Gambaran Total Eritrosit, Kadar Hemoglobin dan Nilai Hematokrit Terhadap Pemberian Xilazin dan Ketamin pada Anjing Lokal Secara Subkutan.

(1)

PEMBERIAN BERBAGAI DOSIS PREMEDIKASI XILAZIN PADA ANJING LOKAL YANG DIANESTESI KETAMIN SECARA SUBKUTAN TERHADAP GAMBARAN TOTAL ERITROSIT, KADAR HEMOGLOBIN

DAN NILAI HEMATOKRIT

SKRIPSI

Oleh

Andra Marshanindya NIM. 1009005002

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2015


(2)

PEMBERIAN BERBAGAI DOSIS PREMEDIKASI XILAZIN PADA ANJING LOKAL YANG DIANESTESI KETAMIN SECARA SUBKUTAN TERHADAP GAMBARAN TOTAL ERITROSIT, KADAR HEMOGLOBIN

DAN NILAI HEMATOKRIT

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran Hewan

Oleh

Andra Marshanindya NIM. 1009005002

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2015


(3)

PEMBERIAN BERBAGAI DOSIS PREMEDIKASI XILAZIN PADA ANJING LOKAL YANG DIANESTESI KETAMIN SECARA SUBKUTAN TERHADAP GAMBARAN TOTAL ERITROSIT, KADAR HEMOGLOBIN

DAN NILAI HEMATOKRIT

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran Hewan

Oleh

Andra Marshanindya NIM. 1009005002

Menyetujui/Mengesahkan:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. drh. I.B.K Ardana, M,Kes drh. I.G.A. Gde Putra Pemayun, MP NIP. 19591231 198702 1 006 NIP. 19610612 198903 1 004

DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA

Dr. drh. I Nyoman Adi Suratma, MP NIP. 19600305 198703 1 001


(4)

Setelah mempelajari dan menguji dengan sungguh-sungguh kami berpendapat bahwa tulisan ini baik ruang lingkup maupun kualitasnya dapat diajukan sebagai skripsi untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan.

Ditetapkan di Denpasar, tanggal:

Panitia Penguji:

Prof. Dr. drh. I.B.K. Ardana, M.Kes Ketua

Dr. drh. I Ketut Anom Dada, MS Anggota 

drh. I Wayan Gorda, M.Kes Anggota 

drh. A.A. Sagung Kendran, M,Kes Anggota 

drh. IG.A. Gde Putra Pemayun, MP Sekretaris 


(5)

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian xilazin dengan berbagai dosis dan ketamin secara subkutan terhadap gambaran total eritrosit, kadar hemoglobin dan nilai hematokrit. Dalam penelitian ini dilakukan anestesi pada 24 ekor anjing lokal dan pengambilan darah selama anestesi dengan selang waktu 20 menit sampai menit ke-100, kemudian dilakukan pemeriksaan terhadap total eritrosit, kadar hemoglobin dan nilai hematokrit. Dosis atropin yang diberikan yaitu 0,03 mg/kg secara subkutan dan dosis ketamin yang diberikan yaitu 10 mg/kg (IM pada kontrol/perlakuan 1 dan SC pada perlakuan 2,3,4). Xilazin diberikan dengan dosis 2 mg/kg pada kontrol (IM), 4 mg/kg pada perlakuan 2 (SC), 6 mg/kg pada perlakuan 3 (SC) dan 8 mg/kg pada perlakuan 4 (SC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan total eritrosit dan nilai hematokrit anjing selama masa anestesi dan terjadi peningkatan selama masa pemulihan kesadaran namun masih berada pada kisaran normal. Analisis data yang dilakukan menunjukkan bahwa dosis pemberian berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap total eritrosit dan nilai hematokrit, sedangkan terhadap kadar hemoglobin tidak berpengaruh nyata (P>0,05) namun waktu pemeriksaan bepengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar hemoglobin dan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap total eritrosit dan nilai hematokrit.

Kata kunci : total eritrosit, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, xilazin, ketamin, subkutan, anjing


(6)

ABSTRACT

The purpose of this research are to find out the effect of various doses xylazine and ketamine administered subcutaneously to the total picture of erythrocytes, concentration of hemoglobin and hematocrite values. This research used 24 local dogs for anesthetized andblood sampling during anesthesia with an interval of 20 minutes to 100 minutes, then carried out an examination of the total erythrocytes, hemoglobin concentration and hematocrit values. Atropine dose is 0.03 mg/kg subcutaneously and ketamine dose is 10 mg/kg (IM for control / treatment 1 and SC in treatment 2, 3, 4). Xylazine given at a dose of 2 mg/kg in the control (IM), 4 mg/kg intreatment 2 (SC) , 6 mg/kg intreatment 3 (SC) and 8 mg/kg in the treatment 4 (SC). The results showed that the decrease in total erythrocyte and hematocrit values dogs during anesthesia and an increase during the period of recovery but is stillin the normal range. Analysis of the data showed that doses significantly (P <0.05) to total erythrocytes and hematocrit values, but on the hemoglobin level was not significant (P>0.05) but the examination time was highly significant (P <0.01 ) on hemoglobin levels and not significant (P>0.05) to total erythrocytes and hematocrit values.

Keywords : total erythrocytes, concentration of hemoglobin, hematocrite values, xylazine, ketamine, local dogs


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Denpasar pada tanggal 4 April 1992, merupakan anak ketiga dari pasangan Made Romarsana dan Liem Lie Cien. Penulis menempuh pendidikan Taman Kanak-Kanak di TK Nirartha Benoa (1997-1998), kemudian melanjutkan ke SDK Soverdi Tuban (1998-2004), SMPK Soverdi Tuban (2004-2007), dan SMAK Soverdi Tuban (2007-2010). Pada tahun 2010, penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana melalui jalur PMDK. Penulis juga bergabung dalam kepanitiaan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FKH. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan penulis melaksanakan penelitian mengenai “Pemberian Berbagai Dosis Premedikasi Xilazin Pada Anjing Lokal yang Dianestesi Ketamin Secara Subkutan Terhadap Gambaran Total Eritrosit, Kadar Hemoglobin dan Nilai Hematokrit”.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemberian Berbagai Dosis Premedikasi Xilazin Pada Anjing Lokal Yang Dianestesi Ketamin Secara Subkutan Terhadap Gambaran Total Eritrosit, Kadar Hemoglobin dan Nilai Hematokrit”.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari segala bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dr. drh. I Nyoman Adi Suratma, MP selaku Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.

2. Prof.Dr.drh. Ida Bagus Komang Ardana, M.Kes selaku pembimbing I dan drh. I Gusti Agung Gde Putra Pemayun, MP selaku pembimbing II atas segala bimbingan, arahan, nasehat dan bantuan yang telah diberikan selama penelitian dan penulisan skripsi ini hingga selesai. 3. drh. A.A. Sagung Kendran, M.Kes, Dr.drh. I Ketut Anom Dada MS,

drh. I Wayan Gorda, M.Kes selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan dan saran demi perbaikan skripsi ini. 4. drh. Luh Dewi Anggreni yang telah mendampingi selama melakukan

penelitian di Laboratorium Patologi Klinik Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.

5. drh. Tjok Sari Nindhia, MP selaku pembimbing akademik atas segala bimbingan, saran serta motivasinya.


(9)

6. Bapak, ibu dosen dan staf pegawai FKH UNUD atas ilmu, bimbingan serta bantuannya.

7. Papa dan Mama, Made Romarsana dan Liem Lie Cien, kakak dan adik tersayang, Andinna Mardisty, Tidy Bramarta, Sakya Abhisila seluruh keluarga tante Ana Dewi, Kak Marilyn serta seluruh keluarga besar atas doa, kasih sayang, dukungan, bantuan moril dan materiil sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

8. Sahabat tercinta Mira, Dhea, Kiki, Manje, Komang Sri, Sindhu, Gung Is, Ratna Bayu, Debora, Vidia, Devit, kak Indra (FKH 2008), Gita dan Indah (FKH 2011) atas bantuan, dukungan serta masukannya selama penyusunan skripsi ini.

9. Seluruh teman-teman angkatan 2010 atas semangat dan bantuannya dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.

Denpasar, Maret 2015

Penulis  


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

RIWAYAT HIDUP ……… i

ABSTRAK ……….……… ii

ABSTRACT ……… … iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ………... v

DAFTAR TABEL ……….. vii

DAFTAR GAMBAR ……….. viii

DAFTAR LAMPIRAN ……….. ix

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

1.1 Latar Belakang ……… 1

1.2 Rumusan Masalah ……… 3

1.3 Tujuan Penelitian ……… 3

1.4 Manfaat Penelitian ……… 3

1.5 Kerangka Konsep ……… 4

1.6 Hipotesis ……… 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……… 7

2.1 Premedikasi ……… 7

2.1.3 Atropin ……… 7

2.1.4 Xilazin ……… 8

2.2 Anestesi ……… 8

2.2.1 Jenis anestesi ……… 8

2.3 Pemeriksaan Fisik Pasien ……… 11

2.4 Pemeriksaan Laboratorium ……… 11

2.5 Eritrosit ……… … 11

2.6 Hemoglobin ………. 13

2.7 Nilai Hematokrit ……… 13

BAB III MATERI DAN METODE ……… 15

3.1 Materi Penelitian ……… 15

3.1.1 Hewan percobaan ……… 15

3.1.2 Bahan dan alat percobaan ……… 15

3.2 Rancangan Penelitian ……… 15

3.3 Variabel Penelitian ……… 16

3.4 Cara Pengumpulan Data ……… 16

3.5 Prosedur Penelitian ……… 16

3.5.1 Persiapan hewan percobaan ……… 16

3.5.2 Pemeriksaan pre-anestesi ……… 16

3.5.3 Pemberian premedikasi dan anestesi ……… 17

3.5.4 Pengambilan sampel darah selama masa anestesi ……… 17

3.5.5 Penghitungan total eritrosit, kadar hemoglobin dan nilai hematokrit ……… 18

3.6 Analisis Data ……… 20


(11)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 21

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……… 30

DAFTAR PUSTAKA ……… 31

LAMPIRAN ……… 32  


(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Halaman

1. Grafik hasil pemeriksaan total eritrosit ……….. 23 2. Grafik hasil pemeriksaan kadar hemoglobin ………. 26 3. Grafik hasil pemeriksaan nilai hematokrit ……… 28


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor

Halaman

1. Hasil pemeriksaan total eritrosit ……… 21 2. Sidik ragam pengaruh dosis dan waktu pemeriksaan

terhadap total eritrosit ……… 22 3. Hasil uji Duncan pengaruh dosis obat

terhadap total eritrosit anjing lokal ……… 22 4. Hasil uji Duncan pengaruh dosis obat

terhadap total eritrosit anjing lokal ……… 24 5. Sidik ragam pengaruh dosis dan waktu pemeriksaan

terhadap kadar hemoglobin ……… 25 6. Hasil uji Duncan pengaruh waktu pemeriksaan

terhadap kadar hemoglobin ……….... 25 7. Hasil pemeriksaan nilai hematokrit ……… 26 8. Sidik ragam pengaruh dosis dan waktu pemeriksaan


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

Halaman

1. Data hasil pemeriksaan total eritrosit, kadar hemoglobin

dan nilai hematokrit ……… 32 2. Hasil analisis statistic total eritrosit, kadar hemoglobin


(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Anjing merupakan makhluk sosial sama seperti halnya manusia. Kedekatan pola perilaku anjing dengan manusia menjadikan anjing bisa dilatih, diajak bermain, tinggal bersama manusia, dan diajak bersosialiasi dengan manusia dan anjing yang lain. Seperti halnya manusia anjing juga dapat terserang berbagai macam penyakit, baik yang bersifat infeksius maupun non-infeksius. Banyak diantara penyakit tersebut yang tidak dapat ditangani dengan obat-obatan sehingga untuk penanganannya dibutuhkan tindakan pembedahan (Erwin, 2013).

Untuk melakukan tindakan pembedahan pada hewan, anestesi sangat diperlukan untuk mempermudah proses pembedahan. Semua tujuan anestesi dapat dicapai dengan pemberian obat anestetikum secara tunggal maupun mengkombinasikan beberapa agen anestetikum atau dengan agen preanestetikum (Tranquilli, 2007). Preanestesi adalah pemberian zat kimia sebelum tindakan anestesi umum dengan tujuan utama menenangkan pasien, menghasilkan induksi anestesi yang halus, mengurangi dosis anestetikum, mengurangi atau menghilangkan efek samping anestetikum, dan mengurangi nyeri selama operasi maupun pasca operasi (Debuf, 1991; McKelvey dan Hollingshead, 2003).

Saat ini banyak sekali jenis anestetikum yang beredar dan digunakan dalam dunia kedokteran hewan, sehingga diperlukan pemahaman seorang dokter hewan terhadap anestetikum yang akan digunakan (Kilic 2004). Beberapa contoh obat anestetikum yang digunakan dalam dunia kedokteran hewan adalah thiopenton sodium, ketamin, tiletamin dan yang lainnya. Pemilihan preanestetikum dipertimbangkan sesuai dengan spesies, status fisik pasien, jenis operasi, dan kesulitan dalam pemberian anestetikum (Booth dan


(16)

Branson 1995). Sebelum pemberian agen anestesi, terlebih dahulu pasien diberikan premedikasi dengan tujuan menenangkan pasien, mempermudah induksi dan dosis anestetikum yang digunakan

Obat premedikasi yang sering digunakan pada anjing adalah xilazin dan atropin. Pemberian xilazin biasanya dikombinasikan dengan atropin sebagai premedikasi dan ketamin sebagai agen anestesi. Penggunaan xilazin dapat mengurangi produksi saliva dan peningkatan tekanan darah yang diakibatkan oleh penggunaan ketamin (Warren, 1983). Penggunaan kombinasi ketamin- xilazin sebagai anestesi umum juga mempunyai banyak keuntungan, antara lain : mudah dalam pemberian, ekonomis, induksinya cepat begitu pula dengan pemulihannya, mempunyai pengaruh relaksasi yang baik dan jarang menimbulkan komplikasi klinis (Benson et al.,1985).

Sebagai premedikasi, atropin berfungsi menghambat produksi saliva, menghambat sekresi bronchial, dilatasi pupil mata, meningkatkan denyut jantung dan mengurangi motilitas gastrointestinal. Sementara ketamin merupakan jenis obat anestesi yang dapat digunakan pada hampir semua jenis hewan (Hall dan Clarke, 1983). Ketamin dapat menimbulkan efek yang membahayakan, yaitu takikardia, hipersalivasi, meningkatkan ketegangan otot, nyeri pada tempat penyuntikan, dan bila dosis berlebihan akan menyebabkan pemulihan berjalan lamban dan bahkan membahanyakan (Jones et al., 1997). Karena ketamin dapat menimbulkan efek yang berbahaya, maka dalam penggunaannya ketamin dikombinasikan dengan xilazin.

Pemberian anestesi dapat dilakukan melalui topikal misalnya melalui kutaneus atau membrana mukosa; pemberian secara injeksi seperti intravena, subkutan, intramuskuler, dan intraperitoneal; pemberian secara gastrointestinal seperti oral atau rektal; dan secara inhalasi melalui saluran nafas (Tranquilli et al. 2007). Pemberian obat secara inhalasi (gas) dinilai lebih aman dan dapat memberikan anestesi yang lebih baik,


(17)

namun anestesi secara inhalasi dengan menggunakan gas memerlukan perangkat yang mahal, rumit dan kurang praktis dibandingkan dengan pemberian obat secara injeksi (Sudisma et al., 2012).

Penyuntikan premedikasi xilazin secara subkutan dianggap mudah untuk diberikan. Obat diserap secara perlahan karena vaskularisasinya rendah dibandingkan dengan intramuskuler. Namun injeksi secara subkutan masih jarang diaplikasikan dalam praktek khususnya pada anjing, hal ini dikarenakan kurangnya data hasil penelitian tentang efek terhadap fisiologis anjing. Maka dari itu perlu dilakukan penelitian terhadap keadaan anjing selama masa anestesi dengan pemberian premedikasi xilazin secara subkutan, khususnya terhadap total eritrosit, kadar hemoglobin dan nilai Packed Cell Volume (hematokrit).

Total eritrosit, kadar hemoglobin dan nilai hematokrit anjing lokal dapat menurun selama masa anestesi dan kembali meningkat selama masa pemulihan kesadaran (Schalm, 2010).Nilai hematokrit yang tinggi menandakan adanya peningkatan kekentalan darah, yang menyebabkan penurunan curah jantung. Sebaliknya, apabila nilai hematokrit rendah maka menandakan terjadinya anemia karena kehilangan darah, hemolisis atau adanya gangguan dalam produksi sel darah merah selama masa anestesi, hal tersebut dapat menurunkan jumlah oksigen yang diangkut ke jaringan tubuh.

Selama masa anestesi limpa mengalami dilatasi, dimana sel darah merah dalam sirkulasi mengalir masuk limpa karena limpa sebagai tempat penyimpanan eritrosit (Schalm, 2010). Seiring dengan mulai kesadaran limpa mengalami kontraksi disertai keluarnya sel darah merah menuju ke sirkulasi.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: Apakah pemberian berbagai dosis premedikasi xilazin dan anestesi


(18)

ketamin yang diberikan secara subkutan berpengaruh terhadap total eritrosit, kadar hemoglobin dan nilai hematokrit anjing lokal selama masa anestesi?

1.3Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemberian berbagai dosis premedikasi xilazin dan anestesi ketamin secara subkutan terhadap total eritrosit, kadar hemoglobin dan nilai hematokrit anjing lokal selama masa anestesi.

1.4Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu

a. Memberikan informasi pemberian berbagai dosis xilazin dan ketamin secara subkutan pengaruhnya terhadap total eritrosit, kadar hemoglobin dan nilai hematokrit anjing lokal selama masa anestesi.

b. Memberi informasi rentang dosis premedikasi xilazin yang aman dan efektif pada anjing lokal yang di injeksi secara subkutan.

1.5Kerangka Konsep

Pemilihan obat anestesi yang tepat perlu dilakukan guna meminimalkan efek samping yang ditimbulkan. Ketamin menghasilkan keadaan anestesi disosiatif ditandai dengan hilangnya rasa sakit yang dalam, tetapi mata tetap terbuka selama stadium anestesi (Godman dan Gillman, 1995). Namun ketamin juga mempunyai beberapa kerugian diantaranya dapat menimbulkan kekejangan pada saat teranestesi dan pemulihan yang dapat menyebabkan kematian (Hall dan Clarke, 1983). Untuk menghilangkan efek samping tersebut, penggunaan ketamin dikombinasikan dengan xilazin dan atropin sebagai premedikasi. Penggunaan xilazin dapat mengurangi sekresi saliva dan meningkatkan tekanan darah yang diakibatkan oleh penggunaan ketamin (Warren, 1983). Xilazin dapat menyebabkan muntah serta menurunkan frekuensi denyut jantung. Maka


(19)

dari itu diberikan atropin untuk memperkecil kemungkinan muntah yang disebabkan oleh xilazin.

Pemberian agen anestesi pada hewan biasanya dilakukan secara injeksi intramuskuler karena mudah pengaplikasiannya. Namun untuk mendapatkan efek kerja obat yang lama terkadang dilakukan penambahan agen anestesi. Alternatif lain yang dapat dilakukan agar tidak terjadi penambahan agen anestesi adalah dengan injeksi secara subkutan. Dimana injeksi secara subkutanakan memberikan efek kerja obat yang lebih lama karena apabila obat diinjeksikan secara subkutan akan terjadi penyerapan secara perlahan-lahan.

Total eritrosit, kadar hemoglobin dan nilai hematokrit anjing lokal dapat menurun selama masa anestesi dan kembali meningkat selama masa pemulihan kesadaran (Schalm, 2010).Nilai hematokrit yang tinggi menandakan adanya peningkatan kekentalan darah, yang menyebabkan penurunan curah jantung. Sebaliknya, apabila nilai hematokrit rendah maka menandakan terjadinya anemia karena kehilangan darah, hemolisis atau adanya gangguan dalam produksi sel darah merah selama masa anestesi, hal tersebut dapat menurunkan jumlah oksigen yang diangkut ke jaringan tubuh.

Selama masa anestesi limpa mengalami dilatasi, dimana sel darah merah dalam sirkulasi mengalir masuk limpa karena limpa sebagai tempat penyimpanan eritrosit (Schalm, 2010). Seiring dengan mulai kesadaran limpa mengalami kontraksi disertai keluarnya sel darah merah menuju ke sirkulasi.

1.6Hipotesis

Berdasarkan kerangka konsep dapat disusun hipotesis bahwa pemberian berbagai dosis premedikasi xilazin dan anestesi ketamin secara subkutan dan waktu pengamatan berpengaruh terhadap total eritrosit, kadar hemoglobin dan nilai hematokrit anjing lokal.  


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Premedikasi

Premedikasi adalah pemberian obat-obatan sebelum tindakan anestesi umum dengan tujuan utama menenangkan pasien, menghasilkan induksi anestesi yang halus, mengurangi dosis anestetikum, mengurangi atau menghilangkan efek samping anestetikum, dan mengurangi nyeri selama operasi maupun pasca operasi (Debuf, 1991; McKelvey dan Hollingshead, 2003). Premedikasi yang paling umum digunakan pada hewan adalah atropin, acepromazin, xilazin, diazepam, midazolam, dan opioid atau narkotik.

Agen preanestesi digolongkan menjadi 4 yaitu golongan antikolinergik seperti atropin, morfin serta derivatnya, transquilizer dan neuroleptanalgesik (Kumar, 1996). Pada umumnya obat-obat preanestesi bersifat sinergis terhadap anastetik namun penggunaannya harus disesuaikan dengan umur, kondisi dan temperamen hewan, ada atau tidaknya rasa nyeri, teknik anestesi yang dipakai, adanya antisipasi komplikasi, dan lainnya (Sardjana dan Kusumawati, 2004).

2.1.1 Atropin

Atropin merupakan agen preanestesi yang digolongkan sebagai antikolinergik atau parasimpatolitik. Atropin dapat menimbulkan beberapa efek, misalnya pada susunan syaraf pusat merangsang medulla oblongata dan pusat lain di otak, menghilangkan tremor, perangsang respirasi akibat dilatasi bronkus, pada dosis yang besar menyebabkan depresi nafas, eksitasi, halusinasi dan lebih lanjut dapat menimbulkan depresi dan paralisa medulla


(21)

oblongata. Pada saluran nafas, atropin dapat mengurangi sekresi hidung dan bronkus. Efek atropin pada sistem kardiovaskuler (jantung) bersifat bifasik yaitu atropin tidak mempengaruhi pembuluh darah maupun tekanan darah secara langsung dan menghambat vasodilatasi oleh asetilkolin. Pada saluran pencernaan, atropin sebagai antispasmodik yaitu menghambat peristaltik usus dan lambung, sedangkan pada otot polos atropin dapat menyebabkan dilatasi pada saluran perkencingan sehingga menyebabkan retensi urin (Ganiswarna, 2001).

2.1.2 Xilazin

Xilazin merupakan senyawa preanestetikum yang biasa digunakan sebelum hewan diberikan anestesi umum. Xilazin dapat diberikan sebagai senyawa preanestesikum tunggal atau dikombinasikan bersama senyawa anestesi atau preanestesi lainnya seperti atropin, acepromazin, medetomidin, diazepam, dan golongan opioids (lebih dikenal dengan narkotik).

Sifat-sifat xilazin di antaranya menyebabkan relaksasi otot, dapat dengan cepat diabsorbsi setelah diaplikasikan (intramuskuler, subkutan atau intraperitoneal), mudah didistribusikan di dalam tubuh dan cepat diekskresikan dari dalam tubuh. Xilazin mempunyai efek bradikardia pada beberapa spesies hewan, dapat mendepres sistem termoregulator tubuh (kemungkinan yang terjadi bisa hipotermia atau hipertermia), dan dapat menurunkan eksitabilitas. Xilazin juga dapat memberikan efek pada sistem kardiovaskuler berupa adanya peningkatan respons pada sistem perifer melalui peningkatan tekanan darah.

Potensi penggunaan xilazin sebagai premedikasi ialah dapat menurunkan dosis penggunaan anestesi umum, menyebabkan relaksasi otot


(22)

yang baik, meminimalkan terjadinya bradikardia, dapat menginduksi muntah, dapat mengurangi pergerakan usus dan organ viseral, dan mengurangi salivasi. Alasan lain penggunaan xilazin ialah untuk mengurangi efek samping dari penggunaan anestesi umum, dan yang terakhir dapat mengurangi kesakitan dan rasa tidak nyaman pada saat pembedahan, pascaoperasi, dan masa penyembuhan hewan pascaoperasi.

Efek samping pemberian xilazin dapat terlihat sekitar 3 sampai 5 menit setelah pemberian. Tanda yang terlihat yaitu tremor otot, bradikardia akibat blokade pada AV node, menurunkan tingkat respirasi, dan meningkatkan urinasi pada hewan kecil (Anonim 2009).

2.2Anestesi

Anestesi berasal dari bahasa Yunani yaitu an- yang berarti tidak atau tanpa dan aesthetos yang berarti persepsi atau kemampuan untuk merasakan sesuatu. Secara umum, anestesi dapat diartikan sebagai suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.

2.2.1 Jenis anestesi

Secara umum anestesi dapat dibagi atas dua golongan yaitu berdasarkan cara penggunaan obat dan berdasarkan luas pengaruh obat. Berdasarkan cara penggunaan obat anestesi dibagi menjadi (1) Topikal yaitu obat diberikan melalui kutaneus atau membran mukosa untuk tujuan anestesi lokal; (2) Injeksi yaitu obat diberikan melalui suntikan baik secara intramuskuler, intravena, ataupun subkutan; (3) Inhalasi yaitu obat diberikan melalui saluran respirasi dengan menggunakan gas oksigen; (4) Oral atau


(23)

rektal yaitu obat diberikan melalui saluran pencernaan (gastrointestinal) (Tranquilli et al., 2007).

Berdasarkan luas pengaruh obat anestesi dibagi menjadi anestesi lokal, anestesi regional dan anestesi umum. Anestesi lokal merupakan suatu kondisi hilangnya berbagai sensasi seperti rasa sakit yang terjadi di sebagian tubuh. Bahan anestetikum lokal bekerja dengan menghambat pengiriman impuls ke ujung syaraf bebas dengan menghasilkan blokade gerbang sodium sehingga terjadi penurunan sensasi, terutama rasa sakit yang bersifat sementara di sebagian tubuh. Penggunaan anestetikum lokal dapat dilakukan dengan meneteskan pada permukaan daerah yang akan dianestesi (surface afication), dengan melakukan injeksi secara subkutan pada daerah yang akan dianestesi

(subdermal, intradermal), serta dengan melakukan pemblokiran pada daerah

tertentu (Sudisma, 2006).

Anestesi regional adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit yang dilakukan dengan cara menyuntikkan anestetikum lokal pada lokasi syaraf yang menginervasi regio atau daerah tertentu sehingga mengakibatkan hambatan konduksi impuls yang reversibel. Anestetikum regional dapat menghilangkan rasa nyeri pada suatu daerah atau regio tertentu secara reversibel tanpa disertai hilangnya kesadaran.

Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat irreversible. Anestesi umum yang sempurna menghasilkan ketidak sadaran, analgesia, relaxasi otot tanpa menimbulkan resiko yang tidak diinginkan dari pasien (Sasongko, 2005). Anestesi ini diberikan dengan cara inhalasi, injeksi, atau gabungan injeksi dan inhalasi.


(24)

Obat anestesi umum yang ideal mempunyai sifat-sifat antara lain: pada dosis yang aman mempunyai efek analgesic dan relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah, mulai kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan. Selain itu, obat tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan yang luas, tidak dipengaruhi oleh variasi umur dan kondisi hewan (Norsworhy, 1993). Salah satu agen anestetikum umum yang sering digunakan dalam praktek kedokteran hewan adalah ketamin.

Ketamin merupakan jenis obat anestesi yang dapat digunakan pada hampir semua jenis hewan (Hall dan Clarke, 1983). Pemberian ketamin dapat menyebabkan halusinasi, hipersalivasi, hipertensi dan tidak adanya relaksasi otot, namun efek tersebut dapat diatasi dengan pemberian premedikasi (Keller and Bauman, 1978; Hall and Clark, 1983). Ketamin merupakan obat yang bersifat simpatomimetik yang bekerja menghambat saraf parasimpatis pada sistim saraf pusat dengan neurotransmitter noradrenalin sehingga akan menimbulkan dilatasi pupil, dilatasi bronkiolus dan vasokonstriksi pembuluh darah.

2.3Pemeriksaan fisik pasien

Pemeriksaan fisik secara umum dilakukan pada hewan meliputi kondisi hewan tersebut.Indikasi dari fungsi kardiovaskuler dapat dideteksi dengan melakukan pemeriksaan CRT (Capillary Refill Time) pada selaput lendir gusi, konjungtiva, vulva atau ujung prepucium.

Pemeriksaan lainnya adalah refleks pupil (kontriksi atau dilatasi), jantung dan paru-paru (detak jantung normal anjing adalah 60 – 180 detak per menit, anjing ras kecil akan lebih cepat dibandingkan ras besar). Pulsus dapat


(25)

dipemeriksa melalui arteri femoralis, arteri metacarpal/tarsal untuk mengetahui tekanan darah sistolik, bila pulsusnya lemah menunjukkan terjadinya hipotensi.

2.4Pemeriksaan laboratorium

Sebelum dilakukan pembiusan sebaiknya dilakukan pemeriksaan laboratorium sebagai referensi kelayakan hewan untuk dibius. Salah satu pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah penghitungan sel darah lengkap. Penghitungan sel darah lengkap ini meliputi penentuan PCV (packed cell volume), Hb (hemoglobin), pemeriksaan terhadap sel darah putih (WBC, white blood cell), sel darah merah (RBC, red blood cell) dan platelet serta pemeriksaan glukosa darah untuk mengetahui status diabetes mellitus atau tidak.

2.5 Eritrosit

Eritrosit adalah jenis sel darah paling banyak dan berfungsi membawa oksigen ke jaringan-jaringan tubuh lewat darah pada hewan bertulang belakang. Sel ini berbentuk diskus bikonkaf, tepi yang tebal tetapi bagian tengahnya tipis. Eritrosit mamalia tidak memiliki inti, kandungan airnya berkisar antara 60-70%, sedangkan komposisinya terdiri dari protein, hidrat arang, mineral dan vitamin. Total eritrosit normal pada anjing adalah berkisar 5,5-8,5 juta/mm³ (Jain, 1986).

Selama masa anestesi limpa mengalami dilatasi, dimana sel darah merah dalam sirkulasi mengalir masuk limpa karena limpa sebagai tempat penyimpanan eritrosit (Schalm, 2010).Seiring dengan mulai kesadaran limpa mengalami kontraksi disertai keluarnya sel darah merah menuju ke sirkulasi. 2.6 Hemoglobin


(26)

Hemoglobin adalah pigmen eritrosit yang merupakan senyawa komplek antara besi dan protein. Protein berupa globin, sedangkan warna merah dari hemoglobin adalah heme yang merupakan senyawa logam dengan sebuah atom besi pada pusat molekul prophyrin. Fungsi hemoglobin adalah mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan dan sebaliknya mengangkut karbondioksida dari jaringan ke paru-paru (Benjamin, 1978).

Kadar hemoglobin dalam darah dipengaruhi oleh jumlah eritrosit (Coles, 1980). Perubahan eritrosit sebanding dengan perubahan kadar hemoglobin (Benjamin, 1978). Kadar hemoglobin normal pada anjing adalah 12-18g% (Jain, 1986). Pemeriksaan hemoglobin yang umum dilakukan adalah dengan cara menentukan kadar hemoglobin menurut Sahli.

2.7 Nilai Hematokrit

Nilai hematokrit adalah persentase dari bentuk padat eritrosit yang diperoleh dari pemusingan. Lapisan paling bawah merupakan eritosit yang disebut packed cell volume (PCV), lapisan yang berada diatas eritrosit adalah

buffy coat, dan lapisan yang paling atas adalah plasma darah (Benjamin,

1978). Nilai hematokrit dipengaruhi oleh total eritrosit, ukuran eritrosit dan volume eritrosit (Coles, 1980).

Pemeriksaan nilai hematokrit dengan mikrohematokrit memiliki keuntungan antara lain darah yang diperlukan cukup sedikit, waktu pemeriksaan cukup singkat dan ketelitiannya cukup tinggi. Sedangkan kerugiannya tidak bisa dipakai untuk melihat kecepatan sedimentasi dari buffy coat, serta membacanya diperlukan alat khusus (Benjamin, 1978). Nilai normal hematokrit pada anjing adalah 37-55 % (Jain, 1986).


(27)

(1)

yang baik, meminimalkan terjadinya bradikardia, dapat menginduksi muntah, dapat mengurangi pergerakan usus dan organ viseral, dan mengurangi salivasi. Alasan lain penggunaan xilazin ialah untuk mengurangi efek samping dari penggunaan anestesi umum, dan yang terakhir dapat mengurangi kesakitan dan rasa tidak nyaman pada saat pembedahan, pascaoperasi, dan masa penyembuhan hewan pascaoperasi.

Efek samping pemberian xilazin dapat terlihat sekitar 3 sampai 5 menit setelah pemberian. Tanda yang terlihat yaitu tremor otot, bradikardia akibat blokade pada AV node, menurunkan tingkat respirasi, dan meningkatkan urinasi pada hewan kecil (Anonim 2009).

2.2Anestesi

Anestesi berasal dari bahasa Yunani yaitu an- yang berarti tidak atau tanpa dan aesthetos yang berarti persepsi atau kemampuan untuk merasakan sesuatu. Secara umum, anestesi dapat diartikan sebagai suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.

2.2.1 Jenis anestesi

Secara umum anestesi dapat dibagi atas dua golongan yaitu berdasarkan cara penggunaan obat dan berdasarkan luas pengaruh obat. Berdasarkan cara penggunaan obat anestesi dibagi menjadi (1) Topikal yaitu obat diberikan melalui kutaneus atau membran mukosa untuk tujuan anestesi lokal; (2) Injeksi yaitu obat diberikan melalui suntikan baik secara intramuskuler, intravena, ataupun subkutan; (3) Inhalasi yaitu obat diberikan melalui saluran respirasi dengan menggunakan gas oksigen; (4) Oral atau


(2)

rektal yaitu obat diberikan melalui saluran pencernaan (gastrointestinal) (Tranquilli et al., 2007).

Berdasarkan luas pengaruh obat anestesi dibagi menjadi anestesi lokal, anestesi regional dan anestesi umum. Anestesi lokal merupakan suatu kondisi hilangnya berbagai sensasi seperti rasa sakit yang terjadi di sebagian tubuh. Bahan anestetikum lokal bekerja dengan menghambat pengiriman impuls ke ujung syaraf bebas dengan menghasilkan blokade gerbang sodium sehingga terjadi penurunan sensasi, terutama rasa sakit yang bersifat sementara di sebagian tubuh. Penggunaan anestetikum lokal dapat dilakukan dengan meneteskan pada permukaan daerah yang akan dianestesi (surface afication), dengan melakukan injeksi secara subkutan pada daerah yang akan dianestesi (subdermal, intradermal), serta dengan melakukan pemblokiran pada daerah tertentu (Sudisma, 2006).

Anestesi regional adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit yang dilakukan dengan cara menyuntikkan anestetikum lokal pada lokasi syaraf yang menginervasi regio atau daerah tertentu sehingga mengakibatkan hambatan konduksi impuls yang reversibel. Anestetikum regional dapat menghilangkan rasa nyeri pada suatu daerah atau regio tertentu secara reversibel tanpa disertai hilangnya kesadaran.

Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat irreversible. Anestesi umum yang sempurna menghasilkan ketidak sadaran, analgesia, relaxasi otot tanpa menimbulkan resiko yang tidak diinginkan dari pasien (Sasongko, 2005). Anestesi ini diberikan dengan cara inhalasi, injeksi, atau gabungan injeksi dan inhalasi.


(3)

Obat anestesi umum yang ideal mempunyai sifat-sifat antara lain: pada dosis yang aman mempunyai efek analgesic dan relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah, mulai kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan. Selain itu, obat tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan yang luas, tidak dipengaruhi oleh variasi umur dan kondisi hewan (Norsworhy, 1993). Salah satu agen anestetikum umum yang sering digunakan dalam praktek kedokteran hewan adalah ketamin.

Ketamin merupakan jenis obat anestesi yang dapat digunakan pada hampir semua jenis hewan (Hall dan Clarke, 1983). Pemberian ketamin dapat menyebabkan halusinasi, hipersalivasi, hipertensi dan tidak adanya relaksasi otot, namun efek tersebut dapat diatasi dengan pemberian premedikasi (Keller and Bauman, 1978; Hall and Clark, 1983). Ketamin merupakan obat yang bersifat simpatomimetik yang bekerja menghambat saraf parasimpatis pada sistim saraf pusat dengan neurotransmitter noradrenalin sehingga akan menimbulkan dilatasi pupil, dilatasi bronkiolus dan vasokonstriksi pembuluh darah.

2.3Pemeriksaan fisik pasien

Pemeriksaan fisik secara umum dilakukan pada hewan meliputi kondisi hewan tersebut.Indikasi dari fungsi kardiovaskuler dapat dideteksi dengan melakukan pemeriksaan CRT (Capillary Refill Time) pada selaput lendir gusi, konjungtiva, vulva atau ujung prepucium.

Pemeriksaan lainnya adalah refleks pupil (kontriksi atau dilatasi), jantung dan paru-paru (detak jantung normal anjing adalah 60 – 180 detak per


(4)

dipemeriksa melalui arteri femoralis, arteri metacarpal/tarsal untuk mengetahui tekanan darah sistolik, bila pulsusnya lemah menunjukkan terjadinya hipotensi.

2.4Pemeriksaan laboratorium

Sebelum dilakukan pembiusan sebaiknya dilakukan pemeriksaan laboratorium sebagai referensi kelayakan hewan untuk dibius. Salah satu pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah penghitungan sel darah lengkap. Penghitungan sel darah lengkap ini meliputi penentuan PCV (packed cell volume), Hb (hemoglobin), pemeriksaan terhadap sel darah putih (WBC, white blood cell), sel darah merah (RBC, red blood cell) dan platelet serta pemeriksaan glukosa darah untuk mengetahui status diabetes mellitus atau tidak.

2.5 Eritrosit

Eritrosit adalah jenis sel darah paling banyak dan berfungsi membawa oksigen ke jaringan-jaringan tubuh lewat darah pada hewan bertulang belakang. Sel ini berbentuk diskus bikonkaf, tepi yang tebal tetapi bagian tengahnya tipis. Eritrosit mamalia tidak memiliki inti, kandungan airnya berkisar antara 60-70%, sedangkan komposisinya terdiri dari protein, hidrat arang, mineral dan vitamin. Total eritrosit normal pada anjing adalah berkisar 5,5-8,5 juta/mm³ (Jain, 1986).

Selama masa anestesi limpa mengalami dilatasi, dimana sel darah merah dalam sirkulasi mengalir masuk limpa karena limpa sebagai tempat penyimpanan eritrosit (Schalm, 2010).Seiring dengan mulai kesadaran limpa mengalami kontraksi disertai keluarnya sel darah merah menuju ke sirkulasi. 2.6 Hemoglobin


(5)

Hemoglobin adalah pigmen eritrosit yang merupakan senyawa komplek antara besi dan protein. Protein berupa globin, sedangkan warna merah dari hemoglobin adalah heme yang merupakan senyawa logam dengan sebuah atom besi pada pusat molekul prophyrin. Fungsi hemoglobin adalah mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan dan sebaliknya mengangkut karbondioksida dari jaringan ke paru-paru (Benjamin, 1978).

Kadar hemoglobin dalam darah dipengaruhi oleh jumlah eritrosit (Coles, 1980). Perubahan eritrosit sebanding dengan perubahan kadar hemoglobin (Benjamin, 1978). Kadar hemoglobin normal pada anjing adalah 12-18g% (Jain, 1986). Pemeriksaan hemoglobin yang umum dilakukan adalah dengan cara menentukan kadar hemoglobin menurut Sahli.

2.7 Nilai Hematokrit

Nilai hematokrit adalah persentase dari bentuk padat eritrosit yang diperoleh dari pemusingan. Lapisan paling bawah merupakan eritosit yang disebut packed cell volume (PCV), lapisan yang berada diatas eritrosit adalah buffy coat, dan lapisan yang paling atas adalah plasma darah (Benjamin, 1978). Nilai hematokrit dipengaruhi oleh total eritrosit, ukuran eritrosit dan volume eritrosit (Coles, 1980).

Pemeriksaan nilai hematokrit dengan mikrohematokrit memiliki keuntungan antara lain darah yang diperlukan cukup sedikit, waktu pemeriksaan cukup singkat dan ketelitiannya cukup tinggi. Sedangkan kerugiannya tidak bisa dipakai untuk melihat kecepatan sedimentasi dari buffy coat, serta membacanya diperlukan alat khusus (Benjamin, 1978). Nilai normal hematokrit pada anjing adalah 37-55 % (Jain, 1986).


(6)