WAKTU INDUKSI, LAMA KERJA DAN PEMULIHAN ANESTESI KETAMIN DENGAN BERBAGAI DOSIS PREMEDIKASI XILAZIN SECARA SUBKUTAN PADA ANJING LOKAL.

(1)

WAKTU INDUKSI, LAMA KERJA DAN PEMULIHAN ANESTESI KETAMIN DENGAN BERBAGAI DOSIS PREMEDIKASI XILAZIN

SECARA SUBKUTAN PADA ANJING LOKAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran Hewan

Oleh

I Gusti Agung Winata Sindhu NIM. 1009005004

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2014


(2)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tabanan pada tanggal 19 Agustus 1992. Penulis merupakan anak ketiga dari 3 bersaudara pasangan I Gusti Agung Made Suastika (Alm) dan I Gusti Agung Ketut Rusmiati (Alm). Penulis pertama kali memasuki dunia pendidikan di Taman Kanak-kanak Saraswati Tabanan dan tamat pada tahun 1998. Kemudian penulis melanjutkan ke Tingkat Sekolah Dasar (SD) di SD No. 5 Gubug dan tamat pada tahun 2004. Pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMPN 3 Tabanan dan tamat pada tahun 2007. Selanjutnya tercatat sebagai siswa SMAN 1 Kediri Tabanan dan berhasil lulus pada tahun 2010.

Penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan pada tahun 2010 melalui jalur PMDK. Di sela-sela padatnya jadwal perkuliahan penulis masih sempat bergabung dalam kepanitiaan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Kemudian penulis melakukan penelitian di bidang Ilmu Bedah Veteriner sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan (SKH) di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.


(3)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui waktu induksi, lama kerja dan pemulihan anestesi xilazin dan ketamin yang diberikan secara subkutan dengan dosis premedikasi xilazin yang melebihi dari pemberian secara intramuskuler, disamping itu untuk mengetahui dosis yang aman dan efektif yang dapat diberikan secara subkutan pada anjing lokal. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat perlakuan yaitu X2K10 (xilazin dosis 2 mg/kg dan

ketamin dosis 10)/kontrol, X4K10 (xilazin dosis 4 mg/kg dan ketamin dosis 10

mg/kg), X6K10 (xilazin dosis 6 kg/mg dan ketamin dosis10 mg/kg), X8K10 (xilazin

dosis 8 mg/kg dan ketamin dosis 10 mg/kg). Setiap perlakuan menggunakan enam ekor anjing sebagai ulangan, sehingga anjing yang digunakan sebanyak dua puluh empat ekor. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam. Rata-rata waktu induksi anetesi untuk perlakuan X2K10, X6K10, X8K10 berturut-turut adalah 6,33

menit, 10,8 menit, 9,33 menit secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Pemberian xilazin dengan dosis 4 mg/kg dan ketamin dengan dosis 10 mg/kg tidak menghasilkan efek anestesi yang sempurna disebabkan beberapa anjing masih bisa berdiri walaupun dalam keadaan sempoyongan dan beberapa terimmobilisasi namun masih mengalami reflek rasa sakit bila dilakukan pencubitan. Rata-rata lama kerja anestesi untuk perlakuan X2K10, X6K10, X8K10

berturut-turut adalah 50,8 menit, 85,1 menit, 104 menit. Sedangkan rata-rata waktu pemulihan anestesi untuk masing-masing perlakuan adalah 61,6 menit, 90,8 menit, 145,8 menit. Analisis statistik menunjukkan bahwa lama kerja dan pemulihan anestesi ketamin dengan premedikasi xilazin secara subkutan hasilnya berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan kontrol.


(4)

ii ABSTRACT

This study aims to determine the induction time, duration of action and recovery xylazine and ketamine anesthesia was administered subcutaneously at a dose exceeding xylazine premedication of intramuscular administration, in addition to determine safe and effective doses can be administered subcutaneously at a local dog. This study used a completely randomized design (CRD) with four treatments namely X2K10 (xylazine dose of 2 mg/kg and ketamine dose 10)/

control, X4K10 (xylazine dose of 4 mg/kg and ketamine 10 mg/kg), X6K10

(xylazine dose 6 kg / mg and ketamine dosis10 mg/kg), X8K10 (xylazine dose of 8

mg/kg and ketamine 10 mg/kg). Every treatment using six dogs as replication, so that the dogs were used as much as twenty-four tails. Data were analyzed with analysis of variance. The average time to treatment X2K10 anesthetic induction,

X4K10, X6K10, X8K10 row is 6.33 minutes, 10.8 minutes, 9.33 minutes was not

statistically significantly different (P>0.05). Giving xylazine a dose of 4 mg/kg and ketamine at a dose of 10 mg/kg did not produce a perfect anesthetic effect caused some dogs can still stand despite the staggering state and mobilized but still experiencing some pain reflex when done pinch. The average length of employment of anesthesia for treatment X2K10, X4K10, X6K10 row was 50.8 min,

85.1 min, 104 min. While the average recovery time of anesthesia for each treatment was 61.6 minutes, 90.8 minutes, 145.8 minutes. Analysis showed that the duration of work and recovery ketamine anesthesia with premedication xylazine subcutaneously highly significant result (P<0.01) with the control.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Waktu Induksi, Lama Kerja dan Pemulihan Anestesi Ketamin dengan Berbagai Dosis Premedikasi Xilazin secara Subkutan pada Anjing Lokal”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan Universitas Udayana.

Penulis menyadari keberhasilan penulisaan skripsi ini tidak lepas dari segala bantuan dan bimbingan yang diberikan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Dr. drh. I Nyoman Adi Suratma, MP selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Hewan Universitas Udayana.

2. Bapak Drh. I Gusti Agung Gde Putra Pemayun, MP selaku pembimbing I yang telah banyak membantu dan memberikan bimbingan dan saran kepada penulis

3. Bapak Drh. A.A Gde Jaya Wardhita, M.Kes selaku pembimbing II yang telah banyak membantu dan memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.

4. Ibu Drh. Tjokorda Sari Nindhia, SKH, MP selaku Pembimbing akademik atas segala bimbingan, saran serta motivasinya.

5. Bapak/Ibu dosen serta staf pegawai FKH UNUD atas ilmu, bimbingan serta bantuannya.


(6)

iv

6. Kepada kedua orang tua I Gusti Agung Made suastika (Alm) dan I Gusti Agung Ketut Rusmiati (Alm) kedua kakak saya I Gusti Agung Ayu Mas Rustikayani, Drh I Gusti Agung Eri Agusthusana, kakak-kakak ipar, dan segenap keluarga tercinta atas doa, dukungan, bantuan moril dan materiil sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

7. Kepada Sayu Raka Padma Wulan Sari yang selalu memberi semangat, bantuan, mendengarkan keluh kesah, memberi dukungan, arahan, doa, waktu dan tenaganya dalam penelitian dan penulisan skripsi ini.

8. Sahabatku Komang Juanda, Fandi Wibawa atas semangat yang diberikan. 9. Teman-teman seperjuangan Andra Marshanindya, Mira Dwiningrum,

Komang Sri, yang berjuang bersama-sama dalam penelitian.

10. Anak-anak BEM, BPM serta teman-teman FKH angkatan 2010 dan semua teman-teman FKH yang tidak bisa disebutkan satu persatu terima kasih atas semangat dan bantuannya dalam penyelesaian penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tentu belum sempurna, untuk itu kritik dan saran penulis terima demi kesempurnaan penulis yang akan dating. Akhirnya, semoga penulisan skripsi ini dapat meberikan manfaat bagi semua pihak.

Denpasar, November 2014


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.5 Kerangka Konsep ... 4

1.6 Hipotesis ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Premedikasi ... 6

2.1.1 Atropin ... 7

2.1.2 Xilazin ... 7

2.2 Anestesi... 9

2.2.1 Penggolongan anestesi ... 9

2.2.4 Ketamin ... 12

BAB III MATERI DAN METODE ... 13

3.1 Materi Penelitian ... 13

3.1.1 Hewan percobaan ... 13

3.1.2 Bahan dan alat percobaan... 13

3.2 Metode penelitian ... 14

3.2.1 Prosedur Penelitian ... 14

3.2.1.1 Persiapan hewan percobaan... 14

3.2.1.2 Pemeriksaan pre-anestesi ... 14

3.2.1.3 Pemberian premedikasi dan anestesi ... 14

3.2.1.4 Pengamatan anjing yang diamati ... 15

3.3 Rancangan Penelitian ... 15

3.4 Variabel yang diamati ... 15

3.6 Analisis Data ... 16

3.7 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 16

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 17

4.1 Hasil. ... 17

4.2 Pembahasan ... 21

4.3 Pengujian Hipotesis... 23

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 25

5.1 Simpulan ... 25

5.2 Saran ... 25


(8)

vi

DAFTAR TABEL

Tabel

1. Rata-rata Waktu Induksi Anestesi Ketamin dengan Berbagai Dosis Premedikasi Xilazin pada Anjing Lokal ... 17 2. Rata-rata Lama Anestesi Ketamin dengan Berbagai Dosis Premedikasi

Xilazin pada Anjing Lokal ... 18 3. Rata-rata Pemulihan Anestesi Ketamin dengan Berbagai Dosis

Premedikasi Xilazin pada Anjing Lokal ... 18 4. Hasil Analisis Sidik Ragam Waktu Induksi, Lama Kerja dan

Pemulihan Anestesi Ketamin dengan Berbagai Dosis Premedikasi Xilazin secara Subkutan pada Anjing Lokal ... 19 5. Uji Wilayah Berganda Duncan Waktu Induksi, Lama Kerja dan

Pemulihan Anestesi Ketamin dengan Berbagai Dosis Premedikasi Xilazin secara Subkutan pada Anjing Lokal ... 20


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Anjing menjadi salah satu hewan kesayangan yang sangat dekat dengan manusia. Sebagai hewan kesayangan anjing semakin banyak dipelihara dan digemari oleh masyarakat. Akhir-akhir ini banyak pemilik hewan kesayangan khususnya anjing datang ke dokter hewan praktek untuk memeriksakan kesehatan hewannya, yang kebanyakan erat hubungannya dengan tindakan pembedahan seperti kastrasi, ovariohisterektomi, hematoma, penanganan abses, fraktur, menjahit luka, dan lain-lain. Untuk pelaksanaan tindakan pembedahan tersebut perlu dilakukan anestesi.

Obat anestesi yang sering digunakan untuk anjing adalah ketamin. Ketamin kadang-kadang menimbulkan efek samping seperti hipersalivasi, relaksasi otot buruk, takikardia, dan masa pemulihan yang cepat sehingga sebagai anestesi perlu dikombinasikan dengan obat lain yang dapat menghilangkan atau mengurangi efek samping anestesi tersebut (Wright, 1982). Obat-obat yang diberikan sebelum pemberian anestesi untuk mengatasi efek samping dari anestesi dinamakan premedikasi (Hall dan Clarke, 1983). Premedikasi yang sering dikombinasikan dengan ketamin adalah xilazin (Sektiari dan Wiwik, 2001). Menurut Walter (1985), kombinasi xilazin-ketamin merupakan agen kombinasi yang saling melengkapi antara efek analgesik dan relaksasi otot serta sangat baik


(10)

2

dan efektif untuk anjing karena memiliki rentang keamanan yang lebar. Penggunaan xilazin dapat mengurangi sekresi saliva dan peningkatan tekanan darah yang diakibatkan oleh penggunaan ketamin (Warren, 1983). Penggunaan kombinasi ketamin-xilazin sebagai anestesi umum juga mempunyai banyak keuntungan antara lain mudah dalam pemberian, ekonomis, waktu induksinya cepat begitu pula dengan pemulihannya, mempunyai pengaruh relaksasi yang baik dan jarang menimbulkan komplikasi klinis (Benson et al., 1985).

Pemberian obat-obat anestesi dapat diberikan secara injeksi intramuskuler, subkutan, intravena maupun inhalasi. Pemberian anestesi secara inhalasi (gas) dinilai lebih aman dan dapat memberikan anestesi yang lebih baik, namun anestesi secara inhalasi dengan menggunakan gas memerlukan perangkat yang mahal, rumit dan kurang praktis digunakan terutama di lapangan dibandingkan dengan pemberian anestesi secara injeksi (Sudisma et al., 2012). Agen anestesi yang diinjeksikan secara subkutan tergolong sangat aman dan mudah diaplikasikan karena apabila obat diinjeksikan melalui subkutan akan terjadi penyerapan secara perlahan-lahan sehingga kerja obat akan menjadi lebih lama. Anestesi yang diinjeksikan secara subkutan masih jarang diaplikasikan dalam praktek khususnya pada anjing, hal ini dikarenakan kurangnya data hasil penelitian tentang penggunaan anestesi dengan aplikasi tersebut. Ketamin dengan dosis 10-15 mg/kg BB yang diberikan secara intamuskuler dengan premedikasi xilazin dosis 2 mg/kg BB secara intramuskuler dapat menimbulkan anestesi pada anjing dengan durasi 30-40 menit mulai kerja 5-10 menit dan pemulihan 1-2 jam. Apabila kombinasi anestesi ketamin premedikasi xilazin diberikan secara subkutan akan memerlukan


(11)

3

dosis yang lebih tinggi untuk mencapai stadium anestesi karena obat diserap secara perlahan-lahan, sehingga menghasilkan waktu induksi, lama kerja (durasi) anestesi dan pemulihan yang lama. Maka dari itu perlu dilakukan penelitian pemberian anestesi ketamin dan xilazin secara subkutan dengan menggunakan dosis xilazin yang melebihi dari pemberian secara intramuskuler.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: Apakah pemberian premedikasi xilazin dengan dosis yang melebihi dari pemberian secara intramuskuler dengan anestesi ketamin yang diberikan secara subkutan berpengaruh terhadap waktu induksi, lama kerja dan pemulihan pada anjing lokal?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui waktu induksi, lama kerja dan pemulihan anestesi xilazin dan ketamin yang diberikan secara subkutan dengan dosis premedikasi xilazin yang melebihi dari pemberian secara intramuskuler, disamping itu untuk mengetahui dosis yang aman dan efektif yang dapat diberikan secara subkutan pada anjing lokal.


(12)

4

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pedoman dalam penggunaan dosis xilazin dan ketamin yang diberikan secara subkutan pada anjing lokal dalam praktek bedah baik di klinik maupun dilapangan. Melalui penelitian ini juga diharapkan penggunaan anestetik ini dapat dikenal lebih luas di kalangan dokter hewan praktek sebagai teknik alternatif pemberian anestesi xilazin dan ketamin pada anjing.

1.5. Kerangka Konsep

Respon suatu agen anestetik pada masing-masing individu ditentukan oleh dosis yang diberikan dan derajat toleransi dari anestetik (Wylie dan Churchill, 1986). Xilazin dapat digunakan sebagai preanestetikum pada anjing dengan dosis 0,25-2 mg/kg secara intramuskuler dan dosis 0,2-0,5 mg/kg secara intravena (McKelvey dan Hollingshead, 2003). Pada anjing waktu induksi xilazin setelah pemberian secara intramuskuler atau subkutan dapat terlihat dalam 10-15 menit. Efek analgesiknya dapat berlangsung 15-30 menit tetapi aksi sedasi 1-2 jam tergantung dari pemberian dosis. Pemulihan sempurna setelah pemberian xilazin antara 2-4 jam pada anjing (Plumb, 1998). Penyuntikan ketamin secara intramuskuler memerlukan waktu satu sampai lima menit untuk menimbulkan efek anestesi (Anon, 2000). Waktu anestesi yang dihasilkan oleh kombinasi anestesi xilazin (2 mg/kgBB) dan ketamin (15 mg/kgBB) secara intramuskuler pada anjing lokal sekitar 45 menit (Sudisma et al., 2002). Hal ini menunjukkan bahwa potensi anestesi yang ditimbulkan oleh ketamin dapat ditingkatkan dengan


(13)

5

pemberian premedikasi xilazin sehingga waktu anestesi menjadi lebih lama. Bishop (1996) menyatakan waktu pemulihan anestesi dari pemberian kombinasi xilazin dan ketamin secara intamuskuler adalah 45 sampai 55 menit. Anestesi yang ideal harus memenuhi kriteria yaitu sedasi, analgesia, relaksasi, ketidak sadaran, aman untuk sistem vital tubuh, ekonomis, dan mudah diaplikasikan. Berbeda dengan anestesi umum parentral, anestesi inhalasi memerlukan perangkat yang rumit, mahal, tidak praktis untuk penanganan hewan di lapangan. Menurut Sudisma, (2012) anestesi inhalasi tidak dapat digunakan untuk penanganan prosedur bronkhoskopi dan laringoskopi. Anestesi umum secara parenteral lebih ekonomis dan praktis untuk penanganan hewan di lapangan, tetapi menghasilkan anestesi yang kurang stabil dan sering memerlukan penambahan dosis jika tindakan bedah memerlukan waktu yang lebih lama. Diharapkan dengan pemberian xilazin dan ketamin secara subkutan memiliki waktu penyerapan obat yang lebih lama sehingga memerlukan dosis yang lebih tinggi untuk mencapai stadium anestesi dan menghasilkan durasi anestesi yang lebih lama.

1.6. Hipotesis

Berdasarkan kerangka konsep diatas dapat disusun hipotesis yaitu pemberian premedikasi xilazin dengan obat bius ketamin secara subkutan dengan dosis premedikasi xilazin yang lebih tinggi dari pemberian intramuskuler menghasilkan waktu induksi, lama kerja dan waktu pemulihan yang lebih lama.


(14)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Premedikasi Anestesi

Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum pemberian agen anestesi seperti obat analgesik yang dapat menghilangkan rasa sakit, sementara obat-obat golongan tranquilliser akan menenangkan hewan untuk memudahkan penangan (Bonden, 2005). Tujuan dari pemberian premedikasi yaitu (a) untuk menenangkan pasien sehingga memudahkan penanganan dan mengurangi pelepasan katekolamin, (b) untuk relaksasi otot sehingga terjadi immobilisasi dan hiporefleksi, (c) untuk memberikan efek analgesia (menghilangkan rasa sakit), (d) untuk memperoleh induksi anestesi yang perlahan dan aman, stadium anestesi yang stabil, untuk mengurangi dosis obat anestesi sehingga efek samping dari agen anestesi dapat dikurangi.

Obat-obat yang bersifat sedatif dan anxiolitik berperan besar dalam premedikasi dengan meningkatkan kualitas anestesi dan pemulihan, serta meminimalisir efek samping dari obat-obat anestesi yang tidak diinginkan (Lee, 2006a). Obat-obat premedikasi yang umum diberikan untuk anjing adalah golongan tranquilliser seperti acepromazin, diazepam, midazolam, xilazin, medetomidin. Golongan narkotik seperti morfin, oksimorfon, meperidin dan golongan antikolinergik seperti atropin, dan glikopirolat.


(15)

7

2.2.1 Atrofin sulfat

Atropin merupakan agen antimuskarinik yang menghambat asetilkolin, dengan dosis yang tinggi atropin dapat memblokir reseptor nikotin. Penggunaan dengan dosis rendah atropin akan menghambat produksi saliva, menghambat sekresi bronchial serta keringat. Pada dosis medium atropin menyebabkan dilatasi pupil mata dan meningkatkan denyut jantung. Penggunaan dosis tinggi akan mengurangi motilitas gastrointestinal dan saluran urinaria, sedangkan untuk dosis yang sangat tinggi atropin akan menghambat sekresi lambung (Plumb, 2008).

Atropin dapat diabsorbsi dengan baik apabila diberikan secara oral, injeksi, inhalasi, atau melalui endotracheal. Jika atropin diberikan secara injeksi intravena, efek terhadap denyut jantung akan tampak dalam 3–4 menit setelah pemberian, lalu akan diikuti dengan blokade kolinergik. Atropin terdistribusi dengan baik di dalam tubuh melaui sistem saraf pusat, dimetabolisme di hati dan diekskresikan melalui urin. Atropin biasa digunakan sebagai preanestetik pada anjing dengan dosis 0,02-0,04 mg/kg BB secara subkutan, intramuskuler, maupun secara intravena (McKelvey dan Hollingshead, 2003).

2.2.2 Xilazin

Xilazin adalah salah satu golongan alpha2-adrenoceptor stimulant atau alpha-2 adrenergic receptor agonist. Alpha-2 agonist seperti xilazin dan medetomidin adalah preanestetikum yang sering digunakan pada anjing dan kucing untuk menghasilkan sedasi, analgesia, dan relaksasi otot. Golongan alpha-2 agonist yang lain seperti romifidin sering digunakan pada kuda, tetapi tidak direkomendasikan untuk anjing dan kucing (Lemke, 2004).


(16)

8

Xilazin bekerja melalui mekanisme yang menghambat tonus saraf simpatik karena xilazin mengaktivasi reseptor postsinap α2-adrenoseptor sehingga menyebabkan medriasis, relaksasi otot, penurunan denyut jantung, penurunan peristaltik, relaksasi saluran cerna, dan sedasi. Aktivitas xilazin pada susunan syaraf pusat adalah melalui aktivasi atau stimulasi reseptor α 2-adrenoseptor sehingga menyebabkan penurunan pengeluaran norepineprin dan dopamin. Reseptor α2-adrenoseptor adalah reseptor yang mengatur penyimpanan dan pelepasan dopamin dan norepineprin. Xilazin menyebabkan relaksasi otot melalui penghambatan transmisi impuls intraneural pada susunan saraf pusat dan dapat menyebabkan muntah. Xilazin juga dapat menekan termoregulator (Adams, 2001).

Xilazin menghasilkan sedasi dan hipnotis yang dalam dan lama, dengan dosis yang ditingkatkan mengakibatkan sedasi yang lebih dalam dan lama (Hall dan Clarke, 1983). Xilazin diinjeksikan secara intramuskuler menyebabkan iritasi kecil pada daerah suntikan, tetapi tidak menyakitkan dan akan hilang dalam waktu 24–48 jam (Brander et al., 1991).

Xilazin menyebabkan tertekannya sistem syaraf pusat, bermula dari sedasi, kemudian dengan dosis yang lebih tinggi menyebabkan hipnosis, dan tidak sadar (Hall dan Clarke, 1983). Pada sistem pernafasan, xilazin menekan pusat pernafasan. Xilazin juga menyebabkan relaksasi otot yang bagus melalui imbibisi transmisi intraneural impuls pada sistem saraf pusat. Penggunaan xilazin pada anjing menghasilkan efek samping merangsang muntah sehingga anjing perlu dipuasakan sebelum anestesi (Booth et al. 1977; Warren 1983).


(17)

9

Pada anjing, xilazin diinjeksikan secara intramuskuler dengan dosis 1-3 mg/kg berat badan (Bishop, 1996). Xilazin dapat digunakan sebagai preanestetikum pada anjing dengan dosis 0,25-2 mg/kg secara intramuskuler dan dosis 0,2-0,5 mg/kg secara intravena (McKelvey dan Hollingshead, 2003). Mulai kerja xilazin yang diberikan pada anjing secara intramuskuler mencapai 10–15 menit dan 3–5 menit apabila diberikan secara intravena. Efek analgesik xilazin bisa bertahan selama 15–30 menit, namun efek sedasinya bisa bertahan hingga 1– 2 jam tergantung pada dosis yang diberikan, sedangkan waktu pemulihan sempurna setelah pemberian xilazin pada anjing membutuhkan waktu antara 2–4 jam (Plumb, 2008).

2.2 Anestesi

Anestesi berasal dari dua bahasa Yunani yaitu an berati tidak, dan aesthesis berarti rasa atau sensasi. Sehingga anestesi berarti suatu keadaan temporer dimana terjadinya relaksasi otot, hilangnya rasa sakit dan hilangnya rasa terhadap rangsangan, tanpa atau disertai dengan hilangnya kesadaran (Wikipedia, 2014). Pemberian anestesi bertujuan untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan rasa sakit saat dilakukan tindakan medis seperti operasi. Penggunaan anestesi juga dimaksudkan untuk menenangkan hewan sehingga memudahkan dalam melakukan diagnosa, transportasi bagi hewan liar dan eksotik, dan prosedur pengobatan. Di samping itu anestesi dapat juga digunakan untuk menjalankan prosedur etanasi (Tranquilli et al., 2007).


(18)

10

Anestesi umumnya digolongkan berdasarkan cara penggunaan obatnya dan berdasarkan luas pengaruh obat. Berdasarkan cara penggunaan obat anestesi dibagi menjadi empat meliputi; (a) anestesi inhalasi yaitu obat anestesi berupa gas/uap diaplikasikan melalui respirasi dengan kombinasi oksigen, (b) anestesi injeksi yaitu obat anestesi diberikan dengan cara injeksi/suntikan, bisa melalui intravena, intramuskuler, subkutan, (c) oral atau rektal yaitu obat yang diberikan melalui saluran pencernaan (gastrointestinal) dan (d) anestesi topikal yaitu anestesi yang diberikan melalui kutaneus atau membran mukosa untuk tujuan anestesi lokal (Tranquilli et al., 2007)

Berdasarkan luas pengaruh obat anestesi dibagi menjadi: (a) Anestesi lokal

Anestesi lokal adalah tindakan menghilangkan rasa sakit terbatas pada area yang diberikan obat yang mampu menghambat konduksi saraf perifer tanpa mengakibatkan kerusakan pada saraf. Anestesi lokal bekerja dengan cara blokade saluran ion natrium saraf perifer sehingga konduksi saraf terhambat dan respon terhadap stimulasi hilang secara lokal. Anestesi lokal dilakukan dengan cara pemberian obat melalui permukaan tubuh, subkutan dan infiltrasi. Anestesi ini tidak disertai dengan hilangnya kesadaran.

(b). Anestesi regional

Anestesi regional adalah tindakan menghilangkan rasa sakit pada regio tertentu dengan cara pemberian obat anestesi pada lokasi saraf yang menginervasi regio tertentu sehingga terjadi hambatan konduksi impuls


(19)

11

saraf yang reversibel tanpa disertai dengan hilangnya kesadaran. Anestesi regional diberikan secara epidural, spinal dan paravertebral (Sudisma et al., 2006). Anestesi epidural menghambat sensasi dan kontrol motorik daerah pelvis, ekor, abdominal dan kaki belakang; dan

(c). Anestesi umum

Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa sakit dan refleks otot di seluruh tubuh, disertai dengan hilangnya kesadaran yang bersifat sementara. Anestesi ini diberikan dengan cara inhalasi, injeksi, atau gabungan injeksi dan inhalasi. Tujuan utama dilakukannya anestesi umum adalah untuk memperoleh kondisi sedasi, analgesia, relaksasi dan tidak adanya refleks sehingga memudahkan dalam melakukan diagnosa atau tindakan pembedahan.

2.2.1 Ketamin

Ketamin HCl adalah anestetikum golongan phencyclidine (PCP) dengan rumus 2-(0-chlorophenyl)-2-(methylamino) cyclohexanone hydrochloride, golongan nonbarbiturat, dan termasuk anestesi dissosiatif yaitu pada dosis rendah sebagai preanestesi dan pada dosis yang lebih tinggi dapat berfungsi sebagai anestesi umum. Ketamin HCl merupakan larutan tidak berwarna, stabil pada suhu kamar dan mempunyai tingkat keamanan yang lebar (Adams, 2001).

Ketamin merupakan obat anestesi umum yang memiliki efek analgesik yang kuat. Ketamin umumnya tidak menghilangkan refleks pinnal (kuping) dan pedal (kaki), juga refleks terhadap cahaya, refleks kornea, laring atau faring. Efek ketamin terhadap sistem kardiovaskuler meliputi peningkatan curah jantung,


(20)

12

denyut jantung, tekanan aorta dan arteri pulmoner. Menurut Stawicki (2007), ketamin memiliki efek klinik yang bervariasi yakni analgesik, anestesi, halusinasi, neurotoksisitas, hipertensi arteri dan dilatasi bronchus.

Pemberian anestetikum ketamin secara tunggal dosis 10-15 mg/kg BB secara intramuskuler pada anjing menimbulkan kekejangan otot dan hipersalivasi serta durasi kerja anestesi yang sangat pendek. Mengatasi kerugian penggunaan anestetikum ketamin secara tunggal, ketamin sering dikombinasikan dengan obat lain sebagai premedikasi, misalnya sedatif tranquilizer golongan penotiazin seperti acepromazin atau clorpromazin, sedatif hipnotik golongan α2-adrenoceptor seperti xilazin, dan golongan benzodiazepin seperti diazepam atau midazolam yang diberikan secara IM atau IV (Bishop, 1996). Lama anestesi yang dihasilkan oleh kombinasi anestesi xilazin (2 mg/kg BB) dan ketamin (15 mg/kg BB) dalam satu spuit secara intamuskuler pada anjing lokal sekitar 45 menit (Sudisma et al., 2001). Pemberian xilazin secara tunggal pada anjing akan menyebabkan muntah dan penurunan denyut jantung beberapa menit setelah pemberian xilazin (Bishop, 1996). Sebagai catatan, ketamin dan xilazin dapat menginduksi aritmia jantung, edema pulmonum, dan depresi pernafasan pada anjing. Sehingga obat ini harus dikombinasikan dengan hati-hati (Plumb, 2005).


(1)

2.2.1 Atrofin sulfat

Atropin merupakan agen antimuskarinik yang menghambat asetilkolin, dengan dosis yang tinggi atropin dapat memblokir reseptor nikotin. Penggunaan dengan dosis rendah atropin akan menghambat produksi saliva, menghambat sekresi bronchial serta keringat. Pada dosis medium atropin menyebabkan dilatasi pupil mata dan meningkatkan denyut jantung. Penggunaan dosis tinggi akan mengurangi motilitas gastrointestinal dan saluran urinaria, sedangkan untuk dosis yang sangat tinggi atropin akan menghambat sekresi lambung (Plumb, 2008).

Atropin dapat diabsorbsi dengan baik apabila diberikan secara oral, injeksi, inhalasi, atau melalui endotracheal. Jika atropin diberikan secara injeksi intravena, efek terhadap denyut jantung akan tampak dalam 3–4 menit setelah pemberian, lalu akan diikuti dengan blokade kolinergik. Atropin terdistribusi dengan baik di dalam tubuh melaui sistem saraf pusat, dimetabolisme di hati dan diekskresikan melalui urin. Atropin biasa digunakan sebagai preanestetik pada anjing dengan dosis 0,02-0,04 mg/kg BB secara subkutan, intramuskuler, maupun secara intravena (McKelvey dan Hollingshead, 2003).

2.2.2 Xilazin

Xilazin adalah salah satu golongan alpha2-adrenoceptor stimulant atau alpha-2 adrenergic receptor agonist. Alpha-2 agonist seperti xilazin dan medetomidin adalah preanestetikum yang sering digunakan pada anjing dan kucing untuk menghasilkan sedasi, analgesia, dan relaksasi otot. Golongan alpha-2 agonist yang lain seperti romifidin sering digunakan pada kuda, tetapi tidak direkomendasikan untuk anjing dan kucing (Lemke, 2004).


(2)

Xilazin bekerja melalui mekanisme yang menghambat tonus saraf simpatik karena xilazin mengaktivasi reseptor postsinap α2-adrenoseptor sehingga menyebabkan medriasis, relaksasi otot, penurunan denyut jantung, penurunan peristaltik, relaksasi saluran cerna, dan sedasi. Aktivitas xilazin pada susunan syaraf pusat adalah melalui aktivasi atau stimulasi reseptor α 2-adrenoseptor sehingga menyebabkan penurunan pengeluaran norepineprin dan dopamin. Reseptor α2-adrenoseptor adalah reseptor yang mengatur penyimpanan dan pelepasan dopamin dan norepineprin. Xilazin menyebabkan relaksasi otot melalui penghambatan transmisi impuls intraneural pada susunan saraf pusat dan dapat menyebabkan muntah. Xilazin juga dapat menekan termoregulator (Adams, 2001).

Xilazin menghasilkan sedasi dan hipnotis yang dalam dan lama, dengan dosis yang ditingkatkan mengakibatkan sedasi yang lebih dalam dan lama (Hall dan Clarke, 1983). Xilazin diinjeksikan secara intramuskuler menyebabkan iritasi kecil pada daerah suntikan, tetapi tidak menyakitkan dan akan hilang dalam waktu 24–48 jam (Brander et al., 1991).

Xilazin menyebabkan tertekannya sistem syaraf pusat, bermula dari sedasi, kemudian dengan dosis yang lebih tinggi menyebabkan hipnosis, dan tidak sadar (Hall dan Clarke, 1983). Pada sistem pernafasan, xilazin menekan pusat pernafasan. Xilazin juga menyebabkan relaksasi otot yang bagus melalui imbibisi transmisi intraneural impuls pada sistem saraf pusat. Penggunaan xilazin pada anjing menghasilkan efek samping merangsang muntah sehingga anjing perlu dipuasakan sebelum anestesi (Booth et al. 1977; Warren 1983).


(3)

Pada anjing, xilazin diinjeksikan secara intramuskuler dengan dosis 1-3 mg/kg berat badan (Bishop, 1996). Xilazin dapat digunakan sebagai preanestetikum pada anjing dengan dosis 0,25-2 mg/kg secara intramuskuler dan dosis 0,2-0,5 mg/kg secara intravena (McKelvey dan Hollingshead, 2003). Mulai kerja xilazin yang diberikan pada anjing secara intramuskuler mencapai 10–15 menit dan 3–5 menit apabila diberikan secara intravena. Efek analgesik xilazin bisa bertahan selama 15–30 menit, namun efek sedasinya bisa bertahan hingga 1– 2 jam tergantung pada dosis yang diberikan, sedangkan waktu pemulihan sempurna setelah pemberian xilazin pada anjing membutuhkan waktu antara 2–4 jam (Plumb, 2008).

2.2 Anestesi

Anestesi berasal dari dua bahasa Yunani yaitu an berati tidak, dan aesthesis berarti rasa atau sensasi. Sehingga anestesi berarti suatu keadaan temporer dimana terjadinya relaksasi otot, hilangnya rasa sakit dan hilangnya rasa terhadap rangsangan, tanpa atau disertai dengan hilangnya kesadaran (Wikipedia, 2014). Pemberian anestesi bertujuan untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan rasa sakit saat dilakukan tindakan medis seperti operasi. Penggunaan anestesi juga dimaksudkan untuk menenangkan hewan sehingga memudahkan dalam melakukan diagnosa, transportasi bagi hewan liar dan eksotik, dan prosedur pengobatan. Di samping itu anestesi dapat juga digunakan untuk menjalankan prosedur etanasi (Tranquilli et al., 2007).


(4)

Anestesi umumnya digolongkan berdasarkan cara penggunaan obatnya dan berdasarkan luas pengaruh obat. Berdasarkan cara penggunaan obat anestesi dibagi menjadi empat meliputi; (a) anestesi inhalasi yaitu obat anestesi berupa gas/uap diaplikasikan melalui respirasi dengan kombinasi oksigen, (b) anestesi injeksi yaitu obat anestesi diberikan dengan cara injeksi/suntikan, bisa melalui intravena, intramuskuler, subkutan, (c) oral atau rektal yaitu obat yang diberikan melalui saluran pencernaan (gastrointestinal) dan (d) anestesi topikal yaitu anestesi yang diberikan melalui kutaneus atau membran mukosa untuk tujuan anestesi lokal (Tranquilli et al., 2007)

Berdasarkan luas pengaruh obat anestesi dibagi menjadi: (a) Anestesi lokal

Anestesi lokal adalah tindakan menghilangkan rasa sakit terbatas pada area yang diberikan obat yang mampu menghambat konduksi saraf perifer tanpa mengakibatkan kerusakan pada saraf. Anestesi lokal bekerja dengan cara blokade saluran ion natrium saraf perifer sehingga konduksi saraf terhambat dan respon terhadap stimulasi hilang secara lokal. Anestesi lokal dilakukan dengan cara pemberian obat melalui permukaan tubuh, subkutan dan infiltrasi. Anestesi ini tidak disertai dengan hilangnya kesadaran.

(b). Anestesi regional

Anestesi regional adalah tindakan menghilangkan rasa sakit pada regio tertentu dengan cara pemberian obat anestesi pada lokasi saraf yang menginervasi regio tertentu sehingga terjadi hambatan konduksi impuls


(5)

saraf yang reversibel tanpa disertai dengan hilangnya kesadaran. Anestesi regional diberikan secara epidural, spinal dan paravertebral (Sudisma et al., 2006). Anestesi epidural menghambat sensasi dan kontrol motorik daerah pelvis, ekor, abdominal dan kaki belakang; dan

(c). Anestesi umum

Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa sakit dan refleks otot di seluruh tubuh, disertai dengan hilangnya kesadaran yang bersifat sementara. Anestesi ini diberikan dengan cara inhalasi, injeksi, atau gabungan injeksi dan inhalasi. Tujuan utama dilakukannya anestesi umum adalah untuk memperoleh kondisi sedasi, analgesia, relaksasi dan tidak adanya refleks sehingga memudahkan dalam melakukan diagnosa atau tindakan pembedahan.

2.2.1 Ketamin

Ketamin HCl adalah anestetikum golongan phencyclidine (PCP) dengan rumus 2-(0-chlorophenyl)-2-(methylamino) cyclohexanone hydrochloride, golongan nonbarbiturat, dan termasuk anestesi dissosiatif yaitu pada dosis rendah sebagai preanestesi dan pada dosis yang lebih tinggi dapat berfungsi sebagai anestesi umum. Ketamin HCl merupakan larutan tidak berwarna, stabil pada suhu kamar dan mempunyai tingkat keamanan yang lebar (Adams, 2001).

Ketamin merupakan obat anestesi umum yang memiliki efek analgesik yang kuat. Ketamin umumnya tidak menghilangkan refleks pinnal (kuping) dan pedal (kaki), juga refleks terhadap cahaya, refleks kornea, laring atau faring. Efek ketamin terhadap sistem kardiovaskuler meliputi peningkatan curah jantung,


(6)

denyut jantung, tekanan aorta dan arteri pulmoner. Menurut Stawicki (2007), ketamin memiliki efek klinik yang bervariasi yakni analgesik, anestesi, halusinasi, neurotoksisitas, hipertensi arteri dan dilatasi bronchus.

Pemberian anestetikum ketamin secara tunggal dosis 10-15 mg/kg BB secara intramuskuler pada anjing menimbulkan kekejangan otot dan hipersalivasi serta durasi kerja anestesi yang sangat pendek. Mengatasi kerugian penggunaan anestetikum ketamin secara tunggal, ketamin sering dikombinasikan dengan obat lain sebagai premedikasi, misalnya sedatif tranquilizer golongan penotiazin seperti acepromazin atau clorpromazin, sedatif hipnotik golongan α2-adrenoceptor seperti xilazin, dan golongan benzodiazepin seperti diazepam atau midazolam yang diberikan secara IM atau IV (Bishop, 1996). Lama anestesi yang dihasilkan oleh kombinasi anestesi xilazin (2 mg/kg BB) dan ketamin (15 mg/kg BB) dalam satu spuit secara intamuskuler pada anjing lokal sekitar 45 menit (Sudisma et al., 2001). Pemberian xilazin secara tunggal pada anjing akan menyebabkan muntah dan penurunan denyut jantung beberapa menit setelah pemberian xilazin (Bishop, 1996). Sebagai catatan, ketamin dan xilazin dapat menginduksi aritmia jantung, edema pulmonum, dan depresi pernafasan pada anjing. Sehingga obat ini harus dikombinasikan dengan hati-hati (Plumb, 2005).