PEMBERIAN KOMBINASI ESTROGEN PROGESTERON DAN TESTOSTERON MENINGKATKAN EKSPRESI MESSENGER RIBONUCLEAIC ACID (mRNA) RESEPTOR ESTROGEN ALPHA DAN ANDROGEN PADA VAGINA TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus) DEWASA YANG DIOVAREKTOMI.

(1)

i

TESIS

PEMBERIAN KOMBINASI ESTROGEN

PROGESTERON DAN TESTOSTERON

MENINGKATKAN EKSPRESI MESSENGER

RIBONUCLEAIC ACID (mRNA) RESEPTOR ESTROGEN

ALPHA DAN ANDROGEN PADA VAGINA TIKUS

WISTAR (Rattus norvegicus) DEWASA YANG

DIOVAREKTOMI

LUH YENNY ARMAYANTI NIM 1490761003

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(2)

ii

TESIS

PEMBERIAN KOMBINASI ESTROGEN

PROGESTERON DAN TESTOSTERON

MENINGKATKAN EKSPRESI MESSENGER

RIBONUCLEAIC ACID (mRNA) RESEPTOR ESTROGEN

ALPHA DAN ANDROGEN PADA VAGINA TIKUS

WISTAR (Rattus norvegicus) DEWASA YANG

DIOVAREKTOMI

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik,

Program Pascasarjana Universitas Udayana

LUH YENNY ARMAYANTI NIM 1490761003

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL

Pembimbing I

Prof. Dr.dr Wimpie I. Pangkahila, SpAnd., FAACS NIP. 194612131971071001

Pembimbing II

Prof. Dr. dr. Nyoman Mangku Karmaya, M.Repro NIP. 194612311969021001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Magister Ilmu Biomedik Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc., Sp.GK NIP.195805211985031002

Direktur Program Pascasarjana Unuversitas Udayana

Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 195902151985102001


(4)

iv

Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai

oleh Panitia Penguji pada Program Pascasarjana Universitas Udayana

Pada Tanggal

Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana

No:

Tanggal

Ketua : Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS

Anggota :

1. Prof. Dr. dr. Nyoman Mangku Karmaya, M.Repro

2. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.SC., Sp.And

3. Prof. dr. IGM. Aman, Sp.FK


(5)

v


(6)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi

Wasa/Tuhan Yang Maha Esa karena atas asung dan waranugraha-Nya tesis yang

berjudul” Pemberian Kombinasi Estrogen Progesteron dan Testosteron

Meningkatkan Ekspresi Messenger Ribonucleaic Acid (mRNA) Reseptor

Estrogen Alpha dan Androgen pada Vagina Tikus Wistar (Rattus Norvegicus)

Dewasa Yang Diovarektomi” ini dapat diselesaikan dengan baik.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan rasa hormat,

penghargaan, dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD selaku Rektor Universitas

Udayana atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk

mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas

Udayana.

2. Prof. Dr. dr. Putu Astawa. M.Kes, Sp.OT, FICS selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan

kepada penulis untuk menempuh pendidikan di Universitas Udayana.

3. Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) selaku Direktur program

Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada

penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister Pascasarjana

Universitas Udayana.

4. Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc., Sp.GK., selaku Ketua


(7)

vii

atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa

Program Studi Ilmu Biomedik (IKR).

5. Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And., FAACS., selaku Pembimbing I

yang telah banyak memberikan bimbingan, dorongan, semangat, dan

masukan kepada penulis selama penyusunan tesis.

6. Prof. Dr. dr. Nyoman Mangku Karmaya, M.Repro selaku Pembimbing II

yang telah banyak memberikan bimbingan, dorongan, semangat, dan

masukan kepada penulis selama penyusunan tesis.

7. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.SC., Sp.And selaku penguji yang telah

banyak memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis dalam

penyusunan tesis ini.

8. Prof. dr. IGM. Aman, Sp.FK selaku penguji yang telah banyak memberikan

bimbingan dan masukan kepada penulis dalam penyusunan tesis ini.

9. Dr. dr. Bagus Komang Satriyasa, M. Repro selaku penguji yang telah

banyak memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis dalam

penyusunan tesis ini.

10. Dr. I. G. N. Sri Wiryawan, M. Repro selaku Kepala Bagian Histologi

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana atas ijin yang diberikan untuk

melakukan penelitian di Laboratorium Histologi.

11. dr. IGK. Nyoman Arijana, Msi.Med., yang telah banyak membantu dalam


(8)

viii

12. Para dosen pengajar Magister Ilmu Biomedik, teman-teman sependidikan,

dan seluruh staf bagian Biomedik, atas bimbingan, ilmu dan bantuan yang

diberikan selama ini.

13. Orang tua terkasih, adik tercinta atas dukungan baik moral dan financial

serta doa yang telah diberikan.

14. Gede Arna Jude Saskara, ST., MT atas doa, bantuan dan semangat yang

diberikan.

15. Sahabat-sahabat seperjuangan Cynthia, Mb Ayu, Arik atas semangat,

bantuan dan kerja samanya selama penyusunan tesis.

16. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Tak lupa dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan permohonan

maaf apabila terdapat kekurangan dalam penyusunan tesis ini dan penulis

mengharapkan kritik serta saran yang membangun demi kesempurnaan tesis ini.

Penulis berharap tesis ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi

penulis pribadi, bagi pembaca dan seluruh pihak yang berkepentingan.

Denpasar,

Penulis


(9)

ix

ABSTRAK

PEMBERIAN KOMBINASI ESTROGEN PROGESTERON DAN TESTOSTERON MENINGKATKAN EKSPRESI MESSENGER

RIBONUCLEAIC ACID (mRNA) RESEPTOR ESTROGEN ALPHA DAN

ANDROGEN PADA VAGINA TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus)

DEWASA YANG DIOVAREKTOMI

Pada wanita menopause akan muncul berbagai masalah kesehatan yang disebabkan oleh menurunnya sekresi hormon ovarium seperti estrogen, progesteron dan testosteron. Masalah kesehatan tersebut meliputi vagina menjadi kering, atrofi, dypareunia, serta gangguan bangkitan seksual. Pemberian Hormone Replacement Therapy sudah diketahui secara luas dapat meningkatkan integritas vagina pada multipel sel didalam berbagai lapisan (epitelium, lamina propria, dan muscularis), tetapi mekanisme bagaimana hormon dapat meningkatkan integritas vagina masih belum diketahui secara jelas. Kemungkinan terjadi perubahan pada

ekspresi reseptor hormon seks steroid (ERα dan AR). Penelitian ini bertujuan

untuk membuktikan bahwa kombinasi estrogen progesteron dan testosteron meningkatkan ekspresi messenger ribonucleaic acid (mRNA) reseptor estrogen alpha dan reseptor androgen pada tikus wistar (Rattus norvegicus) dewasa yang diovarektomi

Penelitian ini menggunakan rancangan True Experimental – Post Test Only Control Group Design yang dilakukan di Laboratorium Histologi Universitas Udayana dengan menggunakan 36 ekor Tikus Wistar dewasa (Rattus norvegicus) yang diovarektomi. Tikus dipilih secara random, kemudian dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama sebanyak 18 ekor (kontrol) diberikan 2,9 ml aquades per hari sedangkan kelompok kedua sebanyak 18 ekor (perlakuan) diberikan terapi hormon kombinasi estrogen (11µg/hari), progesteron (180 µg/hari) dan testosteron (360 µg/hari) dalam 2,9 ml aquades. Pada hari ke-31,

tikus diterminasi dan diambil jaringan vagina. Ekspresi mRNA ERα dan AR akan

diukur dengan menggunakan metode real time PCR.

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata ekspresi mRNA ERα pada kelompok kontrol adalah 0,39±0,22 ng/µl dan pada kelompok perlakuan adalah 4,05±0,82 ng/µl . Ekspresi mRNA AR pada kelompok kontrol adalah 7,01±1,34 pg/µl dan 7,01±1,34 pg/µl. Analisis perbedaan rerata dengan t-independence test pada data

ekspresi mRNA ERα dan AR posttest menunjukkan hasil yang berbeda secara

bermakna dengan nilai p=0,001 (p<0,05).

Simpulan dari penelitian ini adalah pemberian kombinasi estrogen progesteron dan testosteron meningkatkan ekspresi messenger ribonucleaic acid (mRNA) reseptor estrogen alpha dan androgen pada vagina tikus wistar (Rattus Norvegicus) dewasa yang diovarektomi.

Kata Kunci: Estrogen, Progesteron, testosteron, ovarektomi, mRNA, ERα, AR.


(10)

x

ABSTRACT

ADMINISTRATION OF COMBINATION OF ESTROGEN

PROGESTERONE AND TESTOSTERONE INCREASED EXPRESSION OF MESSENGER RIBONUCLEAIC ACID (mRNA) ESTROGEN

RECEPTORS ALPHA AND ANDROGEN IN THE VAGINA OF OVARECTOMIZED ADULT WISTAR RATS (Rattus norvegicus)

In postmenopausal women will appear a variety of health problems caused by reduction of secretion of ovarian hormones such as estrogen, progesterone and testosterone. The health problems include vagina dryness, atrophy, dypareunia, as well as sexual arousal disorder. Hormone Replacement Therapy has been widely known can improve the integrity of the vagina in multiple cells in various layers (epithelium, lamina propria, and muscularis), but the mechanism of how hormones can increase the integrity of the vagina still unclear. It is possible that there is a changes in the expression of sex steroid hormone receptors (ERα and AR). This study aims to prove that the combination of estrogen progesterone and testosterone increases the expression of messenger ribonucleaic acid (mRNA) estrogen receptor alpha and androgen receptors in ovarectomized adult Wistar rats (Rattus norvegicus).

This research was a True Experimental - Post Test Only Control Group Design and was conducted at the Laboratory of Histology of the University of Udayana using 36 ovarectomized adult Wistar rats (Rattus norvegicus). The rats was choosen by random and divided into two groups. The first group (control) was given 2.9 ml of distilled water per day while the second group (treatment)

was given a combination of estrogen hormone therapy (11μg / day), progesterone

(180 mg / day) and testosterone (360 mg / day) in 2.9 ml of distilled water. On day 31, mice terminated and vaginal tissue were taken. mRNA expression of ERα and AR measured by using real time PCR method.

The result of this research was mean of the expression of ERα mRNA in the control group was 0,39±0,22 ng/µl, and in the treatment group was 4,05±0,82 ng/µl. The mean value of the expression of AR mRNa on control group was 7,01±1,34 pg/µl and on the treatment group was 17,85±1,86 pg/µl . Mean difference between groups were analysed with t-independence test. Exspression of

ERα and AR mRNA for both group were statistically significant with p value

0,001 (p<0,05).

The Conclusions of this research was the combination of estrogen progesterone and testosterone increased the expression of messenger ribonucleaic acid (mRNA) estrogen receptor alpha and androgen receptors in ovarectomized adult Wistar rats (Rattus norvegicus).

Keywords: Estrogen, Progesterone, Testosterone, ovarectomy, mRNA, ERα, AR.


(11)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

SAMPUL DALAM ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR SINGKATAN ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penulisan ... 5

1.3.1 Tujuan umum ... 5

1.3.2 Tujuan khusus ... 6

1.4 Manfaat Penulisan ... 6

1.4.1 Manfaat praktis ... 6

1.4.2 Manfaat teoritis ... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Menopause ... 7

2.1.1 Definisi Menopause ... 7

2.1.2 Fase Klimakterium ... 7

2.1.3 Fisiologi Menopause ... 9

2.1.4 Perubahan Metabolisme Hormonal pada Menopause ... 10

2.1.5 Gejala Menopause ... 13

2.2 Hormone Replacement Therapy (HRT) ... 19

2.2.1 Bentuk Sediaan HRT ... 20

2.2.1.1 Estrogen ... 21

2.2.1.2 Progesteron ... 23

2.2.1.3 Androgen... 24

2.2.2 Indikasi HRT ... 26

2.2.3 Kontraindikasi ... 26

2.3 Asam Ribonukleat (RNA)... 27

2.3.1 Struktur RNA ... 28

2.3.2 Jenis RNA ... 28

2.4 Reseptor Estrogen Alpha (ERα) dan Androgen (AR) pada Tikus ... 30

2.4.1 Reseptor Estrogen Alpha pada Tikus ... 30


(12)

xii

2.4.3 Regulasi ekspresi reseptor estrogen alpha dan androgen oleh

hormon sex steroid ... 37

2.4.4 Autoregulasi Stabilitas mRNA yang mengkode Reseptor Hormon ... 41

2.4 Hewan Percobaan... 43

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Berpikir ... 47

3.2 Konsep ... 49

3.3 Hipotesis ... 49

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian ... 50

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 51

4.3 Penentuan Sumber Data ... 52

4.3.1 Populasi ... 52

4.3.2 Populasi terjangkau ... 52

4.3.3 Teknik sampling ... 52

4.3.4 Besar sampel ... 52

4.3.5 Kriteria sampel ... 53

4.3.5.1 Kriteria inklusi ... 53

4.3.5.3 Kriteria drop out ... 53

4.4 Variabel ... 53

4.4.1 Identifikasi variabel ... 53

4.4.2 Klasifikasi variabel ... 54

4.5 Alat dan Bahan penelitian ... 54

4.5.1 Bahan penelitian ... 54

4.5.2 Alat penelitian ... 55

4.6 Hubungan Antar Variabel ... 56

4.7 Definisi Operasional ... 57

4.8 Prosedur Penelitian ... 58

4.9 Alur Penelitian ... 63

4.10 Analisis data ... 64

4.10.1 Analisis deskriptif ... 64

4.10.2 Analisis Normalitas dan homogenitas ... 64

4.10.3 Uji efek perlakuan ... 64

BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Karakteristik Subyek Penelitian ... 65

5.2 Uji Normalitas Data ... 67

5.3 Uji Homogenitas Data ... 67

5.4 Ekspresi mRNA Reseptor Estrogen Alpha dan Androgen ... 68

5.4.1 Ekspresi mRNA Reseptor Estrogen Alpha (ERα)... 78


(13)

xiii

BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Subyek Penelitian ... 76

6.2 Kombinasi Estrogen, Progesteron dan Testosteron Meningkatkan Ekspresi mRNA ERα ... 77

6.3 Kombinasi Estrogen, Progesteron dan Testosteron Meningkatkan Ekspresi mRNA AR ... 80

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan ... 85

7.2 Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 86


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

2.1 Perubahan hormonal pada masa menopause... 13

2.2 Struktur mesenger RNA (mRNA) ... 29

2.3 Domain Fungsional ER pada Tikus ... 31

2.4 Perbandingan Nukleotida dan Sekuen Asam Amino ER pada Tikus dan Manusia ... 32

2.5 Mekanisme ER memediasi Transkripsi ... 33

2.6 Perbandingan Domain Fungsional AR pada Manusia dan Tikus .... 36

2.7 Mekanisme peran reseptor seks steroid hormon dalam menyebabkan perubahan fisiologis pada vagina ... 40

2.8 Metilasi pada Bagian Promoter ... 42

2.9 Rattus norvegicus ... 44

3.1 Konsep ... 49

4.1 Rancangan Penelitian ... 50

4.2 Hubungan Antarvariabel ... 56

4.3 Alur penelitian ... 63

5.1` Kurva Standar ERα ... 69

5.2 Grafik Ct ERα ... 69

5.3 Perbedaan Rerata Ekspresi mRNA ERα Pada Kelompok Kontrol Dan Perlakuan... 71

5.4 Kurva Standar ... 72

5.5 Grafik Ct AR ... 73

5.6 Perbedaan Rerata Ekspresi mRNA ERα Pada Kelompok Kontrol dan Perlakuan... 75


(15)

xv

DAFTAR TABEL

2.1 Kadar hormon pada masa menopause ... 13

2.2 Sediaan Androgen ... 26

2.3 Data Biologis Tikus Wistar ... 44

4.1 Primer ... 60

4.2 Langkah-langkah Amplifikasi ... 61

4.3 Pembuatan Kurva Standar ... 62

5.1 Karakteristik Sunyek Penelitian ... 65

5.2 Hasil Uji Homogenitas, Normalitas dan Komparabilitas Karakteristik Subyek Penelitian... 66

5.3 Hasil Uji Normalitas Data Ekspresi mRNA Reseptor Estrogen Alpha dan Androgen ... 67

5.4 Uji Homogenitas Data Ekspresi mRNA Reseptor Estrogen Alpha dan Androgen... 68

5.5 Ekspresi mRNA reseptor estrogen α (ERα) pada Kelompok Kontrol dan Perlakuan ... 70

5.6 Perbedaan Rerata Ekspresi mRNA ERα pada Kelompok Kontrol dan Perlakuan... 71

5.7 Ekspresi mRNA reseptor androgen (aR)pada Kelompok Kontrol . dan Perlakuan ... 73

5.8 Perbedaan Rerata Ekspresi mRNA ERα pada Kelompok Kontrol dan Perlakuan... 74


(16)

xvi

DAFTAR SINGKATAN

AF1 : Transactivation function 1

AR : Androgen Receptor

ASR : Androgen Sensitive Region

CEE : Conjugated Equine Estrogen

cDNA : Complementary DNA

Ct : Cycle Threshold

DBD : DNA Binding Domain

DHEA : Dehydroepiandrosterone

DHT : Dihydrotestosterone

ERE : Estrogen Response Element

ERα : Estrogen Receptor Alpha

Erβ : Estrogen Receptor Beta

FDA : Food and Drug Administration

FSH : Follicle Stimulating Hormone

GnRH : Gonadotropin – releasing hormone HDL : High Density Lipoprotein

HRT : Hormone Replacement Therapy

HSP : Heat Shock Protein

LBD : Ligand Binding Domain

LH : Leutenizing Hormone

MAPK : Mitogen Activated Protein Kinase

MPA : Medroxyprogesteron asetat


(17)

xvii

NTD : N-Terminal domain

PR : Progesterone Receptor

rtPCR : Reverse Transcription Polymerase Chain reaction

SHBG : Sex Hormone-Binding Globulin

LAMBANG / : Per

% : Persen

O


(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

1 Lampiran 1: Surat Keterangan Penelitian ... 92

2 Lampiran 2: Ethical Clearance ... 93

3 Lampiran 3: Hasil rtPCR Ekspresi mRNA ERα dan AR ... 94

4 Lampiran 4: Ekspresi absolut Reseptor Androgen dan Estrogen ... 110

5 Lampiran 5: Hasil Uji Statistik ... 113

6 Lampiran 6: Persiapan Sediaan Hormonal... 117


(19)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Topik menopuse telah menjadi perhatian dunia semenjak International

Menopause Congress pertama kali diadakan di Prancis Selatan pada tahun 1976,

sebagai hasil dari meningkatnya perhatian terhadap kesehatan wanita dan

meningkatnya jumlah wanita menopause di dunia. Menopause merupakan salah

satu proses dalam siklus reproduksi alamiah yang akan dialami setiap perempuan

selain pubertas, kehamilan, dan menstruasi. Seorang perempuan dikatakan sudah

memasuki masa menopause apabila ia tidak mengalami menstruasi selama 12

bulan tanpa disertai penyebab biologis atau fisiologis yang disengaja.

Perkembangan di dunia kedokteran dan meningkatnya kondisi sosial

ekonomi telah berakibat pada peningkatan usia harapan hidup dan populasi wanita

postmenopause. Jumlah wanita menopause di Asia pada tahun 2025 akan

mencapai 373 juta jiwa (WHO, 2010). Pada tahun 2020, diperkirakan jumlah

wanita menopause dengan usia rata-rata 49 tahun di Indonesia sebanyak 30,3 juta

(Anonim, 2005). Berdasarkan data tersebut jelas bahwa jumlah wanita menopause

akan terus meningkat setiap tahunnya yang disebabkan oleh meningkatnya usia

harapan hidup penduduk Indonesia.

Pada wanita menopause akan muncul berbagai masalah kesehatan yang

disebabkan oleh menurunnya sekresi hormon ovarium seperti estrogen,

progesteron dan testosteron. Penurunan hormon ini juga diikuti dengan penurunan


(20)

2

androgen (AR) yang menyebabnya kemampuan untuk menangkap hormon

steroid menjadi menurun pada tikus (Kim et al., 2006). Penurunan jumlah sekresi

hormon dan sintesa protein reseptornya menyebabkan terjadi masalah kesehatan

yang meliputi gejala vasomotor, somatik, urogenital, psikologis, osteoporosis dan

gangguan fungsi seksual. Masalah pada vagina diantaranya vagina menjadi

kering, atrofi dan dypareunia, penurunan libido dan gangguan lubrikasi vagina

merupakan gejala yang menyebabkan menurunnya kualitas seksual pada masa

menopause. Durasi, berat ringan, dan pengaruh gejala-gejala atrofi vulvovaginal

tersebut bervariasi dari individu satu dan lainnya (Haan et al., 2006).

Atrofi vulvovaginal dapat terjadi kapan saja pada siklus kehidupan wanita,

walaupun pada umumnya terjadi pada wanita menopause, pada saat terjadi

kondisi hipoestrogenisme (Cella et al., 2006). Penyebab lain dari

hipoestrogenisme adalah laktasi, pengobatan kanker payudara, dan pengobatan

tertentu. Berbagai peneletian restrospektif telah mengevaluasi prevalensi atrofi

vulvovaginal. Secara umum, prevalensi berkisar antara 4% pada menopause awal

hingga 47% pada menopause akhir. Apabila tidak ditangani dengan baik, maka

gejala ini akan menggangu kualitas seksual wanita menopause dan juga kualitas

hidup secara keseluruhan. Keadaan ini dapat dikembalikan menjadi normal

dengan pemberian Hormone Replacement Therapy baik berupa estrogen,

progesteron, testosteron maupun kombinasi dari ketiga hormon tersebut

(Williams, et al., 2007).

Efek endogen hormon steroid pada jaringan vagina dimediasi oleh reseptor


(21)

3

Perbedaan respon tropik pada pemberian estrogen, progestin dan androgen telah

diketahui pada multipel sel didalam berbagai lapisan (epitelium, lamina propria,

dan muscularis) dari dinding vagina (Pessina et al., 2006). Tetapi, mekanisme

bagaimana perubahan tersebut terjadi masih belum dapat dimengerti secara jelas.

Kemungkinan terjadinya perubahan pada ekspresi reseptor hormon sex steroid

memegang peranan penting di dalam pengaturan respon tropik.

Pada vagina wanita ditemukan adanya reseptor estrogen (ERα dan Erβ), dan reseptor androgen baik untuk testosteron maupun DHT. Ekspresi dari

masing-masing reseptor tersebut sangat dipengaruhi oleh usia, status menopause dan

penggunaan terapi hormonal. Saat ini efek hormon steroid dalam pengaturan

reseptor estrogen dan progesteron pada organ reproduksi telah ditelusuri secara

luas, tetapi data mengenai ekspresi messenger ribonucleaic acid (mRNA) reseptor

sex steroid hormone pada vagina masih terbatas (Singh et al., 2002).

Telah dilaporkan bahwa ekspresi isoform beta dari estrogen reseptor (ER)

berkurang atau bahkan menghilang pada vagina wanita menopause, yang

menunjukkan bahwa hilangnya respon fisiologis yang dimediasi oleh isoform

reseptor (Goldstein et al., 2006). Terdapat perbedaan signifikan pada ekspresi

ERα dan Erβ antara wanita premenopause dan postmenopause, tetapi ekspresi Erβ

turun secara bermakna bahkan setelah pemberian estradiol (Gebhart et al., 2001).

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Erα merupakan reseptor yang penting untuk memediasi respon spesifik vagina terhadap estrogen.

Ekspresi mRNA reseptor estrogen dan progesteron juga ditemukan pada


(22)

4

dengan estriol. Pada endometrium ditemukan level mRNA ER dan PR yang lebih

tinggi secara signifikan, sedangkan pada vagina hanya ekspresi gen ER yang

meningkat setelah diberikan estriol (Pettelier et al., 2004).

Saat ini, testososteron sudah menjadi perhatian penting sebagai komponen

terapi hormon pada wanita menopause. Meskipun banyak publikasi ilmiah yang

fokus terhadap peran androgen dalam memodulasi respon seksual pada wanita,

masih relatif sedikit diketahui tentang ekspresi dan distribusi androgen receptor

(AR) pada vagina dan regulasinya oleh hormon steroid (Berman, 2003).

Reseptor androgen ditemukan pada vagina manusia yang memediasi aksi

baik testosteron dan DHT. Ekspresi protein dan mRNA reseptor androgen

ditemukan baik pada epitel dan stroma pada vagina (Baldassare et al., 2013).

Ditemukan adanya korelasi negatif antara usia dan ekspresi AR pada mukosa

vagina. Ovarektomi menyebabkan penurunan reseptor androgen (AR) baik bagian

proksimal dan distal dan ekspresi meningkat setelah pemberian estrogen (Traish,

2002).

Studi pendahuluan dilakukan pada tiga kelompok perlakuan, dengan jumlah

tikus masing-masing 2 ekor per kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok

kontrol yang diberikan 2 ml aquades/hari selama 30 hari. Kelompok kedua adalah

kelompok perlakuan yang diberikan kombinasi estrogen (5 µg/hari), progesteron

(300 µg/hari) dan testosteron (11 µg/hari). Kelompok ketiga diberikan kombinasi

estrogen (11µg/hari), progesteron (180µg/hari) dan testosteron (720µg/hari). Hasil


(23)

5

ERα tertinggi yaitu 3,78±0,96 ng/µl. Ekspresi mRNA AR tidak menunjukkan adanya perbedaan bermakna pada ketiga kelompok (Armayanti, 2016).

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis ingin meneliti tentang ekspresi

messenger ribonucleaic acid (mRNA) reseptor estrogen alpha dan androgen pada

tikus wistar Rattus norvegicus dewasa yang diovarektomi yang diberikan terapi

kombinasi estrogen progesteron dan testosteron.

1.2Rumusan masalah

1.2.1 Apakah pemberian kombinasi estrogen progesteron dan testosteron

meningkatkan ekspresi messenger ribonucleaic acid (mRNA) reseptor

estrogen alpha pada tikus wistar (Rattus norvegicus) dewasa yang

diovarektomi?

1.2.2 Apakah pemberian kombinasi estrogen progesteron dan testosteron

meningkatkan ekspresi messenger ribonucleaic acid (mRNA) reseptor

androgen pada tikus wistar (Rattus norvegicus) dewasa yang

diovarektomi?

1.3Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa

kombinasi estrogen progesteron dan testosteron meningkatkan ekspresi messenger

ribonucleaic acid (mRNA) reseptor estrogen alpha dan reseptor androgen pada


(24)

6

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1Untuk membuktikan bahwa kombinasi estrogen progesteron dan

testosteron meningkatkan ekspresi messenger ribonucleaic acid (mRNA)

reseptor estrogen alpha pada tikus wistar (Rattus norvegicus) dewasa yang

diovarektomi.

1.3.2.2Untuk membuktikan bahwa kombinasi estrogen progesteron dan

testosteron meningkatkan ekspresi messenger ribonucleaic acid (mRNA)

reseptor androgen pada tikus wistar (Rattus norvegicus) dewasa yang

diovarektomi.

1.4Manfaat

1.4.1 Manfaat Akademis

Manfaat teoritis yang dapat dipetik dari penelitian ini adalah hasil

peneltian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam dunia

kedokteran reproduksi dalam hal perubahan yang bersifat molekular yang

memediasi respon tropik pada vagina setelah pemberian terapi kombinasi

estrogen, progesteron dan testosteron.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber informasi

bagi masyarakat khususnya wanita tentang manfaat penggunaan terapi sulih

hormon selama masa menopause.


(25)

7 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Menopause

2.1.1 Definisi Menopause

Menopause adalah suatu fase alamiah yang akan dialami oleh setiap

wanita yang biasanya terjadi diatas usia 40 tahun. Ini merupakan suatu akhir

proses biologis dari siklus menstruasi yang terjadi karena penurunan produksi

hormon estrogen yang dihasilkan ovarium (Baziad, 2002).

Menopause diartikan sebagai satu tahun tanpa menstruasi yang disebabkan

oleh berehentinya fungsi ovarium dan terjadi amenorea permanen (Moulton et al.,

2008). Kata menopause yang berasal dari kata Yunani yang berarti “bulan” dan

“penghentian sementara”, yang secara linguistik lebih tepat disebut menocease.

Secara medis istilah menopause berarti menocease, karena berdasarkan

definisinya menopause itu berarti berhentinya menstruasi (bukan istirahat).

2.1.2 Fase Klimakterium

Menurut Baziad (2002), fase klimakterium terbagi menjadi:

2.1.2.1 Premenopause

Pramenopause adalah masa sekitar usia 40 tahun dengan dimulainya siklus

haid yang tidak teratur, memanjang, sedikit, atau banyak, yang kadang-kadang

disertai dengan rasa nyeri. Pada wanita tertentu telah muncul keluhan vasomotorik

atau keluhan sindroma prahaid. Dari hasil analisis hormonal dapat ditemukan


(26)

8

tinggi dapat mengakibatkan terjadinya stimulasi ovarium yang berlebihan

sehingga kadang-kadang dijumpai kadar estrogen yang sangat tinggi (Bachman,

2010).

2.1.2.2 Perimenopause

Perimenopause merupakan masa perubahan antara pramenopuse dan

pascamenopause. Fase ini ditandai dengan siklus haid yang tidak teratur. Pada

kebanyakan wanita siklus haidnya > 38 hari dan sisanya < 18 hari. Sebanyak 40%

wanita mengalami siklus haid yang anovulatorik. Pada sebagian wanita, telah

muncul keluhan vasomotorik, atau keluhan sindrom prahaid. Kadar FSH, LH dan

estrogen sangat bervariasi (Baziad, 2002).

2.1.2.3 Menopause

Setelah memasuki usia menopause selalu ditemukan kadar FSH yang

tinggi (>35 mIU/ml). Pada awal menopause kadang-kadang kadar estrogen

rendah. Pada wanita gemuk kadar estrogen biasanya tinggi. Bila seorang wanita

tidak haid selama 12 bulan dan dijumpai kadar FSH >35 mIU/ml dan kadar

estradiol < 30 pg/ml, maka wanita tersebut dapat dikatakan telah mengalami

menopause (Kakkar et al., 2007).

2.1.2.4 Pascamenopause

Pasca menopause adalah masa setelah menopause sampai senium yang

dimulai setelah 12 bulan amenorea. Kadar FSH dan LH sangat tinggi (>35

mIU/ml) dan kadar estrodiol yang rendah mengakibatkan endometrium menjadi

atrofi sehingga haid tidak mungkin terjadi lagi. Namun, pada wanita yang gemuk


(27)

9

menopause umumnya telah mengalami berbagai macam keluhan yang diakibatkan

oleh rendahnya kadar estrogen (Kakkar et al., 2007)

2.1.2.5 Senium

Seorang wanita disebut senium bila telah memasuki usia pasca menopause lanjut sampai usia > 65 tahun (Baziad, 2002).

2.1.3 Fisiologi menopause

Pada wanita menopause hilangnya fungsi ovarium secara bertahap akan

menurunkan kemampuannya dalam menjawab rangsangan hormon-hormon

hipofisis untuk menghasilkan hormon steroid. Saat dilahirkan wanita mempunyai

kurang lebih 750.000 folikel primordial. Dengan meningkatnya usia, jumlah

folikel tersebut akan semakin berkurang. Pada usia 40-44 tahun rata-rata jumlah

folikel primordial menurun sampai 8300 folikel, yang disebabkan oleh adanya

proses ovulasi pada setiap siklus juga karena adanya apoptosis yaitu proses folikel

primordial yang mati dan terhenti pertumbuhannya. Proses tersebut terjadi

terus-menerus selama kehidupan seorang wanita, hingga pada usia sekitar 50 tahun

fungsi ovarium menjadi sangat menurun. Apabila jumlah folikel mencapai jumlah

yang kritis, maka akan terjadi gangguan sistem pengaturan hormon yaitu

terjadinya insufisiensi korpus luteum, siklus haid anovulatorik dan pada akhirnya

terjadi oligomenore (Burger, 2005).

Perubahan-perubahan dalam sistem vaskularisasi ovarium sebagai akibat

proses penuaan dan terjadinya sklerosis pada sistem pembuluh darah ovarium

diperkirakan sebagai penyebab gangguan vaskularisasi ovarium. Terjadinya


(28)

10

mampu menjawab rangsangan hipofisis untuk menghasilkan hormon steroid

(Goodman, 2011).

Bila pembentukan estrogen turun sampai tingkat kritis, estrogen tidak

dapat lagi menghambat pembentukan FSH dan LH yang cukup untuk

menyebabkan siklus ovulasi. Akibatnya, FSH dan LH (terutama FSH) setelah itu

dihasilkan dalam jumlah besar dan tetap. Dari kedua gonadotropin itu yang paling

tinggi peningkatannya adalah FSH. Kadar FSH pada masa menopause adalah

30-40mIu/ml (Guyton, 2002).

2.1.4. Perubahan Metabolisme Hormonal Pada Menopause

Pada wanita dengan siklus haid normal, estrogen terbesar adalahestradiol

yang berasal dari ovarium. Disamping estradiol terdapat pulaestron yang berasal

dari konversi androstenedion di jaringan perifer.Selama siklus haid pada masa

reproduksi, kadar estradiol berkisar antara40-80 pg/ml, pada pertengahan fase

folikuler berkisar antara 60-100pg/ml, pada akhir fase folikuler berkisar antara

100-400 pg/ml dan padafase luteal berkisar antara 100-200 pg/ml. Kadar rata-rata

estradiol selamasiklus haid normal adalah 80 pg/ml sedangkankadar estron

berkisar antara 40-400 pg/ml (Baziad, 2002).

Memasuki masa perimenopause aktivitas folikel dalam ovariummulai

berkurang. Ketika ovarium tidak menghasilkan ovum dan berhentimemproduksi

estradiol, kelenjar hipofise berusaha merangsang ovariumuntuk menghasilkan

estrogen, sehingga terjadi peningkatan produksi FSH.Terdapat peningkatan 10-20

kali lipat pada kadar FSH dan 3 kali lipatpada kadar LH, yang mencapai kadar


(29)

11

bukti dari terjadinya kegagalan ovarium. Meskipun perubahan inimulai terjadi 3

tahun sebelum menopause, penurunan produksi estrogenoleh ovarium baru

tampak sekitar 6 bulan sebelum menopause (Goodman et al., 2011).

Kadar estradiol pada wanita pascamenopause lebih rendah dibandingkan

dengan wanita usia reproduksi pada setiap fase dari siklushaidnya. Pada wanita

pascsamenopause estradiol dan estron berasal darikonversi androgen adrenal di

hati, ginjal, otak, kelenjar adrenal, danjaringan adipose. Proses aromatisasi yang

terjadi di perifer berhubungandengan berat badan wanita. Kadar estradiol sirkulasi

setelahmenopause adalah sekitar 10-20 pg / mL, yang sebagian besar berasaldari

konversi perifer dari estrone. Kadar estrone sirkulasi padawanita menopause lebih

tinggi dari estradiol, sekitar 30-70 pg / mL. Rata-ratatingkat produksi estrogen

pascamenopause adalah sekitar 45μg/24jam. Rasio androgen / estrogen berubah

drastissetelah menopause karena penurunan yang lebih tajam dalam estrogen,dan

terjadinya hirsutisme ringan adalah umum, yang mencerminkanpergeseran yang

bermakna dalam rasio hormon (Baziad, 2002).

Ovarium mengeluarkan terutama androstenedion dan testosteron.Setelah

menopause, kadar sirkulasi androstenedion adalah sekitar 1,5 dari yang terlihat

sebelum menopause. Sebagian besarandrostenedion menopause ini berasal dari

kelenjar adrenal, denganhanya sejumlah kecil yang dikeluarkan dari ovarium,

meskipunandrostenedion adalah steroid utama yang disekresi oleh

ovariumpascamenopause. Dehydroepiandrosterone ( DHEA ) dan

sulfat-nya(DHAS), yang berasal dari kelenjar adrenal, menurun tajam denganpenuaan,


(30)

12

dan kadar DHAS menurun sampai 74% dibandingkan kadar dalam masa

reproduksi (Speroff, 2005).

Produksi testosteron menurun sekitar 25% setelah menopause,tetapi

ovarium pada masa pascamenopause mensekresikan lebihbanyak testosterone

dibandingkan dengan ovarium pada masapremoenopause dimana hal ini

setidaknya terjadi pada tahun-tahunpertama periode pascamenopause . Dengan

hilangnya folikel danestrogen, gonadotropin yang tinggi mendorong jaringan di

ovarium yangtersisa ke level peningkatan sekresi testosteron. Supresi

gonadotropindengan pengobatan agonis atau antagonis gonadotropin releasinghormone (GnRH) pada wanita pascamenopause menghasilkanpenurunan

yang signifikan dalam kadar testosteron yang bersirkulasi,yang menunjukkan

ovarium menopause tergantung gonadotropin. Kadar androstenedion

sirkulasipascamenopause awal menurun sekitar 62% dari kehidupan dewasa muda

(Jameson, 2006).

Dengan bertambahnya usia menopause, penurunan dapat diukurdalam kadar

dehydroepiandrosterone sulfate ( DHAS ) dandehydroepiandrosterone (DHA)

sirkulasi, sedangkan kadarandrostenedion, testosteron, dan estrogen sirkulasi


(31)

13

Gambar 2.1.

Perubahan hormonal pada masa menopause (Sumber: Burger et al., 2005)

Tabel 2.1.

Kadar hormon pada masa menopause

Hormon Premenopause Postmenopause Estradiol 40-400 pg/ml 10-20 pg/ml

Estrone 30-200 pg/ml 30-70 pg/ml Testosterone 20-80 ng/ml 15-70 ng/ml Androstenedione 60-300 ng/ml 30-150 ng/ml

Sumber: (Goodman, et al., 2011)

2.1.5 Gejala menopause

Ketika akan menopause, terjadi perubahan-perubahan pada tubuh yang

dapat menimbulkan keluhan-keluhan pada wanita menopause. Gejala awal yang

terjadi pada masa menopauseadalah menstruasi menjadi tidak teratur, cairan haid


(32)

14

menyebabkan insomnia, palpitasi, pening, dan rasa lemah. Gangguan seksual

(perubahan libido dan disparenia). Gejala-gejala saluran kemih seperti urgensi,

frekwensi, nyeri saat berkemih, infeksi saluran kemih, dan inkontinensia(Shimp &

Smith, 2004).

Singkatnya, gejala yang sering terlihat dan terkait dengan penurunan

kompetensi folikel ovarium dan kemudian hilangnya estrogen dalam masa

klimakterik yaitu:

2.1.5.1Perubahan pola haid

Gejala yang paling umum pada wanita perimenopause adalah perubahan

dari pola haid. Lebih dari 90% wanita perimenopause akan mengalami perubahan

dalam siklus haid. Siklus yang memendek antara 2-7 hari sangatlah khas (Shifren,

2007).

Perdarahan yang tidak teratur dapat terjadi karena tidak adekuatnya fase

luteal atau sesudah lonjakan estradiol yang tidak diikuti ovulasi dan pembentukan

korpus luteum. Pemanjangan siklus mungkin juga terjadi seperti halnya haid yang

tidak teratur (Shifren, 2007). Banyak juga wanita yang mengalami perubahan

dalam banyaknya perdarahan. Perdarahan biasanya lebih banyak pada awal

perimenopause yang disebabkan oleh siklus anovulasi, kemudian menjadi lebih

sedikit (Nirmala, 2003).

Meskipun perdarahan tidak teratur sangat umum dan dianggap normal

selama perimenopause, berat dan lamanya perdarahan atau perdarahan diantara

siklus haid bukanlah hal yang normal. Adanya perdarahan mengharuskan dokter


(33)

15

menegakkan diagnosis, terutamauntuk penderita dengan faktor risiko yang lain

untuk terjadinya karsinoma endometrium seperti oligoovulatoar, obesitas atau

riwayat infertilitas (Takasihaeng, 2010).

2.1.5.2. Keluhan vasomotor

Gejala vasomotor mempengaruhi sampai 75% wanita perimenopause.

Gejala dapat terjadi untuk 1 sampai 2 tahun setelah menopause pada sebagian

besar wanita, namun dapat terus sampai 10 tahun atau lebih wanita lainnya. Hot

flashes adalah alasan utama mengapa perempuan mencari perawatan saat

menopause dan permintaan akan pengobatan terapi hormonal. Banyak wanita

yang melaporkan kesulitan berkonsentrasi dan terjadinya ketidakstabilan

emosional selama masa transisi menopause. Insiden penyakit tiroid meningkat

seiring dengan pertmbahan usia wanita, sehingga pemeriksaan fungsi tiroid harus

dilakukan jika dijumpai gejala vasomotor yang khas atau resisten terhadap terapi

yang diberikan (Shifren, 2007).

Mekanisme fisiologis yang mendasari terjadinya hot flushes masih belum

sepenuhnya dipahami. Sebuah peristiwa sentral, mungkin dimulai di hipotalamus,

mendorong peningkatan suhu inti tubuh, tingkat metabolisme, dan suhu kulit. Hal

ini mengakibatkan reaksi ini dalam terjadinya vasodilatasi perifer dan berkeringat

pada beberapa wanita. Peristiwa sentral mungkin dipicu oleh noradrenergik,

serotoninergic, atau aktivasi dopaminergik (Bachmann, 2007).

2.1.5.3 Atrofi urogenital

Produksi estrogen yang sangat rendah pada usia menopause akhir, atau


(34)

16

yang disertai dengan vaginitis, pruritus, dispareunia, dan stenosis. Atrofi

genitourinari menyebabkan berbagai gejala yang mempengaruhi kualitas hidup.

Uretritis dengan disuria, inkontinensia urgensi, dan frekuensi urinarius adalah

hasil lebih lanjut dari penipisan mukosa, dalam hal ini, dari uretra dan kandung

kemih (Baziad, 2002).

Kehilangan estrogen menyebabkan vagina kehilangan kolagen, jaringan

adiposa, dan kemampuan untuk menahan air, sehingga dinding vagina menyusut,

rugae akan merata dan menghilang. Epitel permukaan akan kehilangan lapisan

luar yang berserat dan kemudian menipis ke beberapa lapisan sel, dan

berkurangnya rasio antara sel superfisial dan sel basal. Akibatnya, permukaan

vagina rentan terhadap perdarahan dengan trauma minimal. Pembuluh darah di

dinding vagina berkurang dan sekresi dari kelenjar sebaceous berkurang. pH

menjadi lebih alkali yang menyebabkan rentan terhadap infeksi oleh patogen

urogenital dan fekal. Dispareunia yang kadang-kadang disertai dengan perdarahan

pascakoitus, adalah konsekuensi dari berkurangnya lubrikasi vagina (Speroff et

al., 2005).

2.1.5.4 Efek Psikologi

Kestabilan emosi selama masa perimenopause dapat terganggu oleh pola

tidur yang buruk. Hot flushes memiliki dampak yang merugikan pada kualitas

tidur. Terapi estrogen meningkatkan kualitas tidur, mengurangi waktu onset tidur

dan meningkatkan waktu tidur rapideye movement ( REM ) (Nirmala, 2003).

Gangguan mood sering terjadi pada wanita menopause. Dalam penelitian


(35)

17

perimenopause awal, dari sekitar 10 % menjadi sekitar 16,5 %. Ada tiga

kemungkinan: penurunan estrogen saat menopause mempengaruhi

neurotransmitter yang mengatur mood, mood dipengaruhi oleh gejala vasomotor

dan mood dipengaruhi oleh perubahan hidup yang umumnya lazim disekitar masa

menopause (Browell, 2011).

2.1.5.5 Gangguan fungsi seksual

Banyak wanita menopause mengalami disfungsi seksual , meskipun

insidensi danetiologi yang tepat masih belum diketahui. Disfungsi seksual

meliputi gangguan pada dorongan dan terjadinya bangkitan seksual. Etiologi

disfungsi seksualdisebabkan oleh banyak faktor, termasuk masalah psikologis

sepertidepresi atau gangguan kecemasan , konflik dalam hubungan , masalahyang

berkaitan dengan penyimpangan seksual, penggunaan obat, ataumasalah fisik

yang membuat aktivitas seksual menjadi tidak nyaman, seperti endometriosis atau

atrofi vaginitis . Latihan khusus sering dilakukan di bawahbimbingan seorang

terapi seks, membantu banyak perempuan danpasangan dengan disfungsi seksual.

Terapi androgen mungkin memiliki peran dalam pengobatandisfungsi seksual

pada wanita menopause yang memiliki tingkat androgen rendah dan tidak ada

penyebab lain yang dapat diidentifikasi terhadapmasalah seksual (Goodman et al.,

2011).

2.1.5.6 Gejala somatik

Beberapa gejala somatik yang sering terjadi selama perimenopause adalah

lain; sakit kepala, pusing, palpitasi serta payudara yang membesar dan nyeri. Dari


(36)

18

umum terjadi dan bersifat fisiologis. Pengobatan yang dilakukan bersamaan

dengan edukasi dan pemberian dukungan harus dilakukan pada awal timbulnya

gejala. Sekarang ini terapi farmakologi dan nonfarmakologi sudah tersedia. Dalam

banyak kasus, meyakinkan bahwa gejala-gejala tersebut adalah hal yang nyata dan

tidak mengancam kehidupan mungkin sudah cukup (Baziad, 2002).

2.1.6.7 Osteoporosis

Osteoporosisatau menurunnya kepadatan tulang, dialami sekitar 30 juta

wanita di Amerika Serikat, atau sekitar 55% dari wanita diatas usia 50 tahun.

Faktor risiko terhadap terjadinya osteoporosis antara lain usia, ras Asia atau

Kaukasia, riwayat keluarga, kerangka tubuh kecil, riwayat fraktur sebelumnya,

menopause dini, dan ooforektomi sebelumnya. Faktor risiko yang lain termasuk

penurunan asupan kalsium dan vitamin D, merokok, dan gaya hidup. Kondisi

medis yang terkait dengan peningkatan risiko osteoporosis meliputi anovulasi

selama masa reproduksi (misalnya, sekunder untuk latihan berlebih atau gangguan

makan), hipertiroidisme, hiperparatiroidisme, penyakit ginjal kronis, dan penyakit

yang memerlukan penggunaan kortikosteroid sistemik(Shifren, 2007).

Osteoporosis ditandai dengan massa tulang yang rendah dan kerusakan

microarchitectural jaringan tulang, yang menyebabkan peningkatan kerapuhan

tulang dan peningkatan resiko terjadinya patah tulang bahkan dengan sedikit atau

tanpa trauma. Ketika kadar estrogen menurun, remodeling tulang meningkat.

Setiap unit remodeling dimulai oleh pelepasan osteoklas diikuti oleh pengisian


(37)

19

osteoblastik, dengan tidak adanya estrogen, aktivitas osteoklastik mendominasi,

yang berakibat pada resorbsi tulang (Sperrof, 2005).

2.1.5.8 Kelainan kardiovaskular

Penyakit kardiovaskular merupakan salah satu penyebab kematian pada

wanita, terhitung sekitar 45% dari angka mortalitas. Faktor risiko terjadinya

kelainan kardiovaskular adalah usia, riwayat keluarga, merokok, obesitas, gaya

hidup, diabetes, hipertensi, dan hiperkolesterolemia (Baziad, 2002).

Pada wanita menopause HDL kolesterol adalah satu indikator untuk

terjadinya penyakit jantung koroner, dimana untuk setiap peningkatan 10 mg/dL

risiko akan menurun sampai 50%. Trigeliserida juga merupakan faktor risiko

penting untuk penyakit jantung koroner, dimana terjadi peningkatan penyakit

jantung jika kadar trigeliserida meningkat dan kadar HDL yang rendah. Banyak

bukti yang mengatakan bahwa pengaruh kardioprotektif dari terapi estrogen

adalah pada kadar lipid serum (Kakkar et al., 2007).

2.2Hormone Replacement Therapy (HRT)

Menopause merupakan kejadian fisiologis yang ditandai dengan

amenorrhea permanen yang disebabkan oleh berhentinya aktivitas folikular

ovarium. Keluhan-keluhan yang dialami wanita pada masa meopause merupakan

pengaruh negatif dari menurunnya kadar estrogen di dalam darah, oleh karena itu

untuk mengatasinya diberikan hormon pengganti berupa estrogen atau kombinasi

antara estrogen dan progesteron untuk mengembalikan kadar hormon yang

menurun dengan metode yang disebut Hormon Replacement Therapy (HRT)


(38)

20

Hormon Replacement Therapy (HRT) merupakan pengobatan yang paling

efektif untuk gejala menopause dan indikasi utama pemberian HRT adalah adanya

gejala menopause yang mengganggu. HRT harus benar-benar menjadi perhatian

karena hidup dengan defisiensi estrogen dengan berbagai kemungkinan gejala

klinik yang mengganggu bahkan merusak kualitas hidup wanita tersebut.

Pemberian HRT ini diharapkan dapat membuat wanita menopause menjalani hari

tuanya dengan berkualitas, gairah dan penuh semangat (Maclennanet al., 2007).

2.2.1Bentuk Sedian Hormon Replacement Therapy (HRT)

Hormon Replacement Therapy (HRT) diberikan selama periode

perimenopause dan menopause dini untuk menyembuhkan gejala menopause dan

untuk pengobatan atrofi vulvovagina. Estrogen tunggal hanya diperuntukkan

untuk wanita yang telah menjalani histerektomi. Bagi wanita yang masih memiliki

uterus yang utuh, agen progestagen harus dikombinasikan dengan estrogen untuk

melindungi endometrium dari resiko perkembangan hiperplasia. Progesteron

dapat diberikan secara continues atau sequensial. Apabila digunakan secara siklik,

progesteron harus diberikan selama 10 sampai 14 hari setiap bulan (Nelson,

2004). Pemberian progesteron secara siklik biasanya menyebabkan menstruasi

setiap bulannya. Karena terjadi menstruasi secara persisten maka hal ini

menyebabkan sedikit wanita yang ingin menggunakan HRT. Amenorea dapat

terjadi apabila diberikan progesteron dosis rendah yang diberikan secara

continuos yang dikombinasikan dengan estrogen (Greendaleet al., 2007).

Jadwal pemberian HRT dapat diberikan dengan cara: estrogen tunggal yang


(39)

21

ditambahkan selama 10-14 hari setiap bulan, dan continious combined regimen

dimana estrogen dan progesteron diberikan setiap hari.

2.2.1.1 Estrogen

Pada saat wanita memasuki usia menopause maka mereka akan mengalami

beberapa gejala yang akan mempengaruhi kualitas hidup wanita menopause.

Maka diperlukan terapi berupa pemberian estrogen untuk mengurangi gejala yang

dirasakan. Dosis estrogen yang diberikan harus serendah mungkin untuk

mengurangi gejala menopause dan perlindungan terhadap tulang, yang

disesuaikan dengan usia pasien. Berikut beberapa sediaan yang sering digunakan

adalah sebagai berikut (Nelson, 2004):

a. Conjugated equine atau synthesized conjugated estrogen (0,3- 0,625 mg)

b. Micronized17b-estradiol (0,5-1 mg) secara oral atau injeksi

c. Estradiol transdermal (25 -100 µg)

d. Etinil estradiol (0,01 - 0,02 mg)

e. Estradiol topikal, gel, spray

f. Sediaan estrogen vaginal, termasuk vaginal estrogen ring dan krim dari

conjugated equine estrogen (CEE) dan estradiol

Perbedaan utama dari beberapa sediaan diatas adalah kecepatan absorpsi

dan farmakokinetiknya. Penggunaan secara oral dan transdermal merupakan

sediaan yang paling banyak digunakan untuk pemberian estrogen. Pemberian

secara oral ditandai dengan pencernaan secara enterohepatik, diikuti dengan

metabolisme hepatik, konjugasi menjadi sulfat dan glukuronidase yang kemudian


(40)

22

estrogen tinggi yang melalui hati apabila diberikan secara oral, akan

meningkatkan peningkatan sintesa trigliserida dan protein tertentu seperti

cortisol-binding globulin (transcortin), sex hormone-binding globulin, dan

angiostensinogen, sehingga pemberian estrogen secara transdermal digunakan

pada kondisi klinis seperti hipertensi, hipertrigliseridemia, resiko cholelithiasis

dan kemungkinan penurunan resiko tromoemboli (Canonico, 2009).

Pemberian estrogen secara intravaginal telah digunakan untuk pengobatan

atrofi vagina. Pengobatan ini dapat memiliki efek sistemik tergantung dari dosis

dan bentuk sediaan (tablet, ring atau krim) estrogen. Pemberian intravagina dapat

diserap langsung melalui mukosa vagina dan meningkatkan kadar estrogen di

dalam darah secara signifikan (Olieet al., 2011).

Perlindungan terhadap mineral tulang tergantung dosis yang diberikan.

Setiap pasien sebaiknya dimonitor dengan menggunakan dual-energy x-ray

absorptiometry yang biasanya digunakan untuk mendeteksi resiko fraktur dan

tingkat eketifitas dari dosis estrogen (Hodgsonet al., 2003).

Pengukuran serum Follicle Stimulating Hormone (FSH) tidak dapat

digunakan sebagai indikator efektivitas dosis estrogen. Penggunaan ini tidak

adekuat karena estrogen bukan satu-satunya regulator sekresi FSH melainkan

inhibin juga memiliki peranan dalam regulasi FSH. Serum FSH kemungkinan

tetap tinggi walaupun jumlah estrogen yang bekerja pada jaringan target sudah


(41)

23

2.2.1.2 Progesteron

Progesteron memiliki peran sentral dalam reproduksi, termasuk ovulasi,

implantasi dan kehamilan. Pada uterus dan ovarium, progesteron menginduksi

ovulasi, menfasilitasi implantasi, dan mempertahankan relaksasi uterus pada usia

awal kehamilan. Pada kelenjar payudara, progesteron mempersiapkan

perkembangan payudara untuk persiapan menyusui (Guyton, 2006). Berikut ini

merupakan pilihan umum pemberian progesteron oral yang memberikan

perlindungan terhadap endometrium (Goodman, 2011):

a. Medroxyprogesteron asetat (MPA) (2,5 mg/hari atau 5 mg untuk 10-12

hari/bulan)

b. Micronized progesteron (100 mg/hari atau 200 mg untuk 10-12 hari/bulan)

c. Noretindron asetat (0,35 mg/hari atau 5 mg untuk 10-12 hari/bulan).

d. Drospirenon (3 mg/hari)

e. Levonorgestrel (0,075 mg/hari)

Produk yang dikombinasikan dengan estrogen untuk terapi

combined-continuous sebagai berikut:

a. Oral (Estradiol-drospirenone, CEE-MPA, Etinil estradiol-noretindron asetat,

estradiol-norgestimate

b. Transdermal (Estradiol-evonogestrel, Estradiol-norethindron asetat (Goodman,

2011).

Efek samping progesteron sulit untuk dievaluasi dan bervariasi tergantung


(42)

24

mengalami premenstrual tension seperti mood swings, bengkak, retensi cairan,

gangguan tidur (Greendaleet al., 2007).

Perbedaan efek pada lipid, potensi androgenik, glukokortikoid, aktivitas

antimineralokortikoid,aktivitas prokoagulan, dan level fibrinogentelah dijelaskan

berdasarkan berbagai senyawa progestasional. Kemungkinan, perbedaan tersebut

memberikan efek klinik yang signifikan pada sensitivitas insulin, toleransi

glukosa, retensi cairan, tekanan darah, dilatasi vaskular. Penelitian pada primata,

pemberian MPA in vivo tidak menghambat efek protektif dari estrogen (CEE)

untuk mencegah aterosklerosis dini(Nath A, 2009).

Penelitian menyebutkan adanya perbedaan resiko kanker payudara pada

pasien yang diberikan estrogen tunggal dibandingkan dengan kombinasi estrogen

dan progesteron, maka disarankan untuk menggunakan penggunaan estrogen

secara sistemik dan progesteron secara lokal yang kemungkinan dapat

memberikan perlindungan hiperplasia endometrium tanpa menimbulkan resiko

kanker payudara (Lyytinenet al., 2010).

2.2.1.3 Androgen

Androgen merupakan hormon yang diproduksi baik di ovarium dan kelenjar

adrenal. Androgen adalah hormon yang penting untuk mempertahankan kekuatan

otot dan tulang, dorongan seksual dan kualitas hidup yang baik. Androgen utama

pada wanita adalah testosteron. Lima puluh persen testosteron diproduksi oleh

ovarium dan kelenjar adrenal dan dilepaskan secara langsung menuju aliran darah.

Salah satu peran penting androgen adalah sebagai prekursor produksi


(43)

25

Testosteron diberikan pada wanita menopause apabila mengalami

penurunan dorongan seksual yang menyebabkan distres serta tidak ditemukan

penyebab lain selain defisiensi testosteron. Pemberian testosteron tunggal tanpa

estrogen tidak dianjurkan karena masih kurangnya hasil penelitian. Hal yang

pertama dievaluasi ketika akan memberikan terapi testosteron adalah pemeriksaan

kadar testosteron untuk menyingkirkan kemungkinan lain penyebab gangguan

fungsi seksual. Monitoring yang diperlukan adalah penilaian subyektif terhadap

respon seksual, dorongan seksual, kepuasan dan juga efek samping yang

ditimbulkan (Goodmanet al., 2011).

Testosteron transdermal dan krim merupakan regimen yang

direkomendasikan dibandingkan dengan terapi oral. Terapi testosteron

dikontraindikasikan pada wanita dengan kanker payudara, endometrium, penyakit

hati dan kardiovaskular. Dosis yang digunakan harus seminimal mungkin dalam

jangka waktu yang minimal untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Konseling

sebelum pemberian sangat penting untuk mengetahui resiko potensial dan


(44)

26

Tabel 2.2 Sediaan Androgen

Androgen Nama Dagang Konsentrasi Oral, mg

Testosteron undecanoat Andriol 40 Andriol 40 Transdermal

Testosteron Androderm 12,2 mg.patch

Androgel 2,5 atau 5 g/paket, 1,25g/actuation (60 actuations)

Testim 1% 5g/tube Injeksi, mg/mL

Testosteron cypionate Depo testosterone (cypionate)

Testosteron cypionate

160 (10mL)

100 (2 mL dan 10 mL) Testosteron propionate Testosteron propionate 100 (2 mL)

Testosterone enanthate Delatestryl 200 (5 mL) PMS-testosterone

enanthate

200 (10 mL)

(Sumber: Goodmaan, 2011)

2.2.2 Indikasi

Pemberian terapi hormon dapat digunakan sebagai terapi simtomatik atau

preventif. Beberapa konsensus telah menyetujui penggunaan terapi hormon untuk

mengurangi gejala menopause, tetapi sampai saat ini masih kontroversial. FDA

menyetujui penggunaan HRT untuk pengobatan gejala vasomotor, gejala

urogenital, dan osteoporosis (FDA, 2014).

2.2.3 Kontraindikasi

FDA merekomendasikan sebaiknya tidak memberikan HRT pada wanita

dengan kondisi sebagai berikut:

a. Sedang dan diduga menderita kanker payudara


(45)

27

c. Hiperplasia endometrium yang tidak diobati

d. Tromboemboli vena

e. Penyakit tromboemboli arterial (angina, infark miokard)

f. Hipertensi

g. Penyakit hati

h. Hipersensitivitas

i. Hypertriglyceridemia

j. Endometriosis

k. Porphyria cutanea tarda (indikasi absolut) (FDA, 2014).

The Hong Kong College of Obstreticians and Gynaecologists menyebutkan

beberapa kontra indikasi absolut terapi sulih hormon, yaitu karsinoma payudara,

kanker endometrium, riwayat tromboemboli vena dan penyakit hati akut (Huong,

2011).

2.3 Asam Ribonukleat (RNA)

Asam Ribonukleat (RNA) adalah satu dari tiga makromolekul utama

(bersama dengan DNA dan protein) yang berperan penting dalam segala bentuk

kehidupan. Asam ribonukleat berperan sebagai pembawa bahan genetik dan

memainkan peran utama dalam ekspresi genetik. Dalam dogma pokok (central

dogma) genetika molekular, asam ribonukleat (ribonucleaic acid, RNA)

merupakan perantara informasi yang dibawa DNA dan ekspresi fenotipik yang


(46)

28

2.3.1 Struktur RNA

Struktur dasar RNA berbentuk pita tunggal (single strand) dan lebih

pendek dibandingkan DNA. Perbedaan RNA dan DNA juga terletak pada gugus

hidroksil cincin gula pentosa, sehingga dinamakan ribosa, sedangkan gugus

pentosa pada DNA disebut deoksiribosa. Basa pada RNA sama dengan DNA,

kecuali pada basa timin pada DNA diganti dengan basa urasil pada RNA. Lokasi

DNA pada umumnya terdapat didalam kromosom, sedangkan lokasi RNA

tergantung dari jenis RNA. Messenger-RNAdibuat di nukleus dan dikeluarkan ke

sitoplasma. Transfer-RNA terdapat di dalam sitoplasma dan memiliki struktur

seperti daun semanggi, sedangkan ribosomal-RNA yang bersama protein

membentuk ribosom, terdapat di dalam sitoplasma (Dohertet al., 2001).

2.3.2 Jenis RNA

a. Messenger-RNA (mRNA)

Messenger-RNA (mRNA) merupakan RNA yang urutan basanya

komplementer dengan salah satu urutan basa rantai DNA. mRNA membawa

pesan atau kode genetik (kodon) dari kromosom (di dalam inti sel) ke ribosom (di

sitoplasma). Kode genetik mRNA tersebut kemudian menjadi cetakan untuk

menentukan spesifitas urutan asam amino pada rantai polipeptida (Lodishet al.,


(47)

29

Gambar 2.2

Struktur Messenger-RNA (mRNA) (Sumber: Lodishet al., 2000)

b. Ribosomal-RNA (rRNA)

Ribosomal-RNA (rRNA) merupakan komponen struktural yang utama di

dalam ribosom. Setiap subunit ribosom terdiri dari 30-46% molekul rRNA dan

70-80% protein. rRNA berfungsi menyediakan tempat untuk sintesa protein

(Dohertet al., 2001).

c. Trasfer-RNA (tRNA)

Trasfer-RNA (tRNA) memiliki ukuran yang paling kecil dengan panjang

(75-80 nukleotida) dan berperan membawa asam amino ke ribosom untuk

dipolimerisasi membentuk rantai polipeptida. tRNA merupakan RNA yang

membawa asam amino satu per satu ke ribosom. Pada salah satu ujung tRNA

terdapat tiga rangkaian basa pendek (disebut antikodon). Suatu asam amino akan

melekat pada ujung tRNA yang berseberangan dengan ujung antikodon. Pelekatan

ini merupakan cara berfungsinya tRNA, yaitu membawa asam amino spesifik

yang nantinya berguna dalam sintesis protein yaitu pengurutan asam amino sesuai


(48)

30

2.4 Reseptor Estrogen Alpha (ERα) dan Androgen (AR) pada Tikus 2.4.1 Reseptor Estrogen Alpha (ERα) pada Tikus

Aksi hormon steroid dimediasi oleh reseptor spesifik masing-masing

hormon. Reseptor merupakan protein regulator transkripsi, yang setelah berikatan

dengan hormon, akan merubah aktivitas transkripsi hormone responsive element

dari gen target. Regulasi ini meliputi ikatan antara reseptor dan hormon,

perubahan bentuk kompleks reseptor hormon, dan interaksi dengan DNA.

Berdasarkan hasil penelitian, menemukan bahwa molekul reseptor terdiri dari

domain fungsional yang terpisah (Wrange, 2001).

Hasil cloning dari complementary DNA (cDNA), ERα tikus terdiri dari

susunan basa yang mengkode 600 asam amino, 210 nukleotida, 5’ –untranslated

region dan 74 nukleotida yang menyusun 3’-untranslated region. Berat molekul

ERα tikus kira-kira 67.029 kDa dan memiliki region yang memiliki beberapa fungsi yang penting. Jika dibandingkan antara ERα tikus dan manusia, terdapat 528 asam amino yang identik dan 67 asam amino yang berbeda. Terdapat 85%

homologi pada seluruh region dibandingkan dengan ERα pada manusia. Terdapat insersi 5 asam amino pada ERα tikus yang dipercaya disebabkan oleh isersi dari ulangan GCC yang diikuti dengan beberapa substitusi basa antara posisi 69 dan 70

ERα manusia. Perubahan tersebut paling banyak terjadi pada 3 region; 33-180, 268-306 dan 558-600 (Koike, 2002).

Perhitungan substitusi asam amino pada kedua spesies tersebut


(49)

31

pada molekul ERα. Jumlah substitusi asam amino antara manusia dan tikus adalah 68 asam amino.

Gambar 2.3 Domain Fungsional ERα pada Tikus (Sumber: Koike, 2002) Gambar diatas merupakan susunan domain fungsional ERα pada Tikus. Bagian C adalah region N-terminal ERα tikus yang memiliki 100% kesamaan dengan ERα manusia. Region DNA binding Domain (E) (region 181-267) juga 100 % identik dengan yang ada pada ERα manusia. Hal ini menunjukkan bahwa region ini penting untuk fungsional ERα. Region ini kaya dengan asam amino dasar dan memiliki motif sekuen protein cystein. Region ini bersifat hidrofilik dan

akan berinteraksi dengan DNA gen target (Koike, 2002).

Region C-Terminal Domain (D) (asam amino ke 307-557) memiliki 96%

kesamaan dengan ERα pada manusia. Region ini mengikat estrogen dengan afinitas tinggi. Estrogen binding domain bersifat hidrofobik yang memungkinkan

terjadi pembentukan kantong hidrofobik (Greeneet al., 2000) yang memfasilitasi


(50)

32

Gambar 2. 4

Perbandingan nukleotida dan sekuen asam amino ER pada tikus dan manusia (Sumber: Koike, 2002)

Aksi biologi reseptor estrogen melalui 2 mekanisme yaitu : secara klasik

yang biasa disebut genomic action (mekanisme genomik) dan non genomic action

(mekanisme non genomik). Mekanisme klasik lebih dahulu ditemukan

dibandingkan mekanisme non klasik.

Aksi genomik melibatkan reseptor estrogen yang terletak di nukleus

(nuclear receptor). Ikatan antara ligan dan reseptor atau molekul yang agonis

akan menyebabkan perubahan formasi pada ER dan akan membentuk dimerisasi

yaitu homodimer atau heterodimer kemudian akan berikatan dengan daerah


(51)

33

akan mengatur terjadinya proses transkripsi gen. Aksi biologi ini memerlukan

waktu yang lama dan sensitif terhadap inhibitor transkripsi, begitu pula dengan

inhibitor translasi (Mahmudati, 2011).

Aksi non genomic melibatkan reseptor estrogen yang berada diluar nucleus

(extranuclear) dalam hal ini adalah reseptor estrogen yang berada di membrane

plasma dan sitoplasma. Tidak seperti reseptor pada growth factor seperti IGF-1

dan EGFR, estrogen tidak memiliki bagian transmembran dan kinase. Oleh karena

itu, aksi estrogen tersebut melibatkan protein kompleks dan molekul signaling

antara lain Mitogen Activated Protein Kinase (MAPK) dan jalur Akt seperti yang

telah diteliti pada sel kanker payudara, kanker prostat, pada kultur sel endotel dan

kultur sel osteoblast (Mahmudati, 2011).

Gambar 2.5

Mekanisme ER memediasi transkripsi (Sumber: Hewitt, 2002)

Seperti halnya reseptor estrogen di nukleus, reseptor estrogen di membran

plasma juga menimbulkan efek fisiologis pada berbagai tipe sel yang meliputi


(52)

34

aktivitas MAPK, dan respon yang diberikan tergantung dengan sel target.

Estrogen dapat melakukan aksi biologi melalui reseptor ekstranuklear dengan cara

berinteraksi langsung dengan faktor pertumbuhan lain yaitu reseptor EGF atau

melalui membran ER. Baik reseptor estrogen di membran plasma maupun di

nukleus akan membentuk dimer untuk mendukung aksi transduksi signal secara

cepat dan dapat mempengaruhi fungsi fisiologis (Mahmudati, 2011).

2.4.1.2 Distribusi Reseptor Estrogen (ER)

Penelitian terbaru menyatakan bahwa ada dua reseptor estrogen dalam

tubuh kita yaitu ERα dan ERβ. Keduanya mengikat estrogen baik agonis maupun

antagonis, dua reseptor ini berbeda dalam lokalisasi dan konsentrasi dalam tubuh

kita. Secara struktural juga berbeda antara keduanya. Dua isoform

memperlihatkan overlap tetapi berbeda pola distribusinya di jaringan dan berbeda

kemampuannya dalam mengikat ligand dan berbeda sifat transaktivasinya.

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ERα dan Erβ mempunyai peran biologis yang berbeda (Handayani, 2006).

ERβ sepertinya merupakan faktor paling penting dalam mekanisme

estrogen dan diekspresikan dalam banyak jaringan meliputi sistem saraf, sistem

kardiovaskuler, sistem imun, sistem urogenital, sistem gastrointestinal, ginjal dan

paru. Pada uterus dan payudara ditemukan adanya ERα dan Erβ, walaupun ERα ada dalam jumlah yang lebih banyak. Peran ERα yang dominan di dalam uterus mungkin menjelaskan mengapa reseptor estrogen ini merupakan reseptor estrogen

pertama yang diklon, karena kebanyakan pemurnian dan cloning didasarkan pada


(53)

35

fisiologi beberapa jaringan, dan tidak bisa diabaikan bahwa jaringan biasanya

lebih mengekspresikan estrogen reseptor β, sedangkan ERα mendominasi dalam

beberapa jaringan spesifik dan sebagian besar terlibat dalam peristiwa reproduktif.

Jelas sekali, perbedaan distribusi reseptor estrogen di jaringan mempunyai arti

lebih penting dari segi farmasetikal, sebagai terapi penggantian hormon pada

wanita menopause adalah seperti isu peningkatan kesehatan yang signifikan

(Handayani, 2006).

2.4.2 Reseptor Androgen (AR) pada Tikus

Hormon steroid meregulasi diferensiasi dan merangsang berbagai respon

fisiologis pada organisme eukariot. Aksi hormon tersebut memerlukan ikatan

antara hormon steroid dengan protein reseptor yang memiliki afinitas tinggi pada

sel target dan interaksi antara kompleks reseptor-hormon dengan elemen regulator

gen spesifik. Reseptor androgen (AR) diemukan pada banyak organ yang sensitif

pada androgen seperti prostat, vesikula seminalis, folikel rambut, kelenjar sebasea

dan preputial, otot levator ani, serta pada vagina tikus betina (Changet al., 2004).

2.4.2.1 Struktur Reseptor Androgen pada Tikus

Reseptor androgen pada tikus memiliki berat molekul 94 kDa dan terdiri

dari 902 asam amino. Reseptor androgen pada tikus terdiri dari beberapa domain


(54)

36

Gambar.2.6

Perbandingan Domain Fungsional AR pada Manusia dan tikus (Sumber: Tanet al., 2004)

1. N-Terminal domain (NTD) atau transactivation domain, terdiri dari 555 urutan

asam amino. Domain ini memiliki kesamaan sekuen asam amino yang identik

dengan AR pada manusia namun ada perbedaan sebanyak 18 nukleotida

(Chang et al., 2004).

2. DNA Binding Domain (DBD) terdiri dari 67 asam amino, merupakan bagian

yang paling dijaga dari molekul reseptor, yang menentukan spesifisitas

interaksi AR dengan DNA. DBD terdiri dari 2 kelompok: salah satunya

berperan dalam ikatan DNA secara langsung dan memiliki P-box untuk

pengenalan spesifik androgen response element (ARE), sementara yang

lainnya berperan dalam interaksi protein dan unit stabilisasi untuk dimerisasi

dua molekul reseptor. Domain ini memiliki 100% kesamaan dengan AR pada

manusia (Chang et al., 2004)..

3. Ligand Binding Domain (LBD), secara prinsip fungsi LBD adalah mengikat

androgen dengan afinitas tinggi. Selain itu, LBD juga berperan dalam lokalisasi

nuklear, dimerisasi reseptor, dan berinteraksi dengan protein lainnya. Domain

ini terdiri dari 52 asam amino dan memiliki kesamaan 100% dengan AR pada


(55)

37

Domain androgen binding reseptor meliputi 30% dari seluruh reseptor dan

bertanggung jawab untuk pengikatan androgen secara spesifik. Reseptor androgen

berinteraksi dengan DNA dalam bentuk homodimer dengan 2 kompleks reseptor

hormon yang identik. Kompleks dimer ditransfer dari sitosol masuk ke dalam

nukleus, dan kompleks dimer tersebut mengenali sekuen spesifik (androgen

sensitive region=ASR) dari genom DNA yang mengakibatkan rangsangan

transkripsi dan sintesis gen androgen-dependent(Nieschlaget al., 2010).

Testosteron mencapai target sel melalui difusi pasif. Testosteron terikat

dengan reseptor androgen menyebabkan perubahan konfirmasi dan pelepasan

Heat Shock Protein (HSP). HSP bertanggung jawab untuk menjaga reseptor

dalam keadaan inaktif dan dapat dilepaskan dari kompleks reseptor. Kehilangan

protein tersebut menyebabkan pelepasan domain fungsional dari reseptor dan

diperlukan dalam transpor nukleus, dimerasi, dan pengikatan DNA(Nieschlag et

al., 2010).

2.4.3 Regulasi Ekspresi Reseptor Estrogen Alpha dan Androgen oleh Hormon Seks Steroid

Respon bangkitan seksual merupakan suatu proses neurofisiologis yang

kompleks yang terdiri dari komponen sentral dan periferal yang terjadi setelah

adanya stimulasi seksual. Respon perifer pada sexual arousal adalah vasokongesti

genital dan lubrikasi yang terjadi akibat lonjakan aliran darah pada vagina dan

klitoris. Kondisi endokrin, khususnya hormon seks steroid merupakan hal yang

sangat penting untuk mempertahankan struktur dan fungsi jaringan (Lambert,


(56)

38

Penurunan konsentrasi estrogen dan androgen terutama pada masa

menopause dikaitkan dengan perubahan dramatis pada struktur jaringan genital,

termasuk jaringan saraf, dan juga respon fisiologis modulator. Selanjutnya,

defisiensi estrogen dan androgen menyebabkan penurunan ekspresi dari sexsteroid

receptors(Traish, et al., 2006)

Terjadi perubahan struktural yang signifikan pada vagina tikus dalam

merespon pemberian hormon seks steroid. Tetapi mekanisme terjadinya

perubahan tersebut belum dipahami secara jelas, tetapi paling tidak dipengaruhi

oleh ekspresi reseptor seks steroid (Nancy, 2005).

Pessinaet al (2006) dalam penelitiannya pada tikus menyatakan bahwa

setelah dilakukan ovarektomi, reseptor estrogen alpha (ERα) mengalami up

regulated dan reseptor progesteron mengalami down regulated. Pemberian

estradiol dapat mengembalikan perubahan yang disebabkan oleh ovarektomi, dan

efek ini tergantung dosis yang diberikan. Ekspresi reseptor androgen (AR) tidak

dipengaruhi oleh ovarektomi atau pemberian estradiol. Tetapi, pemberian

tetstosteron meningkatkan densitas AR pada bagian muskularis. Disimpulkan

bahwa downregulated ERα dan upregulated ekspresi PR pada vagina, menunjukkan adanya mekanisme untuk mencegah adanya proliferasi yang

berkelanjutan pada lapisan epitelium pada saat terjadi lonjakan estradiol pada

siklus estrus.

Fuermetzet al (2015) menyatakan pemberian estrogen lokal pada vagina

menyebabkan peningkatan ekspresi reseptor estrogen alpha dan progesteron pada


(57)

39

beta tidak terlihat adanya perubahan. Fakta ini menjelaskan bahwa proliferasi

jaringan vagina dimediasi oleh reseptor estrogen alpha.

Androgen reseptor diekspresikan baik pada bagian distal dan proksimal

vagina pada binatang usia reproduksi. Ovarektomi menyebabkan penurunan

reseptor androgen (AR) baik bagian proksimal dan distal dan ekspresi meningkat

setelah pemberian estrogen (Traish, 2002).

Pada vagina tikus, ditemukan bahwa mRNA reseptor androgen

diekspresikan baik pada sel epitelial dan stroma dengan ekspresi tertinggi terdapat

pada bagian epitelial. Pada vagina manusia, reseptor androgen terdapat pula pada

sel epitelial dan stroma yang ditentukan dengan metode pemeriksaan

imunohistokimia. Pada kedua bagian vagina tersebut, ovarektomi menginduksi

penurunan mRNA reseptor androgen secara bermakna. Pemberian estrogen (E2)

menginduksi peningkatan ekspresi mRNA reseptor androgen dalam jangka waktu

12-24 jam setelah pemberian estrogen. Hasil ini secara jelas mengindikasikan

pengaruh positif yang kuat antara estrogen dalam sirkulasi dengan ekspresi

mRNA reseptor androgen. ERα diekspresikan pada sel epitelial dan stroma pada vagina tikus. Selain itu, pada tikus ERα dan tidak pada ErβKO, terdapat

hipoplasia vagina dan jaringan vagina menjadi tidak sensitif terhadap estradiol

Pengamatan tersebut secara kuat mengindikasikan bahwa pada vagina, ERα

berperan dalam efek stimulator pada mRNA reseptor androgen yang diberikan

estradiol (Hewittet al., 2002).

Secara singkat, data tersebut menunjukkan bahwa estrogen menstimulasi


(58)

40

dan dapat dilihat dalam waktu 12 jam setelah injeksi tunggal estradiol pada tikus

yang diovarektomi dan kemungkinan dimediasi oleh ERα. Efek ERα terhadap ekspresi gen AR kemungkinan dimediasi oleh AP-1 Site sejak ditemukannya

beberapa AP-1 site pada bagian promoter gen AR (Bertinet al., 2014).

Pada stroma vagina, ovarektomi menyebabkan penurunan sebesar 55%

terhadap mRNA reseptor androgen. Tidak ditemukan adanya perubahan dalam

jangka waktu pengamatan 3 jam, dan peningkatan level mRNA reseptor androgen

pada sel stroma dapat dilihat pada waktu interval yang lebih panjang setelah

pemberian E2. Data tersebut mengindikasikan bahwa pada tikus dewasa, estrogen

memiliki regulasi positif terhadap mRNA androgen reseptor (Pelletieret al.,2004).

Gambar 2.7

Mekanisme peran reseptor seks steroid hormon dalam menyebabkan perubahan fisiologis pada vagina (Sumber: Traish, 2010)


(59)

41

2.4.4Autoregulasi Stabilitas mRNA yang mengkode Reseptor Hormon

mRNA yang mengkode reseptor hormon pada umumnya di regulasi oleh

hormon itu sendiri untuk membentuk autoregulatoryfeedback loop. Negatif dan

positif autoregulatory loop bertujuan untuk membatasi atau merangsang respon

hormonal (Nancy, 2005).

Estrogen merupakan hormon steroid yang melakukan autoregulasi

stabilitas mRNA yang mengkode reseptornya. Estrogen menstabilkan mRNA

reseptor estrogen pada hati ikan selama inisiasi oogenesis dan pada endometrium

mamalia selama lonjakan estrogen pada fase preovulasi. Pada kedua kasus

tersebut, stabilisasi dan peningkatan regulasi mRNA reseptor estrogen tergantung

pada protein ER karena antagonis estrogen dapat menghambat efek ini. Peran

estrogen dalam stabilitas mRNA ER ini penting untuk mekanisme rangsangan

respon estrogen (Fuermetzet al., 2015).

Sama halnya dengan estrogen, hormon steroid lainnya seperti progesteron

dan androgen juga melakukan autoregulasi terhadap ekspresi gen reseptornya

dengan merubah stabilitas mRNA. Pesan yang mengkode reseptor progesteron

dan androgen sama dengan ER mRNA yang membawa sekuen 3’UTR yang sangat panjang, kecuali mRNA AR yang juga membawa banyak AREs. Berbeda

dengan autoregulasi dua arah mRNA ER oleh estrogen, progestin dilaporkan

hanya mampu menstabilkan PGR mRNA. Androgen seperti halnya estrogen

melakukan autoregulasi terhadap stabilitas mRNA reseptornya baik ke arah positif

maupun negatif. Efek tersebut tergantung dosis dan jaringan atau sel yang


(1)

2.4.4Autoregulasi Stabilitas mRNA yang mengkode Reseptor Hormon

mRNA yang mengkode reseptor hormon pada umumnya di regulasi oleh hormon itu sendiri untuk membentuk autoregulatoryfeedback loop. Negatif dan positif autoregulatory loop bertujuan untuk membatasi atau merangsang respon hormonal (Nancy, 2005).

Estrogen merupakan hormon steroid yang melakukan autoregulasi stabilitas mRNA yang mengkode reseptornya. Estrogen menstabilkan mRNA reseptor estrogen pada hati ikan selama inisiasi oogenesis dan pada endometrium mamalia selama lonjakan estrogen pada fase preovulasi. Pada kedua kasus tersebut, stabilisasi dan peningkatan regulasi mRNA reseptor estrogen tergantung pada protein ER karena antagonis estrogen dapat menghambat efek ini. Peran estrogen dalam stabilitas mRNA ER ini penting untuk mekanisme rangsangan respon estrogen (Fuermetzet al., 2015).

Sama halnya dengan estrogen, hormon steroid lainnya seperti progesteron dan androgen juga melakukan autoregulasi terhadap ekspresi gen reseptornya dengan merubah stabilitas mRNA. Pesan yang mengkode reseptor progesteron dan androgen sama dengan ER mRNA yang membawa sekuen 3’UTR yang sangat panjang, kecuali mRNA AR yang juga membawa banyak AREs. Berbeda dengan autoregulasi dua arah mRNA ER oleh estrogen, progestin dilaporkan hanya mampu menstabilkan PGR mRNA. Androgen seperti halnya estrogen melakukan autoregulasi terhadap stabilitas mRNA reseptornya baik ke arah positif maupun negatif. Efek tersebut tergantung dosis dan jaringan atau sel yang diperiksa. Hormon steroid menunjukkan berbagai efek postranskripsional


(2)

terhadap mRNA reseptor. Hormon steroid mempengaruhi konsentrasi protein reseptor, hormon tersebut dapat bertindak membatasi atau merangsang respon jaringan terhadap stimulus hormon (Traish, 2010).

Penurunan ekspresi mRNA reseptor steroid disebabkan oleh metilasi DNA. Metilasi DNA dapat mempengaruhi transkripsi gen melalui 2 cara: a. DNA yang termetilasi dapat menghambat ikatan protein transkripsi dengan gen, b. DNA yang termetilasi berikatan dengan protein methyl-CpG-binding domain (MBDs). MBDs protein kemudian mengikat protein tambahan seperti histone deasetylase dan protein remodelling kromatin lainnya yang menyebabkan kromatin menjadi terkondensasi dan menjadi inaktive (Paszkowski, 2001).

Gambar 2.8

Metilasi pada Promoter Menyebabkan Kromatin Inaktif (Sumber: Paszkowski, 2001)


(3)

2.5Hewan Percobaan

2.5.1 Tikus Putih (Rattus norvegicus) betina galur wistar

Percobaan ini menggunakan tikus putih betina sebagai binatang percobaan. Tikus putih sebagai hewan percobaan relatif resisten terhadap infeksi dan sangatcerdas. Tikus putih tidak begitu bersifat foto fobik seperti halnya mencit dankecenderungan untuk berkumpul dengan sesamanya tidak begitu besar. Aktivitasnyatidak terganggu oleh adanya manusia di sekitarnya. Ada dua sifat yang membedakantikus putih dari hewan percobaan yang lain, yaitu bahwa tikus putih tidak dapat muntahkarena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat esofagus bermuara ke dalam lubangdan tikus putih tidak mempunyai kandung empedu. Tikus putih dapattinggal sendirian dalam kandang dan hewan ini lebih besar dibandingkan denganmencit, sehingga untuk percobaan laboratorium, tikus putih lebih menguntungkandaripada mencit. Usia tikus 2,5 bulan memiliki persamaan dengan manusia usia dewasamuda dan belum mengalami proses penuaan intrinsik (Hubrecht dan Kirkwood, 2010). Klasifikasi Tikus putih dalam sistematika hewan percobaan adalah sebagai

berikut:

Filum :Chordata Subfilum : Vertebrata Classis : Mammalia Subclassis : Placentalia Ordo : Rodentia Familia : Muridae


(4)

Genus : Rattus

Species : Rattus norvegicus

Gambar 2.9

.Rattus norvegicus (Sumber: Kusumawati, 2004) Tabel 2.3

Data Biologis Tikus Wistar

Karakteristik Nilai Normal

Berat badan lahir

Berat badan dewasa jantan Berat badan dewasa betina Usia maksimum

Usia reproduksi Konsumsi makanan Konsumsi air minum Defekasi

Produksi urin

Konsentrasi estradiol pada saat menopause

Konsentrasi testosteron pada saat menopause 4,5-6 gram 250-300 gram 180-220 gram 2-4 tahun 8-20 minggu 15-30 g/hari 20-45 g/hari 9-13 g/hari 10-15 ml/hari 36,8±5,9 pg/ml 139,2±26,2 pg/ml (Sumber: Hubrecht dan Kirkwood, 2010, Kusumawati 2004)

Tikus dapattinggal sendirian dalam kandang, asal dapat melihat dan mendengar tikus lain. Jikadipegang dengan cara yang benar, tikus-tikus ini tenang dan mudah ditangani di laboratorium. Ada dua sifat yang membedakan tikus dari hewan percobaan lain. Tikustidak dapat muntah, karena struktur anatomi yang


(5)

tidak lazim di tempat esofagusbermuara ke dalam lambung dan tikus tidak mempunyai kandung empedu

Untuk tikus pada laboratorium, makanan dan air minum sebaiknya diberikansecara ad libitum, dan pencahayaan ruangan diatur sebagai 12 jam terang dan 12 jamgelap. Tikus, terutama tikus albino, sangat sensitif terhadap cahaya, maka intensitascahaya laboratorium sebaiknya tidak melebihi 50 lux (Hubrecht dan Kirkwood, 2010)Kondisi optimal tikus di laboratorium ( Hubrecht dan Kirkwood, 2010)antara lain :

a. Kandang tikus harus cukup kuat tidak mudah rusak, mudah dibersihkan (satu kaliseminggu), mudah dipasang lagi, hewan tidak mudah lepas, harus tahan gigitan danhewan tampak jelas dari luar. Alas tempat tidur harus mudah menyerap air padaumumnya dipakai serbuk gergaji atau sekam padi.

b. Menciptakan suasana lingkungan yang stabil dan sesuai dengan keperluan fisiologistikus (suhu, kelembaban dan kecepatan pertukaran udara yang ekstrim harusdihindari).Suhu ruangan yang baik sekitar 20–22⁰C, sedangkan kelembaban udarasekitar 50%,.

c. Untuk tikus dengan berat badan 200-300 gram luas lantai tiap ekor tikus adalah 600cm2, tinggi 20 cm. Jumlah maksimal tikus per kandang adalah 3 ekor. d. Transportasi jarak jauh sebaiknya dihindari karena dapat menimbulkan stres

pada tikus.

Jika kondisi diatas tidak terpenuhi, maka tikus menjadi sakit. Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk menilai apakah tikus sehat atau sakit adalah (Hubrecht dan Kirkwood, 2010):


(6)

a. Penampilan Umum

Pada tikus yang sakit dapat terlihat piloereksi, bulu rontok, kulit kendur, berat badan menurun, kelopak mata tertutup.

b. Feses

Feses yang lembek dan diare menunjukkan terjadinya gangguan pada saluran pencernaan.

c. Tingkah laku.

Tikus yang sakit akan menjadi lebih agresif awalnya, namun lambat laun akan menjadi pasif.

d. Postur

Umumnya tikus yang sakit akan sering tiduran di lantai kandang, dengan posisi kepala menyentuh abdomen.

e. Pergerakan

Pergerakan pada tikus yang sakit sangat berkurang. f. Suara

Tikus yang sakit akan lebih banyak mencicit ketika dipegang. g. Fisiologi


Dokumen yang terkait

Perbedaan Ekspresi Reseptor Estrogen Dan Reseptor Progesteron Pada Jaringan Mioma Dan Miometrium Normal

3 74 87

PEMBERIAN EKSTRAK BIJI FENUGREEK (TRIGONELLA FOENUM-GRAECUM) SECARA ORAL MENINGKATKAN KADAR ESTROGEN PADA TIKUS PUTIH (RATTUS NORVEGICUS) BETINA GALUR WISTAR MENOPAUSE.

0 0 21

PEMBERIAN SUSU SUPLEMEN TINGGI PROTEIN WHEY (L-men Platinum) MENINGKATKAN KADAR ESTROGEN DAN TESTOSTERON PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN DENGAN AKTIVITAS FISIK SEDANG.

1 13 76

Pengaruh Pemberian Estrogen Terhadap Kadar mRNA Calcitonin Gene Related Peptide Serta Ekspresi Protein Gene Product 9.5 dan Tyrosine Hydroxylase Pada Epitel Mukosa Vagina Tikus Wistar Yang Dilakukan Ovorektomi Bilateral.

1 3 84

Pengaruh Pemberian Estrogen Terhadap Kadar mRNA Calcitonin Gene Related Peptide Serta Ekspresi Protein Gene Product 9.5 dan Tyrosine Hydroxylase Pada Epitel Mukosa Vagina Tikus Wistar Yang Dilakukan Ovorektomi Bilateral.

2 11 84

PEMBERIAN TESTOSTERONE REPLACEMENT THERAPY MENINGKATKAN EKSPRESI mRNA RESEPTOR ANDROGEN PADA KELENJAR PROSTAT TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus) JANTAN YANG DIKASTRASI.

0 1 68

Tikus Wistar (Rattus norvegicus)

0 1 3

Kata kunci: Kombinasi estrogen dan progesteron, kombinasi estrogen, progesteron dan testosteron,

0 0 6

Perbedaan Ekspresi Reseptor Estrogen Dan Reseptor Progesteron Pada Jaringan Mioma Dan Miometrium Normal

0 0 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Mioma uteri - Perbedaan Ekspresi Reseptor Estrogen Dan Reseptor Progesteron Pada Jaringan Mioma Dan Miometrium Normal

0 0 24