PROPORSI PEMERIKSAAN IgM ANTI-Salmonella typhi POSITIF MENGGUNAKAN TYPHIDOT DENGAN PEMERIKSAAN WIDAL POSITIF PADA PASIEN KLINIS DEMAM TIFOID AKUT DI RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

(1)

PROPORSI PEMERIKSAAN IgM ANTI-Salmonella typhi POSITIF MENGGUNAKAN TYPHIDOT DENGAN PEMERIKSAAN WIDAL

POSITIF PADA PASIEN KLINIS DEMAM TIFOID AKUT DI RSUD Dr. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

Oleh META SAKINA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2014


(2)

i

ABSTRACT

PROPORTION OF POSITIVE IgM ANTI-Salmonella typhi EXAMINATION USING TYPHIDOT WITH POSITIVE WIDAL EXAMINATION IN CLINICAL PATIENT OF ACUTE TYPHOID FEVER IN RSUD DR. H.

ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

By

META SAKINA

Typhoid fever is a systemic infectious disease caused by Salmonella typhi (S. typhi) are still found widely in many developing countries, including Indonesia. The problem is the diagnostic of suspected typhoid fever is still based on the Widal examination, despite of previous studies that had a low sensitivity and specificity. The Typhidot examination, which detects IgM and IgG antibodies to a S. typhi-specific outer membrane protein (OMP), theoretically, more sensitive and specific than the Widal examination.

The purpose of the study was to determine the proportion of positive Typhidot examination in patients with clinically positive Widal in acute typhoid fever. This analytical descriptive study using a cross sectional design. Consecutive sampling technique applied on a population of patients with Widal O ≥ 1/320 and clinical patient of acute typhoid fever in the laboratory of Clinical Pathology Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung Hospital. Total subject are 91 subjects. The result of the test obtained on examination Typidot positive in 25 subjects. For conclusion, the proportion of positive IgM anti S. typhi examination using Typhidot with positive Widal examination in clinical patient of acute typhoid fever in RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung was 27.5%.


(3)

i

ABSTRAK

PROPORSI PEMERIKSAAN IgM ANTI-Salmonella typhi POSITIF MENGGUNAKAN TYPHIDOT DENGAN PEMERIKSAAN WIDAL POSITIF PADA PASIEN KLINIS DEMAM TIFOID AKUT DI RSUD

DR. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

Oleh META SAKINA

Demam tifoid ialah penyakit infeksi sistemik disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi) yang dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang termasuk Indonesia. Permasalahan saat ini adalah metode penegakan diagnosis demam tifoid masih menggunakan pemeriksaan Widal yang diketahui memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Pemeriksaan diagnosis lainnya yaitu Typhidot mendeteksi adanya antibodi spesifik IgM dan IgG yang terdapat pada Outer Membran Protein (OMP) S. typhi secara teori memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui proporsi pemeriksaan Typhidot positif dengan Widal positif pada pasien klinis demam tifoid akut. Penelitian deskriptif analitik ini menggunakan rancangan cross sectional. Teknik consecutive sampling dilakukan pada subjek dengan Widal O ≥ 1/320 dan klinis demam tifoid akut di laboratorium Patologi Klinik RSUDAM. Subjek penelitian berjumlah 91 subjek. Hasil pemeriksaan didapatkan pada pemeriksaan Typidot positif sebanyak 25 subjek. Proporsi pemeriksaan IgM anti S. typhi positif menggunakan Typhidot dengan pemeriksaan Widal positif pada pasien klinis demam tifoid akut di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung adalah 27,5%.


(4)

(5)

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iv

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Kerangka Teori ... 7

F. Kerangka Konsep ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

A. Bakteriologi ... 11

B. Definisi demam tifoid ... 14

C. Patogenesis demam tifoid ... 15

D. Manifestasi klinis demam tifoid ... 19

E. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis Demam Tifoid... 20

III. METODE PENELITIAN ... 34

A. Desain Penelitian ... 31

B. Waktu dan Tempat Penelitian ... 31

C. Populasi dan Sampel ... 32

D. Identifikasi Variabel ... 33

E. Definisi Operasional Variabel ... 34

F. Bahan dan Alat Penelitian ... 34

G. Prosedur Penelitian ... 35

H. Diagram Alur Penelitian ... 36

I. Pengolahan dan Analisis Data ... 36


(7)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

A. Hasil Penelitian ... 38

B. Pembahasan ... 42

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 47

A. Simpulan ... 47

B. Saran ... 47 DAFTAR PUSTAKA


(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.Mikroskopis kuman Salmonella typhi ... 8

2.Gambar kuman Salmonella typhi secara skematik ... 10

3.Patofisiologi demam tifoid ... 15

4.Respon Imun terhadap bakteri ... 15

5.Widal Test Kit ... 22

6.Typhidot kit. Dot EIA dan ICT test ... 25

7.Prosedur Typhidot (ICT Test) dan interpretasinya ... 26


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1.Klasifikasi Salmonella menurut Kauffman-White ... 13

2.Beberapa perbandingan pemeriksaan Typhidot dengan Pemeriksaan serologis ... 30

3.Definisi Operasional ... 34

4.Karakteristik subjek penelitian ... 38

5.Hasil penelitian jumlah subjek penelitian berdasarkan karakteristik usia ... 39

6.Distribusi persentase jumlah subjek berdasarkan karakteristik usia .. 39

7.Hasil karakteristik subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin ... 40

8.Distribusi persentase jumlah subjek berdasarkan jenis kelamin ... 40

9.Hasil penelitian berdasarkan karakteristik gejala klinis ... 41

10.Hasil penelitian prpoporsi Typhidot IgM positif ... 41

11.Distribusi hasil penelitian demam tifoid akut dengan Typhidot IgM... 42


(10)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Demam tifoid akut merupakan penyakit infeksi akut bersifat sistemik yang disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang dikenal dengan Salmonella typhi (S. typhi). Penyakit ini masih sering dijumpai di negara berkembang yang terletak di daerah tropis seperti Indonesia dan daerah subtropis (Tumbelaka, 2000).

Prevalensi demam tifoid di dunia diperkirakan sebanyak 17 juta manusia dan menyebabkan kematian sebanyak 600 ribu orang pertahunnya. Sementara itu, di Indonesia jumlah penduduk Indonesia yang menderita demam tifoid sebanyak 305-810/100.000 penduduk dengan jumlah kematian lebih dari 20.000/tahun. Penyakit ini merupakan penyakit endemis di Indonesia yang tidak terbatas pada umur tertentu, namun angka kesakitan tertinggi terdapat pada golongan umur 3-19 tahun (WHO, 2003; Marleni, 2012). Bandar Lampung merupakan salah satu daerah endemis demam tifoid walaupun dalam Riskesdas tahun 2007 bukan termasuk kota dengan prevalensi demam tifoid tertinggi (Riskesdas, 2007).


(11)

2 Penegakan diagnosis demam tifoid hanya dengan melihat tanda-tanda klinis sulit dilakukan karena tidak spesifiknya tanda-tanda dan gejala yang timbul, Gejala klinis demam tifoid yang timbul pada minggu pertama sakit yaitu keluhan demam, nyeri kepala, malaise dan gangguan gastrointestinal (Sudoyo, 2009). Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis demam tifoid secara garis besar dapat dibedakan menjadi empat kelompok yaitu (1) pemeriksaan darah tepi, (2) pengisolasian kuman penyebab demam tifoid S. typhi dengan biakan kuman, (3) pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen S. typhi dan penentuan adanya antigen spesifik dari S. typhi, dan (4) pelacakan DNA kuman S. typhi. Diagnosis pasti dapat dilakukan dengan menggunakan biakan kuman dari darah, urin, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Pada beberapa penelitian didapatkan biakan darah terhadap S. typhi tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan penyakit. Persentase terdeteksinya kuman antara 70-90% pada minggu pertama sakit, dan positif 50% pada akhir minggu ketiga. Pada pemeriksaan kultur darah, ketidakefektifan ditemukan pada penderita demam tifoid yang sebelumnya telah mendapat antibiotik, sehingga menghambat pertumbuhan kuman dalam media biakan dan hasil kultur menjadi negatif. Volume darah terlalu sedikit (kurang dari 5 cc) juga dapat mengakibatkan pembacaan hasil kultur menjadi negatif. Riwayat vaksinasi dapat menimbulkan antibodi pada darah pasien yang dapat menekan bakteriemia hingga kultur darah menjadi negatif. Pengambilan darah setelah minggu pertama juga bisa menghasilkan kultur darah negatif karena aglutinin yang semakin meningkat (Tumbelaka, 2003). Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur


(12)

3 mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis rutin demam tifoid di tempat-tempat pelayanan kesehatan (Hayat, 2011).

Pemeriksaan lain adalah pemeriksaan serologis yaitu pemeriksaanWidal, pemeriksaan metode Dot Enzym Immunoassay (Typhidot), metode Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA), pemeriksaan Dipstik dan pemeriksaan Tubex. PemeriksaanWidal merupakan metode serologi yang banyak dilakukan di Indonesia namun sulit untuk dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan standar aglutinasi (cut-off point). Belum ditemukan adanya kesamaan pendapat tentang titer aglutinin yang bermakna untuk diagnosis demam tifoid. Batas titer aglutinin yang sering digunakan hanya kesepakatan saja, berlaku setempat, dan bahkan dapat berbeda di berbagai laboratorium. Selain itu, sensitivitas pemeriksaanWidal hanya 74% dan spesifisitas 17 % (Marleni, 2012).

Berbagai metode diagnostik sebagai pengganti pemeriksaanWidal dan kultur darah sebagai metode konvensional masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Beberapa metode diagnostik yang lebih cepat, mudah dilakukan dan terjangkau harganya untuk negara berkembang dengan sensitivitas dan spesifisitas yang cukup baik, seperti pemeriksaan Tubex, Typhidot dan Dipstik mulai dapat dikembangkan penggunaannya di Indonesia (Tumbelaka, 2003).


(13)

4 Pemeriksaan serologis Typhidot merupakan suatu pemeriksaan serologi yang didasarkan pada deteksi antibodi spesifik IgM maupun IgG terhadap S. typhi. Pemeriksaan menggunakan suatu membran nitroselulosa yang diisi 50 KDa spesifik protein dan antigen kontrol. Deteksi antibodi IgM menunjukkan tahap awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan adanya peningkatan IgG menandakan infeksi yang lebih lanjut. Pada Typhidot IgM yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap IgM spesifik. Walaupun kultur merupakan pemeriksaan gold standar, perbandingan kepekaan Typhidot IgM dan metode kultur adalah >93%. Typhidot IgM sangat bermanfaat untuk diagnosis cepat di daerah endemis demam tifoid (Marleni, 2012; WHO, 2003).

PemeriksaanTyphidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada protein membran luar S. typhi. Hasil positif pada pemeriksaanTyphidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen S. typhi seberat 50 kDa yang terdapat pada strip nitroselulosa (Sudoyo, 2009).

Pemeriksaan Typhidot merupakan metode diagnostik demam tifoid dengan tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan Widal. Kedua pemeriksaan tersebut lebih cepat, mudah, sederhana dan akurat untuk digunakan dalam penegakan diagnosis demam tifoid (Choo, 1999). Pada penelitian Gopalakhrisnan tahun 2002, sensitivitas pemeriksaan Typhidot sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76,6%, dan efisiensi


(14)

5 pemeriksaan sebesar 84%. Penelitian lain yang dilakukan oleh Olsen dkk, didapatkan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan Typhidot hampir sama dengan pemeriksaan Tubex yaitu 79% dan 89% dengan 78% dan 89% (Marleni, 2012).

Pemeriksaan Typhidot tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Maka bila dibandingkan dengan pemeriksaan Widal, sensitivitas pemeriksaan Typhidot lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu disertai dengan pemeriksaanWidal positif (Choo,1999).

Berbagai penelitian mengenai sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan Typhidot yang bervariasi mendorong keinginan penulis untuk mengetahui proporsi nilai pemeriksaanTyphidot positif pada pasien yang terdiagnosis demam tifoid akut dengan pemeriksaan Widal positif di RSUD Dr.H.Abdoel Moeloek Bandar Lampung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi nilai positif Typhidot IgM pada pasien dengan Widal positif disertai klinis yang mendukung ke arah demam tifoid untuk selanjutnya dari penelitian ini dapat mendeteksi kemampuan pemeriksaanTyphidot mendeteksi IgM anti-S. typhi pada pasien demam tifoid akut sehingga hasil penelitian ini nanti dapat menjadi evaluasi kesuksesan intervensi dalam eliminasi demam tifoid akut, khususnya di RSUD Dr. H Abdul Moeloek dan secara umum pada daerah endemis seperti di Bandar Lampung.


(15)

6 B. Rumusan Masalah

Variatifnya manifestasi klinis pada penderita demam tifoid yang seringkali tidak khas menyebabkan sulitnya penegakan diagnosis. Diagnosis pasti pada demam tifoid yaitu dengan ditemukannya bakteri S. typhi dalam biakan dan salah satu pemeriksaan serologis yang lebih cepat adalah pemeriksaan Typhidot yang mendeteksi antibodi spesifik IgM terhadap antigen S. typhi sehingga dapat memberikan diagnosis yang lebih tepat pada penderita demam tifoid akut (Marleni, 2012). Sampai saat ini belum ada penelitian yang menunjukkan proporsi nilai Typhidot positif pada pasien yang terdiagnosis klinis demam tifoid dan pemeriksaan Widal dengan O ≥ 1/320 sehingga timbul pertanyaan penelitian

Berapa proporsi pemeriksaan IgM anti-Salmonella typhipositif menggunakan Typhidot dengan pemeriksaanWidal positif pada pasien klinis demam tifoid akut di RSUD Dr.H. Abdul Moeloek Bandar Lampung?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui berapa proporsi pemeriksaan IgM anti-Salmonella typhi positif menggunakan Typhidot dengan pemeriksaan Widal positif pada pasien klinis demam tifoid akut di RSUD Dr.H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.


(16)

7 D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Penulis

Dapat meningkatkan pengetahuan mengenai tata cara penulisan karya ilmiah, mendapatkan data perbandingan nilai Widal dan Typhidot yang dapat dijadikan referensi pada penelitian lanjut mengenai ketepatan Typhidot untuk mendiagnosis demam tifoid secara dini.

2. Bagi Masyarakat

Dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai penegakan diagnosis demam tifoid.

3. Bagi Ilmu Kedokteran

Dapat digunakan sebagai perbandingan dan landasan penelitian selanjutnya.

E. Kerangka Teori

Perjalanan penyakit demam tifoid melewati beberapa proses, yaitu invasinya kuman S. thypi yang lolos dari respon imun tubuh non spesifik dalam lambung, sebagian yang lolos akan menginvasi ke dinding sel epitel usus halus, di usus halus S.typhi menemui mekanisme pertahanan non spesifik lain yaitu motilitas dan flora normal usus. S.typhi yang berhasil menembus mukosa usus akan masuk ke lamina propia, menetap dan berkembang biak. Di lamina propria, kuman yang tidak mengalami fagositosis dapat bertahan hidup, berkembang biak dalam sel mononukler sebelum akhirnya menyebar ke dalam aliran darah.


(17)

8 Selanjutnya kuman masuk ke dalam aliran darah sistemik, setelah 24-72 jam terjadi bakteriemia primer namun karena jumlah kuman belum banyak maka gejala klinis belum tampak. Bakteriemia primer akan berakhir setelah kuman masuk ke dalam organ retikuloendotelial system (RES) di hati, limpa, kelenjar getah bening mesenterium dan kelenjar limoid intestinal untuk berkembang biak. Masa inkubasi selama 10-14 hari. Dalam organ RES kuman berkembang pesat, kuman akan masuk ke peredaran darah dan terjadi bekteriemia sekunder. Pada bakteriemia sekunder gejala klinis mulai terlihat (Marleni, 2012).

Pemeriksaan serologis untuk penegakan diagnosis demam tifoid yang diketahui memiliki sensitivitas yang tinggi adalah pemeriksaan Typhidot dan pada pemeriksaan Typhidot, dideteksi adanya antibodi IgM dan IgG pada protein membran luar S. typhi. Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen S. typhi seberat 50 kDa yang terdapat pada strip nitroselulosa (WHO, 2003).


(18)

9

Aliran darah sistemik (bakteriemia 1) 24-72 jam

Aliran darah sistemik (bakteriemia II)

Manifestasi klinis demam tifoid, (demam> 4 hari, gangguan GI, ggn

Kultur darah, feses,urin S.thypi

(+)/(-)

SEROLOGIS Tubex TF (IgM +/-) Dipstik (IgM +/-) Widal Antigen O (+)/(-) ELISA IgM 7& IgG (+)/(-) DOT EIA IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kDa S. typhi

PCR DNA S.Thypi

(+)/(-)

Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui kontaminasi makanan dan minuman (Dosis 1000-1 juta)

Respon Imun

Ig M Ig G


(19)

10 F. Kerangka Konsep

Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui

kontaminasi makanan

respon imun dalam tubuh

Kuman masuk ke dalam sirkulasi darah

IgM

Pemeriksaan Typhidot

Timbul gejala klinis

Pemeriksaan Widal


(20)

11

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Bakteriologi

1. Sifat kuman S. typhi

Etiologi demam tifoid diakibatkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi dari family Enterobacteriaceae. Bakteri ini merupakan bakteri gram negatif batang, tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan berflagella (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup pada pH 6-8 pada suhu 15-410C (suhu optimal 37 0C ). Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan 54,4 0C selama satu jam dan suhu 600C selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi. Terjadinya penularan S. typhi pada manusia yaitu secara jalur fekal-oral. Sebagian besar akibat kontaminasi makanan atau minuman yang tercemar (Tumbelaka, 2003; WHO, 2003).

Gambar 1. Mikroskopis kuman Salmonella (sumber : www.MicrobiologiLab.com)


(21)

12 2. Struktur Antigen

Struktur antigen S. typhi terdiri dari 3 macam antigen, yaitu:

1. Antigen O (Antigenik somatik) merupakan bagian terpenting dalam menentukan virulensi kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida disebut endotoksin dan terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman. Antigen ini bersifat hidofilik, tahan terhadap pemanasan suhu 1000C selama 2-5 jam dan tahan alkohol 96 % dan etanol 96% selama 4 jam pada suhu 370C tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.

2. Antigen H (Antigen flagella) yang terletak pada flagella dan fimbria (pili) dari kuman. Flagel ini terdiri dari badan basal yang melekat pada sitoplasma dinding sel kuman, struktur kimia ini berupa protein yang tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol pada suhu 60 0C,.

Selain itu flagel juga terdiri dari the hook dan filamen yang terdiri dari komponen protein polimerase yang disebut flagelin dengan BM 51-57 kDa yang dipakai dalam pemeriksaan asam nukleat kuman S. typhi (WHO, 2003)

3. Antigen Vi (permukaan) yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi kuman terhadap fagositosis. Struktur kimia proteinnya dapat digunakan untuk mendeteksi adanya karier dan akan rusak jika diberi pemanasan selama 1 jam pada suhu 60 0C dan pada pemberian asam serta fenol (WHO, 2003).

Ketiga komponen antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.


(22)

13 Gambar 2. Gambar kuman S. typhi secara skematik. (Marleni, 2012)

Salmonella diklasifikasikan berdasarkan Kauffman dan White berdasarkan struktur antigen somatik nya dan antigen flagellanya (WHO, 2003).

Tabel 1. Klasifikasi Salmonella menurut Kauffman-White. (Tam, 2008)

periplasmik, lapisan peptidoglikan, dan membran sitoplasma (dalam). Membran luar terdiri atas lipoprotein, fosfolipid, protein membran dan lipopolisakarida (LPS) (Olsen, 2004).


(23)

14 Dinding sel S. typhi dibentuk 20% nya oleh lapisan lipoprotein. Sementara itu lapisan fosfolipid dan LPS membentuk 80% dinding sel kuman S. typhi. lipopolisakarida yang terdiri dari lipid A, oligosakarida, dan polisakarida yang merupakan bagian terpenting dan utama yang menentukan sifat antigenik dan aktivitas eksotoksin. Lipid A merupakan asam lemak jenuh yang menentukan aktivitas endotoksin dari LPS yang selanjutnya dapat mengakibatkan demam dan reaksi imunologis sang pejamu (Marleni, 2012; Olsen, 2004).

Outer Membran Protein (OMP) ialah dinding sel terluar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang berfungsi sebagai sawar untuk mengendalikan aktivitas masuknya cairan ke dalam membran sitoplasma serta berfungsi sebagai reseptor bakteriofag dan bakteriolisin (Marleni, 2012).

B. Definisi demam tifoid

Demam tifoid akut merupakan penyakit infeksi akut bersifat sistemik yang disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang dikenal dengan Salmonella typhi (S. typhi). Penyakit ini masih sering dijumpai di negara berkembang yang terletak di subtropis dan daerah tropis seperti Indonesia (Parry, 2004).

Sampai saat ini demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan utama didunia karena terkait dengan penyebarannya melalui kesehatan lingkungan, sanitasi dan sumber air yang tidak higienis diperparah dengan meningkatnya permasalahan kepadatan penduduk dan penyebaran yang begitu mudah melalui urbanisasi. Demam tifoid termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-undang


(24)

15 nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah (Sudoyo, 2009).

C. Patogenesis demam tifoid

Perjalanan penyakit S. typhi melalui beberapa proses, diawali dengan masuknya kuman melalui makanan dan minuman yang tercemar melalui jalur oral-fekal. Yang kemudian tubuh akan melakukan mekanisme pertahanan melalui beberapa proses respon imun baik lokal maupun sistemik, spesifik dan non-spesifik serta humoral dan seluler (Tumbelaka, 2003).

S. typhi yang masuk ke saluran cerna tidak selalu akan menyebabkan infeksi, karena untuk menimbulkan infeksim S. typhi harus dapat mencapai usus halus.

Keasaman lambung (PH ≤ γ,5) menjadi salah satu faktor penting yang

menghalangi S. typhi mencapai usus halus. Namun sebagian besar kuman S. typhi dapat bertahan karena memiliki gen ATR (acid tolerance response). Achlorhydria akibat penuaan, gastrektomi, pompa proton inhibitor, pengobatan histamin antagonis reseptor H2, atau pemberian antacid dapat menurunkan dosis infektif yang mempermudah kuman untuk lolos menuju usus halus (Marleni, 2012). Setelah masuk ke saluran cerna dan mencapai usus halus, S. typhi akan menemui dua mekanisme non spesifik yaitu motilitas dan flora normal usus berupa bakteri-bakteri anaerob. Motilitas usus bersifat fisik berupa kekuatan peristaltik usus untuk menghanyutkan kuman keluar. Di usus halus kuman akan menembus mukosa usus diperantarai microbial binding terhadap epitel menghancurkan


(25)

16 Microfold cells (M cells) sehingga sel-sel epitel mengalami deskuamasi, menembus epitel mukosa usus, masuk dalam lamina propria, menetap dan berkembang biak. Kuman akan berkembang biak dalam sel mononuklear sebelum menyebar ke dalam aliran darah (Nasronudin, 2007).

Di dalam sel fagosit mononuklear, kuman masuk menginfeksi Peyer’spatches, yaitu jaringan limfoid yang terdapat di ileum terminal dan bermultiplikasi, kemudian kuman menembus kelenjar limfoid intestinal dan duktus torasikus masuk ke dalam aliran darah sistemik. Setelah 24-72 jam terjadi bakteriemia primer namun jumlah kuman belum terlalu banyak maka gejala klinis belum tampak. Bakteriemia primer berakhir setelah kuman masuk ke dalam organ retikuloendotelial system (RES) di hati limpa, kelenjar getah bening mesenterium dan kelenjar limfoid intestinal untuk berkembang biak. Di organ ini kuman menjalani masa inkubasi selama 10-14 hari, dalam organ RES kuman berkembang pesat dan kembali masuk ke peredaran darah dan menimbulkan bakteriemia sekunder. Pada saat terjadi bakteriemia sekunder, dapat ditemukan gejala-gejala klinis dari demam tifoid (Marleni,2012; WHO,2003).

Pada dinding sel S. typhi terdapat pirogen LPS (endotoksin) dan sedikit peptidogikan. Endotoksin merupakan pirogen eksogen yang sangat poten untuk merangsang respons imun makrofag dan sel lain untuk menginduksi sekresi sitokin. Sebagai reseptor, Komponen CD14 akan berikatan dengan LPS. Ikatan tersebut kemudian berikatan pula dengan kelompok molekul Toll-like receptors (TLR). Aktivasi yang terjadi akan menstimulasi produksi sitokin dan aktivasi reseptor sitokin : reseptor sitokin tipe I (untuk IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-7, IL-9,


(26)

17 IL-11, IL-12, IL-13, IL-15) ; reseptor sitokin tipe II (untuk 1FN-α/ , IFN- , IL -10); reseptor TNF (untuk TNF, CD4OL, Fas); reseptor superfamili immunoglobulin (IL-1, M-CSF). Laju infeksi demam tifoid sangat ditentukan oleh aktivitas aktivasi reseptor tersebut. Berbagai sitokin tersebut mengikuti sirkulasi sistemik, menginduksi produksi prostaglandin, memengaruhi stabilitas pusat termoregulasi berefek terhadap pengaturan suhu tubuhdan menyebabkan demam (Marleni, 2012).

Sitokin tersebut pula yang menimbulkan dampak pada pusat nafsu makan menyebabkan nafsu makan menurun, memengaruhi ambang nyeri, sehingga timbul nyeri pada kepala,sendi, otot-otot, dan nyeri pada daerah saluran cerna. Sitokin memengaruhi perubahan pada plaque peyeri, inflamasi pada mukosa saluran cerna, menyebabkan motilitas saluran cerna terganggu, sehingga muncul keluhan mual, muntah, diare, nyeri abdomen, perdarahan, perdarahan, perforasi, sedangkan konstipasi terjadi pada tahap lanjut. Kondisi patologis akibat infeksi merangsang hiperativitas RES dan menimbulkan pembengkakan hati dan limpa (Pastoor, 2007).

Pentingnya imunitas dalam penegakan diagnosis ditunjukkan dari kenaikan titer antibodi terhadap antigen S. typhi. Peran imunitas seluler yaitu dalam penyembuhan penyakit. Pada infeksi primer, respon humoral melalui sel limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang akan merangsang terbentuknya immunoglobulin (Ig). Pada infeksi akut, yang pertama terbentuk antibodi O (IgM) yang muncul pada hari ke 3-4 demam, kemudian disusul antibodi pada infeksi kronik yaitu antibodi flagela H (IgG) (Sudoyo, 2009).


(27)

18 Gambar 3. Patofosiologi demam tifoid (Marleni, 2012)


(28)

19 D. Manifestasi klinis demam tifoid

Manifestasi klinis demam tifoid seringkali tidak khas dan sangat bervariasi dari gejala ringan seperti demam yang tidak terlalu tinggi, malaise dan batuk kering. sesuai dengan patogenesis demam tifoid sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini menyebabkan sulit untuk melakukan penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja (Darmowandoyo, 2003; Tumbelaka, 2003).

Keluhan demam merupakan gejala klinis terpenting yang muncul pada semua penderita demam tifoid. Demam muncul secara tiba-tiba kemudian dalam 1-2 hari menjadi parah dengan tipe demam step ladder temperature chart yang ditandai dengan demam timbul kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu keempat demam akan turun perlahan. Bersamaan dengan munculnya gejala demam sering ditemukan pula keluhan gastrointestinal seperti muntah, mual , diare dan dan pada tahap lanjut terjadi konstipasi dan dapat muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus. Manifestasi gejala mental kadang-kadang mendominasi gambaran klinis, seperti konfusi, stupor, psikotik atau koma. Gejala lain yang tidak spesifik seperti batuk, malaise, sakit kepala, menggigil sering muncul pada awal perjalanan penyakit (Pastoor, 2007).

Pada pemeriksaan fisik penderita tampak sakit sedang hingga berat. Apatis dan delirium terjadi pada 10-45%, bradikardi relatif 15-10% penderita, rose spot (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada dada dan abdomen


(29)

20 (40-80%) dan dalam waktu relatif singkat (2-3 hari). Pada awal minggu kedua, dapat timbul hepatomegali. Pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri lokal, terkadang disertai penurunan bising usus atau terjadi distensi abdomen (Choo,1999).

E. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis Demam Tifoid

Menurut WHO (2003), seseorang dikatakan mengalami demam tifoid bila disertai demam (≥ γ80C) yang berlangsung selama tiga hari dengan konfirmasi laboratorium kultur S. typhi positif (darah, tulang sumsum, usus cairan). Seseorang mungkin mengalami demam tifoid bila disertai demam (≥ γ80C) selama tiga hari dengan serodiagnosis positif atau tes deteksi antigen S. typhi tetapi tanpa isolasi. Sedangkan sesorang dikatakan karier kronis bila terdapat S. typhi dalam feses selama lebih dari satu tahun setelah onset akut tifoid (WHO, 2003).

1. Pemeriksaan Darah Tepi

Anemia dapat ditemukan pada penderita demam tifoid, jumlah leukosit normal, bisa menurun atau meningkat, anemia sering terjadi adalah anemia normokrom normositik yang terjadi diakibatkan asupan yang terbatas karena terganggunya absorbsi, hambatan pembentukan darah di sum-sum tulang dan penghancuran sel darah merah.

Diduga akibat infeksi S. typhi terjadi perpindahan leukosit dari sirkulasi ke dinding pembuluh darah sehingga leukosit dalam sirkulasi berkurang sehingga penderita mengalami leukopenia (20-25%). Leukopenia dengan jumlah


(30)

3000-21 4000/mm³ dapat ditemukan pada fase demam. Jumlah leukosit < 2000 /mm³ merupakan tanda prognosis buruk (House, 2001).

Penelitian beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan prediksi yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid (Marleni 2012).

2. Biakan Salmonella typhi

Penegakan diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi terdapat pada biakan darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum dan rose spot (Tumbelaka, 2003). Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, Kegagalan untuk mengisolasi organisme dapat disebabkanoleh beberapa faktor: (1) keterbatasan media laboratorium, (2) penggunaan antibiotik, (3) volume spesimen, jumlah yang dianjurkan 10-15 ml, atau (4) waktu pengumpulan, pasien dengan riwayat demam selama 7 sampai 10 hari menjadi lebih mungkin memiliki kultur darah positif (Tumbelaka, 2003; WHO, 2003).

Aspirasi sum-sum tulang adalah gold standard untuk diagnosis demam tifoid karena bakteri dalam sumsum tulang ini lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada dalam darah. Namun prosedur yang digunakan sangat invasif dan tidak digunakan dalam praktek sehari-hari. Aspirasi duodenum juga telah terbukti sangat memuaskan sebagai tes diagnostik tetapi belum diterima secara luas karena


(31)

22 toleransi yang kurang baik pada aspirasi duodenum, terutama pada anak-anak (WHO, 2003).

3. Identifikasi kuman secara molekuler

Metode serologi lainnya adalah identifikasi bakteri S. typhi dengan mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagelin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi. Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah. Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan pemeriksaanWidal (35.6%) (Massi, 2003).

Kelemahan yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR adalah risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara teliti dan adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya mahal dan prosedur rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian (Bourbeau, 2001).


(32)

23 4. Pemeriksaan Serologis

Pemeriksaan serologis dapat mempermudah menegakkan diagnosis dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Beberapa pemeriksaan yang dapat dipergunakan ialah pemeriksaan Widal, metode Enzymme-linked Immunoasrbent Assay (ELISA), pemeriksaan Tubex TF, pemeriksaan dipstik dan Typhidot (Siba, 2012).

a. Pemeriksaan Widal

Pemeriksaan Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896. Prinsip pemeriksaan Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Semakin tinggi titernya, semakin besar kemungkinan infeksi ini (Tumbelaka, 2003; WHO, 2003).

Teknik aglutinasi ini menggunakan pemeriksaan hapusan (slide test) atau pemeriksaan tabung (tube test). Pemeriksaan hapusan dapat dilakukan cepat dengan menggunakan prosedur penapisan sedangkan pemeriksaan tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari pemeriksaan hapusan (Nasronudin, 2007).

Kelemahan pemeriksaan Widal ini adalah sensitivitas rendah, penelitian Pawitro dkk (2002) mendapatkan sensitivitas 81,3 % dan Parry (2002)


(33)

24 mendapatkan sensitivitas 40 %. Hal ini dikarenakan belum adanya kesepakatan akan standar aglutinasi (cut-of point) (Darmowandoyo, 2003). Nilai cut-off point pemeriksaan Widal dipengaruhi oleh derajat endemisitas di masing-masing daerah dan untuk mencari standar titer pemeriksaanWidal seharusnya ditentukan pula titer dasar (baseline titer) yang didapatkan dari titer O dan H anak-anak yang sehat . Penelitian Darmowandoyo di RSU Dr. Soetomo Surabaya (1998) ditemukan 89% penderita pada anak dengan Widal

titer O ≥1/β00 (Tumbelaka, 2003; Hardi, 2002).

American Academy of Pediatrics (AAP) tidak menganjurkan pemeriksaan widal digunakan sebagai sarana penunjang diagnosis demam tifoid. Pemeriksaan Widal tidak dapat membedakan apakah merupakan infeksi baru atau lama. Selain itu, Sensitivitasnya rendah diakibatkan karena kultur yang bermakna tidak selalu diikuti dengan terdeteksinya antibodi dan pada pasien yang mempunyai antibodi pada umumnya titer meningkat sebelum penyakit muncul, sehingga terdapat kesulitan untuk menunjukkan kenaikan titer 4 kali (AAP, 2006).

Faktor-faktor yang dapat memengaruhi interpretasi pemeriksaan Widal antara lain status imunitas dan status gizi, faktor antigen, riwayat konsumsi antibiotik, gambaran endemisitas masyarakat, reaksi silang. Kelemahan dari pemeriksaan Widal adalah tidak spesifik karena kelompok Salmonella typhi (Salmonella grup D) memiliki antigen O sama yaitu nomor 9 dan 12. Kemudian antigen O-12 dimiliki pula oleh Salmonella grup A dan B yang dikenal sebagai S. paratyphi A dan S. paratyphi B (AAP, 2006).


(34)

25 Gambar 5. Widal Test Kit (sumber : www.kaplindia.com)

b. Pemeriksaan ELISA

Pemeriksaan ELISA merupakan pemeriksaan serologis yang sering dipakai untuk menganalisis adanya interaksi antigen-antibodi di dalam suatu sampel dengan menggunakan enzim. Spesimen klinis yang biasa digunakan adalah double antibody sandwich ELISA (WHO, 2003).

Pemeriksaan ini memiliki spesifisitas 95% (Ismail, 2000) namun memiliki kelemahan dimana besar kemungkinan terjadinya false positive karena adanya reaksi silang antara antigen yang satu dengan yang lain, sedangkan hasil false negative terjadi jika pemeriksaan ini dilakukan pada window period (waktu pembentukan antibodi baru dimulai sehingga jumlah antibodi


(35)

26 tersebut masih sedikit dan kemungkinan tidak dapat terdeteksi). Walaupun hasil pemeriksaan ELISA lebih baik dari Widal, namun perlu dipertimbangkan karena adanya nilai positif pada kasus brusellosis (Marleni, 2012).

c. Pemeriksaan Dipstik

Pemeriksaan Dipstik merupakan pemeriksaan serologis yang dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol (WHO, 2003).

Penelitian oleh Ismail (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96% sedangkan pada penelitian Hatta (2002) mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65,3% (Hatta, 2002).

d. Pemeriksaan Tubex

Pemeriksaan Tubex merupakan pemeriksaan aglutinasi kompetitif semi-kuantitatif yang cepat dan mudah untuk dikerjakan. Pemeriksaan ini mendeteksi antibodi IgM terhadap antigen LPS 0-9 pada serum pasien, prinsip kerjanya dengan menggunakan metode reaksi immunoassay magnetic binding inhibition (IMBI) yaitu dengan cara mengukur kemampuan serum antibodi IgM dalam menghambat reaksi antara antigen S. typhi dan anti-09 IgM monoclonal antibody (MAb). Selanjutnya ikatan inhibisi akan


(36)

27 dipisahkan oleh suatu daya magnetic (Rahman, 2007). Penelitian Olsen (2004) yang dilakukan pada anak deman hari keenam dibandingkan kultur didapatkan sensitivitas dan spesifisitas 78% dan 94% (Marleni, 2012; Olsen, 2004).

e. Pemeriksaan Typhidot

Typhidot adalah sebuah metode dignostik buatan Malaysia yang revolusioner. Pemeriksaan ini diketahui sebagai alat deteksi antibodi kualitatif yang didesain sebagai alat diagnosis cepat dari demam tifoid.Typhidot akan mendeteksi adanya IgM dan IgG yang terdapat pada protein membran luar S. typhi. Pemeriksaan Typhidot akan mendapatkan hasil positif 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen S. typhi seberat 50 kDa yang terdapat pada strip nitroselulosa (Hayat, 2011).

Typhidot telah dievaluasi di banyak daerah endemik demam tifoid di seluruh dunia seperti Indonesia, Malaysia, Pakistan dan Philipina. Pada penelitian Gopalakhrisnan dkk (2002) didapatkan sensitivitas pemeriksaan ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76,6% dan efisiensi pemeriksaan sebesar 84%. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Olsen dkk, didapatkan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan ini hampir sama dengan pemeriksaan Tubex yaitu 79% dan 89% dengan 78% dan 89% dan berdasarkan penelitian Karen H dkk di tahun 2011 sensitivitas dan spesifisitas Typhidot yaitu 75% dan 67% (Tumbelaka, 2003; WHO, 2003).


(37)

28 Pemeriksaan Typhidot IgM merupakan pemeriksaan Typhidot yang dimodifikasi. Pada kasus reinfeksi, respon imun sekunder (IgG) teraktivasi berlebihan dan IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan sampai 2 tahun sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi akut dengan kasus reinfeksi pada kasus pemeriksaan primer. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemeriksaan Typhidot-M mampu menginaktivasi total IgG pada sampel serum. Pemeriksaan Typhidot-M, memungkinkan ikatan antara antigen dengan IgM spesifik yang ada pada serum pasien (Hayat, 2011).

Ada dua bentuk dari Typhidot yaitu Typhidot Dot EIAyang menggunakan dot blot strip dan Immunochromatographic Assay (ICT test) yang berbentuk cassette. Spesimen yang dipakai berupa serum sedangkan pada ICT test dapat berupa serum, plasma maupun whole blood.

Gambar 6. Typhidot kit. Dot EIA (kiri) dan ICT test (kanan) (sumber : www.reszonics.com/Typhidot n.d)

Beberapa keuntungan lain pemeriksaan Typhidot adalah kecil kemungkinan mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Maka bila dibandingkan dengan pemeriksaan Widal,


(38)

29 sensitivitas Typhidot lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan pemeriksaan Widal positif . Selain itu pemeriksaan ini murah (karena membran nitroselulosa sedikit) (Prasetyo, 2013).

Gambar 7. Prosedur Typhidot (ICT Test) dan interpretasinya (sumber: www.reszonics.com/Typhidotn.d)

Keuntungan dari pemeriksaan Typhidot adalah serum yang digunakan sedikit (5

μl - 20 μl pada Dot EIA dan 30-35 μl pada ICT test), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila


(39)

30 disimpan pada suhu 4°C bahkan untuk beberapa jenis terbaru dari Typhidot dapat bertahan selama 18 bulan. Hasil didapatkan dalam waktu 15 menit (ICT Test) sampai 3 jam (Dot EIA) setelah penerimaan serum pasien (Dutta, 2006).

Tabel 2. Beberapa perbandingan pemeriksaan Typhidot dengan Pemeriksaan serologis lainnya (Dutta, 2006)


(40)

31

III. METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini berupa deskriptif pemeriksaan laboratoris. Penelitian dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik Rumah Sakit Umum Abdoel Moeloek Bandar Lampung dari bulan Agustus hingga bulan September 2013.

Sampel diambil secara consecutive sampling dari data penderita yang dicurigai menderita demam tifoid dari tanggal 1 Agustus 2013 sampai dengan 31 Oktober 2013. Consecutive sampling adalah pemilihan sampel dengan menetapkan subjek yang telah memenuhi kriteria penilaian.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Agustus – Oktober 2013 di bagian Laboratorium Patologi Klinik RSUD. Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.


(41)

32 C. Populasi dan Sampel

1. Populasi penelitian

Populasi target adalah seluruh pasien demam yang dicurigai mengalami gejala-gejala demam tifoid seperti gejala saluran pencernaan tanpa gejala infeksi sistem saraf pusat (ensefalitis, meningitis) atau gejala infeksi saluran nafas atas dan infeksi saluran nafas bawah (epiglotis, bronkitis, bronkiolitis, laringotrakeobronkitis, pneumonia).

Populasi terjangkau adalah pasien demam yang dicurigai mengalami gejala-gejala demam tifoid seperti gejala-gejala saluran pencernaan tanpa gejala-gejala infeksi sistem saraf pusat (ensefalitis, meningitis) atau gejala infeksi saluran nafas atas dan infeksi saluran nafas bawah (epiglotis, bronkitis, bronkiolitis, laringotrakeobronkitis,pneumonia) yang datang ke Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Abdoel Moeloek Bandar Lampung pada bulan Agustus hingga bulan Oktober 2013.

2. Sampel

Sampel adalah seluruh subjek yang memenuhi kriteria inklusi a. Kriteria Inklusi:

1. Pasien demam tifoid RSUD. Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada bulan Agustus sampai Oktober 2013.

2. Pasien dengan gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium yang mendukung kearah demam tifoid yaitu pemeriksaan Widal ≥ 1/320.


(42)

33 b. Kriteria eksklusi:

1. Pasien yang sebelumnya telah mendapatkan terapi imunosupressan atau memiliki gangguan imunologi.

Berdasarkan penelitian dapat didapatkan besar sampel minimal yang diperlukan untuk penelitian menggunakan rumus :

n = jumlah sampel yang dibutuhkan zα = tingkat kemaknaan 1,96

P =perkiraan prevalensi 0,67 (Riskesdas,2007) q = 1-p

d = ketelitian sekitar ± 10% (d=0,1) Hasil perhitungan :

N = 1,962 x 0,67 x (1-0,67) 0,12

N =84,9

Sehingga dibutuhkan sampel minimal sebanyak 85 pasien, dimana semua populasi yang memenuhi kriteria inklusi diambil sebagai responden.

D.Identifikasi Variabel

Variabel yang digunakan oleh penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Variabel : Pemeriksaan Widal, pemeriksaan Typhidot.


(43)

34 b. Variabel Klinis : Demam ≥37,50C, disertai gangguan

gastrointestinal seperti nyeri abdomen, mual, atau muntah. E. Definisi Operasional Variabel

Tabel 1. Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Jenis

Variabel 1. Demam tifoid Penyakit yang disebabkan oleh kuman

Salmonella (typhi atau paratyphi) yang menyerang saluran pencernaan.

Keadaan suhu tubuh dengan suhu ≥ 380C.

- 2 Pemeriksaan

Typhidot

Pemeriksaan serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kDa S. typhi.

ordinal 3. Pemeriksaan

Widal

Deteksi antibodi terhadap kuman S. typhi, reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan aglutinin, dengan hasil pemeriksaan Widal sebesar 1/320 yang akan digunakan dalam penelitian

Ordinal

4. Proporsi Presentase pemeriksaan Typhidot positif terhadap pemeriksaan Widal positif

- 5. Klinis demam

tifoid akut

Demam ≥ 37,50C disertai gangguan

gastrointestinal (mual, muntah, nyeri abdomen)

-

Reagen yang digunakan pada pemeriksaan Widal adalah Remel”ref30855301

SS09,USA’ (Suci, 2007).

F. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan dari penelitian ini adalah :

a. Serum darah 20 µl ( serum yang lisis tidak digunakan/ diperiksa) Alat dari penelitian ini adalah :


(44)

35 b. Vacutainer

c. Appendorf d. Parafilm e. Kertas label

G. Prosedur Penelitian

Pengambilan sampel darah rutin dilakukan peneliti yang dibantu petugas kesehatan di bagian Laboratorium Patologi Klinik RSUD. Dr. H. Abdul Moeloek

Bandar Lampung. ↓

Pembagian sampel darah untuk dilakukan pemeriksaanWidal dan Pemeriksaan PemeriksaanTyphidot di Laboratorium Patologi Klinik RSUD. Dr. H. Abdul

Moeloek Bandar Lampung. ↓

Dalam pemeriksaan Typhidot, spesimen menggunakan serum, tidak menggunakan EDTA. Sampel serum harus disimpan dalam apendorf yang telah diberi label

identitas pada suhu 2-8 atau frozen (< -18 bila tidak digunakan segera) ↓

Teteskan serum pada tempat pereaksi berupa strip nitroselulosa 20 µl. ↓

Tambahkan reagen dan diamkan selama 10-15 menit ↓


(45)

36 H. Diagram Alur Penelitian

I. Pengolahan Data

Semua data yang telah diperoleh ditampilkan secara deskriptif. Data yang telah diperoleh diolah dengan menggunakan program aplikasi pengolahan data di komputer. Langkah- langkah pengolahan data:

a. Editing, adalah pengecekan data secara lengkap, jelas, relevan.

b. Coding, adalah penerjemahan data ke dalam simbol-simbol yang sesuai untuk keperluan analisis.

c. Entry, adalah pemasukkan data ke dalam komputer.

d. Verifikasi, adalah pemeriksaan visual data yang telah di-entry ke komputer. Pasien RSUDAM

Kriteria inklusi dan eksklusi

PEMERIKSAANWIDAL ≥ 320

PemeriksaanTyphidot

ANALISIS DATA Gambar 1. Diagram Alur Penelitian


(46)

37 2. Analisis Data

Data dianalisa secara deskriptif menggunakan analisis data univariat dengan menggunakan distribusi frekuensi dan presentasi (%). Analisis data univariat yaitu analisis yang dilakukan dengan cara menganalisis tiap variabel dari hasil penelitian. Analisis ini berfungsi untuk meringkas kumpulan data dari hasil pengukuran sehingga berubah menjadi informasi yang berguna.

J. Ethical Clearance

Penelitian ini telah disetujui oleh Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.


(47)

47

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Proporsi pemeriksaan IgM anti-Salmonella typhi positif menggunakan Typhidot dengan pemeriksaan Widal positif pada pasien klinis demam tifoid akut di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung adalah sebesar 27,5%.

B. Saran

Proporsi pemeriksaan IgM anti-Salmonella typhi positif menggunakan Typhidot dengan pemeriksaan Widal positif pada pasien klinis demam tifoid akut di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung masih memerlukan penelitian lebih lanjut dalam hal:

1. Menggunakan gold standard, meskipun dengan menggunakan kultur memerlukan waktu yang lama tapi dapat memberikan gambaran proporsi yang lebih baik dalam membandingkan uji diagnostik yang baru, Typhidot. 2. Jumlah sampel, semakin banyak jumlah sampel peluang mendapatkan


(48)

48 3. Penelitian lebih lanjut mengenai perbandingan sensitivitas dan spesifisitas uji Typhidot untuk daerah endemis tinggi infeksi demam tifoid akut pada demam hari ke 4..


(49)

DAFTAR PUSTAKA

Bourbeau, P.P., Pohlman, J.K. 2001. Three Days Of Incubation May Be Sufficient For Routine Blood Cultures With Bact/Alert Fan Blood Culture Bottles. Journal of Clinical Microbiology. 39 (6): 2078-2082.

Choo, K.E., T.M.E. Davis., A, Ismail., T.A Tuan Ibrahim.,W.N.W. Ghazali. 1999. Rapid And Reliable Serological Diagnosis Of Enteric Fever: Comparative Sensitivity And Specificity Of Typhidot And Typhidot-M Tests in Febrile Malaysian Children; El sevier, Acta Tropica 72 (1999) 175–183; Malaysia.

Darmowandoyo, W. 2003. Demam Tifoid. Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak XXXIII. Surabaya Intellectual Club.

Dutta, S. 2006. Evaluation Of New-Generation Serologic Tests For The Diagnosis Of Typhoid Fever: Data From A Community-Based Surveillance In Calcutta, India. J Elsevier.Diagnostic Microbiology and Infectious Disease 56 (2006) 359–365

Hardi, S., Soeharyo., Karnadi, E. 2002. The diagnostic value of the Widal test in typhoid fever patients. Typhoid fever: Profile, Diagnostic And Treatment in 2001. 1st ISAC International Symposium. Acta Medica Indonesia.

Hatta, M., Goris, M.G. 2002 Simple Dipstick Assay for The Detection of Salmonella typhi spesific IgM Antibodies and The evolution of the immune Response in Patients with Typhoid Fever. Am J Trop Med Hyg;66(4);416-21.

Hatta, M., Ratnawati. 2008. Enteric Fever in Endemic Areas Of Indonesia: An Increasing Problem Of Resistance. Journal Infect Developing Countries. 2(4): 279-282.


(50)

Hayat, Dr., Atif, S. 2011. Evaluation of Typhidot (IgM) in Early and Rapid Diagnosis of Typhoid Fever. Professional Med Journal. 18(2): 259-264.

House, D., Wain, J. 2001. Serology of Thpoid Fever in Area of Endemicity and Its Relevance to Diagnosis. http://jcm.asm.org/content/39/3/1002. Diakses tanggal 7 September 2013.

Keitel, W., Bond, N.L.. 1994. Clinical And Serological Responses Following Primary And Booster Immunization With Salmonella Thypi Vi Capsular Pollysaccharidae Vaccines, France; Institute Meryoux Lyon France.

Khan, M., coovadia, Y.M., Connoly, C. 1998. The Early Diagnosis Of Typhoid Fever Prior To The Widal Test And Bacteriological Culture Results Durban. South Africa.

Lim, PL. 1998. One-Step 2-Minute Test to Detect Typhoid-Spesific Antibodies based on Particle Separation in Tubes. Journal of Clinical Microbiology, Aug, 1998, p. 2271-2278 Vol. 36, No. 8.

Marleni, M. 2012. Ketepatan Uji Tubex TF dibandingkan Nested-PCR dalam Mendiagnosis Demam Tifoid pada Anak pada Demam Hari ke-4. Universitas Sriwijaya. Palembang.

Massi, M.N., Shirakawa, T.,Gotoh, A., Bishnu, A., Hatta, M., Kawabata, M. 2003. Rapid Diagnosis of Typhoid Fever by PCR Assay Using One Pair of Primers from flagellin gene of Salmonella typhi. J Infect Chemother;9(3):233-7.

Nasronudin. 2007. Immunopatogenesismolekuler, Diagnosis dan Penatalaksanaan Demam Tifoid Masa Kini. Penyakit Infeksi di Indonesia Solusi Kini & Mendatang. Surabaya: Airlangga University Press.

Olsen, S.J. 2004. Evaluation of Rapid Diagnostic Test for Typhoid Fever. Journal of Clinical Microbiology.1885-1889, Vol. 42, No. 5.


(51)

Parry, C.M., Hoa, N.T.T. 1999. Value of Single-Tube Widal Test in Diagnosis Of Typhoid Fever in Vietnam. Ho chiminh city; Vietnam.

Pastoor, R. Hatta, M., Abdoel, T.H., Smith, H.L. 2007. Simple, Rapid and Affordable Point –Of-Care Test For the Serodiagnosis Of Thypoid Fever. Universitas Hasanuddin, Makassar.

Prasetyo, R.V. 2009. Metode Diagnostik Demam Tifoid pada Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unair

Rachman, A.F. 2011. Uji Diagnostik Tes Serologi Widal Dibandingkan dengan Kultur Darah sebagai Baku Emas untuk Diagnosis Demam Tifoid Pada Anak Di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Universitas Diponegoro. Semarang.

Rahman, M., Siddique, A.K., Tam, F., Sharmin, S. 2007. Rapid detection of early typhoid fever in endemic community children by the TUBEX® O9-antibody test. Diagnostic Microbiology and Infectious Disease 58 (2007) 275-281.

Riset Kesehatan Dasar. 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan. Jakarta. Republik Indonesia

Siba, V. 2012. Evaluation of Serological Diagnostic Tests for Typhoid Fever in Papua New Guinea using a Composite Reference Standard. Journal ASM Org.

Suci, R. A. 2007. Gambaran Uji Widal Sebagai Alat Diagnostik Penyakit Demam Tifoid Pada Orang Dewasa di RSUD H.Abdul Moeloek, Bandar Lamung Periode Januari-Februari 2007 . Universitas Lampung. Lampung

Sudoyo, A.W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing

Tam, F.C.H., Wang, M., Dong, B. 2008. New Rapid Test for Paratyphoid a Fever: Usefulness, Cross Detection and Solution. Sciencedirect Journal. Diagnostic Microbiology and Infectious Disease 62 (2008) 142–150

Tumbelaka, Alan, R., Retnosari, S. 2000. Pendekatan Diagnostik Serologik dan Pelacak Antigen Salmonella thypi. Sari Pediatri; Vol 2 No 2.


(52)

Tumbelaka. 2003. Tata Laksana Demam Tifoid Pada Anak. Pediatrics Update. Naskah lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak IDAI Jaya.

Willke, A., Ergonul, O., Bayar, B. 2002. Widal Test of Thypoid Fever on Turkey. Clinical and Vaccine Immunology Journal.

World Health Organization (WHO). 2003. Typhoid Fever. http://www.who.int/. Diakses tanggal 7 September 2013.

.


(1)

47

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Proporsi pemeriksaan IgM anti-Salmonella typhi positif menggunakan Typhidot dengan pemeriksaan Widal positif pada pasien klinis demam tifoid akut di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung adalah sebesar 27,5%.

B. Saran

Proporsi pemeriksaan IgM anti-Salmonella typhi positif menggunakan Typhidot dengan pemeriksaan Widal positif pada pasien klinis demam tifoid akut di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung masih memerlukan penelitian lebih lanjut dalam hal:

1. Menggunakan gold standard, meskipun dengan menggunakan kultur memerlukan waktu yang lama tapi dapat memberikan gambaran proporsi yang lebih baik dalam membandingkan uji diagnostik yang baru, Typhidot. 2. Jumlah sampel, semakin banyak jumlah sampel peluang mendapatkan


(2)

48 3. Penelitian lebih lanjut mengenai perbandingan sensitivitas dan spesifisitas uji Typhidot untuk daerah endemis tinggi infeksi demam tifoid akut pada demam hari ke 4..


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Bourbeau, P.P., Pohlman, J.K. 2001. Three Days Of Incubation May Be Sufficient For Routine Blood Cultures With Bact/Alert Fan Blood Culture Bottles. Journal of Clinical Microbiology. 39 (6): 2078-2082.

Choo, K.E., T.M.E. Davis., A, Ismail., T.A Tuan Ibrahim.,W.N.W. Ghazali. 1999. Rapid And Reliable Serological Diagnosis Of Enteric Fever: Comparative Sensitivity And Specificity Of Typhidot And Typhidot-M Tests in Febrile Malaysian Children; El sevier, Acta Tropica 72 (1999) 175–183; Malaysia.

Darmowandoyo, W. 2003. Demam Tifoid. Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak XXXIII. Surabaya Intellectual Club.

Dutta, S. 2006. Evaluation Of New-Generation Serologic Tests For The Diagnosis Of Typhoid Fever: Data From A Community-Based Surveillance In Calcutta, India. J Elsevier. Diagnostic Microbiology and Infectious Disease 56 (2006) 359–365

Hardi, S., Soeharyo., Karnadi, E. 2002. The diagnostic value of the Widal test in typhoid fever patients. Typhoid fever: Profile, Diagnostic And Treatment in 2001. 1st ISAC International Symposium. Acta Medica Indonesia.

Hatta, M., Goris, M.G. 2002 Simple Dipstick Assay for The Detection of Salmonella typhi spesific IgM Antibodies and The evolution of the immune Response in Patients with Typhoid Fever. Am J Trop Med Hyg;66(4);416-21.

Hatta, M., Ratnawati. 2008. Enteric Fever in Endemic Areas Of Indonesia: An Increasing Problem Of Resistance. Journal Infect Developing Countries. 2(4): 279-282.


(4)

Hayat, Dr., Atif, S. 2011. Evaluation of Typhidot (IgM) in Early and Rapid Diagnosis of Typhoid Fever. Professional Med Journal. 18(2): 259-264.

House, D., Wain, J. 2001. Serology of Thpoid Fever in Area of Endemicity and Its Relevance to Diagnosis. http://jcm.asm.org/content/39/3/1002. Diakses tanggal 7 September 2013.

Keitel, W., Bond, N.L.. 1994. Clinical And Serological Responses Following Primary And Booster Immunization With Salmonella Thypi Vi Capsular Pollysaccharidae Vaccines, France; Institute Meryoux Lyon France.

Khan, M., coovadia, Y.M., Connoly, C. 1998. The Early Diagnosis Of Typhoid Fever Prior To The Widal Test And Bacteriological Culture Results Durban. South Africa.

Lim, PL. 1998. One-Step 2-Minute Test to Detect Typhoid-Spesific Antibodies based on Particle Separation in Tubes. Journal of Clinical Microbiology, Aug, 1998, p. 2271-2278 Vol. 36, No. 8.

Marleni, M. 2012. Ketepatan Uji Tubex TF dibandingkan Nested-PCR dalam Mendiagnosis Demam Tifoid pada Anak pada Demam Hari ke-4. Universitas Sriwijaya. Palembang.

Massi, M.N., Shirakawa, T.,Gotoh, A., Bishnu, A., Hatta, M., Kawabata, M. 2003. Rapid Diagnosis of Typhoid Fever by PCR Assay Using One Pair of

Primers from flagellin gene of Salmonella typhi. J Infect

Chemother;9(3):233-7.

Nasronudin. 2007. Immunopatogenesismolekuler, Diagnosis dan Penatalaksanaan Demam Tifoid Masa Kini. Penyakit Infeksi di Indonesia Solusi Kini & Mendatang. Surabaya: Airlangga University Press.

Olsen, S.J. 2004. Evaluation of Rapid Diagnostic Test for Typhoid Fever. Journal of Clinical Microbiology.1885-1889, Vol. 42, No. 5.


(5)

Parry, C.M., Hoa, N.T.T. 1999. Value of Single-Tube Widal Test in Diagnosis Of Typhoid Fever in Vietnam. Ho chiminh city; Vietnam.

Pastoor, R. Hatta, M., Abdoel, T.H., Smith, H.L. 2007. Simple, Rapid and Affordable Point –Of-Care Test For the Serodiagnosis Of Thypoid Fever. Universitas Hasanuddin, Makassar.

Prasetyo, R.V. 2009. Metode Diagnostik Demam Tifoid pada Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unair

Rachman, A.F. 2011. Uji Diagnostik Tes Serologi Widal Dibandingkan dengan Kultur Darah sebagai Baku Emas untuk Diagnosis Demam Tifoid Pada Anak Di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Universitas Diponegoro. Semarang.

Rahman, M., Siddique, A.K., Tam, F., Sharmin, S. 2007. Rapid detection of early typhoid fever in endemic community children by the TUBEX® O9-antibody test. Diagnostic Microbiology and Infectious Disease 58 (2007) 275-281.

Riset Kesehatan Dasar. 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan. Jakarta. Republik Indonesia

Siba, V. 2012. Evaluation of Serological Diagnostic Tests for Typhoid Fever in Papua New Guinea using a Composite Reference Standard. Journal ASM Org.

Suci, R. A. 2007. Gambaran Uji Widal Sebagai Alat Diagnostik Penyakit Demam Tifoid Pada Orang Dewasa di RSUD H.Abdul Moeloek, Bandar Lamung Periode Januari-Februari 2007 . Universitas Lampung. Lampung

Sudoyo, A.W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing

Tam, F.C.H., Wang, M., Dong, B. 2008. New Rapid Test for Paratyphoid a Fever: Usefulness, Cross Detection and Solution. Sciencedirect Journal. Diagnostic Microbiology and Infectious Disease 62 (2008) 142–150

Tumbelaka, Alan, R., Retnosari, S. 2000. Pendekatan Diagnostik Serologik dan Pelacak Antigen Salmonella thypi. Sari Pediatri; Vol 2 No 2.


(6)

Tumbelaka. 2003. Tata Laksana Demam Tifoid Pada Anak. Pediatrics Update. Naskah lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak IDAI Jaya.

Willke, A., Ergonul, O., Bayar, B. 2002. Widal Test of Thypoid Fever on Turkey. Clinical and Vaccine Immunology Journal.

World Health Organization (WHO). 2003. Typhoid Fever. http://www.who.int/. Diakses tanggal 7 September 2013.

.