kualitas beras Selama bertahun (1)
Selama bertahun-tahun, dunia penyiaran di Indonesia mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Setelah 28 tahun TVRI bersiaran sendirian, sejak 1989 (munculnya televisi swasta pertama
RCTI) sampai dengan 2004 (kurun waktu 15 tahun) jumlah siaran televisi kita menjadi belasan.
Di Jawa Timur, pemirsa dapat menyaksikan 12 channels secara bebas. Inilah wujud kebebasan
informasi dan kebebasan pers di Indonesia. Kebebasan itu memang sudah berjalan. Namun
berjalan seperti apa? Bagaimana pula fungsi pers yang lain seperti mendidik?
Boleh dikata, pemirsa televisi di Indonesia adalah pemirsa paling dimanjakan di seluruh
dunia. Pengalaman di Inggris dan di Amerika, tidak semua statiun/channels televisi dapat diakses
bebas oleh pemirsa. Channels yang dapat diakses bebas hanya tak lebih dari jumlah jari di
sebelah tangan. Selebihnya, bahkan di AS sampai ratusan jumlah channelnya, diakses melalui
proses membayar (berlangganan). Jadi, jangan heran bila di AS Anda tak dapat menyaksikan
program-program Sex and the City (HBO) atau video klip yang vulgar (MTV) karena mereka
disalurkan dalam televisi berlangganan. Artinya, hanya bisa ditonton oleh mereka yang
membayar dan orangtua mempunyai passwordnya. Apakah masih bisa kita menyebut bangsa
Indonesia lebih baik –dalam hal tayangan vulgar- daripada Amerika?
Pada tahun 2002, pemerintah mengeluarkan sebuah UU baru yang mengatur dunia
penyiaran di Indonesia. UU Penyiaran No 32/2002 ini sudah menimbulkan kehebohan pada saat
kemunculannya. Industri televisi swasta dan para artis mendemo DPR. Mereka tidak setuju dunia
penyiaran diatur dengan undang-undang. Mereka bahkan melakukan penipuan kepada publik
dengan menakut-nakuti bahwa dengan diluncurkannya UU Pennyiaran, maka “Kebebasan Pers
Mati”, “Anda tak dapat lagi menyaksikan pentas dunia di rumah Anda”, dst. Sampai sekarang,
pers masih bebas dan pentas dunia masih disaksikan secara gratis di televisi kita.
Tahun 2003 Komisi Penyiaran Indonesia, sebuah lembaga negara independen yang akan
mengatur dunia penyiaran, dibentuk. Ini disusul terbentuknya KPI di daerah-daerah. Namun
kalangan industriawan dan praktisi dunia penyiaran tidak berhenti berupaya. Mereka
mengajukan Yudicial Review, yang putusan Mahkamah Konstitusinya memangkas kewenangan
KPI/D dalam mengatur dunia penyiaran. Sesungguhnya, kalangan dunia penyiaran lebih suka
berurusan dengan pemerintah daripada dengan lembaga independen yang terdiri dari wakil-wakil
publik/masyarakat.
KPI kemudian meluncurkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran.
Di sinilah, untuk pertamakalinya, anak-anak mendapat perlindungan. Pada Pasal 15 yang
bertajuk “Kekerasan dalam program anak-anak”, dinyatakan: “Dalam program anak-anak,
kekerasan tidak boleh tampil secara berlebihan dan tidak boleh tercipta kesan bahwa kekerasan
adalah hal lazim dilakukan dan tidak memiliki akibat serius bagi pelaku dan korbannya.”
Sayang sekali, pasal yang melindungi kepentingan anak ini hanya satu dan sangat singkat
dan sederhana. Padahal persoalan anak-anak dan singgungannya dengan televisi dan radio sangat
kompleks. Di Inggris misalnya, Protection to Minor ini merupakan persoalan serius. Coba kita
telusuri, bagaimana penyiaran dapat mempengaruhi anak-anak:
Pengaruh Radio kepada anak:
- Gaya bahasa penyiar (bahasa slank, prokem, dll)
-
Pilihan kata (menyumpah, jorok, dll)
Program dewasa (program dewasa disiarkan di jam-jam siaran umum)
Lirik lagu yang vulgar
dll.
Pengaruh Televisi kepada anak:
- Gambar video klip yang sugestif (MTV)
- Bahasa kasar (Pojok Kampung)
- Kekerasan yang dipotret sebagai hiburan (film kartun)
- Potret sadis bangsa Indonesia (berita kriminal)
- Pembiaran (permisiveness) atas perilaku dan gaya hidup tertentu (sinetron)
- Syirik dan penyebarluasan rasa ketakutan (mistik & misteri)
- Perilaku usil (reality show)
- dll.
Ada kisah-kisah anak balita yang mengancam ibunya: “Ma, aku mau itu. Kalau nggak
dikasih, mama aku bunuh.” Ditanya ibunya darimana dia belajar kata-kata semacam itu, dijawab
“dari televisi”. Lalu ada anak remaja yang ditangkap karena memperkosa anak tetangganya,
setelah diinterogasi, dia menjawab karena tergoda goyang Inul dan goyang dangdut lainnya di
televisi. Para seniman dan praktisi televisi beramai-ramai menolak pengakuan itu. “Satu kasus
tak dapat diterima sebagai pembenaran pelarangan goyang Inul di televisi,” seru mereka.
Pertanyaan saya: menunggu berapa jumlah korban hingga angkanya diterima?
Tayangan televisi sekarang jauh dari fungsi media massa mendidik bangsa. Hampirhampir tak ada program televisi yang mendidik seperti Si Unyil, Sesame Street, dll. Bahkan
sinetron anak SMP-pun tidak bergaya SMP. Bagaimana mungkin anak-anak SMP sudah
digambarkan rebutan pacar, terlibat konflik dan intrik orangtua, bahkan berperilaku seperti
preman?
Beberapa orangtua di Amerika yang saya temui mengaku tidak memiliki televisi atau
tidak berlangganan TV Kabel di rumah (artinya, hanya dapat menangkap siaran 3-4 televisi
nasional yang programnya cukup moderat dan mendidik, seperti PBS). Apakah anak-anak tidak
protes? “Ini masalah kebiasaan. Lama-lama mereka tidak merasa kehilangan, dan kami lebih
banyak membaca.”
Bagaimana dengan orangtua kita? Kita sendiri sebagai orangtua? Mudah-mudahan kita
semua menyadari bahwa pengaruh televisi sangat besar bagi perkembangan anak. Persoalannya:
pengaruh yang bagaimana? Perkembangan ke arah mana? Kebanyakan orangtua merasa berat
menyatakan STOP pada siaran televisi yang tak bermanfaat bagi anak. Iitu karena mereka
sendiri, kita sendiri, juga terlanjur kecanduan televisi.
Oleh sebab itu, untuk memulai, kita mesti mendisiplin diri sendiri. Selain peran orangtua,
saya juga mengimbau para seniman/praktisi televisi untuk lebih peduli pada masalah-masalah
kebangsaan ini dan tidak sekadar mendewakan rating. Terakhir, kita mesti menyambut hangat
dan mendukung kegiatan Komisi Penyiaran Indonesia yang akan menegakkan peraturanperaturan di dunia penyiaran.
Setelah 28 tahun TVRI bersiaran sendirian, sejak 1989 (munculnya televisi swasta pertama
RCTI) sampai dengan 2004 (kurun waktu 15 tahun) jumlah siaran televisi kita menjadi belasan.
Di Jawa Timur, pemirsa dapat menyaksikan 12 channels secara bebas. Inilah wujud kebebasan
informasi dan kebebasan pers di Indonesia. Kebebasan itu memang sudah berjalan. Namun
berjalan seperti apa? Bagaimana pula fungsi pers yang lain seperti mendidik?
Boleh dikata, pemirsa televisi di Indonesia adalah pemirsa paling dimanjakan di seluruh
dunia. Pengalaman di Inggris dan di Amerika, tidak semua statiun/channels televisi dapat diakses
bebas oleh pemirsa. Channels yang dapat diakses bebas hanya tak lebih dari jumlah jari di
sebelah tangan. Selebihnya, bahkan di AS sampai ratusan jumlah channelnya, diakses melalui
proses membayar (berlangganan). Jadi, jangan heran bila di AS Anda tak dapat menyaksikan
program-program Sex and the City (HBO) atau video klip yang vulgar (MTV) karena mereka
disalurkan dalam televisi berlangganan. Artinya, hanya bisa ditonton oleh mereka yang
membayar dan orangtua mempunyai passwordnya. Apakah masih bisa kita menyebut bangsa
Indonesia lebih baik –dalam hal tayangan vulgar- daripada Amerika?
Pada tahun 2002, pemerintah mengeluarkan sebuah UU baru yang mengatur dunia
penyiaran di Indonesia. UU Penyiaran No 32/2002 ini sudah menimbulkan kehebohan pada saat
kemunculannya. Industri televisi swasta dan para artis mendemo DPR. Mereka tidak setuju dunia
penyiaran diatur dengan undang-undang. Mereka bahkan melakukan penipuan kepada publik
dengan menakut-nakuti bahwa dengan diluncurkannya UU Pennyiaran, maka “Kebebasan Pers
Mati”, “Anda tak dapat lagi menyaksikan pentas dunia di rumah Anda”, dst. Sampai sekarang,
pers masih bebas dan pentas dunia masih disaksikan secara gratis di televisi kita.
Tahun 2003 Komisi Penyiaran Indonesia, sebuah lembaga negara independen yang akan
mengatur dunia penyiaran, dibentuk. Ini disusul terbentuknya KPI di daerah-daerah. Namun
kalangan industriawan dan praktisi dunia penyiaran tidak berhenti berupaya. Mereka
mengajukan Yudicial Review, yang putusan Mahkamah Konstitusinya memangkas kewenangan
KPI/D dalam mengatur dunia penyiaran. Sesungguhnya, kalangan dunia penyiaran lebih suka
berurusan dengan pemerintah daripada dengan lembaga independen yang terdiri dari wakil-wakil
publik/masyarakat.
KPI kemudian meluncurkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran.
Di sinilah, untuk pertamakalinya, anak-anak mendapat perlindungan. Pada Pasal 15 yang
bertajuk “Kekerasan dalam program anak-anak”, dinyatakan: “Dalam program anak-anak,
kekerasan tidak boleh tampil secara berlebihan dan tidak boleh tercipta kesan bahwa kekerasan
adalah hal lazim dilakukan dan tidak memiliki akibat serius bagi pelaku dan korbannya.”
Sayang sekali, pasal yang melindungi kepentingan anak ini hanya satu dan sangat singkat
dan sederhana. Padahal persoalan anak-anak dan singgungannya dengan televisi dan radio sangat
kompleks. Di Inggris misalnya, Protection to Minor ini merupakan persoalan serius. Coba kita
telusuri, bagaimana penyiaran dapat mempengaruhi anak-anak:
Pengaruh Radio kepada anak:
- Gaya bahasa penyiar (bahasa slank, prokem, dll)
-
Pilihan kata (menyumpah, jorok, dll)
Program dewasa (program dewasa disiarkan di jam-jam siaran umum)
Lirik lagu yang vulgar
dll.
Pengaruh Televisi kepada anak:
- Gambar video klip yang sugestif (MTV)
- Bahasa kasar (Pojok Kampung)
- Kekerasan yang dipotret sebagai hiburan (film kartun)
- Potret sadis bangsa Indonesia (berita kriminal)
- Pembiaran (permisiveness) atas perilaku dan gaya hidup tertentu (sinetron)
- Syirik dan penyebarluasan rasa ketakutan (mistik & misteri)
- Perilaku usil (reality show)
- dll.
Ada kisah-kisah anak balita yang mengancam ibunya: “Ma, aku mau itu. Kalau nggak
dikasih, mama aku bunuh.” Ditanya ibunya darimana dia belajar kata-kata semacam itu, dijawab
“dari televisi”. Lalu ada anak remaja yang ditangkap karena memperkosa anak tetangganya,
setelah diinterogasi, dia menjawab karena tergoda goyang Inul dan goyang dangdut lainnya di
televisi. Para seniman dan praktisi televisi beramai-ramai menolak pengakuan itu. “Satu kasus
tak dapat diterima sebagai pembenaran pelarangan goyang Inul di televisi,” seru mereka.
Pertanyaan saya: menunggu berapa jumlah korban hingga angkanya diterima?
Tayangan televisi sekarang jauh dari fungsi media massa mendidik bangsa. Hampirhampir tak ada program televisi yang mendidik seperti Si Unyil, Sesame Street, dll. Bahkan
sinetron anak SMP-pun tidak bergaya SMP. Bagaimana mungkin anak-anak SMP sudah
digambarkan rebutan pacar, terlibat konflik dan intrik orangtua, bahkan berperilaku seperti
preman?
Beberapa orangtua di Amerika yang saya temui mengaku tidak memiliki televisi atau
tidak berlangganan TV Kabel di rumah (artinya, hanya dapat menangkap siaran 3-4 televisi
nasional yang programnya cukup moderat dan mendidik, seperti PBS). Apakah anak-anak tidak
protes? “Ini masalah kebiasaan. Lama-lama mereka tidak merasa kehilangan, dan kami lebih
banyak membaca.”
Bagaimana dengan orangtua kita? Kita sendiri sebagai orangtua? Mudah-mudahan kita
semua menyadari bahwa pengaruh televisi sangat besar bagi perkembangan anak. Persoalannya:
pengaruh yang bagaimana? Perkembangan ke arah mana? Kebanyakan orangtua merasa berat
menyatakan STOP pada siaran televisi yang tak bermanfaat bagi anak. Iitu karena mereka
sendiri, kita sendiri, juga terlanjur kecanduan televisi.
Oleh sebab itu, untuk memulai, kita mesti mendisiplin diri sendiri. Selain peran orangtua,
saya juga mengimbau para seniman/praktisi televisi untuk lebih peduli pada masalah-masalah
kebangsaan ini dan tidak sekadar mendewakan rating. Terakhir, kita mesti menyambut hangat
dan mendukung kegiatan Komisi Penyiaran Indonesia yang akan menegakkan peraturanperaturan di dunia penyiaran.