T2 092010007 BAB VII
B ab T uj uh
JEJARING DAN KEWIRAUSAHAAN
PENGANTAR
Setelah menempuh jalan panjang penulisan, tiga bab empirik
yang cukup menyedot banyak waktu dan konsentrasi yang cukup
melelahkah. Akhirnya tiba juga pada bagian yang tidak kalah sulitnya
dari bagian-bagian sebelumnya. M enganalisis temuan-temuan dengan
membuat sintesis, sebagai temuan benang merah karya ini ke dalam
beberapa topik yang akan dibahas runut dan padat.
Dengan sistematika pembahasan sebagai berikut. Pertama
penulis mendahului membahas pedagang kecil (small traders) sebagai
suatu langkah pemenuhan kebutuhan hidup. Kemudian akan
dilanjutkan dengan penalaran konsep jejaring dan tipologinya, secara
khusus melihat tipologi jejaring usaha yang dibangun oleh para
pedagang.
Tahapan selanjutnya akan dilihat konsep jejaring sebagai
manifestasi social capital, fungsi jejaring dalam membangun dan
menjalankan usaha. Kemudian pada bagian selanjutnya disusul dengan
melihat strategi pedagang meningkatkan pendapatan mereka, dan pada
bagian akhir penulis akan mengelaborasi temuan, bagaimana pedagang
berusaha menciptakan “aset” untuk kelangsungan usaha dan jaminan
hari tua dan menaikan status sosial mereka.
Keputusan untuk berdagang, apalagi di wilayah konflik, tentu
bukanlah keputusan yang gampangan, artinya tidak dipikirkan
konsekuensi baik buruknya. M elalui penelitian ini, di ketahui bahwa
menjadi pedagang di tengah kerentanan dan desakan berbagai
kebutuhan hidup, merupakan langkah penyelamatan baik kebutuhan
konsumtif rumah tangga, juga sebagai alternatif menciptakan
pendapatan ditengah ketidak pastian.
Dengan berdagang, mereka tidak saja mengatasi persoalan
ekonomi keluarga, karena ketidak pastian mata pencaharian,
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
melainkan melalui cara tersebut kebutuhan konsumtif rumah tangga
dapat dijamin, jika konflik terjadi kembali. Intinya melalui usaha
dagang mereka dapat mengatasi kesulitan finances , kebutuhan pangan
dan sandang, atau dengan lain perkataan kemandirian sebagai tujuan
utama.
M enyadari bahwa hidup tidaklah mungkin, berjalan tanpa
dukungan pihak lain, atau tanpa membutuhkan topangan orang lain,
mendorong para pedagang membangun kemitraan usaha baik dengan
pengurus koperasi tentara, maupun dengan sesama pedagang
distributor yang lain.
Berdagang diwilayah konflik tentu membutuhkan pihak lain,
khususnya pihak keamanan. Keterbatasan akses ke sumber-sumber
bahan-bahan dagangan, karena dikuasai oleh komunitas muslim,
mendorong pedagang Kristen harus membangun jejaring usaha dengan
pihak keamanan, karena itu pengurus koperasi tentara, merupakan
representasi mitra usaha yang tepat ketika itu, sebelum meluas ke
pedagang lain, dalam jangkauan yang lebih luas.
M elalui jejaring usaha yang dibangun, hal itu sangat membantu
para pedagang dalam menjalankan dan meningkatkan usaha. M elalui
jejaring, peluang dan akses bisa diperoleh dengan biaya yang sangat
murah. M elalui jejaring pula memungkinkan terjadi distribusi barang
tanpa mendahulukan modal ekonomi. Dengan jejaring akses terhadap
modal usaha menjadi lebih mudah.
Social capital yang kuat dalam kehidupan sosial hanya bisa
terjadi apabila kemitraan itu memiliki trust atau rasa saling percaya.
Dengan rasa saling percaya, akan menggerakan partisipasi anggota
dalam suatu jaringan, tindakan resiprocity, yang dilandasi pada nilainilai dan norma-norma yang disepakati bersama.
M odel partisipasi seperti inilah yang memungkinkan low cost
dalam berbisnis. Umumnya perjanjian-perjanjian dibuat sangat
informal, namun terbilang manjur karena ada rasa saling percaya di
antara mereka, bahwa salah satu pihak tidak akan bertindak
opportunis.
188
J ejaringdanK ewirausahaan
Inilah model pertukaran ekonomi yang seakan menyumbat
egoisme pertukaran yang mengedepankan aspek informal, dimana
segala sesuatu disepakati dalam perjanjian yang kaku dan tersandra
dalam meterai sebagai ukuran legalitasnya.
Dalam model jejaring usaha yang dibangun oleh para pedagang,
memungkinkan usaha mereka berkembang karena, terjadi pertukaran,
baik barang, maupun informasi dengan biaya yang sangat murah.
Selanjutnya, kemampuan mengkombinasikan usaha, koneksi
usaha dan perluasan pasar, tidak terlepas dari kontribusi jejaring
kemitraan yang mereka bangun.
Sebagai usaha informal yang lekat dengan sinisme,
keterbatasan, ketidak teraturan, dan low profit. Tidak menjadikan para
pedagang itu, terjebak dalam stigma tersebut. W alau tidak semua dari
mereka dapat mentas dari kekecilan mereka, namun beberapa
diantaranya menunjukan bahwa, berawal dari kecil, mereka pun bisa
menjadi besar.
Kemampuan mengorganisir diri, kelompok (jaringan), dalam
menunjang usaha memang diperlukan untuk bisa menjadi besar.
Keberhasilan para pedagang tidak hanya terlihat atau diukur dari
seberapa banyak aset tangible yang ia miliki, melainkan juga mencakup
investasi pada pendidikan dan masa depan anak.
Karena itulah aset yang dibutuhkan oleh pedagang untuk
menjamin hari tua mereka ialah, apa bila ada kepastian masa depan
anak-anaknya dan aset tangible yang mereka miliki termasuk mewarisi
usaha yang profit.
Dengan memiliki jejaring kemitraan yang baik, kemampuan
menagkap peluang usaha, kemampuan ekspansi dan inovatif
menciptakan usaha-usaha baru, dan mampu menciptakan “aset”,
kelanjutan usaha dan hari tua mereka terlihat menjanjikan.
189
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
Small Traders, Langkah Pemenuhan Kebutuhan H idup
Setiap rumah tangga tentu akan berusaha untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, agar kesinambungan hidup anggota keluarga
tetap berlangsung. Untuk dapat menjaga keberlangsungan hidup,
memenuhi berbagai kebutuhan rumah tangga, membutuhkan finances,
yang didapat dari pekerjaan sebagai sumber mata pencaharian.
Konflik yang terjadi di M aluku Utara, dan Jailolo khususnya
telah menyebabkan kerentanan, baik kelangkaan sejumlah bahan dasar
konsumtif rumah tangga, maupun kesulitan akses terhadap sumbersumber mata pencaharian, bahkan menyebabkan sebagian orang
kehilangan pekerjaan sebagai sumber nafkah (uang).
Inilah yang dihadapi oleh para informan, sebagai petani dan
pedagang kecil, konflik dan kerentanan yang mereka alami
berpengaruh langsung terhadap mata pencaharian dan itu berimbas
pada ekonomi keluarga mereka. Kopra sebagai andalan hasil pertanian,
ketika awal konflik, tidak memiliki nilai ekonomis, karena tidak ada
yang membeli, tidak ada pengusaha yang berani menadah dan
menjualnya ke luar dari Halmahera.
Sebaliknya mereka yang telah berdagang, akhirnya menutup
usahanya karena terputusnya akses distribusi, sehingga tidak ada suplai
barang. Selain dagangannya di konsumsi sendiri, sebagian juga
disumbangkan untuk mendukung aktifitas posko pengungsi yang ada
di Akediri. Pada kondisi ini para informan yang berlatar belakang
profesi petani dan pedagang mengalami dua kerentanan secara
bersamaan yakni, kebutuhan dasar konsumtif dan mata pencaharian
yang mendatangkan uang.
Sedangkan informan yang memiliki pekerjaan tetap yakni
tentara, keuangan mereka tidak terganggu, tetapi pada kondisi ini
secara bersamaan mereka juga mengalami krisis bahan dasar konsumtif
rumah tangga, seperti rekan-rekan mereka yang berlatar belakan mata
pencaharian sebagai petani dan pedagang. M enurut Chambers (1995)
sifat kemiskinan itu dinamis, komleks dan beragam, yang meling kupi
ekonomi,kesehatan, kesejahteraan, isolasi, kerentanan, dan ketidak
190
J ejaringdanK ewirausahaan
berdayaan dan penghinaan. Umumnya orientasi kemiskinan berkaitan
dengan pendapatan dan pekerjaan, walau hal ini hanyalah salah satu
indikator kemiskinan.
Kondisi inilah yang pada akhirnya mendorong mereka terjun
ke dunia usaha sebagai pedagang. Sehingga melalui usaha ini akan
dapat menjamin dan memenuhi kebutuhan bahan dasar konsumtif
rumah tangga. Selain kedua hal tersebut, usaha dagang yang dilakoni
para informan telah menjadi mata pencaharian utama maupun
tambahan untuk mendatangkan income (uang) bagi keluarga mereka.
M elihat apa yang dialami dan dilakukan para informan untuk
mengatasi kerentanan yang mereka hadapi bersama, keterpenuhan
kebutuhan dasar konsumtif rumah tangga, pendapatan (uang) dan mata
pencaharian jelas merupakan indikator utama implementasi dari
kesejahteraan sebuah rumah tangga (Soegijono S. Pieter,2011:173).
Karena itu setiap pribadi dalam rumah tangga, akan
berpartisipasi untuk menopang keberlanjutan hidup keluarganya. Di
tengah himpitan ekonomi yang terus mendesak, pilihan menjadi
pedagang dapat dipandang sebagai pilihan yang tepat. Sebab selain
mendatangkan income bagi mereka, hal itu untuk memenuhi dan
menjamin kebutuhan dasar konsumtif rumah tangga.
Inilah yang
oleh Ellis (1999) dilihat sebagai upaya baik oleh individu atau rumah
tangga berjuang mempertahankan hidupnya dengan menggunakan aset
dan akses yang mereka miliki. Untuk membangun usaha pedagang
kecil di Akediri menggunakan aset dan akses yang dimiliki. Seperti bu
Damis Pasuma, untuk memulai usaha modal yang dipergunakan
diperoleh dari hasil penjualan perhiasan emas. Sebaliknya untuk
mendapatkan barang dagangan, mereka harus membangun jejaring
dengan pihak militer untuk mendapatkan akses tersebut.
Di sisi lain jenis usaha informal ini, simpel dijalankan,karena
dapat melibatkan anggota keluarga yang lain. Inilah yang menjadi ciri
yang umumnya ditemukan dalam usaha kecil. Jika melihat pengelolaan
usaha dari para informan, semuanya menerapkan pola yang sama
yakni, pelibatan anggota kelurga dalam mengelola usaha.
191
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
Dari sisi manejerial, pelibatan anggota keluarga dalam usaha
kecil, berkaitan erat dengan kontrol. Begitu juga sebaliknya, ketika om
Yon Flory memutuskan untuk menggunakan tenaga kerja di luar dari
anggota keluarga, bahkan Ia memutuskan untuk memakai orang dari
daerah lain, hal ini untuk mempermudah control terhadap mereka.
Keputusan om Yon Flori untuk mempekerjakan orang lain, karena
keterbatasan tenaga kerja, dimana anak tertunya telah menikah dan
putri bungsunya telah memiliki pekerjaan sebagai perawat.
M empekerjakan orang lain dalam usaha kecil selain tidak
terlalu sulit karena cenderung tidak melibatkan banyak orang,
sehingga dapat diawasi langsung oleh majikan atau pemilik usaha.
M empekerjakankan orang di luar keluarga memudahkan kontrol
terhadap mereka, sebab mereka mempunyai ketergantungan terhadap
pekerjaan tersebut Lambing Peggy.et.al. dalam Suryana (2011:119).
Selain itu keterlibatan anggota keluarga dalam usaha kecil,tidak
terlepas dari upaya untuk menciptakan efisiensi biaya dalam usaha.
Efisiensi dalam usaha berkaitan erat dengan margin yang ingin
dicapai. Keterlibatan anggota keluarga dalam pengelolaan usaha kecil,
akan menghindarkan mereka dari penggunaan tenaga kerja, yang
berimbas pada pengalokasian upah kerja.
Dengan keterlibatan anggota keluarga dalam usaha kecil seperti
ini, margin usaha tetap terjaga, dan investasi usaha dapat ditingkatkan
dari waktu ke waktu demi menjaga kelangsungan dan peningkatan
usaha.
Apapun jenis usaha, efisiensi biaya mengarah pada satu tujuan
utama yakni, menciptakan kekayaan dan pekerjaan (Suryana
Yuyus.et.al, 2010:223-224). Inilah yang menjadi cita-cita tertinggi para
pengusaha, tidak terkecuali pedagang kecil yang penulis tetapkan
sebagai informan.
Dari percakapan demi percakapan dengan para informan, dapat
disimpulkan bahwa keputusan untuk terjun kedunia usaha adalah
upaya untuk mencapai kemandirian ekonomi, dan jaminan hari tua.
192
J ejaringdanK ewirausahaan
Berikut ini penulis akan menunjukan pola membangun dan
menjalankan usaha yang ditemukan dalam penelitian ini.
Gambar.1
Pola1 Berwirausaha
Perubahan status sosial dan
Jaminan hari tua
Aset
Pendidikan, Pekerjaan, dan Properti
Kemampuan transformasi
Ketidakmampuan
dalam usaha
melakukan transformasi
Small T raders
Jaringan
Pengalaman (Human Capital)
M odal
Ekonomi
Start Up
V ulnerability
Konflik Komunal
V ulnerability
Kebijakan PEMDA
1
Pola berusaha yang dikemukakan ini, dibangun berdasarkan imajinasi
penulis, untuk menunjukan pola usaha dari para informan. Dimana ada yang
mempunyai kemampuan membangun dan meningkatkan usaha, tetapi ada
pula yang tidak mampu mempertahankan dan meningkatkan usaha.
193
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
Tipologi Jejaring Usaha
Kesamaan Orientasi dan Tujuan
Tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa, seorang wirausaha
tidak dapat hidup dan menjalankan usahanya tanpa menjalin hubungan
dengan pihak manapun di luar dirinya.
M engapa, karena Ia tidak mampu menjamin kebutuhannya
sendiri, sekalipun dalam kondisi aman, apa lagi dalam situasi konflik.
Kerentanan yang timbul akibat konflik, setidaknya mengingatkan
bahwa manusia tidak mungkin hidup tanpa membutuhkan topangan
sesama manusia lain selain dirinya.
M elihat hubungan-hubungan jejaring usaha yang dibangun
oleh para pedagang, khususnya mereka yang dilibatkan dalam
penelitian ini, setidaknya ditemukan adanya hubungan kemitraan yang
dibangun antara sesama pedagang (distributor) dengan pedagang
pengecer, maupun pedagang dengan konsumen.
Hubungan kemitraan yang dibangun antara pedagang dengan
pedagang, baik dalam kapasitas sebagai distributor dan pedagang
pengecer, adalah untuk mendapatkan bahan baku (bahan jualan).
Seperti om Yon Flory, untuk mendapatkan barang-barang jualannya, Ia
akhirnya membangun jejaring kemitraan dengan pengurus koperasi
tentara yang ada di Akediri pusat pengungsian di pedalaman Jailolo
Demikian juga dengan ibu Safiani ode, membangun hubungan
dengan salah satu distributor barang di Ternate untuk memasok
barang-barangg perabotan rumah tangga. Hal yang sama juga
dilakukan oleh ibu Rohani M . Ahmad, baik dengan distributor di
Ternate maupun yang ada di M anado. Begitu juga dengan Alimin Sabri,
ketika menetap dan berjualan di Akediri,Ia membangun jejaring
kemitraan dengan salah satu distributor di Ternate.
Hubungan kemitraan (jejaring) usaha sebagai mana di
kemukanan itu, memiliki kemiripan dengan pandangan yang di
kemukakan oleh Yuyus Suryana et.al.(2010:164). Dimana seorang
194
J ejaringdanK ewirausahaan
wirausaha tidak dapat hidup dan berusaha sendiri, Ia membutuhkan
topangan pihak lain di luar dirinya.
Berangkat dari kenyataan itulah, akhirnya mereka membangun
hubungan baik dengan pemasok, pelanggan, maupun pedagang
perantara.
Hubungan kemitraan yang terbentuk antara para pedagang ini,
dapat dikategorikan ke dalam tipologi jejaring kemitraan yang
dibangun atas dasar kesamaan orientasi dan tujuan, yang oleh
W oolcock (1998a dalam Hamidreza.et.al, 2012) disebut sebagai
bridging social capital.
Dimana tipologi ini menunjukan pada
hubungan yang berbeda antara komunitas namun memiliki kesamaan
tujuan. Sedangkan prinsip pengorganisasian sangat terbuka, karena
didasarkan pada prinsip yang universal seperti kebebasan, kesetaraan,
nilai dan norma. M elalui model modal sosial inilah para pedagang
mendapat baik akses pengadaan barang dagangan, maupun informasi
dan pengetahuan, dan lebih dari itu dapat menciptakan bisnis yang low
cost. Kedua hal inilah yang memungkinkan terwujudnya kemitraan
yang baik, sebagai akibat tingginya partisipasi dan saling
menguntungkan, seperti dikemukakan oleh Hasbullah Jousairi
(2006:10).
M emang tidak mudah untuk membangun suatu jejaring
kemitraan usaha. Hal itu melibatkan berbagai kapital-kapital, baik
modal material (uang atau aset) maupun non material. M odal non
material yang dimaksud antara lain, adanya dukungan timbal balik
antara sesama anggota (resiprocity), adanya partisipasi, yang didasarkan
pada prinsip kesukarelaan (voluntary), kesamaan (equality),kebebasan
(freedom), keadaban (civility) dan kepercayaan (trust) sebagai yang
mutlak ada dan mengikat. Hasbullah (2010:9-11), Soegijono S.Pieter
(2011:275).
Kesamaan orientasi dan tujuan antara sesama pedagang,
memungkinkan jejaring usaha yang mereka bangun terus
dipertahankan. Keterpenuhan berbagai kebutuhan hidup dan
kemandirian ekonomi, mendorong masing-masing pihak berusaha
195
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
untuk memenuhi apa yang menjadi kewajiban dan haknya, dengan
trust sebagai landasannya.
Pentingnya kepercayaan dalam suatu kemitraan, menjadi
kesadaran para informan seperti, ibu Rohani M .Ahmad bisnis hanyalah
persoalan bagaimana menjaga lidah (kepercayaan). Artinya ketika ada
rasa saling percaya dalam kemitraan itu, hal ini akan memudahkan
pihak yang membutuhkan bahan baku (bahan jualan).
Dimana bahan-bahan tersebut dapat diambil, atau dikirim,
walau belum disertai dengan membayar secara langsung (utang), dan
baru dibayar setelah terjual, atau dilunasi pada waktu yang disepakati
bersama,umumnya kesepakatan itu sifatnya informal.
Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Lawang
Robert.M.Z di katakan bahwa :
“semakin tinggi saling percaya antara mereka yang bekerja,
semakin kurang risiko yang di tanggung, dan semakin
kurang pula biaya (uang atau sosial) yang dikeluarkan”
(2005:47)
Sikap saling percaya yang nampak dari hubungan jejaring usaha
yang dibangun oleh para informan ketika menjalankan usaha,
didasarkan oleh rasa saling percaya akan adanya perlakuan imbal balik
sebagai konsekuensi kemitraan. Atas dasar prinsip itulah suatu jejaring
usaha yang dibangun dan menentukan, akan berjalan langgeng atau
kemudian berhenti, tergantung pada kemampuan semua pihak yang
terlibat dalam urung rembuk itu menjalankan kewajibannya.
Inilah yang oleh M ollering, dalam Lawang Robert M .Z.
(2005:47), bahwa trust dilihat sebagai kepercayaan bersyarat, dimana
para distributor berani memberikan barangnya kepada pedagang
pengecer seperi om Yon, ibu Safiani, ibu Rohani, maupun Alimin
Sabri. Sebab mereka dipandang mampu dan mempunya niat baik, dan
dipercaya akan bertindak sesuai dengan apa yang mereka harapkan.
Dengan membangun jejaring kemitraan usaha dimana terdapat
trust, kebutuhan masing-masing pihak dapat terpenuhi, tanpa
196
J ejaringdanK ewirausahaan
mendahulukan uang sebagai modal utama dalam perekonomian
konvensional.
Sehingga walau dalam kondisi rentan, pertukaran dapat terjadi.
Seperti pada beberapa kasus yang dialami oleh ibu Rohani, Safiani
Ode, maupun Alimin Sabri.
Hal itu dapat terjadi apabila ada rasa saling percaya trust yang
kuat dalam jejaring tersebut. Dengan demikian disadari bahwa untuk
dapat bertahan dalam bisnis informal seperti ini rasa saling percaya
menjadi utama, dan karena itu akan terus dipelihara dalam bentuk
kepatuhan menjaga keseimbangan dalam keterpenuhan akan hak dan
kewajiban.
Inilah ciri yang umunya ditemukan dalam hubungan timbal
balik, aktifitas dagang yang dikategorikan sebagai bidang usaha
informal. Pada ranah itulah kerapkali pertukaran dan perjanjian yang
dibuat antara masing-masing pihak, juga terjadi secara informal.
Dimana perjanjian-perjanjian di ikat atas asas saling percaya.
W alau demikian adanya, langkah itu dapat mengikat dan
melanggengkan kelangsungan usaha. Dalam hal inilah para pedagang
dalam bermitra, lebih mengarah pada hubungan kemitraan yang saling
menopang, dan menghindari kompetisi (Soegijono S.Pieter,2011:275).
Kemudahan mengambil barang, dan pembebasan biaya angkut
kapal, serta kepatuhan memenuhi kewajiban menjadi bukti bahwa
modal sosial yang kuat yang dilandasi trust, yang diwujudkan dalam
respon yang saling menguntungkan.
Akan bermanfaat bagi pembangunan ekonomi rumah tangga,
dan pembangunan perkonomian suatu daerah, dalam lingkup yang
lebih luas ialah Negara.
Kesamaan Kepercayaan (religious beliefs)
Seperti halnya untuk mendapatkan bahan baku, para pedagang
membengun usaha dengan pedagang distributor barang, baik yang
berada di Ternate, M anado maupun pada aras lokal di Jailolo. M elalui
197
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
jejaring usaha yang diabangun itu, memungkinkan terjadinya
pertukaran yang tidak mengedepankan modal materil (uang).
Semua ini hanya dapat terjadi apabila terdapat rasa saling
percaya, sebagai prasyarat mutlak berdiri dan bertahannya suatu
hubungan kemitraan.
Untuk mendapatkan jejaring konsumen
masing-masing pedagang menjalankan strateginya. Salah satunya
ialah, melalui pendekatan kepercayaan (agama/aliran kepercayaan).
Contohnya om Yon Flory. Ia adalah anggota masyarakat desa Tedeng
Kecamatan Jailolo.
Om Yon beragama Kristen dan terdaftar sebagai
anggota dari salah satu gereja reformis yakni, Gereja M asehi Injili di
Halmahera (GM IH) yang ada di desanya.
Ketika Ia berdagang di Akediri, om Yon kemudian berpindah
keanggotaan gereja dari Tedeng desanya ke Akediri dan mendaftar
pada aliran kepercayaan yang sama di desa tersebut. Jadi sebagai
masyarakat om Yon terdaftar dan menetap di desa Tedeng, sedangkan
sebagai anggota gereja, Ia terdaftar di jemaat GM IH Ebenhaezer
Akediri, sebagai salah satu aliran kekristetan yang mayoritas di desa
ini.
Ternyata om Yon tidak hanya terdaftar sebagai anggota jemaat
biasa, melainkan Ia pernah terpilih menjadi M ajelis Jemaat 2. Tidak
hanya itu dengan mandat tugas pelayanan yang Ia miliki,
menghantarakan om Yon pada berbagai perjumpaan dengan warga
jemaatnya. Selain terlibat dalam urusan pelayanan rutin ibadah, Ia juga
berperan aktif dalam usaha pembangunan gedung gereja baru GM IH
Ebenhaezer Akediri.
Dengan mata pencaharian sebagai pedagang, kedudukan dan
peran om Yon dalam jemaat (warga gereja) dan masyarakat sangat
strategis berdampak terhadap usahanya. Dapat dikatakan bahwa
dengan keputusan menjadi bagian dari warga Gereja GM IH
Ebenhaezer Akediri, dapat dilihat bahwa dengan itu om Yon telah
2
Majelis Jemaat, adalah orang yang dipilih dan ditetapkan melalui persidangan jemaat,
untuk membantu pelayan khusus (Pendeta) dalam menjalankan tugas-tugas pelayanan.
Baik memimpin ibadah, maupun mengorganisir kegiatan fisik lainya.
198
J ejaringdanK ewirausahaan
membangun jejaring usaha dan mendapatkan konsumen tetap di
Akediri. Inilah yang oleh W oolcock (1998a dalam Hamidreza.et.al,
2012) disebut sebagai bonding social capital. Tipologi modal sosial ini
lebih menunjuk pada hubungan antara orang-orang yang memiliki
kesamaan komunitas, sehingga hubungan sosial yang terbangun lebih
eksklusif atau tertutup. Dalam kasus pedagang kecil di Akediri seperti
Om Yon Ia memanfaatkan oragnisasi gereja untuk membangun basis
konsumen, begitu juga dengan ibu Rohani M Ahmad, membangun
basis konsumen berdasarkan latar profesi yang dimiliki suaminya yakni
Tentara.
Sehingga melalui kesamaan identitas itulah Om Yon akhirnya
bersedia memberi dukungan dalam bentuk utang baik materi (uang)
maupun bahan-bahan kebutuhan konsumsi rumah tangga, kepada para
tukang yang bekerja membangun gedung gereja baru. Hal itu sematamata merupakan bagian dari strategi Om Yon membangun basis
konsumen untuk mempertahankan kelangsungan usahanya.
Inilah yang oleh penulis disebut sebagai strategi integrasi.
Artinya dengan menjadi bagian dari warga jemaat GM IH Ebenhaezer
Akediri, cara ini dapat dilihat sebagai trik untuk memperluas jejaring
konsumen, dan mengikatnya dengan insentif utang.
Strategi integrasi seperti ini, tidak hanya di lakukan oleh om
Yon sendiri. Seperti Alimin Sabri misalnya, ketika masuk dan berjualan
di Akediri Ia pun mengintegrasikan dirinya menjadi bagian dari
masyarakat dan jamaah muslim di Akediri.
Selain menjadi bagian dari komunitas Akediri, Alimin dan
teman-teman pedagang muslim lainya, juga kerap mengambil bagian
dalam kerja–kerja sosial baik di masyarakat, mesjid, dan juga gereja.
Seperti bakti kampung, di mesjid, maupun di gereja. Partisipasi mereka
tidak hanya dalam bentuk tenaga, melainkan juga dalam bentuk donasi
uang, dalam jumlah yang tidak ditentukan.
199
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
Jejaring Sebagai M anifetasi Social Capital
Jika berbicara social capital, intinya tertuju pada bagai mana
kemampuan interaksi timbal balik dalam suatu masyarakat, baik antar
individu, maupun kelompok, baik itu agama, dan suku. Hubunganhubungan yang terbangun antara subjek-subjek itulah, yang pada
umumnya oleh kebanyakan orang dianalogikan sebagai jaring.
Sebagai makhluk sosial, tentu manusia tidak dapat hidup
seorang diri, atau tidak membutuhkan orang lain, di luar dirinya.
Rasanya tak mungkin terjadi, apalagi dalam kaitan dengan
kewirausahaan. Seorang wirausaha membutuhkan orang laindalam
menjalankan usahanya. Karena itu ia harus membangun hubungan
dengan orang lain.
Baik dengan distributor sebagai pemasok bahan baku,
pelanggan, maupun pihak-pihak lain yang memiliki keterkaitan
dengan profesinya. Dari hubungan-hubungan sosial yang dibangun,
baik sebagai komunitas bisnis, religi, komunitas suku yang
dianalogikan sebagai sebuah jaring (alat tangkap) atau jejaring (ikatan
sosial).
Jika berangkat dari analogi jaring atau jejaring, setidaknya ada
dua hal utama yang penting untuk diperhatikan antara lain, simpul
dan ikatan. M elalui simpul-simpul dan ikatan itulah terbentuklah apa
yang dinamakan jaring atau jejaring. Suatu jarring atau jejaring yang
baik apabila simpul-simpul dan ikatan-ikatan itu terkait dengan baik.
Dalam kaitan dengan jejaring usaha, simpul-simpul itu
menggambarkan relasi antara individu, atau komunitas, yang ditopang
dengan nilai,norma, dan kepercayaan di dalamnya. Akankah jejaring
itu dapat berfungsi sebagai social capital apabila komponen-komponen
dalam jaringan tersebut berfungsi dengan baik.
Jejaring kemitraan yang dibangun oleh om Yon, dengan
pengurus koperasi tentara, para distributor, maupun denga konsumen,
baik yang dilakukan oleh ibu Rohani, Safiani, alimin dan bu Damis
Pasuma. M erupakan manifestasi social capital yang baik. Sejalan
200
J ejaringdanK ewirausahaan
dengan itu Fukuyama (2002) menekankan bahwa pada mereka yang
memiliki jejaring dan norma atau nilai informa, pertukaran yang
terjadi cenderung tidak mengedepankan keuntungan ekonomis,
melainkan merasakan keterlibatan dalam suatu hubungan adalah
utama. Inilah yang memungkinakan pedagang kecil di Akediri dapat
membangun usaha walau memiliki keterbatasan modal ekonomik,
tetapi dengan memiliki sosial kapital yang kuat keterbatasan finasial
dapat teratasi.
Artinya bahwa, adanya partisipasi, hubungan timbal balik
(resiprocity), dan kepercayaan antara sesama anggota, yang dilandasi
oleh nilai-nilai dan norma-norma yang disepakati bersama dalam suatu
jejaring kemitraan. Karena itu Robert Lawang, menegaskan bahwa
inti dari analogi jaring atau jejaring adalah pada kerja, bukan pada
aspek jaringnya (Lawang Robert. 2005:61-62).
Kemampuan untuk memenuhi prasyarat dalam suatu
kesepakatan kemitraan, menjadikan jejaring kemitraan tersebut dapat
bertahan. (Hasbullah,2006:9-16; Suryana Yuyus.et.al. 2010:164-174).
Fungsi Jejaring Dalam Kewirausahaan
Fungsi Informatif
Bukanlah sesuatu yang lazim lagi, bahwa kehidupan manusia
dan kebutuhan akan informasi terlebih di zaman ini, menjadi sangat
penting. Nampaknya kenyataan itulah yang mungkin menyebabkan
orang beranggapan bahwa, siapa menguasai informasi dia menguasai
dunia.
Dengan mengatakan begitu, penulis hanya berniat untuk
menekankan bahwa manusia dan kebutuhan akan informasi bagi
kelangsungan hidupnya memiliki peran strategis.
Sebab dengan mengetahui (informasi) akan sesuatu hal terlebih
dahulu, akan membantu manusia menentukan langkah tepat untuk
suatu keputusan bagi dirinya dan juga orang lain. Intinya dengan
mengetahui lebih awal informasi terkait dengan keputusan akan suatu
201
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
hal, diharapkan dapat meminimalisir resiko kegagalan, dan sebaliknya
mengharapkan suatu keberhasil.
Secara khusus dalam bagian ini akan dilihat bagaimana peran
jaringan dan pemenuhan kebutuhan informasi untuk kelangsungan
usaha. Aktifitas berdagang memiliki keterkaitan dengan berbagai
aspek yang strategi seperti, informasi peluang usaha, modal, perijinan
atau apapun yang berkaitan dengan aktifitas dagang.
Terkait dengan penelitian ini, para pedagang yang dilibatkan
sebagai informan, juga melakukan langkah-langkah yang sama, dimana
untuk mengetahui peluang usaha, akses terhadap modal maupun
kebutuhan lainya didapat melalui jaringan yang mereka peroleh.
Baik melalui pertemanan dengan sesama pedagang (bridging
social capital) keluarga atau komunitas agama (bonding social capital),
maupun dengan membangun jejaring dengan oknum maupun institusi
terkait di pemerintahan (lingking social capital) W oolcock (1998a
dalam Hamidreza.et.al, 2012)
Seperti Alimin Sabri, Ia mengetahui peluang usaha di pasar
Akediri melalui jejaring pertemanannya dengan sesama pedagang asal
Gorontalo, yang telah duluan berjualan di pasar tersebut. Berbekal
informasi itulah akhirnya Ia memutuskan untuk migrasi dari Ternate
dan akhirnya memilih dan menetap di Akediri untuk berdagang.
Demikian juga dengan bu Damis Pasuma, ketika
membutuhkan tambahan modal usaha Ia tidak mempunyai jejaring
dengan instansi penyedia pinjaman modal usaha. Tetapi berbekal
pertemanan yang Ia bangun dengan sesama pedagang, akhirnya Ia
mengajukan proposal pinjaman modal usaha ke Dinas Koperasi Dan
UM KM Kab. Halmahera Barat, setelah Ia mendapat informasi dari
rekan-rekan seprofesi.
M enurut Anderson et.al sebagaimana dalam Lawang Robert
(2005:69), jaringan sebagai fungsi informasi, berfungsi member
informasi kepada pedagang, terkait peluang maupun masalah terkait
kegiatan usahanya. Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam kapasitas
sebagai informasi, hal itu dapat dilihat dalam pengertina sebagai
202
J ejaringdanK ewirausahaan
pelumas(lubricant) atau peluang (opportunity). Artinya bahwa setiap
informasi yang didapat melalui jejaring itu, diperoleh, dengan tidak
mengeluarkan biaya yang terlalu besar.
Hal inilah yang dialami dan yang dirasakan oleh para pedagang
seperti Alimin, bahwa untuk mengetahui peluang usaha di Jailolo,
khususnya pasar Akediri, Ia tidak membutuhkan biaya besar untuk
melakukan survey ke Jailolo. M elainkan melalui hubungan yang baik
dengan rekan-rekan pedagang yang sudah lebih duluan berjualan di
Akediri, Ia memperoleh informasi dengan harga yang jauh lebih
murah.
Kemudahan Akses Terhadap Peluang
Sebagai manusia, khususnya pedagang tentu Ia tidak dapat
memenuhi kebutuhannya sendiri, terlepas dari orang lain. Kesadaran
itulah yang akhirnya mendorong pada informan membangun jejaring
usaha, baik dengan mereka selaku distributor barang, maupun dengan
pelanggan dan pihak lain yang memiliki keterkaitan dengan kegiatan
usaha.
M enurut Putnam (dalam Adler and W oo, tanpa tahun) sosial
kapital memfasilitasi adanya kerjasama dan koordinasi untuk
keuntungan bersama. Keterbatasan akses terhadap sumber bahanbahan dagangan dan keterbatasana modal usaha, menjadi dorongan
kuat para pedagang membangun kemitraan dengan pihak lain yang
memiliki kesamaan kepentingan. Pada aras inilah jejaring memiliki
peran untuk kemudahan akses peluang usaha.
Inilah yang terjadi dan dilakukan oleh para informan yang
menjadi objek penelitian ini. Seperti ibu Safiani Ode, melalui jejaring
yang bisnis keluarganya, Ia akhirnya direkomendasi oleh pamanya
untuk membangun kemitraan dengan salah satu distributor barang
yang menjadi langganan pamanya itu. Berbekal informasi tersebut dan
konsistensi yang ditunjukan ibu Safiani dalam berbelanja, akhirnya
kemitraan di antara mereka bisa terbangun.
203
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
Karena itu Ia kemudian memperoleh kemudahkan dalam
memperoleh bahan baku (barang jualan), dan kemudahan mengangsur
harga barang yang Ia ambil untuk di jual kembali.
Demikian juga dengan Alimin Sabri, melalui jejaring usaha
yang dibangun dengan para distributor barang yang berada di Ternate.
Ia akhirnya bisa memperoleh akses atau peluang untuk mendapatkan
bahan baku dengan mudah dan dengan biaya yang jauh lebih murah.
Betapa tidak, melalui kemitraan itu Alimin hanya dengan memesan
barang pada distributor langganan di Ternate, Ia kemudian tinggal
menjemputnya di pelabuhan Jailolo, ketimbang Ia harus berbelanja
langsung ke Ternate.
M elalui jejaring usaha tersebut, Alimin Sabri dapat mengambil
bahan baku atau barang dagangan terlebih dahulu, dan baru akan
dibayar kemudian sesuai kesepakat bersama.
Begiti juga dengan ibu Rohani M .Ahmad. M elalui kemitraan
yang Ia bangun dengan para distributor barang baik di Ternate,Bitung
maupun M anado, Ia memperoleh akses atau peluang untuk mengambil
barang, atau memesan barang terlebih dahulu, dan baru akan dibayar
kemudian sesuai perjanjian yang disepakati.
Hal yang sama juga dilakukan oleh om Yon dan bu Damis
Pasuma, dimana untuk mendapatkan barang dagangan mereka
akhirnya membangun kemitraan dengan pengurus koperasi tentara.
Sehingga melalui jaringan itulah mereka bisa memperoleh barang
dagangan dan bahan dasar konsumtif rumah tangga dengan mudah,
dan resiko yang jauh lebih rendah.
Fungsi jaringan ternyata tidak hanya terbatas pada akses untuk
memperoleh barang semata. M elainkan juga melingkupi akses terhadap
modal usaha. Kenyataan yang dialami oleh para pedagang
membukitkan pernyataan tersebut benar adanya.
Selain dipandang mampu atau memiliki usaha yang produktif,
akses terhadap penambahan modal usaha ke bank, ternyata tidak
terlepas dari adanya peran jaringan. Akses terhadap modal bank, yang
terkesan mudah oleh om Yon Flory, karena Ia memiliki akses dengan
204
J ejaringdanK ewirausahaan
pihak bank melalui salah satu ponakannya yang bekerja di bank
tersebut.
Dengan kapasitas sebagai tim perkreditan, hal ini
mempermudah om Yon dalam pengurusan, bahkan segala pengurusan
di bank menjadi tanggungjwabnya, sedangkan Ia berkewajiban
memenuhi persyaratan atministrasinya.
Terkait akses terhadap modal bank, ibu Rohani juga memiliki
cerita yang sama. Ketika Ia mamutuskan untuk menambah modal
usaha dari pihak perbankan, Ia tidak mengalami kendala, selain karena
usahanya yang ada dan rencana pengembangan usaha yang dipandang
memiliki prospek yang baik. M enurut ibu Rohani, suaminya memiliki
hubungan pertemanan dengan kepala bank Pembangunan Daerah
M aluku yang ada di Jailolo.
Lebih lanjut ibu Rohani menuturkan bahwa, jauh sebelum
mereka mengajukan pinjaman, pimpinan bank tersebut sudah
mengajukan tawaran kepada suaminya untuk menambah modal usaha.
Jadi ketika ibu Rohani mengajukan pinjaman ke bank tersebut,
pengajuan kredit usahanya tidak terlalu sulit dan bahkan tidak sampai
sebulan permohonan itu sudah dicairkan.
M enurut Anderson et.al dalam Lawang Robert (2005:49).
Selain memiliki fungsi informatif, jaringan juga memiliki fungsi akses
atau peluang. Artinya bahwa, melalui jaringan para pedagang bisa
memperoleh peluang atau kesempatan untuk mendapatkan barang
maupun modal dari mitranya yang tidak dapat Ia penuhi sendiri.
Dasar dari fungsi-fungsi jaringan tersebut adalah kepercayaan.
para distributor berani memberi barang tanpa membayar terlebih
dahulu, karena dilandasi percaya. M ereka percaya bahwa jaringan
kemitraan yang dibangun dengan orientasi dan tujuan yang sama akan
mendorong individu-individu yang bermitra untuk tidak bebuat
oportunisme.
Begitu juga sebaliknya dengan pihak bank, selain para nasabah
memiliki kemampuan likuiditas. Namun sulit disangkal pulah bahwa
peran kemitraan dalam jaringan baik sebagai individu maupun dalam
205
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
kapasitas sebagai nasabah dan institusi pemberi modal, turut andil
memproduksi apa yang disebut kepercayaan sebagai dasar dari suatu
perjanjian.
Kombinasi, Konversi Usaha Dan Penggadaan Tempat Usaha, Cara
M eningkatkan Pendapatan
Sudah menjadi tujuan dari setiap orang yang terjun dalam
dunia usaha, tentunya menginginkan pendapatan yang tinggi, atau bila
mungkin sebesar-besarnya. Untuk mencapai tujuan tersebut tentu
membutuhkan cara atau strategi untuk mencapainya.
Dari percakapan dan amatan yang penulis lakukan, diketahui
bahwa pertama-tama untuk meningkatkan pendapatan, para pedagang
mengkombinasikan usaha mereka. M ereka tidak bergantung pada satu
usaha semata. Seperti bu Damis Pasuma, usaha dagang yang Ia jalani
pertama adalah sembako (Sembilan bahan pokok), kemudian Ia
merambah ke bisnis kopra, dan usaha transpotasi angkut barang.
Begitu juga dengan ibu Rohani, berawal dari bisnis kayu
olahan, kemudian merembah ke usaha sembako, bisnis kopra, dan
bisnis materian bahan bangunan. Jika dibandingkan dengan rekanrekan mereka yang lain, berdasarkan aset tangible yang mereka miliki
sebagai ukuran kemampuan usaha. Nampaknya keduanya memiliki
kemampuan lebih dari lima rekan lainya.
M enurut pengakuan usi Teker nama panggilan dari istrinya
bu Damis Pasuma bahwa, jika mereka hanya bergantung pada usaha
sembako, hal itu tidak mungkin bisa membuat mereka mampu
membeli mobil baik untuk usaha maupun keperluan pribadi, dan
membangun rumah. Tetapi ketika memulai usaha sembako, mereka
kemudian merambah ke bisnis kopra, dan dari keuntungan kedua
usaha itu kemudian diinvestasikan ke bisnis angkut barang yakni,
mengadakan truk angkut melalui cara kredit (Lihat bab empirik).
Dengan melakukan cara inilah, minimnya pendapatan pada
bisnis yang lain akan di siasati dari pendapatan usaha yang lain pula,
206
J ejaringdanK ewirausahaan
dengan demikian terjadi silang modal untuk menopang usaha yang
devisit pendapatannya.
Tegas bu Damis bahwa, jika mereka hanya mengandalkan
pendapatan dari satu jenis usaha, mungkin mereka sudah tutup usaha
ketika direlokasi ke pasar Akelamo. Dengan pendapatan bisnis
sembako yang makin menurun ketika itu bukan tak kebangkrutan
menjadi cerita akhir usaha mereka.
Tetapi dengan melakukan kolaborasi usaha bisnis sembako
dapat dipertahankan dan makin meningkat setelah mereka kembali ke
pasar Akediri. Dengan kolaborasi usaha yang baik kini, selain
memiliki 1 unit rumah permanen, mereka juga memiliki 1 unit mobil
sedan Xover, 1 unit mobil Zusuki pic up, 1 unit Hondal M egapro, 1
unit Yamaha Vixsion, 1 unit motor Zusuki Satira, dan tiga truk angkut
yang sudah menjadi milik mereka, alias sudak lunas dalam rentang
waktu 10 tahun membangun usaha (Lihat bab empirik).
Keputusan untuk melakukan kolaborasi usaha juga dilakukan
oleh ibu Rohani dan suaminya. Sebelum menekuni bisnis sembako,
awalnya mereka berbisnis kayu olahan, karena keterlibatan pa Agus
dalam pengurusan barang-barang koperasi tentara, akhirnya mereka
memutuskan untuk terjun kebisnis sembako.
Dari berdagang sembako itulah kemudian mereka merambah
ke bisnis kopra dan akhirnya ke usaha penjualan bahan-bahan material
bangunan. Penambahan jenis usaha selalu mengikuti peluang usaha.
Contohnya bisnis kopra, usaha itu disarankan oleh petani, karena
dengan berbisnis kopra mereka dapat mengambil material bangunan
dan kemudian membayar dengan cara menjadi langganan kopra,
sehingga kopra akan di juala ke mereka. Tahapan demi tahapan usaha
yang di raih, tentu merupakan akumulasi dari keuntungan-keuntungan
beberapa usaha sebelumnya yang kemudian diinvestasikan kembali
untuk membangun usaha yang baru.
Dengan begitu kata ibu Rohani, mereka mampu menambah
usaha, sehingga keuntungan usaha selalu meningkat (Lihat bab
empirik). Karena memiliki kemampuan untuk dan berhasil
207
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
mengkombinasikan beberapa usaha, berdaraskan pengamatan dan
percakapan penulis dengan ibu Rohani, kini selain memiliki 1 unit
rumah permanen berlantai dua, mereka juga memiliki 1 unit mobil
sedan Nissan untuk urusan pribadi, dan 1 unit motor metic sebagai aset
tangible.
Strategi kombinasi usaha yang dilakukan oleh bu Damis dan
ibu Rohani, adalah bagian dari cara mereka merespon peluang usaha
yang ada. Dimana standar untuk membuka suatu usaha yang baru
adalah adanya permintaan, atau tinggingnya konsumen.
Langkah mengkombinasikan usaha juga pernah dilakukan oleh
om Aba maupun om Yon Flory. Namun langkah tersebut pupus di
tengah jalan. Di awal usaha om Yon selain berdagang sembako, Ia juga
menggeluti bisnis kopra. Selain itu Ia juga mencoba berkompetisi di
bidang kontraktor, sebagai sub kontraktor pembangunan fisik beberapa
program pemerintah. Namun langkah itu tidak dapat diteruskan,
kendaraan yang Ia miliki baik untuk menopang bisnis sembako
maupun untuk usaha angkut barang semuanya di jual, dan kini Ia
kembali dan konsentrasi pada bisnis sembako (Lihat bab empirik).
Seperti om Yon, om Aba juga melakukan mencoba
mengkombinasi bisnis pakaian dan usaha penanaman rica dan tomat.
Hal itu Ia lakukan ketika di relokasi ke pasar Akelamo. Karena
pendapatan makin menurun, om Aba mencoba untuk terjun ke usaha
pertanian, dengan menanam rica dan tomat, namun karena pendapatan
dari bisnis pakaian dipakai untuk memnuhi kebutuhan sehari-hari dan
sebagian di investasikan ke usaha pertania, akhirnya bisnis pakaian
tidak dapat dipertahankan dan akhirnya ditutup.
Setelah bertahan dengan usaha pertanian yang ternyata
merupakan usaha patungan, mengalami goncangan tatkala terjadi
kecurangan dalam pembagian dan pemasaran hasil usaha. Kondisi itu
pada akhirnya berujung pada pecah kongsi usaha, untuk mempertahan
usaha tersebut, akhirnya om Aba berusaha menginvertasikan modal
yang Ia miliki pada bidang usaha penanaman rica dan tomat di Akediri,
namun dalam dua masa tanam berut-turut Ia gagal dan akhirnya
208
J ejaringdanK ewirausahaan
kembali ke pasar membantu
perempuannya (lihat bab empirik).
berjualan
dagangan
saudara
Selain mereka yang mencoba mengkombinasikan usaha namun
gagal ditengah jalan, namun beberapa di antarnya bertahan pada usaha
yang ada sejak semula. Seperti ibu Safiani Ode, Ia memilih untuk
bertahan pada usaha penjualan alat-alat perabotan rumahtangga,
meskipun mendapat tawaran pinjaman modal usaha dari kepala bank
BRI unit Jailolo, yang memiliki hubungan pertemanan.
Alasan mendasar menolah pinjaman modal usaha karena Ia
belum menemukan usaha apa yang akan Ia kembangkan selain bisnis
perabotan yang ada itu, kata ibu Safiani (Lihat bab empirik). karena itu
Ia lebih memilih serius dengan usaha yang ada.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh tante Ratna, bahwa
sejak memulai usaha mereka hanya focus pada usaha sembako, dan
tidak berniat untuk merambah keusaha yang lain.
Dengan
mengandalkan pendapatan pada satu sumber usaha, membuat usaha
tante Ratna mengalami kemunduran, ketika mereka di relokasi ke
pasar Akelamo. Karena kendisi dagang makin menurun akhirnya
mereka memutuskan untuk kembali ke pasar Akediri.
M eskipun sudah berada di Akediri, wilayah dimana mereka
pernah merasakan keuntungan dari usaha yang digeluti itu, keputusan
itu tidak mampu menyehatkan kembali usaha mereka.
Dalam
kesulitan membangkitkan kembali usaha mereka itu, terdengarnya
rencana relokasi kembali pedagang pasar Akediri ke pasar Akelamo,
akhirnya memperkuat terkat tante Ratna untuk mengakhiri bisnis
mereka, dari pada mengalami nasib yang sama pada relokasi
sebelumnya, keluh tante Ratna (Lihat bab empirik).
Selain melakukan kombinasi usaha untuk meningkatkan
pendapatan atau marjin usaha, pedagang juga melakukan penggandaan
tempat usaha. Strategi ini hanya dilakukan oleh ibu Rohani. Selain
memiliki tempat usaha di Akediri ibu Rohani juga membangun dua
tempat udaha di tempat yang berbeda, yakni di kediamanya, dan satu
lagi di tempat tugas suaminya.
209
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
Hal ini mereka lakukan untuk mengisi peluang usaha yang ada
di wilayah-wilayah tersebut. Peluang-peluang tersebut terkadang
datangnya dari dorongan konsumen, seperti bisnis kopra yang mereka
jalani di kecamatan Ibu tempat pa Agus bertugas sebagai anggota
Koramil. Setelah berjualan bahan bangunan di kecamatan Ibu para
konsumen yang mayoritas petani kelapa, menyarankan mereka untuk
berbisnis kopra.
Karena makin banyak desakan-desakan untuk usaha tersebut
akhirnya mereka memutuskan untuk terjun ke bisnis tersebut,
sekalipun bukanlah bidang usaha yang baru bagi mereka. M emiliki
termpat usaha lebih dari satu dan beragam jenis usaha, tentu
berdampak pada naiknya pendapatan, jika dikelola dengan baik.
Namun bersamaan dengan itu, juga memiliki resiko yang besar, karena
melibatkan pihak lain, yang berdampak pada biaya kesejahtraan (gaji)
dan dana operasional, disamping penyimpangan keuangan sebagai
resiko terbesar.
Cara pengembangan usaha dengan melakukan ekspansi
ketempat lain, merupakan bagian dari strategi pengembangan pasar
(market development strategy).
Dimana lebih berorientasi pada
konsumen yang baru di wilayah yang baru, atau disebut pasar geografis
baru (Hsirich et.al. 2008:632). Syarat ekspansi tetaplah mengacu pada
aspek kebutuhan konsumen.
Selain kedua hal tersebut, nampaknya strategi ini memiliki
andil dalam menciptakan ingkam yang besar bagi pedagang yang
memiliki lebih dari satu jenis usaha. Stargei yang di maksud penulis
membahasakannya sebagai strategi “koneksi”.
Yang penulis maksudkan dengan strategi koneksi adalah, dalam
berbisnis pedagang menghubungkan atau mengaitkan satu bisnis
dengan bisnis yang lain melalui strategi utang. Utang memang lazim
dalam dunia bisnis. Orang dengan pendapatan tetap (gaji) tentu
memiliki peluang besar untuk mendapatkan fasilitas utang. Tetapi
memberi utang dengan mengaitkan pembayaranya dengan usaha yang
lain merupakan kekhususan bagi pedagang yang berbisnis sembako,
210
J ejaringdanK ewirausahaan
hasil-hasil perkebunan, seperi kelapa (kopra), kakao (cokelat), pala atau
cengki.
Seperti bu Damis Pasuma, yang jalani bisnis sembako dan bisnis
kopra, yang Ia lakukan adalah mengkoneksikan atau mengaitkan
kedua usaha tersebut dengan memberikan fasilitas utang. Sebagai
contoh, bu Damis akan lebih mudah memberikan fasilitas utang kepada
konsumen yang memiliki hasil kopra, ketimbang yang tidak memiliki
hasil kopra selain gaji.
Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa konsumen
tersebut dapat mengutang bahan sembako atau material bangunan, dan
akan dibayar melalui hasil kopra yang di jual kepada mereka. Di
sinilah letak kemampuan mencipatak inkam, dengan menghubungkan
suatu usaha dengan usaha yang lain.
M elalui cara tersebut, bu Damis tidak hanya berhasil menjual
sembako, dalam harga yang tak tentu sama dengan harga tunai yakni
cenderung di atas harga tunai, Ia juga mendapatkan keuntungan dari
selisih dari pembelian kopra yang Ia beli di bawah dari harga pasaran
pada umumnya. Contohnya minyak kelapa bimoli kemasan 5 Liter,
dijual kontan seharga Rp 68.000, tetapi kalau di utang harganya
menjadi Rp 70.000. Demikian juga dengan harga kopra, kalau harga
pasaran 1 Kg seharga Rp 3000, petani yang mengutang pada bu Damis,
kopranya tentu akan dijual kemereka dengan harga sedikit lebih
rendah dari harga pasaran dapat saja dibeli 1 Kg seharga Rp 2700.
Cara inilah yang juga dilakukan oleh ibu Rohani dan suaminya,
di samping transaksi tunai dan hutang kepada konsumen yang
memiliki pendapatan tetap (gaji) dan hasil perkebunan, seperti kopra.
Dengan mengkoneksikan dua usaha atau lebih, seperti
dilakukan oleh bu Damis dan ibu Rohani, melalui fasilitas utang, dalam
amatan penulis dan pengakuan mereka berdua, dapat meningkatkan
pendapatan melebihi penjualan tunai atau pemberian utang kepada
mereka yang memiliki pendapatan tetap (gaji).
Itulah strategi yang dilakukan oleh masing-masing pedagang
untuk meningkatkan pendapatan mereka. M ereka yang mampu
211
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
melakukan kombinasi usaha, menggandakan tempat usaha, serta
mampu mengkoneksikan berbagai usaha, tentu akan mampu mencapai
pendapatan yang tinggi disbanding rekan mereka yang bertahan pada
satu usaha, satu tempat dan tidak melakukan menkoneksikan satu
usaha dengan usaha lainya.
“Aset”, Jaminan H ari Tua Dan Peubah Status Sosial
Investasi M asa Depan Anak, Jaminan H ari Tua
Setiap orang tentu menginginkan hari depan yang cerah dan
penuh kepastian. Tidak terkecuali para pedagang yang penulis
wawancarai, mengutarakan hal yang sama. M emilih usaha dagang
kecil di wilayah konflik bukan lah persoalan mudah, karena tidak
kebanyakan orang mengambil resiko seperti itu. Hanya orang yang
memiliki keberanian dan kesabaran lah yang dapat bertahan dalam
menghadapi baik tekanan tuntutan rumah tangga, maupun lingkungan
yang tidak stabil.
Sebagai suatu usaha informal, yang diidentik dengan
keterbatasan, ketidak teraturan, dan profit yang rendah. M embuat
sektor ini dipandang sebelah mata, tak jarang menjadi objek, sekaligus
subjek yang banyak mengalami perlakuan tidak adil.
Seperti relokasi pedagang pasar Akediri ke pasar Akelamo,
mereka yang menjadi target penertiban adalah para pedagang kecil
yang tidak memiliki ijin usaha, dan modal terbatas sehingga tidak
memiliki kemampuan untuk membeli lahan tempat usaha. Sebaliknya
pedagang besar dapat bertahan di Akediri, karena mereka memiliki
kemampuan ekonomi (uang) sehingga dapat membeli lahan dan
mengurus ijin usaha.
Pada ranah ini, kemampuan ekonomi yang dimiliki pedagang
menjadi barometer, dalam penentuan suatu kebijakan (Soegiojono
S.Pieter, 2011:280).
Persoalannya apakah benar mereka kecil dan
tidak memiliki kemampuan untuk melakukan investasi jangka atau
212
J ejaringdanK ewirausahaan
tidak mampu mengakumulasi aset dan modal usaha?, inilah yang
terabaikan dari amatan banyak orang, termasuk pengambil kebijakan.
Dengan strategi dan kemampuan meningkatkan pendapatan
yang mereka terapkan membuat mereka berusaha untuk memiliki
tempat usaha dan mengurus ijin usaha. Tidak hanya itu, untuk
kepentingan jangka panjang terutama mempersiapkan kehidupan di
hari tua, pra pedagang menginvestasi sebagian keuntungan usaha
untuk kepentingan pendidikan anak-anak mereka.
Dengan tujuan bahwa, jika anak-anak mereka memiliki
pendidikan yang tinggi, hal itu akan berdampak pada kepastian masa
depan, dan jika hari depan anak-anaknya baik, kehidupan mereka
kelak juga terjamin dibawa asuhan anak-anaknya.
S
JEJARING DAN KEWIRAUSAHAAN
PENGANTAR
Setelah menempuh jalan panjang penulisan, tiga bab empirik
yang cukup menyedot banyak waktu dan konsentrasi yang cukup
melelahkah. Akhirnya tiba juga pada bagian yang tidak kalah sulitnya
dari bagian-bagian sebelumnya. M enganalisis temuan-temuan dengan
membuat sintesis, sebagai temuan benang merah karya ini ke dalam
beberapa topik yang akan dibahas runut dan padat.
Dengan sistematika pembahasan sebagai berikut. Pertama
penulis mendahului membahas pedagang kecil (small traders) sebagai
suatu langkah pemenuhan kebutuhan hidup. Kemudian akan
dilanjutkan dengan penalaran konsep jejaring dan tipologinya, secara
khusus melihat tipologi jejaring usaha yang dibangun oleh para
pedagang.
Tahapan selanjutnya akan dilihat konsep jejaring sebagai
manifestasi social capital, fungsi jejaring dalam membangun dan
menjalankan usaha. Kemudian pada bagian selanjutnya disusul dengan
melihat strategi pedagang meningkatkan pendapatan mereka, dan pada
bagian akhir penulis akan mengelaborasi temuan, bagaimana pedagang
berusaha menciptakan “aset” untuk kelangsungan usaha dan jaminan
hari tua dan menaikan status sosial mereka.
Keputusan untuk berdagang, apalagi di wilayah konflik, tentu
bukanlah keputusan yang gampangan, artinya tidak dipikirkan
konsekuensi baik buruknya. M elalui penelitian ini, di ketahui bahwa
menjadi pedagang di tengah kerentanan dan desakan berbagai
kebutuhan hidup, merupakan langkah penyelamatan baik kebutuhan
konsumtif rumah tangga, juga sebagai alternatif menciptakan
pendapatan ditengah ketidak pastian.
Dengan berdagang, mereka tidak saja mengatasi persoalan
ekonomi keluarga, karena ketidak pastian mata pencaharian,
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
melainkan melalui cara tersebut kebutuhan konsumtif rumah tangga
dapat dijamin, jika konflik terjadi kembali. Intinya melalui usaha
dagang mereka dapat mengatasi kesulitan finances , kebutuhan pangan
dan sandang, atau dengan lain perkataan kemandirian sebagai tujuan
utama.
M enyadari bahwa hidup tidaklah mungkin, berjalan tanpa
dukungan pihak lain, atau tanpa membutuhkan topangan orang lain,
mendorong para pedagang membangun kemitraan usaha baik dengan
pengurus koperasi tentara, maupun dengan sesama pedagang
distributor yang lain.
Berdagang diwilayah konflik tentu membutuhkan pihak lain,
khususnya pihak keamanan. Keterbatasan akses ke sumber-sumber
bahan-bahan dagangan, karena dikuasai oleh komunitas muslim,
mendorong pedagang Kristen harus membangun jejaring usaha dengan
pihak keamanan, karena itu pengurus koperasi tentara, merupakan
representasi mitra usaha yang tepat ketika itu, sebelum meluas ke
pedagang lain, dalam jangkauan yang lebih luas.
M elalui jejaring usaha yang dibangun, hal itu sangat membantu
para pedagang dalam menjalankan dan meningkatkan usaha. M elalui
jejaring, peluang dan akses bisa diperoleh dengan biaya yang sangat
murah. M elalui jejaring pula memungkinkan terjadi distribusi barang
tanpa mendahulukan modal ekonomi. Dengan jejaring akses terhadap
modal usaha menjadi lebih mudah.
Social capital yang kuat dalam kehidupan sosial hanya bisa
terjadi apabila kemitraan itu memiliki trust atau rasa saling percaya.
Dengan rasa saling percaya, akan menggerakan partisipasi anggota
dalam suatu jaringan, tindakan resiprocity, yang dilandasi pada nilainilai dan norma-norma yang disepakati bersama.
M odel partisipasi seperti inilah yang memungkinkan low cost
dalam berbisnis. Umumnya perjanjian-perjanjian dibuat sangat
informal, namun terbilang manjur karena ada rasa saling percaya di
antara mereka, bahwa salah satu pihak tidak akan bertindak
opportunis.
188
J ejaringdanK ewirausahaan
Inilah model pertukaran ekonomi yang seakan menyumbat
egoisme pertukaran yang mengedepankan aspek informal, dimana
segala sesuatu disepakati dalam perjanjian yang kaku dan tersandra
dalam meterai sebagai ukuran legalitasnya.
Dalam model jejaring usaha yang dibangun oleh para pedagang,
memungkinkan usaha mereka berkembang karena, terjadi pertukaran,
baik barang, maupun informasi dengan biaya yang sangat murah.
Selanjutnya, kemampuan mengkombinasikan usaha, koneksi
usaha dan perluasan pasar, tidak terlepas dari kontribusi jejaring
kemitraan yang mereka bangun.
Sebagai usaha informal yang lekat dengan sinisme,
keterbatasan, ketidak teraturan, dan low profit. Tidak menjadikan para
pedagang itu, terjebak dalam stigma tersebut. W alau tidak semua dari
mereka dapat mentas dari kekecilan mereka, namun beberapa
diantaranya menunjukan bahwa, berawal dari kecil, mereka pun bisa
menjadi besar.
Kemampuan mengorganisir diri, kelompok (jaringan), dalam
menunjang usaha memang diperlukan untuk bisa menjadi besar.
Keberhasilan para pedagang tidak hanya terlihat atau diukur dari
seberapa banyak aset tangible yang ia miliki, melainkan juga mencakup
investasi pada pendidikan dan masa depan anak.
Karena itulah aset yang dibutuhkan oleh pedagang untuk
menjamin hari tua mereka ialah, apa bila ada kepastian masa depan
anak-anaknya dan aset tangible yang mereka miliki termasuk mewarisi
usaha yang profit.
Dengan memiliki jejaring kemitraan yang baik, kemampuan
menagkap peluang usaha, kemampuan ekspansi dan inovatif
menciptakan usaha-usaha baru, dan mampu menciptakan “aset”,
kelanjutan usaha dan hari tua mereka terlihat menjanjikan.
189
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
Small Traders, Langkah Pemenuhan Kebutuhan H idup
Setiap rumah tangga tentu akan berusaha untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, agar kesinambungan hidup anggota keluarga
tetap berlangsung. Untuk dapat menjaga keberlangsungan hidup,
memenuhi berbagai kebutuhan rumah tangga, membutuhkan finances,
yang didapat dari pekerjaan sebagai sumber mata pencaharian.
Konflik yang terjadi di M aluku Utara, dan Jailolo khususnya
telah menyebabkan kerentanan, baik kelangkaan sejumlah bahan dasar
konsumtif rumah tangga, maupun kesulitan akses terhadap sumbersumber mata pencaharian, bahkan menyebabkan sebagian orang
kehilangan pekerjaan sebagai sumber nafkah (uang).
Inilah yang dihadapi oleh para informan, sebagai petani dan
pedagang kecil, konflik dan kerentanan yang mereka alami
berpengaruh langsung terhadap mata pencaharian dan itu berimbas
pada ekonomi keluarga mereka. Kopra sebagai andalan hasil pertanian,
ketika awal konflik, tidak memiliki nilai ekonomis, karena tidak ada
yang membeli, tidak ada pengusaha yang berani menadah dan
menjualnya ke luar dari Halmahera.
Sebaliknya mereka yang telah berdagang, akhirnya menutup
usahanya karena terputusnya akses distribusi, sehingga tidak ada suplai
barang. Selain dagangannya di konsumsi sendiri, sebagian juga
disumbangkan untuk mendukung aktifitas posko pengungsi yang ada
di Akediri. Pada kondisi ini para informan yang berlatar belakang
profesi petani dan pedagang mengalami dua kerentanan secara
bersamaan yakni, kebutuhan dasar konsumtif dan mata pencaharian
yang mendatangkan uang.
Sedangkan informan yang memiliki pekerjaan tetap yakni
tentara, keuangan mereka tidak terganggu, tetapi pada kondisi ini
secara bersamaan mereka juga mengalami krisis bahan dasar konsumtif
rumah tangga, seperti rekan-rekan mereka yang berlatar belakan mata
pencaharian sebagai petani dan pedagang. M enurut Chambers (1995)
sifat kemiskinan itu dinamis, komleks dan beragam, yang meling kupi
ekonomi,kesehatan, kesejahteraan, isolasi, kerentanan, dan ketidak
190
J ejaringdanK ewirausahaan
berdayaan dan penghinaan. Umumnya orientasi kemiskinan berkaitan
dengan pendapatan dan pekerjaan, walau hal ini hanyalah salah satu
indikator kemiskinan.
Kondisi inilah yang pada akhirnya mendorong mereka terjun
ke dunia usaha sebagai pedagang. Sehingga melalui usaha ini akan
dapat menjamin dan memenuhi kebutuhan bahan dasar konsumtif
rumah tangga. Selain kedua hal tersebut, usaha dagang yang dilakoni
para informan telah menjadi mata pencaharian utama maupun
tambahan untuk mendatangkan income (uang) bagi keluarga mereka.
M elihat apa yang dialami dan dilakukan para informan untuk
mengatasi kerentanan yang mereka hadapi bersama, keterpenuhan
kebutuhan dasar konsumtif rumah tangga, pendapatan (uang) dan mata
pencaharian jelas merupakan indikator utama implementasi dari
kesejahteraan sebuah rumah tangga (Soegijono S. Pieter,2011:173).
Karena itu setiap pribadi dalam rumah tangga, akan
berpartisipasi untuk menopang keberlanjutan hidup keluarganya. Di
tengah himpitan ekonomi yang terus mendesak, pilihan menjadi
pedagang dapat dipandang sebagai pilihan yang tepat. Sebab selain
mendatangkan income bagi mereka, hal itu untuk memenuhi dan
menjamin kebutuhan dasar konsumtif rumah tangga.
Inilah yang
oleh Ellis (1999) dilihat sebagai upaya baik oleh individu atau rumah
tangga berjuang mempertahankan hidupnya dengan menggunakan aset
dan akses yang mereka miliki. Untuk membangun usaha pedagang
kecil di Akediri menggunakan aset dan akses yang dimiliki. Seperti bu
Damis Pasuma, untuk memulai usaha modal yang dipergunakan
diperoleh dari hasil penjualan perhiasan emas. Sebaliknya untuk
mendapatkan barang dagangan, mereka harus membangun jejaring
dengan pihak militer untuk mendapatkan akses tersebut.
Di sisi lain jenis usaha informal ini, simpel dijalankan,karena
dapat melibatkan anggota keluarga yang lain. Inilah yang menjadi ciri
yang umumnya ditemukan dalam usaha kecil. Jika melihat pengelolaan
usaha dari para informan, semuanya menerapkan pola yang sama
yakni, pelibatan anggota kelurga dalam mengelola usaha.
191
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
Dari sisi manejerial, pelibatan anggota keluarga dalam usaha
kecil, berkaitan erat dengan kontrol. Begitu juga sebaliknya, ketika om
Yon Flory memutuskan untuk menggunakan tenaga kerja di luar dari
anggota keluarga, bahkan Ia memutuskan untuk memakai orang dari
daerah lain, hal ini untuk mempermudah control terhadap mereka.
Keputusan om Yon Flori untuk mempekerjakan orang lain, karena
keterbatasan tenaga kerja, dimana anak tertunya telah menikah dan
putri bungsunya telah memiliki pekerjaan sebagai perawat.
M empekerjakan orang lain dalam usaha kecil selain tidak
terlalu sulit karena cenderung tidak melibatkan banyak orang,
sehingga dapat diawasi langsung oleh majikan atau pemilik usaha.
M empekerjakankan orang di luar keluarga memudahkan kontrol
terhadap mereka, sebab mereka mempunyai ketergantungan terhadap
pekerjaan tersebut Lambing Peggy.et.al. dalam Suryana (2011:119).
Selain itu keterlibatan anggota keluarga dalam usaha kecil,tidak
terlepas dari upaya untuk menciptakan efisiensi biaya dalam usaha.
Efisiensi dalam usaha berkaitan erat dengan margin yang ingin
dicapai. Keterlibatan anggota keluarga dalam pengelolaan usaha kecil,
akan menghindarkan mereka dari penggunaan tenaga kerja, yang
berimbas pada pengalokasian upah kerja.
Dengan keterlibatan anggota keluarga dalam usaha kecil seperti
ini, margin usaha tetap terjaga, dan investasi usaha dapat ditingkatkan
dari waktu ke waktu demi menjaga kelangsungan dan peningkatan
usaha.
Apapun jenis usaha, efisiensi biaya mengarah pada satu tujuan
utama yakni, menciptakan kekayaan dan pekerjaan (Suryana
Yuyus.et.al, 2010:223-224). Inilah yang menjadi cita-cita tertinggi para
pengusaha, tidak terkecuali pedagang kecil yang penulis tetapkan
sebagai informan.
Dari percakapan demi percakapan dengan para informan, dapat
disimpulkan bahwa keputusan untuk terjun kedunia usaha adalah
upaya untuk mencapai kemandirian ekonomi, dan jaminan hari tua.
192
J ejaringdanK ewirausahaan
Berikut ini penulis akan menunjukan pola membangun dan
menjalankan usaha yang ditemukan dalam penelitian ini.
Gambar.1
Pola1 Berwirausaha
Perubahan status sosial dan
Jaminan hari tua
Aset
Pendidikan, Pekerjaan, dan Properti
Kemampuan transformasi
Ketidakmampuan
dalam usaha
melakukan transformasi
Small T raders
Jaringan
Pengalaman (Human Capital)
M odal
Ekonomi
Start Up
V ulnerability
Konflik Komunal
V ulnerability
Kebijakan PEMDA
1
Pola berusaha yang dikemukakan ini, dibangun berdasarkan imajinasi
penulis, untuk menunjukan pola usaha dari para informan. Dimana ada yang
mempunyai kemampuan membangun dan meningkatkan usaha, tetapi ada
pula yang tidak mampu mempertahankan dan meningkatkan usaha.
193
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
Tipologi Jejaring Usaha
Kesamaan Orientasi dan Tujuan
Tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa, seorang wirausaha
tidak dapat hidup dan menjalankan usahanya tanpa menjalin hubungan
dengan pihak manapun di luar dirinya.
M engapa, karena Ia tidak mampu menjamin kebutuhannya
sendiri, sekalipun dalam kondisi aman, apa lagi dalam situasi konflik.
Kerentanan yang timbul akibat konflik, setidaknya mengingatkan
bahwa manusia tidak mungkin hidup tanpa membutuhkan topangan
sesama manusia lain selain dirinya.
M elihat hubungan-hubungan jejaring usaha yang dibangun
oleh para pedagang, khususnya mereka yang dilibatkan dalam
penelitian ini, setidaknya ditemukan adanya hubungan kemitraan yang
dibangun antara sesama pedagang (distributor) dengan pedagang
pengecer, maupun pedagang dengan konsumen.
Hubungan kemitraan yang dibangun antara pedagang dengan
pedagang, baik dalam kapasitas sebagai distributor dan pedagang
pengecer, adalah untuk mendapatkan bahan baku (bahan jualan).
Seperti om Yon Flory, untuk mendapatkan barang-barang jualannya, Ia
akhirnya membangun jejaring kemitraan dengan pengurus koperasi
tentara yang ada di Akediri pusat pengungsian di pedalaman Jailolo
Demikian juga dengan ibu Safiani ode, membangun hubungan
dengan salah satu distributor barang di Ternate untuk memasok
barang-barangg perabotan rumah tangga. Hal yang sama juga
dilakukan oleh ibu Rohani M . Ahmad, baik dengan distributor di
Ternate maupun yang ada di M anado. Begitu juga dengan Alimin Sabri,
ketika menetap dan berjualan di Akediri,Ia membangun jejaring
kemitraan dengan salah satu distributor di Ternate.
Hubungan kemitraan (jejaring) usaha sebagai mana di
kemukanan itu, memiliki kemiripan dengan pandangan yang di
kemukakan oleh Yuyus Suryana et.al.(2010:164). Dimana seorang
194
J ejaringdanK ewirausahaan
wirausaha tidak dapat hidup dan berusaha sendiri, Ia membutuhkan
topangan pihak lain di luar dirinya.
Berangkat dari kenyataan itulah, akhirnya mereka membangun
hubungan baik dengan pemasok, pelanggan, maupun pedagang
perantara.
Hubungan kemitraan yang terbentuk antara para pedagang ini,
dapat dikategorikan ke dalam tipologi jejaring kemitraan yang
dibangun atas dasar kesamaan orientasi dan tujuan, yang oleh
W oolcock (1998a dalam Hamidreza.et.al, 2012) disebut sebagai
bridging social capital.
Dimana tipologi ini menunjukan pada
hubungan yang berbeda antara komunitas namun memiliki kesamaan
tujuan. Sedangkan prinsip pengorganisasian sangat terbuka, karena
didasarkan pada prinsip yang universal seperti kebebasan, kesetaraan,
nilai dan norma. M elalui model modal sosial inilah para pedagang
mendapat baik akses pengadaan barang dagangan, maupun informasi
dan pengetahuan, dan lebih dari itu dapat menciptakan bisnis yang low
cost. Kedua hal inilah yang memungkinkan terwujudnya kemitraan
yang baik, sebagai akibat tingginya partisipasi dan saling
menguntungkan, seperti dikemukakan oleh Hasbullah Jousairi
(2006:10).
M emang tidak mudah untuk membangun suatu jejaring
kemitraan usaha. Hal itu melibatkan berbagai kapital-kapital, baik
modal material (uang atau aset) maupun non material. M odal non
material yang dimaksud antara lain, adanya dukungan timbal balik
antara sesama anggota (resiprocity), adanya partisipasi, yang didasarkan
pada prinsip kesukarelaan (voluntary), kesamaan (equality),kebebasan
(freedom), keadaban (civility) dan kepercayaan (trust) sebagai yang
mutlak ada dan mengikat. Hasbullah (2010:9-11), Soegijono S.Pieter
(2011:275).
Kesamaan orientasi dan tujuan antara sesama pedagang,
memungkinkan jejaring usaha yang mereka bangun terus
dipertahankan. Keterpenuhan berbagai kebutuhan hidup dan
kemandirian ekonomi, mendorong masing-masing pihak berusaha
195
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
untuk memenuhi apa yang menjadi kewajiban dan haknya, dengan
trust sebagai landasannya.
Pentingnya kepercayaan dalam suatu kemitraan, menjadi
kesadaran para informan seperti, ibu Rohani M .Ahmad bisnis hanyalah
persoalan bagaimana menjaga lidah (kepercayaan). Artinya ketika ada
rasa saling percaya dalam kemitraan itu, hal ini akan memudahkan
pihak yang membutuhkan bahan baku (bahan jualan).
Dimana bahan-bahan tersebut dapat diambil, atau dikirim,
walau belum disertai dengan membayar secara langsung (utang), dan
baru dibayar setelah terjual, atau dilunasi pada waktu yang disepakati
bersama,umumnya kesepakatan itu sifatnya informal.
Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Lawang
Robert.M.Z di katakan bahwa :
“semakin tinggi saling percaya antara mereka yang bekerja,
semakin kurang risiko yang di tanggung, dan semakin
kurang pula biaya (uang atau sosial) yang dikeluarkan”
(2005:47)
Sikap saling percaya yang nampak dari hubungan jejaring usaha
yang dibangun oleh para informan ketika menjalankan usaha,
didasarkan oleh rasa saling percaya akan adanya perlakuan imbal balik
sebagai konsekuensi kemitraan. Atas dasar prinsip itulah suatu jejaring
usaha yang dibangun dan menentukan, akan berjalan langgeng atau
kemudian berhenti, tergantung pada kemampuan semua pihak yang
terlibat dalam urung rembuk itu menjalankan kewajibannya.
Inilah yang oleh M ollering, dalam Lawang Robert M .Z.
(2005:47), bahwa trust dilihat sebagai kepercayaan bersyarat, dimana
para distributor berani memberikan barangnya kepada pedagang
pengecer seperi om Yon, ibu Safiani, ibu Rohani, maupun Alimin
Sabri. Sebab mereka dipandang mampu dan mempunya niat baik, dan
dipercaya akan bertindak sesuai dengan apa yang mereka harapkan.
Dengan membangun jejaring kemitraan usaha dimana terdapat
trust, kebutuhan masing-masing pihak dapat terpenuhi, tanpa
196
J ejaringdanK ewirausahaan
mendahulukan uang sebagai modal utama dalam perekonomian
konvensional.
Sehingga walau dalam kondisi rentan, pertukaran dapat terjadi.
Seperti pada beberapa kasus yang dialami oleh ibu Rohani, Safiani
Ode, maupun Alimin Sabri.
Hal itu dapat terjadi apabila ada rasa saling percaya trust yang
kuat dalam jejaring tersebut. Dengan demikian disadari bahwa untuk
dapat bertahan dalam bisnis informal seperti ini rasa saling percaya
menjadi utama, dan karena itu akan terus dipelihara dalam bentuk
kepatuhan menjaga keseimbangan dalam keterpenuhan akan hak dan
kewajiban.
Inilah ciri yang umunya ditemukan dalam hubungan timbal
balik, aktifitas dagang yang dikategorikan sebagai bidang usaha
informal. Pada ranah itulah kerapkali pertukaran dan perjanjian yang
dibuat antara masing-masing pihak, juga terjadi secara informal.
Dimana perjanjian-perjanjian di ikat atas asas saling percaya.
W alau demikian adanya, langkah itu dapat mengikat dan
melanggengkan kelangsungan usaha. Dalam hal inilah para pedagang
dalam bermitra, lebih mengarah pada hubungan kemitraan yang saling
menopang, dan menghindari kompetisi (Soegijono S.Pieter,2011:275).
Kemudahan mengambil barang, dan pembebasan biaya angkut
kapal, serta kepatuhan memenuhi kewajiban menjadi bukti bahwa
modal sosial yang kuat yang dilandasi trust, yang diwujudkan dalam
respon yang saling menguntungkan.
Akan bermanfaat bagi pembangunan ekonomi rumah tangga,
dan pembangunan perkonomian suatu daerah, dalam lingkup yang
lebih luas ialah Negara.
Kesamaan Kepercayaan (religious beliefs)
Seperti halnya untuk mendapatkan bahan baku, para pedagang
membengun usaha dengan pedagang distributor barang, baik yang
berada di Ternate, M anado maupun pada aras lokal di Jailolo. M elalui
197
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
jejaring usaha yang diabangun itu, memungkinkan terjadinya
pertukaran yang tidak mengedepankan modal materil (uang).
Semua ini hanya dapat terjadi apabila terdapat rasa saling
percaya, sebagai prasyarat mutlak berdiri dan bertahannya suatu
hubungan kemitraan.
Untuk mendapatkan jejaring konsumen
masing-masing pedagang menjalankan strateginya. Salah satunya
ialah, melalui pendekatan kepercayaan (agama/aliran kepercayaan).
Contohnya om Yon Flory. Ia adalah anggota masyarakat desa Tedeng
Kecamatan Jailolo.
Om Yon beragama Kristen dan terdaftar sebagai
anggota dari salah satu gereja reformis yakni, Gereja M asehi Injili di
Halmahera (GM IH) yang ada di desanya.
Ketika Ia berdagang di Akediri, om Yon kemudian berpindah
keanggotaan gereja dari Tedeng desanya ke Akediri dan mendaftar
pada aliran kepercayaan yang sama di desa tersebut. Jadi sebagai
masyarakat om Yon terdaftar dan menetap di desa Tedeng, sedangkan
sebagai anggota gereja, Ia terdaftar di jemaat GM IH Ebenhaezer
Akediri, sebagai salah satu aliran kekristetan yang mayoritas di desa
ini.
Ternyata om Yon tidak hanya terdaftar sebagai anggota jemaat
biasa, melainkan Ia pernah terpilih menjadi M ajelis Jemaat 2. Tidak
hanya itu dengan mandat tugas pelayanan yang Ia miliki,
menghantarakan om Yon pada berbagai perjumpaan dengan warga
jemaatnya. Selain terlibat dalam urusan pelayanan rutin ibadah, Ia juga
berperan aktif dalam usaha pembangunan gedung gereja baru GM IH
Ebenhaezer Akediri.
Dengan mata pencaharian sebagai pedagang, kedudukan dan
peran om Yon dalam jemaat (warga gereja) dan masyarakat sangat
strategis berdampak terhadap usahanya. Dapat dikatakan bahwa
dengan keputusan menjadi bagian dari warga Gereja GM IH
Ebenhaezer Akediri, dapat dilihat bahwa dengan itu om Yon telah
2
Majelis Jemaat, adalah orang yang dipilih dan ditetapkan melalui persidangan jemaat,
untuk membantu pelayan khusus (Pendeta) dalam menjalankan tugas-tugas pelayanan.
Baik memimpin ibadah, maupun mengorganisir kegiatan fisik lainya.
198
J ejaringdanK ewirausahaan
membangun jejaring usaha dan mendapatkan konsumen tetap di
Akediri. Inilah yang oleh W oolcock (1998a dalam Hamidreza.et.al,
2012) disebut sebagai bonding social capital. Tipologi modal sosial ini
lebih menunjuk pada hubungan antara orang-orang yang memiliki
kesamaan komunitas, sehingga hubungan sosial yang terbangun lebih
eksklusif atau tertutup. Dalam kasus pedagang kecil di Akediri seperti
Om Yon Ia memanfaatkan oragnisasi gereja untuk membangun basis
konsumen, begitu juga dengan ibu Rohani M Ahmad, membangun
basis konsumen berdasarkan latar profesi yang dimiliki suaminya yakni
Tentara.
Sehingga melalui kesamaan identitas itulah Om Yon akhirnya
bersedia memberi dukungan dalam bentuk utang baik materi (uang)
maupun bahan-bahan kebutuhan konsumsi rumah tangga, kepada para
tukang yang bekerja membangun gedung gereja baru. Hal itu sematamata merupakan bagian dari strategi Om Yon membangun basis
konsumen untuk mempertahankan kelangsungan usahanya.
Inilah yang oleh penulis disebut sebagai strategi integrasi.
Artinya dengan menjadi bagian dari warga jemaat GM IH Ebenhaezer
Akediri, cara ini dapat dilihat sebagai trik untuk memperluas jejaring
konsumen, dan mengikatnya dengan insentif utang.
Strategi integrasi seperti ini, tidak hanya di lakukan oleh om
Yon sendiri. Seperti Alimin Sabri misalnya, ketika masuk dan berjualan
di Akediri Ia pun mengintegrasikan dirinya menjadi bagian dari
masyarakat dan jamaah muslim di Akediri.
Selain menjadi bagian dari komunitas Akediri, Alimin dan
teman-teman pedagang muslim lainya, juga kerap mengambil bagian
dalam kerja–kerja sosial baik di masyarakat, mesjid, dan juga gereja.
Seperti bakti kampung, di mesjid, maupun di gereja. Partisipasi mereka
tidak hanya dalam bentuk tenaga, melainkan juga dalam bentuk donasi
uang, dalam jumlah yang tidak ditentukan.
199
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
Jejaring Sebagai M anifetasi Social Capital
Jika berbicara social capital, intinya tertuju pada bagai mana
kemampuan interaksi timbal balik dalam suatu masyarakat, baik antar
individu, maupun kelompok, baik itu agama, dan suku. Hubunganhubungan yang terbangun antara subjek-subjek itulah, yang pada
umumnya oleh kebanyakan orang dianalogikan sebagai jaring.
Sebagai makhluk sosial, tentu manusia tidak dapat hidup
seorang diri, atau tidak membutuhkan orang lain, di luar dirinya.
Rasanya tak mungkin terjadi, apalagi dalam kaitan dengan
kewirausahaan. Seorang wirausaha membutuhkan orang laindalam
menjalankan usahanya. Karena itu ia harus membangun hubungan
dengan orang lain.
Baik dengan distributor sebagai pemasok bahan baku,
pelanggan, maupun pihak-pihak lain yang memiliki keterkaitan
dengan profesinya. Dari hubungan-hubungan sosial yang dibangun,
baik sebagai komunitas bisnis, religi, komunitas suku yang
dianalogikan sebagai sebuah jaring (alat tangkap) atau jejaring (ikatan
sosial).
Jika berangkat dari analogi jaring atau jejaring, setidaknya ada
dua hal utama yang penting untuk diperhatikan antara lain, simpul
dan ikatan. M elalui simpul-simpul dan ikatan itulah terbentuklah apa
yang dinamakan jaring atau jejaring. Suatu jarring atau jejaring yang
baik apabila simpul-simpul dan ikatan-ikatan itu terkait dengan baik.
Dalam kaitan dengan jejaring usaha, simpul-simpul itu
menggambarkan relasi antara individu, atau komunitas, yang ditopang
dengan nilai,norma, dan kepercayaan di dalamnya. Akankah jejaring
itu dapat berfungsi sebagai social capital apabila komponen-komponen
dalam jaringan tersebut berfungsi dengan baik.
Jejaring kemitraan yang dibangun oleh om Yon, dengan
pengurus koperasi tentara, para distributor, maupun denga konsumen,
baik yang dilakukan oleh ibu Rohani, Safiani, alimin dan bu Damis
Pasuma. M erupakan manifestasi social capital yang baik. Sejalan
200
J ejaringdanK ewirausahaan
dengan itu Fukuyama (2002) menekankan bahwa pada mereka yang
memiliki jejaring dan norma atau nilai informa, pertukaran yang
terjadi cenderung tidak mengedepankan keuntungan ekonomis,
melainkan merasakan keterlibatan dalam suatu hubungan adalah
utama. Inilah yang memungkinakan pedagang kecil di Akediri dapat
membangun usaha walau memiliki keterbatasan modal ekonomik,
tetapi dengan memiliki sosial kapital yang kuat keterbatasan finasial
dapat teratasi.
Artinya bahwa, adanya partisipasi, hubungan timbal balik
(resiprocity), dan kepercayaan antara sesama anggota, yang dilandasi
oleh nilai-nilai dan norma-norma yang disepakati bersama dalam suatu
jejaring kemitraan. Karena itu Robert Lawang, menegaskan bahwa
inti dari analogi jaring atau jejaring adalah pada kerja, bukan pada
aspek jaringnya (Lawang Robert. 2005:61-62).
Kemampuan untuk memenuhi prasyarat dalam suatu
kesepakatan kemitraan, menjadikan jejaring kemitraan tersebut dapat
bertahan. (Hasbullah,2006:9-16; Suryana Yuyus.et.al. 2010:164-174).
Fungsi Jejaring Dalam Kewirausahaan
Fungsi Informatif
Bukanlah sesuatu yang lazim lagi, bahwa kehidupan manusia
dan kebutuhan akan informasi terlebih di zaman ini, menjadi sangat
penting. Nampaknya kenyataan itulah yang mungkin menyebabkan
orang beranggapan bahwa, siapa menguasai informasi dia menguasai
dunia.
Dengan mengatakan begitu, penulis hanya berniat untuk
menekankan bahwa manusia dan kebutuhan akan informasi bagi
kelangsungan hidupnya memiliki peran strategis.
Sebab dengan mengetahui (informasi) akan sesuatu hal terlebih
dahulu, akan membantu manusia menentukan langkah tepat untuk
suatu keputusan bagi dirinya dan juga orang lain. Intinya dengan
mengetahui lebih awal informasi terkait dengan keputusan akan suatu
201
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
hal, diharapkan dapat meminimalisir resiko kegagalan, dan sebaliknya
mengharapkan suatu keberhasil.
Secara khusus dalam bagian ini akan dilihat bagaimana peran
jaringan dan pemenuhan kebutuhan informasi untuk kelangsungan
usaha. Aktifitas berdagang memiliki keterkaitan dengan berbagai
aspek yang strategi seperti, informasi peluang usaha, modal, perijinan
atau apapun yang berkaitan dengan aktifitas dagang.
Terkait dengan penelitian ini, para pedagang yang dilibatkan
sebagai informan, juga melakukan langkah-langkah yang sama, dimana
untuk mengetahui peluang usaha, akses terhadap modal maupun
kebutuhan lainya didapat melalui jaringan yang mereka peroleh.
Baik melalui pertemanan dengan sesama pedagang (bridging
social capital) keluarga atau komunitas agama (bonding social capital),
maupun dengan membangun jejaring dengan oknum maupun institusi
terkait di pemerintahan (lingking social capital) W oolcock (1998a
dalam Hamidreza.et.al, 2012)
Seperti Alimin Sabri, Ia mengetahui peluang usaha di pasar
Akediri melalui jejaring pertemanannya dengan sesama pedagang asal
Gorontalo, yang telah duluan berjualan di pasar tersebut. Berbekal
informasi itulah akhirnya Ia memutuskan untuk migrasi dari Ternate
dan akhirnya memilih dan menetap di Akediri untuk berdagang.
Demikian juga dengan bu Damis Pasuma, ketika
membutuhkan tambahan modal usaha Ia tidak mempunyai jejaring
dengan instansi penyedia pinjaman modal usaha. Tetapi berbekal
pertemanan yang Ia bangun dengan sesama pedagang, akhirnya Ia
mengajukan proposal pinjaman modal usaha ke Dinas Koperasi Dan
UM KM Kab. Halmahera Barat, setelah Ia mendapat informasi dari
rekan-rekan seprofesi.
M enurut Anderson et.al sebagaimana dalam Lawang Robert
(2005:69), jaringan sebagai fungsi informasi, berfungsi member
informasi kepada pedagang, terkait peluang maupun masalah terkait
kegiatan usahanya. Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam kapasitas
sebagai informasi, hal itu dapat dilihat dalam pengertina sebagai
202
J ejaringdanK ewirausahaan
pelumas(lubricant) atau peluang (opportunity). Artinya bahwa setiap
informasi yang didapat melalui jejaring itu, diperoleh, dengan tidak
mengeluarkan biaya yang terlalu besar.
Hal inilah yang dialami dan yang dirasakan oleh para pedagang
seperti Alimin, bahwa untuk mengetahui peluang usaha di Jailolo,
khususnya pasar Akediri, Ia tidak membutuhkan biaya besar untuk
melakukan survey ke Jailolo. M elainkan melalui hubungan yang baik
dengan rekan-rekan pedagang yang sudah lebih duluan berjualan di
Akediri, Ia memperoleh informasi dengan harga yang jauh lebih
murah.
Kemudahan Akses Terhadap Peluang
Sebagai manusia, khususnya pedagang tentu Ia tidak dapat
memenuhi kebutuhannya sendiri, terlepas dari orang lain. Kesadaran
itulah yang akhirnya mendorong pada informan membangun jejaring
usaha, baik dengan mereka selaku distributor barang, maupun dengan
pelanggan dan pihak lain yang memiliki keterkaitan dengan kegiatan
usaha.
M enurut Putnam (dalam Adler and W oo, tanpa tahun) sosial
kapital memfasilitasi adanya kerjasama dan koordinasi untuk
keuntungan bersama. Keterbatasan akses terhadap sumber bahanbahan dagangan dan keterbatasana modal usaha, menjadi dorongan
kuat para pedagang membangun kemitraan dengan pihak lain yang
memiliki kesamaan kepentingan. Pada aras inilah jejaring memiliki
peran untuk kemudahan akses peluang usaha.
Inilah yang terjadi dan dilakukan oleh para informan yang
menjadi objek penelitian ini. Seperti ibu Safiani Ode, melalui jejaring
yang bisnis keluarganya, Ia akhirnya direkomendasi oleh pamanya
untuk membangun kemitraan dengan salah satu distributor barang
yang menjadi langganan pamanya itu. Berbekal informasi tersebut dan
konsistensi yang ditunjukan ibu Safiani dalam berbelanja, akhirnya
kemitraan di antara mereka bisa terbangun.
203
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
Karena itu Ia kemudian memperoleh kemudahkan dalam
memperoleh bahan baku (barang jualan), dan kemudahan mengangsur
harga barang yang Ia ambil untuk di jual kembali.
Demikian juga dengan Alimin Sabri, melalui jejaring usaha
yang dibangun dengan para distributor barang yang berada di Ternate.
Ia akhirnya bisa memperoleh akses atau peluang untuk mendapatkan
bahan baku dengan mudah dan dengan biaya yang jauh lebih murah.
Betapa tidak, melalui kemitraan itu Alimin hanya dengan memesan
barang pada distributor langganan di Ternate, Ia kemudian tinggal
menjemputnya di pelabuhan Jailolo, ketimbang Ia harus berbelanja
langsung ke Ternate.
M elalui jejaring usaha tersebut, Alimin Sabri dapat mengambil
bahan baku atau barang dagangan terlebih dahulu, dan baru akan
dibayar kemudian sesuai kesepakat bersama.
Begiti juga dengan ibu Rohani M .Ahmad. M elalui kemitraan
yang Ia bangun dengan para distributor barang baik di Ternate,Bitung
maupun M anado, Ia memperoleh akses atau peluang untuk mengambil
barang, atau memesan barang terlebih dahulu, dan baru akan dibayar
kemudian sesuai perjanjian yang disepakati.
Hal yang sama juga dilakukan oleh om Yon dan bu Damis
Pasuma, dimana untuk mendapatkan barang dagangan mereka
akhirnya membangun kemitraan dengan pengurus koperasi tentara.
Sehingga melalui jaringan itulah mereka bisa memperoleh barang
dagangan dan bahan dasar konsumtif rumah tangga dengan mudah,
dan resiko yang jauh lebih rendah.
Fungsi jaringan ternyata tidak hanya terbatas pada akses untuk
memperoleh barang semata. M elainkan juga melingkupi akses terhadap
modal usaha. Kenyataan yang dialami oleh para pedagang
membukitkan pernyataan tersebut benar adanya.
Selain dipandang mampu atau memiliki usaha yang produktif,
akses terhadap penambahan modal usaha ke bank, ternyata tidak
terlepas dari adanya peran jaringan. Akses terhadap modal bank, yang
terkesan mudah oleh om Yon Flory, karena Ia memiliki akses dengan
204
J ejaringdanK ewirausahaan
pihak bank melalui salah satu ponakannya yang bekerja di bank
tersebut.
Dengan kapasitas sebagai tim perkreditan, hal ini
mempermudah om Yon dalam pengurusan, bahkan segala pengurusan
di bank menjadi tanggungjwabnya, sedangkan Ia berkewajiban
memenuhi persyaratan atministrasinya.
Terkait akses terhadap modal bank, ibu Rohani juga memiliki
cerita yang sama. Ketika Ia mamutuskan untuk menambah modal
usaha dari pihak perbankan, Ia tidak mengalami kendala, selain karena
usahanya yang ada dan rencana pengembangan usaha yang dipandang
memiliki prospek yang baik. M enurut ibu Rohani, suaminya memiliki
hubungan pertemanan dengan kepala bank Pembangunan Daerah
M aluku yang ada di Jailolo.
Lebih lanjut ibu Rohani menuturkan bahwa, jauh sebelum
mereka mengajukan pinjaman, pimpinan bank tersebut sudah
mengajukan tawaran kepada suaminya untuk menambah modal usaha.
Jadi ketika ibu Rohani mengajukan pinjaman ke bank tersebut,
pengajuan kredit usahanya tidak terlalu sulit dan bahkan tidak sampai
sebulan permohonan itu sudah dicairkan.
M enurut Anderson et.al dalam Lawang Robert (2005:49).
Selain memiliki fungsi informatif, jaringan juga memiliki fungsi akses
atau peluang. Artinya bahwa, melalui jaringan para pedagang bisa
memperoleh peluang atau kesempatan untuk mendapatkan barang
maupun modal dari mitranya yang tidak dapat Ia penuhi sendiri.
Dasar dari fungsi-fungsi jaringan tersebut adalah kepercayaan.
para distributor berani memberi barang tanpa membayar terlebih
dahulu, karena dilandasi percaya. M ereka percaya bahwa jaringan
kemitraan yang dibangun dengan orientasi dan tujuan yang sama akan
mendorong individu-individu yang bermitra untuk tidak bebuat
oportunisme.
Begitu juga sebaliknya dengan pihak bank, selain para nasabah
memiliki kemampuan likuiditas. Namun sulit disangkal pulah bahwa
peran kemitraan dalam jaringan baik sebagai individu maupun dalam
205
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
kapasitas sebagai nasabah dan institusi pemberi modal, turut andil
memproduksi apa yang disebut kepercayaan sebagai dasar dari suatu
perjanjian.
Kombinasi, Konversi Usaha Dan Penggadaan Tempat Usaha, Cara
M eningkatkan Pendapatan
Sudah menjadi tujuan dari setiap orang yang terjun dalam
dunia usaha, tentunya menginginkan pendapatan yang tinggi, atau bila
mungkin sebesar-besarnya. Untuk mencapai tujuan tersebut tentu
membutuhkan cara atau strategi untuk mencapainya.
Dari percakapan dan amatan yang penulis lakukan, diketahui
bahwa pertama-tama untuk meningkatkan pendapatan, para pedagang
mengkombinasikan usaha mereka. M ereka tidak bergantung pada satu
usaha semata. Seperti bu Damis Pasuma, usaha dagang yang Ia jalani
pertama adalah sembako (Sembilan bahan pokok), kemudian Ia
merambah ke bisnis kopra, dan usaha transpotasi angkut barang.
Begitu juga dengan ibu Rohani, berawal dari bisnis kayu
olahan, kemudian merembah ke usaha sembako, bisnis kopra, dan
bisnis materian bahan bangunan. Jika dibandingkan dengan rekanrekan mereka yang lain, berdasarkan aset tangible yang mereka miliki
sebagai ukuran kemampuan usaha. Nampaknya keduanya memiliki
kemampuan lebih dari lima rekan lainya.
M enurut pengakuan usi Teker nama panggilan dari istrinya
bu Damis Pasuma bahwa, jika mereka hanya bergantung pada usaha
sembako, hal itu tidak mungkin bisa membuat mereka mampu
membeli mobil baik untuk usaha maupun keperluan pribadi, dan
membangun rumah. Tetapi ketika memulai usaha sembako, mereka
kemudian merambah ke bisnis kopra, dan dari keuntungan kedua
usaha itu kemudian diinvestasikan ke bisnis angkut barang yakni,
mengadakan truk angkut melalui cara kredit (Lihat bab empirik).
Dengan melakukan cara inilah, minimnya pendapatan pada
bisnis yang lain akan di siasati dari pendapatan usaha yang lain pula,
206
J ejaringdanK ewirausahaan
dengan demikian terjadi silang modal untuk menopang usaha yang
devisit pendapatannya.
Tegas bu Damis bahwa, jika mereka hanya mengandalkan
pendapatan dari satu jenis usaha, mungkin mereka sudah tutup usaha
ketika direlokasi ke pasar Akelamo. Dengan pendapatan bisnis
sembako yang makin menurun ketika itu bukan tak kebangkrutan
menjadi cerita akhir usaha mereka.
Tetapi dengan melakukan kolaborasi usaha bisnis sembako
dapat dipertahankan dan makin meningkat setelah mereka kembali ke
pasar Akediri. Dengan kolaborasi usaha yang baik kini, selain
memiliki 1 unit rumah permanen, mereka juga memiliki 1 unit mobil
sedan Xover, 1 unit mobil Zusuki pic up, 1 unit Hondal M egapro, 1
unit Yamaha Vixsion, 1 unit motor Zusuki Satira, dan tiga truk angkut
yang sudah menjadi milik mereka, alias sudak lunas dalam rentang
waktu 10 tahun membangun usaha (Lihat bab empirik).
Keputusan untuk melakukan kolaborasi usaha juga dilakukan
oleh ibu Rohani dan suaminya. Sebelum menekuni bisnis sembako,
awalnya mereka berbisnis kayu olahan, karena keterlibatan pa Agus
dalam pengurusan barang-barang koperasi tentara, akhirnya mereka
memutuskan untuk terjun kebisnis sembako.
Dari berdagang sembako itulah kemudian mereka merambah
ke bisnis kopra dan akhirnya ke usaha penjualan bahan-bahan material
bangunan. Penambahan jenis usaha selalu mengikuti peluang usaha.
Contohnya bisnis kopra, usaha itu disarankan oleh petani, karena
dengan berbisnis kopra mereka dapat mengambil material bangunan
dan kemudian membayar dengan cara menjadi langganan kopra,
sehingga kopra akan di juala ke mereka. Tahapan demi tahapan usaha
yang di raih, tentu merupakan akumulasi dari keuntungan-keuntungan
beberapa usaha sebelumnya yang kemudian diinvestasikan kembali
untuk membangun usaha yang baru.
Dengan begitu kata ibu Rohani, mereka mampu menambah
usaha, sehingga keuntungan usaha selalu meningkat (Lihat bab
empirik). Karena memiliki kemampuan untuk dan berhasil
207
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
mengkombinasikan beberapa usaha, berdaraskan pengamatan dan
percakapan penulis dengan ibu Rohani, kini selain memiliki 1 unit
rumah permanen berlantai dua, mereka juga memiliki 1 unit mobil
sedan Nissan untuk urusan pribadi, dan 1 unit motor metic sebagai aset
tangible.
Strategi kombinasi usaha yang dilakukan oleh bu Damis dan
ibu Rohani, adalah bagian dari cara mereka merespon peluang usaha
yang ada. Dimana standar untuk membuka suatu usaha yang baru
adalah adanya permintaan, atau tinggingnya konsumen.
Langkah mengkombinasikan usaha juga pernah dilakukan oleh
om Aba maupun om Yon Flory. Namun langkah tersebut pupus di
tengah jalan. Di awal usaha om Yon selain berdagang sembako, Ia juga
menggeluti bisnis kopra. Selain itu Ia juga mencoba berkompetisi di
bidang kontraktor, sebagai sub kontraktor pembangunan fisik beberapa
program pemerintah. Namun langkah itu tidak dapat diteruskan,
kendaraan yang Ia miliki baik untuk menopang bisnis sembako
maupun untuk usaha angkut barang semuanya di jual, dan kini Ia
kembali dan konsentrasi pada bisnis sembako (Lihat bab empirik).
Seperti om Yon, om Aba juga melakukan mencoba
mengkombinasi bisnis pakaian dan usaha penanaman rica dan tomat.
Hal itu Ia lakukan ketika di relokasi ke pasar Akelamo. Karena
pendapatan makin menurun, om Aba mencoba untuk terjun ke usaha
pertanian, dengan menanam rica dan tomat, namun karena pendapatan
dari bisnis pakaian dipakai untuk memnuhi kebutuhan sehari-hari dan
sebagian di investasikan ke usaha pertania, akhirnya bisnis pakaian
tidak dapat dipertahankan dan akhirnya ditutup.
Setelah bertahan dengan usaha pertanian yang ternyata
merupakan usaha patungan, mengalami goncangan tatkala terjadi
kecurangan dalam pembagian dan pemasaran hasil usaha. Kondisi itu
pada akhirnya berujung pada pecah kongsi usaha, untuk mempertahan
usaha tersebut, akhirnya om Aba berusaha menginvertasikan modal
yang Ia miliki pada bidang usaha penanaman rica dan tomat di Akediri,
namun dalam dua masa tanam berut-turut Ia gagal dan akhirnya
208
J ejaringdanK ewirausahaan
kembali ke pasar membantu
perempuannya (lihat bab empirik).
berjualan
dagangan
saudara
Selain mereka yang mencoba mengkombinasikan usaha namun
gagal ditengah jalan, namun beberapa di antarnya bertahan pada usaha
yang ada sejak semula. Seperti ibu Safiani Ode, Ia memilih untuk
bertahan pada usaha penjualan alat-alat perabotan rumahtangga,
meskipun mendapat tawaran pinjaman modal usaha dari kepala bank
BRI unit Jailolo, yang memiliki hubungan pertemanan.
Alasan mendasar menolah pinjaman modal usaha karena Ia
belum menemukan usaha apa yang akan Ia kembangkan selain bisnis
perabotan yang ada itu, kata ibu Safiani (Lihat bab empirik). karena itu
Ia lebih memilih serius dengan usaha yang ada.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh tante Ratna, bahwa
sejak memulai usaha mereka hanya focus pada usaha sembako, dan
tidak berniat untuk merambah keusaha yang lain.
Dengan
mengandalkan pendapatan pada satu sumber usaha, membuat usaha
tante Ratna mengalami kemunduran, ketika mereka di relokasi ke
pasar Akelamo. Karena kendisi dagang makin menurun akhirnya
mereka memutuskan untuk kembali ke pasar Akediri.
M eskipun sudah berada di Akediri, wilayah dimana mereka
pernah merasakan keuntungan dari usaha yang digeluti itu, keputusan
itu tidak mampu menyehatkan kembali usaha mereka.
Dalam
kesulitan membangkitkan kembali usaha mereka itu, terdengarnya
rencana relokasi kembali pedagang pasar Akediri ke pasar Akelamo,
akhirnya memperkuat terkat tante Ratna untuk mengakhiri bisnis
mereka, dari pada mengalami nasib yang sama pada relokasi
sebelumnya, keluh tante Ratna (Lihat bab empirik).
Selain melakukan kombinasi usaha untuk meningkatkan
pendapatan atau marjin usaha, pedagang juga melakukan penggandaan
tempat usaha. Strategi ini hanya dilakukan oleh ibu Rohani. Selain
memiliki tempat usaha di Akediri ibu Rohani juga membangun dua
tempat udaha di tempat yang berbeda, yakni di kediamanya, dan satu
lagi di tempat tugas suaminya.
209
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
Hal ini mereka lakukan untuk mengisi peluang usaha yang ada
di wilayah-wilayah tersebut. Peluang-peluang tersebut terkadang
datangnya dari dorongan konsumen, seperti bisnis kopra yang mereka
jalani di kecamatan Ibu tempat pa Agus bertugas sebagai anggota
Koramil. Setelah berjualan bahan bangunan di kecamatan Ibu para
konsumen yang mayoritas petani kelapa, menyarankan mereka untuk
berbisnis kopra.
Karena makin banyak desakan-desakan untuk usaha tersebut
akhirnya mereka memutuskan untuk terjun ke bisnis tersebut,
sekalipun bukanlah bidang usaha yang baru bagi mereka. M emiliki
termpat usaha lebih dari satu dan beragam jenis usaha, tentu
berdampak pada naiknya pendapatan, jika dikelola dengan baik.
Namun bersamaan dengan itu, juga memiliki resiko yang besar, karena
melibatkan pihak lain, yang berdampak pada biaya kesejahtraan (gaji)
dan dana operasional, disamping penyimpangan keuangan sebagai
resiko terbesar.
Cara pengembangan usaha dengan melakukan ekspansi
ketempat lain, merupakan bagian dari strategi pengembangan pasar
(market development strategy).
Dimana lebih berorientasi pada
konsumen yang baru di wilayah yang baru, atau disebut pasar geografis
baru (Hsirich et.al. 2008:632). Syarat ekspansi tetaplah mengacu pada
aspek kebutuhan konsumen.
Selain kedua hal tersebut, nampaknya strategi ini memiliki
andil dalam menciptakan ingkam yang besar bagi pedagang yang
memiliki lebih dari satu jenis usaha. Stargei yang di maksud penulis
membahasakannya sebagai strategi “koneksi”.
Yang penulis maksudkan dengan strategi koneksi adalah, dalam
berbisnis pedagang menghubungkan atau mengaitkan satu bisnis
dengan bisnis yang lain melalui strategi utang. Utang memang lazim
dalam dunia bisnis. Orang dengan pendapatan tetap (gaji) tentu
memiliki peluang besar untuk mendapatkan fasilitas utang. Tetapi
memberi utang dengan mengaitkan pembayaranya dengan usaha yang
lain merupakan kekhususan bagi pedagang yang berbisnis sembako,
210
J ejaringdanK ewirausahaan
hasil-hasil perkebunan, seperi kelapa (kopra), kakao (cokelat), pala atau
cengki.
Seperti bu Damis Pasuma, yang jalani bisnis sembako dan bisnis
kopra, yang Ia lakukan adalah mengkoneksikan atau mengaitkan
kedua usaha tersebut dengan memberikan fasilitas utang. Sebagai
contoh, bu Damis akan lebih mudah memberikan fasilitas utang kepada
konsumen yang memiliki hasil kopra, ketimbang yang tidak memiliki
hasil kopra selain gaji.
Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa konsumen
tersebut dapat mengutang bahan sembako atau material bangunan, dan
akan dibayar melalui hasil kopra yang di jual kepada mereka. Di
sinilah letak kemampuan mencipatak inkam, dengan menghubungkan
suatu usaha dengan usaha yang lain.
M elalui cara tersebut, bu Damis tidak hanya berhasil menjual
sembako, dalam harga yang tak tentu sama dengan harga tunai yakni
cenderung di atas harga tunai, Ia juga mendapatkan keuntungan dari
selisih dari pembelian kopra yang Ia beli di bawah dari harga pasaran
pada umumnya. Contohnya minyak kelapa bimoli kemasan 5 Liter,
dijual kontan seharga Rp 68.000, tetapi kalau di utang harganya
menjadi Rp 70.000. Demikian juga dengan harga kopra, kalau harga
pasaran 1 Kg seharga Rp 3000, petani yang mengutang pada bu Damis,
kopranya tentu akan dijual kemereka dengan harga sedikit lebih
rendah dari harga pasaran dapat saja dibeli 1 Kg seharga Rp 2700.
Cara inilah yang juga dilakukan oleh ibu Rohani dan suaminya,
di samping transaksi tunai dan hutang kepada konsumen yang
memiliki pendapatan tetap (gaji) dan hasil perkebunan, seperti kopra.
Dengan mengkoneksikan dua usaha atau lebih, seperti
dilakukan oleh bu Damis dan ibu Rohani, melalui fasilitas utang, dalam
amatan penulis dan pengakuan mereka berdua, dapat meningkatkan
pendapatan melebihi penjualan tunai atau pemberian utang kepada
mereka yang memiliki pendapatan tetap (gaji).
Itulah strategi yang dilakukan oleh masing-masing pedagang
untuk meningkatkan pendapatan mereka. M ereka yang mampu
211
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
melakukan kombinasi usaha, menggandakan tempat usaha, serta
mampu mengkoneksikan berbagai usaha, tentu akan mampu mencapai
pendapatan yang tinggi disbanding rekan mereka yang bertahan pada
satu usaha, satu tempat dan tidak melakukan menkoneksikan satu
usaha dengan usaha lainya.
“Aset”, Jaminan H ari Tua Dan Peubah Status Sosial
Investasi M asa Depan Anak, Jaminan H ari Tua
Setiap orang tentu menginginkan hari depan yang cerah dan
penuh kepastian. Tidak terkecuali para pedagang yang penulis
wawancarai, mengutarakan hal yang sama. M emilih usaha dagang
kecil di wilayah konflik bukan lah persoalan mudah, karena tidak
kebanyakan orang mengambil resiko seperti itu. Hanya orang yang
memiliki keberanian dan kesabaran lah yang dapat bertahan dalam
menghadapi baik tekanan tuntutan rumah tangga, maupun lingkungan
yang tidak stabil.
Sebagai suatu usaha informal, yang diidentik dengan
keterbatasan, ketidak teraturan, dan profit yang rendah. M embuat
sektor ini dipandang sebelah mata, tak jarang menjadi objek, sekaligus
subjek yang banyak mengalami perlakuan tidak adil.
Seperti relokasi pedagang pasar Akediri ke pasar Akelamo,
mereka yang menjadi target penertiban adalah para pedagang kecil
yang tidak memiliki ijin usaha, dan modal terbatas sehingga tidak
memiliki kemampuan untuk membeli lahan tempat usaha. Sebaliknya
pedagang besar dapat bertahan di Akediri, karena mereka memiliki
kemampuan ekonomi (uang) sehingga dapat membeli lahan dan
mengurus ijin usaha.
Pada ranah ini, kemampuan ekonomi yang dimiliki pedagang
menjadi barometer, dalam penentuan suatu kebijakan (Soegiojono
S.Pieter, 2011:280).
Persoalannya apakah benar mereka kecil dan
tidak memiliki kemampuan untuk melakukan investasi jangka atau
212
J ejaringdanK ewirausahaan
tidak mampu mengakumulasi aset dan modal usaha?, inilah yang
terabaikan dari amatan banyak orang, termasuk pengambil kebijakan.
Dengan strategi dan kemampuan meningkatkan pendapatan
yang mereka terapkan membuat mereka berusaha untuk memiliki
tempat usaha dan mengurus ijin usaha. Tidak hanya itu, untuk
kepentingan jangka panjang terutama mempersiapkan kehidupan di
hari tua, pra pedagang menginvestasi sebagian keuntungan usaha
untuk kepentingan pendidikan anak-anak mereka.
Dengan tujuan bahwa, jika anak-anak mereka memiliki
pendidikan yang tinggi, hal itu akan berdampak pada kepastian masa
depan, dan jika hari depan anak-anaknya baik, kehidupan mereka
kelak juga terjamin dibawa asuhan anak-anaknya.
S