PERUBAHAN PEMAHAMAN SISWA KELAS XI SMAK SANG TIMUR YOGYAKARTA MENGENAI GAYA KE ATAS PADA ZAT CAIR MELALUI PEMBELAJARAN DENGAN METODE EKSPERIMEN TERBIMBING

PERUBAHAN PEMAHAMAN SISWA KELAS XI SMAK SANG TIMUR YOGYAKARTA MENGENAI GAYA KE ATAS PADA ZAT CAIR MELALUI PEMBELAJARAN DENGAN METODE EKSPERIMEN TERBIMBING SKRIPSI

  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Fisika

  Parnando Dongoran 021424003

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2008

HALAMAN PERSEMBAHAN

  Kupersembahkan karya ini untuk : Tuhan Y esus Kristus Bunda maria hati kudus Bapak dan mamak ter cinta

  Adik – adikku tersayang siska tersayang

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

  Yogyakarta,

  30 September 2008 Penulis Parnando Dongoran

  ABSTRAK Parnando Dongoran , Perubahan Pemahaman Siswa Kelas XI SMAK Sang Timur Yogyakarta Mengenai Gaya Ke Atas Pada Zat Cair Melalui Pembelajaran Dengan Metode Eksperimen Terbimbing. Program Studi Pendidikan Fisika, Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (2008).

  Tujuan penelitian adalah untuk untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam pembelajaran fisika dikelas jika menggunakan metode eksperimen terbimbing pada materi tentang gaya keatas pada zat cair Penelitian ini dilaksanakan di SMAK SANG TIMUR YOGYAKARTA pada bulan Agustus 2008 – September 2008 dengan mengambil 4 orang siswa kelas XI sebagai sampel.

  Desain penelitian dalam pengambilan data diawali dengan mengadakan pretest. Dari hasil pretest dipilih 4 orang sebagai sampel yang memiliki miskonsepsi paling banyak serta pemahaman yang kurang. Keempat siswa tersebut diwawancarai untuk mengetahui konsep awal siswa. Setelah diwawancarai, dilakukan pembelajaran dengan menggunakan metode eksperimen terbimbing. Setelah pembelajaran, siswa diberi soal posttest kemudian diwawancarai lagi untuk mengetahui pengetahuan akhir siswa. Soal pretest dan posttest berupa pilihan ganda dengan alasan yang disertai dengan CRI.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) pemahaman awal siswa memiliki persentase rata – rata sebesar 25,48% yang berarti sangat kurang(2) miskonsepsi banyak terjadi karena pemahaman siswa sangat kurang (3) setelah pembelajaran pemahaman akhir siswa memiliki persentase rata – rata 77,08% (4) persentase peningkatan perubahan pemahaman 202,52% . metode ekperimen terbimbing dapat digunakan pada materi gaya ke atas pada zat cair sehingga dapat meningkatkan pemahaman siswa.

  ABSTRACT Parnando Dongoran, Comprehension Changing of SMAK SANG TIMUR class XI Students About Bouyant Force Through a Study of Guided Experiment Method. Physics Study Program, Mathematics and Scince of Education Departement, Faculty of Teacher Training and Education, Sanata Dharma University, Yogyakarta (2008) The aim of this research is to discover the students achievement in learning physics in class while using guided experiment method in bouyant force by liquid material.

  This research was done in SMAK Sang Timur Yogyakarta in August 2008 th – September 2008 by involving 4 students 11 grade students as samples.

  The research design in taking the data is preceded by a pretest. From the pretest result, 4 students are chosen as the samples that are having the higest misconception and less comprehension. Those students are being interviewed to discover the students basic concept after interview, a study using guided experiment method is done. After that, the students are given a posttest, and being interviewed for the second time to discover their final comprehension. The pretest and posttest are multiple choices consisting of reasons that include CRI.

  The result shows that (1) students initial understanding has an average percentage for about 25,48%, which mean insufficient (2) misconception frequently occur due to the insufficient students understanding (3) after the study, the students final comprehension is 77,08% (4) the percentage of this increasing comprehension changing is 202,52% guided experiment method can be used for bouyant force by liquid material so that it can increase the students comprehension.

KATA PENGANTAR

  Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria karena atas berkat – Nya penelitian yang berjudul ” Perubahan Pemahaman Siswa Kelas XI SMAK Sang Timur Yogyakarta Mengenai Gaya Ke Atas Pada Zat Cair Melalui Pembelajaran Dengan Metode Eksperimen Terbimbing” dapat terselesaikan dengan baik.

  Penelitian ini merupakan tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan di JPMIPA Universitas Sanata Dharma.

  Penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik atas kerjasama, bantuan, gagasan, serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu peneliti mengucapkan terimakasih kepada:

  1. Bapak Drs. T. Sarkim M.Ed.,Ph.D., selaku dosen pembimbing yang telah

banyak memberikan waktu untuk membimbing dengan penuh kesabaran.

  2. Bapak Drs. Domi Savernius, M.Si selaku kaprodi.

  3. Ibu Dra. Maslichah Asy’ari M.Pd. selaku dosen pembimbing akademik.

  4. Keluarga besar SMAK Sang Timur Yogyakarta, terimakasih untuk semua bantuan dan kerjasamanya.

  5. Dosen–dosen Pendidikan Fisika, terimakasih untuk ilmu yang telah diberikan kepada saya.

  6. Sekretariat FKIP dan JPMIPA untuk segala bantuannya selama saya menempuh pendidikan.

  7. Bapak dan mamak yang sampai saat ini selalu bersabar, percaya,

berdoa,saying, dan yang membiayai sehingga saya dapat menyelesaikan

studi ini.

8. Buat Piter dan Trio Yang selalu mendukung abang buat kuliah.

  9. Adek Siska yang telah memberikan sayang serta mendukung,

menyemangati, dan membantu abang lebih dari setengah kehidupan Abang

di Yogyakarta.

  10. Sahabat terbaik Arga, Eli, Dina, Mief, Alfonsa, Dono, Retno terima kasih atas semangat yang kalian berikan.

  11. Anak – anak kost “Jaswadi Family” terima kasih karena kita menjadi saudara dalam berbagi.

  12. Teman-teman Pendidikan Fisika angkatan 2002, yang telah bekerjasama dalam menempuh studi di Pendidikan Fisika .

  13. Semua pihak yang belum dapat disebutkan.

  Peneliti sangat menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, maka mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun serta menyempurnakan tulisan ini. Supaya dapat berguna bagi perkembangan pendidikan dan pembelajaran di sekolah.

  Yogyakarta, 25 September 2008 Penyusun

  DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL .....................................................................................i

  HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..............................................ii HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................iii HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .........................................................v ABSTRAK ....................................................................................................vi ABSTRACT ..................................................................................................vii KATA PENGANTAR ...................................................................................viii DAFTAR ISI .................................................................................................x DAFTAR TABEL ..........................................................................................xiii DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................xv

  BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1 A.

Latar Belakang...................................................................................... 1

B.

Dasar Teori............................................................................................3

B.1. Hakekat Konstruktivisme ....................................................... 3 B.2. Konsep dan Konsepsi ............................................................. 4 B.3. Miskonsepsi ............................................................................ 8 B.4. Teori Perubahan Konsep ........................................................13 B.5. Hubungan Teori Perubahan Konsep dan teori Konstruktivisme ..................................................................... 15 B.6. Pemahaman Konsep ...............................................................16 B.7. Metode Pembelajaran .............................................................20 B.8. Metode Eksperimen Terbimbing ............................................22 B.9. Gaya ke Atas Pada Zat Cair …………………………………25 C.

Perumusan Masalah …………………………………………………. 31

D.

Tujuan Penelitian ……………………………………………………. 31

E.

Manfaat Penelitian …………………………………………………... 31

BAB II METODOLOGI PENELITIAN …………………………………….. 32 A.

Jenis Penelitian ……………………………………………………….32

  B.

  

Desain Penelitian ……………………………………………………..32

C.

Subyek Penelitian …………………………………………………….35

D.

  

Waktu dan Tempat Penelitian ..............................................................35

E.

Metode Pengumpulan Data .................................................................. 36

F.

Instrumen Penelitian ............................................................................ 37

1.

  Instrumen Pembelajaran ...........................................................37 2. Instrumen Pengambilan Data ................................................... 38 G. Kualitas Instrumen ............................................................................... 41 H.

Metode Analisis data …………………………………………………42

1.

  Data Pretest dan Posttest ( pemahaman awal dan akhir ) …… 42 2. Data Wawancara …………………………………………….. 43

  BAB III DATA, ANALISIS DATA, DAN PEMBAHASAN ………………... 45 A.

Diskripsi penelitian ………………………………………………….. 45

B.

Pretest ………………………………………………………………...46

C.

Pemahaman Awal Siswa Setelah Wawancara dan Pretest ………….. 55

D. Pembelajaran ………………………………………………………… 56 1. Kegiatan I ……………………………………………………. 56 2. Kegiatan II …………………………………………………... 59 3. Kegiatan III ………………………………………………….. 59 4. Kegiatan IV ………………………………………………….. 61 5. Kegiatan V…………………………………………………… 62 6. Kegiatan VI ………………………………………………….. 64 7. Kegiatan VII ………………………………………………….66 E.

Posttest ………………………………………………………………. 67

F.

Pemahaman Akhir Siswa Setelah Wawancara II dan Posttest ……….74

1. Pemahaman Gaya ke Atas…………………………………… 74 2. Pemahaman Terapung ..............................................................76 3. Pemahaman Melayang .............................................................76 4. Pemahaman Tenggelam ........................................................... 77 G.

Perubahan – Perubahan Pemahaman Setelah Pembelajaran ................ 78

  BAB IV PENUTUP ........................................................................................... 80 A.

Kesimpulan .......................................................................................... 80

B.

Saran ................................................................................................... 80

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 82 LAMPIRAN ........................................................................................................ 84

  DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kisi – Kisi Soal ........................................................................... 38Tabel 2.2 Keyakinan Jawaban Siswa Berdasarkan Skala CRI ..................... 39Tabel 2.3 Kriteria Pengelompokan Siswa Berdasarkan CRI ........................ 40Tabel 2.4 Klasifikasi Pemahaman Siswa Berdasarkan Skor ........................ 43Tabel 3.1 Persentase Jumlah Skor dan Tingkat Pemahaman Siswa Berdasarkan Prosentase Skor ...................................................... 48Tabel 3.2 Persentase Konsep Benar, Kekurangan Pengetahuan dan Miskonsepsi Berdasarkan Jawaban Siswa dan CRI Dari Data

  Pretest ........................................................................................ 49

Tabel 3.3 Jumlah Persentase Jawaban Siswa Pada Saat Pretest Untuk Setiap Nomor Soal Berdasarkan CRI Pada ................................. 54Tabel 3.4 Persentase Jumlah Skor dan Tingkat Pemahaman Siswa Berdasarkan Prosentase Skor pada saat pretest dan posttest ......... 67Tabel 3.5 Persentase Konsep Benar, Kekurangan Pengetahuan dan Miskonsepsi Berdasarkan Jawaban Siswa dan CRI Dari Data ...... 69Tabel 3.6 Jumlah Presentase Jawaban Siswa Untuk Setiap Nomor Soal Pada Posttest Berdasarkan CRI ................................................... 73

  DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lembar Jawaban Kegiatan Siswa ................................................ 84 Lampiran 2 Rancangan Pembelajaran ............................................................ 93 Lampiran 3 Soal pretest dan posttest .............................................................. 99 Lampiran 4 Wawancara I ............................................................................... 109 Lampiran 5 Wawancara II ............................................................................. 119 Lampiran 6 Hasil Pretest berdasarkan Urutan Konsep Tiap – Tiap Nomor Soal

  Berdasarkan Jawaban, Alasan, dan CRI ...................................... 131 Lampiran 7 Hasil Posttest berdasarkan Urutan Konsep Tiap – Tiap Nomor Soal Berdasarkan Jawaban, Alasan, dan CRI ...................................... 133 Lampiran 8 Surat Keterangan Izin Penelitian dari Kampus ............................ 134

  Lampiran 9 Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian Dari Sekolah ....... 135

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada setiap proses pembelajaran fisika, siswa dituntut untuk dapat

  memahami semua konsep – konsep ilmiah karena hal ini merupakan bagian terpenting dalam proses pembelajaran fisika. Seorang anak dapat dikatakan berhasil dan paham dalam pembelajaran khususnya pembelajaran fisika apabila anak tersebut telah menangkap dan memahami suatu konsep fisika pada materi yang diajarkan. Oleh karena itu, seorang guru harus mampu melihat apakah konsep – konsep yang diberikan sudah didapat dan dipahami oleh siswa atau belum sama sekali. Hal ini dimungkinkan sebagai salah satu cara agar keberhasilan proses pembelajaran dapat dicapai dengan hasil yang maksimal.

  Pada kenyataannya proses pembelajaran fisika di sekolah merupakan suatu hal yang masih dianggap siswa pelajaran yang menyulitkan. Pernyataan dari orang

  • – orang awam tentang fisika memang benar kenyataannya bahwa fisika sangat sulit untuk dipelajari. Siswa seringkali dihadapkan pada rumusan – rumusan yang dianggap menyulitkan siswa tersebut, dan pada kenyataannya siswa hanya menghafal tanpa memahami konsep – konsep yang berkaitan pada rumusan suatu materi fisika. Pada kenyataannya jarang sekali siswa yang benar – benar paham bagaimana fisika disikapi siswa agar lebih gampang dimengerti. Dalam hal ini, guru sangat berperan penting untuk mengenalkan fisika kepada orang awam dan siswa bahwa fisika tidak seperti yang mereka bayangkan.

  Usaha-usaha untuk meningkatkan hasil pembelajaran di kelas telah banyak dilakukan, seperti pengkajian ulang kurikulum yang menghasilkan banyak kurikulum dalam pengajaran dan pembelajaran, pengadaan sarana dan prasarana sekolah seperti laboratorium dan buku-buku pelajaran, peningkatan mutu guru melalui penataran-penataran baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional. Walaupun demikian, hasil yang dicapai belum memuaskan.

  Kartika Budi ( 2001:43) menjelaskan bahwa menurut hakikat fisika maupun menurut rumusan dalam rumusan dalam GBPP 1994, tujuan pembelajaran fisika memiliki tiga aspek, yaitu membangun pengetahuan, proses, dan sikap. Dari ketiga aspek tersebut mengandung makna bahwa proses pembelajaran harus memberi peluang kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan melakukan proses sains dan sikap sains. Pengetahuan yang berupa konsep – konsep atau hukum harus diperoleh atau dibangun melalui serangkaian proses sains tersebut. Selanjutanya kemampuan dalam melakukan proses dan sikap hanya dapat dibangun melalui pengalaman melakukan serangkaian proses yang berkesinambungan yang berarti siswa harus terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, guru sebagai salah satu penyelenggara pembelajaran di kelas harus bisa mencari suatu metode pembelajaran yang dapat mengefektifkan siswa dikelas.

  Berdasarkan dari latar belakang dalam pencarian suatu metode yang tepat dikelas khususnya pada pembelajaran fisika, maka munculah keinginan peneliti untuk meneliti bagaimana perubahan pemahaman yang didapat oleh siswa tentang gaya ke atas pada zat cair bila pada proses pembelajaran diterapkan sebuah metode pembelajaran yaitu metode eksperimen terbimbing.

B. DASAR TEORI B.1. Hakekat Konstruktivisme.

  Konstruktivisme bukan merupakan satu teori yang baru dalam bidang pendidikan. Pengaruh konstruktivisme dalam era teknologi komunikasi ini semakin kuat. Teori ini bertitik tolak dari pandangan behaviorism yang mengkaji perubahan tingkah laku sehingga kepada kognitivism yang mengkaji tentang cara manusia belajar dan memperoleh pengetahuan yang menekankan perwakilan mental.

  Menurut Von Glasersfeld (dalam Suparno, 1997:21) bahwa konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan siswa adalah konstruksi atau pembentukan dari diri siswa sendiri, ia menegaskan bahwa pengetahuan bukan suatu tiruan dari kenyataan.

  Belajar, menurut haikikat konstruktivis adalah suatu perubahan konseptual, yang dapat berupa pengkonstruksian ide baru atau merekonstruksi ide yang sudah ada sebelumnya. Menurut konstruktivis ketika siswa masuk ke kelas untuk menerima pelajaran, siswa tidak dengan kepala kosong yang siap diisi dengan berbagai macam pengetahuan oleh guru. Sebenarnya para siswa telah membawa pengetahuan awal yang diistilahkan oleh para konstruktivist dengan gagasan/pikiran siswa. Pengetahuan awal tersebut diperoleh siswa dari interaksi dengan lingkungannya. Pengetahuan ini dipengaruhi oleh bahasa, budaya, lingkungan fisik, orang tua, teman sebaya dan masyarakat sekitarnya. Pengetahuan awal ini dapat mempermudah siswa dalam menerima pelajaran selanjutnya, tetapi dapat pula mempersulit siswa. Karena itu guru harus mengetahui terlebih dahulu pengetahuan awal siswa mengenai konsep pelajaran yang akan diajarkan. Guru hendaknya menciptakan kegiatan dalam pembelajaran yang dapat mengubah pengetahuan awal siswa yang belum sesuai dengan konsep pelajaran yang sedang dipelajari atau menyempurnakan konsep awal yang kurang lengkap. Oleh karena itu, diperlukan suatu pendekatan mengajar yang memenuhi syarat tersebut.

  Pembelajaran yang konstruktivitis tersebut adalah pembelajaran dimana siswa membangun sendiri pengetahuannya melalui serangkaian interaksi dengan guru, teman, dan lingkungannya. Prinsip – prinsip kontruktivisme dalam pembelajaran antara lain adalah :

  1. Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif.

  2. Tekanan dalam proses pembelajaran terletak pada siswa 3.

  Mengajar adalah membantu siswa mengajar.

  4. Tekanan pada proses belajar lebih pada proses bukan pada hasil.

  5. Kurikulum menekankan partisipasi siswa.

  6. Guru adalah fasilitator.

  B.2. Konsep dan Konsepsi.

  Konsep menurut Rosser yang dikutip oleh Ratna W konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili satu kelas obyek-obyek, kejadian-kejadian, kegiatan- kegiatan, atau hubungan-hubungan, yang mempunyai atribut-atribut yang sama ( http://www.homepagez.com/jombang/skripsi.htm , September 2007). Van den Berg (1991:8 ) menyatakan konsep didefenisikan sebagai abstraksi dari ciri-ciri sesuatu yang mempermudah komunikasi antar manusia dan yang memungkinkan manusia berfikir. Tafsiran atau pengertian seseorang terhadap suatu konsep disebut dengan konsepsi

  Setiap konsep tidak berdiri sendiri, melainkan setiap konsep berhubungan dengan konsep lain, misalnya getaran berhubungan dengan perioda, frekuensi, dan sebagainya. Semua konsep tersebut bersama-sama membentuk semacam jaringan pengetahuan dalam kepala manusia. Semakin lengkap jaringan konsep getaran tersebut dalam struktur kognitif seseorang semakin besar kemungkinannya dapat menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan getaran.

  Vygotsky mengatakan seperti yang dikutip oleh Suparno ( 2005:94) bahwa konsep sendiri terdiri atas 2 jenis konsep, yaitu:

  1. Konsep spontan Konsep spontan adalah konsep yang dipunyai siswa karena pergaulannya setiap hari pada situasi tertentu tanpa struktural sistematik 2. Konsep saintifik.

  Konsep saintifik adalah konsep yang didapat dibangku sekolah yang diterimna secara sistematik struktural.

  Kedua konsep ini saling mempengaruhi. Pada prosesnya kedua konsep saling memiliki ketertarikan. Dalam proses pembelajaran konsep spontan perlahan

  • – lahan akan dirubah menjadi konsep saintifik dan sebaliknya konsep saintifik
akan membatu konsep spontan sesoran untuk dirubah menjadi lebih maju dan lebih lengkap.

  Setiap anak yang datang ke kelas untuk mempelajari IPA dapat mempunyai konsepsi awal atau penafsiran terhadap fenomena-fenomena yang sedang dipelajari. Konsepsi atau penafsiran tersebut merupakan hasil dari pengalamannya sehari-hari pada berbagai aspek kehidupannya misalnya melalui pembicaraan dengan orang-orang yang ada di sekelilingnya, dan melalui media (seperti surat kabar, TV radio dan sebagainya).

  Menurut Driver ( http://www.homepagez.com/jombang/skripsi.htm , September 2007) bila dua orang siswa mengamati benda yang bergetar, kemudian mereka ditanya apa yang dimaksud dengan getaran, maka komentar mereka kemungkinan besar berbeda. Hal ini terjadi karena perbedaan konsepsi awal yang digunakan oleh masing – masing anak dalam menanggapi objek yang sedang mereka amati. Dalam kenyataannya konsepsi awal siswa ini sulit untuk di rubah dan dapat menghambat pemahaman belajar. Karena itu perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh dalam pembelajaran agar anak dapat mengembangkan konsepsinya ke arah konsepsi yang ilmiah.

  Agar konsepsi anak dapat berubah dan berkembang dalam pikirannya menuju konsepsi yang ilmiah, maka ada empat kondisi yang harus terpenuhi, khususnya dalam pembelajaran yakni sebagai berikut: 1.

  Ketidakpuasan (dissatisfaction) yaitu kondisi yang menyebabkan siswa merasa tidak puas terhadap konsepsi awal/gagasannya.

  2. Pemahaman minimal (minimal understanding or intelligible) yaitu kondisi yang mengarahkan pemahaman minimal siswa terhadap konsep yang sedang dipelajari.

  3. Kemasukakalan awal (initial plausibility), kondisi yang memungkinkan konsep yang sedang dipelajari dapat diterima oleh akal siswa.

  4. Kebermaknaan, yaitu kondisi yang dapat menimbulkan rasa kebermaknaan dalam diri siswa terhadap konsep yang sedang dipelajari.

  Driver mengemukakan bahwa strategi untuk menciptakan kondisi-kondisi tersebut yaitu ( http://www.homepagez.com/jombang/skripsi.htm , September 2007)

  1. Mengungkap gagasan siswa dengan cara diskusi dalam kelompok kecil atau seluruh kelas, meminta siswa menggambarkan, menulis idenya tentang situasi atau fenomena yang diamatinya.

  2. Mengamati suatu kejadian aneh yang dapat menimbulkan konflik konseptual dalam pemikiran siswa sehingga mendorong mereka untuk mengubah konsepsinya.

  3. Menggunakan pertanyaan menggali untuk menggali gagasan-gagasan siswa sehingga mereka dapat berfikir lebih logis dan ilmiah.

  4. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menguji/ memeriksa keterpakaian hasil-hasil kegiatannya pada situasi yang baru, agar mereka yakin bahwa gagasan atau konsepsi baru yang dipelajarinya lebih berguna

  B.3. Miskonsepsi.

  Dalam banyak pegalaman pembelajaran di bidang fisika seringkali ditemukan adanya miskonsepsi. Miskonsepsi ini biasanya terkandung dalam konsep spontan seseorang. Hal ini tidak dapat dihindarkan dan dapat dimengerti karena konsep tersebut didapat secara spontan dari pengalaman sebelum mendapatkan pelajaran formal dari sekolah.

  Secara filosofis terjadinya miskonsepsi pada siswa dapat dijelaskan dengan filsafat konstruktivisme. Suparno menyatakan bahwa pengetahuan itu dibentuk oleh siswa sendiri dalam kontak dengan lingkungan, tantangan, dan bahan yang dipelajari. Mereka mengonstruksi sendiri hal – hal yang berkaitan dengan konsepsinya sejak awal yang disebut sebagai pengetahuan awal siswa. Tetapi menurut para pakar, pengetahuan awal yang dimiliki siswa tersebut sering kali tidak sesuai dan ini akan menjadi suatu miskonsepsi ( Suparno, 2005 ).

  

Miskonsepsi menurut para ahli yang dikutip oleh Suparno( 2005 : 4) :

1.

  Flower ( 1987 ) mengatakan miskonsepsi sebagai pengertian yang tidak akurat akan konsep, penggunaan konsep yang salah,klasifikasi contoh yang salah, kekacauan konsep – konsep yang berbeda, dan hubungan hirarkis konsep – konsep yang tidak benar.

  2. Novak ( 1984 ) mendefenisikan miskonsepsi sebagai inerpretasi konsep – konsep dalam suatu pernyataan yang tidak dapat diterima.

  3. Feldsine ( 1987 ) menemukan bahwa miskonsepsi adalah suatu kesalahan dan hubungan yang tidak benar antar konsep – konsep.

  4. Brown ( 1989;1992) menjelaskan bahwa miskonsepsi sebagai suatu pandangan yang naif dan mendefenisikannya sebagai suatu gagasan yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah yang diterima pada saat sekarang. Menurut Berg ( 1991 ) bahwa tidak semua pemahaman siswa itu salah meskipun konsepsi siswa tersebut berbeda dengan konsepsi fisikawan. Jika konsepsi siswa sama dengan konsepsi fisikawan yang disederhanakan, maka kosepsi siswa tersebut tidak dapat dikatakan salah. Hanya konsepsi siswa yang bertentangan konsepsi para pakar fisika saja yang dikatakan miskonsepsi.

  Menurut Jean Piaget yang dikutip oleh Masril & Nur Asma (2002) jika proses asimilasi dan proses akomodasi dalam individu terjadi tidak dalam kondisi keseimbangan mental dapat menimbulkan kesulitan dalam pembentukan konsep dan kemungkinan dapat menimbulkan miskonsepsi.

  Sumber-sumber penyebab terjadinya miskonsepsi pada siswa ada empat kemungkinan. Adapun kemungkinan sumber miskonsepsi yaitu: (1) guru (dosen), (2) proses belajar mengajar, (3) siswa (mahasiswa), dan (4) buku pegangan.

1. Guru atau dosen.

  Miskonsepsi dapat terjadi dikarenakan guru tidak mengerti bahan ajaran yang diajarkan dikelas. Arons ( 1981 ) dan Iona ( 1987 ) seperti yang dikutip oleh Suparno (2005:42) mengatakan bahwa dalam fisika sendiri, guru fisika seringkali tidak memahami konsep fisika dengan baik sehingga salah pengertian ini diteruskan kepada siswa. Menurut Arons miskonsepsi jarang sekali terungkap. Ini disebabkan karena siswa sendiri jarang mengungkapkan miskonsepsi mereka kepada guru. Cukup

  

banyak guru yang tidak memberikan kesempatan kepada siswanya untuk

mengungkapkan gagasan dan pandangan mereka. Beberapa guru juga

jarang berdiskusi dan bertanya kepada siswa untuk menyatakan

pengertian fisika mereka dengan kata – kata mereka sendiri. Selain itu,

guru juga sering menyederhanakan penjelasan kepada siswa.dengan

maksud untuk mempermudah. Tanpa disadari oleh guru unsur yang

penting pada pelajaran menjadi hilang. Akibatnya siswa salah

menangkap inti bahan.

  2. Proses belajar mengajar Beberapa metode proses mengajar yang digunakan oleh guru

sering hanya menekankan dari satu segi saja dari konsep yang diajari.

Meskipun membantu siswa mengungkap bahan ternyata setiap metode

dapat memunculkan miskonsepsi. Misalkan, pada metode ceramah

seringkali seorang guru tidak memberi kesempatan siswanya untuk

mengungkap gagasannya. Siswa – siswa tidak mempunyai wahana untuk

mengecek apakah konsep yang mereka dapatkan sudah benar atau tidak.

Ini hanya merupakan salah satu contoh metode yang dapat mengasilkan

miskonsepsi pada siswa jika guru tidak dapat menyikapinya dengan

benar.

  3. Siswa atau mahasiswa.

  Miskonsepsi yang paling banyak berasal dari diri siswa sendiri. Miskonsepsi yang berasal dari siswa antara lain : (a).konsepsi awal siswa.(b). pemikiran asosiatif (c) pemikiran humanistik (d) penalaran siswa yang tidak lengkap (e) kemampuan siswa (f) minat belajar siswa.

  4. Buku pegangan.

  Iona (1987) dan Renner (1990) mengatakan bahwa beberapa miskonsepsi dating dari buku teks. Anderson ( 1990 ) dalam Wandersee yang dikutip oleh Suparno (2005:45) menemukan bahawa diagram dan gambar dalam buku teks yang kurang tepat dapat menjadi salah satu sebab adanya miskonsepsi siswa. Cukup banyak siswa mempunyai miskonsepsi karena mereka tidak tahu bagaimana mereka membaca dan belajar dari buku fisika. Mereka membaca buku fisika tanpa memahami konsep – konsep yang ada.

  Dari kemungkinan – kemungkinan itu menurut Clement (1987), jenis miskonsepsi yang paling banyak terjadi adalah bukan pada pengertian yang salah selama proses belajar mengajar, tetapi suatu konsepsi awal (prakonsepsi) yang dibawa siswa ke kelas formal.

  Menurut Katu ( 2000 ) seperti yang dikutip oleh Masril dan Nur Asma untuk mendeteksi miskonsepsi dapat dilakukan dengan beberapa cara :

  1. Memberi tes diagnosa pada awal perkuliahan atau pada setiap akhir suatu pembahasan. Bentuknya dapat berupa tes obyektif pilihan ganda atau bentuk lain seperti menggambarkan diagram fisis atau vektoris, grafik, atau penjelasan dengan kata – kata.

  2. Dengan memberikan tugas – tugas terstruktur misalnya tugas mandiri atau tuagas kelompok sebagai tugas akhir pengajaran atau tugas pekerjaan rumah.

  3. Dengan memberikan pertanyaan terbuka, pertanyaan terbalik (reverse

question ) atau pertanyaan yang kaya konteks (context-rich problem).

  4. Dengan mengoreksi langkah-langkah yang digunakan siswa atau mahasiswa dalam menyelesaikan soal-soal esai.

  5. Dengan mengajukan pertanyaan – pertanyaan terbuka secara lisan kepada siswa atau mahasiswa.

  6. Dengan mewawancarai misalnya dengan menggunakan kartu pertanyaan.

  Miskonsepsi pada siswa hanya dapat diremidiasi dan berusaha agar kesalahan – kesalahan yang sama dapat dihindari atau dikurangi bila diketahui secara tepat miskonsepsinya. Oleh karena itu sangat penting untuk melakukan deteksi miskonsepsi. Menurut Kartika Budi (1992:127) salah konsepsi dapat di deteksi dengan cara: 1.

  Hakikat atau makna suatu konsep difahami dengan baik dan dinyatakan dengan jelas.

  2. Berdasarkan pemahaman yang benar tersebut dicari kemungkinan kemungkinan salah konsepsi yang dapat terjadi.

  3. Berdasarkan kemungkinan salah konsepsi yang terjadi, disusun soal (dapat berbentuk uraian bebas, isian singkat, maupun pilihan ganda) yang memungkinkan kesalahan konsepsi dapat terdeteksi.

  4. Setelah tes dilaksanakan (dapat secara lisan ataupun tertulis), hasil dianalisis untuk mengetahui secara tepat kesalahan-kesalahan yang sungguh terjadi.

  Penyebab dari resistennya sebuah miskonsepsi karena setiap orang membangun pengetahuan persis dengan pengalamannya. Sekali kita telah membangun pengetahuan, maka tidak mudah untuk memberi tahu bahwa hal tersebut salah dengan jalan hanya memberi tahu untuk mengubah miskonsepsi itu.

  Jadi cara untuk mengubah miskonsepsi adalah dengan jalan mengkonstruksi konsep baru yang lebih cocok untuk menjelaskan pengalaman kita B.4. Teori Perubahan Konsep.

  Dalam proses pembelajaran ada dua proses yaitu proses asimilasi dan proses akomodasi ( Posner dkk., 1982 ; dikutip oleh Suparno, 2005 : 87 ). Pada proses asimilasi siswa menggunakan konsep yang telah ada untuk menghadapi gejala baru dengan suatu perubahan kecil yang berupa penyesuaian. Sedangkan pada proses akomodasi, siswa harus mengganti atau mengubah konsep – konsep pokok mereka yang lama karena sudah tidak cocok lagi.

  Posner dkk (Suparno, 1996:167) menerangkan bahwa agar terjdi proses akomodasi diperlukan keadaan tertentu, yaitu :

  1. Harus ada ketidakpuasan terhadap konsep yang ada. Siswa mengubah konsep mereka jika mereka percaya konsep yang telah mereka punyai tidak dapat lagi digunakan dalam menghadapi situasi, pengalaman atau gejala baru

  2. Konsep yang baru harus dapat dimengerti, rasional, dan dapat memecahkan persoalan atau fenomena yang baru.

  3. Konsep yang baru harus masuk akal, dapat memecahkan dan menjawab persoalan yang terdahulu, dan juga konsisten dengan teori-teori atau pengetahuan yang sudah ada sebelumnya.

  4. Konsep baru harus berdaya guna bagi perkembangan penelitian dan penemuan yang baru.

  Posner juga menjelaskan bahwa sumber ketidakpuasan terhadap konsep yang telah ada disebut sebagai keadaan anomali. Hal ini dapat terjadi bila siswa tidak dapat mengasimilasikan sesuatu atau tidak dapat memahami sesuatu. Untuk mengembangkan teori perubahan konsep, para peneliti selalu menyajikan data anomali atau data yang diperoleh melalui eksperimen atau pengalaman yang memberikan data – data yang berlawanan dengan prediksi siswa atau pengertian siswa.

  Carey (dalam Suparno, 2007 : 51) memberikan uraian tentang perubahan konsep ( restrukturisasi ), yaitu :

  1. Restrukturisasi kuat ( mengubah konsep ).

  Untuk dapat membuat restrukturisasi kuat perlu metode pengajaran yang dapat mengubah konsep. Disini konsep siswa dirubah secara total menjadi konsep yang berlainan. Strategi yang membuat ketidakseimbangan dalam pikiran siswa akan mudah menyebabkan perubahan konsep. Resturukturisasi kuat juga sesuai dengan istilah akomodasi dari posner.

2. Restrukturisasi lemah ( tidak mengubah konsep ).

  Dalam restrukturisasi lemah, konsep awal yang dimiliki siswa tidak dapat dirubah secara total tetapi hanya disesuaikan. Resturukturisasi lemah juga sesuai dengan istilah asimilasi dari posner.

  B.5. Hubungan Teori Perubahan Konsep dan teori konstruktivisme.

  Menurut Suparno (1997) pengetahuan siswa tidak diperoleh dalam sekali jadi, melainkan merupakan suatu proses perkembangan yang terus-menerus.

  Dalam perkembangan itu ada yang mengalami perubahan besar dengan mengubah konsep lama melalui akomodasi, ada pula yang hanya mengembangkan dan memperluas konsep yang sudah ada melalui asimilasi. Proses perubahan terjadi bila siswa aktif berinteraksi dengan lingkungannya.

  Menurut Suparno ( 1997 : 53 ), semua teori perubahan konsep ini dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme yaitu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan siswa adalah konstruksi atau pembentukan dari diri siswa sendiri, ia menegaskan bahwa pengetahuan bukan suatu tiruan dari kenyataan.

  Dalam konstruktivisme sangat ditekankan bahwa pengetahuan dibentuk oleh siswa yang sedang belajar dan juga untuk membantu kita melihat bagaimana siswa membentuk pengetahuan yang tidak tepat, sedangkan teori perubahan konsep menjelaskan bahwa siswa akan mengalami perubahan konsep yang terus – menerus serta dapat membantu kita mengapa siswa dapat slah memahami suatu konsep. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa konstrukstivisme dan teori perubahan konsep memberikan pengertian bahwa setiap siswa dapat membentuk pengertian yang berbeda dengan pengertian para ilmuwan. Namun pengertian yang berbeda tersebut bukanlah akhir perkembangan, karena setiap saat siswa masih dapat mengubah pemahamannya sehingga lebih sesuai dengan pemahaman ilmuwan. “salah pengertian” dalam memahami sesuatu, menurut teori konstruktivisme dan teori perubahan konsep, bukanlah akhir segala-galanya, melainkan awal untuk perkembangan yang lebih baik (Suparno, 1997:51).

  B.6. Pemahaman Konsep.

  Pemahaman adalah suatu bentuk pengertian yang menyebabkan seseorang mengetahui apa yang sedang dibicarakan. Seseorang dikatakan dapat memahami apabila ia dapat menjelaskan suatu situasi, menafsirkan grafik, mengubah hukum kedalam persamaan matematis, mengubah persamaan matematis kedalam kalimat, dan menafsirkan tabel Sehingga pemahaman konsep dapat didefinisikan sebagai bentuk pengertian terhadap suatu gambaran atau abstraksi tentang situasi- situasi atau ciri-ciri yang memiliki ciri khas yang terwakili dalam setiap budaya oleh suatu benda atau simbol.

  Pada tahun 1976, dengan diilhami pemikiran dari Stieg Melin-Olsen, Richard Skemp mengajukan gagasannya tentang tingkatan-tingkatan pemahaman (the levels of understanding) siswa pada pembelajaran matematika. Skemp (Skemp dalam Wahyudi, 1999) membedakan tingkatan pemahaman siswa terhadap matematika menjadi dua.

  1. Tingkatan pemahaman pertama (instructional understanding). Pada tingkat instructional understanding atau pemahaman instruksional ini siswa baru berada pada tahap tahu atau hafal suatu rumus dan dapat menggunakannya untuk menyelesaikan suatu soal dalam matematika atau sains, tetapi siswa belum atau tidak tahu mengapa rumus tersebut dapat digunakan. Siswa pada tahapan ini juga belum atau tidak bisa menerapkan rumus tersebut pada keadaan baru yang berkaitan.

  2. Tingkatan pemahaman kedua (relational understanding). Pada tingkat relational understanding atau tingkat pemahaman relasional Pada tahapan tingkatan ini, menurut Skemp, siswa tidak hanya sekedar tahu dan hafal tentang suatu rumus, tetapi dia juga tahu bagaimana dan mengapa rumus itu dapat digunakan. Pada tahapan ini siswa dapat menggunakan rumus untuk menyelesaikan masalah-masalah yang terkait pada situasi lain.

  Toulmin menyebutkan bahwa bagian terpenting dalam pemahaman siswa adalah perkembangan konsepnya yang evolutif, terus berubah pelan-pelan dan bukan konsep konsep yang telah baku, prosedur yang stereotip, atau konsep yang tidak dapat diubah. Dalam perkembangan konsep, siswa mengubah gagasannya lebih maju. Rasionalitas siswa justru terletak pada bagaimana siswa mengubah konsep, prosedur, dan gagasannya untuk semakin maju (Suparno, 2005:85).

  Seperti yang diungkapkan oleh Kartika Budi (1992) dalam artikelnya yang berjudul “Pemahaman Konsep Gaya dan Beberapa Salah Konsepsi yang Terjadi”, fisika pada hakekatnya merupakan akumulasi hasil keilmuan berupa konsep- konsep fisis, prinsip, hukum dan teori yang diperoleh melalui proses keilmuan, dan sikap keilmuan. Sehingga memfasilitasi siswa, yang dapat diartikan sebagai proses siswa membangun konsep, hukum, dan teori. Bila hal ini dilakukan, maka tujuan yang harus dicapai siswa dalam belajar fisika supaya dapat memahami konsep adalah dengan melakukan proses keilmuan dan memilih sikap keilmuan yang diperlukan dalam melakukan proses tersebut.

  Selain itu Kartika Budi dalam artikelnya yang berjudul “Konsep: Pembentukkan dan Penanamannya“ mengatakan bahwa pemahaman konsep merupakan dasar dari pemahaman prinsip dan teori, artinya untuk dapat memahami prinsip dan teori harus dipahami terlebih dahulu konsep-konsep yang menyusun prinsip dan teori yang bersangkutan. Berdasarkan hal ini maka pemahaman konsep memegang peranan penting dalam kegiatan belajar mengajar dapat dimengerti dan diterima sejauh tidak mengabaikan aspek-aspek lain.

  Sedangkan menurut Suparno (2005:94 ) proses pembelajaran fisika yang benar sebaiknya selalu mengembangkan perubahan konsep yang signifikan.

  Perubahan ini dimaksudkan agar siswa dapat memperluas konsepnya agar pemahamannya terhadap suatu konsep dapat berkembang, dari konsep yang belum lengkap menjadi lebih lengkap, dari konsep yang belum sempurna menjadi lebih sempurna. Selain itu, pemahaman konsep siswa yang setiap harinya berkembang dapat membantu siswa membenarkan konsep yang salah menjadi benar sesuai dengan para ahli fisika.

  Menurut Kartika Budi (1992:114), untuk dapat memutuskan apakah siswa memahami kosep atau tidak, diperlukan kriteria atau indikator-indikator yang dapat menunjukkan pemahaman tersebut. Beberapa indikator yang menunjukkan pemahaman siswa akan suatu konsep, antara lain :

  1. Dapat menyatakan pengertian konsep dalam bentuk definisi menggunakan kalimat sendiri.

  2. Dapat menjelaskan makna dari konsep bersangkutan kepada orang lain 3.

  Dapat menganalisis hubungan antara konsep dalam suatu hukum 4. Dapat menerapkan konsep untuk (a) menganalisis dan menjelaskan gejala- gejala alam, (b) untuk memecahkan masalah fisika baik secara teoritis maupun secara praktis, (c) memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi pada suatu sistem bila kondisi tertentu dipenuhi.

  5. Dapat mempelajari konsep lain yang berkaitan dengan lebih cepat 6.

  Dapat membedakan konsep yang satu dengan konsep lain yang saling berkaitan

  7. Dapat membedakan konsepsi yang benar dengan konsepsi yang salah, dan dapat membuat peta konsep dari konsep-konsep yang ada dalam suatu pokok bahasan.

  B.7. Metode Pembelajaran.

Dokumen yang terkait

PERBANDINGAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA PADA PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING DENGAN METODE EKSPERIMEN DAN DEMONSTRASI

0 9 56

UPAYA MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP GERAK BENDA MELALUI METODE EKSPERIMEN PADA SISWA KELAS IV UPAYA MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP GERAK BENDA MELALUI METODE EKSPERIMEN PADA SISWA KELAS IV SDN BEDORO I KECAMATAN SAMBUNGMACAN KABUPATEN SRAGEN TAHUN PELAJA

0 0 13

PEMBELAJARAN FISIKA DENGAN MODEL INKUIRI TERBIMBING MELALUI METODE EKSPERIMEN DAN DEMONSTRASI DITINJAU DARI KREATIVITAS SISWA KELAS X SMA BATIK 1 SURAKARTA.

0 0 17

EKSPERIMENTASI PEMBELAJARAN SCIENTIFIC DENGAN METODE EKSPERIMEN DAN INKUIRI TERBIMBING DITINJAU DARI KEMAMPUAN VERBAL SISWA PADA MATERI POKOK ZAT DAN WUJUDNYA KELAS VII SMP ISLAM AL-HADI.

0 0 19

PENINGKATAN PEMAHAMAN KONSEP PESAWAT SEDERHANA MELALUI METODE EKSPERIMEN PADA PEMBELAJARAN IPA.

0 1 4

UPAYA MEMUNCULKAN KONFLIK KOGNITIF PADA SISWA KELAS X3 SMAK SANG TIMUR YOGYAKARTA DENGAN CARA MENGHADIRKAN DATA YANG BERTENTANGAN DENGAN DUGAAN AWAL SISWA BERDASARKAN MISKONSEPSINYA MENGGUNAKAN DEMONSTRASI MENGENAI RANGKAIAN SERI DAN PARALEL SKRIPSI Diaju

0 1 135

PERUBAHAN PEMAHAMAN SISWA MENGENAI ARUS LISTRIK MELALUI PEMBELAJARAN DENGAN SIMULASI KOMPUTER

0 0 178

PERUBAHAN KONSEP SISWA TENTANG PEMANTULAN CAHAYA MELALUI PEMBELAJARAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE EKSPERIMEN

0 4 221

PEMBELAJARAN FISIKA MENGGUNAKAN METODE EKSPERIMEN TERBIMBING DALAM POKOK BAHASAN GELOMBANG MEKANIK PADA SISWA KELAS XII IPA SMA PANGUDI LUHUR YOGYAKARTA

0 0 162

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE LEARNING TOGETHER UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PROSES DAN HASIL BELAJAR AKUNTANSI POKOK BAHASAN JURNAL SISWA KELAS XI ILMU PENGETAHUAN SOSIAL SMAK SANG TIMUR YOGYAKARTA

0 0 193