Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Relasi Negara dan Masyarakat di Rote D 902007003 BAB V

Bab Lima

Rote dalam Konteks Pembangunan di Nusa
Tenggara Timur
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan
pelayanan kemasyarakatan, Kabupaten Rote Ndao dihadapkan pada
berbagai masalah sumber daya alam, sumber daya manusia, nilai-nilai
sosial-kultural yang mulai memudar, terbatasnya anggaran serta sarana
dan prasarana (infrastruktur) dalam mengelola berbagai potensi untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat adalah bagian utama yang
dibahas dalam bab ini.

Tu'u Belis dan Kemiskinan di Rote
Tradisi masyarakat Rote sejak turun-termurun erat dengan
pesta pora. Kematian dan pernikahan diikat dalam satu aturan adat
Tu’u (adat pemberian sumbangan bersyarat) serta disambut dengan
ritual minum dan makan daging selama berhari-hari. Puluhan bahkan
ratusan hewan seperti domba, babi, sapi hingga kuda disembelih saat
pesta yang digelar bahkan bisa menghabiskan dana sampai ratusan juta
rupiah. Kemeriahan pesta adalah keharusan dan tak memandang status
ekonomi apakah sang penyelenggara pesta masuk dalam golongan kaya

atau miskin.
Pesta kematian dimulai ketika peristiwa kematian terjadi. Para
kerabat, sahabat, tokoh masyarakat datang untuk mengobrol sambil
berpantun untuk mengenang mendiang. Pesta ini bisa berlangsung
hingga berhari-hari. Begitu pula dengan pesta pernikahan diawali
dengan pertemuan kedua belah pihak keluarga. Tak hanya
membicarakan tanggal pernikahan, namun di saat ini lah belis
ditentukan. Sumbangan berupa uang maupun ternak beserta nama
penyumbang dicatat. Puluhan bahkan ratusan ternak yang selalu

93

Relasi Negara dan M asyarakat di Rot e

menjadi sajian utama di Rote adalah sumbangan yang harus dibayar
dan bukan sukarela. Dengan kata lain setelah marak pesta, yang tersisa
adalah tumpukan utang yang seringkali diwariskan hingga anak cucu.
M ubyarto, et al (1991:52) mencatat bahwa penduduk di Rote
melakukan “pemborosan” karena untuk memenuhi tuntutan
kebutuhan sosial religius (pesta adat) mereka banyak hewan peliharaan

yang dikorbankan (antara 20-40 ekor) untuk menjamu para tamu yang
hadir dalam pesta adat yang populer dengan istilah “undang makan
daging”. M anafe (1967) menuturkan bahwa daging yang disembelih
dalam “acara makan daging” tidak dibagi secara sembarangan tetapi
dengan aturan-aturan adat yang telah ditetapkan. Nama-nama orang
yang berhak menerima daging adalah sebagai berikut:

− Langga laik atau separuh kepala bagian atas mulai dari moncong
terus ke telinga sampai pangkal leher diperuntukkan untuk M anek,
Fetor dan M anesio, tua-tua kampung serta untuk tamu-tamu asing
yang terhormat. Dalam lingkungan kerabat bagian ini diberikan
kepada Ayah dan To’o (Paman).
− Timik, yaitu separuh dagu, terhitung dari moncong sampai pangkal
leher. Bagian ini diberikan untuk orang-orang yang dalam struktur
sosial setingkat lebih rendah dari yang disebut pertama. Dalam
hubungan kekeluargaan diberikan kepada saudara-saudara lelaki
tertua.
− Tenek, yaitu separuh tulang dada bersama beberapa tulang rusuk.
Bagian ini untuk M anefeto (Istri M anek) atau untuk wanita
terpandang. Dalam kekeluargaan bagian ini diberikan untuk ibu dan

saudara wanitanya.
− Dimok atau daging bagian pangkal paha diberikan untuk wanita
yang lebih rendah kedudukannya dari M anefeto. Dalam hubungan
kekeluargaan bagian ini untuk saudara perempuan.
− Paeik atau daging kaki dan paha diberikan untuk anak-anak.
− Iko tei lolo yaitu ekor dan perut diberikan pada para gembala dan
94

Rot e dalam Kont eks Pembangunan di NTT

− Poduik atau tulang rusuk. Bagian ini diberikan pada orang-orang
biasa dan para tetangga.
Pada
masa
pemerintahan
Nusak
seluruh
padang
penggembalaan untuk ternak peliharaan dan mata air adalah milik
bersama (communal property)73 serta tidak ada pemberlakukan pajak

atau retribusi untuk padang pengembalaan maupun mata air yang
digunakan secara bersama-sama. Sejak negara hadir, klaim atas tanah
yang tidak dikelola, tidak ditempati menjadi tanah milik negara serta
padang pengembalaan dan mata air telah berubah menjadi hak milik
pribadi, hak milik keluarga (private property).

Tu’u Belis: Sistem Kekerabatan dan Kekeluargaan Untuk
Perkawinan
Tu’u (dalam bahasa Rote berarti kumpul ongkos) dan Belis
(dalam bahasa Rote berarti mas kawin) dengan demikian dapat
diartikan bahwa Tu’u Belis adalah (kumpul ongkos untuk kawin). Tu’u
Belis merupakan sebuah praktek turun temurun yang pada gilirannya
membentuk indentitas masyarakat Rote (budaya orang Rote).
Pelestarian praktek budaya ini menjadikannya sebagai konstruksi
identitas yang menurut masyarakat Rote hadir dengan keunikannya
sendiri. Sampai saat ini belum ada sumber tertulis atau sumber lisan
yang mampu menjelaskan sejak kapan praktik Tu’u Belis mulai
diterapkan dalam kehidupan masyarakat Rote.
M enurut Folabessy (2009) upaya mempertahankan kebudayaan
di satu sisi harus berbenturan dengan realitas ekonomi pada sisi yang

lain. Hal ini terjadi dalam tradisi Tu’u Belis atau kumpulan keluarga
untuk mengumpulkan ongkos pernikahan. Tu’u Belis adalah sebuah
praktek turun menurun yang pada gilirannya membentuk identitas
73

Kecuali Danau Tua yang diperebutkan oleh Nusak Thie dan Nusak Dengka sejak
jaman Belanda dan konflik laten tersebut yang telah memakan banyak korban manusia
maupun harta benda dan konflik tersebut baru berakhir pada Tahun 2002. (lihat
dokumen batas-batas Danau Tua pada bagian Lampiran 2).

95

Relasi Negara dan M asyarakat di Rot e

masyarakat Rote. Tujuan awal dari Tu’u Belis sebenarnya ada pada
usaha untuk menguatkan sistem kekerabatan dalam masyarakat. Tu’u
Belis merupakan salah satu sarana untuk saling membantu di antara
anggota masyarakat. Dalam praktek Tu’u seluruh anggota seolah-olah
dituntut berpartisipasi karena hal ini dianggap sebagai suatu kewajiban
adat. Di sini tekanan moral sangat kuat dirasakan oleh warga. M ereka

harus mencari uang untuk ikut Tu’u. W alau di rasa berat, praktik ini
tetap saja dilakukan karena masyarakat menganggapnya sudah sebagai
tuntutan adat yang harus dipenuhi. Jika tidak dipenuhi mereka akan
merasa malu sebagai akibat dari sanksi sosial yang harus ditanggung.
Oleh karena itu dengan segala daya mereka akan menyediakan uang
demi bisa ikut Tu’u.
Tujuan awal Tu’u Belis sebenarnya ada pada usaha untuk
menguatkan sistem kekerabatan dalam masyarakat. Tu’u Belis
merupakan salah satu sarana untuk saling membantu di antara anggota
masyarakat. Itulah maksud sederhana dibalik praktek Tu’u Belis.74
Setidaknya ada tiga tahapan dalam Tu’u Belis. Pertama adalah Tu’u
daftar (mendaftar keluarga yang akan diundang). Selanjutnya Tu’u
kumpul keluarga (membicarakan sumbangan yang akan diberikan).
Dan yang terakhir adalah Tu’u penyetoran (menyerahkan sumbangan);
barulah puncak acara tiba: pesta nikah.
M enurut Haning (2010) dalam setiap tahapan Tu’u Belis
tersebut selalu diisi dengan pesta makan daging. M aterial yang
digunakan dalam Belis dapat dilihat pada Tabel 5.1. berikut ini:
Tabel 5.1. Material Mas Kawin (Belis)
NO


M ATERIAL
1
Hewan
2
Mas
3
Tanah
4
Pepohonan
5
Uang
Sumber: Haning, (2010)

74

JENI S
kerbau, sapi, kuda, kambing, domba
habas, cincin, sofren, gelang
sawah, ladang (tidak termasuk kebun)

kelapa, lontar
uang kertas

W awancara dengan Pdt. Iswardy Lay, S.Th pada tanggal 24 Februari 2009

96

Rot e dalam Kont eks Pembangunan di NTT

Selanjutnya menurut Haning (2010) masyarakat Rote Ndao
walaupun tidak mempunyai mata uang, tetapi mempunyai satuan nilai
uang (standart) yang tetap. M ereka menggunakan istilah “rupiah”.75
Nilai untuk satu “rupiah” dalam belis sama nilainya dengan
Rp200.000,- dalam mata uang Indonesia. (setiap Nusak memiliki
standart yang berbeda-beda). Tiap jenis material belis mempunyai
satuan ukuran yang tetap. Seperti mas mempunyai satuan ukuran yang
disebut batu, oma, bondo, nggause dan koro. Selanjutnya dapat dilihat
pada Tabel 5.2. berikut ini:
Tabel 5.2. Satuan Nilai Material Mas Kawin (Belis)
NO


1

2

3

4

M ATERIAL BELI S

SATUAN NI LAI DALAM BELI S
(1 x Rp200.000,-)

H ewan

Kerbau Betina
Kerbau Dua Adik
Kerbau Satu Adik
Kuda Betina

Kuda Jantan
Kambing/Domba
Babi Kecil
Babi Sedang
Babi Besar
Barang Tidak Bergerak
Kelapa
Lontar
Tanah Sawah
M as
Berat 1 Batu
Berat 1 Oma
Berat 1 Bondo
Berat 1 Nggause
Berat 1 Koro
H ewan dengan H ewan
Kerbau Betina
Kerbau Dua Adik

25 per ekor

15 per ekor
10 per ekor
15 per ekor
25 per ekor
2 per ekor
2 per ekor
4 per ekor
8 per ekor
1 per pohon
25 per rumpun
25 per bidang (1 are)
64 gram = nilai 100
6,4 gram = nilai 10
1,6 gram = nilai 2,5
0,8 gram = nilai 1,25
0,4 gram = nilai 0,625
12 ekor kambing atau domba + 1 ekor anak
7 ekor kambing atau domba + 1 ekor anak

I stilah “rupiah” meskipun memiliki kesamaan dengan mata mata uang Indonesia
namun sesungguhnya memiliki makna yang berbeda.

75

97

Relasi Negara dan M asyarakat di Rot e

NO

M ATERIAL BELI S

SATUAN NI LAI DALAM BELI S
(1 x Rp200.000,-)

Kerbau Satu Adik
5 ekor kambing/domba
Kuda Betina
7 ekor kambing atau domba + 1 ekor anak
Babi Kecil
1 ekor kambaing/domba
Babi Satu Kayu *)
2 ekor kambing/domba
Batu Dua Kayu *)
4 ekor kambing/domba
Sumber: Haning (2010)
Keterangan: *) babi satu kayu atau babi dua kayu dilihat dari besar/beratnya babi yang
dapat diangkut dengan mempergunakan sebuah kayu pemikul. Tiap kayu sebanyak dua
orang pemikul.

Dalam penerapan Tu’u Belis saat ini, material berupa hewan dan mas
telah diganti pembayarannya menggunakan uang kertas.

Tu’u Belis dan Kemiskinan

Ada asumsi bahwa keberadaan Tu’u mengurangi kemampuan
daya beli rumah tangga terutama untuk memenuhi kebutuhan gizi dan
pendidikan anak-anak dalam rumah tangga. Asumsi semacam ini bisa
saja keliru dan bisa juga benar, tetapi fenomena Tu’u yang mempunyai
tekanan moral (moral pressure) yang kuat kepada masyarakat. dari
manakah asal muasal Tu’u Belis sampai dengan saat ini tidak ada
informasi yang bisa dijadikan referensi, namun ini merupakan
kebiasaan masyarakat Rote ketika melakukan serangkaian pertemuan
untuk Tu’u Belis (kumpul ongkos kawin) telah dilakukan sejak lama.
Hal ini dilakukan untuk memastikan kesanggupan kerabat
menyangkut besarnya sumbangan dalam pembiayaan sebuah pesta
pernikahan.76 Sumbangan baik berupa uang maupun ternak yang
dicatat nama penyumbang dan besar sumbangan. Jika suatu ketika
keluarga yang membawa hewan tersebut membuat pesta maka
keluarga penerima hewan akan datang membawa jenis hewan yang
sama atau lebih. Semua ini dilakukan dalam rangka menjaga
kekerabatan dan prestise sosial.

76

W awancara dengan John B. Ndolu pada tanggal 18 Oktober 2008

98

Rot e dalam Kont eks Pembangunan di NTT

Tu’u Belis ternyata tidak sesederhana seperti yang kita
bayangkan. Persoalan Tu’u Belis yang kelihatannya sepele (sekadar
kumpul ongkos kawin) dapat menjadi bumerang bagi masyarakat Rote
sendiri. Tu’u Belis bisa berdampak pada kesenjangan ekonomi karena
ada kelompok sosial yang bisa memanfaatkan keuntungan dari situasi
tersebut. Selain itu Tu’u Belis bisa berakibat pada suatu masyarakat
yang saling berhutang. Kondisi ini sedang berlangsung dalam
masyarakat Rote sendiri dan mungkin suatu ketika yang terjadi adalah
kemiskinan bersama (shared poverty). Kemudian standarisasi Tu’u
Belis bertujuan untuk membawa masyarakat keluar dari jaring-jaring
hutang turun temurun tanpa menghilangkan nilai kekerabatan yang
terkandung di dalamnya.
Tu’u Belis menjadi sebuah peristiwa sosial yang harus diikuti
jika tidak ingin mendapat pengucilan (social enxclusion). Tu’u yang
dicetus pada awalnya untuk menolong masyarakat kini malah
menciptakan masyarakat penghutang (debitor society) karena ongkos
belis mulai dimulai dari angka Rp1.000.000 sampai dengan
Rp75.000.000,-77 Jika mereka tidak punya uang untuk Tu’u mereka
akan mencari pinjaman dari tetangga dengan bunga sekitar 5-10% dan
ada juga yang meninjam dengan bunga tapi tidak diungkapkan berapa
persen yang harus mereka bayar. Dengan demikian, Tu’u sebenarnya
sudah menyebabkan berlangsungnya ekonomi renternir dengan
tingkat bunga yang tinggi. Jika ada seseorang yang mau memberi
pinjaman (pemilik modal) kepada penduduk maka sudah dapat
dipastikan pendapatan penduduk akan lari ke pemilik modal tersebut
sedangkan penduduk akan tetap miskin. Hal ini pada gilirannya akan
mendorong kesenjangan pendapatan yang semakin melebar di antara
yang punya uang dan yang tidak punya uang.
Misalnya jumlah belis yang ditentukan oleh keluarga perempuan kepada keluarga
laki-laki sebesar Rp20.000.000,- maka Tu’u belis yang harus dikumpulkan sebanyak
Rp30.000.000,- jumlah ini dihitung dengan ongkos pesta pada waktu penyelenggaraan
pesta Tu’u Belis. Pesta Tu’u belis umumnya dilakukan pada musim panen (antara JuniNovember) dengan pertimbangan harga pasar stabil. W awancara dengan Hanok Ndoen
pada tanggal 22 November 2008 di Desa Oenggaut.
77

99

Relasi Negara dan M asyarakat di Rot e

Selain meminjam, dalam keadaan terpaksa bisa menggadaikan
atau menjual barang-barang yang ada. Praktek seperti ini merata di
semua tempat yang melakukan Tu’u. Di beberapa tempat bahkan ada
orang yang menjual barang emas untuk bisa membayar Tu’u78, jika
proses ini dibiarkan terus menerus maka bisa terjadi bahwa orang yang
mempunyai dana lebih akan mendapat keuntungan dari proses
penjualan tersebut. Fenomena ini menunjukkan telah terjadi transfer
asset dari warga miskin ke warga kaya. Kondisi ini juga mendorong
terjadinya kesenjangan ekonomi di wilayah yang melaksanakan Tu’u.
Kebiasaan mengadakan pesta ketika mengadakaan Tu’u bisa
dikatakan sebagai penyebab semakin beratnya beban bagi masyarakat.
Tujuan pesta ini adalah untuk mengumpulkan orang. Pesta tersebut
membutuhkan biaya yang cukup besar karena beberapa hewan besar
maupun kecil dikorbankan/ disembelih. Hewan untuk pesta dibeli dari
uang yang bisa didapat dengan cara berutang kepada orang lain. Jika
yang menghadiri pesta banyak maka tidak sedikit hewan yang
disembelih. Namun ironisnya Tu’u yang diterima tuan pesta lebih kecil
dari biaya yang dikeluarkan untuk pesta.79 Jika ini yang terjadi maka
sebenarnya yang terjadi adalah tuan pesta yang memberi subsidi makan
kepada masyarakat dan bukan masyarakat yang membantu tuan pesta.
Kalau demikian maka Tu’u di sini lebh memiskinkan tuan pesta yang
disebabkan oleh hutang yang dibuatnya untuk pesta dan kewajiban
Tu’u-nya kepada anggota keluarga yang lain.
Di sini tampak situasi ambiguitas Tu’u. Pada satu pihak Tu’u
dianggap membuat pusing namun dipihak lain ia dianggap menolong
dan sifatnya wajib karena sudah merupakan adat istiadat orang Rote
yang memberi identitas sosial kultural kepada orang-orang Rote.

78
79

W awancara dengan John B. Ndolu tanggal 18 Oktober 2008
W awancara dengan John B. Ndolu tanggal 18 Oktober 2008

100

Rot e dalam Kont eks Pembangunan di NTT

Sifat ambigu ini muncul karena karakteristik Tu’u Belis yang
seperti arisan. M isalnya, bila Keluarga A (W anita) hendak
menyelenggarakan pesta pernikahan dengan Keluarga B (Pria), maka
Keluarga B akan mengundang seluruh rumpun keluarga besar yang
terkait dan tetangga disekitarnya untuk mengumpulkan uang/barang
(Tu’u) demi membayar belis pada Keluarga A. Apabila ada keluarga
yang karena sesuatu hal tidak mempunyai uang/barang maka itu
dicatat sebagai hutang yang harus dilunasi di kemudian hari. Di pihak
lain, Keluarga B mempunyai kewajiban untuk melakukan Tu’u kepada
keluarga-keluarga mana yang menyelenggarakan pesta pernikahan.
W alaupun praktek Tu’u dianggap memberatkan tapi banyak
orang yang pesimis jika Tu’u bisa dihapus. Dari kalangan generasi
muda ada ide untuk mengapus Tu’u namun keinginan ini berbenturan
dengan kelompok tua yang ingin mempertahankan Tu’u dengan alasan
melestarikan nilai adat. Namun dibalik itu sebenarnya ada alasan yang
jauh lebih mendasar. Sebagian masyarakat ingin mempertahankan Tu’u
karena alasan-alasan ekonomis yaitu bahwa mereka sudah terlanjur
menyertakan uang mereka dalam Tu’u dan itu harus dikembalikan.
Jika Tu’u diberhentikan maka uang mereka akan hilang dan mereka
tidak mau itu terjadi, oleh karena itu maka Tu’u harus tetap
diberlakukan sampai uang mereka kembali.80
Alasan kedua lebih bersifat moral, karena mereka sudah
terlanjur menikmati uang orang. M ereka yang berada di posisi ini
berpendapat bahwa Tu’u harus terus jalan agar mereka berkesempatan
untuk mengembalikan uang orang yang sudah mereka nikmati. Orang
tua mereka bahkan berpesan kepada anak-anak mereka agar tetap
membayar hutang tersebut sekalipun orang tuanya sudah meninggal.
Yang terjadi adalah hutang Tu’u telah menjadi hutang antar generasi
(inter-generation debt), di mana hutang orang tua harus dibayar oleh
anak cucu mereka.81
80 Wawancara dengan Pdt. Judith Folabessy, S.Si-Teol.,M.Si pada tanggal 20 Oktober
2008
81 W awancara dengan John B. Ndolu tanggal 18 Oktober 2008

101

Relasi Negara dan M asyarakat di Rot e

Apabila kondisi di atas terus menerus dibiarkan maka
masyarakat Rote yang terlibat dalam Tu’u Belis tidak akan sempat
melakukan akumulasi modal sebagai masyarakat terjun ke dunia usaha.
Kerja keras mereka hanya untuk membayar hutang. Barangkali suatu
ketika akan muncul kapitalis-kapitalis desa, yaitu orang yang sengaja
memanfaatkan Tu’u untuk mendapatkan keuntungan.
Dapat penulis tambahkan bahwa pemerintah Kabupaten Rote
Ndao telah memfasilitasi hadirnya Forum Komunikasi Tokoh Adat
Peduli Budaya (FKTAPB) Rote Ndao pada tanggal 7 Juni 2012 yang
dipimpin oleh John B. Ndolu (M aneleo dari Leo Kunak-Nusak Ba'a).
FKTAPB Rote Ndao ini terbagi dalam kepengurusan di tingkat
kecamatan dengan tugas utama melakukan standarisasi harga dalam
Tu'u Belis pada setiap Leo yang ada di Rote. Leo Kunak yang dipimpin
oleh John B. Ndolu adalah yang pertama melakukan standarisasi Tu'u
Belis yaitu mengganti fungsi Tu'u Belis menjadi Tu'u Pendidikan untuk
biaya kuliah anak-anak dalam Leo Kunak yang kemudian dijadikan
model untuk melakukan standarirasi harga dalam Tu'u Belis.82
Gambaran di atas menunjukkan bahwa masyarakat masih
menganut sistem dan nilai-nilai yang terkandung dalam Tu'u Belis dan
negara melalui FKTAPB Rote Ndao (yang beranggotakan para
M aneleo) melakukan standarisasi harga atau nilai uang yang berlaku
pada Tu'u Belis dan mengalihkannya untuk pendidikan (Tu'u
Pendidikan) tanpa menghilangkan nilai dan pesan dari Tu'u Belis itu
sendiri sebagai bagian dari warisan hukum adat orang Rote. Dengan
begitu masyarakat Rote dapat terhindar dari status sosial sebagai
masyarakat penghutang (debitor society).

82

Sumber: Majalah Kick Andy edisi Agustus/IV/2011

102

Rot e dalam Kont eks Pembangunan di NTT

Perkembangan Pembangunan di Rote
Kabupaten Rote Ndao merupakan salah satu dari 370
Kabupaten83 yang berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan merupakan kabupaten paling terdepan84 di bagian
selatan Indonesia. Hal ini benar jika dilihat dari konteks pulau yang
berpenghuni, sesungguhnya pulau terdepan bagian selatan Indonesia
adalah Pulau Ndana, sebuah pulau kecil yang tidak berpenghuni.85
Ada beberapa alternatif pilihan transportasi yang bisa
digunakan untuk sampai ke Rote dari Kupang. Pertama, menggunakan
jasa transportasi laut, di mana dibutuhkan waktu sekitar + 2,5 jam
perjalanan dengan menggunakan Kapal Ferry Cepat milik perusahaan
pelayaran swasta (Bahari Express) dari Pelabuhan Nusa LontarKabupaten Kupang menuju Pelabuhan Baa atau + 4-6 jam
menggunakan Kapal Ferry lambat jenis ro ro milik PT. ASDP dari
Dermaga Ferry Bolok-Kabupaten Kupang menuju Pelabuhan Pantai
Baru. Kedua, menggunakan jasa transportasi udara berupa pesawat
terbang tpye Twin Otter dari Bandara Udara El Tari di Kupang menuju
Bandara D.C. Saudale86 di Rote dengan lama penerbangan + 20-30
menit. Namun alternatif kedua ini jarang dipilih karena pesawat akan
terbang apabila semua tiket terjual.
Biaya perjalanan dari Kupang ke Rote untuk sekali jalan, jika
menggunakan pesawat dikenakan harga tiket sebesar Rp250.000/orang
(harga tiket tersebut sudah termasuk subsidi dari Pemerintah
Lihat Data W ilayah Administrasi dan Pemerintah per provinsi di Seluruh I ndonesia
Tahun 2010 dalam http://www.depdagri.go.id/pages/data-wilayah
diunduh pada
tanggal 23 November 2010.
84 Beberapa dokumen resmi pemerintah Indonesia dan laporan jurnalistik media cetak
Indonesia menggunakan istilah “Pulau Terluar”.
85 Pulau Ndana saat ini dijaga oleh pasukan TNI -AL Pada tanggal 2 Agustus 2010 telah
dilangsungkan peresmian patung Jenderal Soedirman di Pulau Ndana oleh Panglima
TNI Lihat: http://www.depdagri.go.id/news/2010/08/02/monumen-jenderal-sudirmandiresmikan-di-pulau-ndana-kabupaten-rote-ndao.
86 Nama Bandara D.C. Saudale baru diresmikan pada tanggal 12 Agustus 2010,
sebelumnya bandara ini bernama Bandara Lekunik (Pos Kupang, 13 Agustus 2010)
83

103

Relasi Negara dan M asyarakat di Rot e

Kabupaten Rote Ndao). Jika menggunakan angkutan laut, untuk kapal
cepat (ferry express) kelas ekonomi sebesar Rp120.000/orang dan kelas
VIP sebesar Rp160.000/orang, sepeda motor dikenakan biaya angkut
Rp100.000/sepeda motor. Untuk kapal ferry milik ASDP jenis ro ro,
harga tiket adalah Rp45.000/orang, untuk kendaraan dikenakan biaya
angkut sebesar Rp74.900/kendaraan roda dua, 525.000,-/kendaraan
roda empat dan Rp1.050.000,-/kendaraan roda enam87
Selain jasa transportasi laut dan udara di atas, orang Rote telah
lama menggunakan perahu layar untuk menyeberang ke pulau Timor
tetapi dari Papela, sebuah pelabuhan rakyat di Kecamatan Rote Timur,
langsung menyeberang lewat selat pukuafu menuju pulau Timor.
Butuh waktu 1 hari perjalanan menuju Timor dalam keadaan cuaca
baik. Dengan adanya jalur keluar yang mudah dari pelabuhan Papela
dan beberapa pelabuhan di pantai Utara, serta penduduk yang sudah
menetap di Timor, pada pertengahan terakhir abad kesembilan belas,
orang-orang Rote telah mengembangkan lalulintas dua arah yang terus
berlangsung antara Rote dan Timor dan tetap berlangsung hingga kini
(Fox, 1996)
Kabupaten Rote Ndao memiliki luas wilayah 1.278,05 Km2 atau
128.010 Ha (2,70% dari total luas Provinsi NTT) dengan jumlah
penduduk 113.778 jiwa yang terdiri atas laki-laki 58.073 jiwa dan
perempuan 55.705 dengan tingkat kepadatan rata-rata 89 jiwa per Km2.
Jumlah fakir miskin sampai dengan Tahun 2009 tercatat sebanyak
14.883 Kepala Keluarga. (BPS Rote Ndao, 2010).

87 W awancara dengan Deddy Messakh dan Petson C. Hangge (Pengguna Jasa Ferry
ASDP Kupang-Rote)

104

Rot e dalam Kont eks Pembangunan di NTT

(Sumber: Badan Survey dan Pemetaan Nasional, 2011. Diolah)
Gambar 5.1. Peta Lintasan Penyeberangan Kupang-Rote

Secara administratif Kabupaten Rote Ndao dibagi menjadi 10
wilayah kecamatan yakni Rote Timur, Pantai Baru, Rote Tengah,
Lobalain, Rote Barat Daya, Rote Barat Laut, Rote Barat, Rote Selatan.
Ndao Nuse dan Landu Loke, 72 desa dan 8 kelurahan (BPS Rote Ndao,
2010). Sebelah utara Kabupaten Rote Ndao berbatasan dengan Laut
Sawu, sebelah Selatan dengan Samudera Hindia, sebelah Timur dengan
Laut Banda, dan sebelah Barat dengan Laut Sawu. Kabupaten Rote
Ndao merupakan wilayah kepulauan yang terdiri atas 96 pulau, 6 pulau
terkategori pulau yang berpenghuni sedangkan 90 pulau lainnya adalah
pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni. Dari 96 pulau tersebut, 79
pulau mempunyai nama dan 17 pulau belum memiliki nama (BPS Rote
Ndao, 2010). Kabupaten Rote Ndao beriklim kering yang dipengaruhi
oleh angin M uson dengan musim hujan pendek, yang jatuhnya sekitar
bulan Desember sampai April. Hampir sebagian besar Kabupaten Rote
Ndao terdiri dari padang rumput, pohon lontar, pohon pinus dan
gewang (BPS Rote Ndao, 2010).
105

Relasi Negara dan M asyarakat di Rot e

(Sumber: www.rotendaokab.go.id. Diolah)

Gambar 5.2. Peta Kabupaten Rote Ndao Menurut Kecamatan

Dataran tinggi dan bukit di Rote tersusun dari terumbu karang
(batuan kapur) dan tanah liat (laterit). Gunung-gunung tidak ada
hanya sebuah bukit yang besar dan agak menonjol dari bukit-bukit
lain. M asyarakatnya menyebutnya sebagai Gunung Lakamola. Gunung
itu terletak di bagian timur dari Rote. Sementara dataran rendah,
digunakan untuk membuat kebun dan sawah tadahan di musim
penghujan. Sumber-sumber air yang besar ialah Nii OEN di Lalao-Rote
Timur dan OE M au88 di Ba’a dan Danau Tua89 yang letaknya
memisahkan Nusak Thie dan Nusak Dengka

Lihat Fanggidae (2002)
Danau Tua memiliki sejarah yang panjang tentang konflik antar Nusak Thie Vs Nusak
Dengka, Lihat Messakh (2006)
88

89

106

Rot e dalam Kont eks Pembangunan di NTT

Dari aspek ketersediaan lembaga pendidikan dan ketersediaan
tenaga pendidik dapat dilihat pada Grafik 5.1 dan Grafik 5.2. berikut
ini:

(Sumber: BPS Rote Ndao, diolah)

Grafik 5.1. Ketersediaan Lembaga Pendidikan di Kabupaten Rote Ndao
Tahun 2002-2009

Grafik 5.1 di atas memberi gambaran dengan jelas adanya
peningkatan lembaga pendidikan dari tahun 2002 sampai dengan tahun
2009 untuk Taman Kanak-kanak, SD Negeri, SM P Negeri dan SM A
Negeri. Sementara sekolah swasta termasuk SM K baik negeri maupun
swasta tidak mengalami peningkatan jumlah lembaga.
Ketersediaan lembaga pendidikan di atas juga ditunjang oleh
ketersediaan tenaga pendidik yang gambarannya dapat dilihat pada
Grafik 5.2. berikut ini:

107

Relasi Negara dan M asyarakat di Rot e

(Sumber: BPS Rote Ndao, diolah)

Grafik 5.2. Ketersediaan Tenaga Pendidik (Guru) di Kabupaten Rote Ndao
Tahun 2002-2009

Jumlah tenaga pendidik (guru) di Kabupaten Rote Ndao sejak
tahun 2002-2009 mengalami peningkatan terutama guru pada sekolah
negeri (peningkatan tajam pada jumlah guru SD Negeri dan guru SM P
Negeri) disusul jumlah guru pada sekolah swasta sebagaimana trend
yang tergambar pada grafik 5.2 di atas.
Persentase penduduk Rote sampai dengan Tahun 2009 yang
mampu menamatkan pendidikan di perguruan tinggi adalah 2,12%.
Sedangkan persentase penduduk yang mempunyai tingkat pendidikan
SLTP ke atas mencapai 25,37%. Pada aras Provinsi NTT, persentase
penduduk yang mampu menamatkan pendidikan SLTP ke atas
mencapai 17,32%. Gambaran ini menunjukkan bahwa rata-rata tingkat
pendidikan penduduk Rote dapat dikatakan lebih baik dibanding
dengan rata-rata tingkat pendidikan di aras provinsi.
Hasil pengamatan di lapangan juga menunjukkan bahwa kepala
keluarga yang berpendidikan lebih tinggi adalah dari kelompok yang
berusia muda. Sebagian besar dari kelompok ini adalah generasi muda
yang berasal dari keluarga yang relatif lebih mampu. Kelompok ini
pulalah yang mempunyai pengetahuan yang lebih banyak tentang
108

Rot e dalam Kont eks Pembangunan di NTT

aspek-aspek yang menyangkut informasi global, keadilan, hukum,
HAM, politik dan aspek sosial lainnya.
Dapat ditambahkan pula bahwa gambaran tentang ketersediaan
lembaga pendidikan, jumlah tenaga pendidik (guru) dan partisipasi
peserta didik di atas secara tidak langsung memiliki keterkaitan historis
dengan sekolah sekolah umum dan injil yang pertama di Rote pada
akhir tahun 1732 (dan merupakan sekolah pribumi pertama di NTT).
Pada medio 1733 sekolah pertama dibuka untuk kalangan anak-anak
M anek (Raja) dari seluruh Nusak di Rote sebanyak 74 orang sedangkan
pada tahun 1734 dibuka untuk kalangan umum yang kemudian
berkembanglah pendidikan dan injil secara luas di Rote, Timor, Alor,
Flores, dan Sabu.90
Pada bidang kesehatan, ketersediaan lembaga kesehatan di
Kabupaten Rote Ndao dari Tahun 2002-2009 dapat dilihat pada Grafik
5.3. berikut ini:

(Sumber BPS Rote Ndao, diolah)

Grafik 5.3. Ketersediaan Lembaga Kesehatan di Kabupaten Rote Ndao
Tahun 2002-2009
90 Lihat juga tulisan Jersy W eltry Messakh (Maneleo Mburala'e Nusak Thie) dengan
judul
Sejarah
Singkat
Hadirnya
Injil
di
Pulau
Rote
dalam
http://www.rotendaokab.go.id/modules.php?name=Artikel&op=detail_artikel&id=23

109

Relasi Negara dan M asyarakat di Rot e

Grafik 5.3. di atas memberi gambaran dengan jelas bahwa
terjadi fluktuasi jumlah Posyandu dari tahun 2002-2009, disusul jumlah
Puskesmas Pembantu dan Klinik Keluarga Berencana. Sementara
jumlah Rumah Sakit dan Puskesmas tidak menunjukkan peningkatan
yang berarti sejak Kabupaten Rote Ndao terbentuk pada Tahun 2002
sampai dengan Tahun 2009.
Ketersediaan tenaga kesehatan di Kabupaten Rote Ndao sejak
tahun 2002-2009 sebagaimana tergambar pada Grafik 5.4. didominasi
oleh bidan desa dan perawat umum, kemudian disusul oleh jumlah
dokter umum dan tenaga non medis. Sementara, dokter gigi baru mulai
hadir di Kabupaten Rote Ndao pada tahun 2006 dengan jumlah yang
signifikan hingga tahun 2009.

(Sumber: BPS Rote Ndao, diolah)

Grafik 5.4. Ketersediaan Tenaga Kesehatan di Kabupaten Rote Ndao
Tahun 2002-2009

Hasil wawancara dengan Bidan Desa dan Kader Posyandu di
Desa Oenggaut 91 menegaskan bahwa mayarakat Rote terutama yang
tinggal di desa umumnya akan ke Puskesmas atau Rumah Sakit apabila
Bilkha I ba (Bidan Desa) dan Naomi Sumba (Kader Posyandu) di Desa Oenggaut,
wawancara tanggal 3 Oktober 2008

91

110

Rot e dalam Kont eks Pembangunan di NTT

sudah dalam keadaan sakit parah, selain alasan ekonomi karena tidak
mampu membayar biaya pengobatan, hal ini juga dipengaruhi oleh
konsep sehat-sakit pada masyarakat Rote, sehat adalah orang yang bisa
bekerja; sebaliknya sakit adalah orang yang sudah tidak bisa bekerja/
tidak bisa bergerak lagi atau hanya ditempat tidur. W alaupun sakit
demam, pilek dan batuk misalnya tetapi masih bisa bekerja atau
melakukan aktivitas sosial lainnya maka dianggap sehat.
Dapat penulis tambahkan bahwa dalam Laporan W VI ADP
Rote Ndao Tahun 2007 disebutkan bahwa di Rote terdapat 2,6% balita
dengan status gizi buruk; 17.6% balita dengan status gizi kurang dan
15,7% balita dengan status diare. Ironisnya karena pada masa lalu
rawan gizi hampir tidak pernah terjadi di Rote karena penduduk
mampu bertahan dengan sumber bahan makanan lokal, seperti jagung,
jagung Rote (sorgum), botok (jewawut di Jawa), dan padi di Rote
Tengah dan Rote Timur. Selain itu penduduk yang tinggal dekat
dengan pantai memanfaatkan hasil laut secara maksimal bagi konsumsi
rumah tangga.
Dengan adanya rawan gizi/kelaparan di Rote menunjukkan
telah terjadi suatu perubahan besar dalam ketahanan pangan orang
Rote. M ereka sangat rentan terhadap musim dan juga rentan terhadap
praktek sosial budaya yang ada seperti Tu'u Belis.

Perkembangan
Transportasi

I nfrastruktur

Kantor

Pemerintahan

dan

Perkembangan Rote sejak terbentuk menjadi kabupaten sendiri
mengalami kemajuan yang pesat jika dibandingkan dengan keadaan
sebelum menjadi kabupaten otonom. Hal ini bisa dilihat dari
pembangunan kompleks pemerintahan di Lekunik yang kemudian
populer dengan nama Bukit Sasando. Dan salah satu bangunan yang
paling mencuri perhatian adalah bangunan Kantor Bupati Rote Ndao
yang berarsitektur Ti’i Langga. Pembangunan gedung kantor
pemerintah (baik instansi vertikal maupun horizontal) dalam satu
111

Relasi Negara dan M asyarakat di Rot e

kompleks bertujuan agar pemerintah dapat memberi pelayanan kepada
masyarakat dengan lebih efisien dan efektif.

(Foto: W ilson Therik, 2009)

Gambar 5.3. Kantor Bupati Rote Ndao Bergaya Arsitektur Ti’i Langga

Selain kemajuan pada pembangunan infrastruktur kantor
pemerintahan, dibidang pembangunan infrastruktur transportasi (baik
transportasi darat, laut maupun udara) juga mengalami perkembangan
fisik yang signifikan. Hal ini bisa dilihat dari kondisi jalan dan panjang
jalan dari tahun ke tahun juga mengalami peningkatan sebagaimana
tergambar pada Tabel 5.3. berikut ini:
Tabel 5.3. Panjang Jalan di Kabupaten Rote Ndao Menurut Jenis Permukaan
Tahun 2007-2009
JENI S JALAN

PANJANG JALAN (KM 2)

TAH UN 2007
Aspal
195,40
Kerikil
322,89
Tanah
78,39
Jumlah
596.68
Sumber: Rote Ndao Dalam Angka 2010

112

TAH UN 2008

231,78
345,39
47,03
643,9

TAH UN 2009

259.63
369,49
42,63
671,75

Rot e dalam Kont eks Pembangunan di NTT

Dari Tabel 5.3. di atas diketahui kondisi jalan dengan
permukaan aspal mengalami peningkatan dari 195,40 Km yang sudah
diaspal pada Tahun 2007 menjadi 259,63 Km yang sudah diaspal pada
Tahun 2009, kondisi jalan dengan permukaan kerikil mengalami
peningkatan dari 322,89 Km pada Tahun 2007 menjadi 369,49 Km pada
Tahun 2009 dan kondisi jalan dengan permukaan tanah mengalami
pengurangan dari 78,39 Km pada Tahun 2007 menjadi 42,63 Km pada
Tahun 2009. Seluruh jalan di Kabupaten Rote tergolong ke dalam Kelas
Jalan III C di mana 79,005 Km merupakan Jalan provinsi, 407,90 Km
merupakan Jalan Kabupaten dan 243,22 Km merupakan jalan desa (BPS
Rote Ndao, 2010).
Ketersediaan kendaraan umum/angkutan umum sampai dengan
Tahun 2009 tercatat sebanyak 3 unit bus umum, 76 unit bus mini
(mikrolet), 179 unit truck (57 unit bukan untuk umum), 71 unit pick
up (60 unit bukan untuk umum) (BPS Rote Ndao, 2010).
Untuk infrastruktur transportasi laut dan udara, dari hasil
pengamatan di lapangan dapat penulis kemukakan bahwa pemerintah
Kabupaten Rote Ndao telah memperbaiki dan memperluas kapasitas
dermaga pelabuhan rakyat di Papela-Rote Timur. Kemudian landasan
pacu pada Bandara D.C. Saudale mulai diperpanjang pada Tahun 2010
dari 900 x 23 meter menjadi 1200 x 30 meter dengan tujuan agar
pesawat jenis Fokker-27 dan Hercules bisa mendarat tanpa hambatan
di Bandara D.C. Saudale.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa akses ekonomi
masyarakat Rote terutama untuk distribusi pemasaran hasil-hasil bumi
dari desa ke kota semakin lancar, begitu juga aktivitas perdagangan
antar pulau (Rote – Timor) terutama komoditi pertanian berupa lontar
(yang sudah diproduksi dalam bentuk gula semut, gula lempeng/gula
batu), kacang tanah, lombok, semangka, kacang Rote dan bawang Rote.
Dari sekian komoditi tersebut, Bawang Rote merupakan komoditi yang
selalu “merajai” pasar-pasar tradisional di Kupang (Spirit NTT, 2006).
Selain akses ekonomi, masyarakat juga dipermudah dengan akses
layanan pemerintahan seperti pengurusan KTP, Akta Kelahiran,
113

Relasi Negara dan M asyarakat di Rot e

Sertifikat Tanah dan surat penting lainnya karena seluruh kantor
pemerintahan di Rote berada dalam satu kompleks.
Adanya prasarana dan sarana pemerintahan maupun
transportasi yang baik, tidak hanya mempermudah akses penduduk
dari desa ke kota, namun juga menyebabkan para pemimpin informal
dan formal dari desa mempunyai kesempatan untuk mengembangkan
hubungan yang baik dengan para pemimpin di aras kabupaten. Selain
itu, jarak antar desa dan kota semakin dekat dari sisi waktu maka secara
otomatis akan lebih banyak memperoleh perhatian (dukungan) dari
pihak di atas desa.

Perkembangan Sektor I ndustri Kecil dan I ndustri Lontar
Pada sektor industri terutama dari bahan berupa semen dan
batu kapur telah berkembang menjadi industri kecil dan menghasilkan
produk akhir berupa batu batako. Sampai dengan Tahun 2009 tercatat
dalam Laporan BPS Rote Ndao terdapat 11 unit usaha dengan jumlah
tenaga kerja sebanyak 50 orang yang dapat menghasilkan 3.081.990
buah batako senilai Rp. 2.400.505.000. Sektor industri kecil lainnya
yang telah berkembang menjadi home industry (industri rumah
tangga/sentra industri) yakni Tenun Ikat. Terbanyak terdapat di Desa
Ndao (Pulau Ndao) Kecamatan Ndao Nuse sebanyak 197 unit usaha
dari 215 unit usaha yang tersebar di seluruh Kabupaten Rote Ndao.
Beberapa sentra industri Tenun Ikat yang berkembang pesat antara lain
yaitu Sentra Tenun Ikat Ndao di Desa Ndao (Pulau Ndao), Sentra
Tenun Ikat Janur Kuning di Kelurahan Namodale, Sentra Tenun Ikat
Della di Desa Nemberala, Sentra Tenun Ikat Faifua di Desa Faifua,
Sentra Tenun Ikat Onatali di Desa Onatali, Sentra Tenun Ikat Edalode
di Desa Edalode, Sentra Tenun Ikat Serubeba di Desa Serubeba. Dari
keseluruhan unit usaha yang ada dapat menghasilkan 24.030 lembar
dengan nilai Rp 978.000.000,- Sektor industri ini menyerap tenaga
kerja sebannyak 252 orang.

114

Rot e dalam Kont eks Pembangunan di NTT

Selain industri tenun ikat yang berkembang pesat, industri
lainnya yang juga turut berkembang adalah Gula M erah. Industri ini
menghasilkan produk berupa gula merah atau gula air, gula lempeng,
dan gula semut. Industri gula merah merupakan produk asli Kabupaten
Rote Ndao karena berasal dari air lontar yang diolah menjadi gula air,
gula lempeng dan gula semut. M engelolah Lontar dan hasil-hasilnya
sudah menjadi budaya orang Rote, sehingga hampir semua penduduk
di Rote Ndao memproduksinya namun hanya untuk dikonsumsi
sendiri sehingga hanya 21 unit usaha yang mengelolahnya untuk
dijual. Unit-unit usaha ini menggunakan 94 orang tenaga kerja dengan
jumlah produksi 91.570 liter/kg/lempeng dan jumlah nilai produksi
sebesar Rp. 225.110.000. Beberapa sentra industri gula merah antara
lain sentra industri gula merah Oetefu di Kecamatan Rote Barat Daya,
sentra industri gula semut Tuatiti di desa Bebalain Kecamatan Lobalain,
sentra industri gula semut Serubeba di desa Serubeba kecamatan Rote
Timur, sentra industri gula semut Londalusi di Kelurahan Londalusi di
kecamatan Rote Timur dan sentra industri gula semut Doudolu di Desa
Doudolu di Kecamatan Rote Barat Laut.
Kemudian sektor industri minyak kasar, nabati dan hewani
juga perlahan-lahan mulai berkembang di Rote. Hasil dari industri ini
berupa minyak kelapa murni atau Virgin Coconut Oil (VCO). Di Rote
Ndao terdapat sentra industri minyak kasar dan nabati dan hewani
pada 3 kecamatan yaitu di Kecamatan Rote Timur dengan jumlah unit
usaha sebanyak 7 buah, Kecamatan Rote Barat dengan jumlah unit
usaha sebanyak 9 buah dan kecamatan Rote Selatan dengan jumlah
unit usaha terbesar yaitu 116 buah. Total tenaga kerja yang diserap
industri ini adalah 233 orang dengan jumlah produksi sebesar 59.818
Liter dengan nilai produksi Rp. 287.712. Produk VCO merupakan salah
satu komoditi asli daerah Rote Ndao yang juga menjadi industri
unggulan Kabupaten Rote Ndao saat ini.

115

Relasi Negara dan M asyarakat di Rot e

(Sumber Foto: www.kitlv.pictura-dp.nl)

Gambar 5.4. Gadis Rote dengan Busana Tenun Ikat Rote Tahun 1867

Sektor Industri Lontar (Pohon Lontar)92, di mana Pohon Lontar
ini merupakan sektor yang paling produktif dan berkembang sejak
lama di Rote93. Karena di pulau inilah pohon Lontar secara alamiah
tumbuh dan berkembang diseluruh kecamatan dengan luas areal +
13.316 Ha (+ 5.326.400 pohon)94 dan karena itu Rote sering dijuluki
sebagai Negeri Sejuta Lontar atau Nusa Lontar. Industri Pohon Lontar
yang dikembangkan berupa:

− Nira, air nira dari pohon lontar ini dapat diproses lebih lanjut
menjadi alkohol dengan tingkat kadar ethanol mencapai 20%-80%,
juga digunakan sebagai bahan baku pembuatan anggur dan sopi 95
serta minuman segar lainnya maupun untuk bahan baku kecap
manis, kecap asin, kecap turis, gula merah (padat), gula air (cair),

Masyarakat Rote menyebutnya Pohon Tuak.
Lihat Fox (1996); Soh (2008)
94 Sumber: www.rotendaokab.go.id
95 Minuman keras lokal (beralkohol tinggi) yang berkembang pesat di Rote.
92

93

116

Rot e dalam Kont eks Pembangunan di NTT

gula semut dan dapat diujicobakan lebih lanjut menjadi gula kristal
maupun gula pasir.

− Buah Pohon Lontar, buah yang muda dapat dibuat menjadi
minuman segar dan Nata de Lontar dan buah yang tua digunakan
sebagai bahan baku untuk make up (bahan lulur, dll).
− Daun Lontar, daun ini dapat dikembangkan untuk keperluan
pembuatan atap rumah tempat tinggal rakyat di daerah pedesaan
maupun rumah dalam bentuk cottage di daerah-daerah obyek
wisata, selain itu untuk aneka kerajinan anyaman daun lontar
berupa: Topi ti’i langga, alat musik sasando baik dalam ukuran besar
sampai dengan ukuran miniatur (souvenir); anyaman nyiru (tempat
untuk mentapis beras); anyaman tikar untuk alas tidur; maupun
anyaman lainnya untuk penampungan bumbu dapur seperti haik
untuk menampung gula air, garam, gula, tepung terigu, dan lain
sebahainya.


Pelepah Lontar dapat digunakan untuk pembuatan tali tradisional
(sejenis dengan tali rafia, namun tali tradisional agak kaku tapi
mudah dilenturkan), kemudian serat pelepah pohon lontar dapat
digunakan sebagai bahan tambahan untuk pembuatan kopiah, topi
pet, topi coboy, dan jenis topi lainnya.



Batang Pohon Lontar, dapat dimanfaatkan untuk pembuatan
meubeler berupa kursi, meja, lemari, tempat tidur dan sejenisnya;
ramuan rumah berupa kosen, pintu, jendela, balok, usuk dan
sejenisnya.

Industri lontar ini terdapat di semua kecamatan di Kabupaten
Rote Ndao termasuk di Pulau Nuse, Pulau Ndao dan Pulau Doo.
Sektor lainnya yang saat ini dalam persiapan pengembangan
oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Rote Ndao adalah Kutulak
sebagai penghasil seed lack dan Kusambi sebagai Tanaman Inang bagi
Kutulak. Persiapan sektor ini dikarenakan permintaan dari bidang
iptek yang kian berkembang maju khususnya kesehatan, elektronika
dan telekomunikasi.
117

Relasi Negara dan M asyarakat di Rot e

Dari pemaparan di atas dapat dikemukakan bahwa sektor
industri kecil dan industri lontar bukanlah sektor unggulan, kontribusi
untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) terbesar masih ditempati sektor
pertanian dan sektor peternakan. Seperti yang telah penulis
kemukakan pada Bab 3 bahwa aktivitas tenun ikat dan lontar hanya
dilakukan oleh generasi yang lebih tua, sementara kelompok orang
yang berusia lebih muda tidak lagi tertarik dengan usaha tenun ikat
maupun lontar, orientasi menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), bekerja
di sektor swasta lainnya atau merantau ke luar Rote adalah beberapa
alasan yang dikemukakan.

Perkembangan Sektor Kehutanan dan Sektor Pertambangan
Hutan di Kabupaten Rote Ndao sampai dengan Tahun 2009
seluas 39.780,86 ha yang terdiri dari 17.929,73 ha hutan lindung;
11.131,9 ha hutan produksi; 3.562,00 ha hutan konversi; dan 7.157,23
ha hutan M angrove. Dari Total luas lahan tersebut terdapat lahan yang
kritis di dalam kawasan hutan seluas 33.443 ha dan di luar kawasan
hutan seluas 73.508 ha. Lahan kritis ini hampir menyebar secara
merata di tiap kecamatan. Hasil hutan yang teridentifikasi berupa
rimba kayu campuran, kayu jati, kayu kula, kayu mahoni, kelapa dan
lontar (BPS Rote Ndao, 2010).
Produksi kayu tersebut dapat berupa kayu bulat maupun kayu
bakar. Produksi kayu jati bulat dalam beberapa kelas di Kabupaten
Rote Ndao pada tahun 2009 sebesar 287.09 m3 terbanyak dihasilkan di
kecamatan Rote Barat Laut. Produksi kayu non jati (campuran) sebesar
361.335 m3. Potensi luas pengembangan hutan jati di Kabupaten Rote
seluas 3.942 ha dengan potensi produksi kayu jati/tahun sebesar
58.538,70 m3 (BPS Rote Ndao, 2010). Pohon Kusambi yang tumbuh di
kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan merupakan potensi
sumberdaya hutan yang dapat didayagunakan sebagai tanaman inang
budidaya Kutu Lak yang akan menghasilkan seed lack. Budidaya
Kutulak merupakan alternatif yang sangat menjanjikan dalam usaha
118

Rot e dalam Kont eks Pembangunan di NTT

tani kehutanan karena potensi pohon Kusambi yang sangat besar di
Rote.
Selain itu, pengembangan Kutulak merupakan pemberdayaan
masyarakat yang tinggal disekitar hutan untuk tetap menjaga dan
melestarikan fungsi hutan. Salah satu industri kehutanan yang dapat
dikembangkan adalah pengolahan kayu (wood working) seperti
membuat kursi, meja, lemari, pintu, kusen dan tempat tidur sebagai
bagian dari industri rumah tangga. Perkembangan produksi wood
working di Indonesia selama beberapa tahun terakhir ini mengalami
kenaikan yang cukup pesat, dengan rata-rata peningkatan 28,1% per
tahun dalam kurun waktu 1987-1993. Demikian pula perkembangan
produksi furniture di Indonesia selama beberapa tahun terakhir ini
mengalami kenaikan yang cukup pesat, dengan rata-rata peningkatan
21,8% per tahun dalam kurun waktu 1992-1998.
Dari potensi hutan tersebut baru ditata batas seluas 3.668.78 Ha
terdiri dari hutan lindung 1.206.59 ha; hutan produksi 799.46 ha; hutan
produksi terbatas 240.14 ha; hutan konversi 987.64 ha; hutan Suaka
M argasatwa 434.95 ha. Selain itu terdapat pohon kusambi sebagai
tanaman inang kutulak (seed lack) + 1.826.950 pohon yang tersebar di
8 kecamatan dengan pengembangan baru mencapai + 15.648 pohon
dengan produksi 18.784 kg. Hasil ikutan kehutanan berupa minyak
kayu putih, sarang burung walet dan madu.96
Pada sektor pertambangan terdapat beraneka ragam deposit
bahan tambang Galian Golongan C seperti: Sirtu (pasir, batu karang,
dll), Gipsum, Kalsit, Arogonit, Lempung, Batu hias setengah permata,
biji M angaan (M n) dan Batu Gamping dengan berbagai potensinya.
Berikut data-data hasil tambang yang ada di Rote: Barit
terdapat di kecamatan Lobalain dan Rote Timur; Kalsit terdapat di
Kecamtan Rote Barat Daya; Kalsedon terdapat di kecamatan Rote
Timur, Lobalain, Rote Barat Daya, Rote Barat Laut, Rate Barat Daya,
dan Pantai Baru; Lempung terdapat di Kecamatan Lobalain, Rote Barat
96

Sumber: www.rotendaokab.go.id

119

Relasi Negara dan M asyarakat di Rot e

Daya, Rote Barat Laut, Pantai Baru, Rote Timur; Besi terdapat di
kecamatan Rote Barat daya, Rote Barat Laut, Lobalain, Rote Tengah,
Pantai Baru, Rote Timur; Sirtu terdapat di kecamatan Labalain, Rote
Tengah, Pantai Baru; Gipsum terdapat di Rote Barat Daya, Rote
Tengah, Pantai Baru, Rote Timur, Lobalain; dan Batu Gamping
terdapat di Rote Barat Daya, Lobalain, Rote Tengah, Rote Timur.
Selain itu terdapat kandungan minyak di beberapa titik di lepas
pantai selatan Rote namun belum diexplorasi secara mendalam.
Pemerintah daerah baru melakukan identifikasi dan explorasi terhadap
deposit bahan tambang tersebut sehingga sangat berpeluang untuk
pengembangan oleh pihak swasta.
Dari perkembangan sektor kehutanan dan sektor pertambangan di Rote dapat dikemukakan bahwa kedua sektor ini belum
menjadi perhatian dari masyarakat Rote untuk berusaha pada kedua
sektor ini. M eskipun ada beberapa potensi dari sektor kehutanan dan
pertambangan yang bisa dikaji secara mendalam dan dikembangkan
untuk pengingkatan ekonomi masyarakat Rote, pada sisi yang lain
dampak terhadap lingkungan hidup perlu dipertimbangkan untuk masa
depan lingkungan maupun masa depan masyarakat Rote.

Perkembangan Sektor Perikanan dan Kelautan
Rumput laut adalah komuditas unggulan sektor perikanan dan
kelautan yang menjadi leading sektor pendongkrak pembangunan di
kabupaten Rote Ndao. keunggulan komperatif komoditi rumput laut
adalah bahwa tidak membutuhkan investasi yang besar, cost
operasional rendah, lahan tersedia, umur pemeliharaan pendek yakni
45 hari, rasio pertumbuhan berat tinggi 1:15-20, tenaga kerja tersedia,
permintaan pasar sangat tinggi, harga kompetitif, sarana transportasi
cukup memadai, prasarana jalan ke daerah sentra industri cukup baik.
M etode yang digunakan dalam budidaya adalah metode long line
(dominan), patok dasar/lepas dasar dan rakit. Sistem long line memiliki
investasi yang murah tetapi rentan terhadap gelombang dan angin
120

Rot e dalam Kont eks Pembangunan di NTT

sedangkan sistem rakit biaya mahal tetapi tahan terhadap gelombang
dan angin. Jenis rumput laut yang dibudidayakan adalah dari species
Eucheuma cotoniidari jenis Alga M erah (Rhodopy ceae) yang
mengandung polisakarida dan sejumlah protein, lemak, mineral dan
vitamin. berdasarkan data potensi dan pemanfaatan yang baru
mencapai 6,5% maka masih terdapat lahan tanam seluas 30.480,8 atau
93.21% yang belum dimanfaatkan dan dapat digunakan untuk ekspasi
budidaya dan hasil produksi dijadikan bahan baku industri pengolahan
tepung rumput laut. (Isliko, 2002). Jumlah Petani Rumput Laut, Jumlah
Kelompok Usaha dan Total Produksi sampai dengan Tahun 2009 dapat
dilihat pada Tabel 5.4 berikut ini:
Tabel 5.4. Jumlah Petani, Usaha (Kelompok) dan Produksi Rumput Laut di
Kabupaten Rote Ndao Tahun 2009
Kecamatan
Rote Barat Daya
Rote Barat
Rote Barat Laut
Lobalain
Rote Tengah
Rote Selatan
Pantai Baru
Rote Timur

Jumlah Petani Rumput Laut

Jumlah Kelompok Usaha

782
2.812
1.735
20
165
175
2.646
8.338

129
488
367
4
32
25
455
1.500

Sumber: Rote Ndao Dalam Angka 2010
Keterangan: Transfer Basah ke Kering: 7 Kg basah = 1 Kg kering.

Selain rumput laut yang menjadi leading sector, usaha
penangkapan dan pembudidayaan cumi-cumi dan ikan kerapu pada
beberapa tempat di perairan sekitar Rote turut dikembangkan dan
dalam persiapan untuk di ekspor ke manca negara maupun untuk
kepentingan perdagangan antar pulau di dalam provinsi NTT hingga
Pulau Bali dan Pulau Jawa.97
Dari pemaparan di atas dapat penulis kemukakan bahwa masih
ada leading sector lainnya selain rumput laut yang perlu mendapat
97

Sumber: www.rotendaokab.go.id diunduh pada tanggal 30 September 2009

121

Relasi Negara dan M asyarakat di Rot e

perhatian serius dari pemerintah Kabupaten Rote Ndao maupun
pemerintah Provinsi NTT untuk dikembangkan yaitu sektor
penangkapan ikan khususnya ikan di laut dalam oleh nelayan lokal,
sejauh ini penangkapan ikan di laut dalam hingga laut lepas dekat
Australia (masuk dalam kawasan Pulau Pasir/Ashomore Reef)
dilakukan oleh para nelayan migran dari Sulawesi yang menetap di
Dusun Papela dan Dusun Oelaba, penghasilan dari ikan tangkapan ini
tidak dinikmati oleh nelayan lokal maupun masyarakat lokal yang
menetap di pesisir Papela maupun Oelaba (Therik, 2007). Pengamatan
yang dilakukan oleh penulis, nelayan lokal Rote hanya mampu
menangkap ikan pada laut dangkal hingga kedalaman 200 meter untuk
kebutuhan konsumsi rumah tangga dan sebagian dijual di pasar
tradisional.
Dengan kondisi geografis Rote Ndao sebagai daerah kepulauan
(96 pulau, 6 pulau diantaranya adalah pulau yang dihuni), sudah
saatnya orientasi pembangunan diarahkan pada sektor perikanan dan
kelautan, baik itu perikanan darat seperti rumput laut yang sudah
berjalan, budidaya ikan maupun perikanan laut khususnya
penangkapan ikan di laut dalam, tentu perlu dibantu dengan sejumlah
fasilitas penangkapan yang modern oleh pemerintah terutama untuk
nelayan lokal dan masyarakat di daerah pesisir. Dengan begitu,
orientasi ekonomi masyarakat Rote tidak hanya bergantung pada
sektor pertanian dan sektor peternakan semata.

Perkembangan Tata Guna Tanah, Sektor Pertanian dan Sektor
Peternakan
Gambaran tata guna tanah di Rote tidak bisa dilepaskan dari
kondisi wilayah dan sejarah Nusak. Dengan topografi yang sedikit
berbukit serta berbatu karang (batu cadas) dan adanya 41 titik mata air,
22 danau dan 5 embung-embung yang tersebar di hampir seluruh
kecamatan di Rote. Pada dasarnya tata guna tanah di Rote tidak
mengalami banyak perubahan. Hal ini dapat terjadi karena proses jualbeli tanah tidak banyak te