Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konstruksi Media Atas Pengibaran Bendera Bintang Kejora T1 362009099 BAB II

(1)

BAB II KAJIAN TEORI

Teori adalah generalisasi yang dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai fenomena secara sistematik (Sugiyono 2005: 41). Karena itu didalam Bab ini penulis akan menjelaskan secara sistematis mengenai generalisasi yang kemudian dijabarkan dalam bentuk konsep dari penelitian yang dilakukan penulis berdasarkan teori-teori dari para sarjana.

2.1. Media Massa

Media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak. Media digolongkan atas empat macam, yakni media antarpribadi, media kelompok, media publik, dan media massa (Cangara, 2007:123). Media massa adalah alat-alat dalam komunikasi yang bisa menyebarkan pesan secara serempak, cepat kepada audience yang luas dan heterogen. Kelebihan media massa dibanding dengan jenis komunikasi lain adalah ia bisa mengatasi hambatan ruang dan waktu. Bahkan media massa mampu menyebarkan pesan hampir seketika pada waktu yang tak terbatas (Nurudin, 2011:9).

Menurut Mc. Luhan (Dalam Rakhmat, 1996:225)media massa adalah perpanjangan alat indera kita (sense extention theory; teori perpanjangan alat indera). Dengan media massa kita memperoleh informasi tentang benda, orang atau tempat yang belum pernah kita lihat atau belum pernah kita kunjungi secara langsung. Realitas yang ditampilkan oleh media massa adalah realitas yang sudah diseleksi. Kita cenderung memperoleh informasi tersebut semata-mata berdasarkan pada apa yang dilaporkan media massa. Media massa melaporkan dunia nyata secara selektif, maka sudah tentu media massa akan mempengaruhi pembentukan citra tentang lingkungan sosial yang bias dan timpang. Oleh karena itu, muncullah apa yang disebut stereotip, yaitu gambaran umum tentang individu, kelompok, profesi atau masyarakat yang tidak berubah-ubah, bersifat klise dan seringkali timpang dan tidak benar. Sebagai contoh, dalam film India, wanita sering ditampilkan sebagai makhluk yang cengeng, senang kemewahan dan seringkali cerewet. Penampilan seperti itu, bila dilakukan terus menerus, akan menciptakan stereotipe pada diri


(2)

khalayak komunikasi massa tentang orang, objek atau lembaga. Disini sudah mulai terasa bahayanya media massa. Pengaruh media massa lebih kuat lagi, karena pada masyarakat modern orang memperoleh banyak informasi tentang dunia dari media massa..

Menurut DeFleur dan McQuail (1987), media massa juga memiliki beberapa bentuk, yang diantara nya ialah:

a. Cetak/Visual

Bentuk yang satu ini memiliki ciri khas dibanding media massa lainnya. Meskipun merupakan media cetak, namun khalayak yang diterpa bersifat aktif. b. Radio/Audio

Radio merupakan media massa elektronik yang bersifat audio (didengar). c. Televisi/Audio Visual

Media ini merupakan bentuk komunikasi massa yang paling populer. Televisi memiliki kelebihan dari media massa lainnya, yaitu bersifat audio visual (didengar dan dilihat), sehingga pengaruh yang disebarkan makin besar pula serta lebih efektif.

d. Film bioskop

Media ini memiliki fungsi dan sifat mekanik/nonelektronik, rekreatif, edukatif, persuasif atau non informatif.

e. Internet

Internet merupakan media baru dimana khalayak dapat memilih sesuka hati informasi yang mereka sukai. Internet merupakan media massa, meskipun bersifat interaktif.

Denis McQuail (1987) mengemukakan sejumlah peran yang dimainkan media massa selama ini, yakni:

a. Industry pencipta lapangan kerja, barang dan jasa serta menghidupkan industry lain terutama dalam periklanan/promosi

b. Sumber kekuatan, alat kontrol, manajemen dan inovasi masyarakat. c. Lokasi (forum) untuk menampilkan peristiwa masyarakat.

d. Wahana pengembangnan kebudayaan tata cara, mode, gaya hidup dan norma.

e. Sumber dominan pencipta citra individu, kelompok dan masyarakat, (Sukendro, 2010).


(3)

Sistem Operasi Media Massa dan Konstruksi Realitas Politik

Salah satu faktor yang memberi pengaruh signifikan terhadap proses pembuatan atau pengkonstruksian realitas politik hingga jenis opini yang terbentuk adalah system media massa dimana sebuah media menjalankan operasi jurnalistiknya. Seperti apa konstruksi realitas politik yang dibentuk oleh sebuah media pertama-tama dipengaruhi oleh kehidupan system politik dimana media massa menjadi salah satu subsistemnya. Walaupun demikian, media massa memiliki kekuatan tersendiri dalam mempengaruhi system politik sehingga hubungan antara keduanya biasanya ditandai olehbentuk dan kebijakan politik sebuah negara menentukan pola operasi media massa di negara itu, mulai dari kepemilikkan, tampilan isi, hingga pengawasannya (McNair, 1995).

Keikutsertaan media massa dalam mengubah sebuah system politik tiada lain adalah melalui pembentukkan opini publik atau pendapat umum (public opinion) yaitu upaya membangun sikap dan tindakan khalayak mengenai sebuah masalah politik dan aktor politik (Nimmo dan McNair, 1995). Dalam kerangka ini media menyampaikan pembicaraan-pembicaraan politik (political talks) kepada khalayak. Bentuk pembicaraan politik tersebut dalam media antara lain berupa teks atau berita politik yang lagi-lagi didalamnya terdapat pilihan symbol politik dan fakta politik. Karena kemampuan ini pula media massa sering dijadikan alat propaganda dalam komunikasi politik. Bahkan karena peranannya ini, komunikasi politik sering diidentikkan dengan propaganda (Hamad, 2004:7-9).

2.2. Komunikasi Politik

Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal dari kata Latin communis yang berarti “sama”, communico, communication, atau

communicare yang berarti “membuat sama” (to make common). Kata lain yang mirip dengan komunikasi adalah komunitas (community) yang menekankan kesamaan atau kebersamaan. Beberapa definisi mungkin terlalu sempit, misalnya “Komunikasi adalah penyampaian pesan melalui media elektronik”, atau terlalu luas, misalnya “Komunikasi adalah interaksi antara dua makhluk hidup atau lebih,” sehingga para peserta komunikasi ini mungkin termasuk hewan, tanaman, dan bahkan jin (Deddy Mulyana, 2007:46).


(4)

Carl I Hovland (Dalam Mulyana, 2007:68) mendefinisikan komunikasi adalah proses yang memungkinkan seseorang (komunikator) menyampaikan rangsangan (biasanya lambang-lambang verbal) untuk mengubah perilaku orang lain (komunikate). Hovland juga mengungkapkan bahwa yang dijadikan objek studi komunikasi bukan hanya penyampaian informasi, melainkan juga membentuk pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (public attitude) yang dalam kehidupan sosial dan kehidupan politik memainkan peran yang amat penting.

Menurut Deddy Mulyana (2007), proses komunikasi dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu:

a. Komunikasi Verbal

Symbol atau pesan verbal adalah semua jenis symbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan wicara yang kita sadari termasuk kedalam kategori pesan verbal, yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan.

b. Komunikasi Non-Verbal

Secara sederhana pesan non verbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata. Menurut Larry A Samovar dan Richard E Porter, komunikasi non verbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai pesan potensial bagi pengirim atau penerima (Mulyana, 2000:237).

Harold Laswell (Mulyana, 2007): “(Cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut) Who, Says What, In Which Channel, To Whom, With What Effect?” Atau Siapa Mengatakan Apa Dengan Saluran Apa Kepada Siapa Dengan Pengaruh Bagaimana?

Berdasarkan definisi Laswell ini dapat diturunkan lima unsur komunikasi yang saling bergantung satu sama lain, yaitu: pertama, sumber (source), sering disebut juga pengirim (sender), penyandi (encoder), komunikator (communicator), pembicara (speaker), atau


(5)

kebutuhan untuk berkomunikasi. Sumber boleh jadi seorang individu, kelompok, organisasi, perusahaan, atau bahkan suatu negara. (Deddy Mulyana, 2007:68-69).1

Yang dimaksud komunikasi politik, menurut Dahlan (1999) ialah suatu bidang atau disiplin yang menelaah perilaku dan kegiatan komunikasi yang bersifat politik, mempunyai akibat politik, atau pengaruh terhadap perilaku politik. Meadow dalam Nimmo (2004) juga membuat definisi bahwa “political communication refers to any exchange of symbol or messages that to a significant extent have been shaped by or have consequences for political system.” Disini Meadow memberi tekanan bahwa symbol-simbol atau pesan yang disampaikan itu secara signifikan dibentuk atau memiliki konsekuensi terhadap system politik. Dalam buku Introduction to Political Communication

oleh McNair (2003) dinyatakan bahwa “political communication as pure discussion about the allocation of public resources (revenues), official authority (who is given the power to make legal, legislative, and excecutive decision), and official sanctions (what the state reward or punishes).” Jadi komunikasi politik menurut McNair adalah murni membicarakan tentang alokasi sumber daya publik yang memiliki nilai, apakah itu nilai kekuasaan atau nilai ekonomi, petugas yang memiliki kewenangan untuk memberi kekuasaan dan keputusan dalam pembuatan undang-undang atau aturan, apakah itu legislative atau eksekutif, serta sanksi-sanksi, apakah itu dalam bentuk hadiah atau denda (Cangara, 2011:29-30).

Kajian komunikasi politik awalnya berakar pada ilmu politik, meskipun penamaan lebih banyak dikenal dengan istilah propaganda2, (Cangara, 2011:26). Sedangkan, bagi Laswell ilmu politik adalah ilmu tentang kekuasaan, “Analisa Politik.” Menurutnya adalah studi tentang perubahan-perubahan bentuk dan susunan pola nilai masyarakat”. Nilai

       

1

Diunduh dari http://dir.unikom.ac.id/s1-final-project/fakultas-sospol/ilmu-komunikasi/2010/jbptunikompp-gdl-dickyhudia-22723/2-unikom-d-k.pdf/ori/2-unikom-d-k.pdf. pada tanggal 16 Januari 2013.

2 Propaganda:”penerangan secara benar atau salah yang dilakukan untuk meyakinkan orang lain agar mengikuti atau menganut paham tertentu (Deni Kurniawan Ar’ari. 2006.


(6)

yang utama adalah keamanan, pendapatan dan martabat (Varma, 2007:257).

2.3.Gerakan Perlawanan Rakyat

Giddens (1993) menyatakan bahwa gerakan sosial adalah suatu upaya kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama atau gerakan mencapai tujuan bersama melalui tindakan kolektif (collective action) di luar lingkup lembaga-lembaga yang mapan. Pengertian yang nyaris persis diutarakan oleh Tarrow (1998) yang menempatkan Gerakan Sosial sebagai politik perlawanan yang terjadi ketika rakyat biasa yang bergabung dengan para kelompok masyarakat yang lebih berpengaruh menggalang kekuatan untuk melawan para elit, pemegang otoritas, dan pihak-pihak lawan lainnya. Ketika perlawanan ini didukung oleh jaringan sosial yang kuat, dan digaungkan oleh resonansi kultural dan simbol-simbol aksi, maka politik perlawanan mengarah ke interaksi yang berkelanjutan dengan pihak-pihak lawan, dan hasilnya adalah gerakan sosial.

Menjelang akhir tahun 2008, Israel melancarkan agresi militer secara besar-besaran ke jalur Gaza. Israel mengerahkan seluruh kekuatan militernya, mulai dari darat, laut sampai udara. Kaum perempuan dan anak-anak pun turut menjadi korban. Sungguh memilukan kondisi jalur Gaza saat ini. Krisis kemanusiaan yang sangat akut terjadi di wilayah itu.

Dunia Internasional seakan tidak berdaya menghentikan agresi militer jalur Gaza. Dewan keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun tidak dapat menghentikan Israel karena Amerika Serikat menggunakan hak veto untuk menentang resolusi yang mengutuk agresi militer Israel. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Amerika Serikat mendukung setiap langkah Israel di Timur Tengah. Bahkan presiden Venezuela Hugo Chaves mengusir Duta Besar Israel sebagai bentuk protes diplomatik terhadap agresi militer Israel di jalur Gaza.

Siapakah sesungguhnya Hamas hingga Israel merasa perlu mengerahkan seluruh kekuatan militernya untuk menghancurkan organisasi yang didirikan Syaikh Ahmad Yassin itu?

Kemunculan Hamas sebagai gerakan perlawanan rakyat Palestina tentu tidak dapat dipisahkan dari mata rantai konflik Palestina-Israel. Benang merah


(7)

konflik Palestina-Israel bertali-temali dengan cita-cita awal gerakan Zionisme yang didirikan oleh Theodore Herzl pada 1896. Kongres pertama gerakan Zionisme, yang berlangsung di Bessel, Swiss tahun 1897, merekomendasikan berdirinya sebuah negara khusus bagi kaum Yahudi yang bercerai berai di seluruh dunia, tetapi belum ditentukan lokasi geografisnya. Baru pada kongres kedua yang berlangsung pada tahun 1906, direkomendasikan secara tegas untuk mendirikan sebuah negara bagi kaum Yahudi di tanah Palestina (Kumoro, 2009: 19-21).

Beragamnya gerakan-gerakan perlawanan rakyat Palestina tersebut dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan ideologi atau pemahaman setiap kelompok terhadap perjuangan menuju Palestina Merdeka. Ada faksi yang cenderung kooperatif adapula faksi yang non-kooperatif. Faksi kooperatif lebih memilih jalan damai perundingan dengan Israel serta semua pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan masalah Palestina-Israel.

Bagi kelompok yang non-kooperatif, hengkangnya Israel dari seluruh tanah Palestina merupakan harga mati yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Perjuangan fisik pun akhirnya menjadi jalan hidup yang mereka tempuh, (Kumoro, 2009: 66-69).

Hal lain yang terjadi yaitu saat masyarakat suku Amungme melakukan perlawanan terhadap PT Freeport Indonesia pada tahun 1974. Karena air,tanah, hutan yang menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat Amungme dibuat tercemar oleh perusahan milik Amerika tersebut. PT Freeport Indonesia merupakan perusahaan afiliasi dari Freeport McMoran Copper and Gold Inc. PTFI menambang, memproses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas dan perak. Beroperasi di daerah dataran tinggi di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, Indonesia. Sedangkan Freeport McMoran Copper and Gold Inc merupakan perusahan tambang internasional utama dengan kantor pusat di Phoenix, Arizona, Amerika Seirkat. Juga merupakan perusahaan publik di bidang tembaga terbesar di dunia.3 Beberapa hal yang dlakukan oleh masyarakat suku Amungme yaitu memotong sayur dan bongkar koperasi milik PT. Freeport. Juga membakar Pipa milik PTFI. Hal ini dilakukan karena kekesalan masyarakat yang mana aspirasi suku Amungme

       


(8)

tidak diindahkan oleh PTFI dan juga menolak membeli sayur maupun hasil kebun lainnya milik masyarakat Amungme dengan alasan bahwa hasil kebun mama itu kotor (Giay & Kambai, 2003: 39-45).

2.4.Analisis Wacana Kritis Model Van Dijk

Analisis Wacana model Van Dijk ini sering disebut sebagai “kognisi sosial”. Menurut van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Harus juga dilihat bagaimana suatu teks diproduksi, sehingga kita memperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa semacam itu ( Eriyanto, 2001: 221).

Van Dijk membuat suatu jembatan yang menghubungkan elemen besar berupa struktur sosial tersebut dengan elemen wacana yang mikro dengan sebuah dimensi yang dinamakan kognisi sosial. Kognisi sosial tersebut mempunyai dua arti. Di satu sisi ia menunjukan bagaimana proses teks tersebut diproduksi oleh wartawan/ media dan diserap oleh kognisi wartawan, dan akhirnya digunakannya untuk membuat teks berita. Pendekatan yang dikenal sebagai kognisi sosial ini membantu memetakan bagaimana produksi teks yang melibatkan proses yang kompleks tersebut dapat dipelajari dan dijelaskan ( Eriyanto, 2001: 222).

Wacana oleh van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi/bangunan: teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Inti analisis van Dijk adalah menggabungkan ketiga dimensi wacana tersebut ke dalam satu kesatuan analisis. Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada

level kognisi sosial dipelajari proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi individu dari wartawan. Sedangkan aspek ketiga mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah. Analisis van Dijk di sini menghubungkan analasis tekstual-yang memusatkan perhatian melulu pada teks ke arah analisis yang komprehensif bagaimana teks berita itu diproduksi, baik dalam hubungannya dengan individu wartawan maupun dari masyarakat (Eriyanto, 2001: 224-225).

Menurut Littejohn (1999), antara bagian teks dalam model van Dijk dilihat saling mendukung, mengandung arti yang koheren satu sama lain. Hal ini


(9)

karena semua teks dipandang van Dijk mempunyai suatu aturan yang dapat dilihat sebagai suatu piramida. Makna global dari suatu teks didukung oleh kata, kalimat, dan proposisi yang dipakai. Pernyataan atau tema pada level umum didukung oleh pilihan kata, kalimat, atau retorika tertentu. Prinsip ini membantu peneliti untuk mengamati bagiamana suatu teks terbangun lewat elemen-elemen yang lebih kecil. Skema ini juga memberikan peta untuk mempelajari suatu teks. Kita tidak cuma mengerti apa isi dari suatu teks berita, tetapi juga elemen yang membentuk teks berita, kata, kalimat, paragraph, dan proposisi. Kita tidak hanya mengetahui apa yang diliput oleh media, tetapi juga bagaimana media mengungkapkan peristiwa ke dalam pilihan bahasa tertentu dan bagaimana itu diungkapkan lewat retorika tertentu (Eriyanto, 2001:226-227).

Van Dijk melalui berbagai karyanya, membuat kerangka analisis wacana yang terdiri atas berbagai struktur atau tingkatan, yang masing-masing bagian saling mendukung, yang dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu:

a. Struktur makro, ini merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu berita. Tema wacana ini bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu peristiwa.

b. Superstruktur adalah kerangka suatu teks. Ini merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana struktur dan elemen wacana itu disusun dalam teks secara utuh.

c. Struktur mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil suatu teks yakni dengan menganalisis kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafase, dan gambar (Sobur, 2007: 73-74).

Struktur/ elemen wacana yang dikemukakan van Dijk ini dapat digambarkan seperti berikut:

Tabel 2.1 Elemen Wacana Van Dijk

Struktur Wacana Hal yang diamati Elemen

Struktur makro Tematik

(apa yang dikatakan?)

Topik


(10)

(bagaimana pendapat disusun dan dirangkai? )

Semantik

(makna yang ingin ditekankan dalam teks berita)

Latar, detail, maksud, praanggapan,

nominalisasi Sintaksis

(Bagaimana pendapat

disampaikan? )

Bentuk kalimat, koherensi, kata ganti

Stilistik

(pilihan kata apa yang dipakai? )

Leksikon Struktur mikro

Retoris

(bagaimana dan dengan cara apa penekanan dilakukan? )

Grafis, metafora ekspresi

Dalam pandangan van Dijk, segala teks bisa dianalisis dengan menggunakan elemen tersebut. Meski terdiri atas berbagai elemen, semua elemen itu merupakan suatu kesatuan, saling behubungan dan mendukung satu sama lainnya.

a. Tematik

Elemen tematik menunjuk pada gambaran umum dari suatu teks. Bisa juga disebut sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu teks. Topik menggambarkan apa yang ingin diungkapkan oleh wartawan dalam pemberitaannya. Topik menunjukkan konsep dominan, sentral, dan paling penting dari isi suatu berita. Oleh karena itu, ia sering disebut sebagai tema atau topik ( Eriyanto, 2001: 229).

Topik menggambarkan tema umum dari suatu teks berita, topik ini akan didukung oleh subtopik satu dan subtopik lain yang saling mendukung terbentuknya topik umum. Subtopik ini juga didukung oleh serangkaian fakta yang ditampilkan yang menunjuk dan menggambarkan subtopik, sehingga dengan subbagian yang saling mendukung antara satu bagian dengan bagian yang lain, teks secara keseluruhan membentuk teks yang koheren dan utuh (Eriyanto, 2001: 230).


(11)

Gagasan van Dijk ini didasarkan pada pandangan ketika wartawan meliput suatu peristiwa dan memandang suatu masalah didasarkan pada suatu mental/ pikiran tertentu. Kognisi atau mental ini secara jelas dapat dilihat dari topik yang dimunculkan dalam berita. Karena topik di sini dipahami sebagai mental atau kognisi wartawan, tidak mengherankan jika semua elemen dalam berita mengacu dan mendukung topik dalam berita. Peristiwa yang sama bisa jadi dipahami secara berbeda oleh wartawan yang berbeda, dan ini dapat diamati dari topik suatu pemberitaan. Gagasan van Dijk semacam ini membantu peneliti untuk mengamati dan memusatkan perhatian pada bagaimana teks dibentuk oleh wartawan (Eriyanto, 2001: 230-231).

b. Skematik

Struktur skematik memberikan penekanan bagian mana yang didahulukan, dan bagian mana yang bisa dikemudiankan sebagai strategi untuk menyembunyikan informasi penting. Upaya penyembunyian sebagai bentuk perlawanan itu dilakukan dengan menempatkan bagian penting di bagian akhir agar terkesan kurang menonjol (Sobur, 2007: 76).

Dalam konteks penyajian berita, meskipun mempunyai bentuk dan skema yang beragam, berita umumnya secara hipotetik mempunyai dua kategori skema besar. Pertama, summary yang umumnya ditandai dengan dua elemen yakni judul dan lead (teras berita). Elemen skema ini merupakan elemen yang dipandang paling penting. Kedua, story yakni isi berita secara keseluruhan (Sobur, 2007: 76) Judul dan lead umumnya menunjukkan tema yang ingin ditampilkan oleh wartawan dalam pemberitaannya. Lead ini umumnya sebagai pengantar ringkasan apa yang ingin dikatakan sebelum masuk dalam isi berita secara lengkap. Pertama berupa situasi yakni proses atau jalannya peristiwa, sedang yang kedua komentar yang ditampilkan dalam teks (Eriyanto, 2001: 232).

Menurut van Dijk (dalam Eriyanto, 2001: 234) arti penting dari skematik adalah strategi wartawan untuk mendukung topik tertentu yang ingin disampaikan dengan menyusun bagian-bagian dengan urutan-urutan tertentu. Skematik memberikan tekanan mana yang didahulukan, dan bagian mana yang bisa kemudian sebagai strategi untuk menyembunyikan informasi penting (Sobur, 2007: 78).


(12)

c. Semantik

Semantik dalam skema van Dijk dikategorikan sebagai makna vocal (local meaning), yakni makna yang muncul dari hubungan antarkalimat, hubungan antar proposisi yang membangun makna tertentu dalam suatu bangunan teks. Semantik tidak hanya mendefinisikan bagian mana yang penting dari struktur wacana tetapi juga menggiring ke arah sisi tertentu dari suatu peristiwa (Sobur, 2007: 78).

Latar merupakan elemen wacana yang dapat menjadi alasan pembenar gagasan yang diajukan dalam suatu teks. Latar peristiwa dipakai untuk menyediakan latar belakang hendak kemana makna suatu teks itu dibawa. Ini merupakan cerminan ideologis, dimana komunikator dapat menyajikan latar belakang dapat juga tidak, bergantung pada kepentingan mereka. Latar merupakan bagian berita yang bisa mempengaruhi semantic (arti kata) yang ingin ditampilkan (Sobur, 2007: 79).

Seorang wartawan ketika menulis berita biasanya mengemukakan latar belakang atas peristiwa yang ditulis. Latar yang dipilih menentukan kearah mana pandangan khalayak hendak dibawa. Oleh karena itu, latar membantu menyelidiki bagaimana seseorang memberi pemaknaan atas suatu peristiwa (Eriyanto, 2001: 235).

Latar teks merupakan elemen yang berguna karena dapat membongkar apa maksud yang ingin disampaikan oleh wartawan. Kadang maksud atau isi utama tidak dibeberkan dalam teks, tetapi dengan melihat latar apa yang ditampilkan dan bagaimana latar tersebut disajikan, kita bisa mengalisis apa maksud tersembunyi yang ingin dikemukakan oleh wartawan seseungguhnya (Eriyanto, 2001: 235-236).

Bentuk lain dari strategi semantik adalah detail suatu wacana. Elemen wacana detail berhubungan dengan control informasi yang ditampilkan seseorang (komunikator). Komunikator akan menampilkan secara berlebihan informasi yang menguntungkan dirinya atau citra yang baik. Sebaliknya, ia akan menampilkan informasi dalam jumlah sedikit (bahkan kalau perlu tidak disampaikan) kalau hal itu merugikan kedudukannya (Sobur, 2007: 79).

Informasi yang menguntungkan komunikator, bukan hanya ditampilkan secara berlebihan tetapi juga dengan detail yang lengkap kalau perlu dengan data-data.


(13)

Detail yang lengkap dan panjang lebar merupakan penonjolan yang dilakukan secara sengaja untuk menciptakan citra tertentu khalayak(Eriyanto, 2001: 238).

Elemen detail merupakan strategi bagaimana wartawan mengekpresikan sikapnya dengan cara yang implisit. Sikap atau wacana yang dikembangkan oleh wartawan kadangkala tidak perlu disampaikan secara terbuka, tetapi dari detail bagian mana yang dikembangkan dan mana yang diberitakan dengan detail yang besar, akan menggambarkan bagaimana wacana yang dikembangkan oleh media (Eriyanto, 2001: 238).

Kemudian bentuk lain strategi semantik adalah elemen maksud. Elemen wacana maksud, hampir sama dengan elemen detail. Dalam detail, informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan dengan detail panjang. Elemen maksud melihat informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan secara eksplisit dan jelas. Sebaliknya, informasi yang merugikan akan diuraikan secara tersamar, implisit, dan tersembunyi. Tujuan akhirnya adalah public hanya disajikan informasi yang menguntungkan disajikan secara jelas, dengan kata-kata yang tegas, dan menunjuk langsung pada fakta. Sementara itu, informasi yang merugikan disajikan dengan kata tersamar, eufemistik, dan berbeli-belit. Dengan semantik tertentu, seorang komunikator dapat menyampaikan secara implisit informasi atau fakta yang merugikan dirinya, sebaliknya secara eksplisit akan menguraikan informasi yang menguntungkan dirinya (Eriyanto, 2001: 240).

d. Sintaksis

Strategi untuk menampilkan diri sendiri secara positif dan lawan secara negatif, itu juga dilakukan dengan manipulasi politik menggunakan sintaksis (kalimat) seperti pada pemakaian kata ganti, aturan tata kata, pemakaian kategori sintaksis yang spesifik, pemakaian kalimat aktif atau pasif, peletakan anak kalimat, pemakaian kalimat yang kompleks dan sebagainya (Sobur, 2007: 80).

Salah satu strategi pada level sintaksis ini adalah dengan pemakaian koherensi. Koherensi adalah pertalian atau jalinan antarkata, atau kalimat dalam teks. Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga tampak koheren. Sehingga fakta yang tidak berhubungan sekalipun dapat menjadi berhubungan ketika seseorang menghubungkannya (Eriyanto, 2001: 242).


(14)

Strategi pada level sintaksis yang lain adalah dengan menggunakan bentuk kalimat. Bentuk kalimat adalah segi sintaksis yang mana ia menanyakan apakah A menjelaskan B, ataukah B yang menjelaskan A. logika kausalitas ini kalau diterjemankan ke dalam bahasa menjadi susunan subjek (yang menerangkan) dan predikat (yang diterangkan). Bentuk kalimat ini bukan hanya persoalan teknis kebenaran tata bahasa, tetapi menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat (Sobur, 2007: 81).

e. Stilistik

Pusat perhatian stilistika adalah style, yaitu cara yang digunakan seorang pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana. Dengan demikian style dapat diterjemahkan sebagai gaya bahasa (Sobur, 2007: 82).

Pada dasaranya elemen leksikon ini menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Suatu fakta umumnya terdiri atas beberapa kata yang merujuk pada fakta. Kata “meninggal”, misalnya, mempunyai kata lain: mati, tewas, gugur, meninggal, terbunuh, menghembuskan nafas terakhir, dan sebagainya. Di antara beberapa kata itu seseorang dapat memilih di antara pilihan yang tersedia. Dengan demikian pilihan kata yang dipakai tidak semata hanya karena kebetulan, tetapi juga secara ideologis menunjukkan bagaimana pemaknaan seseorang terhadap fakta/realitas ( Eriyanto, 2001: 255).

f. Retoris

Strategi dalam level retoris di sini adalah gaya yang diungkapkan ketika seseorang berbicara atau menulis. Misalnya, dengan pemakaian kata yang berlebihan (hiperbolik) atau bertele-tele, retoris mempunyai fungsi persuasif dan berhubungan erat dengan bagaimana pesan itu ingin disampaikan kepada khalayak. Pemakaiannya dengan menggunakan gaya repetisi (pengulangan), aliterasi (pemakaian kata-kata yang permulaannya sama bunyinya seperti sajak), sebagai suatu strategi untuk menarik perhatian, atau untuk menekankan sisi tertentu agar diperhatikan oleh khalayak. Bentuk gaya retoris lain adalah ejekan (ironi) dan metonomi. Tujuannya adalah melebihkan sesuatu yang positif


(15)

mengenai diri sendiri dan melebihkan keburukan pihak lawan (Sobur, 2007: 83-84).

2.5.Bendera Bintang Kejora

Berdasarkan UU OTSUS No. 21 Tahun 2001 Bagi Provinsi Papua, Bendera Bintang Kejora bukanlah bendera negara, tetapi merupakan lambang kultural masyarakat Papua, sebagaimana dalam UU Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang memberikan legalitas bagi Papua untuk memiliki bendera dan lambang sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dan tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan. Ini juga berlaku bagi semua wilayah di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun pada intinya tidak di benarkan bahwa lambang bendera Bintang Kejora sebagai bendera Negara. Ketentuan ini tuliskan pada Bab II UU Otonomi Khusus, pasal 2, ayat. 2 yang menyatakan Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan symbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak di posisikan sebagai symbol kedaulatan dan ayat (3) ketentuan tentang lambang daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di atur lebih lanjut dengan Perdasus dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.4

Gambar 2.1 Bendera Bintang Kejora (The Morning Star Flag)

       

4


(16)

2.6.Penelitian Sebelumnya

Penelitian sebelumnya yang menggunakan Analisis Wacana Van Dijk oleh Tia Agnes Astuti, mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta diberikan judul: Analisis Wacana Van Dijk Terhadap Berita “Sebuah Kegilaan Di Simpang Kraft” Di Majalah Pantau.

Dalam penelitian ini, peneliti menjelaskan tentang wacana teks dalam berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” dikonsturksikan dapat dilihat dari penggunaan narasumber yang dipakai oleh penulis, serta konstruksi dari segi kognisi dan konteks sosial penulis. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigm konstruktivisme, karena dengan pola berpikir konstruktivis ini menekankan pada politik pemaknaan dan proses bagaimana seorang membuat gambaran tentang realitas. Penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif ini dengan model wacana Van Dijk membagi wacananya kedalam tiga dimensi yaitu, teks, kognisi sosial dan konteks sosial.

Chik Rini mengambil perspektif dari sudut pandang atau angle wartawan yang menjadi saksi pembunuhan dari peristiwa Simpang Kraft pada Mei 1999. Teks “ Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” tidak semata diambil dari realitas apa adanya. Tapi ada beberapa pihak dibelakang wacana teks tersebut yang turut mengkonstruksi teks tersebut. Teks tidak lahir secara positivis namun konstruktivis. Dari penjelasan singkat ini, diambil kesimpulan bahwa teks tidak lahir dari realitas yang diambil apa adanya, namun realitas dari peristiwa yang dikonstruksikan oleh pihak dibelakang wacana teks tersebut. Sama halnya seperti peristiwa Simpang Kraft yang direportase oleh Chik Rini. Peristiwa ini tidak terjadi karena alamiah bentrokan belaka, tetapi dibangun oleh pihak GAM dan militer Indonesia yang menorah satuk kali lagi peristiwa berdarah di Aceh.

Pendekatan dari penelitian ini sendiri lebih melihat pada dimensi konteks dan kognisi dari wartawan dalam wacana “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”.


(17)

2.7.Kerangka Pikir

Kerangka Pikir Penelitian (Gambar 2.2 Kerangka Pikir Penelitian)

Perlawanan Bendera Bintang Kejora Sebagai SimbolPerlawanan:

1. Kedaulatan 2. Identitas Budaya

Pemberitaan Pengibaran Bendera Bintang Kejora

Analisis Struktur Makro (Tematik)

Analisis Superstuktur (Skematik)

Analisis Struktur Mikro - Semantik (Latar,

Detail, Maksud, Pra-anggapan.

Nominalisasi) - Sintaksis (Bentuk

Kalimat, Koherensi, Kata Ganti,)

- Stilistik (Leksikon) - Retoris (Grafis,

Metafora, Ekspresi)

Teks Kognisi Sosial Konteks Sosial


(1)

c. Semantik

Semantik dalam skema van Dijk dikategorikan sebagai makna vocal (local meaning), yakni makna yang muncul dari hubungan antarkalimat, hubungan antar proposisi yang membangun makna tertentu dalam suatu bangunan teks. Semantik tidak hanya mendefinisikan bagian mana yang penting dari struktur wacana tetapi juga menggiring ke arah sisi tertentu dari suatu peristiwa (Sobur, 2007: 78).

Latar merupakan elemen wacana yang dapat menjadi alasan pembenar gagasan yang diajukan dalam suatu teks. Latar peristiwa dipakai untuk menyediakan latar belakang hendak kemana makna suatu teks itu dibawa. Ini merupakan cerminan ideologis, dimana komunikator dapat menyajikan latar belakang dapat juga tidak, bergantung pada kepentingan mereka. Latar merupakan bagian berita yang bisa mempengaruhi semantic (arti kata) yang ingin ditampilkan (Sobur, 2007: 79).

Seorang wartawan ketika menulis berita biasanya mengemukakan latar belakang atas peristiwa yang ditulis. Latar yang dipilih menentukan kearah mana pandangan khalayak hendak dibawa. Oleh karena itu, latar membantu menyelidiki bagaimana seseorang memberi pemaknaan atas suatu peristiwa (Eriyanto, 2001: 235).

Latar teks merupakan elemen yang berguna karena dapat membongkar apa maksud yang ingin disampaikan oleh wartawan. Kadang maksud atau isi utama tidak dibeberkan dalam teks, tetapi dengan melihat latar apa yang ditampilkan dan bagaimana latar tersebut disajikan, kita bisa mengalisis apa maksud tersembunyi yang ingin dikemukakan oleh wartawan seseungguhnya (Eriyanto, 2001: 235-236).

Bentuk lain dari strategi semantik adalah detail suatu wacana. Elemen wacana detail berhubungan dengan control informasi yang ditampilkan seseorang (komunikator). Komunikator akan menampilkan secara berlebihan informasi yang menguntungkan dirinya atau citra yang baik. Sebaliknya, ia akan menampilkan informasi dalam jumlah sedikit (bahkan kalau perlu tidak disampaikan) kalau hal itu merugikan kedudukannya (Sobur, 2007: 79).

Informasi yang menguntungkan komunikator, bukan hanya ditampilkan secara berlebihan tetapi juga dengan detail yang lengkap kalau perlu dengan data-data.


(2)

Detail yang lengkap dan panjang lebar merupakan penonjolan yang dilakukan secara sengaja untuk menciptakan citra tertentu khalayak(Eriyanto, 2001: 238).

Elemen detail merupakan strategi bagaimana wartawan mengekpresikan sikapnya dengan cara yang implisit. Sikap atau wacana yang dikembangkan oleh wartawan kadangkala tidak perlu disampaikan secara terbuka, tetapi dari detail bagian mana yang dikembangkan dan mana yang diberitakan dengan detail yang besar, akan menggambarkan bagaimana wacana yang dikembangkan oleh media (Eriyanto, 2001: 238).

Kemudian bentuk lain strategi semantik adalah elemen maksud. Elemen wacana maksud, hampir sama dengan elemen detail. Dalam detail, informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan dengan detail panjang. Elemen maksud melihat informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan secara eksplisit dan jelas. Sebaliknya, informasi yang merugikan akan diuraikan secara tersamar, implisit, dan tersembunyi. Tujuan akhirnya adalah public hanya disajikan informasi yang menguntungkan disajikan secara jelas, dengan kata-kata yang tegas, dan menunjuk langsung pada fakta. Sementara itu, informasi yang merugikan disajikan dengan kata tersamar, eufemistik, dan berbeli-belit. Dengan semantik tertentu, seorang komunikator dapat menyampaikan secara implisit informasi atau fakta yang merugikan dirinya, sebaliknya secara eksplisit akan menguraikan informasi yang menguntungkan dirinya (Eriyanto, 2001: 240).

d. Sintaksis

Strategi untuk menampilkan diri sendiri secara positif dan lawan secara negatif, itu juga dilakukan dengan manipulasi politik menggunakan sintaksis (kalimat) seperti pada pemakaian kata ganti, aturan tata kata, pemakaian kategori sintaksis yang spesifik, pemakaian kalimat aktif atau pasif, peletakan anak kalimat, pemakaian kalimat yang kompleks dan sebagainya (Sobur, 2007: 80).

Salah satu strategi pada level sintaksis ini adalah dengan pemakaian koherensi. Koherensi adalah pertalian atau jalinan antarkata, atau kalimat dalam teks. Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga tampak koheren. Sehingga fakta yang tidak berhubungan sekalipun dapat menjadi berhubungan ketika seseorang menghubungkannya (Eriyanto, 2001: 242).


(3)

Strategi pada level sintaksis yang lain adalah dengan menggunakan bentuk kalimat. Bentuk kalimat adalah segi sintaksis yang mana ia menanyakan apakah A menjelaskan B, ataukah B yang menjelaskan A. logika kausalitas ini kalau diterjemankan ke dalam bahasa menjadi susunan subjek (yang menerangkan) dan predikat (yang diterangkan). Bentuk kalimat ini bukan hanya persoalan teknis kebenaran tata bahasa, tetapi menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat (Sobur, 2007: 81).

e. Stilistik

Pusat perhatian stilistika adalah style, yaitu cara yang digunakan seorang pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana. Dengan demikian style dapat diterjemahkan sebagai gaya bahasa (Sobur, 2007: 82).

Pada dasaranya elemen leksikon ini menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Suatu fakta umumnya terdiri atas beberapa kata yang merujuk pada fakta. Kata “meninggal”, misalnya, mempunyai kata lain: mati, tewas, gugur, meninggal, terbunuh, menghembuskan nafas terakhir, dan sebagainya. Di antara beberapa kata itu seseorang dapat memilih di antara pilihan yang tersedia. Dengan demikian pilihan kata yang dipakai tidak semata hanya karena kebetulan, tetapi juga secara ideologis menunjukkan bagaimana pemaknaan seseorang terhadap fakta/realitas ( Eriyanto, 2001: 255).

f. Retoris

Strategi dalam level retoris di sini adalah gaya yang diungkapkan ketika seseorang berbicara atau menulis. Misalnya, dengan pemakaian kata yang berlebihan (hiperbolik) atau bertele-tele, retoris mempunyai fungsi persuasif dan berhubungan erat dengan bagaimana pesan itu ingin disampaikan kepada khalayak. Pemakaiannya dengan menggunakan gaya repetisi (pengulangan), aliterasi (pemakaian kata-kata yang permulaannya sama bunyinya seperti sajak), sebagai suatu strategi untuk menarik perhatian, atau untuk menekankan sisi tertentu agar diperhatikan oleh khalayak. Bentuk gaya retoris lain adalah ejekan (ironi) dan metonomi. Tujuannya adalah melebihkan sesuatu yang positif


(4)

mengenai diri sendiri dan melebihkan keburukan pihak lawan (Sobur, 2007: 83-84).

2.5.Bendera Bintang Kejora

Berdasarkan UU OTSUS No. 21 Tahun 2001 Bagi Provinsi Papua, Bendera Bintang Kejora bukanlah bendera negara, tetapi merupakan lambang kultural masyarakat Papua, sebagaimana dalam UU Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang memberikan legalitas bagi Papua untuk memiliki bendera dan lambang sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dan tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan. Ini juga berlaku bagi semua wilayah di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun pada intinya tidak di benarkan bahwa lambang bendera Bintang Kejora sebagai bendera Negara. Ketentuan ini tuliskan pada Bab II UU Otonomi Khusus, pasal 2, ayat. 2 yang menyatakan Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan symbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak di posisikan sebagai symbol kedaulatan dan ayat (3) ketentuan tentang lambang daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di atur lebih lanjut dengan Perdasus dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.4

Gambar 2.1 Bendera Bintang Kejora (The Morning Star Flag)

        4


(5)

2.6.Penelitian Sebelumnya

Penelitian sebelumnya yang menggunakan Analisis Wacana Van Dijk oleh Tia Agnes Astuti, mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta diberikan judul: Analisis Wacana Van Dijk Terhadap Berita “Sebuah Kegilaan Di Simpang Kraft” Di Majalah Pantau.

Dalam penelitian ini, peneliti menjelaskan tentang wacana teks dalam berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” dikonsturksikan dapat dilihat dari penggunaan narasumber yang dipakai oleh penulis, serta konstruksi dari segi kognisi dan konteks sosial penulis. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigm konstruktivisme, karena dengan pola berpikir konstruktivis ini menekankan pada politik pemaknaan dan proses bagaimana seorang membuat gambaran tentang realitas. Penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif ini dengan model wacana Van Dijk membagi wacananya kedalam tiga dimensi yaitu, teks, kognisi sosial dan konteks sosial.

Chik Rini mengambil perspektif dari sudut pandang atau angle wartawan yang menjadi saksi pembunuhan dari peristiwa Simpang Kraft pada Mei 1999. Teks “ Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” tidak semata diambil dari realitas apa adanya. Tapi ada beberapa pihak dibelakang wacana teks tersebut yang turut mengkonstruksi teks tersebut. Teks tidak lahir secara positivis namun konstruktivis. Dari penjelasan singkat ini, diambil kesimpulan bahwa teks tidak lahir dari realitas yang diambil apa adanya, namun realitas dari peristiwa yang dikonstruksikan oleh pihak dibelakang wacana teks tersebut. Sama halnya seperti peristiwa Simpang Kraft yang direportase oleh Chik Rini. Peristiwa ini tidak terjadi karena alamiah bentrokan belaka, tetapi dibangun oleh pihak GAM dan militer Indonesia yang menorah satuk kali lagi peristiwa berdarah di Aceh.

Pendekatan dari penelitian ini sendiri lebih melihat pada dimensi konteks dan kognisi dari wartawan dalam wacana “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”.


(6)

2.7.Kerangka Pikir

Kerangka Pikir Penelitian (Gambar 2.2 Kerangka Pikir Penelitian)

Perlawanan Bendera Bintang Kejora Sebagai SimbolPerlawanan:

1. Kedaulatan 2. Identitas Budaya

Pemberitaan Pengibaran Bendera Bintang Kejora

Analisis Struktur Makro (Tematik)

Analisis Superstuktur (Skematik)

Analisis Struktur Mikro - Semantik (Latar,

Detail, Maksud, Pra-anggapan.

Nominalisasi) - Sintaksis (Bentuk

Kalimat, Koherensi, Kata Ganti,)

- Stilistik (Leksikon) - Retoris (Grafis,

Metafora, Ekspresi)

Teks Kognisi Sosial Konteks Sosial