Perubahan Klinik Pada Anjing Lokal Selama Teranestesi Ketamin Dengan Berbagai Dosis Premedikasi Xilazin Secara Subkutan.

(1)

PERUBAHAN KLINIK PADA ANJING LOKAL SELAMA

TERANESTESI KETAMIN DENGAN BERBAGAI DOSIS PREMEDIKASI XILAZIN SECARA SUBKUTAN

SKRIPSI

Oleh

Kadek Mira Dwiningrum NIM. 1009005048

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2014


(2)

PERUBAHAN KLINIK PADA ANJING LOKAL SELAMA

TERANESTESI KETAMIN DENGAN BERBAGAI DOSIS PREMEDIKASI XILAZIN SECARA SUBKUTAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran Hewan

Oleh

Kadek Mira Dwiningrum NIM. 1009005048

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2014


(3)

Setelah mempelajari dan menguji dengan sungguh-sungguh kami berpendapat bahwa tulisan ini baik ruang lingkup maupun kualitasnya dapat diajukan sebagai skripsi untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan.

Ditetapkan di Denpasar, tanggal:

Panitia Penguji:

drh. A.A. Gde Jaya Wardhita, M.Kes Ketua

Dr. drh. I Ketut Anom Dada, MS Anggota

drh. I Wayan Gorda, M.Kes Anggota

Dr. drh. I Wayan Batan, MS Anggota

drh. IG.A. Gde Putra Pemayun, MP Sekretaris


(4)

PERUBAHAN KLINIK PADA ANJING LOKAL SELAMA

TERANESTESI KETAMIN DENGAN BERBAGAI DOSIS PREMEDIKASI XILAZIN SECARA SUBKUTAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran Hewan

Oleh

Kadek Mira Dwiningrum NIM. 1009005048

Menyetujui/Mengesahkan:

Pembimbing I, Pembimbing II,

drh. A.A. Gde Jaya Wardhita, M.Kes drh. IG.A. Gde Putra Pemayun, MP NIP. 19600201 198702 1 002 NIP. 19610612 198903 1 004

DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA

Dr. drh. I Nyoman Adi Suratma, MP NIP. 19600305 198703 1 001


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Denpasar pada tanggal 15 Mei 1992, merupakan anak kedua dari pasangan I Made Artawan dan I Gusti Ayu Indah Kristiyani. Penulis menempuh pendidikan Taman Kanak-Kanak di TK Setia Budhi 1 Mengwitani (1997-1998), kemudian melanjutkan ke SD Negeri 6 Sesetan (1998-2004), SMPK 1 Harapan (2004-2007), dan SMAK Harapan (2007-2010). Pada tahun 2010, penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana melalui jalur PMDK. Penulis juga bergabung dalam kepanitiaan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FKH. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan penulis melaksanakan penelitian mengenai “Perubahan Klinik Pada Anjing Lokal Selama Teranestesi Ketamin dengan Berbagai Dosis Premedikasi Xilazin Secara Subkutan”.


(6)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan klinik yang terjadi selama teranestesi ketamin dengan premedikasi xilazin yang melebihi dosis pemberian secara intramuskuler pada anjing lokal yang diberikan secara subkutan. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola Split in Time dengan empat perlakuan yaitu pemberian xilazin dosis 2 mg/kg bb (kontrol), 4 mg/kg bb, 6 mg/kg bb, dan 8 mg/kg bb. Setiap perlakuan menggunakan enam ekor anjing sebagai ulangan, sehingga anjing yang digunakan sebanyak 24 ekor. Data kuantitatif yang diperoleh dianalisis dengan Sidik Ragam dan dilanjutkan dengan Uji Wilayah Berganda Duncan, sedangkan data kualitatif yang diperoleh disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya perubahan klinik pada dosis premedikasi 2 mg/kg bb, 6 mg/kg bb dan 8 mg/kg bb, sedangkan pada dosis 4 mg/kg bb anjing tidak teranestesi sempurna sehingga tidak dilakukan pengamatan perubahan klinik pada dosis 4 mg/kg bb. Perbedaan dosis premedikasi xilazin berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap detak jantung, tetapi tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap pulsus, CRT, frekuensi respirasi, suhu tubuh, dan tekanan otot rahang. Perbedaan waktu pengamatan selama anjing teranestesi berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap frekuensi detak jantung, pulsus, CRT, frekuensi respirasi, suhu tubuh, dan tekanan otot rahang. Perubahan klinik yang terjadi masih berada pada kisaran normal.


(7)

ABSTRACT

The purpose of this research is to find out the clinical changes that happen during anesthetized with ketamine and xylazine that exceed intramuscularly recommended dose at the local dog was given subcutaneously. This research used a Completely Randomized Design (CRD) on Split in Time pattern by four treatments, those are giving xylazine with dose of 2 mg/kg bw (control), 4 mg/kg bw, 6 mg/kg bw, and 8 mg/kg bw. Every treatment using six dogs as reiteration, so the dog used were 24 dogs. The quantitative data will analyzed by analysis of variance and continued by Duncan’s Multiple Area Test, while the qualitative data will presented descriptively. The results showed that there were clinical changes on xylazine dose of 2 mg/kg bw, 6 mg/kg bw, and 8 mg/kg bw, whereas on xylazine dose of 4 mg/kg bw the dogs were not anesthetized perfectly, so the clinical changes were not observed. Difference dose of xylazine are significant (P<0,05) on heart rate but not significant (P>0,05) on pulsus, CRT, respiratory rate, body temperature, and jaw tension. The difference in observation time for anesthetized dogs was highly significant (P<0,01) on heart rate, pulsus, CRT, respiratory rate, body temperature, and jaw tension. The clinical changes that occur were still in the normal range.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perubahan Klinik Pada Anjing Lokal Selama Teranestesi Ketamin dengan Berbagai Dosis Premedikasi Xilazin Secara Subkutan”.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari segala bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dr. drh. I Nyoman Adi Suratma, MP selaku Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.

2. drh. Anak Agung Gde Jaya Wardhita, M.Kes selaku pembimbing I dan drh. I Gusti Agung Gde Putra Pemayun, MP selaku pembimbing II atas segala bimbingan, arahan, nasehat dan bantuan yang telah diberikan selama penelitian dan penulisan skripsi ini hingga selesai. 3. Prof. Dr. drh. Nyoman Sadra Dharmawan, MS selaku pembimbing

akademik atas segala bimbingan, saran serta motivasinya.

4. Bapak, ibu dosen dan staf pegawai FKH UNUD atas ilmu, bimbingan serta bantuannya.

5. Bapak dan ibu, I Made Artawan dan I Gusti Ayu Indah Kristiyani, puteri tercinta Putu Devindra Virgayoni Mahardika, kakak dan adik tersayang, Putu Ayu Trya Purnamasari, Nyoman Putriana dan Ade Suputra, seluruh keluarga Ibu Erni, Bapak Wisna, Kak In, Kak An, dan


(9)

Cici, serta seluruh keluarga besar atas doa, kasih sayang, dukungan, bantuan moril dan materiil sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. 6. Sahabat tercinta Andra, Dhea, Kiki, Manje, Komang Sri, Sindhu, Gung

Is, Dodok, Ratna Bayu, Debora, Vidia, Devit, kak Indra (FKH 2008), Gita dan Indah (FKH 2011) atas bantuan, dukungan serta masukannya selama penyusunan skripsi ini.

7. Seluruh teman-teman angkatan 2010 atas semangat dan bantuannya dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.

Denpasar, Oktober 2014


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

RIWAYAT HIDUP ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.5 Kerangka Konsep ... 4

1.6 Hipotesis ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Anestesi ... 7

2.1.1 Ketamin ... 10

2.2 Premedikasi Anestesi ... 11

2.2.1 Atropin ... 11

2.2.2 Xilazin ... 12

2.3 Perubahan Fisiologis Hewan dalam Anestesi ... 13

BAB III MATERI DAN METODE ... 18

3.1 Materi Penelitian ... 18

3.1.1 Hewan percobaan ... 18

3.1.2 Bahan dan alat percobaan ... 18

3.2 Rancangan Penelitian ... 18

3.3 Variabel Penelitian ... 19

3.4 Cara Pengumpulan Data ... 19

3.5 Prosedur Penelitian ... 19

3.5.1 Persiapan hewan percobaan ... 19

3.5.2 Pemeriksaan pre-anestesi ... 19

3.5.3 Pemberian premedikasi dan anestesi ... 20

3.5.4 Pengamatan terhadap perubahan klinik ... 20

3.6 Analisis Data ... 21

3.7 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 21

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22

4.1 Hasil ... 22


(11)

4.3 Pengujian Hipotesis ... 36

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 37

5.1 Kesimpulan ... 37

5.2 Saran ... 37

DAFTAR PUSTAKA ... 39


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Pengaruh Dosis Terhadap Detak Jantung Anjing Lokal Selama Teranestesi Ketamin dengan Berbagai Dosis Premedikasi

Xilazin Secara Subkutan ... 23 2. Pengaruh Waktu Terhadap Detak Jantung Anjing Lokal Selama

Teranestesi Ketamin dengan Berbagai Dosis Premedikasi

Xilazin Secara Subkutan ... 23 3. Pengaruh Waktu Terhadap Frekuensi Respirasi Anjing Lokal

Selama Teranestesi Ketamin dengan Berbagai Dosis

Premedikasi Xilazin Secara Subkutan ... 24 4. Pengaruh Waktu Terhadap Pulsus Anjing Lokal Selama

Teranestesi Ketamin dengan Berbagai Dosis Premedikasi Xilazin Secara Subkutan ... 25 5. Pengaruh Waktu Terhadap Suhu Tubuh Anjing Lokal Selama

Teranestesi Ketamin dengan Berbagai Dosis Premedikasi

Xilazin Secara Subkutan ... 26 6. Pengaruh Waktu Terhadap Tekanan Otot Rahang Anjing Lokal

Selama Teranestesi Ketamin dengan Berbagai Dosis

Premedikasi Xilazin Secara Subkutan ... 26 7. Pengaruh Waktu Terhadap CRT Anjing Lokal Selama

Teranestesi Ketamin dengan Berbagai Dosis Premedikasi


(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Grafik Rata-rata Frekuensi Detak Jantung ... 29

2. Grafik Rata-rata Pulsus ... 30

3. Grafik Rata-rata CRT ... 31

4. Grafik Rata-rata Frekuensi Respirasi ... 33


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Pemeriksaan Frekuensi Detak Jantung ... 43

2. Hasil Pemeriksaan Frekuensi Respirasi ... 46

3. Hasil Pemeriksaan Pulsus ... 49

4. Hasil Pemeriksaan Suhu Tubuh ... 52

5. Hasil Pemeriksaan Tekanan Otot Rahang ... 55


(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Anjing merupakan hewan peliharaan yang paling populer hampir di seluruh dunia, baik anjing ras maupun anjing lokal. Selain lucu, anjing juga memiliki jiwa pengabdian dan kesetiaan yang tinggi terhadap tuannya. Jadi wajar saja bila banyak orang yang menjadikan anjing sebagai hewan peliharaan. Dalam memelihara anjing, kesehatan merupakan hal yang penting dan harus diperhatikan sejak dini karena terdapat berbagai jenis penyakit baik yang bersifat infeksius maupun non-infeksius. Banyak penyakit yang tidak dapat ditangani dengan obat-obatan, sehingga untuk penanganannya dibutuhkan tindakan pembedahan. Dalam tindakan pembedahan selalu diperlukannya agen anestetik, karena pembedahan baru dapat dilakukan apabila hewan mengalami relaksasi otot, tidak bergerak, tidak merasakan nyeri, dan dengan atau tanpa hilangnya kesadaran (Batan et al., 1997).

Penggunaan anestetikum sebagai anestesi harus dilakukan secara hati-hati agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi pasien. Beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam penggunaan anestetikum diantaranya adalah jenis obat, dosis obat yang digunakan, serta cara pemberian obat. Pemberian anestetikum dapat dilakukan melalui injeksi secara intramuskuler, subkutan, intravena atau melalui inhalasi dengan menggunakan gas anestesi (Cullen, 1991). Pemberian melalui injeksi lebih banyak digunakan dibandingkan


(16)

2

dengan cara inhalasi yang dinilai lebih aman tetapi aplikasinya lebih rumit dan membutuhkan biaya yang cukup mahal. Anestesi yang ideal adalah anestesi yang aman terhadap sistem vital tubuh pasien, mudah diaplikasikan, memiliki durasi yang lama, dan biaya yang murah (Sudisma et al., 2012).

Jenis obat yang umum digunakan untuk anestesi melalui injeksi adalah ketamin dengan premedikasi xilazin yang dikombinasikan dengan atropin. Premedikasi xilazin dapat digunakan untuk mengontrol hipertensi, secara farmakologi, xilazin dapat berfungsi sebagai analgesik, sedatif dan relaxan pada otot skeletal (Adam, 2001). Atropin digunakan sebagai premedikasi anestesi dengan tujuan utama untuk menekan produksi air liur, sekresi saluran nafas serta untuk mencegah reflek yang menimbulkan gangguan jantung (Sardjana et al., 2004). Ketamin memiliki sifat analgesik, anestetik dan kataleptik dengan kerja yang singkat. Sifat analgesiknya sangat kuat untuk sistem somatik, tetapi lemah untuk sistem visceral, tidak menyebabkan relaksasi otot lurik, bahkan kadang-kadang tonusnya sedikit meninggi (Kumar, 1997).

Biasanya pemberian anestetikum ketamin dengan premedikasi xilazin dan atropin diberikan secara intramuskuler, dengan durasi anestesi yang dihasilkan sekitar 45 menit (Sudisma et al.,2002). Beberapa tindakan pembedahan biasanya membutuhkan waktu lebih dari 45 menit sehingga diperlukan penambahan anestetikum. Penambahan anestetikum secara berulang akan mempengaruhi kondisi fisiologis dari anjing dan sedapat mungkin harus dihindari.


(17)

3

Anestesi secara injeksi yang tergolong aman dan mudah aplikasinya adalah injeksi secara subkutan. Obat yang diinjeksikan secara subkutan akan diserap oleh tubuh secara perlahan-lahan sehingga efek obat akan menjadi lebih lama, tetapi dosis obat harus ditingkatkan dari dosis yang dianjurkan secara intramuskuler untuk dapat mencapai efek anestesi yang baik. Penelitian anestesi ketamin dengan premedikasi xilazin secara subkutan belum pernah dilakukan dalam praktek kedokteran hewan, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian terhadap perubahan klinik yang terjadi pada anjing serta berapa dosis yang aman dan efektif yang mampu memberi efek anestesi yang baik. 1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimanakah perubahan klinik yang terjadi pada anjing lokal selama teranestesi ketamin dengan berbagai dosis premedikasi xilazin yang diberikan secara subkutan ?

1.3Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan klinik yang terjadi pada anjing lokal selama teranestesi ketamin dengan berbagai dosis premedikasi xilazin yang diberikan secara subkutan meliputi frekuensi detak jantung, frekuensi respirasi, pulsus, suhu tubuh, Capillary refill time (CRT), tekanan otot rahang dan warna membrana mukosa.


(18)

4

1.4Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu:

a. Memberikan informasi tentang perubahan klinik yang terjadi pada anjing lokal selama teranestesi ketamin dengan berbagai dosis premedikasi xilazin yang diberikan secara subkutan.

b. Untuk mendapatkan alternatif lain dalam pengaplikasian anestesi yang mudah dengan biaya yang minim, tetapi dengan efek anestesi yang aman dan durasi yang lama, sehingga dapat digunakan dalam praktik medis veteriner.

1.5Kerangka Konsep

Pemilihan obat anestesi yang tepat dengan cara pemberian yang benar akan meminimalkan efek samping yang tidak diinginkan terhadap sistem vital tubuh pasien (Hall dan Clarke, 1983). Ketamin dapat menimbulkan efek samping seperti takikardia, hipersalivasi serta meningkatkan ketegangan otot dan bila dosis berlebihan akan menyebabkan pemulihan berjalan lamban dan membahayakan (Jones et al., 1997). Efek samping yang tidak diharapkan dari suatu anestesi itu dapat diatasi dengan pemberian obat premedikasi yang memiliki kelebihan masing-masing (Sardjana dan Kusumawati, 2004). Premedikasi yang paling sering digunakan untuk anestesi ketamin adalah xilazin (Sektiari dan Misaco, 2001). Xilazin dapat mengurangi sekresi saliva dan peningkatan tekanan darah yang diakibatkan oleh penggunaan ketamin (Warren, 1983), disamping itu xilazin juga dapat merelaksasikan otot tetapi dapat menyebabkan terjadinya muntah.


(19)

5

Penelitian terhadap perubahan klinik pada anjing lokal yang diberikan anestesi ketamin dengan premedikasi xilazin secara intramuskuler sudah pernah dilakukan. Perubahan klinik dari anestesi ketamin dengan premedikasi xilazin dilaporkan bahwa rata-rata frekuensi detak jantung mengalami penurunan sampai menit ke-40 dan terjadi peningkatan pada menit ke-50 dan 60. Selama teranestesi rata-rata frekuensi respirasi juga mengalami penurunan pada menit ke-0 dan meningkat pada menit ke-10 hingga menit ke-50. Pada pemeriksaan terhadap suhu tubuh mengalami penurunan dari menit ke-0 sampai menit ke-60. Frekuensi pulsus juga mengalami hal yang sama, mengalami penurunan hingga menit ke-50 dan meningkat pada menit ke-60 (Yanuaria dan Batan, 2002).

Pemberian anestetikum yang kurang atau tidak mencukupi menyebabkan pasien akan tetap merasakan nyeri, masih dalam keadaan sadar, masih adanya refleks dan masih ada pergerakan. Apabila dosis anestetikum yang diberikan berlebihan bisa mengancam pasien bahkan dapat menimbulkan kematian. Guna mencegah dua kejadian yang ekstrim tersebut, harus dilakukan pemantauan yang baik selama hewan teranestesi. Pemantauan dilakukan terhadap sistem respirasi, sistem kardiovaskuler, dan suhu tubuh serta tetap mempertahankan kedalaman anestesi (McKelvey dan Hollingshead, 2003).

1.6Hipotesis

Berdasarkan kerangka konsep di atas dapat disusun hipotesis yaitu pemberian anestetik ketamin dengan premedikasi xilazin yang diberikan


(20)

6

secara subkutan pada anjing lokal dapat menimbulkan perubahan klinik selama teranestesi terhadap sistem vital seperti sistem kardiovaskuler yang meliputi frekuensi detak jantung, CRT, pulsus warna membrana mukosa, respirasi, suhu tubuh, dan tekanan otot rahang.


(21)

(22)

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anestesi

Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh dokter Oliver Wendell Holmes pada tahun 1846. Anestesi berasal dari dua kata Yunani : An berarti tidak, dan Aesthesis berarti rasa atau sensasi nyeri, yang secara umum berarti menghilangkan rasa nyeri. Dalam arti yang lebih luas anestesi adalah suatu keadaan temporer dimana terjadinya relaksasi otot, hilangnya rasa nyeri dan hilangnya rasa terhadap rangsangan, tanpa atau disertai dengan hilangnya kesadaran (Wikipedia, 2014). Pemberian anestesi bertujuan untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan rasa nyeri saat dilakukan tindakan medis seperti operasi, untuk melakukan pengendalian pada hewan (restrain), keperluan penelitian biomedis, pengamanan pemindahan hewan liar (transportasi), pemotongan hewan yang humanis, dan untuk melakukan prosedur etanasi (Tranquilli et al., 2007).

Secara umum anestesi dapat dibagi atas dua golongan yaitu berdasarkan cara penggunaan obat dan berdasarkan luas pengaruh obat. Berdasarkan cara penggunaan obat anestesi dibagi menjadi (a) anestesi topikal yaitu obat diberikan melalui permukaan kulit atau membrana mukosa untuk tujuan anestesi lokal; (b) anestesi injeksi/parentral yaitu obat anestesi yang diberikan melalui suntikan baik secara intramuskuler, intravena, ataupun subkutan; (c) anestesi inhalasi yaitu obat diberikan melalui saluran respirasi


(24)

8

dengan menggunakan gas oksigen sebagai perantara; (d) anestesi oral atau rektal yaitu obat diberikan melalui saluran pencernaan (gastrointestinal) (Tranquilli et al., 2007).

Berdasarkan luas pengaruh obat anestesi dibagi menjadi anestesi lokal, anestesi regional dan anestesi umum. Anestesi lokal adalah suatu tindakan menghilangkan rasa nyeri pada area tertentu yang diinginkan tanpa menghilangkan kesadaran. Anestesi lokal bekerja dengan menghambat konduksi saraf perifer tanpa menimbulkan kerusakan permanen pada saraf tersebut. Mekanisme kerja anestetikum lokal adalah dengan cara menghambat saluran ion sodium (Na+) pada saraf perifer yang mengakibatkan konduksi atau aksi potensial pada saraf terhambat sehingga respon nyeri secara lokal hilang. Pada umumnya anestesi lokal digunakan untuk melakukan pembedahan kecil seperti penjahitan luka, dan sebagainya (Tranquilli et al., 2007). Penggunaan anestesi lokal dapat dilakukan dengan meneteskan pada permukaan daerah yang akan dianestesi, dengan melakukan injeksi secara subkutan pada daerah yang akan dianestesi (subdermal, intradermal), serta dengan melakukan pemblokiran pada daerah tertentu (Sudisma et al, 2006).

Anestesi regional adalah suatu tindakan menghilangkan rasa nyeri yang dilakukan dengan cara menyuntikkan anestetik lokal pada lokasi saraf yang menginervasi regio atau daerah tertentu sehingga mengakibatkan hambatan konduksi impuls yang reversibel. Anestesi regional dapat menghilangkan rasa nyeri pada suatu daerah atau regio tertentu secara reversibel tanpa disertai hilangnya kesadaran. Anestesi regional menghambat


(25)

9

sensasi dan kontrol motorik daerah abdominal, pelvis, ekor dan kaki belakang. Anestesi ini biasanya digunakan untuk pembedahan cesar, laparotomi, pembedahan daerah pelvis, dan sebagainya (McKelvey dan Hollingshead, 2003).

Anestesi umum adalah keadaan dimana hilangnya rasa nyeri di seluruh tubuh dan hilangnya kesadaran yang bersifat sementara yang dihasilkan melalui penekanan susunan saraf pusat (SSP) karena adanya induksi secara farmakologi atau penekanan sensori pada saraf. Agen anestesi umum bekerja dengan cara menekan SSP secara reversibel (Adam, 2001). Anestesi umum merupakan kondisi yang dikendalikan dengan ketidaksadaran reversibel dan diperoleh melalui penggunaan obat-obatan secara injeksi dan atau inhalasi yang ditandai dengan hilangnya respon rasa nyeri (analgesia), hilangnya ingatan (amnesia), hilangnya respon terhadap rangsangan atau refleks dan hilangnya gerak spontan (immobility), serta hilangnya kesadaran (unconsciousness) (McKelvey dan Hollingshead, 2003). Dengan demikian, tujuan utama dilakukan anestesi umum adalah upaya untuk menciptakan kondisi sedasi, analgesia, relaksasi, dan penekanan refleks yang optimal untuk dilakukan tindakan dan prosedur diagnostik atau pembedahan tanpa menimbulkan gangguan hemodinamik, respiratorik, dan metabolik yang dapat mengancam pasien (Miller, 1969). Anestesi umum yang sering digunakan dan cukup aman serta aplikasinya yang mudah untuk anjing adalah anestesi secara injeksi dengan anestetik ketamin.


(26)

10

2.1.1 Ketamin

Ketamin adalah anestesi umum injeksi golongan non barbiturat, termasuk golongan cyclohexamine, mempunyai efek analgesia yang sangat kuat akan tetapi efek sedasi dan hipnotiknya kurang (tidur ringan). Ketamin juga diklasifikasikan sebagai anestesi disosiatif menyebabkan penderita tidak sadar dengan cepat namun mata tetap terbuka tapi tidak memberikan respon rangsangan dari luar (Hilbery, 1992). Pengaruh klinis yang ditimbulkan ketamin sangat bervariasi seperti analgesia, anestesi, halusinasi, neurotoksisitas, hipertensi arterial, dan bronkodilatasi. Ketaminn juga menimbulkan efek agitasi (kehilangan orientasi, gelisah, dan menangis) yang sering disebut fenomena emergence delirium (Stawicki, 2007). Terhadap sistem kardiovaskuler, ketamin menyebabkan peningkatan tekanan darah, peningkatan detak jantung, peningkatan curah jantung, peningkatan tekanan vena, peningkatan tekanan arteri, suhu tubuh, dan peningkatan tekanan intraokuler (Haskin, 1985 dan Cullen, 1991). Ketamin tidak menekan pernapasan secara signifikan pada dosis biasa, tetapi pada dosis yang lebih tinggi dapat menyebabkan frekuensi pernapasan menurun (Plumb, 2005). Ketamin pada anjing biasa digunakan dengan dosis 10-15 mg/kg bobot badan. Untuk mengatasi kekurangan dari ketamin, maka penggunaannya sering dikombinasikan dengan obat lain sebagai premedikasi anestesi.


(27)

11

2.2 Premedikasi Anestesi

Premedikasi adalah pemberian obat-obatan sebelum dilakukan tindakan anestesi. Tujuan utama dari pemberian premedikasi anestesi adalah untuk menenangkan pasien, relaksasi otot, menghilangkan rasa sakit, mengurangi dosis anestetikum, mengurangi nyeri selama pembedahan maupun pasca pembedahan, serta untuk menghasilkan induksi anestesi yang perlahan dan aman (McKelvey dan Hollingshead, 2003).

Obat-obat yang bersifat sedatif dan anxiolitik berperan besar dalam meningkatkan kualitas anestesi dan pemulihan, serta dapat meminimalisir efek samping dari obat-obat anestesi yang tidak diinginkan (Lee, 2006). Premedikasi anestesi yang umum digunakan pada hewan dibagi menjadi (a) antikolinergik seperti atropin, glikopirolat, scopolamine, dan aminopentamid; (b) sedatif seperti xilazin, diazepam, midazolam, lorazepam, medetomidin, dan curare; (c) tranquilliser seperti promazin, acepromazin, chlorpromazin, diazepam, lorazepam, midazolam, xilazin dan medetomidin; (d) narkotik seperti morpin, oksimorfon, apomorpin, etorpin, nalorpin, dan meperidin (McKelvey dan Hollingshead, 2003). Premedikasi yang umum digunakan untuk anjing adalah atropin dan xilazin.

2.2.1 Atropin

Atropin merupakan antikolinergik yang paling sering digunakan, obat-obat golongan ini juga disebut dengan antimuskarinik atau parasimpatolitik. Mekanisme kerja obat ini pada umumnya menghambat pada tempat yang disarafi oleh serabut postganglion kolinergik, dimana asetilkolin sebagai


(28)

12

neurotransmitter. Atropin digunakan untuk mengurangi salivasi, sekresi bronkial dan melindungi serta mencegah kejadian aritmia yang disebabkan oleh sifat obat-obat anestetik yang digunakan. Sebagai premedikasi, atropin diindikasikan pada anjing untuk mencegah sekresi saliva yang dapat menghalangi saluran nafas. Meskipun demikian, pemberian atropin berpengaruh pada SSP yang kemudian merangsang medulla oblongata, pada mata menimbulkan midrasis, mengurangi sekret hidung, mulut, faring dan bronkus (Sardjana dan Kusumawati, 2004).

Atropin bersifat reversibel dan pada pemberiannya dapat dimetabolisir oleh semua spesies (Brander dan Pugh, 1991). Atropin biasa digunakan sebagai premedikasi pada anjing dengan dosis 0,02-0,04mg/kg bobot badan secara subkutan, intramuskuler, maupun secara intravena (McKelvey dan Hollingshead, 2003). Pemakaian atropin dosis tinggi berakibat peningkatan frekuensi jantung dan tonus vagal perifer dan sentral. Kejadian disaritmia jantung dan takikardi pada pemberian atropin pernah dilaporkan pada anjing (Tranquilli et al., 2007).

2.2.2 Xilazin

Xilazin adalah premedikasi anestesi yang sering digunakan pada anjing dan kucing untuk menghasilkan efek sedasi, analgesia, dan relaksasi otot. Xilazin menyebabkan relaksasi otot melalui penghambatan transmisi impuls intraneural pada susunan saraf pusat, menyebabkan efek muntah dan dapat menekan termoregulator pada SSP (Adam, 2001). Xilazin menghasilkan sedasi dan hipnotis yang dalam dan lama, dengan dosis yang ditingkatkan


(29)

13

mengakibatkan sedasi yang lebih dalam dan lama serta durasi panjang (Hall dan Clarke, 1983). Xilazin diinjeksikan secara intramuskuler dan dapat menyebabkan iritasi kecil pada daerah suntikan, tetapi tidak menyakitkan dan akan hilang dalam waktu 24-48 jam (Hall dan Clarke, 1983).

Xilazin menyebabkan tertekannya SSP, bermula dari sedasi, kemudian dengan dosis yang lebih tinggi menyebabkan hipnosis, tidak sadar dan akhirnya keadaan teranestesi (Hall dan Clarke, 1983). Pada sistem pernafasan dapat menekan pusat pernafasan sehingga dapat menyebabkan relaksasi otot yang bagus melalui hambatan transmisi intraneural impuls pada SSP. Penggunaan xilazin pada anjing menghasilkan efek samping merangsang muntah tetapi hal ini dapat ditangani dengan mengosongkan lambung pada anjing sebelum dianestesi.

Efek analgesia xilazin bisa bertahan selama 15-30 menit, namun efek sedasinya bisa bertahan hingga 1-2 jam tergantung pada dosis yang diberikan, sedangkan waktu pemulihan sempurna setelah pemberian xilazin pada anjing membutuhkan waktu antara 2-4 jam (Plumb, 2005). Pada anjing, xilazin bisa digunakan secara subkutan atau intramuskuler dengan dosis 1-3 mg/kg bobot badan (Bishop, 1996).

2.3 Perubahan Fisiologis Hewan dalam Anestesi

Pengamatan aspek fisiologis untuk pengawasan suatu anestesi yang diamati meliputi perubahan aspek fisiologi pada sistem kardiovaskuler, respirasi, dan suhu tubuh merupakan parameter yang terpenting diamati


(30)

14

selama periode anestesi (Adam, 2001). Kunci efektifitas anestesi dan tingkat keamanan selama periode anestesi adalah dilakukannya pengawasan dan pemantauan (monitoring) anestesi yang baik. Pemeriksaan cepat dan seksama selama periode anestesi dilakukan terhadap kedalaman anestesi, kardiovaskuler yang meliputi frekuensi detak jantung, pulsus, CRT, warna membrana mukosa, frekuensi respirasi, suhu tubuh, tekanan otot rahang, posisi bola mata, dan refleks pupil terhadap cahaya (McKelvey dan Hollingshead, 2003).

Sistem kardiovaskuler adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri dari jantung, pembuluh darah dan darah. Fungsi utama sistem kardiovaskuler adalah sebagai sistem sirkulasi (Cunningham, 2002). Pengamatan frekuensi detak jantung dapat menggambarkan kualitas fungsi kardiovaskuler yang bertugas mengangkut oksigen dan nutrien ke seluruh jaringan tubuh. Pengamatan frekuensi detak jantung dapat dihitung secara auskultasi dengan menggunakan stetoskop yang diletakkan tepat pada intercostae ke-3 sampai ke-4 sebelah kiri. Pengukuran frekuensi detak jantung dapat juga dilakukan dengan elektrokardiogram (EKG) (Cunningham, 2002). Detak jantung minimal yang masih aman pada anjing teranestesi adalah 60 kali/menit. Detak jantung yang lebih rendah menandakan kedalaman anestesi yang berlebihan atau ada gangguan. Detak jantung yang normal pada anjing adalah 60-180 kali/menit (McKelvey dan Hollingshead, 2003).

Respirasi pada hewan akan mengambil udara atau gas inspirasi dalam jumlah yang sama dengan yang dikeluarkan saat ekspirasi. Volume udara atau


(31)

15

gas yang masuk dan keluar dari saluran respirasi disebut volume tidal, sedangkan jumlah inspirasi atau ekspirasi yang dilakukan setiap menitnya disebut frekuensi respirasi per menit. Frekuensi respirasi normal pada anjing trah besar adalah 15-30 kali/menit (Muir, 2000). Pengamatan frekuensi respirasi secara sederhana dapat dilakukan dengan cara visual dengan memperhatikan gerakan inspirasi dan ekspirasi pada thoracoabdominal (Cunningham, 2002).

Suhu tubuh adalah variabel fisiologis yang paling sederhana dan mudah untuk diamati selama anestesi. Suhu tubuh dapat diamati dengan menggunakan thermometer yang dimasukkan ke rektum. Selama teranestesi anjing mengalami penurunan suhu tubuh. Hal ini disebabkan oleh ketamin yang memiliki efek hipotermia dengan cara menekan pusat termoregulasi pada SSP (Yanuaria dan Batan, 2002). Selain itu, abnormalitas termoregulasi yang menyebabkan penurunan suhu tubuh selama hewan teranestesi disebabkan oleh kehilangan panas akibat metabolisme yang menurun, penekanan pada SSP, terjadi vasodilatasi, penurunan produksi panas oleh aktivitas otot dan kapasitas tubuh yang terbuka terhadap kontak lingkungan (Muir, 2000). Perubahan suhu tubuh pada hewan yang teranestesi masih diperkenankan apabila masih berada pada batas-batas nilai normal. Suhu normal pada anjing adalah 37,5-39,2ºC (McKelvey dan Hollingshead, 2003).

Tekanan darah dapat diukur secara kasar melalui palpasi pulsus, tetapi untuk mendapatkan tekanan darah yang akurat harus dilakukan dengan alat pengukur tekanan darah. Pulsus dapat diamati dengan cara meraba arteri


(32)

16

femoralis (sebelah medial femur). Sama halnya dengan frekuensi detak jantung, frekuensi pulsus juga akan mengalami penurunan selama teranestesi (Yanuaria dan Batan, 2002). Peningkatan refleks baroreseptor karotid dan peningkatan aktivitas vagal oleh xilazin akan menurunkan frekuensi detak jantung (Rand et al., 1996). Penurunan frekuensi detak jantung akan memperlambat aliran darah ke pembuluh darah perifer sehingga akan mempengaruhi frekuensi pulsus, dengan demikian frekuensi pulsus akan mengalami penurunan (Haskins et al., 1985). Peningkatan pulsus juga dapat terjadi karena adanya hipoventilasi selama respirasi. Frekuensi normal pulsus pada anjing adalah 65-120 kali/menit (Short, 1974).

Capillary refill time (CRT) adalah kecepatan kembalinya warna membrana mukosa mulut setelah dilakukan penekanan yang lembut dengan jari. CRT menandakan adanya aliran darah pada jaringan. Penekanan pada membrana mukosa akan menekan pembuluh darah kapiler dan menghambat aliran darah di daerah tersebut, apabila penekanan dilepaskan kapiler akan terisi kembali oleh darah dengan cepat dan warnanya akan kembali, menandakan bahwa jantung masih mampu untuk menghasilkan tekanan darah yang cukup (McKelvey dan Hollingshead, 2003). Nilai CRT yang lama (lebih dari 2 detik) menandakan pengisian jaringan oleh darah tidak optimal dan aliran darah ke jaringan menurun. Hal ini menandakan terjadi penurunan tekanan darah akibat pemberian obat, hipotermia, gangguan jantung, anestesi yang dalam, atau karena terjadi syok (Cunningham, 2002).


(33)

17

Lokasi yang mudah dilakukan untuk pemeriksaan warna membrana mukosa adalah daerah gusi. Warna membrana mukosa yang pucat menandakan kejadian kehilangan darah atau anemia atau karena aliran darah yang lemah akibat hewan terlalu lama dianestesi. Sianosis pada hewan selama teranestesi menandakan terjadi gangguan respirasi atau terjadi obstruksi saluran respirasi bagian atas dan hewan harus segera diselamatkan (Cunningham, 2002).


(34)

(1)

mengakibatkan sedasi yang lebih dalam dan lama serta durasi panjang (Hall dan Clarke, 1983). Xilazin diinjeksikan secara intramuskuler dan dapat menyebabkan iritasi kecil pada daerah suntikan, tetapi tidak menyakitkan dan akan hilang dalam waktu 24-48 jam (Hall dan Clarke, 1983).

Xilazin menyebabkan tertekannya SSP, bermula dari sedasi, kemudian dengan dosis yang lebih tinggi menyebabkan hipnosis, tidak sadar dan akhirnya keadaan teranestesi (Hall dan Clarke, 1983). Pada sistem pernafasan dapat menekan pusat pernafasan sehingga dapat menyebabkan relaksasi otot yang bagus melalui hambatan transmisi intraneural impuls pada SSP. Penggunaan xilazin pada anjing menghasilkan efek samping merangsang muntah tetapi hal ini dapat ditangani dengan mengosongkan lambung pada anjing sebelum dianestesi.

Efek analgesia xilazin bisa bertahan selama 15-30 menit, namun efek sedasinya bisa bertahan hingga 1-2 jam tergantung pada dosis yang diberikan, sedangkan waktu pemulihan sempurna setelah pemberian xilazin pada anjing membutuhkan waktu antara 2-4 jam (Plumb, 2005). Pada anjing, xilazin bisa digunakan secara subkutan atau intramuskuler dengan dosis 1-3 mg/kg bobot badan (Bishop, 1996).

2.3 Perubahan Fisiologis Hewan dalam Anestesi

Pengamatan aspek fisiologis untuk pengawasan suatu anestesi yang diamati meliputi perubahan aspek fisiologi pada sistem kardiovaskuler, respirasi, dan suhu tubuh merupakan parameter yang terpenting diamati


(2)

selama periode anestesi (Adam, 2001). Kunci efektifitas anestesi dan tingkat keamanan selama periode anestesi adalah dilakukannya pengawasan dan pemantauan (monitoring) anestesi yang baik. Pemeriksaan cepat dan seksama selama periode anestesi dilakukan terhadap kedalaman anestesi, kardiovaskuler yang meliputi frekuensi detak jantung, pulsus, CRT, warna membrana mukosa, frekuensi respirasi, suhu tubuh, tekanan otot rahang, posisi bola mata, dan refleks pupil terhadap cahaya (McKelvey dan Hollingshead, 2003).

Sistem kardiovaskuler adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri dari jantung, pembuluh darah dan darah. Fungsi utama sistem kardiovaskuler adalah sebagai sistem sirkulasi (Cunningham, 2002). Pengamatan frekuensi detak jantung dapat menggambarkan kualitas fungsi kardiovaskuler yang bertugas mengangkut oksigen dan nutrien ke seluruh jaringan tubuh. Pengamatan frekuensi detak jantung dapat dihitung secara auskultasi dengan menggunakan stetoskop yang diletakkan tepat pada intercostae ke-3 sampai ke-4 sebelah kiri. Pengukuran frekuensi detak jantung dapat juga dilakukan dengan elektrokardiogram (EKG) (Cunningham, 2002). Detak jantung minimal yang masih aman pada anjing teranestesi adalah 60 kali/menit. Detak jantung yang lebih rendah menandakan kedalaman anestesi yang berlebihan atau ada gangguan. Detak jantung yang normal pada anjing adalah 60-180 kali/menit (McKelvey dan Hollingshead, 2003).

Respirasi pada hewan akan mengambil udara atau gas inspirasi dalam jumlah yang sama dengan yang dikeluarkan saat ekspirasi. Volume udara atau


(3)

gas yang masuk dan keluar dari saluran respirasi disebut volume tidal, sedangkan jumlah inspirasi atau ekspirasi yang dilakukan setiap menitnya disebut frekuensi respirasi per menit. Frekuensi respirasi normal pada anjing trah besar adalah 15-30 kali/menit (Muir, 2000). Pengamatan frekuensi respirasi secara sederhana dapat dilakukan dengan cara visual dengan memperhatikan gerakan inspirasi dan ekspirasi pada thoracoabdominal (Cunningham, 2002).

Suhu tubuh adalah variabel fisiologis yang paling sederhana dan mudah untuk diamati selama anestesi. Suhu tubuh dapat diamati dengan menggunakan thermometer yang dimasukkan ke rektum. Selama teranestesi anjing mengalami penurunan suhu tubuh. Hal ini disebabkan oleh ketamin yang memiliki efek hipotermia dengan cara menekan pusat termoregulasi pada SSP (Yanuaria dan Batan, 2002). Selain itu, abnormalitas termoregulasi yang menyebabkan penurunan suhu tubuh selama hewan teranestesi disebabkan oleh kehilangan panas akibat metabolisme yang menurun, penekanan pada SSP, terjadi vasodilatasi, penurunan produksi panas oleh aktivitas otot dan kapasitas tubuh yang terbuka terhadap kontak lingkungan (Muir, 2000). Perubahan suhu tubuh pada hewan yang teranestesi masih diperkenankan apabila masih berada pada batas-batas nilai normal. Suhu normal pada anjing adalah 37,5-39,2ºC (McKelvey dan Hollingshead, 2003).

Tekanan darah dapat diukur secara kasar melalui palpasi pulsus, tetapi untuk mendapatkan tekanan darah yang akurat harus dilakukan dengan alat pengukur tekanan darah. Pulsus dapat diamati dengan cara meraba arteri


(4)

femoralis (sebelah medial femur). Sama halnya dengan frekuensi detak jantung, frekuensi pulsus juga akan mengalami penurunan selama teranestesi (Yanuaria dan Batan, 2002). Peningkatan refleks baroreseptor karotid dan peningkatan aktivitas vagal oleh xilazin akan menurunkan frekuensi detak jantung (Rand et al., 1996). Penurunan frekuensi detak jantung akan memperlambat aliran darah ke pembuluh darah perifer sehingga akan mempengaruhi frekuensi pulsus, dengan demikian frekuensi pulsus akan mengalami penurunan (Haskins et al., 1985). Peningkatan pulsus juga dapat terjadi karena adanya hipoventilasi selama respirasi. Frekuensi normal pulsus pada anjing adalah 65-120 kali/menit (Short, 1974).

Capillary refill time (CRT) adalah kecepatan kembalinya warna membrana mukosa mulut setelah dilakukan penekanan yang lembut dengan jari. CRT menandakan adanya aliran darah pada jaringan. Penekanan pada membrana mukosa akan menekan pembuluh darah kapiler dan menghambat aliran darah di daerah tersebut, apabila penekanan dilepaskan kapiler akan terisi kembali oleh darah dengan cepat dan warnanya akan kembali, menandakan bahwa jantung masih mampu untuk menghasilkan tekanan darah yang cukup (McKelvey dan Hollingshead, 2003). Nilai CRT yang lama (lebih dari 2 detik) menandakan pengisian jaringan oleh darah tidak optimal dan aliran darah ke jaringan menurun. Hal ini menandakan terjadi penurunan tekanan darah akibat pemberian obat, hipotermia, gangguan jantung, anestesi yang dalam, atau karena terjadi syok (Cunningham, 2002).


(5)

Lokasi yang mudah dilakukan untuk pemeriksaan warna membrana mukosa adalah daerah gusi. Warna membrana mukosa yang pucat menandakan kejadian kehilangan darah atau anemia atau karena aliran darah yang lemah akibat hewan terlalu lama dianestesi. Sianosis pada hewan selama teranestesi menandakan terjadi gangguan respirasi atau terjadi obstruksi saluran respirasi bagian atas dan hewan harus segera diselamatkan (Cunningham, 2002).


(6)