Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Stigma "Illegal" Rokok, dan Kompleksitas Relasi di Dalamnya D 902007011 BAB VII

Bab 7

Penerapan Kebijakan Industri H asil
Tembakau (IH T) Rokok
Rokok termasuk salah satu Barang Kena Cukai (BKC) karena
sifat dan karateristiknya. Penentuan barang kena cukai untuk setiap
negara berbeda-beda. Rokok memang merupakan barang kena cukai di
berbagai negara, tetapi selain rokok yang termasuk barang kena cukai
sangat berbeda. M isalnya minyak wangi (parfum); tobacco;
recreasional machine; hunting guns; cologne; jewelry; previous metal
product; luxury camera; luxury watch; luxury furniture dan lainlainnya merupakan barang-barang yang termasuk BKC di Korea
Selatan. Philipina menetapkan BKC sebagai berikut: Lubricating oil
dan greased; processed gas; waxes dan petroleum; aviation turbo jet
diesel; diesel fuel oil; leaded dan unleaded premium; liquefied
petroleum gas, bunker fuel oil. Kemudian M alaysia menetapkan BKC
sebagai berikut: Tobacco product; alcoholic beverage; playing cards,
mahyong tiles; diesel dan motor vehicles. Untuk Singapore, barangbarang yang ditentukan BKC antara lain: tobacco; alcoholic beverage;
leaded dan unleaded gasoline; vehicle; tobacco product. Sedangkan di
Indonesia, berdasarkan pasal 4 ayat 1 UU Nomor 11 tahun 1995 Jo UU
Nomor 39 tahun 2007 ditetapkan BKC adalah etil alkohol/etanol (EA),
minuman mengandung etil alkohol (M M EA), hasil tembakau meliputi

sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan
tembakau lainnya.
Pengenaan cukai pada barang kena cukai menurut UndangUndang Nomor 11 tahun 1995 yang diubah menjadi Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2007 karena:
157

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

a. Barang tersebut mempunyai sifat atau karakteristik konsumsinya
perlu dikendalikan;
b. Peredarannya perlu diawasi;
c. Pemakaiannya menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau
lingkungan hidup:
d. Pemakainannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan
dan keseimbangan.
Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) rokok, diatur dalam
Undang-Undang Nomor 11 tahun 1995 Tentang Cukai yang diubah
menjadi Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007 Tentang Cukai
diimplementasikan sampai saat ini, terdiri dari perubahan jenis tarif,
peningkatan tarif dan pemberlakuan tarif tunggal.

Pada bab ini dipaparkan kebijakan industri hasil tembakau
(IHT) rokok pada bagian pertama; respon industri pada bagian kedua;
kebijakan IHT dan munculnya rokok ”illegal” pada bagian tiga

Kebijakan IH T Rokok
Kebijakan industri hasil tembakau (IHT) rokok khususnya
dikelompokan menjadi kebijakan cukai dan kebijakan non cukai.
Kebijakan cukai mulai dari pendirian pabrik baru, perijinan sebagai
pengusaha kena cukai, pengajuan pita cukai, persyaratan harga jual
eceran, perubahan layer pajak cukai, kenaikan tarif cukai dan tarif
tunggal yang segera akan dilaksanakan pada tahun 2014. Kebijakan non
cukai, antara lain adalah persyaratan lokasi usaha, roadmap serta
kebijakan pengembalian dana bagi hasil cukai hasil tembakau
(DBHCHT) bagi daerah penghasil cukai.

 Kebijakan yang berkaitan dengan cukai
Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007 Tentang Cukai,
menyiratkan aturan bagi pengajuan pabrik baru dapat dibenarkan
sepanjang memenuhi persyaratan. Persyaratan berlaku bagi pabrik
158


Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokok

yang baru pertama kali diajukan ijinnya, pabrik lama yang pernah
beroperasi dan mati, atau pabrik lama yang mengalami alih
kepemilikan. Bagi pabrik baru, persyaratan meliputi perijinan sebagai
pengusaha barang kena cukai (BKC) berbeda dengan usaha pada
umumnya, terdiri dari perijinan usaha dan perijinan untuk
memperoleh pita cukai. Perijinan usaha harus memenuhi persyaratan
seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha atau industri, KTP,
Kartu Keluarga (KK), Akte Pendirian, Surat Keterangan Catatan
Kepolisian (SKCK), dan ijin gangguan (HO) terhadap lingkungan
karena rokok menimbulkan dampak terhadap lingkungan (bau dan
polusi lain). Perijinan diurus di Kantor Pelayanan dan Perijinan
Terpadu (KPPT) Pemerintah Kabupaten atau Kota. Selanjutnya semua
persyaratan tersebut digunakan untuk memperoleh Nomor Pokok
Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC). Pengusaha rokok dianggap
sah jika telah memiliki NPPBKC tersebut selanjutnya memiliki hak
untuk mengajukan permohonan pita cukai sebagai bagian dari
kewajiban pajak yang harus disetor kepada negara oleh konsumen

melalui pengusaha.
Pengajuan ijin sebagai pabrik baru yang sebelumnya pernah
beroperasi juga banyak dilakukan. Sejak dilakukan intensifikasi pajak
cukai rokok terjadi kebangkrutan pabrik skala rumahan dan kecil
(golongan III). Sehingga jika suatu saat pengusaha berminat untuk
berusaha kembali harus mengikuti prosedur awal dan persyaratan
sebagai pengusaha rokok baru. Pada tahun 2010, banyak pabrik rokok
yang beralih kepemilikan. Pabrik yang “menyerah” dan hampir mati
beralih kepemilikan dengan cara dibeli oleh pabrik besar. Pemilik
pabrik baru adalah pabrik besar yang melakukan ekspansi dengan cara
pembelian pabrik yang akan mati dan juga mendirikan pabrik baru.
Sesuai dengan Undang-Undang Cukai No 11 tahun 1995 yang diubah
menjadi Undang Undang Cukai
No 39 Tahun 2007, selama
memenuhi persyaratan maka pabrik rokok baru yang mengajukan ijin
diperbolehkan. Sejak tahun 2008 sampai saat ini (2013), jumlah pabrik
rokok yang beralih kepemilikan mencapai lebih dari 25 buah.
Pendirian pabrik baru terus terjadi.
159


Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

Pengajuan pita cukai. Persyaratan bagi pengusaha untuk

mendapatkan pita cukai di samping Nomor Pokok Pengusaha Barang
Kena Cukai (NPPBKC), juga data kondisi perusahaan (produksi, tenaga
kerja, penggunaan pita cukai) yang harus dilaporkan secara rutin pada
tanggal 1 dan 15 setiap bulannya. Kondisi dan kinerja perusahaan
selama tiga (3) bulan berturut-turut akan menjadi acuan untuk
menerbitkan pita cukai.
Pengajuan pita cukai dengan dua macam prosedur, online dan
manual. Persyaratan dokumen harus dipenuhi sebagai suatu proses
sesuai dengan Peraturan Dirjen Bea dan Cukai Nomor P-29/BC/2009
Tentang Perubahan Peraturan Dirjen Bea dan Cukai Nomor
16/BC/2008 Tentang Penyediaan dan Pemesanan Pita Cukai Hasil
Tembakau, yang memuat Permohonan Penyediaan Pita Cukai (P3C),
tata cara penyediaan pita cukai hasil tembakau, dan tata cara
pemesanannya.
Pengusaha mengajukan pemesanan pita cukai ke KPPBC sesuai
dengan persyaratan dan berdasarkan: a. Eksistensi perusahaan, di

dalamnya termasuk perijinan, lokasi dan sebagainya; b. kapasitas
produksi, alat produksi yang digunakan dan jumlah karyawan; c.
pembukuan atau pencatatan, serta pelaporan produksi hasil tembakau
sesuai ketentuan.
Pita cukai yang boleh ditebus setiap pengambilan maksimal
sepertiga jumlah pita cukai yang menjadi haknya. Sekalipun jumlah
dan jenis pita ditentukan melalui pengajuan dan persetujuan sesuai
dengan golongannya. Tetapi ada fasilitas bagi PR yang meningkat
jumlah produknya sehingga golongan bisa meningkat. Dalam hal ini
dapat mengajukan tambahan jumlah pita cukai yang diajukan dengan
formulir P3C, yaitu Permintaan Pengajuan Pita Cukai yang diajukan ke
Pusat. Ajuan tambahan maksimal 50 persen dari pesanan awal, tetapi
ijin yang diberikan oleh Dirjen Bea dan Cukai tidak dibatasi dalam arti
keputusan diserahkan sepenuhnya kepada Dirjen Bea dan Cukai. Ajuan
maksimal tanggal 10 pada setiap bulannya. Kemungkinan turun juga
bisa terjadi, tetapi perubahan pengajuan jumlah pita cukai bagi PR
160

Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokok


yang jumlah produknya turun, misalnya golongan III hanya 200 juta
batang, maka harus menunggu sampai 1 tahun.
Pita cukai terdiri dari tiga (3) jenis, yaitu seri 1, seri 2, dan seri
3. Seri 1 bentuknya panjang, dengan jumlah per lembar sebanyak 120
pita. Untuk seri 2, untuk cerutu bentuknya lebih besar, 1 lembar terdiri
dari 46 pita. Sedangkan seri 3, 1 lembar terdiri dari 46 pita.
Penggunaan pita cukai, pada umumnya seri 1 untuk rokok Sigaret
Kretek Tangan (SKT) dan rokok klobot. Seri 3 untuk Sigaret Putih
M esin (SPM ) dan Sigaret Kretek M esin (SKM ). Penggunaan pita cukai
juga disesuaikan dengan golongan PR 1, 2, dan 3, baik yang
mengandung PPn maupun Non PPn. Dalam kerangka pencegahan
pemakaian pita cukai palsu, maka di dalam pita cukai tercantum nama
pabrik, khususnya untuk rokok golongan 3 SKT dan SKM golongan 2
yang disebut personalisasi. Personalisasi baru ditetapkan pada pita
cukai tahun 2010.
Kelonggaran Pembayaran Pita Cukai. Surat Edaran Nomor

11/BC/2008, mengatur tentang pemberian penundaan pembayaran
cukai atas pemesanan pita cukai hasil tembakau. Dalam surat edaran
tersebut tidak dibatasi pada golongan yang mana boleh mendapatkan

fasilitasi tersebut. Tetapi dalam praktiknya hanya pabrik rokok (PR)
besar yang mendapatkan fasilitas tersebut.
Persyaratan H arga Jual

Eceran (H JE).Pemenkeu Nomor

167/PM K.011/2011 Tentang Penetapan Harga Dasar dan tarif cukai
(pasal 5) menegaskan bahwa pengusaha dan importir dilarang
menurunkan Harga Jual Eceran (HJE) yang masih berlaku. Harga Jual
Eceran (HJE) menjadi patokan pertama untuk menentukan besaran
cukai yang harus dibayar.
Kenaikan Tarif Cukai. Kenaikan tarif cukai tidak dapat
dilepaskan dengan semakin beratnya beban perusahaan atau industri
terkait dengan biaya baik dalam proses produksi maupun biaya non
produksi dan menyebabkan HJE semakin tinggi, yang pada akhirnya
akan mempengaruhi jumlah penjualan. Pengusaha harus menetapkan
terlebih dahulu berapa HJE rokok untuk dapat ditetapkan pajaknya.
161

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya


HJE menjadi patokan untuk menghitung besarnya cukai yang harus
dibayarkan terlebih dahulu oleh pengusaha. Kemasan rokok juga
berbeda sesuai dengan jenis dan merk rokok, yaitu 10, 12, 16, 20, dan
50 batang. Isi batang pada kemasan menentukan maksimal Harga Jual
Eceran (HJE). Sekalipun jumlah total produksi sulit diidentifikasi,
tetapi besaran cukai yang ditargetkan untuk diterima pemerintah dapat
dihitung.
Setiap pabrik rokok atau industri (PR) hanya memiliki satu
nama pabrik, yang tercantum dalam Nomor Pokok Pengusaha Barang
Kena Cukai (NPBKC). Tetapi dalam satu pabrik dibenarkan
memproduksi bermacam-macam merek rokok. Sehingga memerlukan
pencatatan yang cermat dan informatif. Sejak tahun 2008, kantor
Pelayanan dan Pengawasan Bea Cukai (KPPBC) Tipe M adya Cukai
Kudus mengubah sistem pencatatan manual menjadi berbasis Informasi
dan Teknologi (IT). Untuk mencegah pemalsuan, tahun 2009 pada
rokok golongan III dilakukan personalisasi cukai, yaitu mencantumkan
nama pabrik pada pita cukai. Fakta ini menunjukkan bahwa kebutuhan
akan teknologi dan informasi, sebagai basis perusahaan modern lebih
meningkatkan efektifitas kinerja dan bukan formalitas usaha dan

kelembagaannya.
Biaya cukai yang harus dibayarkan pada pabrik golongan III.
Peraturan M enteri Keuangan Nomor 1990/PMK.011/2010 menetapkan
Sigaret Kretek M esin (SKM ), menggunakan pita cukai Seri 1-3 dengan
tarif cukai 12,4 persen Harga Jual Eceran (HJE).Untuk yang memiliki
fasilitas PPn mendapat jatah cukai sebanyak 8 rim per tahun dengan
tarif 8,4 persen. Sedangkan Non PPn 1600 lembar per 3 rim, 1 rim
berisi 500 lembar. Kenaikan cukai pada tahun 2010 sebesar 62,5 persen
untuk golongan III, dan 18 persen untuk PR besar yang akan
menambah biaya produksi. Sejak 1 Januari 2012, ditetapkan tarif cukai
baru
berdasarkan
Peraturan
M enteri
Keuangan
Nomor
167/PM K.011/2011 dengan penyederhanaan kelompok tarif menjadi 2
golongan untuk Sigaret Kretek M esin (SKM ) dan 3 golongan untuk
Sigaret Kretek Tangan (SKT). Kenaikan tarif cukai rata-rata mencapai
16,3 persen atau dengan nominal Rp.10,- sampai Rp. 70,- per batang

162

Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokok

rokok kali Harga Jual Eceran (HJE). Sesuai dengan golongan pabrik
tarif cukai akan bervariasi kenaikannya, untuk harga tertinggi SKT dan
Sigaret Putih Tangan (SPT), HJE lebih dari Rp. 590,- per batang dengan
kenaikan cukai 51,1 persen dari Rp. 235,- menjadi Rp. 355,- per batang.
Sementara harga terendah HJE berkisar Rp. 550,- sampai Rp.590,-per
batang cukainya naik 8,5 persen dari Rp.180,- menjadi Rp. 195,- per
batang.
Besarnya cukai yang harus dibayarkan pengusaha kepada
pemerintah, menyesuaikan dengan klasifikasi pabrik rokok (PR),
jumlah produksi maksimal dan HJE. Perubahan klasifikasi PR dialami
khususnya untuk golongan III, PPn dengan produksi maksimal 500 juta
pada tahun 2008, menjadi 400 juta sebelum diberlakukan Peraturan
M enteri Keuangan Nomor 167/PMK.011/2011 pada 1 januari 2012 dan
sebanyak 300 juta batang mulai 1 Januari 2012. Jika diasumsikan hari
produksi selama 350 hari setahun, maka produksi dalam 1 hari adalah
830.000 batang. Atau dalam ukuran bal, 830.000 : 240 = 345 bal; 1 bal =
200 pak; 1 pak = 12 batang rokok. Cukai yang digunakan setiap 1 rim
dapat digunakan untuk 300 bal. M aka cukai yang dibayarkan setiap
hari, sebagai berikut :

Harga Jual Eceran (HJE)
sesuai bandrol Rp.3350,PPn (8,4 persen)

= 1198 x 120 lembar x 500 lembar
= Rp.71.800.000,-

Jadi cukai yang harus dibayarkan oleh pabrik kecil golongan 3
dengan kapasitas produksi maksimal 300 juta batang dalam setahun
sebesar Rp. 71.800.000,Penentuan HJE seharusnya berdasarkan pertimbangan harga
pokok produksi (HPP), tetapi seperti pada umumnya UMKM di
Indonesia yang tidak menggunakan dasar perhitungan biaya produksi
dengan benar untuk menentukan harga jual produk, karena lebih
kepada harga realitas di lapangan sama atau lebih rendah dengan harga
pesaing.

163

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

Perhitungan biaya produksi per batang rokok berdasarkan
pengakuan pengusaha (karena tidak memiliki catatan), sebagai berikut:

Tembakau siap giling 1 kg = Rp. 50.000,- (paling mahal, rata-rata
Rp. 20.000,-) menjadi rokok sebanyak 500 batang (dengan tanganSKT).
Sehingga biaya 1 batang rokok
: Rp.
100,0
kertas rokok (100 lembar = Rp.3.500,-)
untuk 1 batang
: Rp
3,5
Bungkus plastik dalam (OPP dalam)
: Rp.
15,0
Slop dan Pres per buah
: Rp.
170,0
Bungkus plastik luar (OPP luar),
: Rp.
15,0
Jumlah
: Rp.
303,5
Cukai
: Rp.
75,0
-------------------------------------------------------------------+
Jumlah biaya per batang rokok
: Rp.
378,5
(belum termasuk pembelian lem, bayar listrik, tenaga kerja, dan
sebagainya).
Biaya produksi satu pak rokok berisi 12 batang= 12 x Rp.378,50
= Rp. 4.542,- Harga Jual Eceran (HJE) 1 pak berisi 12 batang (harga
bandrol) Rp. 3.350,- Harga jual sampai konsumen Rp. 3000,-. HJE
terdiri dari harga pokok produksi, meliputi biaya produksi, keuntungan
pabrik dan keuntungan retail (penjual eceran) ditambah pajak yang
terdiri dari pajak advalorem, pajak spesifik, dan PPn. Harga konsumen
adalah sebesar 68,4 – 99,5 persen dari harga banderol.
Perhitungan biaya produksi tersebut belum menghitung biaya
untuk kelengkapan kerja seperti lem, tenaga kerja, listrik, air, bahan
bakar bensin, distribusi, dan promosi. Untuk listrik dan air susah
dipisahkan karena menjadi satu dengan keperluan rumah tangga.
Harga jual rokok di bawah Harga Jual Eceran (HJE) atau bandrol yang
tertulis dalam kemasan rokok. Sehingga kalau hitungan Harga Pokok
Produksi rokok sedemikian rupa, maka pengusaha rokok golongan III
164

Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokok

tidak beroperasi secara efisien, sama seperti UMKM produk lain pada
umumnya.
Pabrik Rokok “BM ” (golongan III) dalam operasional tenaga
kerja yang digunakan pabriknya, sekali produksi setiap hari untuk
membungkus sampai menjadi bal sebanyak 6 orang; nyonthong 6
orang; giling 12 orang. “Giling” atau ”linting”, “bathil”, “sortir”,
“nyonthong”, “nyelop”, biasanya dikerjakan oleh tenaga kerja wanita
secara berpasangan terdiri dari 4 orang dengan upah borongan. Upah
giling/linting lebih tinggi dibanding lainnya. Biaya yang dikeluarkan
untuk sekali produksi : Giling, 1 batang ;Rp.9,- ; Packing 1 bal : 200
pak, 1 pak Rp. 40,-“Giling” atau ”linting”, dengan jam kerja dari pukul
06.00 sampai pukul 17.00 W IB dengan upah Rp. 9.000,-/1000 batang.
“Ngepak” (nyonthong, nyelop, ngepak, sampai dengan bal): 1 orang
untuk 4 bal; 1 bal 200 pak. Dalam satu hari biaya untuk “bathil” dan
“giling” (minimal) Rp. 64.000,- atau tergantung produksi. Perincian
untuk “bathil” Rp. 25.000,- dan “giling” Rp.39.000,- Karena pekerjaan
bathil dan giling dilakukan secara berkelompok yang ditentukan
sendiri oleh pekerja. Tenaga laki-laki bagian distribusi dan proses
pengolahan tembakau yang siap dilinting. Tenaga kerja laki-laki
mengerjakan pekerjaan di luar produksi satu hari rata-rata menerima
upah pokok Rp. 30.000,- mulai pukul 06.00-17.00 W IB dan uang
makan Rp, 5.000,- Insentif THR, wanita minimal Rp. 150.000,- dan
untuk pekerja laki-laki Rp. 200.000,- ditambah baju. Pada akhir tahun
2009 memproduksi 1,5 ton dengan 20 persennya adalah campuran,
sehingga keuntungan baru bisa dihitung dengan jumlah produksi
tertentu dan harus dihitung dengan benar, memperhitungkan biaya
yang riil dikeluarkan.
Pengusaha golongan tiga (3) khususnya, tidak selalu dalam
kondisi untung. Keuntungan lainnya dapat diperoleh dari sumber lain
yang berasal dari limbah produksinya, semua limbah dapat digunakan
atau ada yang memanfaatkan. Jika dalam jumlah banyak dijual, tetapi
kalau jumlahnya sedikit hanya diberikan cuma-cuma. M isalnya batang
tembakau untuk membakar batu bata; jengkok adalah limbah

165

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

tembakau beraroma yang tidak digunakan dapat untuk pupuk. Sak dan
bungkus tembakau digunakan untuk membakar genting.
Kebijakan peningkatan tarif cukai dan HJE bagi pabrik rokok
kecil dipandang sebagai upaya pemerintah lebih untuk membinasakan
daripada untuk membina keberadaannya. Pada tahun 2007 pemerintah
mulai memberlakukan cukai spesifik per batang sebagai tambahan dari
cukai advalorem masing-masing Rp. 7,- untuk industri besar,Rp.5,untuk industri sedang, dan Rp.3,- untuk industri kecil. Terhitung
mulai 1 Januari 2008, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru
menurunkan cukai advalorem dan meningkatkan cukai spesifik
menjadi Rp.35,- per batang untuk semua jenis produksi menurut
golongan pabrik, kecuali Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan III
sebesar Rp.30,- per batang. Industri rokok juga dikenai Pajak
Pertambahan Nilai (PPn) sebesar 8,4 persen.

 Kebijakan Non Cukai.
Persyaratan lokasi pabrik merupakan kebijakan IHT rokok
yang tidak terkait langsung dengan cukai rokok. Peraturan M enteri
Keuangan Nomor 200/PM K.04/2008 (Bab 3 pasal 25 ayat 1 dan pasal
27) Tentang Persyaratan Lokasi Usaha, menetapkan lokasi bangunan
yang akan digunakan sebagai tempat usaha atau pabrik Industri Hasil
Tembakau (IHT) rokok, sebagai berikut:

“dilarang berhubungan langsung dengan pabrik lainnya,
tempat penyimpanan pembuatan hasil tembakau di luar
pabrik; dilarang berhubungan langsung dengan rumah
tinggal, atau tempat penjualan eceran barang kena cukai,
harus berbatasan langsung dengan jalan umum, kecuali yang
lokasinya dalam kawasan industri. Memiliki luas bangunan
paling rendah 200 m2”.

Dilihat dari sejarah usaha, maka awal usaha atau industri rokok
merupakan usaha rumah tangga dan tidak secara khusus mendirikan
pabrik rokok. Awalnya banyak pengusaha dengan maksud “coba-coba”
166

Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokok

merintis usaha rokok menggunakan sumber daya yang ada dan dengan
tidak secara khusus menyiapkan tempat khusus sebagai pabrik, atau
memisahkan antara tempat usaha dengan fasilitas pabrik lainnya.
Roadmap IH T Rokok. Roadmap IHT rokok disusun sebagai
kegiatan yang menekankan pembinaan rokok sesuai dengan
kewenangan Departemen Perindustrian. Industri rokok dikembangkan
lebih pada pertimbangan ekonomi dengan tidak mengabaikan aspek
kesehatan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka M enengah (RPJM )
tahun 2004-2009, pembangunan sektor industri diarahkan untuk:

a. M emperkuat dan memperdalam struktur industri;
b. M eningkatkan iklim persaingan yang kondusif;
c. M eningkatkan revitalisasi, konsolidasi dan restrukturisasi
industri;
d. M eningkatkan peran industri kecil dan menengah;
e. Penyebaran pembangunan industri;
f.

M eningkatkan penguasaan teknologi industri.

Kriteria industri yang diprioritaskan untuk dikembangkan
adalah menggunakan dan/atau mengolah SDA dalam negeri, menyerap
tenaga kerja, dan memiliki potensi ekspor. IHT termasuk industri yang
dikembangkan karena memiliki kriteria tersebut. Secara khusus IHT
dikembangkan dengan menggunakan pendekatan klaster, dengan
tujuan meningkatkan hubungan dan jaringan kerja sama yang saling
menguntungkan antar stakeholder yang pada akhirnya diharapkan agar
daya saing meningkat. Tetapi karena sifat pelaku usaha yang masih
menggunakan paradigma usaha konvensional, maka kelompok
pengusaha yang ada belum berfungsi secara efektif dan berusaha secara
efisien.
Direktorat Jendral Industri Agro dan Kimia, Kementrian
Perindustrian menyusun Roadmap IHT pada tahun 2005 untuk
mencapai sasaran jangka pendek sampai tahun 2010, jangka menengah
(2010-2015), dan sasaran jangka panjang (2015-2020). Sasaran jangka
167

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

pendek ditujukan untuk membina IHT dengan mempertimbangkan
tenaga kerja.
Jangka menengah ditujukan
pendapatan negara dengan cara:

untuk

tujuan

kepastian

a. M eningkatkan produksi rokok menjadi 240 miliar batang pada
tahun 2010;
b. M eningkatkan nilai ekspor tembakau sebesar 15 persen per
tahun dari US$ 397,08 juta pada tahun 2008 menjadi US$
1.056,24 juta pada tahun 2015;
c. M eningkatkan nilai ekspor rokok dan cerutu sebesar 15 persen
per tahun dari US$ 401,44 juta pada tahun 2008 menjadi US$
1.067,84 juta pada tahun 2015.

Sasaran jangka panjang (2010-2020) adalah lebih kepada tujuan
masyarakat sehat, dengan perincian target sebagai berikut:
a. Tercapainya produksi rokok menjadi 260 miliar batang pada
tahun 2015 sampai tahun 2020;
b. M eningkatnya ekspor tembakau dan produk hasil tembakau
khususnya ke negara-negara sedang berkembang, Eropa
(cerutu dan tembakau), Eks Uni Soviet, Afrika, Amerika, dan
Asia.
c. Terciptanya jenis atau varietas tanaman tembakau dan produk
IHT yang memiliki tingkat risiko rendah terhadap kesehatan;
berkurangnya produksi dan peredaran rokok “ilegal”.
Secara khusus formulasi kebijakan dalam berbagai bentuk
peraturan yang ada baik pada level nasional maupun regional serta
daerah diarahkan untuk mencapai visi pengembangan Industri Hasil
Tembakau (IHT), yaitu terwujudnya IHT yang kuat dan berdaya saing
di pasar dalam negeri dan global dengan memperhatikan aspek
kesehatan (Roadmap IHT), tidak pada usaha untuk mematikan
perusahaan rokok. Arah kebijakan yang dibuat dalam rangka
168

Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokok

tercapainya sasaran pengembangan industri nasional melalui triple
track yaitu: Pro-Growth, Pro-Job, dan Pro-Poor. Kebijakannya
diarahkan untuk:
a. Pencapaian kepastian berusaha dan iklim usaha yang kondusif;
b. Pertumbuhan dalam jangka pendek (sampai dengan 2009);
c. Diutamakan untuk IHT menggunakan tangan atau Sigaret
Kretek Tangan (SKT);
d. Peningkatan ekspor;
e. Penanganan rokok ilegal;
f.

Perbaikan struktur industri rokok;

g. Pengenaan cukai yang terencana, kondusif, dan moderat.

Kebijakan IHT dalam roadmap tersebut dibedakan dan
dikaitkan dengan kondisi mikro, meso, maupun makro. Pada tingkat
mikro ditujukan untuk mengembangkan pengusaha rokok dan
klasternya agar memiliki daya saing. Pada tingkat meso, ditujukan
untuk mengembangkan kondisi persaingan yang sehat antara PR besar,
menengah, dan kecil. Pembedaan skala usaha biasanya digunakan
golongan pabrik berdasarkan jumlah produksi rokok dalam 1 tahun.
Sedangkan tingkat makro, terkait dengan kebijakan pengembangan
industri secara nasional dengan tetap memperhatikan roadmap IHT,
tuntutan internasional dalam hal pembatasan produksi rokok, untuk
kepentingan kesehatan, khususnya dengan adanya Framework
Convention on Tobacco Control (W HO, 2005).
Kebijakan IHT juga diarahkan untuk mencapai sasaran jangka
menengah dan jangka panjang yang semuanya bertujuan untuk
membina industri hasil tembakau, termasuk rokok.

169

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

R O A D M A P I N D U S TR I T EM B A K A U
2 0 0 7 - 2 0 2 0
20 20

IN S TR U M E N

M e m b a t a si k a d a r n i k o t i n
M e m b at asi ijin p er u sah aa n b aru

M e n g a r ah k e b i j a k a n c u k a i s e d e rh a n a

M A S YA R A K A T S E H A T

M e m p e r k u a t s t r u k t u r i n d u st r i
d a n k o m p e t i s i se h a t
M e n g h il a n g k a n r o k o k
Il e g a l d a n p i t a p a l s u

K E B U T U H A N PE N E R I M A A N N E G A R A
YAN G PA S TI

M E N A M P U N G L A P A N G A N K E R JA

20 07
TU JU A N

Sumber : Departemen Perindustrian RI; KPPBC Tipe Madya Kudus, 2008

Gambar 31
Roadmap IHT rokok Tahun 2005-2020

Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT)
Rokok .
Selama 10 tahun perjuangan, akhirnya keinginan masyarakat
dan pimpinan daerah penghasil rokok dikabulkan untuk mendapatkan
kompensasi pengembalian sebagian dari cukai yang disetor kepada
pemerintah pusat sebagai pendapatan negara. Hal itu dipelopori oleh
Pemda Surabaya, M alang, dan Kudus. Hal tersebut sejalan dengan
Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007 Pasal 66a Tentang Cukai, yang
merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2005
(ayat 1), bahwa penerimaan negara dari cukai tambahan yang dibuat di
Indonesia dibagikan kepada provinsi penghasil cukai sebesar 2 persen.
Ayat 4, bahwa pembagian Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau untuk
daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dengan persetujuan M enteri
Keuangan. Permenkeu Nomor 84/PMK.07 tahun 2008 Tentang
Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBHCT), sebagaimana
kemudian diubah dengan Permenkeu Nomor 20/PM K.07 tahun 2009
yang prinsipnya penggunaan DBHCT bagi daerah harus mengacu pada
rambu-rambu yang ditentukan untuk: peningkatan kualitas bahan
baku; pembinaan industri; pembinaan lingkungan sosial; sosialisasi
ketentuan perundang-undangan tentang cukai; dan pemberantasan
170

Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokok

rokok ilegal. Alokasi dan pemanfaatan DBHCHT rokok harus
disesuaikan dengan masalah yang dihadapi, dengan tetap memenuhi
rambu-rambu dalam PM K Nomor 84 tahun 2008 yang diubah menjadi
PM K Nomor 20 tahun 2008. Berbagai daerah terkesan sangat bervariasi
dan fleksibel menterjemahkan peraturan menteri menjadi program
yang dibiayai oleh DBHCHT rokok.
Di Provinsi Jawa Tengah, produksi rokok terdapat di
Kabupaten Kudus tetapi banyak daerah sebagai penyangga produksi
rokok. Oleh karena itu kemudian diterbitkan Peraturan Gubernur Jawa
Tengah pada tahun 2007 sebagai acuan pelaksanaan peraturan DBHCT
Rokok yaitu dengan Nomor 78 tahun 2007 dan Nomor 9 tahun 2009,
selanjutnya diperbaharui setiap tahun dengan nomor yang berbeda
Tentang Pedoman Pengelolaan DBHCT di Jawa Tengah dan Peraturan
Gubernur Nomor 10 tahun 2009 Tentang DBHCHT. Pemerintah
Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kabupaten atau Kota Tahun
Anggaran 2009, pasal 2 menyebutkan bahwa: a.sebanyak 30 persen
untuk Pemerintah Provinsi Jawa Tengah; b.sebanyak 70 persen untuk
Pemerintah Kabupaten atau Kota di Jawa Tengah.
Pasal 3, alokasi DBHCT sebagaimana dimaksud dalam pasal 2b,
40 persen dari dana yang diperoleh di tingkat provinsi untuk
kabupaten penghasil dengan indikator : Jumlah produksi rokok dengan
bobot 75 persen; Jumlah tenaga kerja dengan bobot 5 persen; Produksi
bahan baku tembakau dengan bobot 20 persen; Selebihnya 30 persen
dibagi untuk seluruh kabupaten atau kota.
Sebagai contoh alokasi untuk kabupaten atau kota di Provinsi
Jawa Tengah, dengan perincian dalam Tabel 7.2 (Peraturan Gubernur
Nomor 10 tahun 2009). Kabupaten Kudus memperoleh alokasi dana
paling besar di antara kabupaten/kota di Jawa Tengah. Kabupaten
Kudus sebagai produsen rokok dan kontribusi cukai terbesar.
W alaupun alokasi semakin kecil, karena semakin banyak daerah yang
diakomodasi sebagai rantai produksi rokok, tetapi Kabupaten Kudus
masih yang paling besar. Sejak tahun 2008 sampai tahun 2012,
Kabupaten Kudus menerima alokasi DBHCT Rokok sebesar (lihat
Tabel 7.1):
171

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya
Tabel 7.1
Perolehan Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBHCT) Rokok
Kabupaten Kudus, Tahun 2008-2012
No.

Tahun
Jumlah (Rp)
1.
2008
17.207.191.978
2.
2009
85.700.003.847
3.
2010
53.262.539.633
4.
2011
57.533.803.290
5.
2012
43.120.461.241
6.
2013
90.000.000.000
Sumber: Bagian Perekonomian, Kabupaten Kudus, 2012

Tabel 7.1 menunjukkan bahwa Kabupaten Kudus mendapatkan
DBHCHT terbesar pada tahun 2009. Pada tahun 2010 dan tahun 2011
menurun karena jumlah daerah penerima semakin banyak. Pada tahun
2013 mencapai Rp.90 miliar.
Pada tabel 7.2 Kabupaten Kudus, memperoleh DBHCHT untuk
tahun kedua (tahun 2009) sebesar Rp. 70.825.701.253,- karena
Kabupaten Kudus merupakan daerah produsen rokok dan memperoleh
40 persen dari 70 persen DBHCHT yang dikembalikan kepada
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Realisasinya bahkan lebih besar,
yaitu mencapai Rp. 85.700.003.847,- .
Pada akhirnya, seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Tengah
mendapatkan bagian DBHCHT rokok, karena semua daerah dianggap
berkontribusi terhadap industri rokok, termasuk sebagai daerah
pemasaran. Sekalipun secara nasional jumlah daerah penerima
DBHCHT rokok semakin banyak, dan kemungkinan jumlah
penerimaan menurun tetapi realitanya untuk Kabupaten Kudus
penurunannya tidak signifikan bahkan kembali naik pada tahun 2013,
mencapai Rp. 90 miliar. Artinya jumlah setoran cukai dari Jawa
Tengah semakin meningkat. Jika 2 % dari setoran, dan sebagai daerah
produsen menerima sebanyak 40% (sebagai produsen) dari 70%
(setelah diambil Propinsi), sebanyak Rp. 90 miliar, berarti jumlah
penjualan rokok juga semakin meningkat.
172

Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokok
Tabel 7.2
Alokasi DBHCHT Rokok Kab/Kota Provinsi Jawa Tengah
No.

Kabupaten/Kota

Jumlah (Rp)
Kota Semarang
8.204.835.400
Kabupaten Demak
6.026.330.489
Kabupaten Grobogan
5.035.985.688
Kota Salatiga
3.354.690.119
Kabupaten Semarang
2.909.634.764
Kabupaten Kendal
9.142.532.869
Kabupaten Kudus
70.825.701.253
Kabupaten Pati
4.574.257.602
Kabupaten Jepara
2.693.632.118
Kabupaten Rembang
2.491.600.180
Kabupaten Blora
3.467.162.799
Kota Surakarta
2.764.989.068
Kabupaten Karanganyar
5.662.862.425
Kabupaten Klaten
5.208.380.680
Kabupaten Sukoharjo
2.772.201.919
Kabupaten W onogiri
2.483.494.026
Kabupaten Boyolali
3.425.770.857
Kabupaten Sragen
2.640.937.713
Kabupaten Cilacap
2.639.202.510
Kabupaten Kebumen
2.576.797.667
Kabupaten Pekalongan
3,294.158.494
Kabupaten Batang
3.223.109.285
Kabupaten Pekalongan
2.551.070.668
Kabupaten Banyumas
2.511.354.331
Kabupaten Purbalingga
3.376.486.400
Kabupaten Banjarnegara
2.457.318.751
Kabupaten Brebes
2.498.146.883
Kabupaten Pemalang
2.538.495.875
Kabupaten Tegal
3.084.378.575
Kota Tegal
2.551.471.674
Kota Magelang
2.468.701.775
Kabupaten Magelang
3.343.769.279
Kabupaten W onosobo
3.776.362.073
Kabupaten Purworejo
2.555.339.464
Kabupaten Temanggung
8.589.695.352
Jumlah
282.458.370.000
Sumber: Lampiran Peraturan Gubernur No. 10 Tahun 2009

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.

173

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

Diberlakukannya Peraturan Pemerintah No 109/Tahun 2012
Tentang Pengamanan Bahan mengandung Zat Adiktif Berupa Produk
Tembakau Bagi kesehatan, merupakan pukulan berat bagi industri

rokok. Di dalam peraturan pemerintah tersebut hal yang mendasar
adalah ditetapkannya tembakau sebagai satu-satunya yang
mengandung zat adiktif. Di dalamnya mengatur standarisasi komponen
rokok yang terkait dengan aroma, rasa, nikotin dan tar. Pelarangan
iklan yang menggunakan papan reklame di jalan protokol, secara
melintang. Posisi papan reklame harus sejajar dengan jalan raya. Tarif
tunggal cukai rokok yang hanya membedakan alat produksi yang
digunakan, menggunakan manual (tangan) atau mesin.

Respon Industri Terhadap Kebijakan IH T Rokok.
Ketentuan tentang ajuan pabrik baru dan persyaratan perijinan
tersebut pada awalnya sulit dipenuhi oleh pengusaha. Sehingga
banyak usaha atau industri yang tidak memiliki ijin usaha lengkap,
khususnya untuk skala mikro dan menengah (golongan III dan
sebagian kecil II). Pabrik rokok adalah usaha yang harus formal dan
pengusahanya harus memenuhi persyaratan serta kewajiban kepada
negara terkait dengan pajak dengan cara melilitkan pita cukai sebagai
tanda pelunasan pajak rokok, berupa cukai.
Selama kurun waktu tahun 2001-2008 terjadi pembekuan,
pemblokiran pabrik yang tidak memenuhi persyaratan sehingga
banyak pabrik harus menghentikan operasinya. Pabrik yang bangkrut
atau setengah mati, diambil alih oleh pabrik besar (golongan I) dengan
cara dibeli. Kejadian ini banyak menimbulkan pertanyaan dari para
pengusaha lain, tergambar dari berbagai pernyataan yang dirangkum
sebagai hasil wawancara sebagai berikut:

“Pengusaha besar membeli PR kecil yang mati? Bukannya
NPPBKC tidak bisa dipindah tangankan? PR (pabrik rokok)
besar seharusnya tidak membuat pabrik kecil yang
menggunakan fasilitas cukai golongan 3! Kalau seperti itu
terus gimana, kan kami tambah saingan bu….. kami pabrik
174

Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokok
kecil selalu diawasi, harus selalu patuh….terus banyak yang
mati, tapi pabrik besar malah membuat pabrik yang buat
rokok murah rasanya kok tidak adil…… semua orang tahu
bu pabrik-pabrik itu milik siapa?” (W awancara, 2010).

Proses pengajuan pita cukai juga menjadi permasalahan
tersendiri bagi pelaku usaha yang tidak memiliki kapasitas sumber daya
manusia yang memadai untuk mengurus sendiri hak pita cukai.
Dampaknya banyak di antara pengusaha yang menggunakan jasa untuk
menguruskan pita cukai, atau menggunakan pita cukai yang ada( palsu,
bukan peruntukannya, bekas) tidak memenuhi peraturan. Bagi pelaku
usaha tersebut seringkali berada pada posisi pabrik yang dianggap tidak
patuh pada peraturan. Sehingga aparat memetakannya berdasarkan
profil perusahaan yang berpotensi melakukan pelanggaran pita cukai.
Profil perusahaan dibagi menjadi pabrik yang berada pada kondisi
tidak bermasalah (zona hijau) langsung mendapatkan pelayanan pita
cukai. Pabrik rokok yang perlu diperiksa sampai ke lokasi ditempatkan
pada zona kuning, dan pabrik pada zona merah sudah masuk dalam
daftar hitam yang patut untuk dicurigai karena potensial melakukan
“pelanggaran”.
Kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea Cukai (KPPBC) tidak
secara khusus mengadakan pembinaan untuk mencegah agar
perusahaan tidak “melanggar” atau mendorong perusahaan agar
memiliki profil baik. Pembinaan yang dilakukan hanya berkisar pada
kepatuhan dan sosialisasi perubahan peraturan cukai. Bagi perusahaan,
implementasi kebijakan ini dapat menjadi peluang untuk bekerja sama,
baik antar perusahaan dan perusahaan dengan aparat, demi
mendapatkan hak yang sama.
Penundaan pembayaran pita cukai yang diberikan kepada
pabrik besar sesuai aturan hanya selama dua bulan, tetapi realitasnya
dapat melewati tahun bersangkutan. Hal tersebut sesuai dengan catatan
Persatuan Pabrik Rokok Kudus (PPRK) yang beranggotakan hanya
pabrik rokok besar di Kudus. Jumlah cukai yang dibayar dan jumlah
produksi rokok tidak sesuai karena pembayarannya mendapat
kelonggaran untuk ditunda. Padahal untuk pabrik golongan III
175

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

khususnya, pemesanan pita cukai dan pelunasannya harus dilakukan
sesuai dengan aturan dan secara tunai di depan. Bagi pabrik besar,
fasilitas ini semakin menguntungkan karena kapasitas yang dimiliki
untuk memproduksi rokok tanpa pembatasan jumlah, dan operasional
bisnisnya dengan kapasitas lebih besar dibanding PR golongan III.
Padahal cukai adalah faktor utama yang memberikan stigma rokok
“illegal” sehingga pabrik rokok yang menunda pembayaran potensial
melakukan pelanggaran. Ketidakadilan juga menyangkut batasan
jumlah maksimal pita cukai yang boleh ditebus. Pabrik rokok kecil
hanya diperbolehkan menebus pita cukai maksimal sepertiga dari
jumlah pesanan dalam satu tahun. Pabrik rokok besar tidak ada
batasan.
Kenaikan tarif cukai membuat sebagian besar pabrik rokok
lumpuh dan tidak mampu bersaing karena biaya pajak semakin mahal,
tetapi tidak boleh menaikan harga jual eceran (HJE) pada golongannya.
Jika naik HJE berarti naik golongan. Perusahaan rokok besar membuat
strategi untuk mengisi kekosongan rokok murah di mana pabriknya
banyak yang bangkrut. Terdapat peluang pasar rokok murah bagi
masyarakat yang memiliki keterbatasan daya beli. Pabrik baru
didirikan oleh pabrik besar untuk mengisi kekosongan tersebut.
Diversifikasi varian produk baru dikembangkan sedemikian
rupa. Diversifikasi usaha, dan ekspansi vertikal lainnya. Sementara bagi
pabrik rokok golongan II sebagian dan golongan III menggunakan
strategi menghemat biaya produksi yang berasal dari bahan baku.
Bahan baku diganti dengan tembakau siap giling yang disebut
tembakau ”setelan”. Tembakau setelan diolah dari ”jengkok” atau
”aval”, yaitu limbah/ debu tembakau pabrik besar dan ”tornette” yaitu
rokok retur yang tidak laku di pasar. Dengan demikian yang terjadi
adalah semakin menjauhnya upaya pembuatan rokok yang “sehat”,
persaingan semakin ketat dengan semakin banyaknya varian rokok di
pasaran.
Pemberlakuan tarif tunggal pada tahun 2014 sangat
memberatkan pabrik kecil. Tarif tunggal hanya akan membedakan alat
yang digunakan, menggunakan tangan (manual) atau mesin.
176

Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokok

Pemberlakuan akan berdampak matinya industri kecil yang hanya
memproduksi sigaret kretek menggunakan tangan dan pajaknya
disamakan dengan produksi pabrik besar. Di samping itu pabrik besar
tidak hanya memproduksi sigaret kretek tangan tetapi juga mesin.
Pabrik rokok besar menganggap bahwa rencana pemberlakuan tarif
tunggal sebagai upaya penyederhanaan tarif yang memudahkan pabrik
menghitung biaya pajak yang harus disetorkan oleh pabrik terlebih
dahulu. W alaupun demikian harus diingat bahwa penyederhanaan
tersebut dilakukan dengan mengingat aspek historis. Industri rokok
yang dibagi 3 golongan, faktany a lebih banyak disupport oleh rokok
putih (60 persen). Suwarno M Serad (2012), menyatakan bahwa:

“sejarah dan dinamika industri rokok dapat digambarkan
sebagai berikut: tahun 1991 pabrik rokok berada di kuartal
perubahan sedang dan lingkungan sedang; kompleksitas
global rendah; tahun 1991 ada BPPC di mana perubahan
lingkungan lebih cepat, kompleksitas sederhana; kuartal
menengah atau moderat ketidakpastian sedang. Tahun 1997
terjadi krisis moneter, industri rokok berada di kuartal cepat
lingkungan kompleks ketidakpastian tinggi. Oleh karenanya,
kalangan pelaku usaha rokok khususnya UMKM rokok
dibutuhkan inovasi produk, inovasi proses, dan inovasi
mindsetting, untuk menjadi bagian dari masyarakat yang
demokratis dan mandiri dari yang tradisional menjadi
berorientasi bisnis. Hal ini sudah dilakukan oleh PT. Djarum
Kudus, sebagai pabrik rokok terbesar di Jawa Tengah dengan
program bersama petani dengan menggunakan konsep 3P,
yaitu produk, penelitian, penyuluhan, yang bertujuan untuk
mengembangkan petani secara luas termasuk petani
tembakau yang mendukung pabrik rokok” (W awancara,
2012).

Persyaratan lokasi pabrik yang ditetapkan pada tahun 2008,
dengan Permenkeu No 200/ 0.4/2008 ditanggapi pabrik kecil, skala
rumahan dan mikro sebagai kebijakan yang sangat tidak masuk akal
karena luas pabrik dan lokasi tidak terkait langsung dengan kapasitas
dan golongan pabrik, serta kepatuhan membayar pajak (cukai).
Kebijakan tersebut tidak sesuai dengan realitas kebutuhan usaha yang
biasanya hanya mempekerjakan 5 sampai 20 pekerja tetap. Tenaga
177

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

kerja paling banyak adalah pekerja produksi,”giling”-“linting”; “bathil”
dan “sortir”. Hanya pada saat permintaan rokok meningkat akan
terjadi penambahan jumlah pekerja. Pada umumnya pekerja (bagian
produksi) di pabrik besar atau kecil, berstatus tenaga lepas dengan
sistem upah borongan. M ekanisme bekerja secara berkelompok,
masing-masing terdiri dari 4 pekerja yang mengerjakan “giling” atau
”linting”, dan “bathil” dan “sortir”. Pada umumnya dalam sehari dapat
menyelesaikan proses produksi rokok sebanyak 7000 batang, dengan
jam kerja jam 06.00-16.00 W IB.
W aktu yang diberikan untuk melakukan penyesuaian
persyaratan lokasi adalah tiga tahun, yaitu 10 Desember 2011.
Keharusan bagi pengusaha golongan III untuk menyesuaikan dengan
peraturan menjadi suatu hal yang sulit, bukan hanya karena sebagian
besar pengusaha tidak memiliki kemampuan untuk melakukan
perubahan dan atau perluasan lokasi usaha tetapi mereka tidak
memerlukan luas pabrik yang sebesar itu. Para pengusaha dapat
mengoperasikan pabriknya sedemikian rupa tanpa harus memenuhi
persyaratan tersebut.
Persyaratan akses terhadap jalan umum, atau persyaratan
pabrik tidak boleh menjadi menyatu dengan rumah tinggal, tidak ada
kaitannya dengan kepatuhan membayar pajak. Peraturan tersebut
dibuat berdasarkan kejadian penindakan, di mana pemilik biasanya
berusaha meloloskan diri dari pintu belakang pada saat dilakukan
pengawasan atau “sweeping” oleh aparat. Biasanya itu terjadi pada
pabrik yang berada di kampung atau desa yang sulit dilalui mobil
aparat untuk melakukan pengawasan.
M emiliki lokasi seluas 200 m² seperti yang dipersyaratkan
pemerintah dipahami bahwa pabrik rokok harus menjadi besar semua.
Parik rokok kecil (golongan III) memiliki karakteristik seperti UM KM
pada umumnya sekalipun sebagai produsen barang kena cukai (BKC)
yang harus formal dan legal. M engubahnya menjadi industri besar,
formal dan legal berarti membongkar akar kebiasaan, sifat, dan
karakteristik usaha berbasis masyarakat yang sejak semula memiliki
178

Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokok

sejarah sebagai usaha keluarga. Sehingga menimbulkan pertanyaan,
“apakah semua usaha harus menjadi usaha besar?”
Pada masa krisis moneter, justru usaha kecil yang mampu
bertahan. Bukan hanya dilihat dari skala usahanya tetapi sistem nilai,
budaya, dan keyakinan yang banyak menentukan fleksbilitas usaha dan
menjadi kunci ketahanan dan keberlanjutan (perkembangan) industri
rokok. Sejarah perkembangannya yang dicatat oleh Castels
(1982),bahwa Industri rokok, sejak awal kelembagaannya terdiri dari
informal dan formal. Di masa lalu, industri rokok telah menggunakan
model kerja sama subkontrak dengan industri yang lebih kecil atau
rumahan. Pada awalnya rokok “tingwe” ( linting dewe : bhs jawa ,
artinya melinting/membuat sendiri) dan diberikan kepada para
tetangga yang membutuhkan.
Rokok kretek menggunakan cengkih sebagai bumbu rokok dan
ramuan herbal lainnya, menggunakan pendukung rasa dan aroma
tembakau dari bahan kimia yang menghasilkan variasi rasa yang
beraneka ragam, dan disukai pasar. Ramuan herbal yang digunakan
pada mulanya pala, kayu manis, atau kemenyan sesuai keinginan dan
permintaan pembeli, sehingga memerlukan bantuan orang lain untuk
menyiapkan ramuan tersebut. Sejak itulah kerja sama itu berlanjut dan
berkembang melahirkan sistem baru dalam skala pabrik (sub-kontrak,
putting put), dan saat itu pengusaha mulai membuat rokok putih atau
strootje (Castles, 1982: 63). Fisik pabrik ada, tetapi produksi telah
tersebar di luar pabrik.
Selanjutnya Castles juga menyebutkan kebiasaan dan teknis
pembagian kerja dalam industri atau usaha rokok, pengusaha rokok
berperan memperoleh tembakau dan menyiapkannya (sekarang proses
primary atau tembakau “setelan”). Kemudian proses melinting
diborongkan kepada “abon” di lingkungannya dan menyerahkan
kembali seminggu kemudian kepada pengusaha, dibayar secara
borongan. Para “abon”, dalam mengerjakan rokok tersebut
menggunakan buruh yang disebut “kernet”.

179

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

Abon adalah pabrik kecil yang bertanggung jawab terhadap
proses produksi “giling” atau ”linting” rokok, dan buruh yang
mengerjakan disebut “kernet”. Setiap “abon” memiliki delapan sampai
sepuluh “kernet”. Pengusaha rokok besar memiliki sampai 100 “abon”.
Istilah ini berakhir sebelum pendudukan Jepang di Indonesia
digantikan dengan sistem pabrik yang dilokalisir, karena alasan
pengawasan terhadap kualitas rokok disebabkan adanya kecurangan
yang dilakukan para “abon”. Para abon mengganti komponen dan
komposisi bahan yang digunakan sehingga diprotes konsumen. Setelah
itu dikenal dengan istilah sub-kontrak atau juga putting out.1 Kedua
istilah tersebut mengandung tanggung jawab yang berbeda dalam
hubungan kerja antara pengusaha dan para pekerja. Demikian juga
tujuannya, lebih kepada pertimbangan efisiensi biaya dan efektivitas
pekerjaan agar dapat bersaing, karena persaingan dalam industri rokok
semakin ketat. M odel produksi tersebut masih berlangsung sampai hari
ini, dengan pengembangan pada spesialisasi produk atau pasar.
Kebijakan
pengembangan
industri
berdasarkan
pada
pengembangan industri besar atau yang dikenal dengan filosofi “the big
is better” untuk Indonesia tidak tepat, karena struktur dan motif usaha
berbeda. M enjadikan usaha golongan kecil menjadi usaha skala besar,
dari sisi fleksibilitas usaha menjadi sulit. Negara lain yang bertumpu
pada usaha berbasis rakyat dan berskala kecil, justru menunjukkan
keberhasilan dan menghasilkan multi efek yang riil bagi masyarakat.
Tetapi di Indonesia, dengan roadmap IHT pabrik rokok hanya akan
terdiri dari 3-5 pabrik besar saja. Sehingga bagi masyarakat,
pemerintah justru berpihak pada kapitalisme karena kepentingannya
sendiri, dan jauh dari kepentingan mensejahterakan masyarakatnya.
Hal ini bertentangan dengan kebijakan industri berbasis masyarakat
sebelumnya yang telah dibuktikan oleh Schumacher (1974), dengan
pengalamannya di Thailand yang menggunakan konsep pengembangan
usaha skala kecil dan mikro sebagai daya ungkit perekonomian
masyarakat dan terkenal dengan semangat “small is beautiful”.
Sub Kontrak atau putting out : adalah produksi berbasis rumah (Ina Hunga,
2013:135).

1

180

Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokok

Dalam persaingan industri global, bentuk perusahaan harus
fleksibel, tidak kaku, dan formal. Fleksibilitas diperlukan untuk
merespon ketidakpastian usaha yang tinggi. Bentuk perusahaan adalah
jaringan atau network enterprise (Castells, 2000). Kekuatan perusahaan
yang berbasis jaringan ada pada penguasaan informasi dan teknologi,
dengan demikian perusahaan atau industri akan dengan mudah
melakukan inovasi baik produk maupun pasarnya, serta menyesuaikan
kondisi pasar dan persaingan. Industri rokok sudah berubah menjadi
perusahaan berbasis sejak lama dan selalu menyesuaikan dengan
kondisi persaingan (Castles,1982). Bukan lagi seperti konsep
pemerintah terhadap perusahaan rokok, harus besar agar mampu
bersaing, bersifat formal dan kaku, serta tersentral.
Kebijakan tidak mengakomodasi kondisi industri rokok dan
sejarahnya, khususnya pada skala kecil atau golongan III. Pada
umumnya ketika usaha berkembang (tidak hanya pabrik rokok) usaha
rumahan dan kecil lainnya, pengusaha sangat jarang melakukan
investasi maupun penyesuaian alat produksi seperti lokasi, luasan
usaha, maupun fasilitas pendukung lainnya (listrik, air, jalan, dan
sebagainya). Sampai saat ini pabrik rokok golongan III kebanyakan
menggunakan pekerja keluarga atau tetangga yang direkrut sesuai
kebutuhan, misalnya pada saat permintaan naik, pekerja produksi
ditambah atau sebaliknya. Pekerja tetap untuk produksi rokok masih
berkisar antara 4 sampai dengan 10 orang. Selebihnya adalah pekerja
borongan tidak tetap yang juga menjadi pekerja di tempat lain.
Sehingga kalau luasan pabrik harus 200 m2 akan sangat tidak efisien, di
samping bagi pengusaha golongan 3 yang masih rumahan sangat tidak
mungkin menambah luas pabrik hanya untuk memenuhi ketentuan
tersebut.
Industri rokok sesuai dengan roadmap akan menjadi hanya
industri besar saja. Atau industri besar yang menjadi payung industri
rokok yang lebih kecil. Pembinaan menggunakan konsep aglomerasi
seperti pada pembinaan industri di masa lalu. Pengalaman untuk
indusri lain, kebijakan aglomerasi di Indonesia tidak berhasil karena
yang terjadi justru konglomerasi. Industri besar yang diharapkan
181

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

tumbuh dan diharapkan menjadi pengungkit tidak berdaya, karena
tumbuhnya didukung fasilitas negara dan bukan karena daya saing.
Pada rokok, banyak hal yang menyebabkan sulit dan tidak
memungkinkan dilakukan dengan pembinaan yang bersifat aglomerasi.
M isalnya keragaman selera konsumen (aroma dan rasa) masing-masing
pabrik yang tergabung pada pabrik besar tertentu, cara kerja, formula
saos dan bahan yang digunakan. Keberagaman skala pabrik dengan
kekhasan dan karakteristik (produk dan konsumen) yang dimiliki.
Apa yang ditetapkan dalam roadmap tidak dipahami sama oleh
para stakeholder, ada informasi yang tidak sampai sesuai dengan apa
yang dimaksud. Informasi cenderung bersifat asimetris (North,1993).
Konsekuensinya akan terjadi upaya bekerja sama mengamankan
keberadaannya masing-masing. Pelaku industri dibiarkan untuk berada
dalam ketidakpastian dan dibiarkan untuk menebak dengan caranya
sendiri bagaimana akhir dari kebijakan tersebut, di satu sisi pelaku
industri hanya sekedar memenuhi kewajiban formal tanpa tahu apa
maknanya. Hal tersebut menimbulkan peluang munculnya para
pemburu “rente” sebagai mediator untuk menyelesaikan permasalahan
yang dihadapi oleh para pelaku usaha yang terkait dengan formalitas
dan legalitas usaha mereka. M unculnya jasa mengurus perijinan,
mengurus pita cukai, pengusaha yang memproduksi pita cukai (asli tapi
palsu), penggunaan pita cukai bukan peruntukannya, membuktikan
hal tersebut.
Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 Tentang
Pengamanan Bahan mengandung Zat Adiktif Berupa Produk
Tembakau Bagi kesehatan, Rencana Pemungutan Pajak Daerah.
Peraturan