Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Stigma "Illegal" Rokok, dan Kompleksitas Relasi di Dalamnya D 902007011 BAB VI

Bab 6

Rokok dan Tekanan M asyarakat
M asyarakat terbagi dua, pro rokok dan anti rokok.
Pertentangan yang terjadi di kalangan masyarakat pro dan anti rokok
didasarkan pada pandangan bahwa rokok berdampak buruk terhadap
kesehatan, baik bagi perokok aktif maupun perokok pasif. Bagi
masyarakat anti rokok, rokok dianggap sebagai satu-satunya produk
yang mengandung zat adiktif. Pandangan ini mendapatkan perlawanan
dari masyarakat pro rokok, dengan dasar bahwa yang mengandung zat
adiktif bukan hanya tembakau dan rokok tetapi semua keluarga
solanaceae, antara lain terung dan tomat.
M asyarakat pro rokok juga menunjukkan fakta bahwa rokok
sudah menjadi bagian dari hidup dan kehidupan masyarakat sejak
lama, secara sosial, ekonomi dan budaya. Pertentangan masyarakat pro
dan anti rokok pada akhirnya meluas bukan hanya secara nasional
tetapi juga melibatkan masyarakat internasional. Keberatan masyarakat
terhadap keberadaan rokok diakomodasi oleh pemerintah dalam
berbagai
bentuk kebijakan. Pemerintah melakukan fungsi
perlindungan terhadap kepentingan masyarakat anti rokok, dan hak

azasi masyarakat pro rokok. Pertentangan tersebut mendorong
munculnya rokok “illegal” sebagai salah satu dampak. Keberadaan
rokok “illegal” cenderung meningkat dari waktu ke waktu yang
ditunjukkan oleh semakin meningkatnya hasil penindakan oleh aparat.
Pada bab ini diuraikan bagaimana bentuk penolakan
masyarakat terhadap rokok sebagai bagian pertama. Bagian kedua,
dipaparkan bagaimana respon industri terhadap tekanan masyarakat
anti rokok. Bagian ketiga memaparkan bagaimana dampak penolakan

129

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

masyarakat anti rokok terhadap industri rokok, serta
rokok “illegal”.

munculnya

Penolakan M asyarakat Terhadap Rokok
Pada dasarnya masyarakat anti rokok menghendaki dunia

bersih dari asap rokok. Hal ini didasarkan kepada fakta yang
ditunjukkan bahwa rokok merugikan kesehatan dan bahkan
menimbulkan kematian yang besar di kalangan masyarakat perokok
aktif dan perokok pasif di seluruh dunia. Secara nasional, sebanyak
34,5 % orang Indonesia adalah perokok, 63,2 % diantaranya adalah
pria. 10 % sampai 20 % dari kematian di Indonesia disebabkan oleh
rokok. Rokok membunuh separuh dari semua pengguna seumur hidup
dan separuh kematian terjadi antara usia 30 sampai 69 tahun. Rokok
tidak hanya membahayakan dirinya sendiri tetapi juga membahayakan
kesehatan orang lain, yaitu non perokok yang menghirup asap rokok
atau yang sering disebut perokok pasif (secondhand smoker ). Kepulan
asap rokok ini telah membunuh puluhan ribu perokok pasif setiap
tahunnya (W HO, 2008).
Prevalensi merokok di kalangan penduduk Indonesia adalah
sebesar 34,4 persen atau lebih dari 1/3 penduduk merokok. Usia 15
tahun ke atas, 67 persen adalah perokok di desa, sedangkan di kota 56,1
persen (Fakta Tembakau Indonesia, 2001). SEACTA Report Card
(2007), menyebutkan bahwa Indonesia menyumbang hampir
limapuluh persen (50%) dari total perokok di ASEAN. W HO (2007)
juga melaporkan bahwa konsumsi tembakau telah membunuh

5.000.000 orang di dunia, melebihi kematian yang disebabkan oleh
HIV/AIDS, Tuberculosis, dan M alaria. Pada tahun 2030 diperkirakan
akan dapat mengakibatkan 8.000.000 orang di dunia meninggal jika
tidak ada kebijakan pengendalian yang kuat.
Kampanye anti rokok melibatkan lembaga non pemerintah
yang memiliki kompetensi dan terkait dengan rokok, seperti Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Dinas Kesehatan Republik
130

Rokok dan Tekanan Masyarakat

Indonesia melalui Undang-Undang Kesehatan No 36 Tahun 2009.
Kawasan bebas rokok yang didorong menjadi Peraturan Daerah
(PERDA). M ajelis Ulama Indonesia, yang mengeluarkan fatwa haram
terhadap rokok.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), mendorong
pemerintah untuk melakukan pembatasan terhadap rokok khususnya
bagi anak-anak. Bentuk regulasi diantaranya adalah pembatasan iklan
rokok baik substansi maupun jam tayang, khususnya untuk iklan yang
dimuat di media televisi. Iklan rokok tidak boleh secara terbuka dan

jelas mengajak untuk merokok, serta jam tayangnya diatur setelah
pukul 21.30 hingga pukul 05.00 waktu setempat, dengan anggapan
bahwa di luar jam tersebut anak-anak masih menonton tayangan
televisi. Pembatasan jam tayang melalui pembatasan iklan rokok
melibatkan komisi penyiaran independen dan instansi yang terkait,
Kementrian Komunikasi, Informasi Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan RI mengakomodasi kepentingan
masyarakat anti rokok terhadap perlindungan kesehatan masyarakat
dari dampak paparan asap rokok. Hal tersebut tercantum dalam
Undang-Undang No 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan, yang
menegaskan kandungan rokok sebagai zat adiktif seperti yang tertulis
dalam pasal 113 ayat 11, yang menyebutkan tembakau sebagai bahan
adiktif yang berdampak pada kesehatan masyarakat. Oleh karenanya
masyarakat perlu dilindungi dari dampak asap rokok. Keberadaan
rokok semakin dibatasi dengan berbagai peraturan untuk
mengendalikan produksi, peredaran dan konsumsinya. Lebih lanjut
Dinas Kesehatan menetapkan persyaratan tampilan peringatan bahaya
merokok yang harus dicantumkan dalam bungkus rokok. Semula
peringatan bahaya merokok hanya berupa kata-kata, tetapi dengan
terbitnya Peraturan Pemerintah No 109 Tahun 2012 tentang

Pengamanan Bahan Yang M engandung Zat Adiktif, Berupa Produk
Tembakau Bagi Kesehatan maka tampilan peringatan tersebut
berbentuk gambar.

131

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

Sumber : Departemen Kesehatan RI,

Gambar 30

Peringatan Terhadap Bahaya Merokok, Lama dan Baru

Peraturan Daerah (PERDA) tentang Kawasan Bebas Rokok
telah dibuat oleh beberapa daerah di Indonesia, mendukung kebijakan
pemerintah untuk melindungi masayarakat dari dampak paparan asap
rokok. Di antaranya adalah DKI Jakarta, M alang, DIY, Bogor,
Tangerang, Sragen, Padang Panjang, Bukit Tinggi, dan Payakumbuh.
Perda tersebut antara lain mengatur tentang larangan merokok di

tempat umum dan penertiban pemasangan iklan rokok di tepi jalan
132

Rokok dan Tekanan Masyarakat

raya. Secara nasional telah ditandatangani Peraturan Bersama M enteri
Kesehatan dan M enteri Dalam Negeri Nomor 7 tahun 2011 Tentang
Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok.

Tabel 6.1
Perda Kawasan Bebas Rokok di Berbagai Daerah
No.

1.

Daerah
Kabupaten
atau Kota

DKI

Jakarta

Perda/W ali No.

Fokus

Pergub Nomor
75 tahun 2005
dan Pergub
Nomor 88 tahun
2010
Perda Nomor 12
tahun 2009 dan
Perwali Nomor 7
tahun 2010

Tidak spesifik, kecuali
larangan promosi di 4
jalan protokol dan
larangan merokok dalam

gedung
Pembatasan iklan dan
promosi

2.

Bogor

3

Surabaya

Perda Nomor 5
tahun 2008

Tidak diatur secara
spesifik

4


Padang
Panjang

5

Palembang

Perda Nomor 8
tahun 2009 dan
Perwali Nomor
10 tahun 2009
Perda Nomor 7
tahun 2009

6

Tangerang

7


Bandung

Pelarangan secara total
untuk iklan dan Promosi
dan pelarangan merokok
di restoran dan Hotel
Memuat pelarangan iklan
dan promosi rokok;
pelarangan merokok di
tempat umum dan
penjualan rokok.
Tidak diatur secara
spesifik
Tidak diatur secara
spesifik kecuali untuk
pelarangan merokok di
hotel atau restoran
Tidak diatur secara
spesifik


8

Bandung

Perda Nomor 5
tahun 2010
Perbub Nomor
15 tahun 2008

Perda Nomor 11
tahun 2005
Tentang K3
Sumber: Zahar dan Sutiman, 2011 : 139

Yang Terlibat

12 LSM

LSM
Komunitas
Anti
Tembakau
(NTC)
LSM Pusat
Studi Agama
dan
Masyarakat
Surabaya
(CRCS)
I katan Pelajar
Anti Rokok
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

133

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

Pada tabel 6.1 adalah peraturan daerah tentang kawasan bebas
rokok di berbagai daerah di Indonesia. Peraturan daerah yang telah
diberlakukan, sampai saat ini belum pernah ada sanksi bagi
kemungkinan adanya pelanggaran.
Pada tanggal 12 M aret 2010, telah ditetapkan fatwa haram
terhadap rokok oleh Pengurus Pusat M uhammadiyah. Tetapi didalam
masyarakat tidak semua menyetujui khususnya dari komunitas
Nahdathul Ulama (NU). Kondisi sosial, kebiasaan, dan budaya dalam
berperilaku ekonomi dipengaruhi pandangan para kyai yang memiliki
dasar pandangan yang berbeda. Rokok dari sisi agama dan keyakinan
(Islam) dipandang sebagai makruh atau haram. Tidak adanya
kesepakatan dari para kyai, menjadikan pelaku usaha dan bisnis rokok
juga mengikuti polemik yang memandangnya sebagai makruh karena
lebih menguntungkan. M asyarakat pun terbagi pada pendapat haram
dan makruh. Fatwa haram terhadap rokok sebagai wacana dijelaskan
oleh M UI Kabupaten Kudus (2010), dalam pandangannya terlihat tidak
menegaskan untuk pandangan yang berbeda tersebut, tetapi hanya
menjelaskan masing-masing kondisi dari pandangan yang ada. Selain
itu ada yang berpendapat bahwa rokok hukumnya M ubah (M UI
Kabupaten Kudus, 2010):

“Karena asal muasal sesuatu itu mubah, rokok tidak
memabukkan. Sedangkan alasan haramnya Khamr adalah
karena memabukkan. Kalau rokok membahayakan pada
sebagian orang itu kondisional, bukan pada rokoknya. Kopi itu
menyegarkan dan madu itu menyehatkan, tapi bisa
membahayakan pada sebagian orang. Rokok merupakan
barang unik, bukan makanan juga bukan minuman. Dimakan
tidak enak dan tidak mengenyangkan, diminum tidak bisa dan
tidak menghilangkan dahaga. Rokok belum ada di masa
Rasulullah dan sahabat nabi, karena itu belum ada status
hukumnya. Status hukum rokok merupakan masalah
“ijtihadiyyah” yang memerlukan diskusi dan kesepakatan,
karena menimbulkan perbedaan pendapat antara para ulama“.

134

Rokok dan Tekanan Masyarakat

Fatwa haram terhadap rokok tidak secara tegas diberlakukan
dan masyarakat dibiarkan memilih sesuai pendapat yang menjadi
acuannya. Seperti pendapat masyarakat di suatu komunitas.
“bagi saya……..saya kan NU, biarkan saja kan beda
aliran…..lagipula dikami tidak ada larangan. Jadi silahkan
masyarakat yang menentukan! Saya juga tidak dirugikan kok
bu……malah kalau tetap ada rokok ya banyak manfaatnya
…..sekitar saya masih tetap bisa kerja….apa itu tidak
menguntungkan namanya…? ( W awancara, 2010).

Secara individu, masyarakat tidak secara tegas menolak rokok
(anti rokok), tetapi ketika mereka
merokok seringkali tidak
memperhatikan lingkungan sehingga menimbulkan ketidaksukaan.
Khususnya jika terjadi dikendaraan umum, atau ditempat yang sudah
ada peringatan untuk tidak merokok tetapi masih tetap merokok.

“….biarlah
mereka yang menyukai
rokok
terus
merokok……,
tetapi
paling
tidak
lihat
sekitar
dong…..apakah di situ tempat yang diperbolehkan merokok
atau tidak! Jadi sama-sama menghormati…” (wawancara,
2008; 2010; 2012)

Atau ketika sama-sama naik bus antar kota ber-AC dan sang
sopir dengan santai merokok, maka sikap secara individu yang anti
rokok akan segera menegurnya :

“ pak …..maaf bis ini kan menggunakan AC, masak bapak
malah merokok…….! penumpang saja dilarang merokok
pak! (pengamatan, 2009).

Ketika sopir memberikan respon baik dan berhenti, maka
masalah selesai. Tetapi ketika sopir tetap nekat dengan alasan
mengantuk, maka penumpang biasanya akan turun dan pindah ke bis
lain. Demikian juga ketika dalam suatu kelompok yang lebih besar,
135

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

maka masyarakat yang tidak menyukai rokok akan lebih spontan
memperingatkan seseorang yang sedang merokok di tempat yang ada
tanda larangan untuk merokok. Kelompok yang seperti ini biasanya
kelompok perempuan. Ketika teguran tidak diperhatikan maka
biasanya mengalah dengan menghindar. Untuk individu atau
kelompok laki-laki biasanya akan menolak ketika ditawari rokok
karena tidak merokok, atau membiarkan si perokok terus merokok,
tanpa harus meninggalkan kelompok atau merasa terganggu. Bagi lakilaki yang merasa terganggu dengan asap rokok, maka sikapnya sama
dengan apa yang dilakukan oleh perempuan, menegur atau
meninggalkan komunitas.
Secara internasional keberatan masyarakat anti rokok dimuat
dalam bentuk suatu framework convention on tobacco control (FCTC)
yang dikeluarkan oleh W orld Health Organization (W HO) pada tahun
2005. FCTC merupakan kebijakan global yang diperuntukkan bagi
negara-negara secara umum. FCTC bertujuan melindungi kepentingan
masyarakat luas terhadap udara bersih tanpa polusi termasuk asap.
Tetapi di dalam FCTC asap rokoklah yang dianggap sebagai sumber
utama terganggunya kesehatan masyarakat dunia dan menimbulkan
kematian yang paling besar. FCTC diadopsi oleh 192 negara anggota
W HO termasuk Indonesia. Sebanyak 153 negara telah meratifikasi,
tetapi Indonesia sampai hari ini belum meratifikasi disebabkan
kekhawatiran tentang terganggunya pendapatan nasional yang
bersumber dari cukai, bertambahnya pengangguran dari sektor
tembakau dan ketakutan bahwa petani tembakau kehilangan mata
pencaharian. Beberapa negara di ASEAN dan negara-negara anggota
OKI telah meratifikasi FCTC dengan alasan masing-masing. Seperti
tabel 6.2 dan 6.3

136

Rokok dan Tekanan Masyarakat
Tabel 6.2
Negara – Negara ASEAN yang telah meratifikasi FCTC
No.

Negara
1.
Brunei Darussalam
2.
Kamboja
3.
Malaysia
4.
Myanmar
5.
Philipina
6.
Singapura
7.
Thailand
8.
Timor Leste
9.
Vietnam
10.
Laos
Sumber: Abadi, 2011.

Tanda Tangan

Ratifikasi

03 Juni 2004
25 Mei 2004
23 September 2003
23 Oktober 2003
23 September 2003
29 Desember 2003
20 Juni 2003
25 Mei 2004
03 September 2003
29 Juni 2004

3 Juni 2004
15 November 2005
16 September 2005
21 April 2004
06 Juni 2005
14 Mei 2004
08 November 2004
22 Desember 2004
17 Desember 2004
06 September 2006

Jika dilihat dari negara-negara yang telah meratifikasi FCTC
tersebut, mereka bukan sebagai negara produsen rokok seperti di
Indonesia. W alaupun dalam catatan ekspor-impor tembakau dan rokok
Indonesia, mereka adalah pengimpor rokok yang potensial sampai saat
ini.
Tabel 6.3
Negara-negara anggota OKI yang telah menandatangani FCTC
No.

Negara
1.
Nigeria
2.
Senegal
3.
Mesir
4.
Yordania
5.
Kuwait
6.
Qatar
7.
Saudi Arabia
8.
Sudan
9.
Uni Emirat Arab
10.
I ran
11.
Pakistan
12.
Bangladesh
13.
Yaman
Sumber: Abadi, 2011

Tanda tangan

Ratifikasi

28 Juni 2004
19 Juni 2003
17 Juni 2003
28 Mei 2004
16 Juni 2003
17 Juni 2003
24 Juni 2004
10 Juni 2004
24 Juni 2004
16 Juni 2003
18 Mei 2004
16 Juni 2003
20 Juni 2003

20 Oktober 2005
27 Januari 2005
25 Februari 2005
19 Agustus 2004
23 Mei 2006
23 Juli 2004
23 Juli 2004
31 Oktober 2005
7 Juni 2005
6 November 2004
3 November 2004
14 Juni 2004
22 Februari 2004

137

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

Lembaga anti rokok menyatakan bahwa pengendalian
tembakau secara umum berkontribusi terhadap pencapaian M illenium
Development Goal’s (M DG’s), khususnya untuk mengurangi
kemiskinan yang parah karena kepala keluarganya yang perokok dan
menggeser alokasi biaya pangan dan kesehatan untuk rokok; demikian
juga untuk mencapai pendidikan dasar secara universal dan kesetaraan
gender dan pemberdayaan perempuan; mengurangi kematian anak
khususnya balita, meningkatkan kesehatan maternal; mengurangi
penyebaran HIV dan AIDS (Tobacco Free Kids Campaign).
M emastikan keberlanjutan lingkungan karena pertanian tembakau
akan mendorong kerusakan tanah lebih cepat dibanding tanaman
lainnya karena tanaman tembakau menyerap nutrisi lebih banyak.
Aspek kemitraan global juga dapat dikembangkan jika negara-negara
berkembang memiliki persepsi yang sama dalam hal pengendalian
tembakau dan dampaknya.
Dalam FCTC secara khusus pada pasal 10 meminta pemerintah
untuk membuat kebijakan yang mewajibkan pelaku industri dan
importir produk tembakau untuk menyampaikan informasi tentang
kandungan dan emisi produk tembakau kepada otoritas pemerintah.
Selanjutnya pemerintah wajib menyampaikan informasi kepada
masyarakat tentang emisi produk, misalnya apa yang terjadi kalau
rokok dibakar dan perokok harus tahu bahwa mereka mengisap
formaldehyde, cyanide, carbon monoksida dan dampaknya terhadap
tubuh (TCSC-IAKM I). Acuan prinsip 4 (poin 1) dari FCTC
menghimbau pemerintah untuk melindungi setiap orang, tidak hanya
anak-anak dan perempuan dari paparan asap rokok sesuai dengan pasal
8 (poin 2) di tempat-tempat tertutup, angkutan umum, tempat-tempat
umum, dan kawasan umum lainnya.
Pemerintah mengakomodasi FCTC dalam berbagai produk
hukum yang terkait dengan pengendalian tembakau secara nasional,
misalnya: UU Nomor 32 tahun 2002 pasal 46 ayat 3 butir b dan c
Tentang Penyiaran; UU Nomor 23 tahun 2002 pasal 59 dan 89 ayat 2
Tentang Perlindungan Anak; UU Nomor 8 tahun 1999 tentang

138

Rokok dan Tekanan Masyarakat

Perlindungan Konsumen; UU Nomor 23 tahun 1992 pasal 44 tentang
Kesehatan; PP Nomor 19 tahun 2003 tentang pengamanan rokok.
M asyarakat anti rokok menegaskan bahwa secara ekonomi
rokok merugikan dibanding manfaatnya, karena lebih besar biaya yang
harus dikeluarkan untuk menangani dampaknya. Pengeluaran
pemerintah untuk menangani dampak kesehatan yang disebabkan
merokok jauh lebih besar. Anggaran yang diperlukan besarannya
mencapai delapan setengah kali (8,5) dari pendapatan yang diterima
dari cukai rokok di Indonesia. Sebesar 6 kali ASKESKIN tahun 2006,
yaitu sebesar Rp. 3,6 T (Soerojo, 2008).
Lebih lanjut Soerojo mengemukakan bahwa penduduk miskin
di Indonesia berjumlah 70 juta orang, 17,5 juta orang merupakan
Kepala Keluarga (KK) laki-laki miskin dan 2 di antara 3 laki-laki
merokok. Jika harga rokok Rp. 500,- per batang dan konsumsi 1 hari 10
batang rokok maka belanja rokok per hari untuk 2/3 jumlah Kepala
Keluarga (KK) laki laki (miskin) perhari adalah sebesar:

“2/3 x 17,5 juta x 10 batang x 500 rupiah = 58 miliar miliar
atau setara dengan 12.000 ton beras per hari. Belanja rokok
seluruh penduduk bagi rumah tangga perokok pada tahun
2005, sebesar 10,4 persen merupakan peringkat ke dua (2)
belanja setelah beras yang sebesar 11,3 persen. Dan jika
dibandingkan dengan belanja daging, telur, susu sebesar 5
kalinya; 3 kali lipat dari pengeluaran pendidikan; dan 4 kali
lipat untuk pengeluaran kesehatan”.

Angka tersebut dapat berubah jika harga rokok semakin mahal,
dan jumlah penduduk miskin semakin banyak. Tembakau dan aneka
olahannya termasuk rokok menyebabkan pemiskinan semakin parah
khususnya bagi masyarakat yang sudah miskin. Secara Internasional
juga menjadi perhatian karena:
“terdapat lebih dari 1,2 miliar perokok di seluruh dunia,
dengan perincian 800 juta di antaranya di negara berkembang;
139

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya
124,7 juta di negara-negara ASEAN; dan 46 persen merupakan
kontribusi dari Indonesia. Rokok membunuh 1 di antara 2
pengguna dalam jangka panjang, kehilangan 20-25 tahun
produktif. Lima juta per tahun kematian pada tahun 2005, 8,4
juta kematian pada tahun 2020 dan 50 persen di Asia dan 10
juta kematian per tahun pada tahun 2030, 70 persennya ada di
negara berkembang.”

Oleh
karena itu berbagai
cara dilakukan
untuk
mengkampanyekan rokok sebagai produk yang membahayakan
kesehatan. Secara nasional didukung oleh pemerintah, dan secara
internasional didukung oleh berbagai lembaga anti rokok. Salah satu
lembaga internasional yang mendukung kampanye anti rokok dunia
adalah Bloomberg Initiative, melalui berbagai aktivitas, bersama
dengan organisasi seperti W orld Lung Foundation, Campaign for
Tobacco Free Kids, W HO, CDC Foundation, dan John Hopkins .
Bloomberg School Of Public Health mendirikan, mendukung,
melakukan kajian tentang tembakau, dan upaya pengendalian
tembakau (Zahar dan Sutiman, 2011: hal 122). Aliran dana dari
Bloomberg Initiative secara langsung ke Indonesia melalui berbagai
lembaga selama tahun 2008-2010 mencapai US $ 4.383.126 (Daeng,
2011). Pada tahun 2012 Bloomberg Initiative memberikan dana sebesar
US $ 220 bagi gerakan anti tembakau ASEAN dengan sasaran utama
Indonesia (Daeng, 2012). Sumber pendanaan lain berasal dari Robert
W ood Jhonson Foundation (RW JF), Glaxo Smith Kline and Pfizer yang
bergabung dengan Tobacco Free Iniciatives, W HO. Dukungan dana
tersebut menunjukkan bahwa gerakan-gerakan dari basis masyarakat
anti rokok mendapatkan pendanaan dari berbagai organisasi sekaligus
semakin menekan industri rokok.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sesuai dengan
kompetensinya dalam pernyataannya mengharapkan adanya
“informasi untuk para perokok tentang bahaya merokok dan bagi yang
tidak merokok perlu dijaga agar mereka tidak mendapatkan kepulan
asap secara massive”, hal ini dipandang sebagai solusi karena instrumen
kebijakan pengendalian rokok di Indonesia bersifat parsial. YLKI
140

Rokok dan Tekanan Masyarakat

memandang bahwa kebijakan lebih berpihak
sedangkan perlindungan konsumen sangat lemah.

kepada industri,

Keberatan M asyarakat dan Respon I ndustri Rokok
FCTC, digunakan sebagai acuan berbagai kebijakan
pengendalian rokok di Indonesia. M asyarakat pro rokok dan
kalangan industri rokok menganggap bahwa FCTC tidak cocok untuk
Indonesia sebagai produsen rokok, karena fakta tentang bahaya rokok
dapat dipatahkan oleh fakta bahwa rokok khas (kretek) yang dibuat
orang Indonesia semula ditemukan sebagai obat sakit asma, karena
mengandung cengkih dan rempah lainnya. Terjadi benturan antara
substansi yang digunakan sebagai argumen FCTC secara global dengan
nilai lokal Indonesia, yang membawa tembakau dan rokok sebagai
produk budaya, sekaligus ekonomi dan politik.
Dalam sebuah seminar di Universitas Muria Kudus, Serad
(2011) menyikapi ketidakjelasan istilah zat adiktif yang dimuat dalam
Undang-Undang No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan,
mengemukakan bahwa :

“kemungkinan besar yang dimaksud zat adiktif adalah
nikotin yang ada dalam tembakau. Nikotin adalah sejenis
senyawa alkaloid, C10H 14N 3 yang diproduksi oleh akar rambut
tanaman tembakau, digunakan sebagai senjata pertahanan
untuk menghadapi serangan serangga yang akan merusak
daun tembakau. Tidak hanya tembakau tetapi semua famili
salanaceae seperti terong, tomat , dan lain-lainnya juga
mengandung nikotin. Perbedaanya, kalau sayuran terong dan
tomat, mod of action-nya dimakan, tetapi kalau tembakau
terletak pada asapnya dan dengan cara dihisap. Tembakau
jika dikunyah akan membahayakan jiwa. Misalnya pada
rokok cerutu, yang dibuat dari daun tembakau lembaran,
hanya mengandung 1% pada setiap batang (5 gram), sudah
mampu membuat seseorang meninggal dunia. Nikotin rokok
dan sayuran tersebut memiliki proses yang berbeda.
Sekalipun demikian sifat nikotin memang lebih tinggi
adiktifnya dibanding napza seperti ganja, opium, kokain, dan
lainnya (Zamhuri, 2011 : 10-11). Proses nikotin dalam tubuh
141

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya
tergantung pada pola konsumsi manusia. Manusia yang
banyak mengkonsumsi protein, proses metabolismenya akan
menghasilkan asam. Nikotin yang bertemu asam akan
membentuk garam dengan cepat, kemudian garam akan larut
lalu terbuang melalui keringat dan urin. Sehingga orang yang
banyak mengkonsumsi protein membuat nikotin yang masuk
dalam tubuh cepat terbuang. Tetapi bagi orang yang banyak
mengkonsumsi basa, membuat nikotin tidak langsung
terbuang, karena basa memberikan lingkungan yang cocok di
dalam darah”.

Pada kesempatan yang berbeda, Serad (2011) memberikan
penjelasan bagaimana bekerjanya nikotin dalam tubuh manusia sebagai
berikut :

“Rokok memberikan efek waktu paruh (half life time) selama
30 jam. Pada rokok satu batang mengandung 44 miliar
nikotin, setelah 30 jam tinggal 30 miliar, setelah 30 jam
tinggal 10 miliar, kemudian 5 miliar, akhirnya setelah dua (2)
jam tubuh bersih dari pengaruh nikotin tersebut. Nikotin
pada rokok tidak memberikan gejala withdrawal
(pengasingan diri dari masyarakat) seperti napza. Rokok
hanya memberikan efek kegemaran atau kesenangan.”

Respon industri terhadap isu yang berkembang terkait dengan
tuduhan yang terkait dengan dampak rokok terhadap kesehatan
dilakukan dalam bentuk lain, misalnya mengembangkan berbagai
inovasi produk yang berorientasi membuat rokok “sehat”, dengan
mengembangkan rokok putih yang rendah tar dan nikotin.
Pada
rokok
kretek,
sejarah
ditemukannya
dan
perkembangannya dari industri rumahan menjadi industri nasional
karena bermanfaat bagi
kesehatan. Zahar
dan Sutiman,
mengembangkan teknologi nano dan menemukan divine kretek atau
divine cigarette sebagai rokok yang menyehatkan. Temuan ini
melahirkan bisnis kesehatan baru, yaitu metode balur tembakau
sebagai media untuk mengeluarkan racun dari dalam tubuh
(detoksifikasi) bukan hanya mengembalikan metabolisme tubuh tetapi
142

Rokok dan Tekanan Masyarakat

sebagai pengobatan berbagai macam penyakit seperti kanker, sakit
yang disebabkan penyumbatan pada aliran darah seperti jantung, paruparu, dan ginjal.
Dampak rokok dan konsumsinya terhadap kesehatan yang
menyebabkan kematian dini juga mendapatkan tanggapan dari
masyarakat pro rokok. Justru pada negara produsen dan konsumen
rokok di dunia memiliki usia harapan hidup panjang. Pada tabel 6.4,
tampak bahwa China dengan jumlah konsumen rokok terbesar justru
memiliki rata-rata usia harapan hidup paling panjang.
Tabel 6.4
Jumlah Konsumen Rokok dan Usia Harapan Hidup di Berbagai Negara
Jumlah Konsumen Rokok
No.

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Negara

China
India
Indonesia
Rusia
Amer ika Serikat
Jepang
Brazil
Bangladesh
Jerman

Orang (juta)

(%)

390
144
65
61
58
49
24
23,3
22,3

29
12,5
28
43
19
38
12,5
23
27

Usia Harapan H idup
(Tahun)

86
75
73,5
80,5
81
81,2
83
75
81

Sumber: W HO dalam Zahar dan Sutiman (2011 : 297)

Di kalangan masyarakat pada umumnya tidak menyetujui
FCTC karena dianggap sebagai pesanan pihak asing, seperti yang
disebutkan oleh W isnubroto (2012) sebagai Ketua DPD Assosiasi
Petani Tembakau Indonesia, Jawa Tengah dalam suatu seminar di
UM K yang menyatakan, “tentang FCTC, saya meminta tidak
menandatanganinya, karena FCTC regulasi produk asing. Sedangkan
Indonesia adalah negara berdaulat”. Dalam kesempatan yang sama,
Tulus Abadi (2011) khawatir dengan adanya regulasi pengendalian
tembakau akan menjadi boomerang untuk industri rokok di Indonesia
karena Industri multinasional yang akan menjadi pemilik industri
rokok Indonesia, kalau pada akhirnya industri rokok mati karena
143

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

tekanan masyarakat anti tembakau dan negara tidak memiliki
komitmen untuk membela kepentingan nasional.
M unculnya organisasi masyarakat merupakan bentuk lain dari
respon terhadap tekanan masyarakat anti rokok. Organisasi tersebut
antara lain: M asyarakat Bangga Produk Indonesia (M BPI), PUSKINDO,
dan lembaga-lembaga yang lahir karena keprihatinan terhadap industri
rokok yang ditekan karena kepentingan asing. Lembaga Penelitian di
Perguruan Tinggi, baik yang terkait langung dengan perdebatan
masyarakat pro dan anti rokok atau penelitian untuk kepentingan ilmu
pengetahuan untuk mengedukasi masyarakat. Berbagai buku atau
tulisan ilmiah popular terkait dengan tembakau dan rokok semakin
banyak ditemukan.
M asyarakat di daerah produsen atau penyangga industri rokok
(pertanian tembakau dan cengkih) memiliki ketergantungan secara
ekonomi terhadap keberadaan industri rokok. M asyarakat anti rokok
dan pro rokok suatu waktu dapat saling berhadapan, karena
kepentingan yang berbeda. Pada saat yang lain saling bekerjasama
untuk membela dan mempertahankan rokok karena manfaat yang
diterima dari industri rokok baik langsung maupun tidak langsung.
M inimal masyarakat akan bertindak “netral” karena berada di posisi
“abu-abu”.
PT Djarum, melalui perwakilannya menolak tudingan dari
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bahwa pemerintah
lebih berpihak pada industri dan tidak melindungi masyarakat secara
massive. Dalam hal ini industri rokok sangat tidak setuju bahwa rokok
sebagai satu-satunya sumber bahaya terhadap kesehatan, fakta bahwa
nikotin bukan hanya terdapat pada tembakau dan produknya; dan
sejarah rokok kretek sebagai fakta yang tidak dapat dihilangkan.
Dengan mengutip pendapat bapak Kedokteran, Paracelsus:
“di dunia ini tidak ada racun, yang ada hanyalah dosis yang
tidak benar” (Serad, 2010). Industri rokok sudah sangat taat
pada peraturan termasuk mencantumkan peringatan bahaya
merokok dalam bungkus rokok sesuai dengan yang
ditetapkan”.
144

Rokok dan Tekanan Masyarakat

Selain respon yang bernada menolak atau bersifat pembelaan
terhadap tuduhan bahwa rokok merugikan dari sisi kesehatan maupun
ekonomi, kalangan pelaku usaha/industri rokok juga menuruti atau
mengikuti peraturan yang ada, karena potensi pasar masih sangat
besar, khususnya pasar domestik. Artinya jaminan pasar menjadi faktor
penting
bagi keberlanjutan produksi pada skala pabrik yang
berdampak pada skala industri. Oleh karena itu upaya untuk
menyesuaikan dengan berbagai peraturan pembatasan rokok, misalnya
melalui iklan di media televisi yang dibatasi jam tayangnya,
mendorong pabrik untuk melakukan inovasi pasar agar konsumen
terus dapat dipertahankan melalui informasi produk, menggunakan
berbagai media yang ada. Sehingga pada saat itu justru banyak pabrik
yang menggunakan media reklame di jalan dan area yang secara fisik
justru dianggap lebih efisien dan efektif menjangkau pasar, baik bagi
produk lama maupun produk baru.
Kegiatan yang bersifat informatif dan edukasi dilakukan dalam
berbagai seminar, misalnya di Universitas M uria Kudus pada tanggal 9
Agustus 2010, dengan tema “Politik Hukum Regulasi Industri Rokok di
Indonesia” yang menghadirkan perwakilan dari Industri Rokok (PT.
Djarum, Kudus); Nusron W ahid (Anggota DPR RI); Hasyim Asyari
(Dosen FH Undip, Semarang); Tulus Abadi (YLKI, Jakarta); Nurtantio
W isnu Brata (Ketua Assosiasi Petani Tembakau Indonesia Jawa Tengah
atau APTI Jateng); Rommy Fibri (Jurnalis). Hasil seminar merupakan
respon terhadap FCTC dan apa yang dilakukan pemerintah dengn
menetapkan berbagai peraturan yang mengadopsi FCTC tersebut dari
perspektif masing-masing.
Setiap regulasi dan usaha dalam rangka pembatasan industri
rokok sebagai upaya pemiskinan secara struktural dan sistemik
terhadap masyarakat dan rakyat yang berbasis pada industri rokok. Jika
hal tersebut terus dilakukan, sebenarnya hanya akan menguntungkan
pihak asing yang dengan leluasa akan mengekspor tembakau ke
Indonesia, oleh karena itu perlu mengingatkan pemerintah untuk tidak
meratifikasi FCTC yang lebih pada kepentingan asing dan tidak
membela kepentingan dalam negeri Indonesia sebagai produsen.
145

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

Lahirnya banyak kebijakan yang tidak relevan dengan kondisi
riil yang dihadapi kalangan perusahaan/pabrik dan industri karena
prosesnya yang lebih inside-out daripada outside-in (Serad,2010).
Sehingga implementasinya menghadapi hambatan, benturan, dan
konflik secara sosial, politik, serta ekonomi, karena kebijakan yang
dibuat tidak dilandasi oleh nilai, makna, suasana, dan nuansa di mana
produk hukum tersebut dibuat dan diberlakukan. Sebenarnya secara
eksplisit tidak ada satupun larangan terhadap industri rokok, yang ada
adalah mengatur orang yang merokok di kawasan yang diperbolehkan
(Hasyim Asyari), sehingga rokok bukanlah produk “illegal”. Rokok dan
perokok tidak ditentukan oleh pasal tetapi oleh pasar. Hasil diskusi
tersebut telah dirangkum dalam suatu buku “Hukum dan Ancaman
Keberlangsungan Industri Rokok” (Zamhuri, 2011).
Bagi industri rokok pada umumnya FCTC menjadi suatu
tekanan yang hebat dan berdampak kepada masyarakat konsumen.
Terlebih lagi setelah substansi dari FCTC diadopsi oleh negara dalam
berbagai regulasi untuk membatasi rokok. Faktanya, bukan hanya
membatasi tetapi regulasi langsung berdampak pada pabrik atau
perusahaan rokok. Berbagai upaya dilakukan oleh pabrik dan pada
tingkat industri, tetapi tidak sepenuhnya berhasil untuk mengurangi
dampak langsung kebijakan. Artinya jika seluruh pabrik rokok
mengikuti regulasi maka pabrik rokok akan banyak yang mengalami
kebangkrutan.
Berbagai upaya dilakukan untuk merespon berbagai regulasi
yang berasal dari masyarakat anti rokok, di antaranya adalah
mengajukan keberatan kepada pemerintah melalui GAPPRI. Tetapi
permasalahannya secara kelembagaan organisasi pabrik rokok di
Indonesia ini tidak selalu dilibatkan dalam mendesain kebijakan yang
ada. M asukan seringkali diminta dari pabrik besar yang ditunjuk.
Pabrik besar yang dilibatkan tidak mewakili kepentingan pabrik
lainnya, apalagi pabrik di luar golongannya. Struktur dan kultur
industri rokok di Indonesia menyebabkan beragamnya permasalahan
yang dihadapi di tingkat pabrik, demikian juga kepentingannya.
Bagaimanapun kebijakan yang mempertimbangkan kultur dan struktur
146

Rokok dan Tekanan Masyarakat

industri rokok akan lebih mendorong kebijakan yang lebih adil dan
tidak diskriminatif yang menyebabkan kematian pabrik rokok,
walaupun tujuannya hanya membatasi jumlah produksi, distribusi dan
konsumsinya.
Dampak paling dekat adalah munculnya saling curiga di
kalangan pelaku industri, didasari oleh kemungkinan bahwa ada pabrik
besar yang berkontribusi terhadap munculnya berbagai kebijakan yang
mematikan sesama pabrik, khususnya golongan yang lebih kecil
dengan kapasitas yang terbatas untuk merespon kebijakan pembatasan
tersebut. Kecurigaan juga dikaitkan dengan realitas bahwa pemerintah
memiliki hubungan lebih dekat dengan pabrik besar karena dianggap
berjasa bagi negara dengan kontribusi cukainya yang besar. Sehingga
pabrik kecil merasa bahwa kebijakan berpihak kepada pabrik besar.
Konflik antar pelaku usaha dalam industri rokok menyebabkan kondisi
dan suasana yang tidak kondusif. Saling curiga di antara para pelaku
usaha yang disebabkan karena terjadi informasi yang asimetris dalam
industri rokok. M asing-masing memiliki kepentingan untuk tetap
bertahan hidup di tengah tekanan masyarakat anti rokok yang
difasilitasi oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan yang bertujuan
membatasi rokok.
Dampak kebijakan pembatasan rokok dapat bersifat sistem
dalam industri secara keseluruhan maupun individual pabrik. Dampak
tersistem dimulai dari perubahan sistem dan pengurangan kuota
produksi oleh pabrik besar yang berdampak pada pemutusan hubungan
kerja para pekerja produksinya. Sedangkan dampak individual pabrik
sangat bervariasi bentuknya, walaupun tujuan akhirnya sebagai upaya
bertahan hidup dari tekanan kebijakan atas desakan masyarakat anti
rokok.
Secara individu perusahaan melakukan banyak kegiatan untuk
melawan issue yang dikembangkan terkait dengan rokok dan
dampaknya terhadap kesehatan kepada konsumen sebagai sasaran
utama.
Sekalipun
demikian
pada saat
yang bersamaan
perusahaan/pabrik rokok selalu berusaha mengikuti peraturan yang
telah ditetapkan. Sehingga posisi perusahaan/pabrik rokok juga
147

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

dilematis, di satu sisi harus mengikuti peraturan pemerintah dan di sisi
lain potensi pasar masih terbuka. Sehingga pabrik rokok sebagai
industri terus melakukan upaya untuk memenuhi permintaan pasar
sambil trus memperhatikan perubahan regulasi yang dilakukan oleh
pemerintah yang bertujuan untuk membatasi keberadaan rokok atas
permintaan masyarakat anti tembakau.

Tekanan M asyarakat dan M unculnya Rokok “Illegal”
Pada awal tahun 2008, banyak pabrik rokok besar yang
mengurangi omset produksi. Terhadap omset produksi yang berkurang
beerapa perusahaan besar mensiasati dengan mengurangi jam kerja,
atau menghentikan unit produksi rokok tertentu dan menggabungkan
pekerjanya kepada unit yang permintaannya masih tinggi. Dalam hal
ini perusahaan tidak sampai melakukan pemutusan hubungan kerja
kepada para pekerjanya. Dalam suatu pabrik dapat memproduksi lebih
dari satu macam merek rokok, tetapi pada golongan yang sama.
M isalnya golongan I, II atau III semuanya, dengan masing-masing
memiliki Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC)
tersendiri. Hal ini merupakan peraturan baru dari yang sebelumnya
yang memperbolehkan untuk satu pabrik rokok dengan banyak merek
dan banyak jenis rokok dengan hanya satu NPPBKC. Bagi rokok yang
laku menjadi
tumpuan produk lainnya dan perusahaan
memberlakukan prinsip produksi silang. Sebagian pabrik menetapkan
kebijakan mengurangi omset dengan mengurangi pekerja produksinya
berdampak terhadap jumlah pengangguran.
Pengangguran meningkat sedemikian hebat, karena
pengalaman pada tahun 2001 dengan omset yang berkurang sebanyak 1
milyar batang menimbulkan pengangguran sebanyak 2500 orang. Jika
diasumsikan pengurangan produksi tahun 2008 sama dengan tahun
2001 maka pengangguran di daerah produsen seperti Kudus cukup
besar. Pengangguran terjadi pada para pekerja produksi perempuan.
Perempuan pekerja produksi yang mengalami pemutusan hubungan
kerja (PHK) dari pabrik besar memiliki ketrampilan menggiling rokok
148

Rokok dan Tekanan Masyarakat

yang dibutuhkan oleh pabrik rokok. Akhirnya mereka beralih tempat
kerja sekalipun menerima upah yang lebih kecil. M ereka yang
tertampung pada pabrik rokok lain tidak banyak, dan bersifat musiman
yaitu ketika ada banyak permintaan pasar rokok.
Pada saat yang bersamaan daya tarik rokok masih tetap tinggi
dalam menghasilkan keuntungan, sekalipun kondisi perekonomian
sedang sulit akibat krisis tetapi rokok adalah barang yang
mendatangkan kesenangan bagi penyukanya. Sehingga untuk
melupakan sejenak permasalahan hidup yang menekan, masyarakat
menikmati rokok. Karakter rokok sebagai produk preferensi, justru
meningkat permintaannya pada saat kondisi ekonomi sulit dan
masyarakat menghadapi beban hidup yang berat. Khususnya yang
terjadi pada kelompok masyarakat miskin dan yang rentan jatuh
miskin karena krisis ekonomi. Kejadian tersebut mendorong
munculnya usaha rumahan baru, yang memproduksi rokok murah.
Usaha–usaha rumahan yang baru sangat diuntungkan dengan tenaga
trampil yang di PHK dari pabrik rokok besar. Kebanyakan pabrik
rokok rumahan tersebut memproduksi rokok kretek. Perusahaan
berjalan dengan atau tanpa perijinan yang lengkap sebagai produsen
barang kena cukai. Hal ini didukung oleh fakta pabrik rokok baru
yang mengajukan ijin usaha di Kantor Perijinan Kudus yang mencapai
916 buah pada tahun 2008. Pada saat yang sama jumlah pabrik rokok
yang terdaftar di kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea dan Cukai
Tipe M adya Kudus hanya berkisar 200 an pabrik. Pabrik yang tidak
berijin lengkap berpotensi munculnya rokok “illegal” di pasaran.
Rokok “illegal” karena adanya kondisi yang berubah, dampak dari
kebijakan pembatasan rokok. Kondisi yang berubah memungkinkan
meningkatnya jumlah pabrik yang tidak memiliki ijin lengkap sebagai
produsen barang kena cukai.
Para pengusaha lainnya melakukan perubahan sistem produksi
dengan memanfaatkan pekerja yang menganggur atau memiliki waktu
luang dan membutuhkan tambahan penghasilan. Pekerja dalam satu
hari dapat bekerja pada lebih dari satu pabrik rokok. M odel produksi
tersebut dipandang lebih efisien dan efektif, mengingat pengusaha
149

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

tidak menanggung keperluan pekerja, sehingga lebih menguntungkan.
Oleh tetangga yang pengusaha atau produsen rokok, mereka para
pekerja produksi (perempuan) difasilitasi alat “giling” atau “linting”
rokok beserta bahan baku yang sangat mudah mendapatkannya di
pasar, untuk memproduksi rokok di rumah masing-masing. Rokok
diproduksi dimana-mana, tidak harus dipabrik. Hasil produksi yang
dilakukan dirumah masing-masing kemudian disetorkan ke pengusaha
rokok dilingkungan tempat tinggalnya, dalam bentuk rokok putihan.
Perubahan terjadi pada sistem produksi, dari yang terpusat di pabrik
menjadi sub – kontrak atau “maklon”. Sub-kontrak dilakukan dengan
proses produksi diserahkan kepada usaha rokok skala lebih kecil dalam
bentuk hubungan kemitraan. Sedangkan “maklon” dilakukan dengan
kebijakan spesialisasi. Perusahaan induk hanya melakukan proses
produksi, proses distribusi atau pemasarannya diserahkan kepada
perusahaan lainnya.
Dalam hal ini terjadi perusahaan berbasis jaringan atau
network enterprise seperti yang dikemukakan oleh Castells (2000).
Perubahan model produksi terjadi pada industri rokok, agar dapat
bekerja efisien karena resiko biaya yang terdistribusi kepada
stakeholder dan rantainya. Yang terlibat dalam rantai produksi sejak
hulu (petani) dengan organisasi dan kelembagaannya sendiri sampai
pada proses produksi dan distribusi barang kepada pasar.
M odel produksi sub – kontrak tidak hanya dilakukan oleh
pabrik kecil tetapi juga pabrik besar dengan identitas sebagai mitra
pabrik sigaret (M PS) yang terus berlangsung sampai saat ini. M PS,
menyebar di berbagai daerah yang memiliki hubungan sebagai daerah
penyangga industri dan sebelumnya tidak memiliki pabrik. M isalnya di
daerah W eleri, Kendal; Salatiga; Boyolali dan sebagainya. Terjadi
“ moving industry ”.
Bagi masyarakat yang terlibat dalam rantai produksi sebagai
pekerja produksi, banyak yang menggunakan waktu luang di luar jam
kerja untuk bekerja kembali di pabrik lain. Di satu sisi menambah
penghasilan di sisi lainnya mendorong munculnya rokok “illegal”
karena model produksi sub-kontrak mensyaratkan administrasi (bahan
150

Rokok dan Tekanan Masyarakat

dan produk) tertentu sebagai bentuk perijinan produski barang kena
cukai (rokok). M isalnya perpindahan bahan (tembakau) dari satu
tempat ke tempat lain yang harus dilengkapi dengan dokumen CK-6.
Bgai pabrik besar kemungkinan besar persyaratan ini akan dipenuhi.
Tetapi untuk pabrik kecil, menghadapi kendala teknis apalagi jika yang
harus aktif mengurus ijin adalah para pengusahanya yang memiliki
persepsi bahwa ijin tidak dibutuhkan dan tidak ada manfaatnya. Pada
akhirnya mobilitas bahan dan produk antar perusahaan dapat tidak
dilengkapi dengan perijinan dan rokoknya berpotensi menjadi rokok
“illegal”.
Industri rokok berkembang dengan model klaster alamiah.
Secara alami, pabrik memiliki rantai produksi dan pemasaran. Ketika
terjadi perubahan kebijakan produksi dan pasar karena adanya
kebijakan pembatasan rokok (iklan, kawasan bebas rokok, standar tar
dan nikotin, dll) akan mempengaruhi jumlah penjualan dan konsumsi.
Kondisi ini akan berpengaruh terhadap rantai nya. Rantai produksi
dan pemasaran menjadi tidak terintegrasi dengan kuat. Setiap saat
pabrik dapat memutuskan hubungan dalam rantai dan atau sebaliknya
dapat membangun rantai yang baru, untuk menyesuaikan dengan
kondisi pasar yang terpengaruh dengan anjuran atau himbauan untuk
membatasi rokok. Secara tersistem pabrik rokok berubah menjadi
fleksibel, dan berdampak pada hubungan dalam rantai produksi dan
pasarnya. Secara bersamaan dalam skala makro (industri) akan
mengalami perubahan tersebut. Pabrik menjadi tidak beroperasi secara
formal hanya dalam pabrik, tetapi dapat berjejaring dengan produsen
lain baik individu maupun pabrik lain. Pabrik yang berperan sebagai
rantai produksi (pemasok bahan baku, dan bahan pendukung) sangat
memahami perubahan yang terjadi dan tidak harus terikat hanya oleh
satu pabrik seperti sebelumnya. Kelembagaan pabrik rokok dan
rantainya sama-sama berubah karena adanya perubahan kebijakan
produksi dan pasar pada skala pabrik. Perubahan kondisi yang
tersistematis disebabkan oleh kebijakan yang diusulkan oleh
masyarakat anti rokok.

151

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

Kultur dan struktur industri rokok di Indonesia berbeda
dengan negara produsen lain. Industri rokok di Indonesia didukung
oleh masyarakat, dan embedded dengan kultur masyarakatnya.
Sehingga rokok adalah bagian dari budaya masyarakat dan bagian
hidup masyarakat. Rokok adalah produk budaya. Budaya masyarakat
sangat dekat dengan rokok, sehingga penolakan masyarakat anti rokok
dengan mengembangkan issue bahayanya terhadap kesehatan
sebenarnya tidak begitu berpengaruh pada produsen rokok dan
rantainya pada skala individu pabrik. Hal ini disebabkan karena setiap
pabrik memproduksi lebih dari satu merek rokok yang memiliki
karakter rasa dan aroma tersendiri sesuai dengan selera pasarnya.
Setiap pabrik rokok memiliki pangsa pasar tersendiri. Pembatasan
rokok atas desakan masyarakat anti rokok tidak bermakna ketika pasar
masih loyal terhadap rokoknya.
Struktur industri rokok di Indonesia yang terdiri dari pabrik
besar skala global dan juga skala kecil-rumahan menghadapi
permasalahan yang berbeda. Oleh karenanya kebijakan pembatasan
rokok juga bermakna berbeda bagi individu pabrik. Kepentingan
pengawasan sebagai produsen barang kena cukai, pabrik rokok
dibedakan menurut kuota produksi maksimal setiap tahunnya menjadi
golongan I minimal 2 milyar batang per tahun; golongan II, minimal
produksi 500 juta batang dan maksimal 2 milyar batang per tahun.
Golongan III, sesuai dengan peraturan dalam Permenkeu No. 167/
PM K 0.11/Tahun 2011, maksimal produksi dibatasi paling banyak 300
juta batang per tahun. Bagi pabrik kecil kebijakan pembatasan faktanya
tidak terpengaruh secara signifikan terhadap batas maksimal
produksinya karena sesuai kapasitasnya dan keterbatasannya dalam hal
iklan yang tidak diakomodasi menjadi biaya internal. Dalam kondisi
normal tanpa pembatasan, paling banyak hanya akan mencapai 6 juta
batang per tahun seperti yang dikemukakan oleh seorang pengusaha,

“……..saya hitung dalam kondisi seperti ini produksi saya
(golongan III) tidak akan lebih dari 6 juta batang dalam se
tahun, sehingga kebijakan iklan, kawasan bebas rokok, atau
issue kesehatan tidak berpengaruh terhadap jumlah
152

Rokok dan Tekanan Masyarakat
produksi”. Produksi sejumlah itu saja kita sudah
mengeluarkan uang untuk menebus cukai minimal sebesar
Rp. 78.000.000,- yang dibayar tunai didepan, belum tentu
balik kalau rokok tidak laku semua. (W awancara, 2010).

Demikian juga bagi pabrik golongan II, rata-rata produksi riil
yang dilakukan dan terserap pasar hanya berkisar 300 juta batang
dalam setahun. Tetapi karena rokok merupakan produk “preferensi”
maka image dan tingkat kesenangan lain yang dapat dinikmati oleh
konsumennya terus dapat dibentuk. M elalui berbagai inovasi produk,
yang semula hanya kretek dan putih; Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan
Sigaret Kretek M esin (SKM), saat ini terus berkembang berbagai varian
rasa dan aroma.
Inovasi yang dilakukan sangat terbuka yang harus disertai ijin
pada masing-masing merk rokok. M ekanisme perijinan yang mengikuti
perkembangan rokok bisa tidak sejalan. Perijinan harus dipenuhi
ketika memproduksi merk rokok baru dan diuji cobakan kepasar.
Ketika pasar menolak, maka pengusaha akan menciptakan rokok yang
lain lagi. M ekanisme perijinan biasanya belum diurus selama masih
dalam uji coba pasar. Pada saat itu sudah ada peluang dan potensi
sebagai rokok “illegal”. Belum lagi biaya untuk mengkomunikasikan
produk baru tersebut. Pabrik kecil tidak menggunakan iklan, tetapi
dengan cara “gethok tular” (bhs jawa : dari mulut ke mulut) dan
mengandalkan informan yang bekerja untuk mengendalikan pasar,
yang disebut agen atau intel.
Bagi pabrik besar, kebijakan pembatasan direspon berbeda
karena kepentingannya berbeda. Pabrik besar menetapkan strategi
untuk mempertahankan konsumen dan memperluas pasar dengan
menciptakan konsumen baru. Pembatasan rokok direspon dengan
mengurangi produksi sampai menghentikan produksinya yang
permintaannya berkurang, tetapi disertai dengan inovasi produk untuk
menciptakan pasar baru. Secara keseluruhan keuntungan tidak
berkurang. Tetapi keuntungan yang ada berkurang karena digunakan
untuk menambah biaya promosi yang menggunakan media lain yang
tidak diatur. Inovasi produk dan pasar dilakukan secara terintegrasi
153

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

untuk membangun product kwonledge dan mengembangkan image
baru. Rantai pemasaran bekerja lebih efisien dan lebih ringan, karena
melibatkan mitra yang memiliki fokus dalam pemasaran. Pabrik
(produsen) terus berinovasi karena ada informasi pasar yang jelas dan
sempurna. Produsen dan perusahaan pemasar terintegrasi dengan kuat
secara horizontal dan juga dapat terjadi dengan secara tidak
terintegrasi. M asing-masing berdiri sendiri, termasuk dalam
menetapkan kebijakan optimalisasi keuntungan. Tetapi informasi
perusahaan pemasar sangat berpengaruh pada produsen dan
perusahaan/industri di bagian hulu, yaitu bahan baku.
Pada akhirnya berbagai strategi yang berbeda karena masalah
dan kapasitasnya akan dilakukan oleh pabrik secara individu maupun
dalam industri dengan stakeholder masing-masing yang bekerja dengan
prinsip kemitraan dengan atau tidak terintegrasi dalam rantai yang
bersifat vertikal dan horizontal yang bertujuan untuk mengokohkan
perusahaan yang berbasis masyarakat dan lingkungan yang memiliki
nilai dan norma yang mendukung adanya pabrik / industri rokok.
Dampak dari berbagai kondisi yang menekan pabrik/industri
dapat diselesaikan dengan mengikuti peraturan yang ada, mengubah
strategi produksi dan pemasaran melalui berbagai inovasi termasuk
membuat rokok “illegal” dengan berbagai modus. KIE kepada
konsumen dalam rangka mempertahankan atau menciptakan pasar
baru dapat dilakukan dengan program secara langsung atau tidak
langsung. Secara langsung akan mengurangi keuntungan. Atau
mealokasikan dana Corporate Social Responsibility (CSR) dalam
berbagai kegiatan sosial masyarakat. CSR secara terbuka dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat yang pro dan antirokok. M asyarakat
yang antirokok tidak semua anti menggunakan dana CSR industri
rokok. CSR secara langsung juga menjadi media untuk
mempertahankan pasar dan keberlanjutan dalam jangka panjang
(longterm sustainability ) dan meningkatkan profit (Ekawai, 2012).

154

Rokok dan Tekanan Masyarakat

Kesimpulan
Tekanan masyarakat anti rokok yang diakomodasi dalam
berbagai kebijakan pemerintah telah direspon oleh industri rokok
dalam bentuk memenuhi semua peraturan, pembatasan iklan (jam
tayang dan substansi), dan kandungan tar dan nikotin yang dimuat
dalam bungkus, peringatan bahaya merokok dari kata-kata menjadi
gambar. Tetapi bagi industri, masyarakat anti rokok belum puas dengan
apa yang diinginkan, terbukti dengan berbagai peraturan yang
substansinya semakin meningkat untuk mengendalikan rokok.
Perda
kawasan bebas rokok juga telah disusun oleh
pemerintah Kabupaten/Kota, tetapi tidak disertai dengan penegakan
hukumnya. Sehingga tidak ada sanksi terhadap para pelanggar.
M asyarakat anti rokok melihat hal tersebut sebagai bentuk rendahny