selanjutnya ditambahkan NaCl ke dalam ekstrak cair sebagai elektrolit pendukung. Tegangan listrik dialirkan secara langsung dari power supply DC ke dua buah elektroda, tegangan yang digunakan yaitu 25 volt (Pribadi, 2009). Proses deklorofilasi ini dilakukan hingga diperoleh ekstrak dengan warna yang diinginkan. Ekstrak kemudian disaring untuk memisahkannya dari endapan klorofil.
Pembuatan ekstrak kering daun belimbing wuluh. Ekstrak cair hasil d. deklorofilasi diuapkan menggunakan vacuum rotary evaporator dengan pemanasan 45-50 C selama 30 menit, dilanjutkan dengan diuapkan di dalam oven dengan suhu 40 C selama dua hari.
2. Uji potensi antibakteri (daya hambat) ekstrak daun belimbing wuluh dengan metode difusi sumuran