Pengaruh Pemberian Estrogen Terhadap Kadar mRNA Calcitonin Gene Related Peptide Serta Ekspresi Protein Gene Product 9.5 dan Tyrosine Hydroxylase Pada Epitel Mukosa Vagina Tikus Wistar Yang Dilakukan Ovorektomi Bilateral.

(1)

GENE RELATED PEPTIDE

SERTA EKSPRESI

PROTEIN GENE PRODUCT 9.5

DAN

TYROSINE

HYDROXYLASE

PADA EPITEL MUKOSA

VAGINA TIKUS WISTAR YANG DILAKUKAN

OVOREKTOMI BILATERAL

I GEDE NGURAH HARRY WIJAYA SURYA NIM 1090271009

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR


(2)

ii

GENE RELATED PEPTIDE

SERTA EKSPRESI

PROTEIN GENE PRODUCT 9.5

DAN

TYROSINE

HYDROXYLASE

PADA EPITEL MUKOSA

VAGINA TIKUS WISTAR YANG DILAKUKAN

OVOREKTOMI BILATERAL

Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor

Pada Program Doktor, Program Studi Ilmu Kedokteran, Program Pascasarjana Universitas Udayana

I GEDE NGURAH HARRY WIJAYA SURYA NIM 1090271009

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR


(3)

(4)

iv

Panitia Penguji Disertasi Berdasaran SK Rektor Universitas Udayana No.: 0193/UN.14.4/HK/2016

Tanggal 7 Januari 2016

Ketua : Prof. Dr. dr Wimpie Pangkahila, Sp. And, FACCS

Anggota :

1. Prof. Dr. dr. Ketut Suwiyoga, Sp. OG (K) 2. Prof. drh. I Nyoman Mantik Astawa, Ph. D 3. Prof. Dr. dr. I Made Bakta, SpPD-KHOM 4. Prof. Dr. dr. I Gede Putu Surya, Sp. OG (K) 5. Prof. Dr. dr. A. A. Sudewa Djelantik, Sp. PK 6. Prof. Dr. Dra. Ni Putu Ristiati, M.Pd.

7. Dr. dr. I Wayan Putu Sutirtayasa,, M. Si 8. Dr. dr. Dewa Sukrama, M. Si, Sp. MK (K)


(5)

v

sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. dr. I Ketut Suwiyoga Sp.OG (K), sebagai Promotor yang dengan penuh kesabaran dan perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran selama penulis mengikuti program doktor, khususnya dalam penyelesaian disertasi ini. Begitu pula penghargaan dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Prof. drh. I Nyoman Mantik Astawa, Ph.D., sebagai Kopromotor I dan Prof. Dr. dr. I Made Bakta, SpPD-KHOM sebagai Kopromotor II yang telah memberikan bimbingan dan saran dengan penuh kesabaran dan tiada henti-hentinya memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan disertasi ini.

Terimakasih penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr.dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD dan Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp.PD-KHOM selaku mantan Rektor Universitas Udayana atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan sehingga penulis dapat menempuh pendidikan Program Doktor pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. dr. A.A.Raka Sudewi,Sp.S(K) selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana. Ungkapan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada Ketua Program Doktor Program Studi Ilmu Kedokteran Universitas Udayana Dr. dr. Bagus Komang Satriyasa, M. Repro. dan Dr. dr. I Wayan Sutirtayasa, M. Si., selaku mantan Ketua Program Doktor Program Studi Ilmu Kedokteran Universitas Udayana atas kesempatan dan dorongan yang diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Pascasarjana Universitas Udayana.

Pada kesempatan yang baik ini, penulis juga menyampaikan rasa terimakasih kepada Prof. Dr. dr. I Putu Astawa, M.Kes, Sp.OT selaku Dekan Fakultas Kedokteran UNUD dan Dr. dr. Dewa Putu Gde Purwa Samatra, SpS (K) sebagai ketua Program Studi


(6)

vi

Putu Surya, Sp.OG(K), Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila,Sp. And., FAACS, Prof. Dr. dra Ni Putu Ristiati, M. Pd., Prof. Dr. dr. A. A. Gede Sudewa Djelantik, Sp. PK (K) dan Dr. dr. I Dewa Made Sukrama, M.Si., Sp. MK (K)., sebagai penguji disertasi ini mulai dari tahap awal, atas semua masukan dan bimbingannya yang dengan penuh kesabaran dan perhatian telah memberikan dorongan semangat, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga disertasi ini akhirnya dapat terwujud.

Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya juga saya sampaikan kepada Ketua Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi FK UNUD/RSUP Sanglah dr. Tjok. G.A. Suwardewa, SpOG (K) dan Prof. Dr. dr. Ketut Suwiyoga, SpOG (K) selaku mantan Ketua Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi FK UNUD/RSUP Sanglah yang telah memberikan ijin dan dukungan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan doktor. Terima kasih kepada semua staf senior dan teman sejawat di Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi FK UNUD/RSUP Sanglah atas kerjasama, pengertian dan dukungannya yang tulus sehingga penulis bisa menyelesaikan pendidikan doktor ini. Terima kasih kepada dr Hendrik Sutopo Lidapraja, M. Biomed., SpOG., dr Ryan Saktika Mulyana, M. Biomed., SpOG., dr Ferry Santoso, M. Biomed., SpOG., dr Endang Sri Widiyanti, M. Biomed., SpOG., dr Indra Pratama Gede beserta seluruh rekan-rekan PPDS I Obgyn yang telah banyak membantu penulis menyelesaikan pendidikan. Terima kasih juga penulis tujukan kepada sekretariat Obgyn: dra. Luh Ketut Ariasih, Ni Wayan Suastini, SH., Gusti Ayu Made Budiyasih, SE., A.A. Sri Agung Ardaningrum, SE., Luh Putu Rika Suantari, SE., dan drs. Ketut Tunas, M.Si., Ethanina Trisna, Amd., Diana, SE., Luh Dina Mariati, Ni Made Kesumawati, Wayan Dwipa yang telah membantu dalam penyusunan disertasi ini. Begitu pula penulis ucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada dr. I Gusti Kamasan Nyoman Arijana, M. Si. Med. dan Gede Wiranatha,


(7)

vii

SpOG (K) yang telah mengasuh dan membesarkan penulis, mengajarkan disiplin dan nilai-nilai luhur, serta terus menerus memberikan motivasi dan semangat yang tidak habis-habisnya pada saat penulis kehilangan semangat sehingga penulis akhirnya bisa menyelesaikan pendidikan ini.Terima kasih kepada Kakek (alm) Made Pogot, Nenek Ni Luh Made Candraningsih serta Kakek (alm) Gede Arya dan Nenek (alm) Ni Luh Made Rati beserta seluruh keluarga besar atas kasih sayang dan dukungannya selama ini. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Bapak mertua dr. I Gusti Gde Djelantik, Sp. A (K) dan Ibu mertua dra. Herawati Negara atas dorongan dan dukungannya kepada penulis dalam menempuh pendidikan ini. Terima kasih pula kepada adik dan adik ipar, dr. Ira Yunitasari Surya, S. Ked dan I Gede Teddy Prananda Surya, S.T., M.T. serta dr. Ni Nyoman Yunita Kusuma Bakta, S. Ked., I Gusti Bagus Siddhajapa Hadi Sugriwa, S.I.P., M.M., dr. I Gusti Ayu Made Riantarini, Sp. S. beserta keluarga, I Gusti Nyoman Rani Dewiyani, S.T. beserta keluarga dan I Gusti Ketut Ari Wijaya Saputra, B.Sc. beserta keluarga atas dukungan dan pengertiannya selama ini.

Akhirnya penulis menyampaikan terimakasih kepada istri tercinta dr. I G. A. P. Eka Pratiwi, M. Kes., SpA yang telah berusaha mengerti dan bersabar mendampingi penulis selama ini, anak-anak tersayang Putu Ayu Adindhya Saraswati Surya, Made Ayu Nadine Indira Surya dan I Gede Nyoman Arvin Adhyasta Surya, yang telah memberikan kerelaan, pengorbanan dan pengertiannya sehingga memungkinkan penulis bisa lebih berkonsentrasi menyelesaikan naskah disertasi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada teman- teman di Program Studi S3 Ilmu Kedokteran Universitas Udayana, khususnya teman-teman angkatan 2010, atas motivasi, semangat dan kebersamaannya.

Untuk pihak-pihak yang belum dapat penulis sebutkan satu persatu, penulis juga ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.


(8)

viii

Denpasar, 6 Februari 2016 Penulis


(9)

ix

Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan pengaruh pemberian estrogen terhadap gene CGRP dan protein PGP 9.5 sertta TH. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai gene pada menopause.

Rancangan penelitian ini adalahrandomized post test only control group design. Kelompok perlakuan adalah tikus post ovorektomi bilateral yang diberikan estrogen. Kelompok kontrol adalah tikus post ovorektomi bilateral yang tidak diberikan estrogen.

Hasil penelitian, rerata umur dan berat badan tikus masing masing adalah 71,58 hari dan 194,53 gram pada kelompok perlakuan dan 71,94 hari dan 195,00 gram pada kelompok kontrol. Kadar mRNA CGRP adalah 21,984 pada kelompok perlakuan dan 23,102 pada kelompok kontrol sedangkan ekspresi PGP 95 adalah 12 pada kelompok perlakuan dan 15 pada kelompok kontrol dan ekspresi TH adalah 11 pada kelompok perlakuan dan 16 pada kelompok kontrol. Perbedaan pemberian estrogen terhadap kadar mRNA CGRP lebih rendah pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol dengan nilai t=21,984 (p = 0,001). Perbedaan pemberian estrogen terhadap ekspresi PGP 95 lebih rendah pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol dengan nilai x2 adalah 12,14 (p = 0,001). Perbedaan pemberian estrogen terhadap ekspresi TH lebih rendah pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol dengan nilai x2 adalah 12,88 (p = 0,001). Didapatkan juga bahwa efek pemberian estrogen terhadap CGRP sebesar 67,9 %, efek terhadap PGP 9.5 sebesar 14,4 % dan efek terhadap TH sebesar 3,3 %.

Pemberian Estrogen terbukti menyebabkan kadar mRNA CGRP serta ekspresi PGP 9.5 dan TH pada epitel mukosa vagina tikus


(10)

(11)

xi

purpose of this research is to prove the influence of the administration of estrogen to CGRP gene and PGP 9.5 protein and TH protein.

This study is randomized post test only control group design. The treatment group was post bilateral oophorectomy rats that given estrogen. The control group was post bilateral oophorectomy rats that not given estrogen.

In this research was found that the mean age and weight mice each is 71,58 day and 194,53 gram on the treatment and 71,94 day and 195,00 gram on the control group. Levels of mRNA CGRP is 21,984 on the treatment group and 23,102 on the control group while expression of PGP 9.5 is 12 on the treatment group and 15 on the control group and expression of TH is 11 on the treatment group and 16 on the control group. The difference of estrogen administration against mRNA CGRP levels are lower in the treatment compared with the control group by the value of t = 21,984 ( p = 0,001 ). The difference of estrogen administration against expression of PGP 9.5 are lower in the treatment compared with the control group by the value of x2 is 12,14 ( p = 0,001 ). The difference of estrogen administration against expression of TH are lower in the treatment compared with the control group by the value of x2 is 12,88 ( p = 0,001 ). Also found that effect of estrogen against CGRP of 67,9 % , effect on PGP 9.5 of 14,4 % and effects on TH of 3,3 % .

Estrogen treatment significantly lowered the level of mRNA CGRP and expression of PGP 9.5 and TH in rat vaginal mucosa epithelium that underwent bilateral oophorectomy. The level of mRNA CGRP are mostly affected by administration of estrogen compared with PGP 9.5 and TH expression.


(12)

1 1.1 Latar Belakang

Ovorektomi bilateral adalah operasi pengangkatan kedua ovarium melalui laparotomi atas indikasi tertentu. Operasi tersebut mengakibatkan penurunan kadar hormon estrogen yang mengakibatkan menopause. Menopause merupakan masalah kesehatan wanita terkait dengan anatomi dan fisiologi mukosa vagina dimana jumlah wanita menopause semakin meningkat. Selain itu, menopause mengakibatkan penipisan mukosa vagina,dispareneu, penurunan lubrikasi vagina, keluhan subjektif seperti instabilitas emosi, berkeringat malam, terasa semburan panas, insomnia, berdebar-debar dan penurunan konsentrasi, sehingga menurunkan kualitas hidup.

Secara anatomis, vagina berbentuk tabung muskulo membranosa yang terdiri atas beberapa lapisan yaitu mukosa, propria, dan submukosa. Secara histologik, lapisan vagina terbentuk dari epitel skuamosa berlapis tanpa penandukan dan lamina propria sebagai dasarnya. Di bawahnya terdapat lapisan muskularis yang terdiri dari otot halus, kolagen, dan elastin. Di bawah lapisan muskularis terdapat lapisan adventisia yang terdiri dari kolagen dan elastin (Anderson dan Rene, 2007; Cunningham, dkk., 2010). Inervasi vagina adalah oleh pleksus lumbosakralis untuk duapertiga proksimal dan oleh pleksus vaginalis untuk vagina sepertiga distal. Vaskularisasinya berasal dari arteri vaginalis yang


(13)

merupakan anyaman cabang arteri hemorhoidalis superior dan cabang arteri hipogastrika (Grey, dkk., 2010).

Pengaruh menurunnya kadar estrogen terhadap vagina adalah kekeringan pada vagina, kehilangan kelenturan, rasa iritasi, hiperalgesia atau nyeri saat berhubungan (dispareneu). Mekanisme bagaimana estrogen dapat mempengaruhi vagina adalah melalui efek langsungnya pada target sel di vagina. Reseptor estrogen sangat banyak di vagina, dan estrogen merangsang proliferasi epitel sel di vagina dan remodeling dari pembuluh darah. Karena itu, penurunan kadar estrogen menyebabkan disfungsi vagina (Ting, dkk., 2004), dan pada jangka panjang menimbulkan osteoporosis, sehingga mudah mengalami patah tulang (Fritz, dkk.,2005a; Cunningham, dkk.,2010). Di samping itu pada vagina terjadi perubahan yang menimbulkan gangguan, terutama pada hubungan seksual seperti vagina terasa kering, nyeri dan mudah infeksi karena kulit vagina mengalami atrofi (Fritz, dkk., 2005a). Wanita umumnya mengalami menopause pada umur sekitar 50 tahun, jika harapan hidup wanita 60 tahun, maka sekitar 10 tahun akan mengalami gangguan atau penderitaan (Fritz, dkk., 2005a). Dengan meningkatnya derajat kesehatan secara umum khususnya pada wanita, maka harapan hidup makin panjang. Jika harapan hidup wanita saat ini 80 tahun, maka 30 tahun wanita tersebut akan mengalami gangguan yang ditimbulkan karena menopause (Fritz, dkk., 2005a).

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi keluhan dan gejala terkait defisit hormonal tersebut, baik melalui terapi topikal maupun sistemik dengan terapi sulih hormon. Namun hasilnya masih belum memuaskan dan


(14)

bahkan kontroversi. Untuk mengurangi risiko terapi sulih hormon maka dipilihlah cara pemberian preparat estrogen topikal untuk menjaga humiditas dan ketebalan serta kontinuitas lapisan epitelial mukosa vagina. Akan tetapi hasilnya belum memuaskan terkait dengan dosis, kepatuhan pasien, dan kesulitan cara aplikasi obat (Fritz, dkk., 2005a; Monica, 2006; Liu, 2006).

Studi tentang peran reseptor estrogen juga telah banyak dipelajari di mana implementasi klinik juga masih kontroversi, terutama pada terapi sulih hormon yang berlangsung lama dan kontinu (Fritz, dkk., 2005a).

Zaino (2002) melaporkan bahwa pada saat menopause terjadi pengurangan jumlah lapisan epitelium vagina, termasuk hilangnya intermediate sel sehingga terjadi penipisan jaringan epitel.

Diduga bahwa estrogen lebih berpengaruh terhadap fungsi saraf melalui neurotransmitter dibanding dengan pengaruh langsung ke seluler epitel mukosa, elastin, kolagen, dan muskularis serta jaringan vagina lainnya (Dmitrieva, 2005; Monica dkk., 2006). Selain itu, vaskularisasi yang menjamin nutrisi, oksigenasi, dan metabolisme seluler juga diduga melalui peran persarafan vagina. Akhir-akhir ini, petanda molekuler persarafan yang banyak dipelajari adalah calcitonin gene related peptida (CGRP), protein gene product 9.5 (PGP 9.5) dan tyrosine hidroxyilase(TH).

CGRP merupakan ekspresi calcitonin gene yang terletak pada lengan pendek dari kromosom 11, bersifat neuropeptida yang terdiri atas lebih 6.5 kb pasang basa. Secara struktural dan fungsional, CGRP terdiri atas 6 exon, tiga exon pertama umum untuk calcitonin dan CGRP mRNA. Exon ke empat mengandung


(15)

rangkaian calcitonin dan katalacin, sama seperti rangkaian yang tidak di translasi, pada akhir di mana biasanya polydenylation memberi tanda AATAAA. Exon kelima mengandung rangkaian CGRP. Exon ke enam bagian dari transkripsi CGRP. Protein ini berupa rantai tunggal polipeptida 32 asam amino dengan jembatan amino-terminal disulpide 1 - 7 dan suatu amide proline carboxyl-terminal residu yang berfungsi sebagai faktor fast-acting hypocalcaemic calcitonin di mana fungsi peptida tersamar tersebut belum jelas. Protein c arboxy-terminal diapit peptida-peptida yang terdiri atas 21 katalasin dan 16 asam amino residu masing-masing di mana hanya 8 residu yang umum bagi kedua peptida. Fungsi protein adalah proteolytic post-translational yang bekerjasama dengan CGRP-like immunoreactivityyang kaya serabut saraf menyokong pembuluh darah dan otot halus nonvaskular. Pengaruh CGRP pada fungsi saraf periperal hanya sedikit yang diketahui seperti mempengaruhi antikolinergik, antihistamin dan pengaruh negatif pada miotropik (Zaidi dan Breimer, 2000).

Menurut Anderson (2007) mekanisme kerja estrogen diduga melibatkan

protein gene product 9.5 (PGP 9.5) yang terdapat pada jaringan saraf. Ekpresi PGP 9.5 merupakan presentasi gen yang terletak pada lengan pendek kromosom 4p14 terdiri atas 508 pasang basa. Secara struktural dan fungsional, protein gene produt 9.5 terdiri atas 2 exon. Fungsi protein ini terletak pada bagian C terminal berupa neuropeptida yang bersifat neurotransmiter. Namun, didalam darah dan jaringan ekspresi PGP 9.5 sangat labil dan mengalami degradasi oleh jalur dan kaskadeubiquitin carboxyl-terminal hydrolase L1 (UCHL1). Dan, PGP 9.5 dapat


(16)

membentuk kompleks dengan neurone-specific enolase (NSE) dimana NSE berperan sebagai neuroendokrin (Ian dan Rod, 2010).

Mekanisme kerja estrogen diduga juga melibatkan TH dimana gennya terletak pada lengan pendek kromosom 11p15.5 yang terdiri atas 10k pasang basa. Protein ini berupa polipeptida yang terdiri atas asam amino (Robert dan Anna, 2011). Secara structural dan fungsional, TH terdiri atas 14 exon, berfungsi mengkatalisis konversi dariL-tyrosineke DOPA. Hal ini merupakan langkah awal dan rate-limiting step dalam biosintesis katekolamin seperti dopamin, norepineprin, dan epineprin. Oleh karena itulah pengaturan aktivitasnya sangat penting. Aktivitas TH melalui 2 jalur yaitushort term directregulasi dari aktivitas enzim dan medium-sampai long term regulasi dari ekspresi gen. Aktivitas TH dapat bersifat mengaktivasi dan inhibisi yang diatur oleh umpan balik inhibisi dari katekolamin. Aktivasi alosterik oleh heparin, fosfolipid, polianion, dan RNA melalui fosforilasi protein (Fujisawa dan Okuno, 2005). Park, dkk. (2001) dan Kim dkk (2005) melaporkan penurunan yang bermakna pada tebalnya epitel vagina dan jaringan otot halus pada kelinci yang mengalami ovorektomi. Temuan yang sama juga dilaporkan pada tikus dan primata selain manusia. Efek pemberian steroid pada jaringan epitel tergantung pada dosisnya (Huggins, dkk., Zong Wenjun, dkk., 2009).

Mekanisme kerja estrogen pada terapi sulih hormon belum jelas dan diduga melibatkan jalur persyarafan. Pemberian terapi sulih hormon umumnya jangka panjang bahkan sampai puluhan tahun selama menopause sehingga sangat berpotensi menimbulkan masalah kesehatan lainnya seperti peningkatan risiko


(17)

kanker, infeksi, kecemasan serta depresi (Fritz, dkk., 2005b). Karena itu dilakukan penelitian tentang CGRP, PCG 9.5, dan TH dalam kaitannya dengan mekanisme kerja estrogen sehubungan dengan anatomi dan fisiologi vagina, terutama struktur dan integritas mukosa vagina.

Dibutuhkan studi tingkat molekuler untuk dapat meningkatkan efektifitas dan meminimalisasi risiko pemberian estrogen jangka panjang tersebut. Selanjutnya, diharapkan dapat menjelaskan mekanisme kerja estrogen dan hubungannya dengan gejala klinis terutama pada vagina.

Apabila dapat dibuktikan adanya peran CGRP, PGP 9.5 dan TH pada penelitian ini maka hasilnya akan dapat menjelaskan mekanisme baru bagaimana kerja hormon steroid estrogen terhadap anatomi dan fisiologik vagina. Mekanisme tersebut terutama yang melibatkan persarafan, selain vaskularisasi. Penelitian ini kemudian dapat juga dipakai sebagai data penelitian lanjutan pada wanita menopause, di samping menentukan beberapa indikator biomolekuler untuk prediksi, diagnosis dan terapi pada kondisi kadar estrogen rendah; terutama pada menopause.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka disusunlah rumusan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Apakah ada pengaruh pemberian estrogen terhadap kadar mRNA CGRP pada epitel mukosa vagina tikus Wistar yang dilakukan ovorektomi bilateral?


(18)

epitel mukosa vagina tikus Wistar yang dilakukan ovorektomi bilateral? 3. Apakah ada pengaruh pemberian estrogen terhadap ekspresi TH pada

epitel mukosa vagina tikus Wistar yang dilakukan ovorektomi bilateral? 1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian pada latar belakang dan rumusan masalah di atas maka dapat dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut:

1. 3. 1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui peran CGRP, PGP 9.5 dan TH pada mekanisme patogenesis perubahan epitel mukosa vagina tikus Wistar akibat penurunan hormon estrogen. 1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk membuktikan adanya pengaruh pemberian estrogen terhadap kadar mRNA CGRP pada epitel mukosa vagina tikus Wistar yang dilakukan ovorektomi bilateral.

2. Untuk membuktikan adanya pengaruh pemberian estrogen terhadap ekspresi PGP 9.5 pada epitel mukosa vagina tikus Wistar yang dilakukan ovorektomi bilateral.

3. Untuk membuktikan adanya pengaruh pemberian estrogen terhadap ekspresi TH pada epitel mukosa vagina tikus Wistar yang dilakukan ovorektomi bilateral.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat akademik

Apabila penelitian terbukti maka hasilnya akan merupakan informasi baru mengenai mekanisme kerja estrogen dan dapat menjelaskan patogenesis


(19)

menopause dalam kaitannya dengan anatomi dan fisiologi vagina. Mekanisme tersebut adalah keterlibatan PGP 9.5 dan CGRP yang merupakan petanda persarafan vagina serta TH yang merupakan petanda vaskularisasi dan persarafan. 1.4.2 Manfaat praktis

Secara klinik, hasil penelitian ini dapat dipakai untuk pencegahan keluhan-keluhan yang terjadi pada menopause atau bahkan sebagai anti aging melalui terapi genetik yaitu rekayasa CGRP, PGP 9.5, dan TH.

Selain itu, sebagai indikator untuk prediksi terjadinya penurunan atau rendahnya kadar estrogen. Dapat pula dipakai sebagai metode diagnosis molekuler terjadinya menopause atau kelainan fungsi produksi hormonal ovarium. Indikator molekuler sendiri adalah lebih awal dari pada biokimia untuk diagnosis penurunan fungsi hormon estrogen; terutama pada menopause.


(20)

9 2.1 Vagina

Vagina adalah organ yang penting untuk reproduksi. Data yang ada tentang efek menopause dan terapi sulih hormon untuk pertumbuhan jaringan dan persarafan vagina sangat terbatas. Turunnya hormon ovarium oleh karena operasi atau menopause diketahui mempengaruhi perubahan struktur pada vagina dan memberikan kontribusi pada patofisiologi genital. Forsberg (2000) melaporkan terjadinya pemendekan dan penyempitan vagina manusia yang diikuti hilangnya lipatan vagina dengan meningkatnya umur. Disamping itu, epitel permukaaan menjadi tipis dan mengalami keratinisasi. Zaino (2000) menunjukkan, pada saat menopause, terjadi pengurangan jumlah lapisan epitelium vagina, termasuk hilangnya intermediate sel, menghasilkan terjadinya penipisan jaringan epitel. Boreham dkk (2003) melaporkan bahwa pada wanita dengan prolaps organ pelvik, struktur otot halus vagina berkurang pada wanita menopause yang tidak mendapat terapi sulih hormon estrogen (Monica dkk., 2006; Dmitrieva, 2005; Liu dkk., 2006).

2.1.1 Anatomi dan histologi vagina

Vagina adalah suatu daerah lunak yang terbentuk oleh jaringan sekitarnya dan ikatanya ke dinding pelvis. Ikatannya ini adalah ke bagian lateral dari vagina, sehingga rongganya membelah melintang, dengan bagian dinding anterior dan posterior menyambung satu sama lain. Bagian paling bawah vagina mengerut


(21)

ketika melewati hiatus urogenital pada levator ani. Bagian atasnya adalah lebih luas. Vagina membengkok 1200 oleh karena tarikan otot levator ani pada persimpangan 1/3 bawah dan 2/3 atas vagina. Servik biasanya berada pada dinding anterior vagina, membuatnya lebih pendek daripada dinding posterior sekitar 3 cm. Dimana dinding depan vagina panjangnya sekitar 7-9 cm, meski demikian terdapat banyak perbedaan dalam pengukuran ini. Ketika lumen vagina diperiksa melalui introitus, banyak hal bisa dilihat (John dan Howard, 2008).

Dinding anterior dan posterior mempunyai midline ridge, masing-masing disebut dengan kolom anterior dan posterior. Hal ini disebabkan karena pengaruh uretra dan kandung kencing serta rektum pada lumen vagina. Bagian caudal dari kolom anterior adalah sangat nyata dan disebut urethral carina. Suatu bagian di depan dan di belakang dari servik biasanya disebut fornik anterior dan posterior vagina, dan lipatan sepanjang sisi vagina, dimana dinding anterior dan posterior bertemu disebutthe lateral vaginal sulci(John dan Howard, 2008).

Hubungan antara vagina dengan bagian tubuh lainya bisa dipahami dengan membagi vagina menjadi 3 bagian. Pada 1/3 bawah, vagina menyatu di bagian anterior dengan uretra, di posterior dengan perineal body, dan dibagian lateral menyatu dengan levator ani oleh karena serat dari Luschka. Dibagian 1/3 tengah adalah vesical neck dan di anterior adalah trigonum, rektum di posterior, dan dilateral adalah otot levator. Pada 1/3 atas, bagian anterior vagina berbatasan dengan kandung kencing dan ureter (sehingga bisa di palpasi pada pemeriksaan pelvis), di belakang dengancul-de-sac, dan dilateral denganligamentum cardinale


(22)

Gambar 2.1Gambaran Anatomi Organ Reproduksi Wanita (John dan Howard, 2008)

Vagina terbentuk pada bulan ketiga kehidupan embrio. Ketika saluran

uterovaginal terbentuk, jaringan endodermal dari tuberkel sinusal mulai membelah, membentuk sepasang bulbus sinovaginal, yang akhirnya menjadi 20 % bagian bawah dari vagina. Bagian terbawah dari saluran uterovaginal menjadi bersatu oleh karena adanya jaringan padat (the vaginal plate), yang mana asalnya masih tidak jelas. Setelah lebih dari dua bulan kemudian, jaringan ini menjadi memanjang dan mengalami kanalisasi oleh karena proses pengelupasan, dan sel terluar menjadi epitel vagina. Dinding fibromuskular vagina berasal dari bagian

mesodermsaluranuterovaginal(Anderson dan Rene, 2007).

Dinding vagina mengandung lapisan-lapisan yang sama seperti organ visera lainnya (misalnya mukosa, submukosa, muskularis, dan adventisia). Kecuali di daerah cul-de-sac, tidak memiliki lapisan serosa. Lapisan mukosanya adalah tipe nonkeratinized stratified squamous dan terletak pada suatu daerah


(23)

yang tebal, seperti dermis submukosa. Kesamaan lapisan dermis dan epidermis ini menyebabkan mereka disebut kulit vagina (John dan Howard, 2008).

Lapisan muskularis vagina menyatu di submukosa, pola lapisan mukularis ini diatur secara bihelical. Diluar lapisan muskularis adalah lapisan adventisia yang mempunyai banyak variasi perkembangan di berbagai tempat di vagina. Lapisan ini adalah bagian dari jaringan penghubung di daerah pelvis yang disebut fasia endopelvik, diberikan nama yang terpisah karena perkembangannya yang tidak biasa. Ketika dilakukan diseksi di ruang operasi, lapisan muskularis biasanya melekat padanya, kombinasi ini biasanya disebut fasia surgeon (John dan Howard, 2008).

Strukturmuskulomembranousini membentang dari vulva sampai ke uterus dan terletak di anterior dan posterior diantara kandung kencing dan rektum. Bagian atas tumbuh dan berkembang dari duktus mullerian dan bagian bawah terbentuk dari sinus urogenital. Di anterior, vagina dipisahkan dari kandung kencing dan uretra oleh jaringan penghubung yang disebut vesicovaginal septum. Di posterior, diantara bagian bawah vagina dan rektum, terdapat jaringan yang serupa yang secara bersama-sama membentuk rectovaginal septum. Seperempat atas vagina dipisahkan dari rektum oleh kantong recto-uterine, yang juga disebut

cul-de-sacdari Douglas (John dan Howard, 2008).

Pada keadaan normal, dinding anterior dan posterior vagina terletak berdekatan, dengan hanya sedikit ruang yang menghalangi di bagian lateral. Panjang vagina bervariasi, umumnya bagian anterior 6 sampai 7 cm dan posterior antara 7- 10 cm. Selama hidupnya, rata-rata wanita akan mengalami pemendekan


(24)

vagina sekita 0,8 cm. Ujung atas ruang vagina dibagi menjadi anterior, posterior dan 2 fornik lateral oleh servik. Hal ini penting secara klinik karena organ pelvik internal biasanya bisa di palpasi melalui dinding vagina yang tipis. Dan fornik bagian posterior memiliki jalan masuk secara bedah ke dalam rongga peritoneal (Cunningham dkk., 2010).

Pada bagian tengah vagina, dinding lateralnya menempel ke dinding pelvis oleh jaringan penghubung viseral. Penempelan di bagian lateral ini merupakan perpaduan dari otot fasia levator ani. Membentuk bagian lateral anterior dan posterior vaginal sulci. Ini terdapat sepanjang dinding vagina dan membuat bentuk vagina seperti bentuk H ketika dilihat dari bagian yang berseberangan. Terdapat sejumlah cekungan tebal melintang, yang disebut rugae, ditemukan sepanjang dinding anterior dan posterior vagina (Cunningham dkk., 2010).

Secara histologi, lapisan vagina terbentuk dari epitel nonkeratinized stratified squamous dan lamina propria sebagai dasarnya. Di bawahnya terdapat lapisan muskularis, yang terdiri dari otot halus, kolagen, dan elastin. Di bawah lapisan ini terdapat lapisan adventisia yang terdiri dari kolagen dan elastin. Tidak terdapat kelenjar di vagina. Akan tetapi vagina di lubrikasi oleh cairan yang berasal dari pleksus kapiler subepitel vagina yang bersilangan dengan lapisan epitel. Untuk meningkatkan vaskularitas selama kehamilan, sekresi vagina meningkat. Pada saat itu, mungkin akan di kelirukan dengan terjadinya pecah ketuban. Setelah melahirkan, pecahan epitel stratified biasanya akan tertanam di bawah permukaan vagina. Serupa dengan jaringan asalnya, epitel yang terkubur


(25)

ini terus menghasilkan sel berdegenerasi dan keratin. Hasilnya, terdapat kista epidermal inklusi yang lunak, yang dipenuhi debris (Cunningham dkk., 2010).

Gambar 2.2Lapisan Mukosa Vagina (John dan Howard, 2008)

Hormon steroid yang berasal dari ovarium telah diketahui sangat penting untuk menjaga keseimbangan jaringan vagina, dan terdapat bukti yang menyatakan bahwa ketidak- seimbangan hormonal menyebabkan kelainan pada jaringan vagina dimana ovorektomi mengakibatkan penurunan bermakna ketebalan jaringan epitel. Saat ini hanya sedikit data yang ada untuk dapat mengetahui bagaimana efek perubahan hormon dan penambahan hormon pada jaringan vagina secara morfologi dan persarafan vagina (Monica dkk., 2006; Dmitrieva, 2005).

Hasil pemeriksaan histologi dari jaringan vagina yang utuh menunjukkan bahwa epitelium jelas terbentuk dari jaringan yang uniform; sel kolumnar panjang yang dipertahankan di stroma vagina berisi jaringan pengikat mukosa dan submukosa. Sel-sel epitel padat dikemas dengan sebuah sitoplasma eosinopilik


(26)

kecil yang dikelilingi oleh jaringan ikat submukosa termasuk lapisan otot yang berbeda. Otot tunika vagina terdiri atas kumpulan otot polos yang terdistribusi luas di semua jaringan stroma. Secara khusus ditunjukkan bahwa hanya sebagian lapisan otot melingkar bagian dalam yang renggang pada jaringan vagina. Pada binatang yang dilakukan ovorektomi menunjukkan penipisan dan lumen epitelnya atropi. Tunika mukosa yang terdiri dari lapisan non-keratinizing tetap tipis, kehilangan lapisan jaringan ikat. Epitel sel kecil, serabut otot berkurang. Serabut otot polos berkurang pada binatang yang dilakukan ovorektomi. Hasil

micrometric menunjukkan pengobatan androgen pada kelompok ovorektomi mengembalikan perubahan morphometric yang terjadi. Penelitian pada jaringan vagina menunjukkan perubahan irreguler pada kelompok E (Estrogen) ovorektomi pada morfologi struktur jaringan vagina dibandingkan dengan kelompok ET (Estrogen Testoteron) ovorektomi. Perubahan pada lapisan otot lebih jelas di kelompok ovorektomi ET dan terdiri dari ikatan otot yang lebih kompak dibandingkan pada kelompok ovorektomi E (Rahmat, dkk., 2012).

Di bawah pengaruh estrogen, epitel vagina mengalami keratinisasi, epitel sel yang bertanduk bisa di lihat pada papsmear. Di bawah pengaruh progesteron, mukus yang tebal di sekresikan dan epitel berproliferasi dan menjadi diinfiltrasi oleh leukosit. Perubahan siklik pada papsmear tikus relatif bermakna. Perubahan pada manusia dan spesies yang lain serupa tetapi tidak begitu jelas (Ganong, 2003).

Dengan menurunnya estrogen pada masa klimaterium, aliran darah pada vagina menurun sampai pada batas terjadinya iskemia relatif, dan hal ini berperan


(27)

dalam menjelaskan terjadinya dispareneu dan kekeringan pada vagina. Terapi estrogen meningkatkan aliran darah dan mengurangi keluhan tersebut. Arteri pada vagina diameternya mengecil pada menopause, jumlah pembuluh darah kecil berkurang, dengan kemungkinan penebalan dinding pembuluh darah. Faktor terakhir ini berperan dalam terjadinya perubahan warna pada vagina. Sejumlah anastomosis arteri vena berperan mengatur aliran darah. Bantalan intimal arteri mengandung aliran darah. Serupa dengan bantalan intimal sel mioepitel yang ada pada vena vagina. Lamina propria vagina, ketika mendekati lapisan otot, berisi pleksus vena besar berdinding tipis sehingga tampak seperti jaringan erektil. Salah satu faktor dari respon fisiologis dari stimulasi seksual adalah vasokongesti pada dinding vagina, fungsi normal dari pleksus vena ini diasumsikan penting untuk fisiologi normal vagina. VIP(vasoactive intestinal polypeptide), suatu vasodilator yang poten, telah dipostulatkan berperan pada kontrol dari sekresi dari pleksus yang sama selama fase excitementseksual. Suatu hal yang sama bisa dilihat pada uretra. Pada bagian proksimal uretra wanita terdapat submukosa pleksus vena

corkscrew-like, berperan untuk sekitar 113 total urethral pressure didaerah ini. Pleksus ini mengalami perubahan morfologi sesuai umur: setelah menopause vena kehilangan formasi tipikalnya dan menjadi seperti berdinding tipis, lumen lebar dan pulsasi vaskular menurun. Estrogen mengembalikan regresi vena ini dan meningkatkan vaskular pulsasi di uretra (John-Gunnar, 1995).

Perubahan senile di vagina meliputi pemendekan dan penyempitan dari liang vagina, atropi vagina, berkurangnya aliran darah vagina, pucatnya warna vagina, meningkatnya kolagen dan lipofuscin deposit pada stroma, hilangnya


(28)

lipatan pada vagina dan meningkatnya vulnabillitas, lubrikasi berkurang menyebabkan kekeringan. Perubahan atropi ini menyebabkan dispareneu. Epitel kehilangan glikogen dan flora bakteri normal dengan berbagai macam tipe laktobasilus digantikan bakteri patologis, menyebabkan vaginitis atropi, pH vagina meningkat dari 4,5-5,5 menjadi 7,0-7,4. Struktur dalamnya, epitel vagina dipermukaan menjadi mendatar dan mungkin terjadi superfisial keratinisasi. Stroma di invasi oleh limfosit dan sel plasma, suatu fenomena yang dikatakan lebih pada penuaan daripada proses inflamasi. Bukaan uretra menjadi dekat introitus vagina sehingga manipulasi vagina bisa menyebabkan masalah di uretra (John-Gunnar, 1995).

Pada penelitian di laboratorium, Park dkk (2005) dan Kim dkk (2005), keduanya melaporkan penurunan yang bermakna pada tebalnya epitel vagina dan jaringan otot halus pada kelinci yang mengalami ovorektomi. Temuan yang sama juga dilaporkan pada tikus dan primata selain manusia. Penelitian terakhir saat ini tentang efek pemberian steroid pada jaringan epitel, Huggins dkk melaporkan bahwa pemberian testosteron sc (0,1-4,0 mg/hr) menstimulasi produksi mukus tetapi bukan keratin dipermukaan sel vagina tikus. Estrogen (1 gr/hr) menyebabkan permukaan superfisial epitel menghilang, diikuti terjadinya peningkatan basal sel dan keratinisasi. Dosis tinggi estrogen (100 gr/hr) hanya menyebabkan peningkatan basal sel dan susunan keratin, sedangkan kombinasi testosteron (1 mg) dan estrogen (1 gr) menyebabkan peningkatan epitel dengan pengurangan susunan mukoprotein dan penghentian produksi keratin. Hal ini


(29)

mengindikasikan efek yang berbeda dari hormon seks steroid (Dmitrieva, 2005; Monica, dkk., 2006; Liu, dkk., 2006).

Banyak penelitian tentang perubahan siklik yang terjadi pada vagina memfokuskan pada epitel. Saat ini, hanya sedikit yang diketahui tentang perubahan pada lamina propia atau jaringan otot pada manusia atau pada hewan sebagai akibat dari kekurangan hormon yang menggambarkan suatu hasil dari hipotesa. Menggunakan tehnik immunohistokimia untuk menentukan distribusi

protein gene product 9.5 (PGP 9.5), penanda saraf secara keseluruhan, Hiliges dkk (2005) menyelidiki persarafan dari mukosa vagina manusia. Pada penelitian yang luas ini, bahan dari pembedahan didapatkan dari anterior dan posterior fornik dan dinding anterior vagina pada leher kandung kemih dan daerah liang senggama dari 6 wanita, baik yang premenopause dan postmenopause. Jaringan saraf di epitel hanya bisa dilihat pada spesimen dari liang senggama, dimana serat terbanyak berakhir setelah menembus 2/3 dari tebal epitel. Tidak ada bukti serat epitel ditemukan di bagian lain (Dmitrieva, 2005; Monica, dkk., 2006; Liu dkk., 2006; Rachelle dkk., 2010).

Sejumlah penelitian mencari hubungan status hormonal dengan perubahan padaneurotransmitteratau jumlah persarafan di vagina. Pada penelitian terdahulu dari persarafan vaginal adrenergik yang telah dilakukan ovorektomi dan diterapi dengan estrogen pada kelinci, Sjoberg (2005) melaporkan terdapat peningkatan bermakna pada kepadatan saraf adrenergik dan jumlah norepinephrine melebihi pada kontrol. Sebaliknya, Ting dkk (2004) melaporkan peningkatan kepadatan saraf pada saat tidak adanya estrogen (Dmitrieva, 2005; Monica dkk., 2006).


(30)

Menggunakan tehnik imunohistokimia untuk menentukan distribusi protein gene product 9.5 (PGP 9.5), suatu general tumor marker, Hilges dan kawan-kawan, meneliti inervasi dari mukosa vagina manusia. Pada penelitian ini, spesimen dari operasi diambil dari fornik anterior dan posterior, dan dinding depan vagina pada daerah leher kandung kemih dan daerah introitus dari 6 wanita, yang pre dan post menopause. Serabut saraf pada epitel hanya terlihat pada spesimen di introitus, dengan kebanyakan serabut berakhir setelah masuk dua pertiga tebal epitel. Tidak terdapat bukti ada serabut intraepitel pada daerah lain yang diteliti. Sejumlah penelitian mendapatkan hubungan antara status hormonal dengan perubahan kandungan neurotransmitter atau kepadatan inervasi di vagina (Rachelle dkk., 2010). Pada penelitian pendahuluan saraf adrenergik vagina pada kelinci yang diovorektomi dan diterapi estradiol, Sjoberg (2005) menyatakan terdapat peningkatan bermakna pada kepadatan saraf adrenergik dan norepineprine (NE) dibandingkan kontrol. Sebaliknya, Ting dan kawan-kawan (2004) melaporkan peningkatan kepadatan sarat dengan tidak adanya estradiol. Menggunakan histokimia untuk mendeteksi asetilkolinesterase (AchE) dan NE pada potongan vagina tikus, Adham dan Schenk (2005) menemukan variasi dari total jumlah serabut saraf dan kepadatan relatif dari sub tipe saraf pada siklus estrous yang bervariasi. Secara spesifik, dilaporkan bahwa baik saraf kolinergik dan adrenergik lebih banyak pada estrus dan lebih sedikit selama diestrus, dengan jumlah intermediate dari serabut pada metetrus dan proestrus. Tambahannya, ditemukan adanya siklik variasi dari serabut yang AchE positip lebih dominan pada pleksus subepitelial, dimana variasi siklik inervasi adrenergik terutama


(31)

terjadi pada otot. Berkley dan kawan-kawan (2004) melaporkan bahwa serabut afferen berespon terhadap distensi vagina atau stimulasi mekanikal dinding vagina terjadi seringkali selama proestrus di tikus. Penelitian lain menunjukkan bahwa serabut afferent pelvis yang berespon pada distensi vagina lebih sensitif pada proestrus, ketika musim kawin terjadi. Berman dan kawan-kawan (2004) menunjukkan bahwa baik ekspresi endothelial nitric oxide synthase (eNOS)dan

neural nitric oxide synthase (nNOS) pada siklus tikus paling tinggi selama proestrus dan rendah selama metestrus. Tambahannya, withdrawal dari estrogen melalui ovorektomi secara signifikan mengurangi kedua tipe NOS, dimana selanjutnya pemberian estrogen pengganti menghasilkan peningkatan ekspresinya. Sebaliknya, Al-Hijji dan kawan-kawan (2005) meneliti sampai mana otot polos vagina berespon pada ovorektomi tergantung pada nitrik oksida dan melaporkan bahwa estrogen menurunkan aktivitas NOS dimana terapi dengan progesteron secara signifikan meningkatkan aktivitas NOS. Jelas terdapat bukti bahwa seks steroid mempengaruhi struktur jaringan vagina dan mungkin memegang peranan pada ekspresi neurotransmitter (Monica, dkk., 2006).

2.1.2 Fungsi vagina

Vagina merupakan organ reproduksi wanita. Menerima penis pada saat hubungan seksual. Sebagai jalan keluar darah menstruasi ketika sedang menstruasi dan berfungsi sebagai jalan lahir dari bayi yang dikandung (Anderson dan Rene, 2007).


(32)

2.1.3 Persarafan vagina

Persarafan vagina adalah dari pleksus uterovaginal (ganglion Frankenhauser) pada bagian atas dari vagina dan dari saraf pudendal untuk vagina bagian bawah. Perjalanan saraf ini mengikuti pembuluh darah uterus dan melewati ligamentum kardinalis dan uterosakralis; serabut saraf sensoris dan simpatik berasal dari T10, L1; serabut saraf parasimpatik berasal dari S2 sampai S4 (Anderson dan Rene, 2007).

2.2 Ovarium

2.2.1 Anatomi ovarium

Ovarium terdiri dari tiga bagian yaitu: bagian luar disebut kortek, medulla dibagian tengah, dan rete ovarium atau hilum. Hilum adalah suatu tempat dimana ovarium melekat ke mesovarium. Terdiri dari saraf, pembuluh darah, dan sel hilus, yang mana berpotensi menjadi aktif pada saat steroidogenesis atau menjadi membentuk tumor. Sel ini serupa dengan sel Leydig yang memproduksi testoteron pada testis. Bagian paling luar dari kortek disebut tunika albuginea, bagian atasnya ditutupi satu lapis epitel kuboid, serupa seperti epitel permukaan ovarium atau mesotelium dari ovarium. Oosit, tertutup disuatu kompleks yang disebut folikel, berada di bagian dalam dari kortek, tertanam di jaringan stromal. Jaringan stromal terdiri dari jaringan ikat dan sel interstisial, yang berasal dari sel mesenkimal, mempunyai kemampuan berespon terhadap luteinizing hormone


(33)

Daerah medulla sentral dari ovarium berasal sebagian besar dari sel mesonephrik (Fritz, dkk., 2005b).

2.2.2 Fisiologi ovarium

Jika stimulasi gonadotropin adekuat, satu dari beberapa unit folikel berkembang matur dengan berbagai tingkatannya dan kemudian menjadi ovulasi. Secara morfologis, kejadian ini meliputi meregangnya antrum oleh bertambahnya cairan antral dan penekanan dari granulosa terhadap terpisahnya bagian granulosa dan luteinized yang avaskular. Pertambahan cairan antral secara gradual mencapai cumulus oophorous, bagian dari granulosa yang membungkus oosit. Mekanisme penipisan dari theca pada permukaan yang kemudian menonjol, folikel menjadi distensi, terbentuknya daerah avaskular menyebabkan melemahnya kapsul ovarium, sehingga akhirnya karena distensi lama antrum menjadi pecah dan oosit terdorong dari cumulusnya (Fritz, dkk., 2005a).


(34)

2.2.3 Steroidogenesis

Secara umum jalur biosintesis steroid berdasarkan penemuan dari Kenneth J. Ryan dan kawan-kawan (2004). Jalur ini berdasarkan pola umum yang ditunjukkan oleh semua organ endokrin yang menghasilkan steroid. Dengan akibat, tidak mengherankan bahwa ovarium normal manusia menghasilkan tiga macam seks steroid yaitu: estrogen, progestin, dan androgens (Fritz, dkk., 2005a).

Selama steroidogenesis, sejumlah karbon pada atom kolesterol atau pada molekul steroid lain berkurang dan tidak pernah bertambah. Reaksi yang bisa terjadi adalah: (Fritz, dkk., 2005b)

1. Pembelahan dari ikatan samping (reaksi demolase).

2. Konversi dari kelompok hidroksil menjadi keton atau keton menjadi kelompok hidroksil (reaksi dehidrogenase).

3. Penambahan kelompok OH (reaksi hidroksilasi). 4. Pembuatan ikatan ganda (pemindahan hidrogen).


(35)

Gambar 2.4Steroidogenesis (Fritz, dkk., 2005b)

Secara umum pada steroidogenesis adalah bahwa setiap langkah dimediasi oleh banyak enzim, yang berbeda-beda dari satu jaringan ke jaringan yang lain. Enzim steroidogenesis adalah dehidrogenesis atau bagian dari sitokrom P450 kelompok dari oksidase. Sitokrom P450 adalah bentuk generik untuk enzim oksidatif, dinamakan 450 karena pigmen (450) berpindah ketika berkurang. Enzim 450 dapat memetabolisme berbagai substrat seperti: pada hati, enzim 450 memetabolisme toksin dan polutan lingkungan. Berbagai macam enzim 450 dapat ditemukan pada steroidogenesis: P450scc adalah enzim pada kolesterol; P450c11 memediasi 17-hidroksilase, 18-hidroksilase, dan 19-metiloksidase; P450c17 memediasi 17-hidroksilase dan 17, 20-lyase; P450c21 memediasi 21-hidroksilase; dan P450aro memediasi aromatisasi androgen ke estrogen (Fritz, dkk., 2005a).


(36)

2.3 Estrogen

2.3.1 Rumus kimia hormon estrogen

Tiga estrogen yang umum adalah estrone (E1), estradiol (E2) dan estriol

(E3). Estrogen ke empat adalah estetrol(E4). Estradiolyang paling kuat.Estrone

danestradiol disintesa dari aromatisasi androstenedione dan testoterone, berturut-turut. Mereka juga dapat di interkonversi dari kerja 17β-hidroksisteroid

dehidrogenase (17β-HSDs). Estriol disintesa dari estrone melalui 16α -hidroksiestrone intermediate. Sekalipun pada beberapa jaringan, estrogen dapat dibuat atas permintaan, estrogen dapat disimpan dalam bentuk estrone sulfat. Ini disintesa dari estrone melalui kerja estrogen sulfotransferase dengan estrone

memperbaharui katalisa hidrolisis steroid sulfatase dari estrone sulfate. Estrogen dikeluarkan dari tubuh terutama sebagai sulfat dan glukuronidat derivat. Langkah pertama mensintesa konjugat ini adalah turunan derivat hidroksilate. Hidroksilasi terjadi terutama pada posisi 2-, 4- dan 16-. Kelompok hidroksil ini bisa sulfat, glukuronidat atau metilat (Thomas dan Potter, 2011).

Karena hanya sedikit penelitian yang dipublikasikan tentangestetrolmaka

estetrol hanya sedikit disinggung.Estetrol disintesa di hati bayi, tetapi fungsinya sampai saat ini tidak diketahui. Beberapa kemungkinan rute biosintesis dikemukakan mulai dari beberapa androgen, estrogen, dan ke tiga derivat sulfatnya, dengan hidroksilasi yang terjadi dengan berbagai macam cara dan, pada kasus androgen, aromatisasi terjadi baik sebelum maupun sesudah hidroksilasi. Bukti menyatakan bahwa estetroldibuat melalui jalan berbagai macam biosintesis (Thomas dan Potter, 2011).


(37)

Memperlihatkan peran estrogen untuk mencegah, menyebabkan dan memperburuk penyakit, pengetahuan yang baik bagaimana estrogen disintesa dan dimetabolisme akan membantu memahami dan mengobati penyakit. Penjelasan ini akan memperlihatkan perubahan pada setiap enzim yang terlibat dalam metabolisme estrogen dalam terminologi struktur dan mekanisme reaksi yang terjadi, sebelum bagian akhir membandingkan bermacam enzim. Inhibisi dari enzim pada metabolisme estrogen mempengaruhi sejumlah estrogen pada tubuh dan hal ini merupakan pokok pendekatan berbagai macam terapi yang mengarahkan ke bahan pokok klinis. Estrogen sintetik, misalnya etinilestradiol

(gambar 2. 5), telah dipakai secara luas pada terapi sulih hormon, dan dikombinasikan dengan progestin, dipakai sebagai kontrasepsi.

Gambar 2.5Jalur Metabolisme Estrogen. Terdapat variasi spesifik-jaringan. Senyawa hidroksilasi pada cincin A dikonversi ke senyawa metoksi oleh katekol O-metiltransferase. Strukturestetroldanetinilestradiolditunjukkan sebagai cincin

steroid yang diberi label dan sistim penomoran atom (Thomas dan Potter, 2011) Ada empat belas enzim vertebra berbeda yang diklasifikasikan sebagai 17β-hidroksisteroid dehidrogenase dimana dua belas telah ditemukan di jaringan manusia. Terlepas dari namanya substrat pilihan dari beberapa enzim ini adalah lain dari steroid dan, ketika substrat adalah steroid, reaksinya bisa oksidasi atau


(38)

reduksi tergantung kofaktor dan lokasi selular. Tipe 1 17β-hidroksisteroid dehidrogenase mengkatalisis konversi estrone ke estradiol, dan dari 16α -hidroksiestrone ke estriol (gambar 2. 5). Reaksi sebaliknya mengkatalisis 17β -HSD2 yang juga memfasilitasi perubahan dari testoterone ke androstenedione, reaksi balik yang dikatalisis17β-HSD3(Thomas dan Potter, 2011).

Ketiga enzim merupakan anggota dari the short-chain dehydrogenase/reductase (SDR) structural family. Urutan yang sesuai ditunjukkan pada gambar 2. 6 Dicantumkan pada tabel 2. 1 Kebanyakan dari struktur ini mempunyai ligan di tempat berikatan substrat: struktur ligan ditunjukkan pada gambar 2. 7

Gambar 2.6 Penyelarasan Sekuens17β-hidroksisteroid dehidrogenase.

Penyelarasan sekuens17β-HSD1(UniProt ID kode P14061),17β-HSD2(UniProt ID kode P37059) dan17β-HSD3(UniProt P37058). Residu yang identik berwarna

kuning. Residu-residu ini dalam17β-HSD1membentuk tempat ikatan substrat, yang bisa teridentifikasi dengan inspeksi visual strukturnya, tercetak tebal, dan yang membentuk tempat berikatan NADPH ditunjukkan berwarna merah. Struktur

skunder pada17β-HSD1teridentifikasi sebagai H-heliks dan lembar S (Thomas dan Potter, 2011)


(39)

Tabel 2. 1 Struktur Kristal Dari17β-HSD1.

(Dikutip dari Thomas dan Potter, 2011)

Gambar 2. 7Struktur Ligan Pada Struktur Kristal17β-HSD1. DHETNA: 05’

-[9-(3, 17 β-dihidroksi-1, 3, 5(10)-estratrien-16 β-yl)-nonanoyl]adenosine. E2B: 3-(((8R, 9S, 13S, 14S, 16R,17S)-3, 17-dihidroksil-13-metil-7, 8, 9, 11, 12, 13, 14, 15,

16, 17-decahidro-6H-siklopenta(a)phenantren-16-yl)metil)benzamide

(Thomas dan Potter, 2011)

Gen dapat diterjemahkan menjadi 328 asam amino tetapi protein yang matur telah kehilangan methionin awalnya, jika dilihat dari awalnya, sering (tetapi tidak selalu) diberi nomor A1-Q327. Disini penomoran A1-Q327 dipakai. Tidak ada struktur kristal yang umum untuk baik 17β-HSD2 atau 17β-HSD3, tetapi


(40)

secara keseluruhan struktur 3D nya diperkirakan serupa seperti 17β-HSD1

(gambar 2. 8).

Gambar 2. 8. Struktur17β-HSD1. Gambar struktur17β-HSD1diberi warna biru pada N-terminal. Struktur elemen sekunder diberi label seperti pada gambar 2. 13:

h-heliks dan lembar-S. NADPH ditunjukkan dengan warna karbon ungu dan estradiol dengan karbon merah muda (berdasarkan struktur 1A27)

(Thomas dan Potter, 2011)

Protein dibangun disekitar inti dari 7 strands yang paralel dengan sedikitnya satu heliks diantara strands yang berurutan. Ini menyebabkan lipatan Rossman menjadi ciri khas ikatan nukleotida protein. Lup diantara lembar 1 dan heliks 1 mempunyai motif GxxxGxG (residu G9-G15, dimana G adalah glisin dan x residu yang lain) ini lazim pada oksidasi/reduksi enzim yang mengikat kofaktor nikotinamid. S142, pada akhir lembar 5, dan Y155 dan K159, pada heliks 9, terbukti penting untuk aktivitas. Tempat ikatan substrat dibentuk oleh residu G94, L95, L96, S142, V143, G144, M147, L149, P150, N152, Y155, C185, G186, P187, F192, M193, V196, Y218, H221, S222, V225, F226, F259, L262, M279, E282 dan V283. Dari semua duapuluh-enam residu hanya empat belas di struktur elemen sekunder, misalnya heliks atau lembaran, dengan sisanya di lup antara elemen struktural. Salah satu lup ini, lup ikatan substrat terdiri dari residu H189-V196, cukup fleksibel sehingga bisa dilihat dalam dua bentuk pada struktur 1FDT. Lup ini mungkin harus berpindah untuk memungkinkan substrat ke tempat


(41)

berikatan. Residu berikut membentuk tempat berikatan NADPH: T8, G9, C10, S11, S12, G13, I14, G15, R37, L64, D65, V66, R67, C89, N90, A91, G92, L93, V113, T140, G141, S142, Y155, K159, C185, V188, H189, T190, A191, F192, M193 dan K195 (Thomas dan Potter, 2011).

Reaksi transfer hidrida yang dikatalisis oleh enzim ini adalah reversibel secara intrinsik tetapi, in vivo, efektif searah karena konsentrasi relatif dari NADPH dan NADP+. Berdasarkan nilai tukar pengukuran isotop antara pasangan produk substrat reaksi yang dikatalisis oleh 17β-HSD1 dikatakan diurut secara random dengan mekanisme bi-bi (gambar 2. 9). Meski demikian, suatu penelitian dinamik berdasarkan struktur kristal dari apo enzim dan binari dan ternari kompleks menyatakan bahwa ada pilihan dengan ikatan NADPH sebelum substrat, dan NADP+ dilepaskan sebelum produk. Pada reaksi pro-S hidrida ditransfer dari NADPH ke bagian alpha dari C 17 estrone. Hidrida kemudian di transfer ke C17 oksigen, distabilisasi dengan interaksi dengan hidroksil dari S142, dari hidroksil Y155. Kemudian dipostulatkan menjadi jaringan transfer hidrida melibatkan NADPH ribose hidroksil, bagian K159 amino dan molekul air menghasilkan formasi ion hidronium (gambar 2. 10). Bekerja dengan17β-HSD1

dari jamur berserabut Cochliobolus lunatus menunjukkan bahwa kofaktor disosiasi adalah reaksi yang paling lambat dan aktivitas katalitik mungkin dimodulasi oleh konsekuensi perbedaan penyesuaian lup ikatan substrat pada kofaktor dan ikatan substrat. Enzim dari keluarga SDR adalah khas sebagai dimers atau tetramer aktif, dan bekerja dengan enzim C. lunatus menunjukkan bahwa dimerisasi mungkin perlu untuk aktivitas ini (Thomas dan Potter, 2011).


(42)

Estrogenestradiol adalah yang paling kuat dan inhibisi produksi estradiol

bermanfaat pada pengobatan penyakit oestrogen-dependent. Inhibisi 17β-HSD1

mencegah produksi estradiol, meskipun bersama-sama penghambatan aromatase dan sulfatase steroid mungkin penting untuk mereduksi level estradiol secara banyak. Sejumlah steroidal dan non steroidal inhibisi telah disintesa mempunyai nilai IC50dalam jangkauan rendah (Thomas dan Potter, 2011).

Gambar 2. 9 Mekanisme Urutan Random bi-bi dari17β-HSD1. Mekanisme yang diyakini disukai ditampilkan dalam huruf tebal. E-enzim, E1-estrone,

E2-estradiol (Thomas dan Potter, 2011)

Gambar 2. 10Tempat berikatan substrat dari17β-HSD1. Nukleotida mengikat motif GxxxGxG dan residu yang ikut dalam katalisis ditampilkan dalam warna

hijau. NADH dalam warna ungu dan estradiol berwarna merah muda. Struktur elemen sekunder ditampilkan dalam warna abu-abu. Beberapa kemungkinan

ikatan hidrogen ditampilkan dalam garis putus-putus warna hitam (Thomas dan Potter, 2011)


(43)

2.3.2 Fungsi hormon estrogen

Estrogen mempunyai banyak peran didalam tubuh yaitu: pada reproduksi dan siklus haid, pada kanker payudara, perkembangan osteoartritis, pencegahan penyakit jantung, neuroprotection selama iskemia serebral dan pada multiple sklerosis, selera makan dan perilaku makan, metabolisme lemak, skizoprenia, autoimun, dan proses melihat dan mendengar. Estrogen bekerja memberikan pengaruhnya dengan beberapa cara. Pada “classic genome response” estrogen berikatan dengan reseptor estrogen intraselular spesifik (ERα dan ERβ), digabungkan oleh kombinasi estrogen reseptor ini dan ditranslokasikan ke nukleus, dimana mereka mengatur transkripsi target gen yang mengandung komponen estrogen responsif pada promotornya. Tetapi, reseptor estrogen yang sama ini juga menunjukkan berikatan dengan faktor transkripsi lain yang mempengaruhi ekspresi gen yang tidak mengandung komponen estrogen responsif pada promotornya, dan menggunakan jalur isyarat transduksi yang mengatur respon selular ke estrogen. Jalur isyarat transduksi dapat juga diaktifkan oleh ikatan estrogen ke membran permukaan sel yang terikat reseptor (Thomas dan Potter, 2011).

Estrogen merangsang proliferasi dan differensiasi sel, dimana penghambatan estrogen menyebabkan atropi disertai apoptosis pada organ reproduksi wanita dewasa seperti uterus dan vagina. Pemaparan dengan estrogen selama periode kritikal saat perkembangan awal merangsang prolifersi persisten

ovary-independent dan keratinisasi pada epitel vagina saat dewasa. Diethylstilbestrol (DES), suatu estrogen sintetik digunakan untuk mencegah


(44)

keguguran selama periode 1940 sampai dengan 1970 an, merangsang karsinoma

clear cell vagina dan abnormalitas uterus pada anak perempuan dari ibu yang terpapar DES selama kehamilan. Abnormalitas yang serupa dilaporkan pada tikus yang terpapar estrogen selama periode kritikal perinatal. Pada tikus wanita, berbagai macam abnormalitas seperti polyovular follicles, oviductal tumors, metaplasia uterine epitelial, keratinisasi dan stratifikasi persisten vagina, vaginal adenosis, dan karsinoma serviko-vaginal, disebabkan pemaparan estrogen perinatal termasuk DES. Proliferasi epitel vagina tetap ada meskipun setelah oovorektomi pada tikus dewasa yang terpapar dosis DES yang cukup selama periode neonatal awal (Thomas dan Potter, 2011).

Selama siklus estrous normal, proliferasi sel epitel vagina dan keratinisasi terjadi pada tahap estrous, dimana keratin 1 (K1) dan ekspresi reseptor progesteron dirangsang pada tahap proestrous. Pemaparan DES selama periode perkembangan kritikal menghasilkan perubahan respon terhadap estrogen di vagina, mengakibatkan terjadinya abnormalitas. Sel epitel gagal mengalami apoptosis walaupun telah dilakukan oovorektomi. Dan ekspresi persisiten dari berbagai macam gen terlihat pada proliferasi persisten vagina. Berkurangnya ekspresi estrogen reseptor (ER) mRNA dan ekspresi persisten daric-fosdanc-jun

mRNAs terlihat pada vagina tikus yang terpapar DES pada tahap neonatal, walaupun telah dilakukan oovorektomi. Posporilasi persisten dari reseptor erbB, termasuk reseptor epidermal growth factor (EGF), dan tetapnya ekspresi dari EGF-like growth factors ditemukan pada vagina tikus yag terpapar DES pada masa neonatal. Pemaparan neonatal pada fibroblast growth factor family,


(45)

keratinocyte growth factor (KGF), menyebabkan stratifikasi persisten epitel vagina. Induksi EGF oleh estrogen mungkin memegang peranan penting pada proliferasi sel epitel pada uterus dan vagina. Periode kritis untuk terjadinya induksi abnormalitas oleh estrogen pada perkembangan tikus bervariasi perorgan. Analisa dari perkembangan molekular berdasarkan critical sensitive window pada tiap organ adalah sangat untuk memahami etiologi dari perubahan persisten di organ reproduksi (Thomas dan Potter, 2011).

2.4 Ovorektomi

Ovorektomi adalah suatu tindakan pengangkatan ovarium. Dikerjakan pada saat operasi laparotomi dengan indikasi tertentu (Hoffman, dkk., 2012). 2.4.1 Tehnik ovorektomi

Jika adneksa akan dihilangkan, tuba dan ovarium dipegang dengan klem dan dijauhkan dari ligamen infundibulopelvikum (IP). Peritoneum bagian lateral diinsisi, dan insisi ini diperluas keatas dan ke lateral. Peritoneum bagian medial dari IP diinsisi terlebih dahulu sebagai bagian belakang dari broad ligament. Dengan ligamen IP yang sudah terisolasi, pasang klem disekitar ligamen. Bersama dengan utero-ovarian ligamen, dua klem diletakkan dibagian proksimal tempat yang akan diinsisi (Hoffman, dkk., 2012).

Setelah klem terpasang, ligamentum IP dipotong. Ligasi dilakukan dengan benang absorbable yang diletakkan lebih diproksimal dari kedua klem tadi. Setelah benang diikat sempurna, klem bagian proksimal bisa dibuka. Jahitan transfik kemudian dilakukan disekitar klem yang masih terpasang. Jahitan ini


(46)

dilakukan di proksimal dan distal dari jahitan pertama. Setelah ikatan selesai klem bisa dibuka (Hoffman, dkk., 2012).

Gambar 2. 11Tehnik Ovorektomi (Hoffman, dkk., 2012)

2.5Calcitonin Gene Related Peptide

Calcitonin pada dasarnya adalah neuropeptide, rantai tunggal polipeptida 32 asam amino dengan jembatan amino-terminal disulpide (antara posisi 1 dan 7) dan suatu amide proline carboxyl-terminal residu. Copp dan kawan-kawan pertama kali mengenali adanya faktor fast-acting hypocalcaemic yang kemudian mereka beri nama ‘calcitonin’. Kelompok Hammersmith kemudian mengkonfirmasi faktor baru ini, tetapi masih meragukan asal dari faktor ini. Tetapi akhirnya keraguan ini bisa di jelaskan ketika Munson dan kawan-kawan menunjukkan faktor hypocalcaemic yang sama bisa dihasilkan atau dilepaskan dari tiroid tikus. Meskipun banyak terdapat kontroversi, asal tiroidal plasma calcitoninakhirnya diketahui. Foster, Mac Intyre dan Pearse menunjukkan bahwa


(47)

sel yang kaya akan mitokondria dari tiroid anjing bertanggung jawab akan sekresi calcitonin. Sel parafollikular ini, pertama kali di gambarkan oleh Baber, disebut ‘sel c’ (calcitonin-producing cell) dan menunjukkan mengandung calcitonin immunoreactive. Pada embrio binatang pengerat, sel c berasal dari

ultimobranchial pouch. Pada burung, ikan dan reptil, sel ini menunjukkan ketahanan yang sama seperti ultimobranchial bodies selama kehidupan dewasa dan merupakan sumber yang kaya calcitonin. Pada mamalia, kebanyakan sel c berpindah menyatu dengan tiroid (Lars dkk., 2006).

Asal mula neural crest dari sel c berasal dari hipotesa Pearse dan kemudian dikonfirmasi pada manusia dan sub mamalian vertebra. Saat ini diketahui, selagi bermigrasi dari neural crest selama perkembangan, sel c seringkali terkumpul pada daerah selain tiroid dan ultimobranchial body. Bagian atau kelenjar dimana terdapat sel c dengan konsentrasi yang tinggi bervariasi pada spesies yang berbeda. Molekul seperti calcitonin ditemukan di kompleks neural dan traktus saluran makanan dari Ciona. Molekul ini mirip dengan yang terdapat pada manusia (Lars dkk., 2006).

Sintesa dari dua bentuk utama calcitonin ditemukan pada kelenjar

ultimobranchial ikan trout. Penelitian selanjutnya kemudian baru mengetahui bahwa ada suatu prekursor untuk calcitonin. In vitro translasi mRNA yang mengkoding calcitonin membuktikan adanya prekursor. Prekursor ditemukan pada bagian medula tiroid manusia dan kanker paru-paru dan pada transplantasi serial sel karsinoma medula tiroid tikus. Mungkin glikosilasi memegang peranan yang penting dalam menentukan kekhususan dari proses presekresi hormon


(48)

peptida. Struktur dari prekursor calcitonin diketahui jelas dengan aplikasi tehnologi rekombinan DNA. Calcitonin gene dari tikus dan manusia telah di gandakan dan di rangkaikan dengan strategi yang serupa, termasuk pembuatan plasmid yang mengandung rangkaian DNA melengkapi calcitonin mRNA, disuling dari sel c tumor. Rangkaian analisis mengungkapkan bahwa prekursor calcitonin pada manusia mengandung 135 asam amino residu. Dua puluh lima residu yang pertama merupakan rangkaian yang bertingkat, yang menentukan sekresi. Rangkaian 32 amino-acid diapit peptida tersamar. Carboxy-terminal

manusia dan tikus diapit peptida-peptida yang terdiri atas 21 (katalacin) dan 16 asam amino residu masing-masing, hanya 8 residu yang umum bagi kedua peptida. Fungsi dari peptida yang tersamar ini, tidak diketahui. Residu dasar terbanyak (Lys-Arg dan Gly-lys-Lys-Arg) yang mengapit rangkaian calcitonin adalah bagian pembelahan proteolytic post-translational. Pengolahan ini menyimpang pada beberapa deretan sel tumor. Selanjutnya, residu glysin

disebelah residu proline dari rangkaian calcitonin berfungsi sebagai donor amino (Lars dkk., 2006) .

Selama penelitian dengan transplantasi serial di medula tiroid tikus sel karsinoma pada kultur, kelompok Rosenfeld mengamati perubahan yang permanen dan spontan dari produksi yang tinggi dan rendah calcitonin. Calcitonin yang berhubungan dengan mRNA ditemukan diganti dengan ca. 200 nukleotida mRNA yang lebih panjang. Ini dikatakan menyandikan suatu protein (Mr 16000) yang tidak mengandung calcitonin immunoreactive. Analisa genomik DNA dan RNA menyatakan bahwa calcitonin tikus yang berhubungan dengan mRNA


(49)

menyandikan 128 asam amino polipetida prekursor. Molekul terakhir mengandung 37 asam amino pembelahan peptida,calcitonin gene-related peptide (CGRP), dipisahkan dari terminal carboxylnya dari tetra peptida oleh rangkaian

Gly-Arg-Arg-Arg. Pada terminal aminonya, diapit oleh residu Lys-Arg, memisahkannya dari peptida yang lebih besar yang serupa dengan peptida amino-terminal dari prekursor calcitonin (Lars dkk., 2006).

Alpha-calcitonin gene terdapat pada lengan pendek dari kromosom 11 diantara katalase dan gen hormon paratiroid. Terdiri dari 6 exon, jika di ulur mengandung lebih dari 6.5 kilobases DNA. Tiga exon pertama umum untuk calcitonin dan CGRP mRNA. Exon ke empat mengandung rangkaian calcitonin dan katacalcin, sama seperti rangkaian yang tidak ditranslasi, pada akhir dimana biasanya polydenylation memberi tanda AATAAA. Exon ke lima mengandung rangkaian CGRP. Exon ke enam bagian dari transkripsi CGRP. Tidak di translasi dan berakhir sebagai cadangan signal polydenylation ATTAAA. Calcitonin dan CGRP mRNAs mengandung 5’ non-coding dan coding area yang identik. Pada laki-laki 225 nukleotida pertama yang berisi informasi coding (75 asam amino) adalah identik pada baik calcitonin dan CGRP mRNAs. Bagian ini dibedakan oleh 44 nukleotida dengan bagian yang sama pada rangkaian tikus. Rangkaian dari calcitonin dan CGRP mRNAs kemudian berbeda secara keseluruhan, tetapi berlanjut dengan reading frames yang terbuka. Titik perbedaan ini berhubungan dengan persimpangan sambungan genomic. Rangkaian nukleotida dari tikus dan manusia CGRP mRNAs dibedakan dengan 7 silent dan 4 replacement substitutions. Berbeda dengan calcitonin mRNAs tikus dan manusia yang


(50)

mempunyai 7 silent dan 2 replacement substitutions. Telah ditentukan bahwa multipel mRNAs dapat dihasilkan dari transkripsi tunggal beberapa bagian viral dan gen-gen eukaryotic. Rosenfeld mengemukakan bahwa calcitonin dan CGRP mRNAs dihasilkan dari penyambungan yang berbeda dari transkripsi seluruh gen. Dikatakan bahwa sintesis calcitonin dan CGRP mRNAs mulai dari tempat yang umum. Analisis dari distribusi transkripsi yang baru melewati gen menunjukkan tidak ada perbedaan antara nuklei yang disiapkan dari tumor yang membuat calcitonin mRNA atau CGRP mRNA. Transkripsi menunjukkan berlanjut melalui calcitonin dan CGRP exon pada angka yang sama dan berakhir 1 kilobase dihilir exon ke enam. Dikatakan juga bahwa polydenylation mendahului dan ditentukan oleh pilihan penyambungan. Akhir-akhir ini terdapat suatu alternatif proses, dimana polydenylation pada tempat calcitonin biasanya diikuti pembuangan

introns. Solnick pada tahun 1985 melaporkan suatu alternatif penyambungan secara in vivo dan in vitro karena susunan DNA sekunder. Perbedaan penyambungan exon ditunjukkan pada kasus gen insulin-like growth factor I. Mekanisme penentu yang mana merupakan mRNA matur yang dihasilkan tidak diketahui. Salah satu kemungkinannya adalah pada sel yang memproduksi calcitonin, ada faktor yang terikat dengan transkripsi utama pada atau dekat di depan exon lima. Ini mencegah penyambungan dari exon 3 ke exon 5. Ke empat exon pertama oleh karena itu tersambung bersama dan polydenylated setelah exon ke empat. Pada sel yang menghasilkan CGRP hal ini tidak ada. Salah satu dari penyambungan exon 3 ke exon 5 disokong secara termodinamis, atau ada faktor


(51)

lain mengikat dekat atau pada exon 4 mencegah penyambungan exon 3 ke exon 4. (Lars dkk., 2006).

Hanya sedikit yang diketahui tentang faktor-faktor yang mengatur transkripsi dan penyambungan dari sistim calcitonin/CGRP. Dikatakan terdapat rangkaian reseptor kortikosteroid di dekat gen. Adanya pendapat yang menyatakan bahwa ekspresi gen dikendalikan post-transkripsional oleh kalsium dan pada tingkat transkripsi oleh vitamin D, belum bisa ditetapkan. Dosis vitamin D yang digunakan tidak fisiologis. Siklik AMP dan phorbol esters diketahui mempengaruhi differensiasi sel karsinoma medula tiroid dengan peningkatan calcitonin dan ekspresi CGRP diikuti penurunan pada transkripsi c-myc dan sintesa DNA. Suatu pendekatan yang mungkin dilakukan untuk mengetahui pengaturan calcitonin/CGRP gen adalah memasukkan struktur gen spesifik yang dikloning kedalam oosit yang di fertilisasi dan memelihara tikus transgenik (Lars dkk., 2006).

Calcitonin pertama kali diisolasi dari tiroid babi. Usaha pertama untuk mengisolasi calcitonin pada manusia dari tiroid manusia yang normal gagal. Segera disadari bahwa karsinoma tiroid pada bagian medula mengandung 5000 kali calcitonin daripada tiroid normal. Menggunakan jaringan ini sebagai bahan awal, peptida diisolasi dalam bentuk dan rangkaianmonomeric(calcitonin-M) dan dimeric (calcitonin-D). Sejak saat itu, sejumlah besar calcitonin pada mamalia dan submamalia telah diisolasi, dirangkai dan disintesa. CGRP pertama kali diisolasi dari jaringan dan rangkaian karsinoma tiroid bagian medula menggunakan fast atom bombardment mass spectrometry. Penelitian ini memperoleh bukti yang


(52)

tepat keberadaan peptida yang diperkirakan dan menetapkan keberadaannya pada manusia (Lars dkk., 2006).

Calcitonin adalah rantai tunggal polipeptida 32 asam amino dengan jembatan amino-terminal disulpide (antara posisi 1 dan 7) dan suatu amide proline carboxyl-terminal residu. Delapan residu (posisi 1, 4, 5, 6, 7, 9, 28 dan 32) telah diketahui invariant. Istilah ini diketahui mendekatkan konfigurasi yang renggang dan sepertinya amide, pemendekan carboxyl-terminal end, pembukaan cincin amino-terminal, pemecahan ikatan disulfida atau oksidasi dari metionin (posisi 8 pada calcitonin manusia). Modifikasi ini diketahui tidak untuk mengubah aktivitas biologi termasuk oksidasi dari metionin (posisi 25 pada calcitonin porcine, bovine

atau ovine) atau penggantian jembatan disulfida pada calcitonin belut dengan rangkaian etilin 9 (C-C). Modifikasi penggantian ini cenderung untuk meningkatkan homologi dengan calcitonin salmon menunjukkan peningkatan kekuatan. Malah akhir-akhir ini terkesan bahwa untuk memberikan ‘long-range’ interaksi reseptor-peptida dan perubahan bentuk pada molekul reseptor-bound, kelenturan bentuk molekul itu sendiri secara bermakna mempengaruhi aktivitas biologinya. Penggantian calcitonin salmon dengan asam amino hanya sedikit mempengaruhi rantai samping (valin dengan glisin pada posisi 8 atau leusin dengan alanin pada posisi 16). Hal ini menunjukkan peningkatan kelenturan molekul dengan penurunan kecenderungan untuk membentuk struktur helical. Pada CRGP (α) didapatkan berbeda dari rangkaian α tikus yang diperkirakan dengan adanya pergantian 4 asam amino (posisi 1, 3, 25 dan 35). Pada CRGP β manusia didapatkan perbedaan dari bentuk α oleh adanya 3 asam amino (posisi 3,


(53)

22, dan 25). Dua dari tiga residu (posisi 3 dan 25) juga telah di modifikasi pada tikus CGRP β: salah satu dari ini digantikan dengan asam amino (aspargin). Empat peptida di katakan mempunyai efek yang serupa pada kuping tikus yang diisolasi, aliran darah pada kulit kelinci dan pada sisitim osteoklas yang diisolasi. Terdapat sekitar 30 % homologi stuktural antara struktur peptida CGRP dan calcitonin salmon. Ini menjelaskan adanya reaksi silang yang dibagi bersama antara satu peptida dan reseptor yang lain. Yang lebih penting lagi, terdapat kesan bahwa CGRP dapat mencapai konfigurasi yang sama dengan calcitonin salmon, ukuran sama, adanya amidated terminal carboxyl residu dan jembatan amino terminal disulfida. Penelitian terakhir pada interaksi reseptor peptida menekankan bahwa molekul dengan relatif kecil rangkaian homologi dapat mempunyai kesesuaian yang sama dengan kompleks membran-reseptor (Lars dkk., 2006).

Lokasi CGRP-like immunoreactivity adalah sepanjang traktus urogenital tikus dan traktus urinarius dari babi guinea. CGRP yang kaya serabut saraf dikatakan menyokong pembuluh darah, otot halus non vaskular (ureter, kandung kencing, uterus), epitel skuamus (tuba fallopi), dan jaringan penyambung (ovarium, serviks, vagina, ureter, kandung kencing). Distribusi peptida ini serupa seperti substansi P. Sebagai tambahan, beberapa serabut simpatis juga mengandung CGRP. Serabut immunoreactive-CGRP, mencapai traktus urinarius melalui serabut hipogastrik dan pelvik. Tingkat CGRP (tertinggi di ureter dan trigonum kandung kencing) dikatakan lebih tinggi daripada neuropeptida yang lain, kecuali neuropeptida Y (Lars dkk., 2006).


(54)

Daya ikat yang tinggi pada tempatnya untuk calcitonin, dihubungkan dengan adenylate cyclase, bisa diperlihatkan dengan metode biokimia dan autoradiografik, menggunakan seluruh bagian tulang, selaput yang disiapkan, atau kultur osteoklast. Akhir-akhir ini, reseptor calcitonin ditandai, untuk pertama kalinya, pada osteoklast tikus yang diisolasi. Osteoklast berespon dengan calcitonin sesuai dengan dosis meningkatkan tingkat siklik AMP. Suatu komponen reseptor mempunyai relatif berat molekul mendekati 80000. Kepadatan reseptor calcitonin pada osteoklast (106 per sel) adalah sesuai hanya dengan reseptor epidermal growth factor pada sel epidermoid karsinoma. Arti secara fisiologis dari sejumlah besar reseptor masih harus diteliti, seperti bagaimana apa yang menyebabkan hilangnya reseptor calcitonin, reseptor downregulation, hilangnya homologous terdesentisasi dan aktivasi persisten adenylate cyclase. Pada penelitian yang lebih luas pada sel yang bukan tulang, reseptor calcitonin ditemukan pada ginjal, otak, insang ikan, paru-paru babi, sel limfoid, dan kanker paru pada manusia dan sel kanker payudara (Ghatta, Nimmagadda, 2004; Lars dkk., 2006).

Reseptor CGRP telah dipetakan secara luas diseluruh sistem saraf pada manusia dan tikus. Tempat yang mempunyai daya ikatan yang paling tinggi ditemukan di daerah serebelum (molekular dan lapisan Purkinje) dan spinal cord (terutama substansia gelatinosa), termasuk pia mater dan pembuluh darah. Terdapat suatu tumpang tindih antara penyebaran susunan CGRP immunoreaktif dan tempat berikatannya, mengesankan adanya keterlibatan luas dari CGRP pada berbagai fungsi otak. Terlebih lagi terdapat sejumlah tempat berikatan untuk


(55)

salmon, bukan manusia, calcitonin, terutama di dorsomedial dan anterior hypothalamus. Anterior hypothalamus mempunyai hanya sedikit ikatan dengan CGRP. Sebaliknya, tempat berikatan CGRP yang tinggi ditemukan terbatas pada tempat dimana hanya sedikit reseptor salmon calcitonin (serebelum, medial geniculate body, mammilalary body dan hypothalamic lateral dan nukleus

vestibular). Kedua peptida ini diketahui bereaksi silang terhadap reseptor satu sama lain, pada konsentrasi 1000 kali lebih tinggi. Kemampuan relatif CGRP dan calcitonin manusia untuk bereaksi pada reseptor calcitonin salmon mengindikasikan bahwa CGRP bisa berperan sebagai ligan endogenous untuk reseptor calcitonin di sisitem saraf sentral. Sebaliknya, reseptor CGRP dari sistim saraf sentral sepertinya tidak terhubung dengan adenylate cyclase. Hal ini mungkin berhubungan dengan tingginya aktivitas basal cyclaseyang menurunkan sensitivitas dari sistim pengujian. Kemungkinan lain, reseptor mungkin terhubung dengan second messenger yang lain. CGRP dapat menstimulasi aktivitas adenylate cyclase dengan cara bereaksi silang pada reseptor calcitonin pada lebih dari satu jaringan. Reseptor CGRP juga ditemukan pada bagian intima dan media pembuluh darah, terutama di coronary, superior mesenteric, femoral, distal limb

dan di bagian lain dari arteri viseral dan atrium, ventrikel dan katup jantung. Ditemukan suatu stimulasi yang bermakna dari siklik AMP ketika kultur sel endotelial otot halus aorta tikus atau manusia atau sapi diinkubasi dengan CGRP. Tidak seperti jaringan lain, calcitonin tidak bereaksi silang dengan reseptor CGRP pada pembuluh kardiovaskular. Pada tahun 1985 ditemukan adanya reseptor spesifik untuk CGRP pada sel asinar pankreas. Interaksi CGRP dengan reseptor


(56)

ini menyebabkan pelepasan amilase. Secara fisiologis, CGRP dilepaskan ke sirkulasi insuloasinar dari pulau-pulau Langerhans, untuk menstimulasi sekresi ensim melalui sistim siklik AMP-mediated. Reseptor CGRP yang dihubungkan dengan siklik AMP juga ditemukan dibagian limpa (Ghatta, Nimmagadda, 2004; Lars dkk., 2006).

Pengaruh calcitonin pada fungsi saraf hanya sedikit yang diketahui. Peptida ini dikatakan mempengaruhi antikolinergik, antihistamin dan pengaruh negatif pada miotropik. Telah didalilkan bahwa CGRP mungkin merupakan suatu neurotransmitter sensoris. Ini dibuktikan dengan penyebarannya (pada lamina mengandung neuron yang responsif terhadap rangsangan noxious dan innocuous

dan pada ganglia memberikan peningkatan serabut aferen ke C dan A), lokalisasi yang sama dengantachykinindan terkuras bersamacapsaicin(Lars dkk., 2006).

Perannya sebagai neurotransmitter autonomik kemungkinan berdasarkan kemunculannya di ganglia autonomik dan berlimpahnya CGRP yang kaya persarafan pada kardiovaskular, gastrointestinal, urogenital dan sistem sensori spesial. Arti dari CGRP pada visceral dan relay motor somatik merupakan bukti penyebarannya pada motor neuron ventral susunan saraf spinal, motor nuklei fasial dan saraf hypoglossal dan nukleus ambiguus (bagian kaudal). Peptida ini juga berlokasi di motor end plate otot bergaris pada lidah dan esofagus. Ditemukan juga bahwa CGRP berlokasi di vesikel (diameter 40-60 nm) pada akson terminal sinaptik melewati neuromuskular junction. Peptida ini meningkatkan kontraksi diafragma, mungkin melalui reseptornya sendiri. Akhir-akhir ini, dilaporkan bahwa CGRP dilepaskan dari terminal motor saraf mengatur


(1)

jumlahnya banyak di striatum dan medula adrenal, (3) diserap oleh alumina, (4) aktivitasnya labil pada pH alkaline, (5) dapat diganti dengan katekolamin seperti dopamin, norepineprin, dan epineprin untuk membuat TH inaktif, (6) pH profil aktivitas TH diinaktifkan oleh fraksi‘acid-soluble’ sama dengan inaktivasi enzim oleh dopamin, dan (7) HPLC analisis menunjukkan bahwa fraksi ‘acid-soluble’ mengandung sejumlah banyak dopamin. TH biasanya ada dalam bentuk inaktif di otak, menunjukkan tidak ada aktivitas pada pH fisiologikal, yang dihasilkan oleh kerja katekolamin, dan inaktivasi ini bisa dicegah dengan pemberian asam. Inaktivasi TH oleh katekolamin dan pemulihan aktivitas dengan pemberian asam dapat diulang tanpa kehilangan yang signifikan dari aktivitas. Kedua bentuk inaktif dari TH karena katekolamin dan bentuk yang diinaktifkan oleh katekolamin bisa dihilangkan dengan pemberian asam yang diaktifkan oleh PKA, dan memperlihatkan aktivitas tinggi yang sama pada nilai pH fisiologis. Yang menarik, katekolamin tidak hanya menjadi inaktif tapi juga menstabilkan TH. Ketika TH yang dimurnikan diinkubasi pada keadaan ada atau tidak ada dopamin pada suhu 300C, timedependent loss activity terjadi pada pH 5, dimana baik bentuk aktif dan inaktif dari enzim menunjukkan aktivitas yang sama seperti di atas, ini bisa dicegah dengan adanya dopamin. Jadi TH dikonversi kebentuk inaktif/stabil oleh produk akhirnya. Pada penyelidikan dasar dari reaksi inaktivasi TH oleh dopamin didapatkan bahwa: (1) merupakan reaksi yang tergantung waktu dan suhu, (2) reversibel, (3) terjadi pada kondisi anaerob sama seperti pada kondisi aerob, (4) dopamin tidak dipakai selama reaksi, (5) dopamin tidak berikatan dengan bentuk inaktif enzim. Ketika TH diinkubasi dengan dopamin


(2)

dalam jumlah equimolar dengan subunit enzim, dan dipaparkan ke filtration gel padaBio-gel P-10, aktivitas enzim diuraikan dalam jumlah sama dengan dopamin sama seperti yang diuraikan dalam kontrol penelitian yang dilakukan tanpa TH yang diuraikan, ini berarti bahwa penambahan dopamin tidak berikatan ke enzim. Dopamin yang diuraikan dalam jumlah sama mungkin tidak secara spesial berikatan dengan serum albumin bovine yang ditambahkan untuk menstabilisasi enzim. Pemulihan aktivitas TH pada pH 5 adalah 94 % tetapi pada pH 7 hanya sebesar 7 %, berarti sebagian besar enzim dalam campuran dikonversi ke bentuk inaktif. Sebaliknya, pada kontrol penelitian tanpa dopamin, pemulihan aktivitas pada pH 5 dan 7 adalah 72 % dan 64 %, masing-masing, ini berarti sebagian besar enzim tetap tidak berubah. Enzim ini hanya kehilangan 6 % dari aktivitasnya pada pH 5 setelah inkubasi dengan TH. Dengan dasar penelitian ini, mungkin bahwa dopamin mengkonversi TH ke bentuk inaktif/stabil, beraksi seperti katalis. Sebaliknya didapatkan bahwa TH diinaktikan oleh inkubasi dengan katekolamin tidak menahan katekolamin yang ditambahkan ke campuran yang diinaktifasi, secara umum diterima bahwa dopamin berikatan kuat dengan ferric iron pada tempat TH yang aktif untuk menghasilkan bentuk ‘blue green’inaktif dari enzim. Akan tetapi, pengamatan menunjukkan bahwa bentuk inaktif TH dihasilkan oleh inkubasi dengan sejumlah equimolar dopamin yang berikatan secara tidak signifikan dengan dopamin dan bahwa dopamin berikatan dengan TH dengan stoichiometry sangat rendah, ini berarti bahwa dopamin yang terlibat dalam inaktivasi TH tidak terbatas pada enzim. Di lain pihak, fakta bahwa preparat TH yang dimurnikan dari medula adrenal tikus mengandung 0,03 mol norepineprin,


(3)

0,10 mol epineprin, dan 0,08 mol dopamin/mol subunit dari enzim (total dari 0,21 mol dari katekolamin/mol subunit dari enzim), dan bahwa preparat TH yang dimurnikan dari medula adrenal bovine mengandung 0,11 mol norepineprin dan 0,25 mol epineprin/mol subunit dari enzim (total dari 0,36 mol katekolamin/mol subunit dari enzim) artinya bahwa jumlah yang berarti dari katekolamin berikatan kuat ke enzim. Karena TH tikus adalah homotetramertersusun dari subunit yang identik, dan tiap polipeptida memasuki tempat aktif, jumlah katekolamin yag berikatan kuat lebih sedikit daripada ditempat aktif enzim. Meski peranan dari ikatan kuat katekolamin dalam regulasi aktivitas TH masih tidak jelas, sepertinya tidak mungkin terlibat dalam inaktivasi TH oleh katekolamin seperti dijelaskan di atas. Menariknya, Kaufman dan rekan-rekannya berspekulasi bahwa hanya satu dari monomers dalam tetrameric enzim yang mengikat dopamin dengan afinitas tinggi, entah karena bentuk dari tetramer atau karena negatif cooperativity (Fujisawa dan Okuno, 2005). Gen TH terletak pada lengan pendek kromosom 11p15.5 yang terdiri atas 10k pasang basa. Protein ini berupa polipeptida yang terdiri atas asam amino. Secara struktural dan fungsional, TH terdiri atas 14 exon (Kessler dkk, 2003; Robert dan Anna, 2011).


(4)

Immunostaining pada TH binatang kontrol menampakkan positip TH, agaknya adrenergik, serabut saraf melalui dinding vagina. Secara keseluruhan, pola dari serabut sama seperti yang terlihat pada serabut yang positip PGP 9.5, tetapi mayoritas serabut sarat yang positip TH terdapat di muskularis, dibandingkan di lamina propria. Tambahannya, tidak ada serabut positip TH intra epitel. Pemberian hormon steroid memberikan efek yang sama pada positip TH, serabut adrenergik seperti pada serabut PGP 9.5 yang di immunostaining. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada densitas panjang serabut binatang yang di oovorektomi ketika dibandingkan kontrol. Pemberian estradiol dan progesteron, tersendiri atau di kombinasikan, tidak berefek pada densitas panjang serabut, tidak juga berbeda pada binatang yang menerima kombinasi estradiol dan testoteron. Satu-satunya perbedaan yang signifikan terdapat pada inervasi adrenergik yang terjadi pada kelompok yang menerima testoteron saja. Pada binatang ini, terdapat peningkatan densitas panjang dari serabut saraf immunoreaktif TH, meskipun distribusi dari saraf tidak bervariasi dibandingkan yang dilihat pada kontrol yang tidak dioperasi (Monica dkk., 2006).


(5)

2. 8 Neurotransmiter 2. 8. 1 Pengertian

Neurotransmiter adalah bahan kimia endogenous yang meneruskan, menguatkan dan memodulasi signal diantara neuron dan sel yang lain. Neurotransmiter dikemas dalam vesikel sinaptik yang terkelompok di bawah membran pada sisi presinaptik dari sinap, dan dilepaskan ke celah sinap, dimana kemudian berikatan dengan reseptor pada membran di sisi postsinaptik dari sinap. Pelepasan dari neurotransmiter biasanya mengikuti aksi potensial pada sinap, tetapi dapat mengikuti potensi elektrical. Pelepasan low level “baseline” dapat juga terjadi tanpa stimulasi elektrical (Neurobiology and cognitive sciences, 2013).

Menurut keyakinan yang berlaku pada tahun 1960 an, suatu bahan kimia dapat diklasifikasikan sebagai neurotransmiter jika memenuhi kriteria sebagai berikut (Neurobiology and cognitive sciences, 2013):

1. Ada prekursor dan atau sintesis enzim yang terdapat di sisi presinap dari sinap. 2. Bahan kimia ada pada komponen presinap.

3. Tersedia dalam jumlah cukup pada neuron presinap untuk mempengaruhi neuron postsinap.

4. Terdapat reseptor postsinap dan bahan kimia tersebut dapat berikatan dengannya.


(6)

2. 8. 2 Beberapa jenis neurotransmiter

Neurotransmiter utama:

1. Asam amino: glutamat, aspartat, serine, asam γ-aminobutirik (GABA), glisin

2. Monoamino: dopamin (DA), norepineprin (noradrenalin; NE, NA), epineprin (adrenalin), histamin, serotonin (SE, 5-HT), melatonin.

3. Asetilkolin (Ach), adenosin, anandamin, nitrik oksid, dan lain-lain.

Sebagai tambahan, lebih dari 50 neuroaktif peptida telah ditemukan. Banyak dari ini adalah dilepaskan bersama dengan molekul kecil transmiter, tetapi pada beberapa kasus suatu peptida adalah transmiter utama pada sinap.

Ion tunggal, seperti zinc yang dilepaskan di sinap, dikatakan sebagai neurotransmiter juga, sama seperti beberapa molekul gas seperti nitrit oksid (NO) dan karbon monoksida (CO) (Neurobiology and cognitive sciences, 2013).

2. 8. 3 Fungsi neurotransmiter

Aksi langsung yang utama dari neurotransmiter adalah mengaktifkan reseptor. Oleh karena itu, efek dari sistim neurotransmiter tergantung pada hubungan dari neuron yang menggunakan transmiter, dan sifat kimia dari reseptor dimana transmiter berikatan (Neurobiology and cognitive sciences, 2013).


Dokumen yang terkait

Perbandingan Ekspresi Serabut Saraf Endometrium Wanita Endometriosis Dengan Non Endometriosis Menggunakan Protein Gene Product 9.5

0 83 92

KOMPETI SI MATEMATIKA KEXX VIKls .9

0 45 4

Pengaruh Pemberian Estrogen Terhadap Kadar mRNA Calcitonin Gene Related Peptide Serta Ekspresi Protein Gene Product 9.5 dan Tyrosine Hydroxylase Pada Epitel Mukosa Vagina Tikus Wistar Yang Dilakukan Ovorektomi Bilateral.

2 11 84

PEMBERIAN KOMBINASI ESTROGEN PROGESTERON DAN TESTOSTERON MENINGKATKAN EKSPRESI MESSENGER RIBONUCLEAIC ACID (mRNA) RESEPTOR ESTROGEN ALPHA DAN ANDROGEN PADA VAGINA TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus) DEWASA YANG DIOVAREKTOMI.

0 0 64

EFEK EKSTRAK PAGAGAN (CENTELLA ASIATICA) TERHADAP EKSPRESI RESEPTOR ESTROGEN,TGF , HSP 70, KOLAGEN DAN PROLIFERASI EPITEL PADA DINDING VAGINA. Studi Eksperimental Pada Tikus Rattus Norvegicus Strain Strain Wistar yang Dilakukan Ov.

0 1 1

Hubungan Ekspresi Imunohistokima Protein Gene Product (PGP9.5) dengan Derajat Histopatologi Adenokarsinoma Kolorektal

0 0 5

Hubungan Ekspresi Protein Gene Product (PGP9.5) dalam sel Cancer Associated Fibroblasts (CAFs) dengan Derajat

0 0 7

Hubungan Ekspresi Protein Gene Product (PGP9.5) pada Lapisan Endometrium dan Jaringan Endometriosis di Ovarium

0 0 8

Hubungan Ekspresi Imunohistokimia Protein Gene Product (PGP9.5) dengan Derajat Histopatologi Tipe Adenokarsinoma Serosum dan Musinosum Ovarium

0 0 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Endometrium - Perbandingan Ekspresi Serabut Saraf Endometrium Wanita Endometriosis Dengan Non Endometriosis Menggunakan Protein Gene Product 9.5

0 0 36