Uji Diagnostik Pemeriksaan Tubex TF dan Widal Terhadap Baku Emas Kultur Salmonella typhi Pada Penderita Tersangka Demam Tifoid.

(1)

iv ABSTRAK

UJI DIAGNOSTIK PEMERIKSAAN TUBEX-TF DAN WIDAL TERHADAP BAKU EMAS KULTUR Salmonella typhi PADA PENDERITA TERSANGKA DEMAM TIFOID

Melisa, 2010, Pembimbing I : Penny S.M., dr., Sp.PK., M.Kes Pembimbing II : Indahwaty., dr., Sp.PK., M.Kes

Demam tifoid merupakan masalah kesehatan di dunia terutama di negara yang sedang berkembang seperti di Indonesia. Gejala klinik demam tifoid tidak spesifik sehingga pencegahan diagnosis demam tifoid berdasarkan gejala klinik sulit, maka dibutuhkan sarana penunjang diagnosis yang cepat dan tepat untuk diagnosis demam tifoid. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi pemeriksaan Tubex-TF dan Widal sebagai sarana penunjang diagnosis serologis demam tifoid. Penelitian ini bersifat retrospektif dengan metode deskriptif analitik dan rancangan cross sectional terhadap data sekunder hasil pemeriksaan kultur, Widal, dan Tubex-TF penderita tersangka demam tifoid di RS Immanuel Bandung periode Februari-Juli 2010. Data dianalisis dengan uji diagnostik chi square McNemar.

Subjek penelitian berjumlah lima puluh dua orang penderita tersangka demam tifoid berdasarkan rekam medis. Pada pemeriksaan Widal dengan nilai cut off 1/160 didapatkan sensitivitas 36,4%, spesifisitas 87,8%, dan akurasi 76,9% (p>0,05). Pada pemeriksaan Tubex-TF didapatkan sensitivitas 92%, spesifisitas 53,7%, dan akurasi 63,5% (p<0,05).

Pemeriksaan Tubex-TF memiliki validitas yang lebih baik dibandingkan pemeriksaan Widal.


(2)

v ABSTRACT

DIAGNOSTIC TEST BETWEEN TUBEX-TF EXAMINATION AND WIDAL TOWARDS GOLD STANDARD Salmonella typhi CULTURE

IN PATIENTS SUSPECTED TYPHOID FEVER

Melisa, 2010, Tutor I : Penny S.M., dr., Sp.PK., M.Kes Tutor II : Indahwaty., dr., Sp.PK., M.Kes

Typhoid fever remains a global health issue especially in developing countries, in Indonesia. Clinical manifestation of typhoid fever are not specific. Due to the lack of spesific symptoms, the clinical diagnosis is difficult. Therefore it needs a fast laboratory testing to diagnosed typhoid fever. The aim of this research is to evaluate Tubex-TF and Widal as one of examination facilities to diagnose typhoid fever.

This research is a retrospective with analytical descriptive method and using cross sectional study of secondary data from Widal, Tubex-TF, and culture of who diagnosed suspected typhoid fever in Immanuel hospital Bandung from February to July 2010. Data were analyzed using McNemar chi square diagnostic tests. There are 52 patients who are suspected typhoid fever based on medical records. On Widal examination with cut-off value of 1 / 160 is obtained sensitivity of 36.4%, specificity 87.8%, and accuracy 76.9% (p> 0.05). On Tubex-TF obtained 92% sensitivity, specificity 53.7%, and accuracy 63.5% (p <0.05). Tubex-TF examination has a better validity than the Widal examination.


(3)

viii DAFTAR ISI

Judul dalam ... i

Lembar persetujuan ... ii

Surat pernyataan ... iii

Abstrak ... iv

Abstract ... v

Kata pengantar ... vi

Daftar isi ... viii

Daftar tabel ... xi

Daftar gambar ... xii

Daftar lampiran ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 3

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.5 Kerangka Pemikiran ... 4

1.6 Hipotesis Penelitian ... 6

1.7 Metode Penelitian ... 6

1.8 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Demam tifoid ... 8

2.2 Epidemiologi demam tifoid ... 8

2.3 Etiologi demam tifoid ... 9

2.4 Patofisiologi demam tifoid ... 13

2.5 Gejala klinik demam tifoid ... 17

2.6 Komplikasi demam tifoid ... 18


(4)

ix

2.7.1 Pemeriksaan hematologi ... 19

2.7.2 Pemeriksaan mikrobiologi ... 20

2.7.2.1 Kultur empedu ... 20

2.7.2.2 Kultur Bactec ... 22

2.7.3 Pemeriksaan imunoserologis... 25

2.7.3.1 Pemeriksaan Widal ... 26

2.7.3.2 Pemeriksaan Tubex-TF ... 28

2.8 Evaluasi tes ... 32

2.8.1 Sensitivitas ... 33

2.8.2 Spesifitas ... 33

2.8.3 Nilai prediksi ... 34

2.8.4 Validitas ... 34

2.8.5 Titik potong (cut off point) ... 34

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Bahan Penelitian ... 35

3.2 Metode Penelitian ... 35

3.2.1 Bentuk dan Rancangan Penelitian ... 35

3.2.2 Definisi Konsepsional dan Operasional ... 35

3.2.3 Ukuran Sampel ... 36

3.2.4 Analisis Data ... 37

3.2.5 Hipotesis Statistik Penelitian ... 37

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 37

3.4 Alur Penelitian ... 38

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi penderita tersangka demam tifoid berdasarkan umur dan jenis kelamin ... 39

4.2 Hubungan lama demam dengan hasil pemeriksaan kultur... 39

4.3 Hubungan lama demam dengan hasil pemeriksaan Widal ... 41


(5)

x

4.5 Hubungan antara hasil pemeriksaan Widal dengan kultur Bactec pada penderita tersangka demam tifoid ... 44 4.6 Hubungan antara hasil pemeriksaan Tubex-TF dengan kultur

Bactec pada penderita tersangka demam tifoid... 47 4.7 Perbandingan hasil pemeriksaan Widal dengan Tubex-TF ... 48

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ... 50 5.2 Saran ... 50

Daftar Pustaka ... 51 Lampiran ... 54 Riwayat Hidup ... 78


(6)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Penyakit yang disebabkan oleh Salmonella spp. ... 13

Tabel 2.2 Faktor antigen O spesifik pada Salmonella typhi dan paratyphi ... 25

Tabel 2.3 Antigen H spesifik pada Salmonella typhi ... 26

Tabel 4.1 Hubungan lama demam dengan hasil pemeriksaan kultur ... 40

Tabel 4.2 Hubungan lama demam dengan hasil pemeriksaan Widal ... 41

Tabel 4.3 Hubungan lama demam dengan hasil pemeriksaan Tubex TF ... 43

Tabel 4.4 Tabel 2x2 pemeriksan Widal terhadap kultur ... 44

Tabel 4.5 Tabel 2x2 pemeriksan Tubex-TF terhadap kultur ... 47


(7)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Struktur antigenik bakteri Enterobacteriaceae ... 10

Gambar 2.2 Potongan melintang ileum dengan plague peyeri. Pewarnaan HE ... 15

Gambar 2.3 Patogenesis dan patofisiologi demam tifoid ... 17

Gambar 2.4 Prinsip Bactec ... 23

Gambar 2.5 Alat incubator Bactec ... 24

Gambar 2.6 Vial Bactec ... 24

Gambar 2.7 Prosedur pemeriksaan Bactec ... 25

Gambar 2.8 Reaksi aglutinasi ... 28

Gambar 2.9 Cara pemeriksaan Widal dengan metode Slide agglutination test ... 28

Gambar 2.10 V-well shape dan magnetic color scale ... 30

Gambar 2.11 Reagen Tubex-TF ... 30


(8)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Perhitungan sampel minimal ... 54

Lampiran 2 Perhitungan tabel kontingensi 2x2 ... 55

Lampiran 3 Distribusi umur penderita tersangka demam tifoid ... 56

Lampiran 4 Distribusi jenis kelamin penderita tersangka demam tifoid ... 57

Lampiran 5 Hubungan lama demam dengan hasil pemeriksaan kultur ... 58

Lampiran 6 Hubungan lama demam dengan hasil pemeriksaan Widal ... 59

Lampiran 7 Hubungan lama demam dengan hasil pemeriksaan Tubex-TF ... 60

Lampiran 8 Hasil pemeriksaan Widal terhadap kultur ... 61

Lampiran 9 Hasil pemeriksaan Tubex-TF terhadap kultur ... 62

Lampiran 10 Prosedur pemeriksaan kultur Bactec Salmonella typhi ... 63

Lampiran 11 Prosedur pemeriksaan Widal ... 64

Lampiran 12 Prosedur pemeriksaan Tubex-TF ... 66

Lampiran 13 Surat izin pengambilan data ... 68


(9)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam tifoid adalah penyakit akibat infeksi bakteri Salmonella enterica serotipe typhi. Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia yang timbul secara sporadik endemik dan ditemukan sepanjang tahun. Insidensi demam tifoid di Indonesia cukup tinggi akibat tingginya urbanisasi, kontaminasi sumber air, resistensi antibiotik, penegakkan diagnosis terlambat, serta belum ada vaksin tifoid yang efektif.

WHO menyatakan bahwa secara global pada tahun 2003 terdapat ± 17 juta kasus. Insidensi demam tifoid di Indonesia per tahun antara 354-810 per 100.000 penduduk, dengan mortalitas 2-3,5% (Sudarmono dkk., 2000; WHO, 2001). Demam tifoid dalam Undang-undang nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah termasuk penyakit menular. Hasil Surveilans Departemen Kesehatan RI melaporkan bahwa terdapat peningkatan prevalensi demam tifoid dari tahun 1990 yaitu 9,2 menjadi 15,4 per 10.000 penduduk pada tahun 1994, dan di akhir tahun 2005 tercatat ada 25.270 kasus. Insidensi demam tifoid di tiap daerah bervariasi sesuai dengan keadaan sanitasi lingkungan, di daerah rural Jawa Barat ada 157 kasus dan urban 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insidensi demam tifoid di daerah urban berhubungan dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan yang kurang memenuhi syarat kesehatan antara lain sistem pembuangan sampah. Penularan demam tifoid adalah secara oral-fecal yaitu melalui makanan dan minuman tercemar tinja yang mengandung Salmonella sp. (Djoko Widodo, 2006).

Demam tifoid sekilas seperti penyakit ringan dengan gejala klinik tidak khas. Gejala klinik demam tifoid yang timbul bervariasi, dari ringan sampai dengan berat, asimtomatik hingga disertai komplikasi. Gejala klinik demam tifoid pada minggu pertama sakit yaitu berupa keluhan demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, serta perasaan tidak enak di perut, dan dapat disertai batuk atau ditemukan adanya epistaksis. Manifestasi


(10)

2

klinik demam tifoid pada minggu kedua akan tampak semakin jelas. Demam tifoid bila tidak ditangani dengan baik, dapat mengakibatkan komplikasi seperti perdarahan intestinal, perforasi usus, trombositopenia, koagulasi vaskular diseminata, hepatitis tifosa, miokarditis, pankreatitis tifosa, hingga kematian (Djoko Widodo, 2006).

Diagnosis klinik demam tifoid sulit ditegakkan karena manifestasi kliniknya tidak khas, maka diperlukan pemeriksaan laboratorium penunjang diagnosis demam tifoid. Diagnosis pasti demam tifoid ditegakkan bila ditemukan isolat Salmonella typhi pada media kultur bahan pemeriksaan yang berasal dari penderita. Bahan pemeriksaan untuk kultur dapat menggunakan darah, aspirat sumsum tulang, feses, atau urine. Kultur darah masih digunakan sebagai standar baku emas karena prosedur pengambilan bahan pemeriksaan darah relatif kurang invasif dibandingkan dengan aspirasi sumsum tulang. Sensitivitas pemeriksaan kultur darah penderita demam tifoid pada minggu pertama 60-80% bila prosedur kultur memenuhi syarat, yaitu volume bahan pemeriksaan darah minimal 5-15 ml untuk penderita dewasa dan anak 2-3 ml, penderita belum mendapat terapi antibiotik. Sensitivitas kultur Salmonella sp. dari bahan pemeriksaan aspirat sumsum tulang lebih tinggi yaitu 80-95%, karena hasil pemeriksaan kultur sumsum tulang tidak tergantung pada lama penderita sakit maupun pemberian terapi antibiotik sebelum pemeriksaan kultur, tetapi tindakan aspirasi sumsum tulang invasif dan penuh risiko (Gillman 1975; Vallenas, 1985). Hasil pemeriksaan kultur Salmonella typhi, umumnya baru diperoleh setelah 3-5 hari inokulasi bahan pemeriksaan pada media kultur, sehingga penegakan diagnosis demam tifoid sering terlambat dan hasil kultur sering negatif palsu akibat terapi antibiotik sebelum pemeriksaan kultur.

Pemeriksaan Widal merupakan pemeriksaan serologis penunjang diagnosis demam tifoid yang masih sering diusulkan oleh klinisi hingga saat ini. Prosedur pemeriksaan Widal relatif mudah sehingga dapat dilakukan di berbagai sarana kesehatan, hasilnya cepat diperoleh, dengan biaya relatif ekonomis. Selain itu pemeriksaan Widal memiliki kelebihan lain, yaitu dapat mendeteksi infeksi kuman Salmonella non typhi. Tetapi pemeriksaan Widal juga memiliki


(11)

3

keterbatasan yaitu sering memberikankan hasil negatif palsu atau positif palsu terutama pada mereka yang pernah terinfeksi kuman Salmonella sp. atau mendapat vaksinasi tifoid. Maka pemeriksaan Widal kurang spesifik sebagai penunjang diagnosis demam tifoid (Djoko Widodo, 2006; Tubex-TF Biotekindo, 2006).

Tubex-TF adalah sarana penunjang diagnosis demam tifoid yang relatif baru dipasarkan, dengan prosedur pemeriksaan cukup sederhana, dan hasilnya relatif cepat diperoleh yaitu sekitar ± 1 jam. Tubex-TF adalah pemeriksaan in vitro untuk mendeteksi antibodi IgM terhadap antigen lipopolisakarida (LPS) O9 kuman Salmonella typhi yang terdapat dalam serum penderita, interpretasi hasil pemeriksaan secara semikuantitatif. Antigen lipopolisakasida (LPS) O9 hanya ditemukan pada Salmonella typhi serogrup D. Lim pada tahun 1998 melaporkan Tubex-TF memiliki sensitivitas 91,2% dan spesifitas 82,3% (Lim, 1998), sedang Oracz mendapatkan sensitifitas Tubex-TF 92,6% dan spesifitas 94,8%. Interpretasi pemeriksaan Tubex-TF adalah secara semikuantitatif, yaitu dengan mambandingkan warna yang timbul pada hasil reaksi pemeriksaan dengan warna standar kit Tubex-TF. Biaya pemeriksaan Tubex-TF masih tergolong mahal sehingga belum terjangkau oleh masyarakat menengah ke bawah secara umum (Tubex-TF Biotekindo, 2006).

Fakta-fakta dan laporan tentang keunggulan serta keterbatasan baik pemeriksaan Widal maupun Tubex-TF sangat bervariasi, mendorong keinginan penulis untuk meneliti lebih lanjut validitas dan akurasi pemeriksaan Widal serta Tubex-TF sebagai penunjang diagnosis demam tifoid, masing-masing pemeriksaan akan diuji terhadap baku emas kultur Salmonella typhi kemudian dibandingkan.

1.2 Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah penelitian ini berdasarkan latar belakang di atas adalah: 1.2.1 Bagaimana validitas pemeriksaan Widal sebagai sarana penunjang


(12)

4

1.2.2 Bagaimana validitas pemeriksaan Tubex-TF sebagai sarana penunjang diagnosis demam tifoid terhadap kultur Salmonella typhi

1.2.3 Bagaimana validitas pemeriksaan Tubex-TF sebagai sarana penunjang diagnosis demam tifoid dibandingkan dengan Widal.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengevaluasi hasil pemeriksaan Tubex-TF dan Widal sebagai sarana penunjang diagnostik demam tifoid dengan melakukan pengkajian data hasil pemeriksaan Tubex-TF, Widal, dan kultur Salmonella typhi dengan bahan pemeriksaan darah penderita tersangka demam tifoid di Rumah Sakit Immanuel Bandung. Kemudian hasil pemeriksaan Tubex-TF dan Widal, masing-masing diuji secara statistik terhadap baku emas kultur Salmonella typhi dengan uji diagnostik.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat akademis dari penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang pemeriksaan serologis penunjang diagnosis demam tifoid.

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi kepada masyarakat umum, khususnya para klinisi tentang adanya sarana pemeriksaan serologis penunjang diagnosis demam tifoid yang hasilnya cepat diperoleh, serta memberi informasi mengenai keunggulan dan keterbatasannya.

1.5 Kerangka Pemikiran

Diagnosis klinik demam tifoid sulit ditegakkan karena gejalanya tidak khas, maka perlu sarana pemeriksaan laboratorium penunjang diagnosis demam tifoid untuk menegakkan diagnosis demam tifoid (Djoko Widodo, 2006).

Kultur Salmonella typhi hingga saat ini masih digunakan sebagai baku emas diagnosis demam tifoid, tetapi hasil pemeriksaan kultur pada umumnya baru diperoleh setelah 3-5 hari inokulasi bahan pemeriksaan pada media kultur, sehingga penegakkan diagnosis demam tifoid sering terlambat. Selain itu hasil kultur sering memberikan hasil negatif palsu akibat terapi antibiotik yang sebelum


(13)

5

pemeriksaan kultur (Tubex-TF Biotekindo, 2006). Bahan pemeriksaan kultur dapat berasal dari darah, aspirat sumsum tulang, feses atau urine. Kultur Salmonella typhi dengan media pengkaya Bactec dapat mendeteksi pertumbuhan kuman lebih cepat sebelum dilakukan subkultur pada media agar Mac Conkey daripada bila bahan pemeriksaan langsung diinokulasikan pada media konvensional gall. Koloni yang tumbuh pada media agar Mac Conkey, lalu diuji dengan antisera untuk mengetahui serotipe kuman Salmonella tersebut (BD Bactec, 2006).

Pemeriksaan serologis penunjang diagnosis demam tifoid telah berkembang pesat, tidak hanya pemeriksaan Widal saja tetapi juga sudah ada Tubex-TF, IgM rapid test Dalf, dan lain-lain dari berbagai produsen reagen (Mahubur Rahman, 2007).

Pemeriksaan Widal merupakan pemeriksaan serologis untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman Salmonella typhi, berdasarkan reaksi aglutinasi antara antigen kuman dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen Widal menggunakan suspensi kuman Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan pemeriksaan Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid, yaitu aglutinin O (tubuh kuman), aglutinin H (flagela kuman), dan aglutinin Vi (simpai kuman). Deteksi aglutinin baik O dan atau H digunakan sebagai penunjang diagnosis demam tifoid, di mana semakin tinggi titer aglutinin O dan atau H, maka kemungkinan infeksi kuman Salmonella makin tinggi. Pembentukan aglutinin dimulai pada minggu pertama demam, biasanya setelah hari ke-4 yang akan terus meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat, akan tetap tinggi selama beberapa minggu. Aglutinin O adalah aglutinin yang mula-mula timbul pada fase akut demam tifoid, kemudian disusul dengan peningkatan aglutinin H. Aglutinin O masih terdeteksi dalam darah penderita demam tifoid yang telah sembuh hingga 4-6 bulan pasca demam tifoid, sedangkan aglutinin H akan lebih lama menetap dalam darah yaitu sekitar 9-12 bulan. Hasil pemeriksaan Widal dapat memberikan hasil positif palsu ataupun negatif palsu. Beberapa faktor yang mempengaruhi pemeriksaan Widal antara lain terapi antibiotik yang terlalu dini yaitu sebelum


(14)

6

dipastikan diagnosis penyakit, gangguan pembentukan antibodi dalam tubuh penderita, pemberian terapi kortikosteroid, saat pengambilan bahan pemeriksaan darah, apakah tempat tinggal penderita daerah endemis demam tifoid atau bukan, riwayat vaksinasi sebelum pemeriksaan Widal, reaksi anamnestik, faktor perbedaan teknik pemeriksaan antar laboratorium, dan atau subyektivitas interpretasi pembacaan titer Widal. Ada 2 metode pemeriksaan Widal, yaitu metode konvensional Widal tabung dan Widal slide. Hasil Widal dianggap positif bila titer antibodi pemeriksaan Widal tunggal 1/160 atau hasil pemeriksaan Widal sepasang serum penderita dengan interval waktu 1 minggu menunjukkan kenaikan titer Widal 4 x, baik titer aglutinin O dan atau H. Hasil pemeriksaan Widal yang telah populer di kalangan masyarakat sebagai penunjang diagnosis demam tifoid sering menunjukkan hasil positif palsu atau negatif palsu karena pada pemeriksaan Widal menggunakan antigen poliklonal sehingga dapat menyebabkan terjadinya reaksi silang (Indro Handojo, 2004).

Pemeriksaan Tubex-TF adalah pemeriksaan serologis semi kuantitatif in vitro untuk mendeteksi antibodi IgM terhadap antigen lipopolisakarida (LPS) O9 yang digunakan sebagai sarana penunjang diagnosis demam tifoid yang relatif baru. Prinsip pemeriksaan Tubex-TF adalah Inhibition Magnetic Binding Immunoassay (IMBI), dengan prosedur pemeriksaan cukup sederhana dan hasilnya relatif cepat diperoleh. Antigen lipopolisakarida (LPS) O9 hanya dimiliki oleh kuman Salmonella typhi serogrup D. Lim dkk. pada penelitiannya terhadap Tubex-TF sebagai sarana penunjang diagnosis demam tifoid, mendapatkan sensitivitas Tubex-TF sebesar 91,2% dengan spesifisitas 82,3% (Lim, 1998). Oracz melaporkan bahwa Tubex-TF memiliki sensitifitas 92,6% dan spesifisitas 94,8% sebagai sarana penunjang diagnosis demam tifoid (Oracz, 2003).

1.6 Hipotesis Penelitian

Validitas pemeriksaan Tubex TF sebagai penunjang diagnosis demam tifoid lebih baik dibandingkan Widal.


(15)

7

1.7 Metode Penelitian

Bentuk penelitian ini adalah deskriptif analitik yang bersifat retrospektif dengan rancangan cross sectional terhadap hasil pemeriksaan Widal, Tubex-TF, dan kultur Salmonella typhi sebagai baku emas pada penderita tersangka demam tifoid.

1.8 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian bertempat di Instalasi Laboratorium Rumah Sakit Immanuel Bandung, dengan waktu penelitian dari Februari sampai dengan Juli 2010.


(16)

50 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini yaitu:

5.1.1Validitas pemeriksaan Widal sebagai sarana penunjang diagnosis demam tifoid buruk (p > 0,05) yang diuji terhadap baku emas kultur Salmonella typhi.

5.1.2Validitas pemeriksaan Tubex-TF sebagai sarana penunjang diagnosis demam tifoid baik (p < 0,05) yang diuji terhadap baku emas kultur Salmonella typhi.

5.1.3Validitas pemeriksaan Tubex-TF sebagai penunjang diagnosis demam tifoid lebih baik daripada Widal.

5.2 Saran-saran yang ingin penulis usulkan untuk peneliti-peneliti yang meneliti akurasi sarana penunjang diagnosis demam tifoid selanjutnya yaitu:

5.2.1Agar menyertakan pemeriksaan PCR selain kultur Salmonella typhi sebagai baku emas diagnosis demam tifoid.

5.2.2Melakukan prosedur pemeriksaan Tubex-TF lebih baik untuk mengurangi kesalahan.

5.2.3Melakukan penelitian dengan jumlah sampel yang lebih besar agar hasil penelitian lebih akurat.


(17)

51

Daftar Pustaka

Aydin Aydinli, Abdurrahman Kiremitci, Nuri Kiraz, Yurdanur Akgu¨n, Gu¨l Durmaz, and Tercan Us. 2002. Optimum Detection Times for Bacteria and Yeast Species with the BACTEC 9120 Aerobic Blood Culture System: Evaluation for a 5-Year Period in a Turkish University Hospital. J clin microbial. 2 (41): 819-21.

BD Bactec Peds Plus. 2006. Soybean-casein digest broth with resins. United States : BD Bactec.

Christopher MP, Tran TT, Gordon D, Nicholas JW, and Jeremy JF. 2002. Typhoid fever. NEJM ; 347: 1770-82

Demam tifoid. Pustaka Medika Indo. http://cetrione.blogspot.com. 4 November 2009

Demam tifoid. http://www.medicastore.com. 7 Desember 2009.

Djoko Widodo. 2006. Demam tifoid. Dalam : Aru Sudibyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata, dan Siti Setiadi, Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia, edisi III. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. halaman 1752-7.

http://www.elsevier.com/locate/diagmicrobio

IDL Biotech AB. 2006. Tubex TF instruction for use. http://www.idl.se., December 7th 2006.

Indro Handojo. 2004. Imunoasai untuk penyakit infeksi bakterial. Dalam : Indro Handojo, Imunoasai terapan pada beberapa penyakit infeksi. Surabaya : Universitas Airlangga. Halaman : 1-23.

Indro Handojo, SP Edijanto, M Yolanda Probohoesodo, dan Ni Nyoman Mahartini. 2004. Comparison of the diagnostic value of local widal slide test with imported widal slide test. Surabaya : Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Jurnal kedokteran Universitas Airlangga ; 2 (35).

Jawetz, Melnick, and Adelberg. 2007. Medical Microbiology. 24th ed. Boston: McGraw Hill.


(18)

52

John LB, 2009. Typhoid fever. http://www.emedicine.com., September 2nd, 2009. Karnen Garna Baratawidjaja. 2004. Antigen dan antibodi. dalam: Karnen Garna

Baratawidjaja, Imunologi dasar. edisi 6. Jakarta : Universitas Indonesia. halaman 82-3.

Lemeshow S, Hormer DW, Klar J, Iwaga SK. 1992. Statistical methods for sample size determination. In: WHO. Adequancy of sample size in health study. Chischester New York Brisbane Toronto Singapore : John Wiley & Sons.

Lim PL, Tam FC, Cheong YM, Jegathesan M. 1998. One-step 2 minute test to detect typhoid-spesific antibodies based on particle separation in tubes. J Clin Microbiol ; 36 (8) : 2271-8.

Mahbubur R, Frankie CHT. 2007. Rapid detection of early typhoid fever in endemic community children by the TUBEX 09-antibody test. J diagmicrobio. 10 (1).

PT. Pacific Biotekindo Intralab. 2006. TUBEX TF a magnetic semi quantitative rapid immunoassay test for typhoid fever diagnostic. Jakarta: PT Pacific Biotekindo Lab.

Sudigdo Sastroasmoro. 2002. Pemilihan subyek penelitian. dalam: Sudigdo Satroasmoro dan Sofyan Ismael, Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. edisi 2. Jakarta: CV Sagung Seto. halaman 67-77.

Surya H, Setiawan B, Shatri H, Sudoyo A, dan Loho T. 2007. Tubex TF test compared to Widal test in diagnostics of typhoid fever. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Tam FC, Ling TK, Wong KT, Leung DT, Chan RC, Lim PL. 2008. The Tubex test detects not only typhoid-spesific antibodies but also soluble antigens and whole bacteria. J Med Microbiol. 57(3) : 316-23.

Tam FC, Wang M, Dong B, Leung DT, Ma CH, Lim PL. 2008. New rapid test for paratyphoid A fever : usefullness, cross-detection, and solution. Diagn Microbiol Infect Dis. 62(2): 142-50.


(19)

53

Tri Nur Kristina, Hendra Wahjono, Subakir, Tjahjati. 2007. Analisis realibilitas tes widal dan tubex untuk pemeriksaan serologi demam tifoid. Jurnal Kedokteran Media Medika Indonesia. 2(42) : 4.

Typhoid and paratyphoid enteric fever. http://www.who.com. 16 Desember 2009.

WHO. 2004. Communicable disease surveillance and response vaccines and biological : The diagnosis, treatment, and prevention of typhoid fever. Indonesia: WHO.

WHO. Haryanto Surya, Budi Setiawan, dkk. Perbandingan pemeriksaan uji TUBEX TF dengan widal dalam mendiagnosis demam tifoid. Indonesia. WHO. 2008. A study of typhoid fever in five Asian countries: disease burden and

implications for controls. in Bulletin of the World Health Organization. vol 86: 241-320.

WHO. 2000. Enteric Fever. in Blood Safety and Clinical Technology: Guidelines on Standard Operating Procedures for Microbiology.

Victor E.P., 2003. Sistem pencernaan: usus halus dan usus besar. dalam Atlas histologi di fiore. editor Jan Tambayong. edisi 9. Jakarta: EGC. halaman 179-201.


(1)

6

dipastikan diagnosis penyakit, gangguan pembentukan antibodi dalam tubuh penderita, pemberian terapi kortikosteroid, saat pengambilan bahan pemeriksaan darah, apakah tempat tinggal penderita daerah endemis demam tifoid atau bukan, riwayat vaksinasi sebelum pemeriksaan Widal, reaksi anamnestik, faktor perbedaan teknik pemeriksaan antar laboratorium, dan atau subyektivitas interpretasi pembacaan titer Widal. Ada 2 metode pemeriksaan Widal, yaitu metode konvensional Widal tabung dan Widal slide. Hasil Widal dianggap positif bila titer antibodi pemeriksaan Widal tunggal 1/160 atau hasil pemeriksaan Widal sepasang serum penderita dengan interval waktu 1 minggu menunjukkan kenaikan titer Widal 4 x, baik titer aglutinin O dan atau H. Hasil pemeriksaan Widal yang telah populer di kalangan masyarakat sebagai penunjang diagnosis demam tifoid sering menunjukkan hasil positif palsu atau negatif palsu karena pada pemeriksaan Widal menggunakan antigen poliklonal sehingga dapat menyebabkan terjadinya reaksi silang (Indro Handojo, 2004).

Pemeriksaan Tubex-TF adalah pemeriksaan serologis semi kuantitatif in vitro untuk mendeteksi antibodi IgM terhadap antigen lipopolisakarida (LPS) O9 yang digunakan sebagai sarana penunjang diagnosis demam tifoid yang relatif baru. Prinsip pemeriksaan Tubex-TF adalah Inhibition Magnetic Binding Immunoassay (IMBI), dengan prosedur pemeriksaan cukup sederhana dan hasilnya relatif cepat diperoleh. Antigen lipopolisakarida (LPS) O9 hanya dimiliki oleh kuman Salmonella typhi serogrup D. Lim dkk. pada penelitiannya terhadap Tubex-TF sebagai sarana penunjang diagnosis demam tifoid, mendapatkan sensitivitas Tubex-TF sebesar 91,2% dengan spesifisitas 82,3% (Lim, 1998). Oracz melaporkan bahwa Tubex-TF memiliki sensitifitas 92,6% dan spesifisitas 94,8% sebagai sarana penunjang diagnosis demam tifoid (Oracz, 2003).

1.6 Hipotesis Penelitian

Validitas pemeriksaan Tubex TF sebagai penunjang diagnosis demam tifoid lebih baik dibandingkan Widal.


(2)

7

1.7 Metode Penelitian

Bentuk penelitian ini adalah deskriptif analitik yang bersifat retrospektif dengan rancangan cross sectional terhadap hasil pemeriksaan Widal, Tubex-TF, dan kultur Salmonella typhi sebagai baku emas pada penderita tersangka demam tifoid.

1.8 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian bertempat di Instalasi Laboratorium Rumah Sakit Immanuel Bandung, dengan waktu penelitian dari Februari sampai dengan Juli 2010.


(3)

50 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini yaitu:

5.1.1Validitas pemeriksaan Widal sebagai sarana penunjang diagnosis demam tifoid buruk (p > 0,05) yang diuji terhadap baku emas kultur Salmonella typhi.

5.1.2Validitas pemeriksaan Tubex-TF sebagai sarana penunjang diagnosis demam tifoid baik (p < 0,05) yang diuji terhadap baku emas kultur Salmonella typhi.

5.1.3Validitas pemeriksaan Tubex-TF sebagai penunjang diagnosis demam tifoid lebih baik daripada Widal.

5.2 Saran-saran yang ingin penulis usulkan untuk peneliti-peneliti yang meneliti akurasi sarana penunjang diagnosis demam tifoid selanjutnya yaitu:

5.2.1Agar menyertakan pemeriksaan PCR selain kultur Salmonella typhi sebagai baku emas diagnosis demam tifoid.

5.2.2Melakukan prosedur pemeriksaan Tubex-TF lebih baik untuk mengurangi kesalahan.

5.2.3Melakukan penelitian dengan jumlah sampel yang lebih besar agar hasil penelitian lebih akurat.


(4)

51

Daftar Pustaka

Aydin Aydinli, Abdurrahman Kiremitci, Nuri Kiraz, Yurdanur Akgu¨n, Gu¨l Durmaz, and Tercan Us. 2002. Optimum Detection Times for Bacteria and Yeast Species with the BACTEC 9120 Aerobic Blood Culture System: Evaluation for a 5-Year Period in a Turkish University Hospital. J clin microbial. 2 (41): 819-21.

BD Bactec Peds Plus. 2006. Soybean-casein digest broth with resins. United States : BD Bactec.

Christopher MP, Tran TT, Gordon D, Nicholas JW, and Jeremy JF. 2002. Typhoid fever. NEJM ; 347: 1770-82

Demam tifoid. Pustaka Medika Indo. http://cetrione.blogspot.com. 4 November 2009

Demam tifoid. http://www.medicastore.com. 7 Desember 2009.

Djoko Widodo. 2006. Demam tifoid. Dalam : Aru Sudibyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata, dan Siti Setiadi, Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia, edisi III. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. halaman 1752-7.

http://www.elsevier.com/locate/diagmicrobio

IDL Biotech AB. 2006. Tubex TF instruction for use. http://www.idl.se., December 7th 2006.

Indro Handojo. 2004. Imunoasai untuk penyakit infeksi bakterial. Dalam : Indro Handojo, Imunoasai terapan pada beberapa penyakit infeksi. Surabaya : Universitas Airlangga. Halaman : 1-23.

Indro Handojo, SP Edijanto, M Yolanda Probohoesodo, dan Ni Nyoman Mahartini. 2004. Comparison of the diagnostic value of local widal slide test with imported widal slide test. Surabaya : Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Jurnal kedokteran Universitas Airlangga ; 2 (35).

Jawetz, Melnick, and Adelberg. 2007. Medical Microbiology. 24th ed. Boston: McGraw Hill.


(5)

52

John LB, 2009. Typhoid fever. http://www.emedicine.com., September 2nd, 2009.

Karnen Garna Baratawidjaja. 2004. Antigen dan antibodi. dalam: Karnen Garna Baratawidjaja, Imunologi dasar. edisi 6. Jakarta : Universitas Indonesia. halaman 82-3.

Lemeshow S, Hormer DW, Klar J, Iwaga SK. 1992. Statistical methods for sample size determination. In: WHO. Adequancy of sample size in health study. Chischester New York Brisbane Toronto Singapore : John Wiley & Sons.

Lim PL, Tam FC, Cheong YM, Jegathesan M. 1998. One-step 2 minute test to detect typhoid-spesific antibodies based on particle separation in tubes. J Clin Microbiol ; 36 (8) : 2271-8.

Mahbubur R, Frankie CHT. 2007. Rapid detection of early typhoid fever in endemic community children by the TUBEX 09-antibody test. J diagmicrobio. 10 (1).

PT. Pacific Biotekindo Intralab. 2006. TUBEX TF a magnetic semi quantitative rapid immunoassay test for typhoid fever diagnostic. Jakarta: PT Pacific Biotekindo Lab.

Sudigdo Sastroasmoro. 2002. Pemilihan subyek penelitian. dalam: Sudigdo Satroasmoro dan Sofyan Ismael, Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. edisi 2. Jakarta: CV Sagung Seto. halaman 67-77.

Surya H, Setiawan B, Shatri H, Sudoyo A, dan Loho T. 2007. Tubex TF test compared to Widal test in diagnostics of typhoid fever. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Tam FC, Ling TK, Wong KT, Leung DT, Chan RC, Lim PL. 2008. The Tubex test detects not only typhoid-spesific antibodies but also soluble antigens and whole bacteria. J Med Microbiol. 57(3) : 316-23.

Tam FC, Wang M, Dong B, Leung DT, Ma CH, Lim PL. 2008. New rapid test for paratyphoid A fever : usefullness, cross-detection, and solution. Diagn Microbiol Infect Dis. 62(2): 142-50.


(6)

53

Tri Nur Kristina, Hendra Wahjono, Subakir, Tjahjati. 2007. Analisis realibilitas tes widal dan tubex untuk pemeriksaan serologi demam tifoid. Jurnal Kedokteran Media Medika Indonesia. 2(42) : 4.

Typhoid and paratyphoid enteric fever. http://www.who.com. 16 Desember 2009.

WHO. 2004. Communicable disease surveillance and response vaccines and biological : The diagnosis, treatment, and prevention of typhoid fever. Indonesia: WHO.

WHO. Haryanto Surya, Budi Setiawan, dkk. Perbandingan pemeriksaan uji TUBEX TF dengan widal dalam mendiagnosis demam tifoid. Indonesia.

WHO. 2008. A study of typhoid fever in five Asian countries: disease burden and implications for controls. in Bulletin of the World Health Organization. vol 86: 241-320.

WHO. 2000. Enteric Fever. in Blood Safety and Clinical Technology: Guidelines on Standard Operating Procedures for Microbiology.

Victor E.P., 2003. Sistem pencernaan: usus halus dan usus besar. dalam Atlas histologi di fiore. editor Jan Tambayong. edisi 9. Jakarta: EGC. halaman 179-201.


Dokumen yang terkait

PROPORSI PEMERIKSAAN IgM ANTI-Salmonella typhi POSITIF MENGGUNAKAN TYPHIDOT DENGAN PEMERIKSAAN WIDAL POSITIF PADA PASIEN KLINIS DEMAM TIFOID AKUT DI RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

4 33 52

PROPORSI PEMERIKSAAN IgM ANTI Salmonella typhi O9 POSITIF MENGGUNAKAN TUBEX DENGAN PEMERIKSAAN WIDAL POSITIF PADA PASIEN KLINIS DEMAM TIFOID AKUT DI RSUD Dr. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

5 55 57

Gambaran Gejala Klinik, Hemoglobin, Leukosit, Trombosit dan Uji Widal Pada Penderita Demam Tifoid Dengan IgM Anti Salmonella typhi (+) Di Dua Rumah Sakit Subang Tahun 2013.

4 8 26

Uji Diagnostik Pemeriksaan Imunoserologi IgM Anti Salmonella Metode IMBI dan Rapid Test Terhadap Baku Emas Kultur Salmonella typhi Pada Penderita Tersangka Demam Tifoid.

1 3 34

Uji Validitas Pemeriksaan Widal Terhadap Kultur Salmonella Species Sebagai Penunjang Diagnosis Demam Tifoid.

0 8 85

Tes Resistansi Salmonella Typhi Penderita Demam Tifoid Terhadap Beberapa Antibiotika.

0 0 13

Gambaran Hasil Uji Widal Berdasarkan Lama Demam pada Pasien Suspek Demam Tifoid

0 0 5

Key Words: Field Widal, Comparative Widal, Culture, Typhoid Suspect. PENDAHULUAN - ANALISIS METODE SEROLOGI WIDAL LAPANGAN, WIDAL PEMBANDING, DAN KULTUR PADA PENDERITA SUSPEK DEMAM TIFOID DI SULAWESI SELATAN

0 0 13

1 PEMERIKSAAN WIDAL SLIDE UNTUK DIAGNOSA DEMAM TIFOID

0 0 7

UJI KONFIRMASI WIDAL POSITIF O TITER 1/640 DENGAN RAPID TEST IgM ANTI Salmonella typhi PADA PENDERITA SUSPEK DEMAM TIFOID - Repository Universitas Muhammadiyah Semarang

0 0 7