Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Stigma "Illegal" Rokok, dan Kompleksitas Relasi di Dalamnya D 902007011 BAB IV

Bab 4

Industri Rokok Di Kudus
Pengantar
Bab ini memaparkan bagaimana rokok berkembang dari usaha
rumahan menjadi industri global. Bukan hanya sebagai produk
ekonomi, tetapi juga produk sosial dan budaya masyarakat. Kondisi
geografis, demografis serta karakteristik sosial, budaya masyarakat yang
mendukung perkembangan industri rokok di Kudus.
Perkembangan rokok sebagai industri tidak dapat dilepaskan
dari dukungan masyarakat pelaku usaha dalam rantai produksi dan
bisnis rokok. M asyarakat di Kabupaten Kudus memiliki hubungan erat
secara sosial, ekonomi dan budaya. Rokok, sebagai usaha /industri yang
berkembang di Kudus mengandalkan keunggulan tenaga kerjanya.
Pabrik rokok rumahan/mikro/kecil banyak ditemukan karena
proses produksinya mudah, dapat dilakukan pada skala rumah tangga
dengan menggunakan tenaga kerja di lingkungannya. M enggunakan
teknologi sederhana, manual (dengan tangan) sehingga rokoknya
disebut sigaret kretek tangan (SKT). Bahan mudah diperoleh, khusunya
rokok kretek sebagai rokok asli yang ditemukan oleh Hj Jamhari, orang
asli Kudus, yang berkembang menjadi industri dan akhirnya manjadi

ikon kota Kudus.
Di Kudus juga terdapat Pabrik rokok besar, yang selain
memproduksi rokok secara manual juga memproduksi dengan
menggunakan mesin. Bukan hanya rokok kretek tetapi juga rokok
putih dengan menggunakan teknologi tinggi, terus melakukan inovasi
yang menghasilkan berbagai varian rokok dan membentuk image para
penyukanya dengan berbagai bentuk. Sehingga rokok berkembang
61

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

sebagai produk “image”. Inovasi bukan hanya pada produknya tetapi
juga pada pasarnya. Sehingga rokok tidak hanya berkembang sebagai
industri nasional tetapi juga menjadi produk global.
Sebagai kota industri, rokok menjadi salah satu komoditas
andalan daerah. Karena di Kabupaten Kudus, bukan hanya produsen
rokok tetapi juga sebagai produsen komoditas bordir dan konveksi,
batik, tekstil, aneka makanan dan minuman, logam, mebel dari rotan
dan kayu, kerajinan kulit, kertas dan lain-lain. Semua industri berbasis
masyarakat, sebagai usaha sampingan maupun pekerjaan utama.

Seiring dengan berjalannya waktu, industri rokok menghadapi
dinamika pasang surut, bukan hanya pada skala daerah tetapi secara
nasional. Jumlah pabrik rokok di Kabupaten Kudus mengalami
penurunan, walaupun jumlah setoran pajak berupa cukai selalu dapat
melampaui target yang ditetapkan pemerintah. Hal tersebut terjadi
sejak adanya intensifikasi pajak, berupa kenaikan tarif cukai rokok dan
kebijakan pengawasan lainnya yang menyebabkan banyak pengusaha
rokok kecil gulung tikar, alih kepemilikan pabrik (kecil) oleh pabrik
besar, dan tumbuhnya pabrik-pabrik rokok baru. Pada saat yang
bersamaan juga ditemukan semakin maraknya rokok “illegal”.

Kondisi Geografis dan Demografis
Kudus, berasal dari bahasa arab al Kuds, yang artinya kudus
atau suci. Hari jadi kota Kudus ditetapkan pada tanggal 23 September
1549 dan dikukuhkan dengan Peraturan Daerah (Perda) No.11 Tahun
1990, diterbitkan tanggal 6 Juli 1990. M emiliki luas wilayah yang
paling kecil di antara Kabupaten di Jawa Tengah, yaitu 1,31% atau
42,516 hektar. Berada dij alur transportasi regional yang penting antara
Semarang-Kudus-Surabaya, serta Jepara – Kudus - Surakarta.
Secara geografis terletak di antara 110”36’ Bujur Timur serta

6”51’ Lintang Selatan. Berada pada jarak kurang lebih 51 km di sebelah
timur ibukota Provinsi Jawa Tengah (Kota Semarang). Untuk menuju
ke Kabupaten Kudus dapat ditempuh kurang lebih 1 jam 30 menit
62

Industri Rokok Di Kudus

perjalanan darat, menggunakan transportasi umum seperti bis atau
kendaraan pribadi. Berbatasan dengan Kabupaten Pati dan Kabupaten
Jepara di sebelah utara. Di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten
Pati, Kabupaten Demak dan Jepara. Sedangkan di sebelah Selatan
berbatasan dengan Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Pati. Berada
pada ketinggian rata-rata 55 meter di atas permukaan air laut. Beriklim
tropis, bertemperatur sedang, berkisar antara 19,9°C- 27,6°C. Bercurah
hujan relatif rendah, di bawah 2000 mm/tahun dan berhari hujan ratarata 103 hari/tahun (BPS,2009). Kelembaban udara rata-rata 76,0%.
Castles (1982), mencatat pada tahun 1961 Kota Kudus
berpenduduk 75.000 orang. Setelah 50 tahun kemudian telah menjadi
752.921 Jiwa, 372.761 laki-laki dan 380.160 perempuan, terdiri dari
183.672 rumah tangga (Kudus Dalam Angka, 2009). Pertumbuhan ratarata 0,73% dengan sex ratio 98.


Gambar 2

Peta W ilayah Kabupaten Kudus
63

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

Kepadatan penduduk tercatat 1.771 jiwa/km2, terdiri dari
sembilan kecamatan, terpadat adalah kecamatan kota yaitu 8.730
jiwa/km2, dan paling rendah tingkat kepadatannya adalah Kecamatan
Undaan yaitu 946 jiwa/km2. Status administrasinya tetap menjadi
daerah kabupaten, yang jika diukur dari komparteman tradisional dan
modern tidak lagi ada perbedaan yang menyolok. Sebagai wilayah yang
terkecil dan dengan kepadatan penduduknya yang cukup padat,
Kabupaten Kudus menjadi daerah tujuan untuk mencari kerja baik
untuk daerah sekelilingnya maupun secara nasional.
Kehadiran pasar modern yang berjumlah lebih dari 20 buah
untuk kabupaten seluas 41, 512 ha dan pasar tradisional sebanyak 23
buah merupakan kota yang mengalami perkembangan pesat dibanding
kondisi 50 tahun yang lalu. Pasar memberikan kontribusi besar sebagai

kota dagang dan kota industri terhadap PDRB, yang mencapai lebih
dari enampuluh persen (60%). Jika Castles, menggambarkan sebagai
kota seperti kota-kota di Jawa dan Indonesia pada masa itu, sekarang
pun masih ada ciri yang sama tetapi dengan corak yang berbeda. Di
Alun-alun telah berdiri supermarket dan penuh dengan baliho segala
macam produk khas Kudus atau juga produk global. Yang masih
langgeng adalah M asjid Besar Kudus, berada di sudut alon-alon,
dengan simpang tujuhnya.
Angka Kelahiran Kasar (CBR) sebesar 12,45, dan Angka
Kematian Kasar (CDR) 6,24 per 1000 jiwa. Jumlah penduduk berusia
lebih dari 10 tahun 613.500 orang, 65% di antaranya adalah Angkatan
Kerja. Sebanyak 377.830 orang adalah pekerja, dengan pembagian:
sebanyak 158.010 (41,82%) bekerja di sektor industri, pertanian
(16,17), perdagangan (14,72%) dan pertambangan serta galian (0,31%).
Jumlah penduduk yang mengikuti program transmigrasi relatif sedikit
yaitu hanya 37 orang terdiri dari 10 KK (KDA, 2009). Dapat diartikan
bahwa daerah sendiri lebih menarik sebagai daerah yang memiliki
potensi kerja tinggi.
Hal ini sangat berbeda dengan kondisi masa lalu Kudus sebagai
kota yang tertutup dan perkembangannya lambat dibanding daerah

sekitarnya, seperti Demak dan Pati. Saat ini Kudus telah berkembang
64

Industri Rokok Di Kudus

sebagai kota industri, dan
kota dagang, walaupun
perdagangannya sudah mengalami banyak perubahan.

corak

Tabel 4.1
Banyaknya Tenaga Kerja Pada industri Rokok dan Bukan Rokok
Di Kabupaten Kudus Tahun 2000-2009
No

Tahun

Tenaga Kerja
Perusahaan Rokok


Tenaga Kerja Perusahaan
Bukan Rokok

Jumlah seluruh
Tenaga Kerja

1

2000

46.210

16.760

62.970

2

2001


52.236

16.656

68.892

3

2002

55.665

15.954

71.619

4

2003


54.157

16.151

70.308

5

2004

49.678

16.615

66.293

6

2005


55.805

18.645

74.450

7

2006

70.791

20.255

94.046

8

2007


79.226

19.648

98.874

9

2008

78.256

18.735

96.991

10

2009

81.787

16.661

98.448

Sumber: Kudus Dalam Angka,2010, BPS Kabupaten Kudus.

Pada Tabel 4.1 tampak bahwa sejak tahun 2000 sampai tahun
2009 jumlah tenaga kerja perusahaan rokok mendominasi dibanding
pada perusahaan bukan rokok. Dilihat dari perusahaan yang tercatat
pada Badan Pusat Statistik (BPS) hanya perusahaan sedang dan besar,
sedangkan pada perusahaan rokok kecil, mikro/rumahan tidak tercatat.
Perusahaan rokok, adalah yang tercatat pada Kantor Pelayanan dan
Pengawasan Bea Cukai Tipe M adya Kudus (KPPBC TM ) atau pada
institusi perijinan Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu (KPPT),
sehingga jumlah tenaga kerja perusahaan rokok pada kenyataannya
lebih besar dari yang tercatat dan terdapat dalam Tabel 4.1.

65

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya
Tabel 4.2
Banyaknya Perusahaan Industri Besar dan Sedang, Menurut Jenis Industri dan
Jumlah Tenaga Kerja, Kabupaten Kudus, 2006-2009
Jumlah Perusahaan
No

1
2
3
4
5
6

7

8

9

10

11

Jumlah Tenaga Kerja

Jenis Industri

M akanan dan
M inuman
Pengolahan
Tembakau
Tekstil
Pakaian Jadi
Kulit dan barang
kulit
Kayu dan Barang
dari kayu
Kertas dan
barang dari
Kertas
Penerbitan,
Percetakan
Industri Kimia,
brg dari Bahan
Kimia &jamu
Karet, brg dari
karet dan dari
Plastik
Brg Galian Non
Logam

2006

2007

2008

2009

2006

2007

2008

2009

17

16

15

15

1.061

985

914

910

71

68

60

59

70791

79.226

78.256

81.787

15
43

16
37

16
37

13
34

2.081
2.000

2.205
1.966

1.538
2.040

1.201
1.975

3

2

2

4

80

53

58

135

7

2

7

6

1.462

635

866

835

8

8

12

12

4.616

4.023

5.520

4.713

20

19

15

15

3.771

4.143

3.173

2.330

4

4

3

3

1.177

149

95

93

3

4

4

4

229

686

541

577

3

1

2

2

167

32

247

217

12

Brg dari Logam

8

7

6

5

310

243

260

223

13

M esin,radio, TV
dan Perlengkapannya

7

12

7

7

3.301

3.548

3.463

3452

Sumber : Kudus Dalam Angka, BPS Kab Kudus

Pada tabel 4.2, menunjukkan 13 kelompok usaha yang menjadi
unggulan di Kabupaten Kudus. Pada tahun 2006 mencapai puncak
pertumbuhan jumlah secara umum. Selanjutnya pada tahun 2007
pertumbuhannya bervariasi tergantung pada dinamika ekonomi baik
lokal maupun regional dan nasional. Untuk rokok sebagai bagian dari
industri hasil tembakau (IHT), dinamikanya berbeda dengan usaha lain
walaupun bergerak pada skala UMKM dan berbasis masyarakat. Secara
66

Industri Rokok Di Kudus

umum, fleksibilitas usaha dapat dipahami sebagai usaha yang hari ini
ada besok tidak ada atau beralih usaha. Rokok,walaupun jumlah
usahanya menurun tetapi penyerapan tenaga kerjanya tetap naik.
Angka yang tercatat dalam publikasi tidak sesuai dengan dinamika
yang sesungguhnya.
Tabel 4.2, menunjukkan bahwa pada industri hasil tembakau,
tampak adanya penurunan jumlah industri tetapi jumlah tenaga kerja
meningkat. Sebagai barang kena cukai, rokok harus memenuhi
persyaratan perijinan, satu nama untuk satu perusahaan, tetapi di
dalam perusahaan yang sama terdapat nama atau merek lebih dari satu.
Rokok sebagai industri dimungkinkan terjadi perluasan usaha atau
diversifikasi produk, tetapi tidak menambah jumlah pabrik, sehingga
jika hanya melihat jumlah industrinya tidak akan mendapatkan
informasi lengkap tentang kapasitas produksi, golongan pabrik bahkan
seberapa besar rokok tertentu menguasai pasar. Besarnya penjualan
akan memberikan gambaran tentang berapa besar cukai sebagai pajak
tembakau-rokok yang dibayarkan oleh pengusaha/produsen kepada
negara.

Karakteristik Sosial, Budaya dan Ekonomi
Kabupaten Kudus, seringkali dikaitkan dengan komunitas kota
santri. Sejak Castles meneliti rokok di Kudus pada tahun 1961, ciri itu
masih tetap ada sampai saat ini. Ciri kedua adalah sebagai kota dagang.
Peran perempuan istri-istri yang dikatakan oleh Castles (1982: 81)
sebagai sangat berbudi luhur karena membiayai keluarga dengan
membatik dan industri lainnya, sampai saat ini memberi kontribusi
sebagai kota industri yang berkembang.
Budaya masyarakat tergambar pada berbagai ornamen
peninggalan para wali seperti “M enara Kudus” sebagai simbol
pluralisme, karena mengandung unsur budaya Hindu dan China.
Sebagai kota Santri diibaratkan di masa lalu ada suasana khas
menjelang ibadah M aghrib (Salam dalam Castles, 1982: 81), “seperti
berada di negara Islam”. Saat ini masih dapat dirasakan. Kota santri,
67

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

ditandai dengan banyaknya pondok pesantren,mencapai 84 buah atau
lebih (Cermin, 2005).
Keberadaan Sunan Kudus dan Sunan M uria, dua di antara wali
sanga, tokoh penyebar agama Islam di Pulau Jawa, merupakan tokoh
yang memiliki kaitan erat dengan spirit masyarakat dalam
berkehidupan. Sunan Kudus dikenal sebagai penyebar agama Islam
yang “faqih” yaitu ahli dalam hukum dan kehidupan. Sehingga
memberikan inspirasi kepada masyarakat, khususnya sebagai pedagang
yang ulet. Karakteristik ini unik, karena biasanya kehidupan agamis
tidak sejalan dengan karakter masyarakat pedagang.

Dibuat Oleh: Stefanus Ardo W inoto

Gambar 3
Makam Sunan Muria, di Kawasan
Desa Colo Kecamatan Dawe,
Selalu Ramai Dikunjungi Peziarah

Dibuat oleh : Stefanus Ardo W inoto

Gambar 4
Sumber Air, di Lingkungan M akam
Sunan Muria yang Dikeramatkan

Castle (1974), mencatat pola hidup agamis dengan kehidupan
bisnis di kalangan pengusaha rokok di Kudus. Tetapi sebenarnya tidak
ada kaitan langsung antara pondok pesantren dengan industri rokok.
Tidak ada tokoh pesantren yang menjadi pengusaha rokok ataupun
pengusaha rokok yang memiliki pesantren, tetapi antara pesantren dan
pengusaha serta industri rokok memiliki ikatan yang kuat. Karena
keduanya saling mendukung, baik melalui para santri dan ketokohan
para kiai serta kebiasaan merokok yang kental di kalangan para kiai.

68

Industri Rokok Di Kudus

Sumber : http://www.blogspot.com

Gambar 5
Menara Kudus, Simbol Pluralisme

Sumber : http://www.blogspot.com

Gambar 6
Pondok Assalam Kudus, Salah Satu Pondok Pesantren di Kudus

Dalam menjalankan usaha dan bisnis, atau kehidupan ekonomi
masyarakat pada umumnya tidak sejalan dengan kehidupan sebagai
masyarakat industri. M isalnya sebagai kota industri yang identik
dengan kerja mesin, tetapi kebiasaan berkegiatan/aktivitas harus selesai
sebelum “maghrib”. Atau menggunakan pedoman kegiatan sosial
kemasyarakatan dengan menggunakan pedoman waktu shalat.
M isalnya: Ba’da Dhuhur, Ashar, M aghrib, Isa’ dan Subuh. Kota
industri, menggunakan mesin dengan kapasitas duapuluh empat (24)
jam tetapi kehidupan sosial masyarakat dan infrastruktur tidak
69

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

mengikuti. Transportasi umum berupa angkot, hanya sampai waktu
maghrib. Sedikit saja angkot yang masih beroperasi setelah waktu
maghrib. Di masa lalu, Kudus dikenal sebagai kota yang penduduknya
hampir semua kaya dan hanya sedikit orang dalam kategori tidak kaya.
Pengusaha yang kaya di masa lalu lebih banyak berasal dari kalangan
santri. Saat ini banyak kaum pendatang bukan hanya berasal dari
komunitas santri yang memberikan pengaruh terhadap kekentalan ciri
khas kota Kudus. Banyak juga orang yang tidak mampu, masih terdapat
penduduk miskin sebanyak 23.000 orang (BPS, 2009).
Kegiatan industri tidak dapat dipisahkan dari kegiatan
perdagangan. Keduanya memberikan kontribusi pendapatan daerah
(PDRB) cukup signifikan mencapai lebih dari 60 %. M emiliki fasilitas
pasar tradisional sebanyak 22 buah dan pasar modern sebanyak 25
buah (BPS, 2009). Pasar terbesar yaitu pasar Kliwon menjadi pasar
grosir bagi hasil produksi masyarakat. Sebagian besar masyarakat
menjadi pemasok bagi pedagang besar yang ada di pasar Kliwon.
M isalnya untuk produk konveksi, bordir dan makanan khas Kabupaten
Kudus dapat dijumpai di pasar tersebut. Biasanya konsumen dari
berbagai daerah bahkan dari seluruh Indonesia datang untuk membeli
dagangan untuk dijual kembali didaerahnya. Disamping menggunakan
cara tersebut, masyarakat memasarkan sendiri ke kota-kota lain di
Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa.
Pada masa lampau, pedagang memiliki status yang tinggi dalam
masyarakat. Pegawai negeri menjadi pilihan terakhir untuk cita-cita
masa depan anak-anaknya, karena dianggap kelompok yang tidak
antusias atau pemalas. Istilah Kudus, sering juga dikaitkan dengan
istilah kudu duwe usaha (bhs Jawa: harus punya usaha). Hampir semua
rumahtangga memiliki usaha sampingan di samping pekerjaan pokok
sebagai pegawai negeri atau karyawan pabrik.
Nilai lokal yang hidup sejak lama di kalangan masyarakat mulai
digali dan dikembangkan dengan menyesuaikan perkembangan yang
ada. Ketika sebuah keluarga memiliki anak laki-laki ataupun memilih
menantu, maka persyaratan “gusjigang” harus dipenuhi. Gus, berarti
bagus, atau rupawan. Ji, harus pandai mengaji (membaca Al Qur’an),
70

Industri Rokok Di Kudus

sedangkan gang, berarti harus pandai berdagang. Nilai tersebut
dikembangkan dalam arti masyarakat Kudus, harusnya rupawan, fisik
dan budinya. Selalu mau belajar dan pandai berbisnis. Terbukti
masyarakat Kudus mayoritas adalah pengusaha dan pedagang.
Proses produksi barang pada industri skala kecil dan rumahan
menggunakan sistem putting out dengan semangat saling
menguntungkan. Putting out, adalah sistem kerja dimana para pekerja
mengambil pekerjaan dan dikerjakan di rumah. M isalnya pengusaha
bordir di Karangmalang, atau Padurenan sebagian pekerja bekerja di
tempat juragan dan ada juga dikerjakan di rumah berasal berbagai desa.
Upah diberikan berdasarkan pekerjaan secara borongan. Pada industri
makanan misalnya jenang banyak usaha yang melibatkan tetangga
dalam proses pengemasan sampai pengepakan. Sebagian pekerjaan
dikerjakan di lokasi usaha. Proses produksi semacam itu juga terjadi
pada rokok. PR besar memberikan pekerjaan menyiapkan selop atau
pembungkus rokok, dengan menyerahkan pekerjaan pengeliman
kepada penduduk sekitar. Produksi rokok (giling dan linting) banyak
yang diserahkan pada perusahaan (UMKM ) lain sebagai mitra. Pada
Gambar : 7 sd 12, tampak suasana pada pabrik rokok besar bagian
produksi. Sekalipun lay out tempat duduk diatur sedemikian rupa
tetapi prinsip sistem kerja secara beregu, masing-masing berpasangan
setiap dua orang, seorang giling dan seorang bathil.
Linting/giling, yaitu proses utama dalam industri rokok dengan
cara membungkus tembakau siap giling, yaitu tembakau dan bahan
lainnya yang telah dicampur. Bathil, yaitu merapikan rokok dengan
memotong ujung dan pangkal rokok dengan gunting. Nyelop,
membungkus rokok yang telah rapi dalam kemasan awal menjadi 10;
20 batang atau 50 batang. Kemudian disortir dan masuk gudang.
Selanjutnya proses pengemasan rokok, menjadi pak, pres dan bal. Pak,
berisi 10 atau 12 atau 15 batang rokok tergantung jenisnya. Pres, berisi
10 pak; bal, bersisi 20 press dan karton adalah paling akhir dengan
jumlah relatif untuk didistribusikan.

71

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

Sumber: PR Sukun, 2006.

Gambar 7

Gambar 8

Rokok SKM

Rokok SKM

Sumber: http://www.google.com

Sumber : http://www.google.com

Gambar 9

Gambar 10

Rokok SKM

Rokok SKM

Sumber PR Sukun.

Sumber : PR Sukun

Gambar 11

Gambar 12

Rokok SKM

Rokok SKM

72

Industri Rokok Di Kudus

Sumber: data primer

Gambar 13
Berbagai Industri Unggulan di Kab Kudus.
Rokok, Dari Usaha Rumahan Menjadi Industri Global

73

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

Pada Gambar 13, tampak berbagai hasil produksi masyarakat
Kudus yang cukup dikenal. Pasar bukan hanya lokal tetapi meliputi
regional dan global. Pasar Kliwon di Kudus menjadi sentra kulakan
atau grosir. Konsumennya berasal dari daerah sekitar dan dari manca
negara seperti Afrika, khususnya untuk konveksi. Percetakan terbesar
di Asia Tenggara, PT Pura Barutama merupakan salah satu andalan
dengan 144 hak patent yang dimiliki.
Di masa lalu, industri rokok telah menggunakan model kerja
sama sub kontrak dengan industri yang lebih kecil atau rumahan. Pada
awalnya rokok dibuat sendiri dan dijual oleh para pengusahanya.
Dalam perkembangannya sebagai pendukung rasa dan aroma tembakau
diberi berbagai ramuan. Tidak hanya cengkih tetapi juga pala, kayu
manis atau kemenyan sesuai keinginan dan permintaan pembeli,
sehingga memerlukan bantuan orang lain untuk menyiapkan ramuan
tersebut. Sejak itulah kerja sama itu berlanjut dan berkembang
melahirkan sistem baru dalam skala pabrik ketika membuat rokok
putih atau strootje (Castles, 1982: 63).
Selanjutnya Castles menyebutkan kebiasaan pembagian kerja
dalam industri atau usaha rokok, pengusaha rokok berperan mulai
memperoleh tembakau dan menyiapkannya menjadi tembakau siap
giling. Kemudian proses melinting diborongkan kepada abon di
lingkungannya dan menyerahkan kembali seminggu kemudian kepada
pengusaha, dibayar secara borongan. Para abon, dalam mengerjakan
rokok tersebut menggunakan buruh yang disebut kernet.
Abon adalah pabrikan kecil yang bertanggungjawab terhadap
proses linting rokok, dan buruh yang mengerjakan disebut kernet.
Setiap abon memiliki delapan sampai sepuluh kernet. Pengusaha rokok
besar memiliki sampai 100 abon. Istilah ini berakhir sebelum
pendudukan Jepang di Indonesia digantikan dengan sistem pabrik yang
dilokalisir. Selanjutnya dikenal dengan istilah sub-kontrak atau juga
putting out. Kedua istilah tersebut mengandung tanggung jawab yang
berbeda dalam hubungan kerja antara pengusaha dan para pekerja.
Demikian juga tujuannya, lebih kepada pertimbangan efisiensi biaya
74

Industri Rokok Di Kudus

dan efektivitas pekerjaan agar dapat bersaing. Persaingan dalam
industri rokok semakin ketat.
Pengusaha banyak diuntungkan dengan pola hubungan kerja
putting out karena tidak perlu lagi menanggung semua biaya produksi
yang timbul sebagai konsekuensi pekerjaan yang dikerjakan di tempat
usaha seperti makan, dan transpor pekerja. Resikonya adalah standar
produksi tidak dapat secara ketat diterapkan, apabila tembakau tidak
disiapkan oleh pemilik seperti yang terjadi di masa lampau. Kesalahan
proses kebanyakan ditanggung oleh pekerja. Sanksi yang diberikan bisa
dalam bentuk pemotongan upah sampai mengganti produk yang rusak.
Jika terjadi kecelakaan kerja, pengusaha akan memberikan bantuan
pengobatan bersifat sukarela/sosial. Hal-hal tersebut tidak secara
eksplisit diatur dalam perjanjian kerja, dan tidak ada perjanjian kerja.
Putting out, sekalipun secara teori lebih banyak merugikan
pekerja tetapi masih dianggap menguntungkan bagi pekerja perempuan
khususnya yang sudah menikah. Pekerja tersebut dapat menyelesaikan
pekerjaan bersama dengan tanggung jawab sebagai istri. M engelola
pekerjaan rumah tangga serta menjaga anak-anak berusia balita yang
tidak dapat dilepaskan/ditinggal di rumah ketika bekerja. Belum semua
pengusaha besar memperhatikan kepentingan ibu dan balita untuk
menyediakan pojok asi, walaupun sudah diatur dalam Undang-Undang
Perlindungan Perempuan dan Anak No 23/Tahun 2004 dan UU No 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Ada jasa menjaga (momong) anak-anak di keluarga tetangga
tetapi harus mengeluarkan sejumlah uang, minimal sehari Rp. 15.000,sampai Rp. 20.000,- dengan waktu menitipkan sampai jam 16.00 W IB.
Perhitungan untung-rugi didasarkan pada biaya/jumlah uang yang
harus dikeluarkan untuk transpor dan menitipkan anak, dibanding
dengan yang diperoleh ketika bekerja di rumah, masih lebih
menguntungkan bekerja di rumah. Jasa menjaga anak-anak para
pekerja pabrik rokok juga merupakan pekerjaan tersendiri dan menjadi
sumber penghasilan keluarga.

75

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

Pekerja menyadari keterbatasan yang dihadapi dan merasa
diuntungkan karena ada peluang bagi wanita untuk mengerjakan
pekerjaan borongan berapa pun ongkos yang diterima tanpa harus
meninggalkan rumah. Sifat dan karakter pekerja seperti inilah antara
lain yang membuat suasana masyarakat pekerja di Kudus kondusif dan
tidak mudah terprofokasi terkait dengan perjuangan hak-hak yang
seharusnya diterima sebagai pekerja. Bagi pengusaha putting out atau
sub-kontrak adalah bagian dari strategi untuk menghadapi kondisi
permintaan pasar yang dinamis.
Berbagai dokumentasi dan alat yang pernah digunakan dalam
proses produksi rokok sejak dulu, tersimpan di M useum Kretek
Kabupaten Kudus. Museum Kretek semula dikelola oleh Persatuan
Pabrik Rokok Kudus (PPRK), tetapi sekarang diserahkan kepada
Pemerintah Kabupaten Kudus.

Gambar 14
Museum Kretek, Kabupaten Kudus

Sebagai industri, rokok dibedakan berdasarkan pembungkus
yang digunakan, misalnya rokok klobot yaitu rokok yang bahan
pembungkusnya berupa daun jagung. Rokok kawung, yaitu rokok yang
bahan pembungkusnya berupa daun aren. Sigaret, adalah rokok yang
bahan pembungkusnya berupa kertas, dan Cerutu, yaitu rokok yang
bahan pembungkusnya berupa daun tembakau.

76

Industri Rokok Di Kudus

Berdasarkan bahan baku yang digunakan, terdiri dari:


Rokok Putih, adalah rokok yang bahan baku atau isinya hanya
daun tembakau yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa
dan aroma tertentu;



Rokok Kretek, yaitu rokok yang bahan baku atau isinya berupa
daun tembakau dan cengkeh yang diberi saus untuk
mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu;



Rokok Klembak, adalah rokok yang bahan baku atau isinya
berupa daun tembakau, cengkeh, dan kemenyan yang diberi
saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu.

Sejak lama terdapat perbedaan konsumen rokok di Indonesia.
Rokok putih banyak dikonsumnsi oleh masyarakat yang
berpendapatan tinggi. Awalnya rokok putih semuanya merupakan
produk luar yang diimpor. Pabrik Asing pertama yang memproduksi
rokok putih di Indonesia yaitu British American Tobacco (BAT) pada
tahun 1925 di Cirebon. Sedangkan rokok kretek di konsumsi oleh
masyarakat golongan miskin. Persaingan antara rokok putih dan rokok
kretek juga telah terjadi sejak lama di Indonesia.Saat ini banyak pabrik
rokok di Indonesia yang memproduksi rokok putih.
Alat yang dipergunakan untuk memproduksi rokok dibedakan
menjadi dua, dengan menggunakan mesin disebut sigaret kretek mesin
(SKM ) dan yang dibuat dengan tangan disebut sigaret kretek tangan
(SKT).

77

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

Sumber: Museum Kretek, Kudus

Gambar 15

Rokok SKT Sejak Jaman Dulu yang Diproduksi di Kudus Disimpan
Sebagai Koleksi di Museum Kretek

Sumber : Museum Kretek Kudus
Gambar 16
Rokok Klobot

Sumber : http://www.blogspot .com

Gambar 17

Rokok Kretek

78

Gambar 18

Alat Produksi Rokok Rumahan

Industri Rokok Di Kudus

Sumber: http:// www. kompas.com

Gambar 19
Berbagai Praktek Produksi Rokok Rumahan

Gambar 20
Produksi Rokok yang Mempekerjakan Lansia Perempuan

79

Jenis Produksi Rokok
Tahun

1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010

SKT (batang)
24.657.465.428
27.105.054.530
29.737.629.160
28.274.156.946
25.116.151.386
24.238.122.006
21.891.303.904
19.918.002.506
19.869.921.600
18.518.147.214
17.802.238.888
17.330.300.118

%

9.9
9,7
(4,9)
(11,2)
(3,5)
(9,7)
(9,0)
(0,2)
(6,8)
(3,9)
(2,7)

SKM (batang)
13.941.553.196
16.743.880.710
19.291.190.818
16.798.620.652
21.418.958.760
28.583.179.778
33.964.435.866
34.360.344.944
36.798.890.848
42.756.952.200
41.599.662.358
41.078.181.304

%

Klobot (batang)

20,1
15,2
(12,9)
27,5
33,4
18,8
1,2
7,1
16,2
(2,7)
(1,3)

63.274.820
72.796.600
64.706.400
53.811.300
48.503.990
34.243.060
26.460.530
17.125.450
14.499.410
10.256.970
4.515.200
5.884.900

%

Jumlah (Batang)

%

15,0
(11,1)
(16,8)
(9,9)
(29,4)
(22,7)
(35,3)
(15,3)
(29,2)
(56,0)
30,3

38.662.293.444
43.921.731.865
49.093.526.377
45.126.588.876
46.583.614.138
52.855.544.844
55.882.200.320
54.295.472.900
56.683.311.858
61.285.365.384
59.406.416.446
58.414.366.322

13,6
11,8
(8,1)
3,2
13,5
5,7
(2,8)
4,4
8,1
(3,1)
(1,7)

Sumber: Persatuan Pabrik Rokok Kudus (PPRK).

80

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

Tabel 4.3
Perkembangan Produksi dan Jenis Rokok
di Kabupaten Kudus, Tahun 2003-2010

80

Industri Rokok Di Kudus

Tabel 4.3 secara total terdapat masa penurunan produksi
rokok dan pada saat yang lain terjadi peningkatan produksi rokok di
Kabupaten Kudus. Jika dilihat per jenis produksi yang mengalami
penurunan jumlah produksi selama tahun 1999-2010 adalah SKT.
W alau demikian produksi SKT masih mencapai 17 milyar batang
lebih. Pola produksi tidak secara otomatis menunjukkan konsumsi
yang menurun, tetapi bisa disebabkan jumlah pabrik yang berkurang.
Yang tergabung pada Persatuan Pabrik Rokok Kudus (PPRK) hanya
pabrik skala sedang dan besar seperti PT Djarum, PT Nojorono, PR
Jambu dan PR Sukun. Sehingga untuk pabrik Golongan III tidak
tercatat di PPRK.
Sebutan sebagai Kota Kudus kota kretek sangat melekat
karena memang memiliki banyak pabrik rokok, yang awalnya adalah
rokok kretek. Sebagai kota kretek, Kabupaten Kudus adalah produsen
rokok-rokok terkenal baik di pasar nasional maupun internasional
setelah pabrik rokok yang ada di Jawa Timur. Sebelum menggunakan
mesin, rokoknya SKT. Kemudian dalam perkembangannya
menggunakan mesin yang disebut rokok kretek mesin (SKM ). Rokok
yang diproduksi menggunakan mesin terdiri dari kretek mesin dan
rokok putih filter, yaitu rokok yang menggunakan filter. Rokok
kretek buatan tangan atau SKT, juga masih banyak diproduksi baik
rokok siong (klembak-menyan), rokok klobot, rokok kretek biasa
dengan bungkus kertas dalam bentuk pak dan conthong. Rokok untuk
pasar dalam negeri berbeda kemasan dan cita rasa dengan yang
ditujukan untuk pasar luar negeri. Demikian juga rokok yang
diproduksi bukan untuk konsumsi pasar.
Kabupaten Kudus, tidak memiliki tanaman tembakau dan
cengkih sendiri sehingga lebih kepada perusahaan rokok yang
mengandalkan ketersediaan sumber daya pekerja di bidang rokok.
Pada rokok sigaret kretek tangan (SKT) maupun sigaret mesin (SKM ),
pekerja (buruh) rokok merupakan faktor produksi yang sangat
penting. Pada bagian produksinya, kedua jenis produk rokok tersebut
melibatkan tenaga manusia dan kebanyakan wanita. Pada awalnya
memang lebih banyak sigaret kretek tangan (SKT) dan jenis ini yang
menyerap banyak tenaga kerja, terutama wanita yaitu pada proses
81

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

giling, linting, nyonthong, mbathil, selop dan ngepak. Sedangkan
bagian mblender, pengangkutan dan distribusi dikerjakan oleh lakilaki. Rokok Kretek, merupakan rokok campuran tembakau dan
cengkih. Oleh masyarakat, rokok tersebut dikenal dengan rokok
kretek, karena bunyinya kretek - kretek ketika dibakar. M enurut kisah
yang dikenal dan dikenang di kalangan masyarakat Kudus bermula
dari Haji Jamhari yang berhasil membuat rokok kretek sebagai obat
ashma yang dideritanya. Kabar kesembuhannya karena rokok obat
tersebut kemudian tersebar luas di kalangan masyarakat yang saat itu
banyak menderita sakit yang sama.

Pada saat itu rokok telah dikenal umum di kalangan kaum pria
tetapi tidak mencampurnya dengan cengkih. Selanjutnya permintaan
terhadap rokok kretek bertambah banyak hingga menjadi industri
pada tahun 1870 – 1880. Pelopornya adalah Nitisemito, yang lahir di
Kudus pada tahun 1863, dengan nama kecilnya Roesdi. Haji Jamhari
sendiri meninggal tahun 1890. Rokok kretek pada awalnya dikemas
dengan bungkus klobot (daun jagung yang dikeringkan) dengan ikatan
yang terdiri dari 10 batang setiap ikatnya.
Akan halnya Nitisemito, merupakan pengusaha rokok dari
Kudus yang melegenda karena keberhasilannya, sudah menjadi
jutawan pada masa pendudukan Belanda. Latar belakang sebagai
pemuda yang banyak menghadapi kegagalan dalam bekerja. Sering
berganti pekerjaan bahkan merantau ke berbagai tempat untuk
menemukan jati dirinya. Pada usia 17 tahun, pemuda Roesdi berganti
nama menjadi Nitisemito sepulang dari kota M alang, Jawa Timur
karena usaha konveksi kandas terlilit hutang. Selanjutnya Roesdi
mencoba berdagang minyak kelapa dan kerbau yang bangkrut juga.
Kemudian bekerja sebagai kusir dokar sambil berdagang tembakau.
Pada saat itulah berjumpa dengan mbok Nasilah, seorang pembuat
rokok sekaligus penjual rokok. M asyarakat juga menganggap mbok
Nasilah sebagai tokoh penting yang menemukan rokok sebagai
pengganti kebiasaan nginang pada tahun 1870 an.
Di warungnya yang sekarang menjadi toko kain Fahrida,
terletak di jalan Sunan Kudus atau dikenal dengan Kudus Kulon
82

Industri Rokok Di Kudus

tersebut mbok Nasilah sering menyuguhkan rokok buatannya kepada
para kusir dokar. Harapannya warung akan lebih bersih dibanding
ketika mereka nginang. Kedekatan Nitisemito dengan mbok Nasilah
karena kegemarannya merokok mengantarkan mereka pada akhirnya
menikah dan menjadi titik balik hidupnya menjadi pasangan
pengusaha rokok yang terkenal, tidak hanya di Kudus tetapi juga di
Indonesia.
Bersama Nasilah, M as Nitisemito mengembangkan usaha
rokok kreteknya menjadi suatu bisnis pada tahun 1906. Pada tahun
1908, rokoknya terdaftar dengan merk Tjap Bal Tiga. Tjap Bal Tiga
sebelumnya bernama Rokok Tjap Kodok M angan Ula (Jawa:Rokok cap
katak makan ular). Nama tersebut tidak membawa keberuntungan
malah menjadi bahan tertawaan di antara teman-temannya.
Kemudian diganti dengan Tjap bulatan Tiga. Karena Gambar : yang
tercantum pada bungkus rokoknya berupa bulatan tiga tampak seperti
bola, maka sering disebut rokok Tjap Bal Tiga. Oleh Nitisemito
akhirnya merk ini didaftarkan menjadi merk resmi rokoknya dengan
menambahkan nama Nitisemito menjadi Tjap Bal Tiga HM Nitisemito
dengan sebuah pabrik yang didirikan di Desa Jati, pada tahun 1914
dengan lahan seluas 6 ha. Sejarah juga mencatat bahwa jiwa wirausaha
dan bisnis yang dimiliki Nitisemito tumbuh subur, dengan berbagai
inovasi dalam hal rokok misalnya dengan menjual rokok dalam
bentuk kemasan dengan merk NV. Bal Tiga Nitisemito.
Pada tahun 1938 Nitisemito telah memiliki pekerja sebanyak
10.000 orang dengan produksi per hari sebanyak 10 juta batang.
Karena Nitisemito buta aksara, maka saat itu dia mempekerjakan
seorang berkebangsaan Belanda sebagai tenaga pembukuan. Strategi
pemasaran yang digunakan sudah tergolong modern karena belum ada
yang menggunakan sebelumnya. Sehingga dapat memasarkan
rokoknya meliputi kota-kota di Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan dan
bahkan ke negeri Belanda. Terobosan dalam memasarkan produksinya
misalnya dengan menggunakan pesawat terbang Fokker sewaan. Saat
itu harga sewa sebesar 200 Gulden untuk promosi ke Bandung dan
Jakarta.
83

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

Bungkus rokok dicetak di Jepang dengan rancangan menarik
dan full color . Di samping itu promosi dilakukan melalui iklan di
radio dengan menyediakan hadiah hadiah yang menarik. Pada
berbagai pertunjukan pasar malam, Nitisemito juga selalu membuka
stand rokoknya, menggelar panggung terbuka untuk pementasan
drama dan kethoprak.Pecahnya Perang dunia ke II pada tahun 1942
serta masuknya tentara Jepang memperburuk kondisi pabrik rokok
Bal Tiga, assetnya disita dan pada tahun 1955 sisa asset yang ada dibagi
kepada para ahli warisnya. Kehancuran pasar rokok Bal Tiga juga
diduga disebabkan oleh persaingan dengan pabrik rokok M inak Jinggo
yang berdiri pada tahun 1930.
Pemilik M inak Jinggo bernama Kho Djie Siong, semula adalah
agen rokok Bal Tiga untuk daerah Pati. Kho Djie Siong, banyak
menyerap informasi tentang racikan rokok dan strategi pemasaran Bal
Tiga dari M Karmaen teman sekolahnya di HIS Semarang, yang juga
merupakan menantu Nitisemito. Saat ini peninggalan Nitisemito
berupa Istana Kembar masih dapat dijumpai di daerah Kudus Kulon,
atau jalan Sunan Kudus no 22 Kudus. M erupakan rumah tinggal
keluarga Nitisemito yang saling berhadapan dipisahkan oleh kali
(sungai).
Akhir masa kejayaan rokok Bal Tiga akibat perselisihan para
ahli warisnya melahirkan pabrik rokok yang ada sampai saat ini.
Rokok Sampoerna Soerabaya (1931); Bentol M alang (1931); Nojorono
(1932; Djamboe Bol (1937); Sukun Kudus (1945); Djarum (1951) dan
Gudang Garam Kediri (1958). Legenda dan sejarah Nitisemito sebagai
cikal bakal industri rokok di Kudus, sebagian tersimpan di Museum
Kretek dan dapat dilihat dari peninggalan di rumah keluarga
Nitisemito Jl. Nitisemito No 96 Kudus. Kretek, dapat menjadi salah
satu cagar budaya Indonesia, karena khas Indonesia dan secara turun
menurun diwariskan kepada masyarakat

84

Industri Rokok Di Kudus

Sumber : Museum Kretek Kudus

Sumber : Museum Kretek.

Gambar 21

Gambar 22

Tokoh Yang Berjasa Dalam
Industri Rokok

Niti Semito, Pelopor Industri
Rokok Kudus.

Sumber : Data Primer

Gambar 23

Istana Kembar, Rumah Niti Semito

Gambar 23 adalah Istana kembar, dipisahkan oleh Kali
(Sungai) Gelis. Terletak di kawasan Kudus Kulon. Gambar : di atas
istana yang terletak di sebelah barat sungai gelis. Istana kembar yang
sebelah timur telah dijual.
Pabrik rokok yang memenuhi persyaratan adalah yang
terdaftar di KPPBC Tipe M adya Kudus. Sebagai Barang Kena Cukai,
pengusahanya harus memiliki nomor pokok pengusaha barang kena
cukai (NPPBKC). Pabrik rokok yang aktif berproduksi di Kudus tahun
85

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

2008 sebanyak 555 PR; tahun 2009 sebanyak 323 PR dan tahun 2010
sampai dengan bulan september 243 PR. Pada tahun 2010 terdapat 80
PR yang dicabut ijinnya karena permohonan dan tidak aktif produksi.
Pada tahun 2011, tanggal 10 Desember telah diblokir sebanyak 72 PR
karena tidak memenuhi PMK No. 200/PMK.04/2008, yaitu luas
tempat produksi sebesar 200m² (KPPBCTM , 2012).

Peta Kudus dalam Industri Rokok Nasional
Perusahaan Rokok atau Pabrik Rokok (PR) di Indonesia,
terpusat di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sebaran geografis sebagian
besar IHT (Rokok) berada di Jawa Timur (75%), Jawa Tengah (20%)
dan sisanya berada di daerah Sumatera Utara, Jawa Barat, DIY. Pada
tahun 2005 jumlah IHT (Rokok) di Indonesia sebanyak 3.217
perusahaan dan dalam tahun 2006 sudah mencapai 3.961 perusahaan
atau meningkat sebesar 23,12%, semakin meningkat pada tahun 2008.
Lebih dari 900 Pabrik ada di Kabupaten Kudus. Dalam periode yang
sama produksi rokok mencapai 220,3 milyar batang dan 218,7 milyar
batang. Produk hasil olahan tembakau terdiri dari rokok (rokok kretek
dan rokok putih), cerutu dan tembakau iris (shag).
Dilihat dari perkembangan produksinya, rokok kretek sejak
tahun 2007 mengalami kenaikan sampai mencapai 248 milyar batang.
Padahal dalam r oadmap IHT pada tahun 2020 hanya dibatasi produksi
rokok secara keseluruhan berjumlah 260 milyar batang.
Pada tabel 4.4, tampak bahwa produksi rokok kretek di
Indonesia dalam satu dasawarsa jumlah produksi relatif stabil. Jumlah
tersebut adalah jumlah yang tercatat berdasarkan jumlah pita cukai
yang diminta oleh pengusaha. Karena dasar penerbitan pita cukai
adalah laporan produksi dan aktivitas lain misalnya jumlah tenaga
kerja yang bekerja pada hari itu. Sekalipun demikian kalau dilihat
peningkatannya negatif. Puncak perkembangannya dicapai pada
tahun 2008 yaitu sebesar 3,89 %. Pada tahun 2010 produksi secara
nasional sudah mencapai 248 milyar batang. Kebijakan IHT akan
membatasi jumlah produksi sebesar 260 miliar batang pada tahun
86

Industri Rokok Di Kudus

2020. Diluar yang dilaporkan rokok yang beredar jumlahnya masih
banyak.
Tabel 4.4
Perkembangan Produksi Rokok Kretek di Indonesia, Tahun 2000- 2010
No

Tahun

Produksi
(milyar batang)

Peningkatan
(%)

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010

232
228
208
200
223
222
221
231
240
245
248

-1,75
-9.61
-3,85
-11,50
-0,49
-0, 45
-4,52
3,89
2,08
1,22

Sumber : Ditjen Industri Agro dan Kimia, Kementrian Perindustrian, dalam Zahar
dan Sutiman (2011: 93)

Awal pemberlakuan Otonomi Daerah pada tahun 2001
seluruh Kabupaten/ Kota mendorong potensi ekonomi dengan
mempermudah proses perijinan. Sesuai dengan pembagian
kewenangan antara pemerintah Pusat dan Daerah, UU No. 22 dan 25
tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sebelum Otonomi Daerah
proses perijinan ada pada pemerintah Provinsi dan pemerintah pusat.
Pada Tabel 4.5 dalam kurun waktu tujuh tahun (2002 – 2008),
di Kabupaten Kudus telah bertambah 916 unit pabrik skala sedang,
kecil dan mikro. Dengan Investasi yang ditanamkan berjumlah Rp.
66.069.305.000,- menyerap tenaga kerja sebesar 9.658 orang. Terdiri
dari tenaga kerja perempuan sebanyak 7.730 orang. Tetapi pada tahun
yang sama yang terdaftar di KPPBC Tipe M adya Kudus sebanyak 555
pabrik.

87

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya
Tabel 4.5
Jumlah Industri Rokok Menurut Pengajuan Ijin ke PMPPT*)
Berskala Industri Mikro, Kecil, Sedang **)
Kabupaten Kudus Tahun 2002- 2008***)
No.

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Jumlah
Perusahaan
(Unit)

Tahun

2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008

I nvestasi yang
ditanamkan
(Ribu Rp)

120
158
83
65
273
195
22

Keterangan : *)
**)
***)

2.763.700
3.890.500
2.362.700
9.872.500
23.750.000
16.739.000
6.690.000

Jumlah Tenaga
Kerja yang
diserap
Lk2

Kapasitas
Produksi
Total (Btng)

Pr

199
337
141
149
591
407
104

886
1034
556
674
2.396
1.508
677

903.600.000
153.200.000
603.600.000
2.011.600.000
3.137.220.000
3.406.000.000
1.311.400.000

Sebagai persyaratan mendapatkan NPPBKC di Dirjen
Bea Cukai
Indikator Indagkop, Investasi Sebesar 10 jt - 50 jt
Data Tahun 2008 sampai bulan Juni.

Sebagai gambaran cukai rokok yang dibayarkan dari
Kabupaten Kudus dan penerimaan cukai secara Nasional dapat dilihat
dalam tabel 4.6 berikut ini:
Tabel 4.6
Setoran Cukai Kabupaten Kudus dan Pendapatan Cukai Rokok Nasional,
Tahun 2000-2011
Kabupaten Kudus
No

Th

Target
(T) Rp

Realisasi

Nasional
%

(T) Rp

Target

Realisasi

(T) Rp

(T) Rp

%

1

2006

8,22

8,65

105,3

38,523

37,800

98,13

2

2007

9,5

10,98

115,6

42,034

44,700

106,35

3

2008

11,5

13,5

117,4

45,718

51,300

112,10

4

2009

13,8

15,2

110,2

54,545

56,800

103.99

5

2010

14,6

16.83

115,3

57,280

57.280

110.54

6

2011

17,4

18,68

107,4

68,075*)

77.099

113.13

Sumber: KPPBC Tipe Madya Kudus

88

Industri Rokok Di Kudus

Tabel 4.6 menunjukkan kenaikan target dan capaian baik di
Kabupaten Kudus maupun secara nasional. Pada periode tersebut
jumlah pabrik rokok semakin sedikit, disebabkan terkena aturan atau
tidak bertahan dalam persaingan.

Proses Produksi Rokok
Tembakau, sebagai bahan baku utama rokok pada umumnya
akan lebih baik jika digunakan setelah 2-3 tahun disimpan. Proses
selanjutnya adalah mencampur bahan baku tembakau dengan cengkih
dan aroma yang disebut saos. Cengkih untuk menjadi bahan siap pakai
melalui proses tersediri yaitu perendaman dan perajangan. Saos,
adalah campuran berbagai bahan kimia dan alami yang menghasilkan
aroma sebagai cita rasa rokok yang khas sesuai dengan selera
konsumen.
Rokok Kretek, memiliki dua tipe cita-rasa, yaitu: t ipe
berdasarkan penggunaan flavour dan tipe berdasarkan kandungan tar
dan nicotine. Tipe Berdasarkan penggunaan flavour terdiri dari yang
High Flavour : tipe sweet spicy; tipe nutty fruity, dan Low Flavour :
tipe natural. Tipe berdasarkan kandungan tar dan nicotine, terdiri dari
Low Tar & Nic (< 15 mg tar/cig. & < 1,1 mg nic./cig. M edium Tar &
Nic (15 < mg tar/cig. < 20 & 1,1 < mg nic/cig. < 1,5). Untuk yang
regular selain yang tersebut di atas.
Rokok Putih, memiliki dua tipe cita-rasa, yaitu: American
Blend: sweet aromatic anissed & typical acid fruit, chocolate &
fermented. Virginia Blend: typical virginia smoke taste & fermented
acid taste termasuk English type dan Asia type (Japan Tob., China
Tob., lainnya).
Proses produksi Rokok Kretek, menggunakan raw material
terdiri atas empat bagian yang masing-masing bagian merupakan
compound, yaitu: blend tembakau; blend Clove; Casing Flavour ; dan
Top Flavour . Blend Tembakau, merupakan campuran dari berbagai
macam jenis tembakau bentuk rajangan dengan perbandingan
tertentu sedemikian rupa sehingga diperoleh cita-rasa tembakau yang
89

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

diinginkan. Blend Clove, merupakan campuran dari beberapa jenis
clove (cengkih) bentuk rajangan dengan perbandingan tertentu
sedemikian rupa sehingga diperoleh cita-rasa cengkih yang
diinginkan.
Tobacco Flavour , atau dengan istilah umum di kalangan
pelaku industri rokok disebut dengan saos rokok. Saos ini digunakan
pada tembakau sebagai bahan baku utama rokok untuk mendapatkan
efek rasa dan aroma tertentu. Saos rokok pada umumnya hampir sama
dengan essen yang digunakan di industri makanan. Bedanya hanya di
metode penggunaan. Essen rokok atau saos rokok agar bisa digunakan
pada tembakau harus dilarutkan dulu dengan Ethyl Alkohol.
Tobacco flavour terdiri atas dua bagian yang masing-masing
berbeda peranannya terhadap rokok kretek yang dihasilkan. Kedua
bagian tersebut adalah: Casing Flavour dan Top Flavour . Casing
Flavour merupakan larutan compound dari berbagai macam raw
material yang terlarut dalam air, yang berperan memperbaiki,
meningkatkan dan menyempurnakan cita-rasa blend tembakau. Raw
material yang digunakan dalam membentuk casing umumnya berupa
ekstrak, konsentrat, resinoid, dan bentuk lain yang larut dalam air.

Secara umum compound casing terdiri atas beberapa block
(Penta Aromindo):

“ Humectant (PG, Gliceryn, Madu); Sweet block ; Tobacco;
acid (Sour Plum, Plum Casing); Brown block (Coffee Extrac,
cocoa, Mapple, Anis Casing); Spicy block (Keningar/Kayu
Manis); Fermented block; Tobacco softener/smoothener
(Licorice); Tobacco enhancer/ improver (Tabac-Tabac);
Burning & Preservative agent; Body replacer (Cocoa);
Fixative Solvent (water)”.

Top flavour merupakan larutan compound dari berbagai
macam flavour yang terlarut dalam alkohol, yang berperan memberi
arah citarasa rokok kretek yang dihasilkan. Raw material yang
digunakan dalam membentuk Top flavour umumnya berupa oil,
oleoresin, absolute, dan aroma chemical yang larut dalam alkohol.

90

Industri Rokok Di Kudus

Secara umum compound Top Flavour terdiri atas beberapa
block (Penta Aromindo), adalah : “ Pack aroma; Sweet block (Tabac Sweet,
Vanilla, Sweet Alami, Anis dll); Fresh block (Havana, Manila); Fermented
block (Rhum, Cognag, Jamaica); Fruity block (Nangka, Strawberry, Fruity);
Brown block (Gurih FC, Coffee, Mapple); Spicy block (Cassia, Clove Oil, Nut
Meg, Ginger dll = Spicy TF); Tobacco Top block (Madura, Virginia,
Kentucky); Sour agent (Plum); Green block (Strawberry, Rashberry); Floral
block (Jasmine, Rose Oil); Fixative (Tabac Fixative, Labdanum, Benzoin, Peru
Balsamic); Solvent (alcohol, PG)”.

Selanjutnya dijelaskan oleh Penta Aromindo perusahaan yang
memiliki kompetensi dalam hal Casing dan Top flavour , bahwa :
“ casing dan top flavor merupakan larutan yang jauh berbeda, terutama
polaritasnya, walaupun kadang-kadang raw material top flavour
masuk dalam compound casing itu semata-mata strategi kreasi. Tetapi
raw material untuk Casing selalu tidak mungkin masuk dalam
compound Top flavour.
Di kalangan PR kecil cenderung tidak menggunakan seluruh
bahan. Seringkali disadari sulitnya mengikuti selera konsumen yang
minta dibuatkan rokok yang sama dengan rokok merk yang
contohnya ditunjukkan konsumen. Biasanya dapat merupakan rokok
yang paling laris di pasar dan produk pabrik besar atau kombinasi
beberapa merk rokok yang disukai.
Pengusaha rokok kecil tidak memiliki pengetahuan yang
memadai tentang bahan kimia yang digunakan, jikapun memiliki
untuk mendapatkan cita rasa dan aroma yang diinginkan tidak dapat
membuat dan membeli bahan dalam skala kecil (sedikit). Apabila
membuat dalam jumlah besar tidak memiliki biaya, apalagi dengan
jumlah produksi rokok terbatas. Sedangkan bahan kimia sisa tidak
dapat disimpan untuk dipakai produksi lain waktu.
Solusinya antara lain membeli tornette, yaitu limbah rokok
yang berasal dari rokok yang diretur dari pasar . Atau jengkok, limbah/
sampah atau debu tembakau dari PR besar yang merupakan campuran
berbagai tembakau bermutu baik, sangat menguntungkan untuk
menujang kualitas produk dari bahan baku tembakaunya.
91

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

Pabrik rokok kecil, sebagian golongan II dan I II memiliki alur
yang berbeda karena tidak menyiapkan tembakau sendiri. Bahan yang
diperlukan terdiri dari tembakau siap giling atau tembakau setelan
yang sudah siap beli. Kelengkapan lainnya seperti papir (kertas
pembungkus rokok), lem, kertas untuk selongsong, plastik (OPP) baik
luar maupun dalam, aluminium foil, bungkus pak, bungkus pres,
bandrol dan karton.
Urutan pengerjaan nya, mulai dari tembakau siap giling.
Setelan digiling, dirapikan ujung dan pangkal rokoknya (bathil)
kemudian diikat per sepuluh atau limapuluh batang (nyelop) untuk
memudahkan menghitung. Kemudian disortir (dicek) oleh mandor
apakah sudah baik/rapi dan masuk gudang kalau pabrik besar. Tetapi
untuk pabrik kecil biasanya langsung dikerjakan dengan proses
selanjutnya, yaitu proses pengemasan. Pengemasan dimulai dengan
nyonthong, di bungkus per pak dengan isi tergantung pada kemasan
rokok apakah sepuluh, dua belas, limabelas dsb. Kemudian kemasan
pres berisi 10 pak rokok, lalu dikemas untuk setiap bal berisi 20 press
rokok.

92

Industri Rokok Di Kudus

Gambar 24
Rokok proses produksi sampai pengemasan

93

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

Rokok “Illegal” dan Hasil Penindakan KPPBC Tipe
M adya Kudus
W ilayah KPPBC Tipe M adya Kudus meliputi eks Karesidenan
Pati dan Kabupaten Grobogan. Selama 2007-2009, barang bukti rokok
“ilegal” sebanyak 11 juta batang atau sebanyak 18 ton, nilai barang
bukti tersebut mencapai Rp. 4,48 M ilyar. Pada tahun 2010-2012 Rp.
1.155.671.500,- berupa 12.598 kg rokok SKT dan SKM serta 173 kg
tembakau (SM , 6/3-2012). Sedangkan potensi cukai yang hilang
karena pelanggaran lainnya diperkirakan sebesar Rp. 2.079 milyar
(KPPBC M adya Kudus, Press Release).
Barang bukti yang masih tersimpan karena belum selesai
proses hukumnya sebanyak 7,8 juta batang atau seberat 13 ton, dan
bernilai Rp. 3,6 milyar. Nilai tersebut didasarkan pada jenis
pelanggaran dan jumlah denda kelipatan dari nilai pita yang tidak
dibayarkan.
Istilah potensi cukai yang hilang untuk rokok illegal
sebenarnya kurang tepat, karena lebih kepada barang bukti hasil
penindakan, dan bukan merupakan potensi seluruhnya dari rokok
“illegal”.
Pada tahun 2008 sampai tahun 2010, terdapat penurunan
jumlah pengusaha rokok yang membayar cukai. Pada tahun 2008,
jumlah pengusaha yang membayar pita cukai sebanyak 555 pabrik
rokok (PR); tahun 2009 sebanyak 323 PR dan tahun 2010 (sampai bln
september) sebanyak 243 PR. Dengan ilai cukai sebesar Rp.
13.543.172.388,- (2008), Rp. 15.174.578.727.052,- pada tahun 2009
dan pada tahun 2010 sebanyak Rp. 40.992.510.908.014,Data pabrik yang ada dan yang membayar cukai diketahui,
tetapi tidak secara otomatis dapat diketahui jumlah pelanggaran atau
jumlah rokok yang akan menjadi “illegal”. Pelanggaran dibagi menjadi
dua (2), yaitu pelanggaran administrasi dan pelanggaran pidana. Pada
pelanggaran administrasi sanksinya berupa