Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Stigma "Illegal" Rokok, dan Kompleksitas Relasi di Dalamnya D 902007011 BAB V

Bab 5

Persaingan Industri Rokok
Rokok sebagai barang kena cukai, pabriknya dibedakan
menjadi golongan I, I I, dan III. Kriteria golongan pabrik berdasarkan
produksi maksimal yang boleh dilakukan dalam satu tahun. Golongan
I, batas minimal produksi dua miliar batang per tahun, tanpa ada batas
maksimal. Golongan II, yakni pabrik rokok yang memproduksi 500 juta
batang sampai dua miliar batang per tahun. Sedangkan golongan III,
semula maksimal 500 juta batang, sekarang dikurangi menjadi 300 juta
batang berdasarkan Pereturan M enteri Keuangan No. 167/ PMK .011/
Tahun 2011 Tentang Perubahan Tarif Pita Cukai.
Persaingan industri rokok terjadi antara pabrik besar dengan
pabrik besar; pabrik besar dengan pabrik kecil; dan pabrik kecil dengan
pabrik kecil. Pada skala pabrik, mereka melakukan berbagai upaya
untuk memenangkan persaingan. Ekspansi pabrik dilakukan baik
secara vertikal maupun horizontal, khususnya bagi pabrik golongan I
dan II. Secara umum pabrik melakukan inovasi produk dan pasar agar
dapat mencapai pangsa pasar yang lebih luas, mempertahankan
konsumen untuk keberlanjutan operasional pabrik atau sekedar
bertahan hidup. Semakin banyaknya merek rokok yang masuk ke

pasar, persaingan semakin ketat. Rokok mengacu pada persaingan pasar
bebas, tidak dapat dibatasi wilayahnya. Secara terbuka persaingan
dapat terjadi pada level domestik/nasional maupun global.
Keberagaman strategi yang ditetapkan untuk bertahan hidup
atau memenangkan persaingan sangat dipengaruhi oleh sistem dan
proses yang dilakukan dalam berproduksi maupun memasarkan hasil
produksinya baik secara individu pabrik maupun industri. Proses dan
sistem menyebabkan pabrik beroperasi secara efisien. Efisiensi
99

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

menyebabkan keuntungan semakin besar, dan memberikan
kesempatan kepada pabrik untuk melakukan inovasi. Efisiensi dapat
dicapai kalau pabrik tidak kaku (bersifat fleksibel). Fleksibilitas pabrik
rokok dapat terwujud ketika menggunakan model perusahaan jaringan.
Dalam jaringan, pabrik saling melakukan spesialisasi sesuai dengan
kompetensinya. Bukan hanya dalam hal bahan baku atau bahan
pendukung yang telah berlangsung lama, tetapi juga dalam hal
produksi dan pemasaran.

Proses dan sistem pada produksi melembaga dalam bentuk
rantai produksi, mulai tahapan pengadaan bahan baku dan bahan
pendukung sampai proses produksi rokok itu sendiri. Proses dan sistem
pemasaran atau yang disebut rantai pemasaran merupakan rantai
distribusi rokok sampai di pasar. Baik proses dan sistem produksi
maupun pemasaran akan menentukan organisasi dan kelembagaan
dalam pabrik atau dalam industri secara menyeluruh. Bagaimana proses
dan sistem yang dibangun pada skala pabrik maupun industri akan
menentukan tingkat fleksibilitas dalam menghadapi persaingan.
Fleksibilitas akan dapat menciptakan efisiensi dan pada akhirnya
meningkatkan keuntungan. Keuntungan yang diperoleh memberikan
keleluasaan untuk melakukan berbagai inovasi.
Bab ini memaparkan persaingan industri rokok yang
mendorong munculnya rokok “illegal”. Bagian satu : memaparkan
bagaimana proses dan sistem produksi serta pemasaran pada pabrik
golongan I, II dan III. Bagian kedua, akan menjelaskan bagaimana
persaingan pabrik golongan I, II dan III. Bagian ketiga mendiskripsikan
bagaimana dampak persaingan dan munculnya rokok “illegal”.

Proses dan Sistem Pada Rokok Golongan I, I I dan II I

Rokok adalah produk yang melibatkan banyak pihak, tersistem
sedemikian rupa, terintegrasi dari hulu sampai hilir secara vertikal
maupun horizontal. Rokok bukan hanya sekedar produk ekonomi
tetapi mengandung nilai dan budaya yang embedded pada para pelaku
yang terlibat dalam produksi maupun pemasaran. Oleh karena itu
100

Persaingan Industri Rokok

rokok juga sebagai produk budaya. Rokok adalah produk yang
memiliki kompleksitas.
Produksi belum dilakukan oleh semua daerah karena tidak
semua daerah berkembang sebagai daerah produsen rokok walaupun
memiliki sumber daya bahan baku. Sebaliknya Kabupaten Kudus
berkembang sebagai daerah produsen rokok hanya memiliki
masyarakat sebagai pekerja. Di Indonesia, hanya beberapa daerah yang
menjadi daerah produsen dengan kekhasan masing-masing. Kudus,
dengan masyarakat (tenaga kerja); Kediri didukung oleh kedekatannya
terhadap bahan baku, tembakau.
Proses dan sistem produksi yang terjadi pada pabrik golongan

I, II, dan III berbeda, demikian juga proses dan sistem pemasarannya.
Perbedaan ini disebabkan pasar dan skala pabrik serta kapasitasnya
untuk memenuhi permintaan pasar. Perbedaan proses dan sistem juga
disebabkan kebutuhan dan kepentingan pabrik untuk menjamin
keberlanjutan pabrik.

Bahan yang dibutuhkan untuk memproduksi rokok terdiri dari
tembakau, cengkih, dan saos sebagai sumber sensasi aroma dan rasa.
Bahan pendukung, pembungkus dan kelengkapannya dikerjakan oleh
industri lain. Bahan baku memerlukan pengolahan tersendiri, untuk
setiap merek rokok memiliki ciri khas pada rasa dan aromanya.
Semakin banyak merek yang diproduksi semakin banyak perbedaan
aroma dan rasa yang harus diciptakan melalui proses produksinya.
Perbedaan rokok juga ditentukan karena alat yang digunakan,
apakah mesin atau manual (tangan). Rokok diproduksi oleh berbagai
golongan pabrik. Untuk menghasilkan rokok dibedakan proses
pengolahan bahan baku dan proses produksinya. Proses produksi
sesuai dengan rokok yang dibuat apakah kretek atau rokok putih.
Selanjutnya menentukan organisasi dan kelembagaannya, karena
masing-masing rokok memiliki pasarnya sendiri.


 Proses dan Sistem pada Pabrik Golongan I dan II.
101

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

Jenis rokok yang diproduksi oleh pabrik golongan I dan II
terdiri dari rokok kretek dan rokok putih. Produksi menggunakan
tangan (manual) dan juga mesin. Oleh karenanya disebut Sigaret
Kretek Tangan (SKT) dan Sigaret Kretek M esin (SKM), baik untuk jenis
rokok kretek maupun rokok putih.
Rokok kretek lebih banyak diproduksi untuk memenuhi
permintaan pasar dalam negeri, dan rokok putih untuk kebutuhan
pasar global. Rokok kretek adalah aroma yang menggunakan cengkih
sedangkan rokok putih menggunakan kekuatan aroma yang berasal
dari “saos”. Saos adalah campuran berbagai bahan kimia dan alami yang
menghasilkan aroma sebagai cita rasa rokok yang khas sesuai dengan
selera konsumen. Rokok putih sangat terbuka untuk dikembangkan
varian rasanya dibanding rokok kretek. Rokok kretek dan rokok putih
juga dibedakan berdasarkan kandungan tar dan nikotinnya.

Untuk mengembangkan varian rasa, diperlukan kompetensi
yang berkaitan dengan saos (tobacco flavour). Di bawah ini secara
spesifik dikemukakan komponen saos agar menimbulkan rasa dan
aroma seperti yang diinginkan. Penggunaan flavour, mulai dengan
yang low flavor sampai high flavor. High flavour terdiri dari sweet
spicy dan nutty frutty. Sedangkan untuk yang low flavour, terdiri dari
yang tipe natural (CV.Penta Aromindo, 2009; Agung, 2001).
Didasarkan pada kandungan tar dan nikotinnya, misalnya Low Tar
and Nicotin (< 15 mg tar/batang /cigaret, dan < 1,1 mg nicotin /cigaret)
dan M edium Tar and Nic (< 15 mg tar/cigaret. < 20 & < 1,1 mg nicotin
/cigaret. < 1,5). Untuk rokok putih, memiliki 2 tipe acuan cita rasa,
yaitu American Blend: sweet aromatic anissed and typical acid fruit,
chocolate and fermented Virginia Blend: typical virginia smoke taste
and fermented acid taste ”
Produksi rokok kretek terdiri atas 4 bagian dan tahapan yaitu
Blend Tembakau; Blend Clove; Casing Flavour; Top Flavour. Blend
Tembakau merupakan campuran dari berbagai macam jenis tembakau
(bentuk rajangan) dengan perbandingan tertentu sedemikian rupa
sehingga diperoleh cita-rasa tembakau yang diinginkan. Blend Clove
merupakan campuran dari beberapa jenis clove (cengkih bentuk

102

Persaingan Industri Rokok

rajangan) dengan perbandingan tertentu sedemikian rupa sehingga
diperoleh cita-rasa clove yang diinginkan.
Saos rokok pada umumnya hampir sama dengan esens yang
digunakan di industri makanan. Bedanya hanya di metode penggunaan.
Saos rokok harus dilarutkan dulu dengan Ethyl Alcohol agar bisa
digunakan pada tembakau. (Agung, 2001; CV Penta Aromindo, 2009).
Pabrik hanya menggunakan bahan baku saos untuk menghasilkan rasa
dan aroma sesuai dengan rokok yang dibuat.
Tembakau sebagai bahan utama rokok di Indonesia yang
banyak digunakan adalah jenis nicotiana tabacum. Selain nicotiana
tabacum, ada juga jenis nicotiana rustica, nicotiana silvestris, nicotiana
glutinosa, dan nikotiana petunoides (Santosa, 2001).
Setiap jenis rokok memerlukan tembakau berbeda, misalnya
untuk cerutu menggunakan tembakau Virginia yang banyak
diusahakan oleh rakyat. Tembakau cerutu khusus untuk ekspor
ditanam di sekitar Sumatra yang dikenal dengan tembakau Deli.

Tembakau Vorstenland, ditanam antara Solo-Yogya. Tembakau Besuki
di Jember. Sedangkan tembakau Virginia yang digunakan sebagai
bahan baku rokok putih, ditanam di Jawa Timur, Lombok, dan
Sulawesi Selatan. Tembakau rakyat digunakan juga untuk keperluan
produksi rokok skala rumahan, sesuai dengan kebutuhan lokal daerah,
dihasilkan dari Lombok, yaitu tembakau Ampenan, tembakau Cabenge
di Sulawesi Selatan, tembakau Payakumbuh di Sumatera Barat,
tembakau M ole di Garut. Bahan baku rokok kretek biasanya
menggunakan tembakau rakyat yang berasal dari Kedu, tembakau
Kasturi dari Jember, dan tembakau M adura dari M adura.
Pada industri rokok golongan I dan II, bahan baku tembakau
dan bahan pembantu utama lainnya (cengkih dan saos) diproses
tersendiri oleh pabrik yang disebut proses tembakau primary.
Tembakau sebelumnya disimpan selama 2-3 tahun untuk mendapatkan
kualitas yang diinginkan. Proses dilakukan dengan tahapan tertentu
untuk menghasilkan tembakau siap “giling” (tobacco finished blend).
Proses primary adalah proses pengolahan material rokok (cigarette)
103

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya


yang masih berupa material setengah jadi sampai menjadi produk hasil
blending yang siap untuk dilinting (tembakau untuk SKT dan SKM
melalui proses yang sama). Proses primary ini menentukan 90 persen
rasa atau sensasi merokok sedangkan 10 persennya disumbangkan dari
proses linting dan sistem filter yang digunakan. Primary Processes
diibaratkan sebagai “jantungnya” pabrik rokok, karena merupakan
proses terpenting yang akan menghasilkan bahan rokok seperti yang
diinginkan.
Tembakau dari supplier berbentuk kubus padat merupakan
hasil proses pres dan kering. Tembakau ini dipotong dengan
menggunakan mekanisme guillotine semacam alat penggal di masa
lalu, dengan potongan searah atau tegak lurus searah lapisan daun
tembakau, hasil potongan tegak lurus kualitasnya lebih baik. Proses ini
disebut slicing. Slicing harus dilakukan dengan kecepatan makan (feed
rate) dan dengan potongan yang konstan untuk menjaga hasil agar
sesuai standar proses. Selanjutnya dilakukan conditioning, yaitu
pengkondisian hasil proses slicing dengan temperatur tertentu agar
tembakau dalam kondisi lembab, menggunakan alat berbentuk silinder
yang berputar (conditioning silinder), di dalam silinder tersebut

terdapat garpu yang berfungsi mengurai tembakau. Kelembaban
tembakau dilakukan dengan memberikan air dengan cara
disemprotkan. Proses conditioning berbeda untuk jenis tembakau yang
berbeda, karena setiap jenis tembakau memiliki karakter fisik yang
berbeda. Selanjutnya akan dilakukan proses casing. Casing dilakukan
bersamaan atau secara terpisah dengan proses conditioning, jika casing
yang digunakan berbahan dasar molase yang memiliki kekentalan
(viskositas) tinggi. Proses casing menggunakan alat yang disebut direct
conditioning and casing cylinder (DCCC). Proses casing memerlukan
tangki casing dan dosing system. Tangki casing harus memiliki sistem
pengawasan dan pengadukan agar casing dapat merata dan standar
(homogen) selama proses. Selanjutnya dilakukan “FM” atau foreign
material classification, yaitu proses menyeleksi benda asing yang
terdapat dalam tembakau, khususnya logam agar tidak merusak mesin
dalam proses selanjutnya. Alat deteksi menggunakan detektor logam,
mesh stainless steel, optical system, dan airlift system. Semua proses
104

Persaingan Industri Rokok


yang telah dilalui dilanjutkan dengan proses cutting sebagai proses
yang paling kritis. Sehingga proses sebelumnya akan menentukan hasil
proses cutting. M ekanismenya menggunakan drum dengan pisau yang
berputar dengan kecepatan tertentu. Kualitas hasil potongan tembakau
harus tetap dipertahankan sedemikian rupa dengan memperhatikan
perawatan dan penggantian spare parts-nya. Setelah proses cutting,
dilanjutkan dengan proses expansion drying, karena moisture content
tembakau dirasakan masih tinggi (25-30 persen). Tembakau harus
dikeringkan dengan menggunakan dryer dan ekspansi secara
bersamaan, untuk mendapatkan hasil tembakau yang kering dan tidak
menyusut, tetapi malah bertambah. Tembakau yang dihasilkan harus
memiliki kadar air sesuai dengan standar yang ditetapkan untuk suatu
jenis rokok dan sekaligus filling power. Pemberian flavour adalah
bagian terakhir dari primary processes, berupa larutan berbahan dasar
alkohol yang ditambahkan dalam tembakau dengan menggunakan
mesin flavour cylinder. Pada proses ini aroma dan rasa tembakau
ditentukan. Selanjutnya tembakau siap giling disimpan dengan metode
yang bermacam-macam. Untuk setiap pabrik dapat berbeda-beda, ada
yang menggunakan blending silo atau karung atau tobacco bin. Selama
proses storage akan terjadi proses homogenisasi pada tembakau karena
tembakau memiliki sifat higroskopik, sehingga pemberian flavour yang
kurang merata dapat disempurnakan ketika tembakau saling berkontak
fisik dengan tembakau lainnya. Proses primary ini dilakukan oleh
semua pabrik besar dengan kebiasaan yang dilakukan sejak lama dan
diwariskan secara turun menurun (culture heritage). Dalam
perkembangannya proses primary menggunakan alat (mesin) yang
lebih modern. Proses primary antara pabrik yang satu dengan pabrik
lainnya berbeda karena kebutuhannya berbeda, tetapi tujuannya sama,
yaitu mengolah tembakau sebelum proses giling atau linting.

Tembakau

Silo Blending
Condit ioning
105
Casing Drum

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

Tembakau

Cengkih

Jengkok

Flavouring

Dryer

Silo Blending

Drum

Limbah dari cucian
M esin

Jengkok

M ixing

Preeblending

Silo Blending

Cont ainer/

Tembakau

Feeder

Finished Blend

Sack Filling

Siap Giling

Gambar 25

Proses Tobacco Primary

Jenis rokok yang akan diproduksi menentukan kualitas
tembakau yang dibutuhkan. Di M adura, standar mutu atau kualitas
tembakau dapat diidentifikasi meliputi warna, tekstur tembakau
dengan cara dipegang, aroma, tingkat kekeringan, kebersihan,
kemurnian, ketuaan daun, posisi daun, dan lebar rajangan. Kualitas
tembakau dibagi menjadi 1 (amat baik), 2 (baik), 3 (cukup), 4 (sedang).
Jenis tembakau dengan kualitas yang amat baik biasanya memiliki
warna tidak terlalu hijau, tidak berbau tanah atau bercendawan, tidak
tercampur bahan-bahan bukan tembakau, dan tidak dicampur gula
(Santosa, 2001 : 100).
Tata niaga tembakau memiliki sifat fancy product, artinya
kualitas menentukan harga. W alaupun produktivitas meningkat jika
kualitasnya rendah, secara ekonomi tidak akan menghasilkan
keuntungan yang baik. Tembakau yang kualitasnya rendah dijual
kepada pabrik rokok kecil (golongan 3), tetapi dengan harga yang
106

Persaingan Industri Rokok

murah dan dalam jumlah yang kecil. Pabrik besar akan
mempertimbangkan untuk membeli tembakau dengan kualitas rendah,
tetapi seringkali tidak akan dibeli karena tidak sesuai dengan kualitas
rokok yang akan diproduksi.
Pengadaan tembakau merupakan proses dan sistem tersendiri
pada pabrik golongan I dan II. Proses melibatkan para pihak sejak dari
petani sampai pabrik. Pada Gambar 26, merupakan skema pengadaan
tembakau sampai ke gudang pabrik hanya bagi pabrik besar dan
menengah (golongan I dan I I). Pabrik rokok besar biasanya memiliki
gudang sendiri-sendiri di lokasi daerah tembakau dihasilkan. Istilah
untuk menyebut aktor atau pelaku dalam rantai pengadaan tembakau
dari petani sampai gudang pabrik rokok berbeda dan khas sesuai
dengan istilah daerah masing-masing. Pada skema tersebut, contoh
istilah yang digunakan di daerah Temanggung dan Madura.
Petani tembakau akan menjual kepada para pengepul. Hanya
pengepul yang memiliki kartu anggota berhak untuk masuk area
gudang. Pengepul atau “bandol” menjual tembakau kepada juragan
(M adura) atau Grader (Temanggung), dengan cara mengirim contoh
tembakau atau “sasoler” (M adura) terlebih dahulu ke gudang. Contoh
tembakau akan dilihat oleh grader atau juragan, untuk menentukan
tembakau tersebut termasuk grade yang mana. Grader adalah orang
yang ahli dalam mengenali kualitas tembakau. Tidak hanya di lokasi
pertanian tembakau, tetapi juga keahliannya dapat melengkapi
keahlian sebagai pedagang tembakau.

107

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

Pet ani Tem bakau

Pengepul/ Bandol

Grader/ Juragan

Tukang Cocok/ Tukang Tongko

Tukang Tum plek

Gudang

Gambar 26
Proses Pengadaan Tembakau

Selanjutnya, contoh tembakau akan dibawa kepada tukang
cocok atau tukang tongko, untuk dilihat apakah memenuhi syarat yang
diminta pabrik. M ereka yang akan memberikan jawaban bahwa
tembakau memenuhi syarat atau tidak. Tembakau dan contoh yang
sudah ditetapkan oleh tukang cocok, kemudian diserahkan kepada
tukang “tumplek” setelah mencocokkan antara contoh tembakau dan
tembakau yang dibawa pengepul. Setelah itu, tembakau akan dicatat
oleh para assisten grader untuk memutuskan berapa keranjang yang
akan dibeli, dan diberi label harga. Tembakau yang telah diberi label
akan dibawa ke gudang tumplek. Di gudang tumplek, proses akan
dilanjutkan apabila tembakau cocok dengan contohnya, maka
selanjutnya “ditumplek” (bahasa Jawa: ditumpahkan) ke gudang.
Selanjutnya pengepul akan mengurus pembayaran di tempat yang telah
ditentukan. Proses pembelian tembakau dari petani sampai ke gudang
selesai. Proses dari gudang ke pabrik merupakan rantai tersendiri.
Tembakau contoh di M adura disebut “sasoler”. Dari tembakau
sebanyak 2 kg, hanya diambil 1 ons sebagai contoh, sisanya sebagai
“ret-ret” atau “upeti”. Bagi petani hal tersebut bukan hal yang
108

Persaingan Industri Rokok

merugikan. Di Temanggung ditentukan berupa gulungan kecil
tembakau yang diikat dengan kertas berwarna coklat. Grader akan
mencium sampel untuk menentukan grade tembakau. Di Temanggung
grade tembakau terdiri dari A sampai F. Sedangkan di M adura dibagi
menjadi 4, yaitu 1, 2, 3, dan 4. Pengepul bertindak sebagai pembantu
grader, biasanya telah dibina oleh grader dan memiliki wilayah
sendiri-sendiri, istilah bagi pengepul juga bisa berbeda pada daerah
yang berbeda, misalnya di M adura disebut bandol. Seorang grader
memiliki banyak bandol atau pengepul. Grader adalah orang
kepercayaan yang ditunjuk pabrik, bertugas untuk pengadaan
tembakau dan memiliki kekuasaan untuk menentukan grade, mutu,
atau kualitas tembakau sesuai dengan kualitas yang dibutuhkan pabrik
dan sesuai dengan rokok yang akan diproduksi. Grader juga memiliki
kewenangan untuk menentukan harga tembakau. Sedangkan gudang
pabrik disediakan di area penghasil tembakau, misalnya PT. Djarum
dan PT. Gudang Garam memiliki gudang di Kendal/W eleri,
Temanggung, W onosobo, NTB, dan daerah penghasil tembakau
lainnya.
Proses pengolahan tembakau menjadi rokok disebut dengan
“giling” atau “linting”, yaitu tembakau yang telah diolah melalui proses
primary. Alat produksi yang digunakan terdiri dari manual atau mesin.
Proses produksi rokok secara manual menggunakan alat giling atau
linting yang banyak dijual di pasar, dari bahan dasar kayu dan
dioperasikan kebanyakan oleh buruh perempuan. M esin digunakan
untuk giling dan linting rokok, yang menghasilkan rokok sigaret
mesin, baik kretek maupun rokok putih. Proses produksi sigaret
kretek/putih yang menggunakan mesin, dapat digambarkan sebagai
berikut:

109

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

Tembakau

M aterial

Finished Blend

Pendukung

Cigaret t e M aking

“ Bladeg” dan
“ gagang”

Cigaret t e Packing

Kertas bahan
Bungkus

Finish Goods

Air Cucian Peralatan
proses (glue pot )

Gambar 27
Produksi rokok dengan mesin

“Bladeg” dan “gagang” merupakan limbah yang dimanfaatkan
oleh pihak ketiga, masyarakat dan pabrik golongan III. Bladeg dan
gagang sebagai material untuk membakar batu merah yang akan
menghasilkan warna merah. Sedangkan air limbah sisa cucian alat
diolah di septic tank dan diolah di Instalasi Pengolahan Limbah (IPAL)
yang dimiliki pabrik secara keseluruhan. Pada produksi rokok yang
menggunakan mesin, bathil dan sortir tetap dilakukan dengan manual.
Bathil, adalah proses merapikan ujung dan pangkal rokok dari
tembakau yang tidak tergulung dengan rapi. Sedangkan sortir, adalah
proses untuk memisahkan produk yang gagal.
Proses produksi rokok yang menggunakan tangan (manual),
hampir sama, perbedaannya hanya pada proses giling/linting rokok;
bathil dan sortir dikerjakan dengan manual. Rokok yang telah
digiling/dilinting; dirapikan dan disortir selanjutnya di “selop”, yaitu
mengemas rokok menjadi jumlah isi dalam bungkus yang ditentukan.
M isalnya 10; 12 batang per bungkus. Selanjutnya rokok dibungkus
dengan bahan plastic tipis sebagai pelindung dalam yang disebut
110

Persaingan Industri Rokok

cellophane. Rokok dibungkus dengan kemasan yang telah disiapkan,
pemasangan segel penutup dan direkati pita cukai. Tahapan paling
akhir adalah dengan melapisi cellophane sebagai pelindung luar, dan
rokok siap didistribusikan dalam kemasan “pak”, yang berisi 10
bungkus dan “bal” yang berisi 20 pak.

 Organisasi Produksi dan Pemasaran Pada Pabrik Rokok Golongan I
dan II.

Organisasi produksi pada industri golongan I dan II, pada
dasarnya tersistem mulai dari petani sampai ke gudang milik pabrik,
dari gudang pabrik sampai ke pabrik. Produksi rokok dikerjakan oleh
organisasi tersendiri demikian pula untuk pemasarnnya. Organisasi
produksi meliputi pemasok bahan baku, pengolah tembakau primay,
tenaga kerja. Pemasaran diserahkan kepada organisasi tersendiri, yang
merupakan perusahaan yang berdiri sendiri atau merupakan bagian
dari pabrik induk. Sekalipun pekerjaan tidak lagi terpusat, tetapi
produksi dan pemasaran terintegrasi kuat sebagai suatu sistem yang
teratur dalam struktur yang jelas. Rantai produksi dan pemasaran
melibatkan perusahaan yang bergerak untuk mendukung produksi
(pemasok bahan baku, bahan penunjang, proses pengolahan bahan
baku, produksi rokok,pita cukai, dan lain-lainnya). Perusahaan
Pemasar melibatkan perusahaan transportasi dan periklanan, serta perbankan.

111

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

Pemasok
Tembakau
Percet akan

KPPBC

Pabrik/
Rokok

Pemasar
Rokok

Pabrik
Perlengkapan
Produksi
lainnya

Jasa
Perbankan

Periklanan
Transport asi

Gambar 28
Organisasi Produksi dan Pemasaran Pada Industri Rokok
Golongan I dan II

Sistem yang terbangun sebagai rantai produksi dan pemasaran
sangat bervariasi, menyesuaikan jenis rokok (kretek atau putih); buatan
tangan (manual) atau mesin; di mana daerah pemasarannya; serta harga
jual eceran (HJE) rokok yang direncanakan. Hal tersebut berpengaruh
pada produksi dan organisasi yang harus dibuat. Pemasaran rokok
menggunakan model Business to Business (B to B) atau Business to
Consumer (B to C). B to B, sesuai dengan organisasi produksi dan
pemasaran yang tidak lagi ditangani oleh satu pabrik saja, tetapi saat ini
pabrik rokok melakukan spesialisasi pada produksi dan pemasaran
diserahkan pada perusahaan lain. Pada pola B to C, distribusi rokok
dapat menggunakan saluran panjang dan/atau pendek, sangat
tergantung pada lokasi secara geografis di mana konsumen berkumpul
atau secara fisik pasar berada. Panjang-pendeknya saluran ditentukan
oleh pertemuan Business to Consumer.
Peran komunikasi pasar sangat penting. Komunikasi dilakukan
dalam berbagai bentuk promosi, iklan, publikasi, dan menggunakan
seluruh media yang ada baik yang berbasis teknologi maupun
komunikasi langsung kepada masyarakat konsumen. Sebagai produk
image, iklan yang dibuat harus membuat konsumen merasa bangga
112

Persaingan Industri Rokok

mengkonsumsi rokok, sehingga iklan bersifat sangat berperspektif
gender, bisa bersifat maskulin atau feminine. Promosi dan bentuk
komunikasi pasar yang lain merupakan arena pertarungan industri
yang mengandalkan penguasaan teknologi dan informasi. Pasar adalah
ruang dan media untuk melakukan inovasi produknya. Inovasi yang
dilakukan untuk mengembangkan produk dan pasar dilakukan dengan
mengintegrasikan industri dengan industri pendukung (reklame atau
advertising) dalam suatu jaringan industri (network enterprise) yang
diikat oleh nilai-nilai saling membutuhkan dan saling menguntungkan
(modal sosial) sebagai kesatuan, sekalipun dalam kompetensi yang
berbeda (bridging).
Pabrik golongan I dan II, juga memiliki komitmen lebih besar
dan melaksanakan Corporate Social Responsibility (CSR), sebagai biaya
yang dialokasikan khusus baik terbuka ataupun terselubung.
Pemanfaatan CSR tidak hanya terbatas pada konsumen rokok, tetapi
untuk masyarakat luas sesuai dengan kebijakan perusahaan. CSR
diyakini sebagai media promosi dan lebih besar pengaruhnya untuk
menguatkan posisi pasar industri seperti yang dikemukakan oleh
Silvia, 2012. Bagi masyarakat, sekalipun anti terhadap rokok tetap
mendapatkan manfaat dari keberadaan rokok melalui program yang
memanfaatkan CSR tersebut.

 Proses dan Sistem Pada Pabrik Golongan III.
Pabrik golongan III, memiliki proses dan sistem berbeda
dengan golongan I, walaupun ada sebagian pabrik golongan II yang
memiliki model sama dengan golongan III. Khususnya pada
pengolahan tembakau, alat yang digunakan dan jenis rokok yang
diproduksi. Pabrik rokok golongan III hanya memproduksi rokok
kretek menggunakan tangan. Pabrik golongan III, tidak melakukan
pengolahan tembakau sendiri tetapi menggunakan jasa pabrik
tembakau atau pabrik rokok lain yang menyediakan jasa pengolahan
tembakau siap pakai yang disebut tembakau “setelan”. Demikian juga
untuk promosi hanya sedikit yang memanfaatkan media massa maupun
113

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

elektronik. Komunikasi pemasaran dilakukan dari mulut kemulut, atau
memanfaatkan agen pemasar yang ada di lapangan.
Tembakau setelan berasal dari “aval” atau “debu” industri
rokok golongan I. Sekalipun hanya debu, tetapi mengandung bahan
(tembakau dan cengkih) pilihan dan telah mengalami proses steam
sehingga kualitasnya lebih baik dengan harga yang sangat murah bila
dibandingkan harus memproduksi sendiri dari tembakau dan cengkih
asli. Penyedia jasa pengolah tembakau aval menjadi tembakau “setelan”
adalah pedagang tembakau atau pabrik rokok yang tidak hanya
memproduksi rokok tetapi mengolah aval sebagai diversifikasi produk.

114

Persaingan Industri Rokok

Bahan Baku dan
bahan Pendukung

Aval/Jengkok (Debu
Tembakau)

Tembakau “Setelan”

Proses Produksi

Giling/Linting;
Bathil; Sortir

Pengemasan
(selop, pak, pres,
dan bal)

Pita Cukai

ROKOK

Lem, plastik (opp
luar dan dalam), alat
pres.
Persaingan Industri Rokok

Percetakan Bungkus
(kemasan)

115

Gambar 29
Skema Proses Produksi Rokok yang Menggunakan Tembakau “Setelan”

115

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

 Organisasi Produksi dan Pemasaran Pabrik Golongan III.
Organisasi mengikuti rantai yang dipilih, panjang-pendek,
terintegrasi atau tidak. Pilihan tersebut bukan hanya karena keinginan,
tetapi lebih sebagai kebutuhan untuk merespon kondisi karena
persaingan atau kebijakan. Pabrik rokok golongan II (sebagian) dan III,
memiliki kapasitas produksi yang dibatasi pada jumlah yang berbeda.
Tetapi konsumen tidak dipengaruhi oleh golongan pabrik, golongan
pabrik ditetapkan untuk kepentingan penetapan tarif cukai. Sehingga
strategi untuk berproduksi dan memasarkan produknya bersifat
fleksibel, bisa sama dengan pabrik besar atau berbeda. Faktanya pada
industri golongan II lebih dapat melakukan strategi untuk mencapai
konsumen ke atas maupun ke bawah. Selera konsumen tidak hanya
rasa dan aroma rokok tetapi juga harga, sehingga industri rokok
golongan II memiliki keleluasaan ini.
Pabrik golongan II I memiliki rantai pendek dan tidak
terintegrasi. Ketidakpastian pasar disiasati oleh pengusaha dengan
sistem rantai yang sangat fleksibel. Fleksibilitasnya menyangkut aktor
yang terlibat dan bentuknya sangat cair. Pemasaran rokok pabrik
golongan III hanya melibatkan pengusaha dan agen. Agen bertugas
mencari dan memberikan informasi permintaan pasar (jenis, jumlah,
aroma) dan biasanya sekaligus menjadi agen pemasaran, sehingga agen
memiliki jaringan yang fleksibel sampai kepada konsumen. M elalui
pedagang besar, dan pengecer. Jaringan ini bergerak dengan bentuk
yang dinamis, tergantung kondisi di lapangan.
Pengusaha melakukan perencanaan yang meliputi keputusan
pemasaran (daerah dan waktu) serta merencanakan kebutuhan bahan
baku, rasa, dan aroma, ditambah dengan memutuskan kapan
diproduksi sesuai batas waktu yang disepakati, antara para agen di
lapangan dengan pengusaha. Produksi yang direncanakan akan
mempengaruhi jumlah tenaga kerja (giling, linting, bathil, sortir,
nyelop, dan bungkus) yang dibutuhkan dengan cara dihubungi melalui
koordinatornya. Koordinator (mandor) ditunjuk berdasarkan
kompetensi, bertindak bukan hanya mengawasi, tetapi juga
memutuskan siapa, berapa, dan bagaimana tenaga kerja dihubungi.
116

Persaingan Industri Rokok

Pada pabrik golongan III, rantai produksi dan pemasaran tidak
dipisahkan dan terintegrasi dengan tugas dan kewenangan pengusaha
untuk memutuskan berapa yang diproduksi, kapan, jenis rokok, aroma,
dan rasa walaupun mereknya tetap sama. Dalam hal ini pengusaha
memiliki jaringan kerja sama dengan pabrik lain yang memiliki jenis
rokok buatan mesin. Pengusaha akan meminta untuk diproduksikan
sesuai dengan permintaan pasar.

Persaingan Industri Rokok
Porter (1996), mengidentifikan kekuatan persaingan dibagi
menjadi lima aspek yaitu : pemasok bahan baku, pembeli, produk
substitusi, potensi pendatang baru yang potensial dan persaingan
pabrik dalam industri. Persaingan antar pabrik secara umum memiliki
pola yang sama antara pabrik golongan I,II dan III. Perbedaannya
terletak pada skala, kapasitas dan strategi untuk menekan biaya agar
usaha tetap dalam kondisi efisien.
Kelima aspek tersebut masing-masing memiliki daya tawar
terhadap pabrik di dalam industri secara individu. Secara kolektif
kemampuannya menentukan pabrik dalam industri untuk
pengmbalian investasi yang telah dikeluarkan. Kemampuan kolektif
berbeda antara industri barang/jasa yang satu dengan lainnya. Pada
pabrik rokok, kemampuan kolektif sangat dipengaruhi oleh tekanan
masyarakat anti tembakau yang menekan industri, kebijakan
pengendalian rokok sebagai barang kena cukai, rokok sebagai sumber
pendapatan penerimaan pemerintah dan persaingan itu sendiri. Secara
alami kemampuan kolektif akan berubah ketika industri mengalami
perubahan khususnya keputusan produksi karena perubahan
permintaan pasar.
Bahan baku rokok adalah tembakau, yang dapat diperoleh
bukan hanya dari petani lokal (domestik), tetapi juga dari impor. Bahan
pendukung utama adalah cengkih untuk rokok kretek dan saos untuk
rokok putih. Daya tawar pemasok pada perusahaan rokok sangat
lemah, cenderung memiliki ketergantungan yang tinggi kepada pabrik
117

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

rokok. Oleh karena itu perubahan produksi karena perubahan
permintaan pasar yang terjadi pada pabrik rokok sangat berpengaruh
terhadap pemasok. Penentuan harga juga ditentukan oleh kualitas
tembakau atau cengkih sesuai kebutuhan (jenis dan jumlah rokok)
yang akan diproduksi. Demikian juga pemasok kebutuhan pendukung
produski rokok, seperti kertas pembungkus dan perusahaan
percetakannya; plastik; lem dan lain-lain hampir tidak memiliki
kekuatan tawar terhadap pabrik. Pabrik sangat mudah untuk
mengalihkan permintaannya kepada pabrik atau perusahaan lain
sebagai pemasok. Dalam kondisi daya tawar pemasok kuat, pabrik akan
mensiasati dengan kerja sama antar pabrik sebagai pembeli. Tetapi
dalam kondisi daya tawar lemah, maka pabrik dapat mengendalikan
harga dan jumlah permintaannya; memperbesar persediaan tembakau
dan cengkih menggunakan teknologi yang semakin canggih. Sekalipun
daya tawar pemasok tembakau lemah, tetapi ketidak pastian standar
terpenuhinya persediaan tembakau untuk masa 2-3 tahun yang akan
datang bisa tinggi. Petani tembakau bukan hanya ditentukan oleh
pabrik rokok tetapi juga oleh alam (cuaca) yang akan berkontribusi
menghasilkan tembakau yang berkualitas.
Konsumen rokok memiliki keragaman menurut umur; jenis
kelamin dan tempat tinggal. Sebagian konsumen bersifat dinamis,
mudah beralih pada rokok lain, dan sebagian merupakan konsumen
loyal. Kemudahan beralih disebabkan pertimbangan harga sedangkan
loyalitas dipengaruhi oleh aroma dan rasa. Loyalitas konsumen juga
dipengaruhi sifat rokok sebagai produk “image”. Daya tawar konsumen
rokok sangat berpengaruh terhadap pabrik dan keberlangsungannya.
Oleh karena itu pabrik melakukan berbagai inovasi pasar untuk
mempertahankan konsumen dan mencapai pasar baru. Persaingan pada
skala pabrik sangat ketat, didukung dengan semakin banyaknya merk
dan varian rokok yang beredar di pasaran.
Daya tarik keuntungan yang diperoleh pabrik rokok
mengundang pemain baru untuk masuk ke pasar. Rokok berharga
murah, rokok dengan varian yang beragam dan rokok yang
menciptakan image bagi penyukannya akan tetap laku di pasaran.
118

Persaingan Industri Rokok

Sebagian rokok lama yang konsumennya beralih ke rokok lain akan
hilang sementara dari pasaran karena permintaan menurun dan tidak
efisien untuk diproduksi. Kehadiran rokok baru selalu akan menarik
perhatian konsumen. Bagi pabrik golongan I dan II, untuk
memperkenalkan rokok baru dilakukan dengan menggunakan media
elektronik untuk promosi, sehingga dapat menjangkau konsumen
dalam berbagai stratufikasi. Kendala yang dihadapi sama seperti produk
lain ketika memasuki pasar baru, tetapi pada rokok optimisme pasar
lebih tinggi. Bagi pabrik golongan III, kekuatan model promosi dari
mulut ke mulut mendukung masa perkenalan produk baru disamping
mengandalkan agen sebagai intelejen pasar. Pabrik golongan I II,
melepas produk baru berdasarkan jaminan para agen atau berdasarkan
order. Produk baru pada pabrik golongan III bukan sama sekali baru,
tetapi pada merek lama yang sama sangat mungkin aroma dan rasanya
dapat berbeda sama sekali dengan sebelumnya karena permintaan
pasar.
Produk pengganti rokok antara lain adalah permen; permen
atau rokok buatan sebagai pengganti nikotin; rokok “tingwe” (linting
dewe: bhs jawa, rokok melinting sendiri); rokok elektronik dan
sebagainya yang saat ini semakin berkembang sebaga bentuk
implementasi pengendalian konsumsi rokok. Rokok “tingwe”, menjadi
suatu trend baru baik di kalangan orang tua dan orang muda. Ada
tantangan dan sekaligus kepuasan tersendiri ketika dalam komunitas
perokok mencoba meramu sendiri rokoknya sesuai dengan seleranya.
Kebutuhan bahan baku tersedia di pasaran dapat dengan mudah
diperoleh. Rokok “tingwe” semakin marak di berbaagai daerah, baik di
pedesaan maupun perkotaan di kalangan komunitas-komunitas yang
terbentuk oleh para penyuka rokok.
Pabrik di dalam industri mempertahankan kekuatan
kompetitif tersebut untuk saling bersaing dalam skala industri.
Sekalipun masing-masing merek rokok saling bersaing tetapi pada saat
yang sama juga melakukan kerja sama. Kerja sama dilakukan baik
dalam rantai maupun antar pabrik untuk merespon kekuatan

119

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

persaingan yang tidak seimbang. Persaingan yang tidak seimbang oleh
perusahaan dalam skala pabrik mendorong munculnya rokok “illegal”.
Pada industri rokok, hambatan masuk pasar lebih banyak
dipengaruhi oleh faktor eksternal pasar yaitu kebijakan industri hasil
tembakau yang berorientasi pada pembatasan tembakau / rokok karena
rokok sebagai barang kena cukai, dibanding hambatan masuk yang
ditetapkan oleh pabrik dalam industri. Penetapan harga dan promosi
tidak dapat dilakukan secara bebas walaupun rokok mengacu pada
persaingan bebas. Oleh karena itu persaingan industri rokok
mengakomodasi intervensi pemerintah melalui kebijakan penetapan
harga jual eceran yang terkait dengan penetapan tarif cukai dan
kebijakan standarisasi tar dan nikotin yang pasarnya memiliki pola
yang berbeda antara pasar domestik dan global. Pada pasar domestik,
rokok dikatakan sebagai rokok yang enak dan “mantap” jika
kandungan tar dan nikotinya tinggi. Sehingga ekspor daun tembakau
sebagai bahan rokok cerutu yang paling laku adalah daun tembakau
yang tidak disukai oleh pabrik di Indonesia karena kadar tar dan
nikotinnya rendah. Pada pasar global, sebaliknya mensyarakatkan tar
dan nikotin tinggi.
Persaingan industri rokok dibagi menjadi persaingan pabrik
besar dengan pabrik besar, pabrik besar dengan pabrik kecil dan pabrik
kecil dengan pabrik kecil. Cakupan wilayahnya tidak dapat dibatasi,
meliputi wilayah domestik/ nasional maupun global secara terbuka dan
menggunakan prinsip persaingan pasar bebas. Bekerjanya lima
kekuatan kompetitif ditentukan oleh kekuatan masing-masing pabrik
dalam menetapkan hambatan masuk dan biaya beralih konsumen
terhadap produk pengganti (produk substitusi) dan kekuatan tawar
produk baru oleh pemain lama dan baru. Sehingga persaingan pada
industri rokok bersifat kompleks dan ketat, banyak hal harus
diperhatikan oleh pabrik dalam industri dalam bersaing termasuk
kebijakan pemerintah dan tekanan masyarakat anti tembakau. Secara
alami kapasitas dan daya saing masing-masing pabrik mendorong
masing-masing golongan menetapkan strategi, seperti menekan biaya
produksi, mulai dari rekayasa bahan baku sampai biaya transaksi dan
120

Persaingan Industri Rokok

distribusi agar harga jual rokok dapat dipertahankan karena
mempertimbangkan tarif cukai yang harus dibayar dan daya beli
konsumen. Inovasi pasar paling penting adalah efektifitas komunikasi
pasar untuk produk lama dan baru melalui berbagai media yang ada
dengan memperhatikan aturan pemerintah. Penggunaan teknologi
tinggi, dalam promosi dan proses produksi untuk mencapai efisiensi.
Dalam hal ini untuk pabrik rokok besar dan sedang (golongan I dan II )
memiliki strategi yang berbeda dengan pabrik kecil (golongan III)
Peluang bekerja sama dengan pabrik besar (bounding) untuk
mendapatkan debu tembakau (aval atau jengkok dan tornette) sebagai
bahan tembakau “setelan”, merupakan salah satu bentuk persaingan
dalam industri rokok, dari kalangan pabrik golongan II dan pabrik
golongan III terhadap pabrik golongan I. Karena di dalam tembakau
“setelan” berpotensi diproduksi kembali rokok baru yang sama dengan
aroma dan rasa pada aval tersebut. Potensi munculnya rokok “illegal”
lahir dari perilaku pengusaha untuk melakukan “sniper” terhadap
rokok produk golongan I yang debunya diproduksi ulang. Sniper
adalah
perilaku
yang
dikategorikan
“illegal”
karena
pengusaha/produsen memproduksi rokok tiruan atau rokok asli tetapi
palsu.
Penggunaan tembakau “setelan” tidak menyebabkan adanya
stigma rokok “illegal”, selama tetap menggunakan pita cukai sesuai
peraturan.Rokok “illegal” bukan pada bahan baku tetapi pada
pemalsuan rokok, atau penggunaan pita cukai yang tidak sesuai
peraturan. Penggunaan bahan baku rokok sampah, lebih pada bentuk
persaingan yang terselubung karena pabrik pengguna tembakau dapat
melakukan “penggembosan” terhadap pabrik yang memiliki rokok
aslinya (yang menghasilkan limbah) karena rasanya sama, walaupun
mereknya berbeda dan harganya lebih murah. Penggembosan, adalah
bagian dari strategi persaingan yang dilakukan oleh pabrik rokok kecil
(golongan I dan II) terhadap pabrik golongan I dengan cara mendaur
ulang limbah menjadi rokok “baru”.
Sesuai dengan Undang-Undang No 11 Tahun 1995 Tentang
Cukai yang disempurnakan dengan Undang-Undang No 39 tahun 2007
121

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

Tentang Cukai mengatur bahwa limbah industri harus dihancurkan. Di
Jawa Timur, penghancuran limbah dilakukan sebagai formalitas saja.
Setelah aparat meninggalkan tempat pemusnahan limbah, maka limbah
akan diambil oleh para pedagang tembakau.

Persaingan Industri dan M unculnya Rokok “Illegal”.
Pemanfaatan limbah berupa “aval” atau “jengkok”, pabrik
rokok golongan II (sebagian) dan I II menggunakan “tornette” sebagai
campuran dan “bumbu” tembakau “setelan”. Keuntungan bagi pabrik
pengguna “tornette”, memantapkan rasa rokok dan dapat lebih
menyerupai rokok aslinya. Oleh karena itu tidak semua pabrik dapat
membeli “tornette”, hanya pabrik yang memiliki NPPBKC dan benarbenar memproduksi rokok. Kemungkinan besar jika persyaratan tidak
dipenuhi dan tornette setelah diproses dengan dikupas dan menjadi
bumbu tembakau dan diproduksi kembali oleh pabrik yang tidak
berijin, berpotensi munculnya rokok “illegal “ di lapangan. Tornette
adalah produk retur yang tidak laku di pasaran. M engingat bahan yang
digunakan berkualitas tinggi dan melalui proses yang baik, sekalipun
produk retur masih bagus menjadi produk daur ulang. Rokok yang
dihasilkan berupa rokok asli tapi palsu; rokok dengan merek sama
tetapi palsu (sniper); rokok dengan merek asli tetapi rasa dan aroma
berbeda sesuai permintaan pasar. Bila rokok tersebut pada akhirnya
tidak dilekati pita cukai dengan berbagai alasan maka telah menjadi
rokok “illegal”.
Persaingan yang terjadi untuk mempertahankan konsumen dan
mencapai pasar baru semakin ketat dengan berbagai merek yang
semakin marak di pasaran. M unculnya merek baru merupakan upaya
diversifikasi produk, baik dari rokok lama maupun rokok baru. Rokok
baru dapat diproduksi oleh pabrik lama.pada skala pabrik merespon
kondisi tersebut dengan strategi yang sama, dengan berbagai inovasi
produk dan pasar. Pada pabrik golongan I dan I I, inovasi produk
terintegrasi dengan inovasi pasar menggunakan media promosi dan
teknologi. Inovasi produk menyebabkan perubahan pada organisasi
122

Persaingan Industri Rokok

dan kelembagaannya. Karena pabrik dapat melakukan spesialisasi
merek dan rasa. Sehingga kelembagaan produksi tidak tersentral dalam
satu pabrik. Demikian juga untuk inovasi pasar, dilakukan dengan
melibatkan perusahaan pemasar yang terpisah dari pabrik rokok.
Sistem kerjasama seperti ini dipandang lebih efisien. Perubahan
kelembagaan yang tidak dipahami akan menyebabkan munculnya
stigma kelembagaan yang “illegal” dan pada akhirnya produknya
menjadi rokok “illegal”.
Tarif cukai tunggal yang akan segera diberlakukan, pasti
mempersempit gerak pabrik rokok golongan III yang hanya
memproduksi rokok kretek, dan berpotensi untuk bangkrut. Karena
tidak mampu bersaing dengan pabrik golongan I dan I I yang
memproduksi rokok kretek dan rokok putih. Hal tersebut
menyebabkan pabrik golongan III bertahan dari kebangkrutan dan
juga memenuhi kebutuhan hidup aktor yang terlibat dalam rantai
produksinya. Kemungkinan pabrik tetap membuat rokok walaupun
tidak menggunakan pita cukai sesuai peraturan (palsu, bekas, bukan
peruntukannya) sangat tinggi, atau tidak menggunakan pita cukai,
yang disebut rokok “illegal”. Rokok kretek pasarnya di seluruh
Indonesia, bukan pasar global.
Demikian juga yang terjadi pada pabrik yang memproduksi
rokok kretek dan rokok putih, sekalipun dapat memperoleh
keuntungan
silang tetapi
juga memiliki
potensi
untuk
mendistribusikan rokok yang tidak berpita cukai sesuai dengan
peraturan, karena pita tidak spesifik menurut merek rokoknya. Rokok
yang beragam memiliki masalah yang beragam, tetapi penyederhanaan
penetapan tarif cukai tersebut akan mengabaikan permasalahan lain
yang dihadapi pabrik. M isalnya harga jual eceran (HJE) yang selama ini
ditetapkan produsen dengan mempertimbangkan daerah pemasaran
yang memiliki daya beli yang berbeda. Jika pajaknya sama, apakah
HJE nya juga sama? Jadi produsen akan banyak kehilangan konsumen.
Pangsa pasar tersebut akan mendorong munculnya rokok yang tidak
menggunakan pita cukai atau menggunakan pita cukai tidak sesuai
aturan, yang disebut rokok “illegal”.
123

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

Standarisasi rokok dengan melarang rokok beraroma (cengkih)
yang ditetapkan berarti melarang rokok kretek. Rokok kretek memiliki
pasar domestik yang besar dibanding rokok putih. Perokok kretek
sangat sulit beralih pada rokok putih. M aka pengusaha akan tetap
memilih untuk membuat rokok kretek karena memiliki konsumen
yang loyal dan fanatik terhadap rasa dan aroma. Artinya standar aroma
dan rasa tidak akan diperhatikan oleh pabrik rokok karena konsumen
masih potensial. Pada akhirnya semua rokok beraroma cengkih akan
menjadi rokok “illegal”.
Persaingan menuntut adanya perubahan kelembagaan pada
proses produksi dan pemasaran rokok. Pada skala pabrik, perubahan
permintaan pasar menyebabkan perubahan produksi. Perubahan yang
dinamis harus direspon dengan strategi yang fleksibel juga. M isalnya
kerjasama produksi dengan pabrik lain, melakukan spesialisasi hanya
pada produksi saja, dan melakukan sub-kontrak produksi dengan skala
UM KM rokok. Sehingga kelembagaan pada industri rokok berubah
dari pabrik konvensional menjadi pabrik yang berbasis jaringan.
Industri yang bekerja berbasis jaringan (network enterprise) yang
dikemukakan oleh North (1990), merupakan kelembagaan yang
fleksibel, oleh NIE dianggap sebagai bentuk yang tepat dalam
merespon kondisi persaingan dalam industri rokok yang semakin ketat.
Dalam waktu yang lama hubungan para aktor melembaga karena
aktivitas bisnis (Granovetter, 1985). Tetapi bagi pamerintah, akan sulit
menetapkan ketentuan dan persyaratan barang kena cukai dengan
kelembagaan produksi yang semacam itu. Pada akhirnya apa yang
berbeda dengan pemerintah dianggap melanggar. Termasuk perubahan
kelembagaan pada pabrik rokok yang berbasis jaringan adalah
kelembagaan “illegal” walaupun memenuhi semua persyaratan sebagai
perusahaan sesuai dengan kompetensinya.
Setiap pabrik memiliki jaringannya sendiri, dan melakukan
kegiatan berdasarkan prinsip resiprositas. Hubungan timbal balik
dilakukan atas kepentingan bersama yang saling menguntungkan. Hal
tersebut membuktikan adanya peran modal sosial, modal budaya

124

Persaingan Industri Rokok

masyarakat (tidak semua masyarakat di semua daerah memiliki budaya
produksi rokok) yang terintegrasi dalam aktivitas ekonomi.
Keberlanjutan hubungan dalam jaringan, dikarenakan ada
informasi untuk mendapatkan barang yang diinginkan, tersebar di
kalangan komunitas pengusaha. Jaringan yang terjalin bersifat
eksklusif, dan hanya diketahui oleh anggota sesama pengusaha dan
bisnis. Pengusaha lainnya memiliki jaringan tersendiri. Dalam hal ini
peran modal sosial yang embedded sebagai pelaku usaha atau industri
sangat bermanfaat untuk mengurangi biaya transaksi. M isalnya
informasi tentang bahan baku alternatif (jengkok dan aval) bersumber
dari pemilik limbah (pabrik besar), sekalipun secara normatif limbah
harus dihancurkan dengan cara dibakar. Tetapi pedagang tembakau
dapat memanfaatkan limbah tersebut karena masih bernilai ekonomis
tinggi. Informasi menjadi dasar kerja sama dalam rantai. M elihat
prinsip kerja sama tersebut, maka faktor trust berkembang di antara
para aktor untuk melakukan inovasi bahan baku bagi kepentingan
bersama, mempertahankan operasi pabrik, keuntungan, dan
persaingan. Keberlanjutan pabrik menjadi jaminan keberlanjutan usaha
dagang tembakau “setelan”. Jaringan berfungsi sebagai field bagi para
aktor (Boerdieu, 1982) bagi kebutuhan bersama.
Kerja sama menekan biaya bahan baku dengan merekayasa
bahan baku “tembakau setelan” terbangun dalam jaringan bersifat
informal. Hal ini sejalan dengan konsep modal sosial yang disampaikan
Fukuyama (1999). Hanya berdasarkan kepercayaan (trust), selanjutnya
menjadi aktivitas ekonomi yang menguntungkan anggota dalam
jaringan (networking) yang terjadi karena hubungan antar simpul,
aktor dalam industri pemilik limbah dengan aktor yang memiliki
kompetensi mengolah limbah, serta melihat peluang bisnis limbah dari
pabrik pemilik limbah, pedagang aval/jengkok dan pabrik pengguna
(Coleman, 1988; Putnam, 1993; Fukuyama, 1999) secara bersama
mendapatkan keuntungan sekaligus menanggung resiko gagal
mendapatkan limbah karena kalah lelang. W alaupun semua pihak yang
akan memanfaatkan sudah membantu keuangan sebagai persyaratan
lelang.
125

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

M odal sosial yang dikembangkan dalam jaringan industri rokok
terbukti mengurangi biaya transaksi untuk bahan maupun produksi
sehingga lebih efisien. M isalnya penggunaan tembakau setelan, pada
skala industri diuntungkan dengan kesediaan bersama memanfaatkan
limbah yang semula tidak memiliki nilai ekonomi menjadi bernilai
ekonomi dan membuat beroperasinya pabrik dan sangat besar
kemungkinannya dapat memenangkan persaingan dengan upaya
bersama tersebut. Sekalipun dalam kebersamaan dalam industri rokok,
di antara pabrik (golongan I, II, dan III) saling bersaing untuk
memperebutkan dan mempertahankan pasar pada golongan masingmasing, sambil mencoba kemungkinan memasuki pasar produk pabrik
golongan lainnya.
Pada saat yang bersamaan anggota jaringan dapat beralih pada
pabrik, atau pemasok lain untuk mencapai efisiensi dan menciptakan
keuntungan yang maksimal. Sehingga organisasi dan kelembagaan pada
pabrik rokok dapat sangat fleksibel, cair, tidak terikat. Keputusan
rasional ekonomi ditetapkan sebagai respon adanya perubahan pasar
yang berdampak pada perubahan produksi. Perubahan produksi pada
setiap golongan pabrik berdampak pada kelima kekuatan kompetitif
yang ada pada skala pabrik dan industri. Keberlanjutan perusahaan ,
upaya bertahan hidup karena tuntutan hidup jaringannya
menyebabkan adanya keputusan rasional ekonomis yang harus dibuat.
Rokok “le