Tatalaksana Asites Pada Hipertensi Portal.

TATALAKSANA ASITES PADA HIPERTENSI PORTAL
Muhammad Begawan Bestari
Sub Bagian Gastroenterohepatologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK Unpad / RS Dr. Hasan Sadikin

ABSTRAK
Pasien penderita asites akibat sirosis alkoholik pada kerusakan hatinya harus
berhenti dari mengonsumsi alkohol. Pengobatan lini-pertama untuk pasienpasien penderita sirosis dan asites terdiri dari pembatasan sodium (88
mmol/hari atau 2000 mg/hari) dan diuretika (spironolakton oral dengan atau
tanpa furosemide oral). Pembatasan cairan tidak diperlukan kecuali jika
sodium serum kurang dari 120-125 mmol/L. Parasentesis abdominal
terapeutik awal harus dilakukan pada pasien-pasien penderita asites masif.
Pembatasan sodium dan diuretika oral kemudian harus dimulai. Pasien-pasien
yang sensitif terhadap diuretika lebih diobati dengan pembatasan sodium dan
diuretika oral dan bukan dengan parasentesis berulang. Transplantasi hati
harus dipertimbangkan pada pasien penderita sirosis dengan asites.
Parasentesis terapeutik serial merupakan opsi pengobatan untuk pasien-pasien
penderita asites refrakter. Infus albumin post-parasentesis bisa tidak
diperlukan untuk parasentesis tunggal yang kurang dari 4-5 L. Untuk
parasentesis volume besar, infus albumin 6-8 g/L pada cairan yang

dikeluarkan dapat dipertimbangkan. Rujukan untuk transplantasi hati harus
dilakukan pada pasien penderita asites refrakter. TIPS dapat dipertimbangkan
pada pasien-pasien yang diseleksi dengan tepat yang memenuhi kriteria yang
sama dengan yang terdapat pada kriteria RCT yang telah dipublikasikan.
Peritoneovenous shunt harus dipertimbangkan untuk pasien-pasien penderita
asites refrakter yang bukan kandidat parasentesis, transplant, atau TIPS.

PENDAHULUAN
Pengobatan yang tepat untuk pasien-pasien penderita asites bergantung
kepada penyebab retensi cairan. Penilaian SAAG (serum albumin ascites
gradient) bisa sangat bermanfaat untuk diagnostik dan juga dalam membuat
keputusan mengenai pengobatan. Pasien-pasien dengan SAAG rendah (< 1,1
g/dL) asites biasanya bukan disebabkan hipertensi portal dan - dengan
kekecualian sindroma nefrotik - tidak berespon terhadap pembatasan garam dan
diuretika. Sebaliknya, pasien-pasien dengan SAAG tinggi (> 1,1 g/dL) disebabkan
oleh hipertensi portal dan biasanya responsif terhadap pembatasan garam dan
diuretika.(1)

1


Perbaikan pada hasil akhir pasien penderita asites yang terkait dengan
hipertensi non-portal bergantung kepada keberhasilan pengobatan etiologi yang
mendasari. Kerusakan hati yang diinduksi oleh alkohol merupakan salah satu
penyebab penyakit hati paling reversibel yang mengakibatkan asites dengan
SAAG tinggi.(1) Salah satu langkah paling penting dalam mengatasi asites pada
keadaan ini adalah mengobati penyakit hati yang mendasari dengan cara
menghentikan konsumsi alkohol. Dalam periode beberapa bulan, penghentian
alkohol tersebut mengakibatkan perbaikan dramatis pada komponen reversibel
penyakit hati alkoholik. Suatu penelitian terbaru memperlihatkan bahwa pasienpasien sirosis hati Child-Pugh kelas C yang disebabkan oleh alkohol dan yang
berhenti minum alkohol mempunyai harapan hidup 3-tahun lebih kurang 75%,
tetapi mereka semua yang terus berlanjut minum alkohol meninggal dalam 3
tahun.(2) Asites dapat menyembuh atau menjadi lebih responsif terhadap terapi
medis sejalan dengan penghentian minum alkohol dan waktu. Sirosis hepatitis B
yang mengalami dekompensasi juga dapat mempunyai respon dramatis terhadap
pengobatan antivirus.(3)
Penyakit hati selain dari penyakit yang terkait dengan alkohol, hepatitis B,
dan hepatitis otoimun bersifat kurang reversibel; pada saat terdapat asites, pasienpasien tersebut paling baik ditangani dengan rujukan untuk evaluasi transplantasi
hati bukannya dengan terapi medis yang lebih lama.
TATALAKSANA ASITES
Patokan utama pengobatan untuk pasien-pasien penderita sirosis dan asites

mencakup (1) penyuluhan mengenai pembatasan sodium makanan (2000 mg/hari
atau 88 mmol/hari) dan (2) diuretika oral.(1) Pembatasan sodium makanan yang
lebih ketat dapat mempercepat mobilisasi asites, tetapi tidak direkomendasikan
karena kurang cocok dan dapat lebih memperburuk malnutrisi yang biasanya
terdapat pada pasien ini. Kehilangan cairan dan perubahan berat badan berkaitan
langsung dengan keseimbangan sodium pada pasien-pasien penderita asites yang
terkait dengan hipertensi portal. Adalah pembatasan sodium, dan bukan
pembatasan cairan, yang mengakibatkan penurunan berat badan, karena cairan
mengikuti sodium secara pasif.
Pengukuran ekskresi sodium urin merupakan parameter yang sangat
bermanfaat untuk diikuti ketika kecepatan penurunan berat badan lebih kecil dari
yang diinginkan.(1) Konsentrasi sodium urin random mempunyai nilai ketika
konsentrasi tersebut 0 mmol/L atau >100 mmol/L tetapi sangat kurang bermanfaat
ketika konsentrasinya intermediate karena tidak ada keseragaman ekskresi sodium
selama siang hari dan tidak ada pengetahuan mengenai volume urin total, yang
dapat bervariasi dari 300 mL sampai lebih besar dari 3000 mL. Pengumpulan urin
24-jam untuk penentuan ekskresi sodium jauh lebih informatif daripada spesimen
random; namun, pengumpulan urin sehari penuh tidak praktis. Memberikan
instruksi verbal dan tertulis kepada pasien, wadah, dan formulir instruksi
pemeriksaan untuk dikembalikan dengan spesimen lengkap, dapat membantu

memastikan kepatuhan pasien. Kelengkapan pengumpulan spesimen 24-jam dapat
diukur dengan pengukuran kreatinin urin. Laki-laki penderita sirosis harus
mengekskresikan lebih dari 15 mg kreatinin/kgBB/hari, dan wanita penderita

2

sirosis harus mengeksresikan lebih dari 10 mg/gBB/hari. Kreatinin yang kurang
merupakan indikasi pengumpulan tak lengkap. Ekskresi sodium total nonurin
kurang dari 10 mmol/hari pada pasien afebril penderita sirosis tanpa disertai diare.
Salah satu tujuan pengobatan adalah meningkatkan ekskresi sodium urin sehingga
melebihi 78 mmol/hari (intake/hari 88 mmol – ekskresi nonurin per hari 10
mmol). Hanya 10-15% pasien yang mengalami natriuresis spontan >78
mmol/hari dapat dipertimbangkan untuk pembatasan sodium makanan saja (tanpa
diuretika). Namun, ketka diberikan pilihan, sebagian besar pasien lebih menyukai
menggunakan diuretika dan mempunyai intake sodium yang lebih liberal
dibandingkan dengan tidak menggunakan pil dan mempunyai pembatasan
sodium yang lebih berat. Konsentrasi sodium urin “spot” random yang lebih besar
dari konsentrasi potasium berkorelasi dengan ekskresi sodium 24-jam yang lebih
besar dari 78 mmol/hari dengan akurasi lebih kurang
90%. Rasio

sodium/potasium ini dapat menggantikan pengumpulan 24-jam yang tidak
praktis.(4)
Pembatasan cairan tidak diperlukan dalam mengobati sebagian besar
pasien penderita sirosis dan asites. Hiponatremia kronis yang biasanya terlihat
pada pasien penderita sirosis dan asites jarang bersifat morbid kecuali jika
hiponatremi tersebut dikoreksi cepat di ruang operasi pada saat transplantasi
hati.(5) Upaya-upaya untuk mengoreksi hiponatremia dengan cepat pada keadaan
ini dengan garam hipertonik mengakibatkan lebih banyak komplikasi
dibandingkan dengan keadaan hiponatremia itu sendiri.
Banyak obat yang secara teoritis menjanjikan dalam pengobatan asites,
misalnya inhibitor ACE, telah diperlihatkan memperburuk hipotensi dan secara
klinik belum terlihat bermanfaat. Hiponatremia berat tidak memerlukan
pembatasan cairan pada pasien penderita asites dan sirosis; namun, tidak ada nilai
ambang spesifik yang ditunjang oleh data untuk menginisiasi pembatasan cairan.
Sodium serum < 120-125 mmol/L merupakan nilai ambang yang dapat
digunakan. Pasien penderita sirosis biasanya tidak mempunyai gejala-gejala
akibat hiponatremia sampai sodiumnya < 110 mmol/L atau kecuali jika penurunan
sodium sangat cepat. Meskipun bersifat tradisional untuk merekomendasikan
tirah baring (didasarkan pada ekstrapolasi dari gagal jantung), hal ini tidak praktis
dan tidak ada uji-klinik terkontrol yang menunjang praktek ini. Posisi tegak dapat

memperburuk peningkatan renin plasma yang ditemukan pada pasien penderita
sirosis disertai dengan asites. Secara teoritis, hal ini dapat meningkatkan aviditas
sodium. Kepentingan teoritis ini harus dijabarkan menjadi hasil-akhir yang
relevan secara klinik sebelum tirah baring dianjurkan.(6)
Regimen diuretika biasa terdiri dari spironolakton dan furosemide oral
dosis tunggal pagi hari, yang dimulai dengan 100 mg spironolakton dan 40 mg
furosemide.(1) Sebelumnya, yang dianjurkan adalah spironolakton senyawatunggal, tetapi hiperkalemia dan waktu-paruh yang lama dari obat ini telah
mengakibatkan penggunaan sebagai senyawa tunggal hanya pada pasien yang
mengalami kelebihan cairan minimal.(7) Furosemide senyawa-tunggal telah
diperlihatkan dalam suatu Randomized Controlled Trial (RCT) lebih manjur
dibandingkan dengan spironolakton. Bioavailabilitas furosemide oral yang baik
pada pasien penderita sirosis, bersama-sama dengan penurunan akut GFR yang

3

terkait dengan furosemide intravena, cocok dengan penggunaan oral.(8) Suatu ujiklinik yang dirandom, memperlihatkan bahwa spironolakton yang digunakan
sebagai senyawa tunggal, dengan furosemide hanya ditambahkan untuk pasien
refrakter, diuresis lebih lambat pada kelompok spironolakton senyawa tunggal
dengan kebutuhan yang lebih sedikit untuk penyesuaian dosis, dengan demikian
pendekatan ini dapat bermanfaat untuk pasien rawat-jalan.(9)

Namun, uji-klinik yang dirandom lainnya mengindikasikan bahwa
pengobatan kombinasi awal memperpendek waktu untuk mobilisasi asites
moderat. Sebagian besar pasien pada akhirnya memerlukan pengobatan
kombinasi. Penelitian terbesar yang pernah dilakukan (melibatkan 3860 pasien
penderita asites dan sirosis) menggunakan terapi kombinasi sejak awal.(10)
Kombinasi kedua obat tersebut nampak merupakan pendekatan yang lebih disukai
dalam mencapai natriuresis dengan cepat dan mempertahankan normokalemia.
Suatu pendekatan alternatif yang memulai dengan spironolakton senyawa tunggal,
dapat diterapkan terutama pada pasien rawat-jalan.
Dosis kedua diuretika oral tersebut dapat ditingkatkan secara simultan
setiap 3-5 hari (dengan mempertahankan rasio 100 mg : 40 mg) jika penurunan
berat badan dan natriuresis tidak adekuat. Pada umumnya, rasio ini
mempertahankan normokalemia. Dosis maksimum yang biasa yaitu 400 mg/hari
spironolakton dan 160 mg/hari furosemide.(1) Furosemide secara temporer dapat
ditahan pada pasien yang mengalami hipokalemia; hal ini sangat umum pada
keadaan hepatitis alkoholik. Pasien penderita ginjal parenkimal (misalnya
nefropati diabetik atau nefropati imunoglobulin A atau mereka yang mengalami
transplantasi hati) dapat mentoleransi spironolakton yang lebih kecil dari biasa
karena adanya hiperkalemia. Dosis tunggal pagi hari memaksimalkan kepatuhan.
Amiloride (10-40 mg/hari) dapat menggantikan spironolakton pada pasien

penderita ginekomastia dengan nyeri-tekan. Namun, amiloride lebih mahal dan
terlihat kurang efektif dibandingkan dengan metabolit aktif spironolakton pada
randomized controlled trial (RCT).(11)
Triamterene, metolazone, dan hidroklorotiazide juga telah digunakan
untuk mengobati asites. Hidroklorotiazide juga dapat menyebabkan hiponatremia
lebih cepat ketika ditambahkan pada kombinasi spironolakton dan furosemide.(12)
Eplenerone adalah suatu antagonis aldosteron baru yang telah digunakan pada
gagal jantung. Obat ini masih diteliti efektifitasnya pada keadaan sirosis dan
asites. Loop diuretic yang lebih baru harus dibuktikan bersifat superior terhadap
obat-obat saat ini sebelum pemakaiannya ditetapkan.(13)
Meskipun dosis 80 mg furosemide intravena dapat menyebabkan
penurunan akut perfusi ginjal dan azotemia selanjutnya pada pasien penderita
asites dan sirosis, dosis yang sama ini telah diperlihatkan pada satu penelitian
untuk memisahkan pasien-pasien yang resisten terhadap diuretika (< 50 mmol
sodium urin dalam 8 jam) dari pasien-pasien yang sensitif terhadap diuretika (> 50
mmol).(14) Penelitian lain telah mengkonfirmasi observasi ini.(15) Tes furosemide
intravena ini dapat membantu pendeteksian cepat pasien-pasien yang resisten
terhadap diuretika sehingga mereka dapat lebih cepat diberi opsi pengobatan lini
kedua. (14) Namun, furosemide intravenus dapat menyebabkan azotemia, dan
peggunaan berulang kali mungkin harus diminimalkan sampai keamanan dan


4

efikasinya dievaluasi dalam RCT. Pada RCT multi-senter terbesar yang dilakukan
pada pasien penderita asites, pembatasan sodium makanan dan regimen diuretika
dual dengan menggunakan spironolakton dan furosemide telah terlihat efektif
pada lebih dari 90% pasien dalam mencapai penurunan volume asites sampai
level yang dapat diterima.(10)
Suatu RCT yang tidak disamarkan, pada pasien-pasien penderita asites
onset-baru memperlihatkan bahwa infus albumin 25 g per minggu selama 1 tahun
yang diikuti dengan infus setiap 2 minggu memperbaiki harapan hidup
dibandingkan dengan hanya diuretika saja.(16) Namun, diperlukan penelitianpenelitian lebih jauh yang mencakup analisis keefektifan-biaya sebelum
pengobatan yang luar biasa mahal ini dapat dianjurkan.
Tidak ada batas untuk penurunan berat badan per hari pada pasien-pasien
yang mengalami edema masif. Begitu edema telah pulih, 0,5 kg mungkin
merupakan maksimum harian yang layak. Ensefalopati yang tidak terkontrol atau
kambuhan, sodium serum < 120 mmol/L meskipun ada pembatasan cairan, atau
kreatinin serum > 2,0 mg/dL (180 umol/L) akan mengakibatkan penghentian
diuretika, mengevaluasi kembali situasinya, dan pertimbangan opsi lini-kedua.
Pada masa lalu, pasien-pasien penderita asites sering tinggal di tempat tidur rumah

sakit untuk perioda waktu yang lama karena adanya kebingungan mengenai
diagnosis dan pengobatan dan karena adanya masalah-masalah iatrogenik.
Meskipun abdomen tanpa ada cairan yang terdeteksi secara klinik merupakan
tujuan akhir, hal itu tidak boleh menjadi prasyarat untuk pulang dari rumah sakit.
Pasien-pasien yang stabil, dengan asites sebagai masalah utamanya, dapat
dipulangkan ke klinik sesudah ditentukan bahwa mereka berespon terhadap
regimen medisnya. Untuk selanjutnya diminta datang berobat di bagian rawatjalan lebih kurang dalam 1 minggu sesudah pulang dari rumahsakit.
TATALAKSANA ASITES MASIF
Parasentesis awal volume-besar dengan cepat memulihkan asites masif.
Suatu penelitian prospektif telah memperlihatkan bahwa parasentesis tunggal 5-L
dapat dilakukan dengan aman tanpa infus koloid post-parasentesis pada pasien
penderita asites masif yang resisten terhadap diuretika.(17) Volume cairan yang
lebih besar telah dikeluarkan secara aman dengan pemberian albumin intravena (8
g/L dari cairan yang dikeluarkan).(18) Namun, parasentesis volume-besar tidak
memperbaiki retensi sodium sebagai masalah yang mendasari pembentukan
asites. Parasentesis volume-besar dapat mengeluarkan cairan secara lebih cepat
(beberapa menit) dibandingkan dengan diuresis (beberapa hari sampai beberapa
minggu). Parasentesis tunggal volume-besar yang diikuti dengan diet dan terapi
diuretika merupakan pengobatan yang tepat untuk penderita tense asites masif.(19)
Pada pasien yang sensitif terhadap diuretika, tidak tepat mengeluarkan

cairan secara berkala melalui parasentesis. Dalam rangka mencegah reakumulasi
cairan, intake sodium harus dikurangi dan ekskresi sodium urin harus ditingkatkan
dengan menggunakan diuretika. Menentukan dosis diuretika optimal untuk
masing-masing pasien, dengan mentitrasi dosis menjadi naik setiap 3-5 hari
sampai natriuresis dan penurunan berat badan tercapai, dapat memerlukan waktu.
Tes furosemide intravena dapat memperpendek waktu ini. Namun, ini harus dites

5

dalam konteks uji-klinik yang dirandom.(14) Meskipun uji-klinik terkontrol telah
memperlihatkan bahwa parasentesis volume-besar dapat diprediksi lebih cepat
daripada terapi diuretika untuk penderita sirosis dan asites, hal itu tidak boleh
dipandang sebagai terapi lini-pertama untuk semua pasien penderita asites.(19)
Di klinik pasien rawat-jalan, berat badan, gejala-gejala ortostatik, dan
elektrolit, urea, dan kreatinin serum dipantau. Jika penurunan berat badan tidak
adekuat, perlu diukur rasio sodium/potasium urin spot random atau sodium urin
24-jam. Pasien-pasien yang mengekskresikan sodium/potasium urin > 1 atau
sodium urin 24-jam > 78 mmol/hari dan tidak mengalami penurunan berat badan
mengonsumsi lebih banyak sodium dalam dietnya lebih dari 88 mmol/hari dan
harus dianjurkan lebih jauh untuk membatasi sodium dalam makanannya. Pasienpasien ini tidak boleh diberi label sebagai pasien resisten terhadap diuretika dan
tidak boleh diteruskan dengan terapi lini-kedua sampai terbukti bahwa mereka
mematuhi dietnya. Pasien yang tidak mengalami penurunan berat badan dan
mengekskresikan < 78 mmol sodium/hari harus menerima upaya pemberian
diuretika dengan dosis yang lebih tinggi. Frekuensi follow-up ditentukan
berdasarkan respon terhadap pengobatan dan stabilitas pasien.(6)
Beberapa pasien memerlukan evaluasi setiap 2-4 minggu sampai jelas
bahwa mereka berespons terhadap pengobatan dan tidak mengalami masalahmasalah. Sesudah itu, evaluasi setiap beberapa bulan merupakan hal yang tepat.
Pengobatan intensif pasien rawat-jalan, terutama dalam hal penyuluhan diet, dapat
membantu mencegah perawatan selanjutnya. Timbulnya asites sebagai suatu
komplikasi dari sirosis terkait dengan prognosis yang jelek. Transplantasi hati
harus dipertimbangkan dalam opsi pengobatan untuk pasien-pasien ini.(20)

Rekomendasi:
1. Pasien penderita asites akibat sirosis alkoholik pada kerusakan hatinya
harus berhenti dari mengonsumsi alkohol. (Kelas I, Level B)
2. Pengobatan lini-pertama untuk pasien-pasien penderita sirosis dan asites
terdiri dari pembatasan sodium (88 mmol/hari atau 2000 mg/hari) dan
diuretika (spironolakton oral dengan atau tanpa furosemide oral). (Kelas
IIa, Level A)
3. Pembatasan cairan tidak diperlukan kecuali jika sodium serum kurang dari
120-125 mmol/L. (Kelas III, Level C)
4. Parasentesis abdominal terapeutik awal harus dilakukan pada pasienpasien penderita asites masif. Pembatasan sodium dan diuretika oral
kemudian harus dimulai. (Kelas IIa, Level C)
5. Pasien-pasien yang sensitif terhadap diuretika lebih diobati dengan
pembatasan sodium dan diuretika oral dan bukan dengan parasentesis
berulang. (Kelas IIa, Level C)
6. Transplantasi hati harus dipertimbangkan pada pasien penderita sirosis
dengan asites. (Kelas I, Level B)

6

Asites Refrakter
Asites refrakter didefinisikan sebagai kelebihan cairan yang (1) tidak
responsif terhadap diet sodium-terbatas dan pengobatan diuretika dosis-tinggi
(spironolakton 400 mg/hari dan furosemide 160 mg/hari) atau (2) kambuh dengan
cepat sesudah parasentesis terapeutik.(21) Inhibitor prostaglandin misalnya NSAID
dapat mengurangi ekskresi sodium urin pada pasien-pasien penderita sirosis dan
dapat menginduksi azotemia. Obat-obat ini dapat mengubah pasien dari sensitif
terhadap diuretika menjadi refrakter dan harus dihindari pada keadaan ini.
Kegagalan terapi diuretika dapat dimanifestasikan sebagai (1) minimal sampai
tidak ada penurunan berat badan bersama-sama dengan ekskresi sodium urin yang
tidak adekuat (< 78 mmol/hari) meskipun terdapat diuretika atau (2) timbulnya
komplikasi dari diuretika yang signifikan secara klinik, misalnya ensefalopati,
kreatinin serum > 2,0 mg/dL, sodium serum < 120 mmol/L, atau potasium serum
> 6,0 mmol/L. Uji-klinik yang dirandom telah memperlihatkan bahwa lebih
sedikit dari 10% pasien penderita sirosis dan asites bersifat refrakter terhadap
terapi medis standar. Opsi untuk pasien-pasien yang refrakter terhadap terapi
medis rutin mencakup (1) parasentesis terapeutik serial, (2) transplantasi hati, (3)
TIPS (transjugular intrahepatic portasystemic stent-shunt), (4) peritoneovenous
shunt, dan (5) terapi medis eksperimental.(8)
Parasentesis terapeutik serial efektif dalam mengontrol asites. Ha ini telah
diketahui sejak zaman Yunani kuno. Uji-klinik terkontrol yang memperlihatkan
keamanan pendekatan ini sekarang telah dipublikasi. Bahkan pada pasien-pasien
yang tidak mengalami ekskresi sodium urin, parasentesis yang dilakukan lebih
kurang setiap 2 minggu mengontrol asites.(1)
Frekuensi parasentesis memberikan wawasan mengenai derajat kepatuhan
pasien pada diet. Konsentrasi sodium cairan asites lebih kurang ekuivalen dengan
konsentrasi sodium dalam plasma pada pasien-pasien ini: yaitu 130 mmol/L.
Parasentesis 6-L mengeluarkan 780 mmol sodium (130 mmol/L x 6 L = 780
mmol). Parasentesis 10-L mengeluarkan 1300 mmol. Pasien-pasien yang
mengonsumsi 88 mmol sodium per hari, mengekskresikan lebih kurang 10
mmol/hari pada kehilangan nonurin, dan yang tidak mengekskresikan sodium urin
menahan bersih 78 mmol/hari. Karena itu, parasentesis 6-L mengeluarkan sodium
yang tertahan 10 hari (780 mmol atau 78 mmol/hari) dan parasentesis 10-L
mengangkat sodium yang tertahan lebih kurang 17 hari (1300 mmol atau 78
mmol/hari = 16,7 hari) pada pasien yang tidak mengalami ekskresi sodium urin.
Pasien-pasien yang mengalami beberapa ekskresi sodium urin akan memerlukan
parasentesis bahkan kurang sering. Pasien-pasien yang memerlukan parasentesis
lebih kurang 10-L lebih sering dari setiap 2 minggu jelas tidak mematuhi diet.(1)
Satu persoalan kontroversial mengenai parasentesis terapeutik adalah
persoalan penggantian koloid. Dalam satu penelitian, 105 pasien penderita asites
masif dirandom untuk menerima albumin (10 g/L cairan yang diangkat) versus
tidak menerima albumin, sesudah parasentesis terapeutik. Kelompok yang tidak
menerima albumin mengalami lebih bayak perubahan elektrolit, renin plasma, dan
kreatinin serum yang signifikan secara statistik (meskipun asimtomatik)
dibandingkan dengan kelompok albumin, tetapi tidak ada lagi morbiditas atau
mortalitas klinik.(22) Meskipun penelitian lain telah membuktikan bahwa

7

subkelompok pasien yang mengalami peningkatan renin plasma sesudah
parasentesis total mengalami penurunan harapan hidup, belum ada penelitian
cukup besar yang memperlihatkan penurunan harapan hidup pada pasien-pasien
yang tidak diberi plasma expander dibandingkan dengan pasien-pasien yang
diberi albumin sesudah parasentesis. Lebih jauh, pengaktifan sistem
vasokonstriktor yang dapat mengikuti parasentesis volume-besar dapat tidak
terkait dengan penuruna volume intravaskuler; juga, infus albumin secara nyata
meningkatkan degradasi albumin, dan albumin sangat mahal. Dalam suatu
penelitian yang dilakukan lebih dari 40 tahun yang lalu, 58% infus albumin
bertanggungjawab untuk peningkatan degradasi, dan 15% peningkatan albumin
serum mengakibatkan 39% peningkatan degradasi.(23) Sebagai tambahan,
penelitian-penelitian in vitro telah memperlihatkan bahwa peningkatan
konsentrasi albumin pada media kultur sel telah diperlihatkan mengurangi sintesis
albumin.(24)
Suatu tinjauan sistematis pada 79 uji-klinik yang dirandom mengenai
penggunaan albumin dalam banyak keadaan, yang mencakup 10 uji-klinik pada
pasien-pasien penderita asites, tidak membuat pernyataan definitif mengenai
penggunaannya kecuali pada keadaan SBP.(25) Menimbang harga albumin yang
mahal, penelitian-penelitian di masa datang sebaiknya mencakup analisis biaya
juga.
Meskipun demikian, albumin digunakan sesudah parasentesis terapeutik.
Peneitian-penelitian telah dilakukan dengan memberi 5 g dan 10 g albumin per
liter cairan yang dikeluarkan.(22) Tidak ada penelitian yang membandingkan dosis.
Albumin diberikan 6-8 g/L cairan yang dikeluarkan. Expander plasma
nonalbumin misalnya dekstran 70 dan bahkan garam telah dianjurkan, juga tanpa
terlihat adanya keuntungan pada survival.(26) Terlipressin nampak seefektif
albumin dalam mensupresi peningkatan renin plasma pada suatu uji-klinik yang
dirandom.(27)
Sebagian kontroversi mengenai post-parasentesis plasma expander terkait
dengan disain penelitian. Lebih banyak penelitian diperlukan, terutama penelitianpenelitian yang menargetkan survival sebagai titik-akhir penelitian spesifik pada
pasien-pasien penderita asites yang benar-benar resisten terhadap diuretika.
Parasentesis terapeutik kronis harus diperuntukkan bagi pasien-pasien yang
benar-benar gagal pengobatan diuretika. Beberapa pasien bisa mengambil manfaat
dari infus albumin sesudah parasentesis volume besar. Apa yang diperlukan
adalah faktor-faktor risiko yang memungkinkan identifikasi preparasentesis dari
sebagian kelompok pasien yang berisiko lebih tinggi terjadinya disfungsi sirkulasi
post-parasentesis. Parasentesis serial juga mengurangi protein, dapat
memperburuk malnutrisi, dan mempredisposisi infeksi.(28)
Transplantasi hati harus dipertimbangkan dalam opsi-opsi pengobatan
pasien penderita asites. Begitu pasien menjadi refrakter terhadap terapi rutin
medis, 21% meninggal dalam 6 bulan. Rujukan tidak boleh ditunda pada pasienpasien yang mengalami asites refrakter. TIPS merupakan side-to-side postcaval
shunt yang biasanya dilakukan oleh seorang radiolgist dengan anestesia local.
Satu uji-klinik yang dirandom membandingkan TIPS terhadap parasentesis
volume besar memperlihatkan mortalitas yang lebih tinggi pada kelompok TIPS,

8

tapi penelitian ini sangat kecil dan terjadi sangat dini pada pengalaman kami
mengenai teknik yang relatif baru ini. Empat RCT multisenter berskala-besar
yang membandingkan TIPS dengan parasentesis volume besar sekuensial telah
diselesaikan dan dipublikasikan. Semua melaporkan kontrol lebih baik asites
pada kelompok TIPS. Satu melaporkan tidak ada manfaat survival memakai
analisis univariat tapi keuntungan survival yang secara statistik bermanfaat pada
kelompok TIPS memakai analisis multivariat.(29) Yang lain melaporkan
pencegahan sindroma hepatorenal tapi disertai dengan biaya yang lebih tinggi
pada kelompok TIPS: terdapat tingkat enselofalopati yang sama secara
keseluruhan tapi ensefalopati hepatik yang lebih parah pada kelompok TIPS.(30)
Penelitian lain memperlihatkan tidak ada bermanfaat dengan TIPS, tapi suatu
trend (P=0,058) terjadi ke arah ensefalopati lebih moderat atau parah pada
kelompok TIPS dan tidak ada efek pada kualitas hidup.(31) Penelitian yang paling
kini dipublikasikan melaporkan keuntungan survival pada kelompok TIPS
dengan angka hospitalisasi yang sama tapi ensefalopati yang lebih berat pada
TIPS. Meta-analisis multipel telah dipublikasikan mengenai uji-uji klinik ini.(32)
Semua penelitian tersebut melaporkan kontrol lebih baik pada asites dan lebih
banyak ensefalopati pada kelompok TIPS. Sayangnya, kekambuhan asites masif
sering merupakan manifestasi ketidakpatuhan pasien daripada oleh asites
refrakter. Meta-analisis terkini, yang menggunakan data2 pasien individual,
melaporkan survival bebas-transplant yang membaik pada TIPS dan peluang
kumulatif yang sama pada timbulnya episode pertama ensefalopati.(32)
Rekomendasi
7. Parasentesis terapeutik serial merupakan opsi pengobatan untuk pasienpasien penderita asites refrakter. (Kelas I, Level C)
8. Infus albumin post-parasentesis bisa tidak diperlukan untuk parasentesis
tunggal yang kurang dari 4-5 L (Kelas I, Level C)
9. Untuk parasentesis volume besar, infus albumin 6-8 g/L pada cairan yang
dikeluarkan dapat dipertimbangkan.(Kelas II a, Level C)
10. Rujukan untuk transplantasi hati harus dilakukan pada pasien penderita
asites refrakter (Kelas IIa, Level C)
11. TIPS dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien yang diseleksi dengan
tepat yang memenuhi kriteria yang sama dengan yang terdapat pada
kriteria RCT yang telah dipublikasikan (Kelas I, Level A)
12. Peritoneovenous shunt harus dipertimbangkan untuk pasien-pasien
penderita asites refrakter yang bukan kandidat parasentesis, transplant,
atau TIPS. (Kelas IIb, Level A)

DAFTAR PUSTAKA
1. Runyon BA. Ascites and spontaneous bacterial peritonitis. In: Feldman M,
Friedman LS, Brandt LJ, editors. Sleisenger and Fordtran’s Gastrointestinal
and Liver Disease. 8th ed. Philadelphia, PA: Saunders; 2006. p. 1935-64.

9

2. Veldt BJ, Laine F, Guillygomarc'h A, Lauvin L, Boudjema K, Messner M, et
al. Indication of liver transplantation in severe alcoholic liver cirrhosis:
quantitative evaluation and optimal timing. J Hepatol. 2002 Jan;36(1):93-8.
3. Yao FY, Bass NM. Lamivudine treatment in patients with severely
decompensated cirrhosis due to replicating hepatitis B infection. J Hepatol.
2000 Aug;33(2):301-7.
4. Stiehm AJ, Mendler MH, Runyon BA. Detection of diuretic-resistance or
diuretic-sensitivity by the spot urine Na/K ratio in 729 specimens from
cirrhotics with ascites: approximately 90%accuracy as compared to 24-hr
urine Na excretion. [Abstract] HEPATOLOGY 2002;36:222A.
5. Abbasoglu O, Goldstein RM, Vodapally MS, Jennings LW, Levy MF,
Husberg BS, et al. Liver transplantation in hyponatremic patients with
emphasis on central pontine myelinolysis. Clin Transplant. 1998
Jun;12(3):263-9.
6. Runyon BA. Management of adult patients with ascites due to cirrhosis: an
update. Hepatology. 2009 Jun;49(6):2087-107.
7. Sungaila I, Bartle WR, Walker SE, DeAngelis C, Uetrecht J, Pappas C, et al.
Spironolactone pharmacokinetics and pharmacodynamics in patients with
cirrhotic ascites. Gastroenterology. 1992 May;102(5):1680-5.
8. Perez-Ayuso RM, Arroyo V, Planas R, Gaya J, Bory F, Rimola A, et al.
Randomized comparative study of efficacy of furosemide versus
spironolactone in nonazotemic cirrhosis with ascites. Relationship between the
diuretic response and the activity of the renin-aldosterone system.
Gastroenterology. 1983 May;84(5 Pt 1):961-8.
9. Santos J, Planas R, Pardo A, Durandez R, Cabre E, Morillas RM, et al.
Spironolactone alone or in combination with furosemide in the treatment of
moderate ascites in nonazotemic cirrhosis. A randomized comparative study
of efficacy and safety. J Hepatol. 2003 Aug;39(2):187-92.
10. Stanley MM, Ochi S, Lee KK, Nemchausky BA, Greenlee HB, Allen JI, et al.
Peritoneovenous shunting as compared with medical treatment in patients with
alcoholic cirrhosis and massive ascites. Veterans Administration Cooperative
Study on Treatment of Alcoholic Cirrhosis with Ascites. N Engl J Med. 1989
Dec 14;321(24):1632-8.
11. Angeli P, Dalla Pria M, De Bei E, Albino G, Caregaro L, Merkel C, et al.
Randomized clinical study of the efficacy of amiloride and potassium
canrenoate in nonazotemic cirrhotic patients with ascites. Hepatology. 1994
Jan;19(1):72-9.
12. McHutchison JG, Pinto PC, Reynolds TB. Hydrochlorothiazide as a third
diuretic in cirrhosis with refractory ascites
[Abstract] HEPATOLOGY. 1989;10:719.
13. Pitt B, Remme W, Zannad F, Neaton J, Martinez F, Roniker B, et al.
Eplerenone, a selective aldosterone blocker, in patients with left ventricular
dysfunction after myocardial infarction. N Engl J Med. 2003 Apr
3;348(14):1309-21.

10

14. Spahr L, Villeneuve JP, Tran HK, Pomier-Layrargues G. Furosemide-induced
natriuresis as a test to identify cirrhotic patients with refractory ascites.
Hepatology. 2001 Jan;33(1):28-31.
15. Toniutto P, Pirisi M, Fabris C, Apollonio L, Sereti K, Bartoli EG. The
significance of the furosemide test for predicting ascites control by diuretics in
cirrhotics: a comparison with volume expansion and octreotide infusion. Dig
Dis Sci. 2006 Nov;51(11):1992-7.
16. Romanelli RG, La Villa G, Barletta G, Vizzutti F, Lanini F, Arena U, et al.
Long-term albumin infusion improves survival in patients with cirrhosis and
ascites: an unblinded randomized trial. World J Gastroenterol. 2006 Mar
7;12(9):1403-7.
17. Peltekian KM, Wong F, Liu PP, Logan AG, Sherman M, Blendis LM.
Cardiovascular, renal, and neurohumoral responses to single large-volume
paracentesis in patients with cirrhosis and diuretic-resistant ascites. Am J
Gastroenterol. 1997 Mar;92(3):394-9.
18. Tito L, Gines P, Arroyo V, Planas R, Panes J, Rimola A, et al. Total
paracentesis associated with intravenous albumin management of patients with
cirrhosis and ascites. Gastroenterology. 1990 Jan;98(1):146-51.
19. Gines P, Arroyo V, Quintero E, Planas R, Bory F, Cabrera J, et al.
Comparison of paracentesis and diuretics in the treatment of cirrhotics with
tense ascites. Results of a randomized study. Gastroenterology. 1987
Aug;93(2):234-41.
20. Planas R, Montoliu S, Balleste B, Rivera M, Miquel M, Masnou H, et al.
Natural history of patients hospitalized for management of cirrhotic ascites.
Clin Gastroenterol Hepatol. 2006 Nov;4(11):1385-94.
21. Arroyo V, Gines P, Gerbes AL, Dudley FJ, Gentilini P, Laffi G, et al.
Definition and diagnostic criteria of refractory ascites and hepatorenal
syndrome in cirrhosis. International Ascites Club. Hepatology. 1996
Jan;23(1):164-76.
22. Gines P, Tito L, Arroyo V, Planas R, Panes J, Viver J, et al. Randomized
comparative study of therapeutic paracentesis with and without intravenous
albumin in cirrhosis. Gastroenterology. 1988 Jun;94(6):1493-502.
23. Rothschild MA, Oratz M, Evans C, Schreiber SS. Alterations in Albumin
Metabolism after Serum and Albumin Infusions. J Clin Invest. 1964
Oct;43:1874-80.
24. Pietrangelo A, Panduro A, Chowdhury JR, Shafritz DA. Albumin gene
expression is down-regulated by albumin or macromolecule infusion in the
rat. J Clin Invest. 1992 Jun;89(6):1755-60.
25. Haynes GR, Navickis RJ, Wilkes MM. Albumin administration--what is the
evidence of clinical benefit? A systematic review of randomized controlled
trials. Eur J Anaesthesiol. 2003 Oct;20(10):771-93.
26. Gines A, Fernandez-Esparrach G, Monescillo A, Vila C, Domenech E,
Abecasis R, et al. Randomized trial comparing albumin, dextran 70, and
polygeline in cirrhotic patients with ascites treated by paracentesis.
Gastroenterology. 1996 Oct;111(4):1002-10.

11

27. Singh V, Kumar R, Nain CK, Singh B, Sharma AK. Terlipressin versus
albumin in paracentesis-induced circulatory dysfunction in cirrhosis: a
randomized study. J Gastroenterol Hepatol. 2006 Jan;21(1 Pt 2):303-7.
28. Choi CH, Ahn SH, Kim DY, Lee SK, Park JY, Chon CY, et al. Long-term
clinical outcome of large volume paracentesis with intravenous albumin in
patients with spontaneous bacterial peritonitis: a randomized prospective
study. J Gastroenterol Hepatol. 2005 Aug;20(8):1215-22.
29. Rossle M, Ochs A, Gulberg V, Siegerstetter V, Holl J, Deibert P, et al. A
comparison of paracentesis and transjugular intrahepatic portosystemic
shunting in patients with ascites. N Engl J Med. 2000 Jun 8;342(23):1701-7.
30. Gines P, Uriz J, Calahorra B, Garcia-Tsao G, Kamath PS, Del Arbol LR, et al.
Transjugular intrahepatic portosystemic shunting versus paracentesis plus
albumin for refractory ascites in cirrhosis. Gastroenterology. 2002
Dec;123(6):1839-47.
31. Sanyal AJ, Genning C, Reddy KR, Wong F, Kowdley KV, Benner K, et al.
The North American Study for the Treatment of Refractory Ascites.
Gastroenterology. 2003 Mar;124(3):634-41.
32. Salerno F, Camma C, Enea M, Rossle M, Wong F. Transjugular intrahepatic
portosystemic shunt for refractory ascites: a meta-analysis of individual
patient data. Gastroenterology. 2007 Sep;133(3):825-34.

12