MODEL KONSELING BAGI IBU YANG MEMILIKI ANAK AUTISTIK MELALUI PENDEKATAN KOLABORATIF.

(1)

DAFTAR ISI

ABSTRAK………. i

KATA PENGANTAR………. ii

UCAPAN TERIMA KASIH……… iv

DAFTAR ISI ……… viii

DAFTAR TABEL………. x

DAFTAR DIAGRAM……….. xii

DAFTAR GAMBAR……… xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……….. 1

B. Rumusan Masalah……… 15

C. Tujuan Penelitian………. 17

D. Manfaat Penelitian………... 17

E. Sistematika Penulisan……….. 18

BAB II ANAK AUTISTIK DAN KONSELING KOLABORATIF A. Memahami Anak Autistik 1. Sejarah Munculnya Isu Autistik ……… 20

2. Pengertian Anak Autistik ……….. 26

3. Ciri-Ciri Anak Autistik………. 29

B. Autistik dan Keluarga 1. Dampak Kehadiaran Anak Autistik Bagi Keluarga... 32

2. Peran Ibu Dalam Membantu Meningkatkan Perkembangan Anak Autistik ……… 34

3. Problem Ibu yang Memiliki Anak Autistik………. 37

C. Penanganan Sejak Dini Anak Autistik 1. Pengertian Penanganan Sejak Dini Anak Autistik... 44

2. Berbagai Dukungan dalam Proses Intervensi Dini Anak Autistik... 47

3. Berbagai Metode untuk Intervensi Dini Anak Autistik ... 49

D. Konseling Kolaboratif Bagi Orang Tua dengan Anak Autistik... 55

1. Pengertian Konseling... 55

2. Konseling Kolaboratif ……….………. 57

3. Tujuan Konseling Kolaboratif... 61


(2)

5. Langkah-Langkah Konseling Kolaboratif………. 72

E. Hasil Penelitian Yang Relevan ... 76

F. Posisi Penelitian ……….. 79

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian……… 81

B. Metode……….82

C. Prosedur Penelitian………...84

D. Penelitian Tahap I: Penemuan Model ……….89

1. Lokasi dan Informan Penelitian………..89 2. Teknik dan Instrumen Penelitian………....90

3. Teknik Analisis Data………..92

E. Penelitian Tahap II……….………..93

1. Lokasi dan Informan Penelitian………..………..93

2. Teknik dan Instrumen Penelitian………..………95

3. Teknik Analisis Data….………..………101

F. Definisi Operasional ..………....105

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Model Konseling Kolaboratif……….……….. 108

2. Perubahan Perilaku Ibu Terhadap Anak Autistik Sebelum dan Sesudah Konseling ………. .131

3. Diskripsi Perkembangan Anak Autistik ………156 B. Pembahasan Penelitian 1. Model Konseling Kolaboratif yang Dikembangkan………..181

2. Keunggulan dan Kelemahan Model Konseling Kolaboratif……….188

3. Berbagai Persoalan Ibu yang Memiliki Anak Autistik………..192

4. Analisis Perubahan Perilaku Ibu dan Perkembangan Anak Autistik……….203

5. Keterbatasan Penelitian……….208

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ……….. 210

B. Saran ………. 209 DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN-LAMPIRAN


(3)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Autistik merupakan gangguan perkembangan yang berat pada anak. Gejalanya sudah tampak sebelum anak mencapai usia tiga tahun. Gangguan perkembangan pada anak autistik meliputi tiga aspek yakni komunikasi dan bahasa, interaksi sosial, dan perilaku. Gangguan ini, pada umumnya juga akan diikuti gangguan pada aspek motorik kasar dan motorik halus, persepsi visual, emosi yang selanjutnya akan menghambat perkembangan kognitif dalam kontek persekolahan. Gejala gangguan tersebut dapat dilihat pada usia 2 - 3 tahun, dimana anak pada umumnya mulai belajar bicara, anak autistik tidak menampakkan tanda-tanda perkembangan bahasa dan bicaranya. Beberapa kasus, anak autistik dapat mengeluarkan kata-kata, tetapi terkesan aneh, masyarakat pada umumnya meyebutkan sebagai bahasa ”planet”.

Gangguan dalam perkembangan anak-anak autistik yang meliputi tiga bidang di atas termanifestasikan dalam bentuk yang sangat beragam. Mereka cenderung suka menyendiri, tidak mengerti bagaimana cara berinteraksi dengan teman sebayanya, cara bermainnya tidak imajinatif dan cenderung monoton. Hal lainnya, perilaku anak-anak autistik terlihat berbeda dari anak-anak-anak-anak pada umunya, misalnya melakukan gerakan unik yang diulang-ulang, mondar-mandir tidak jelas tujuannya, berputar-putar, mengepak-ngepakkan tangannya seperti sayap, cenderung aktif, terpukau pada benda tertentu (benda yang berputar), suka memperhatikan gerakan jari tangannya sendiri secara terus menerus dan acuh tak acuh terhadap kejadian dan keadaan sekitarnya, tidak dapat berbicara dan juga kesulitan dalam berkomunikasi secara non verbal.


(4)

Selama dua dekade ini, jumlah anak autistik menunjukkan peningkatan angka yang cukup tajam. Namun demikian, angka statistik yang menunjukkan peningkatan jumlah anak yang didiagnosis sebagai anak dengan gangguan autistik ini masih diperdebatkan. Sekitar 30 tahun yang lalu, angka kejadian anak dengan gangguan autistik antara 1-4 per 10.000 anak. Setelah tahun 1990 jumlah anak-anak dengan gangguan autistik meningkat tajam. Dalam hal ini memang kesulitan untuk menemukan data statistik secara akurat, tetapi angka perkiraan oleh lembaga penelitian menunjukkan 1-2 per 500 hingga 1 per 100 anak-anak. The Central for Desease Control (CDC) telah melaporkan 2-6 per 1000 anak-anak. Selama tahun 2000-2001 terdapat lebih dari 15.000 anak-anak berusia 3-5 tahun dan lebih dari 78.000anak-anak berusia 6-21 tahun di Amerika Serikat adalah autistik sebagaimana didefinisikan dalam Individual with Disabilities Education Act (IDEA). Jumlah ini termasuk rendah dari jumlah kenyataannya karena para siswa sekolah khusus atau home schooling tidak termasuk di dalamya. (Tilton, 2004; 22).

Di Indonesia, isu anak dengan gangguan autistik muncul sekitar tahun 1990-an. Autistik mulai dikenal secara luas mulai tahun 1997-1990-an. Di Indonesia jumlah anak dengan gangguan autistik belum diketahui dengan pasti. Namun jumlah anak dengan gangguan autistik menunjukkan peningkatan yang makin mencolok. Menurut pengakuan seorang psikiater di Jakarta dari pengalaman prakteknya mengatakan bahwa sebelum tahun 1990-an jumlah pasien yang didiagnosis sebagai anak dengan gangguan autistik dalam setahun hanya sekitar 5 orang. Kini dalam sehari dapat mendiagnosis 3 pasien baru. Peningkatan jumlah anak autistik yang mencolok juga ditandai dengan makin banyaknya pusat layanan terapi anak autistik di setiap propinsi di Indonesia. Di Indonesia hingga tahun 2009 sudah mencapai 102 pusat terapi dan 13 sekolah khusus anak autistik. (Yayasan Autisma Indonesia/YAI, 2009). Hal ini


(5)

menunjukkan bahwa meningkatnya jumlah tempat terapi dimaknai sebagai adanya peningkatan kebutuhan pendidikan bagi anak autistik yang diakibatkan oleh semakin meningkatnya angka kejadian anak yang didiagnosis sebagai autistik.

Selanjutnya, kehadiran anak autistik di tengah-tengah keluarga akan mempengaruhi kehidupan keluarga, khususnya pada aspek psikologis orang tua yang selanjutnya mempengaruhi hubungan suami istri dan anggota keluarga. Thomson et al. (2004) dan Puspita (2009) menyatakan bahwa dengan mengetahui anaknya didiagnosis sebagai autistik, orang tua mengalami shock (terkejut) dan tidak percaya atas apa yang menimpa anaknya. Puspita menjabarkan bahwa respon orang tua ketika anaknya didiagnosis sebagai anak autistik, pada umumnya diikuti dengan berbagai perasaan cemas, merasa bersalah, bingung, tidak punya harapan, marah, tidak berdaya atau menolak, limbung, tidak tahu harus berbuat apa, merasa tak berdaya, menyalahkan diri sendiri, marah kepada diri sendiri atau menyalahkan pasangan dan anak autistik tersebut bahkan kepada Tuhan, sedih sekali, putus asa yang dapat berkembang menjadi depresi dan stres berkepanjangan, merasa tidak diperlakukan dengan adil, tidak percaya pada fakta dan berpindah dari satu dokter ke dokter lain untuk menegaskan bahwa dokter tersebut salah. Orang tua seringkali melakukan tawar menawar diagnosis dan menolak kenyataan/fakta di mana orang tua bersikukuh bahwa anak tidak bermasalah/menganggap memiliki perkembangan normal.

Hasil penelitian Widodo (2008) melaporkan bahwa ibu yang memiliki penyesuaian diri negatif terhadap kehadiran anak autistik memiliki ciri-ciri seperti tidak dapat menerima kenyataan memiliki anak autistik, tidak dapat menerima keberadaan anak autistik secara apa adanya, tidak melakukan penanganan terhadap anak autistik dan merasa rendah diri serta berperilaku tertutup terhadap orang lain dengan keberadaan anaknya.


(6)

Berdasarkan pengalaman peneliti selama 15 tahun sebagai praktisi dalam memberikan layanan konseling (konsultasi) dan bimbingan bagi orang tua (ibu) untuk intervensi dini anak autistik, kehadiran anak autistik menunjukkan dampak yang bervariasi bagi keluarga. Dampak yang ditimbulkan seperti kedua orang tua saling menyalahkan atas kondisi anaknya yang autistik, suami menyalahkan istri atas ketidakmampuan dalam mengasuh anaknya, bingung yang pada ujungnya adalah shock, ketidaksiapan/menolak atas keadaan/kehadiran anak autistik tersebut.

Studi pendahuluan menunjukkan bahwa sekitar 26 anak yang didiagnosis sebagai anak autistik ditemukan sebagian besar ibu (± 95%) mengaku tidak mengerti dan mengetahui apa itu anak autistik dan bagaimana cara menanganinya. Sekalipun para ibu memiliki latar belakang sebagai dokter, insinyur ataupun pendidik (guru), mereka mengaku tidak banyak mengetahui tentang apa yang terjadi pada anaknya dan bagaimana cara menanganinya. Sisi lainnya menunjukkan bahwa para ibu dari anak autistik (±90%) memiliki kesibukan/pekerjaan yang kurang memungkinkan untuk memantau dan terlibat secara langsung dalam membantu perkembangan anaknya. Para ibu dengan anak autistik cenderung menanggapi perilaku anaknya dengan cara-cara yang kurang tepat bahkan sebagian dari mereka terkesan membiar-kan/mengabaikan anaknya. Tindakan ibu tersebut diduga berkaitan dengan keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan serta pengalaman mereka dalam mengasuh anak, apalagi anak dengan kebutuhan khusus, autistik. Hal ini terlihat bahwa sekitar 70% anak-anak autistik adalah anak pertama, 23% adalah anak ke dua dan hanya 7% anak ke tiga. Dengan kejadian ini para ibu dari anak autistik, sebanyak 50% tidak ingin memiliki anak lagi karena khawatir anak keduanya juga autistik.

Paparan di atas menunjukkan bahwa kehadiran anak autistik merupakan masalah yang rumit bagi kehidupan keluarga. Masalah tersebut ditunjukkan dengan


(7)

respon ibu yang kurang tepat terhadap kehadiran anak autistik baik dalam penerimaan ibu terhadap anak autistik, partisipasi/keterlibatan ibu dalam membantu perkembangan anak dan tindakan ibu dalam menanggapi perilaku anak autistik yang bermasalah serta cara-cara penanganan anak autistik yang tidak tepat. Bila hal tersebut berlangsung dalam waktu yang lama dan terus menerus maka akan berdampak buruk bagi kehidupan ibu dan terhadap kondisi perkembangan anak autistik yang tidak maksimal. Ibu menunjukkan partisipasi yang kurang dalam membantu anak autistik, emosi dan perlakuan secara fisik yang salah dimana bila hal ini terus berlangsung dalam waktu yang panjang maka ibu akan mengalami stres berkepanjangan dan berdampak pada perkembangan anak yang kurang maksimal.

Pemahaman ibu yang memiliki anak autistik sangat perlu dan penting. Dengan pemahaman ibu tentang perilaku anak autistik dengan baik dan benar maka akan mempengaruhi penerimaan ibu terhadap anak autistik tersebut. Sesuai dengan pemahamannya, ibu akan menerima kondisi anak dengan memberikan kasih sayang yang memadai, perhatian yang terus menerus, memahami perkembangan anak autistik dan melakukan penanganan dengan cara-cara yang tepat serta sesuai dengan perkembangan anaknya. Dengan pemahaman ibu yang baik tentang anak autistik diharapkan ibu dapat segera mengambil tindakatn intervensi dini yang tepat dengan bantuan ahli yang dibutuhkan.

Selain permasalahan ibu, anak autistik sebagai anggota keluarga memiliki masalah pada perkembangan dirinya bila tidak segera ditangani. Penanganan sejak dini sangat membantu ibu untuk mengenali, memahami kebutuhan dan kesulitan-kesulitan anak mereka. Dengan penanganan sejak dini juga dapat memberikan bimbingan dan dukungan yang tepat kepada anak dan orang tua dalam menyesuaikan diri pada tantangan-tantangan yang dihadapi. Dengan kata lain, semakin dini dalam


(8)

memberikan intervensi semakin memberikan keuntungan bagi perkembangan anak autistik itu sendiri, tentu juga bagi orang tua dan keluarga. (Charman & Stone, 2006).

Berbagai laporan penelitian tentang pentingnya penanganan sejak dini telah dilakukan oleh para ahli. Pada tahun 1987, Lovaas melaporkan hasil risetnya bahwa intervensi dini yang dilakukan pada usia 2 tahun dengan menggunakan pendekatan behavioral therapy yang dilakukan secara intensif 40 jam per minggu anak mengalami kemajuan yang luar biasa. Dari 19 anak autistik, 9 di antaranya mengalami kemajuan dalam fungsi kognitif dan intelektual yang normal di mana anak dapat diikutkan dalam sekolah tingkat pertama dengan teman sebayanya. (Mourice, 1996; Siegel, 1996; Simson, 2005; Volkmar, et.al., 2005).

Laporan penelitian lainnya yang dilakukan oleh Princeton Child Development Institute pada tahun 1985 yang dikutip oleh Mourice (1996), Fenshe et al. menegaskan bahwa dengan melakukan intervensi dini, sebelum usia 5 tahun, 40%-60% anak-anak autistik dapat diikutkan dalam sekolah reguler. Pendapat senada juga di tuliskan oleh Simson (2005) tentang efektivitas terapi dengan pendekatan behavioristik, meski prosentasinya sedikit berbeda yakni 47%. Ia juga menambahkan bahwa sejak saat itu terjadi peningkatan permintaan orang tua terhadap sekolah untuk menyediakan program intervensi dini perilaku anak autistik secara intensif seperti yang dideskripsikan oleh studi Lovaas.

Sebuah laporan survey yang dilakukan oleh The Autism Treatment Center of America dari tahun 1998-2003 menyatakan bahwa terdapat 580 orang tua yang menerapkan program Son-Rise terhadap anaknya. Hasilnya adalah 92% responden melaporkan ada peningkatan dalam penggunaan bahasa pada anak-anak mereka, 90% melaporkan ada peningkatan perhatian anak-anak mereka dan 92% ada peningkatan kontak mata pada anak mereka. Pendekatan lain dalam penanganan anak autistik


(9)

adalah Developmental, Individaual-Defference, Relationship-based Model atau biasa disebut dengan istilah Floor Time Approach. (Simson, 2005; Yuwono, 2006). Greenspan dan Wieder (1997) melaporkan bahwa Floor Time cukup efektif dalam membantu meningkatkan kemampuan interaksi anak-anak autistik.

Berbagai temuan pada paparan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa ada dua permasalahan mendasar yang perlu mendapatkan perhatian segera. Pertama, permasalahan yang berkaitan dengan orang tua (dalam hal ini ibu), di mana perilaku ibu terhadap anak autistik. Reaksi yang seringkali muncul atas keadaan ini adalah shock, menolak, sedih, merasa bersalah, bingung apa yang harus dilakukan, hingga muncul pertanyaan besar tentang bagaimana masa depan anaknya, yang semua perasaan tersebut bercampur aduk menjadi satu. Selain itu ketidakfahaman ibu tentang apa anak autistik dan bagaimana cara mengatasinya mengakibatkan perilaku ibu seringkali menunjukkan tindakan yang kurang tepat terhadap anak autistik. Pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman ibu perlu ditingkatkan agar dapat membantu anaknya yang sangat membutuhkan pertolongan. Informasi yang berwujud pengetahuan tentang anak autistik dan bagaimana cara mengatasinya merupakan bagian yang strategis untuk membantu ibu dalam menghadapi kehadiran anak-anak autistik di tengah-tengah keluarganya.

Kedua, masalah yang berkaitan dengan perkembangan anak autistik itu sendiri. Penanganan sejak dini diharapkan dapat meningkatkan perkembangan anak secara maksimal. Semakin dini terdiagnosis dan dilakukannya penanganan sejak dini, semakin besar kesempatan untuk "sembuh". Sembuh dimaknai bila gejalanya tidak kentara lagi sehingga anak mampu hidup dan berbaur dalam masyarakat luas. Namun demikian, pencapaian perkembangan secara maksimal (”sembuh”) dipengaruhi oleh berbagai faktor misalnya berat ringanya gejala yang dimiliki, kecerdasan, kemampuan


(10)

berbicara, berapa lama ditangani, sejak kapan/usia ditangani, konsistensi, program yang tepat dan tentu saja intervensi dini yang tepat dan intensif serta ketepatan metode yang diterapkan. Dengan demikian, kebutuhan pengetahuan tentang bagaimana seharusnya keluarga dalam hal ini ibu memiliki motivasi dan kemampuan untuk membantu mengembangkan perilaku, interaksi sosial dan komunikasi anak baik secara langsung maupun tidak langsung. Peran dan keterlibatan ibu harus ditingkatkan untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi anak dan dirinya sendiri.

Pimpinan Pusat Terapi EF Jakarta Barat, Bambang Setyono menjelaskan bahwa hampir semua ibu yang memiliki anak autistik dan anaknya sedang mengikuti program terapi di lembaganya, ibu lebih dominan mengalami persoalan ketika menghadapi anaknya. Para ibu mengaku sangat kebingungan, panik, sedih dan stres berkepanjangan ketika menghadapi anaknya. Masalah perkembangan anak sudah ditangani oleh terapis, tetapi hanya beberapa jam saja dalam sehari. Satu hingga dua jam ditangani terapis sedang dua pulu dua jam bersama dengan keluarga. Hal ini mengisyaratkan bahwa waktu anak lebih banyak dihabiskan bersama dengan keluarga (ibu). Penanganan anak tidak cukup hanya dengan terapi saja, tetapi harus dilanjutkan di rumah bersama keluarga. Dalam kondisi inilah ibu memiliki persoalan yang sangat rumit saat menghadapi anak autistik di rumah. Persoalan yang berkaitan dengan ibu adalah bagaimana meningkatkan pengetahuan ibu tentang anak autistik, memberikan motivasi kepada ibu, kesiapan ibu dalam menghadapi anak autistik, mendorong ibu untuk dapat menerima anak autistik dengan segala kelebihan dan kelemahannya, manajemen emosi ibu, meningkatkan parisipasi/keterlibatan ibu dalam membantu meningkatkan perkembangan anak autitsik hingga bagaimana cara membantu perkembangan anak autistik sangat diperlukan. Jika hal ini tidak ditangani secara pararel antara persoalan ibu dan perkembangan anak autistik maka persoalan yang


(11)

muncul adalah ibu berada dalam masalah yang rumit dan bila dibiarkan dalam waktu yang lama akan memunculkan tingkat stres yang berkepanjangan. .

Ibu yang memiliki anak autistik dianggap rentan memiliki masalah tersebut di atas dikarenakan ibu secara faktual memiliki tugas untuk mengasuh anak. Ibu lebih memiliki waktu yang panjang dalam berinteraksi dan menghadapi anak autistik dalam kehidupan sehari-hari dibanding orang lain misalnya ayah, guru atau terapis. Dengan berbagai keterbatasan ibu tentang pengetahuan dan pemahaman ibu terhadap anak autistik, ketrampilan dalam mengasuh anak autistik, kesiapan mental, pengendalian diri dan manjemen emosi ibu dalam mengahadapi anak autistik, ibu yang memiliki anak autitsik akan mudah mendapat masalah dalam kehidupannya. Bila hal ini tidak mendapatkan pertolongan dari orang lain atau profesional, maka ibu akan terperosok dalam kehidupan yang sangat rumit, stres, frustrasi, tidak ada harapan dan hidup dengan penuh masalah. Hal tersebut artinya ibu hidup dalam ketidakbahagiaan. Betapa rentan dan riskan kondisi ibu yang memiliki anak autistik tanpa mengerti dan memahami benar tentang anak autistik dan cara penangananya. Dengan kondisi tersebut akan berdampak pada pencapaian prestasi atau perkembangan anak autistik yang tidak maksimal.

Berbagai usaha dalam penanganan anak autistik selayaknya orang tua menjadi salah satu fokus permasalahan yang membutuhan perhatian tersendiri. Namun seringkali hal ini kurang menjadi perhatian oleh para ahli psikologi, pendidikan kebutuhan khusus maupun konseling. Pada umumnya penanganan berfokus pada anak autistik itu sendiri bukan orang tua. Berdasarkan pengamatan peneliti menunjukkan bahwa di beberapa pusat terapi mengutamakan layanan bagi anak autistik. Layanan yang diberikan disesuaikan dengan permasalahan yang terjadi pada anak autistik seperti layanan terapi perilaku, okupasi maupun wicara. Padahal orang tua, khususnya


(12)

ibu merupakan satu bagian yang memiliki permasalahan rumit ketika mengahadapi anak autistik.

Berbagai cara yang seringkali dilakukan orang tua ketika mereka mengalami stres dalam menghadapi anak autistik, orang tua seringkali mengadu kepada terapis, dokter, psikolog, pendeta, sesama ibu yang memiliki anak autistik, atau mengikuti kegiatan-kegiatan dari komunitas orang tua dari anak autistik. Orang tua berharap dengan cara tersebut setidaknya dapat mengurangi tingkat tekanan yang dihadapinya.

Menurut Debora dalam Yuwono (2010) tahap awal dalam proses penanganan anak autistik adalah perlunya dilakukan empowering dimana dilakukan dalam proses konseling kepada ibu. Tujuan utamanya adalah memunculkan respon penerimaan yang disertai dengan perilaku yang positif terhadap anak autistik. Tanpa adanya penerimaan dari ibu (orang tua) maka mustahil anak autistik akan berkembang dengan baik. Debora selanjutnya menambahkan pentingnya pemeriksaan internal anak, fungsi organ, terapi dan pre akademis. Jadi, konseling merupakan bagian penting dalam proses penanganan anak autistik dimana penanganan orang tua (ibu) adalah tahap pertama.

Konseling yang dimaknai sebagai proses untuk membantu secara individual yang mengarah mengatasi rintangan pada perkembangan kepribadian konseli, dimana hal tersebut mungkin ditemukan dan mengarah pencapaian perkembangan kepribadian yang maksimal. (APA, Division of Counseling Psychology, Committee on Definitions, 1956). Maclean dalam Sherzer dan Stone yang dikutip oleh Prayitno dan Amti (2004) menjelaskan bahwa konseling merupakan suatu proses yang terjadi dalam hubungan tatap muka antara seorang individu yang terganggu oleh karena masalah-masalah yang tidak dapat diatasinya sendiri. Pada bagian ini individu membutuhkan seorang pekerja yang profesional, yaitu orang yang terlatih dan


(13)

berpengalaman membantu orang lain mencapai pemecahan-pemecahan terhadap berbagai jenis kesulitan kepribadian. Dalam hal ini konselor yang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam memberikan konseling bagi ibu yang memiliki anak autistik menjadi variabel yang penting.

Proses konseling diharapkan dapat memberikan kekuatan mental konseli dalam menghadapi situasi baru dan rumit di mana ibu memiliki anak autistik yang berkembang secara berbeda dibanding dengan anak pada umumnya. Konselor diharapkan dapat memberikan empowering dan solusi yang bermanfaat bagi ibu, keluarga dan anak autistik itu sendiri. Proses konseling diharapan juga dapat memberikan gambaran tentang anak autistik dan membuat solusi penanganannya sehingga dengan demikian reaksi ibu terhadap anak autistik menjadi lebih baik. Hal ini dianggap penting karena hampir semua ibu yang memiliki anak berkenutuhan khusus (autistik) memiliki harapan pada proses konseling (konselor) seperti penempatan perhatian utama pada anak, berbagi informasi tentang orang tua (ibu) dan anak, mendiskusikan kemampuan anak, mendiskusikan hubungan orang tua dengan anak dan membantu menyusun perencanaan program penanganan bagi anak. (Neely, 1982; 309).

Menurut peneliti pendekatan konseling kolaboratif merupakan pendekatan konseling yang sesuai dengan permasalahan ibu dengan anak autistik. Dengan menggunakan pendekatan konseling kolaboratif di mana konselor dan dengan beberapa ahli/terapis (speeach therapy, occupational therapy (sensori integrasi), behavior therapy, psikolog ataupun dokter) yang dibutuhkan terlibat di dalamnya akan bekerjasama membantu ibu yang memiliki anak autisik (konseli) maka kebutuhan-kebutuhan ibu berkaitan dengan masalah anak autistik sebagaimana yang dinyatakan oleh Nelly di atas dapat diberikan. Munculnya perilaku ibu yang salah


(14)

terhadap anak autistik dikarenakan persepsi, pemahaman dan minimnya pengetahuan tentang anak autistik serta pengetahuan tentang layanan/penanganan anak autistik. Kenyataan bahwa persoalan ibu muncul dikarenakan kehadiran anak autistik di tengah keluarganya adalah kenyataan yang sangat membingungkan. Gangguan perkembangan yang dimiliki anak autistik hampir terjadi pada semua aspek perkembangan seperti keterlambatan bicara, perilaku yang unik dan tak fungsional, ganggua bersosialisasi, emosi, sensorik dan koordinasi gerak. Gangguan perkembangan yang komplek tersebut sulit untuk dipahami oleh orang tua (ibu) dan keluarga. Dengan demikian kolaborasi konselor dan beberapa ahli (terapis) sangat membantu permasalahan ibu. Dengan kolaborasi antara koselor dan terapis, ibu akan sangat mudah memamahi persoalan yang sedang dihadapi oleh anaknya dan dapat mengembangkan perilaku yang positif ketika menghadapi anak autistik. Dengan keadaan tersebut, perilaku ibu diharapkan menjadi terbuka, bijaksana dan tepat ketika menghadapi anak autistik.

Menurut Friend dan Cook yang dikutip oleh Thomson, et al. (2004) collaboration sebagai gaya interaksi langsung antara (setidaknya) dua bagian yang sama secara sukarela terlibat dalam berbagi dalam membuat keputusan bagaimana mereka bekerja mengarah pada tujuan umum. Definisi ini menekankan bagaimana proses konseling terjadi sebagaimana partnership. Ada karakteristik umum tentang ciri kolaboratif yakni (a) Tertuju atau mengarah pada masalah yang sedang dihadapi. (b) Adanya interaksi antara konselor dan konseli. (c) Menggunakan informasi yang spesifik untuk mencapai tujuan. (d) Berbagi atau bertukar dengan berbagai sumber dan (e) Menstimulasi adanya perubahan atau bersifat mengembangkan.

Mengutip tulisan Bertolino & O’Hanlon dalam Nurihsan (1998), konseling kolaboratif merupakan salah satu pendekatan konseling yang menekankan upaya


(15)

konselor membantu konseli melalui proses kerjasama (berkolaborasi) dengan konseli dan pihak lain seperti dokter, guru, terapis dan sebagainya. Dengan konseling kolaboratif ini diharapkan konseli dapat mengembangkan dirinya sebaik mungkin, mengetahui masalah dan konflik yang sedang dihadapinya.

Konseling kolaboratif memandang bahwa konseli merupakan bagian kontributor yang penting bagi hasil konseling. Pandangan dan pemikiran konseli harus diakomodir dalam proses konseling. Penekanan dalam proses konseling harus mempertimbangkan pada kekuatan, kemampuan dan sumber-sumber daya pada konseli. Konseli pada dasarnya merupakan sumber informasi utama tentang masalah dirinya dan anaknya yang didiagnosis sebagai anak autistik. Konseli sangat mengetahui siapa dan bagaimana anaknya berkembang karena hanya 2-4 jam anak bersama guru/terapis, sedang sisa waktu 20-22 jam anak menghabiskan waktu bersama keluarga.

Keys, Bemak, Carpenter, dan King Sears (1989) menyatakan bahwa model konseling kolaboratif dapat mengahasilkan pemahaman yang lebih mendalam dan program yang terintegrasi pada masalah anak dan keluarga yang kompleks. Kurpies dan Fuqua (1993) menyimpulkan secara umum bahwa konselor membantu konseli untuk segera memikirkan masalah mereka sebagai bagian dari sistem yang luas dan tidak hanya untuk memahami bagaimana masalah itu dipecahkan tetapi juga untuk memahami bagaimana mereka mengembangkan, memelihara atau menghindari. (Thomson, et al., 2004). Bagaimanapun kolaborasi antara konselor dan konseli dalam proses konseling sangat menentukan dalam pencapaian tujuan konseling.

Pemberian konseling bagi ibu yang memiliki anak autistik sangat jarang dilakukan di pusat-pusat terapi. Sebagian besar pusat terapi anak autistik lebih pada memberikan layanan terapi bagi anak autistik dibanding memberikan layanan


(16)

konseling kepada ibu dari anak autistik. Padahal untuk mencapai perkembangan anak autistik secara maksimal dibutuhkan ibu yang sangat kuat, peduli, memberikan kasih saying yang memadai, menerima anak autistik dengan apa adanya dan adanya keterlibatan dalam penanganan secara langsung. Sejak tujuh tahun terakhir, peneliti telah mencoba memberikan layanan kepada ibu untuk membantu menyelesaikan masalah ibu dan secara pararel membantu perkembangan anak autistik melalui terapi perilaku, wicara dan sensorik anak autistik. Praktik konseling yang dilakukan peneliti lebih pada praktik konseling dalam setting non formal, bukan formal (sekolah regular).

Berdasarkan fakta empiris bahwa penanganan anak autistik pada usia dini seringkali dilakukan di pusat-pusat terapi, bukan di sekolah. Pada usia dini inilah masa yang sangat penting di mana ibu membutuhkan motivasi, pengetahuan dan solusi serta ketrampilan dasar guna membantu anak autistik. Pada usia dini inilah ibu seringkali dihadapkan pada persoalan yang sangat rumit dan membutuhkan pertolongan yang segera. Wall (2004; 84) menjelaskan bahwa ada cukup bukti yang mendukung dugaan identifikasi dini dan penanganan sejak dini, pada semua pengalaman anak-anak yang berkesulitan cukup mempengaruhi perkembangan anak autistik menjadi lebih baik. Beliau menambahkan bahwa dukungan kebutuhan bagi intervensi dini pada tahap awal, kesulitan menjadi lebih buruk, menjadi sangat sulit, dan mengarah pada kegagalan dapat dicegah. Pada setting terapi inilah kolaborasi antara konselor dan para terapis menjadi satu bagian yang sangat penting dalam membantu ibu mengatasi permasalahannya. Konseling bagi keluarga dan intervensi anak autistik yang dikembangkan adalah melibatkan kombinasi antara latihan bagi ibu dan terapi bagi anaknya dengan mengajarkan beberapa ketrampilan kepada ibu, sehingga dapat meningkatkan rasa percaya diri mereka yang berkaitan dengan


(17)

pengasuhan ibu dan untuk memodifikasi pola-pola interaksi antara keluarga dan anak autistik yang negatif yang telah berkembang sebelumnya. (Sundberg, 2007). Oleh karena itu, pengembangan model konseling kolaboratif bagi ibu yang memiliki anak autistik dalam setting pedidikan non formal sangat dibutuhkan.

B. Rumusan Masalah

Ketika di tengah-tengah keluarga hadir anak dengan gangguan autistik, maka orang tua akan mengalami masa krisis dimana orang tua dihadapkan pada suatu masalah yang sangat rumit. Reaksi yang seringkali muncul adalah shock (terkejut) dan tidak percaya, menolak, bingung, sedih, marah dan tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan. Ibu adalah individu yang paling nyata memiliki masalah karena secara faktual ibu memiliki tugas merawat dan mengasuh serta membesarkan anak dalam kehidupan sehari-hari. Ketika ibu tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam mengasuh anak autistik, maka betapa ibu akan menghadapi masalah yang sangat rumit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak autistik 70% adalah anak pertama, 23% adalah anak ke dua dan hanya 7% anak ke tiga. (Yuwono, 2010).

Minimnya pengetahuan dan pengalaman ibu dalam menghadapi anak autistik berdampak pada perilaku ibu yang sangat buruk ketika menghadapi anak autistik. Seringkali ibu stres saat menghadapi perilaku anak autistik yang sangat rumit (tidak lazim) dan pada akhirnya ibu mengembangkan cara-cara yang tidak ramah saat menghadapi anak autistik sehingga berdampak pada perkembangan anak autistik yang tidak maksimal.

Fokus kajian dalam penelitian ini diarahkan pada pemberian konseling kolaboratif bagi ibu untuk mengubah perilaku ibu terhadap anaknya yang


(18)

didiagnosis sebagai anak autistik. Konseli yang dimaksud adalah ibu yang memiliki anak autistik. Konseli yang dimaksud dalam fokus masalah ini adalah ibu. Oleh karenanya fokus masalah ini dapat dideskripsikan berkaitan dengan reaksi emosi ibu, perlakuan ibu secara fisik dan partisipasi ibu dalam penanganan anak autistik. Dengan mengubah perilaku ibu melalui konseling diharapkan ibu lebih siap menghadapi anak autistik, dapat menerima anak autistik dan peduli dengan melakukan tindakan yang tepat serta menghindari perlakuan secara fisik yang salah. Konseling yang diberikan kepada ibu yang memiliki anak autistik tentu tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan anak autistik itu sendiri. Berdasarkan fokus penelitian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah model konseling bagi ibu yang memiliki anak autistik melalui pendekatan kolaboratif ?

2. Bagaimanakah dampak penerapan model konseling bagi ibu yang memiliki anak autistik melalui pendekatan kolaboratif ?

a. Bagaimanakah keterlibatan ibu dalam membantu anak autistik sebelum dan sesudah diberikan konseling ?

b. Bagaimanakah emosi ibu terhadap anak autistik sebelum dan sesudah diberikan konseling ?

c. Bagaimanakah perlakuan ibu terhadap anak autistik secara fisik sebelum dan sesudah diberikan konseling ?

d. Bagaimanakah perkembangan kognitif, bahasa dan perilaku anak autistik sebelum dan sesudah ibu diberikan konseling ?


(19)

C. Tujuan

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengembangkan model konseling melalui pendekatan kolaboratif dan mengetahui perubahan perilaku ibu terhadap anak autistik setelah diberikan konseling secara kolaboratif antara konselor dan terapis. Untuk mengetahui perubahan perilaku ibu terhadap anak autistik tentu sangat berkaitan dengan perkembangan anak autistik. Oleh karena itu tujuan penelitian ini juga untuk mengetahui perkembangan anak autistik setelah ibu diberikan konseling.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut: 1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan ibu sebagai pijakan dalam menghadapi perilaku anaknya yang didiagnosis sebagai anak autistik. Hasil penelitian ini juga diharapkan memperkaya khasanah keilmuan bimbingan dan konseling serta menjadi salah satu rujukan ilmiah dalam rangka pengembangan konsep layanan konseling keluarga dan konseling di sekolah khusus.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat membantu orang tua dan ibu khususnya dalam menangani anaknya yang didiagnosis sebagai anak autistik. Hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai panduan para konselor anak berkebutuhan khusus (anak autistik) dalam memberikan konseling keluarga (ibu).


(20)

E. Sistematika Penulisan

Penulisan disertasi ini terdiri dari lima bab. Bab I adalah pendahuluan yang berisikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta penjelasan istilah dan terakhir sistematika penulisan.

Bab II adalah tentang kajian teori yang berkaitan dengan anak autistik dan konseling bagi ibu yang memiliki anak autistik melalui pendekatan kolaboratif. Isi dari bagian ini meliputi pengertian anak autistik dan ciri-cirinya, autsitik dan keluarga meliputi dampak kehadiran anak autistik, peran keluarga, permasalahan orang tua, intervensi dini, berbagai metode penanganan anak autistik, konseling kolaboratif, peran dan fungsi bimbingan konseling dan terakhir tentang hasil penelitian yang relevan.

Baba III membahas tentang metodologi penelitian yang berisikan penjelasan meliputi pendekatan dan metode yang digunakan, subyek penelitian, instrumen penelitian, pengumpulan dan analisis data serta prosedur penelitian.

Bab IV memaparkan hasil penelitian dan pembahasan. Hasil penelitian memaparkan tentang hasil pengembangan model konseling kolaboratif, perilaku ibu terhadap anak autistik sebelum dan sesudah diberikan konseling dan perkembangan anak autistik sebelum dan sesudah ibu dari anak autistik diberikan konseling melalui pendekatan kolaboratif. Adapun pembahasan hasil penelitian meliputi permasalahan yang dihadapi ibu yang memiliki anak autistik, pentingnya konseling bagi ibu yang memiliki anak autistik melalui pendekatan kolaboratif yang meliputi analisis kebutuhan dan manfaat konseling, keunggulan konseling, kelemahan konseling dan implikasi konseling melalui pendekatan kolaboratif dalam setting pendidikan anak


(21)

berkebutuhan khusus serta keterbatasan penelitian. Sedangkan Bab V adalah kesimpulan dan rekomendasi.


(22)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui langkah-langkah penelitian yakni pertama menyusun model konseling kolaboratif bagi ibu yang memiliki anak autistik dan ke dua mengujicobakan temuan model konseling tersebut untuk mengetahui perubahan perilaku ibu terhadap anak autistik. Perumusan model konseling kolaboratif dan untuk mengetahui dampak dari penerapan model konseling kolaboratif diperlukan data-data kuantitatif dan kualitatif. Data kualitatif dibutuhkan untuk merumuskan model konseling kolaboraif. Sedang data kuantitatif berupa angka-angka dan prosentase untuk mengetahui perilaku ibu terhadap anak autistik sebelum dan sesudah diberikan konseling. Sedang data kualitatif dibutuhkan untuk mendiskriptisikan tentang perubahan-perubahan perilaku ibu terhadap anak autsitik secara mendalam dan perkembangan anak autistik. Penelitian ini menghasilkan dua data yang berbeda.

Berdasarkan data yang diperoleh, penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kombinasi antara penelitian kualitatif dan kuantitatif. (mixed methods). Oleh karenanya, penelitian ini menggunakan desain penelitian campuran (mixed methods research design) yakni suatu prosedur penelitian untuk mengumpulkan, menganalisis, dan mencampur antara metode penelitian kualitatif dan metode kuantitatif dalam satu kajian untuk memahami sebuah masalah penelitian (Creswell, 2008).


(23)

Penelitian ini menggunakan exploratory mixed methods design. Pada tahap pertama dilakukan pengumpulan data kuantitatif dan kedua mengumpulkan data kualitatif untuk membantu menjelaskan dari data kuantitatif. Ulin yang dikutip oleh Abbas Tashakkori dan Charles Teddlie (2010; hal. 72) menggambarkan siklus dalam desain ini bahwa pengambilan data kualitatif secara mendalam dimaksudkan untuk menerangkan hasil dari data kuantitatif. Penekanan data kualitatif dianggap sangat penting guna memberikan gambaran perubahan-perubahan yang terjadi pada ibu dari anak autistik setelah diberikan konseling. Desain ini dapat dilihat dalam gambar di bawah ini.

Gambar 3.1. Skema Exploratory Mixed Methods Designs

Keterangan :

 Tanda panah menunjukkan urutan pengumpulan data. Pengumpulan data kuantitatif dilakukan setelah kualitatif.

 Huruf kapital berarti data yang diprioritaskan adalah data qualitatif daripada data quantitatif.

B. Metode Penelitian

Sesuai dengan hakekat masalah dan tujuan penelitian, metode dalam penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan (research and development). Metode penelitian dan pengembangan digunakan untuk menghasilkan produk tertentu dan menguji keefektifan produk tersebut. (Sugiyono, 2010). Borg dan Gall (1979) mengemukakan bahwa

QUAL Data dan Hasil

quan Data dan Hasil Building


(24)

penelitian dan pengembangan sebagai proses yang digunakan untuk mengembangkan dan memvalidasi produk. Metode penelitian dan pengembangan menghasilkan penemuan prosedur dan produk baru melalui langkah-langkah dengan metode penelitian aplikasi pada uji lapangan, evaluasi dan melakukan penyempurnaan prosedur dan produk tersebut dengan kreteria spesifik keefektifan produk, kualitas atau standart-standart yang diharapkan.

Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan model konseling kolaboratif bagi ibu yang memiliki anak autistik dan untuk mengetahui perubahan perilaku ibu terhadap anak autistik setelah diberikan konseling. Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut digunakan motode penelitian dan pengembangan. Melalui metode penelitian dan pengembangan diharapkan memperoleh model konseling kolaboratif yang dapat mengubah perilaku ibu yang memiliki anak autistik menjadi lebih baik guna meningkatkan perkembangan anak autistik secara maksimal. Perubahan perilaku ibu dalam penelitian ini meliputi aspek emosi/perasaan ibu terhadap kehadiran anak autisti, partisipasi ibu dalam membantu anak autistik dan perlakuan ibu secara fisik terhadap anak autistik. Sedang perkembangan anak autistik dilihat pada aspek perkembangan kognitif, komunikasi dan bahasa serta perilaku anak autistik berkaitan dengan perubahan perilaku ibu setelah diberikan konseling.

Secara konseptual, langkah-langkah penelitian ini sebagai berikut: (1) tahap persiapan, (2) perancangan model hipotetik, (3) uji kelayakan model hipotetik, (4) perbaikan model hipotetik, (5) penerapan model hipotetik, dan (6) perancangan model akhir konseling kolaboratif bagi ibu yang memiliki anak autistik. Langkah-langkah


(25)

penelitian ini secara operasional dirangkum dalam dua tahap. Pertama, merumuskan model konseling kolaboratif dan kedua, melakukan uji coba model.

C. Prosedur Penelitian

Berdasarkan paparan di atas, penelitian ini dilakukan melalui dua tahap. Tahap I adalah tahap perumusan model konseling dan Tahap II adalah uji coba model.

1. Penelitian Tahap I

Rumusan model dibuat berdasarkan pengalaman peneliti sebagai terapis dan konsultan program selama ± 14 tahun di beberapa pusat terapi anak autistik di Medan, Jambi, Banten, Solo, Bandung, Bekasi dan Jakarta. Pengalaman inilah yang digunakan sebagai pijakan dan gagasan dasar dalam merumuskan model konseling. Tetapi pengalaman peneliti ini tidak cukup dan masih membutuhkan referensi dalam bidang bimbingan dan konseling guna membuat rumusan model konseling kolaboratif awal yang representatif. Kajian literatur diperoleh selama menempuh studi dan secara spesifik peneliti mengkaji beberapa buku yang berkaitan dengan penelitian ini seperti karya Nelly, tahun 1982. Counseling and Guidance Practice With Special Education Student, Thomson, et al tahun 2004 tentang Counseling Children dan John Schmidt tahun 2003 tentang Counseling in Schools, Essential Service and Comprehensive Programs. Selain itu juga menelaah hasil-hasil penelitian.

Selanjutnya, setelah rumusan model konseling kolaboratif dibuat, peneliti melakukan diskusi dengan beberapa teman sejawat. Teman sejawat yang dimaksud adalah individu yang bekerja dalam bidang penanganan anak autistik dan atau praktisi


(26)

dan perbaikan guna kesempurnaan model konseling melalui pendekatan kolaboratif. Diskusi dilakukan oleh peneliti dengan 1 orang praktisi dari bidang Pendidikan Kebutuhan Khusus (PKK) dan 1 orang dari bidang bimbingan dan konseling yakni konselor sekaligus sebagai dosen. Pemilihan latar belakang sebagai praktisi dan akademisi dilakukan guna memperoleh gambaran konseling dalam perspektif bimbingan konseling berkaitan dengan pendidikan anak berkebutuhan khusus. Penggabungan dua perspektif yang berbeda tersebut diharapkan dapat membantu peneliti dalam membuat konstruk dan isi konseling melalui pendekatan kolaboratif menjadi semakin sempurna.

Kegiatan diskusi dilakukan antara peneliti dan teman sejawat selama 2 kali pertemuan untuk setiap orang. Teknik diskusi dilakukan dengan cara pertama peneliti menjelaskan tentang konsep konseling kolaboratif bagi ibu yang memiliki anak autistik kepada setiap teman sejawat. Pada tahap ini, peneliti memberikan rumusan model konseling kolaboratif kepada mereka untuk dibaca dan selanjutnya memberikan tanggapan tentang rumusan model konseling kolaboratif tersebut pada pertemuan kedua. Materi yang didiskusikan berkaitan dengan latar belakang munculnya model kenseling kolaboratif, tujuan, isi, asumsi, kompetensi konselor, struktur dan tahapan dalam proses konseling. Setelah kegiatan diskusi dengan teman sejawat dilakukan, peneliti mendapatkan berbagai masukan berkaitan dengan model konseling kolaboratif. Pada akhirnya peneliti melakukan perbaikan yang dibutuhkan dan merumuskan kembali model konseling kolaboratif bagi ibu yang memiliki anak autistik.

Selanjutnya, peneliti memberikan hasil rumusan model konseling kolaboratif di atas kepada tiga ahli dalam bidang bimbingan dan konseling untuk dilakukan validasi.


(27)

Ahli yang dimaksud dalam penelitian ini adalah individu yang memiliki kapasitas pengetahuan, pengalaman dan jenjang pendidikan yang tinggi yakni minimal doktor (S3). Para ahli tersebut adalah seorang profesor bidang bimbingan dan konseling, seorang doktor dan praktisi konseling klinis, dan terakhir seorang doktor bimbingan dan konseling yang sekaligus memiliki latar belakang pendidikan berkebutuhan khusus. Pemilihan tiga ahli yang bervariasi dalam pengetahuan, pengalaman dan latar belakang pendidikan tersebut bertujuan untuk mendapatkan informasi yang lengkap demi kesempurnaan temuan model konseling melalui pendekatan kolaboratif bagi ibu yang memiliki anak autistik. Berikut daftar ahli yang memvalidasi model konseling kolaboratif bagi ibu yang memiliki anak autistik.

Tabel 3.1. Daftar Ahli yang Memvalidasi Model Konseling Kolaboratif Bagi Ibu yang Memiliki Anak Autistik

Tahap Penelitian Ahli yang Memvalidasi Model Penelitian

Validasi Model

Prof. Dr. Juntika MPd. Beliau adalah Guru Besar yang meraih doktor Bimbingan dan Konseling, dan bekerja sebagai dosen pada Program Bimbingan dan Konseling Universitas Pendidikan Indonsesia.

Dr. Zaenal Alimin, MEd. Beliau adalah doktor Bimbingan dan Konseling yang saat ini menjabat sebagai Ketua Program Pendidikan Kebutuhan Khusus Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Beliau adalah ahli dalam bidang pengambangan anak Tunagrahita dan Autistik.

Felix Lengkong, PhD. Bilau memiliki pendidikan terakhir sebagai Clinical Counseling Psychology. Beliau juga sebagai dosen pada Program Bimbingan dan Konseling Universitas Atma Jaya Jakarta. Beliau juga menjabat sebagai kepala UPT Penerbit Atma Jaya.


(28)

Validasi model konseling kolaboratif dititikberatkan pada konstruk dan isi sehingga kelayakan isi dan operasionalisasi model dapat dipertanggungjawabkan. Hasil validasi ditindaklanjuti oleh peneliti dengan melakukan revisi model sesuai masukan dari para ahli sehingga model konseling menjadi lebih representatif. Berikut di bawah ini adalah skema langkah-langkah penelitian tahap I.

Gambar 3.2. Skema Langkah-Langkah Penelitian Tahap I 2. Penelitian Tahap II: Uji Coba Model

Setelah model konseling kolaboratif hasil validasi dari para ahli dan revisi

dilakukan, peneliti selanjutnya melakukan uji coba model untuk mendapatkan gambaran perubahan perilaku ibu terhadap anak autistik dari sebelum diberikan konseling dan sesudah diberikan konseling. Ujicoba model dilakukan melalui metode penelitian eksperimen dengan pretest posttest design. Rancangan pretest posttest design digambarkan sebagai berikut.

Validasi Ahli Validasi Teman

Sejawat

Ide Model konseling

bagi ibu yang memiliki anak

autistik

Model hipotetik konseling kolaboratif bagi ibu yang memiliki

anak autistik Pengalaman

dan Kajian Literatur


(29)

Gambar 3.3. Rancangan Ekperimen Pretest Posttest Design pada Penelitian Tahap II

Skema eksperimen di atas dapat dijelaskan bahwa langkah pertama subyek penelitian yakni ibu dari anak autistik diberikan cecklist untuk mendapatkan informasi/data tentang perilaku ibu terhadap anak autistik yang bersifat kuantitatif. Dari data kuantitatif inilah perilaku ibu terhadap anak autistik dieksplorasi secara mendalam. Melalui wawancara mendalam diharapkan peneliti mendapatkan gambaran perilaku ibu terhadap anak autistik secara komprehensif. Setelah mendapatkan gambaran tentang perilaku ibu dari anak autistik, selanjutkan diberikan treatment dengan pemberian konseling. Pada tahap akhir, setelah ibu dari anak autistik diberikan konseling, ibu diberikan checklist yang sama dengan checklist sebelum diberikan konseling. Dua data perilaku ibu sebelum dan sesudah diberikan konseling berwujud data angka-angka sederhana dibandingkan untuk melihat perbedaanya. Sedang untuk mendapatkan informasi tentang perubahan perilaku ibu terhadap anak autistik secara menyeluruh, peneliti mengekplorasi data kuantatitif melalui wawancara mendalam setelah diberikan konseling. Dua data yang diambil sebelum dan sesudah konseling kolaboratif inilah yang dianalisis untuk mengetahui gambaran perubahan perilaku ibu terhadap anak autistik. Lebih lanjut teknik pengambilan data dijelaskan pada poin E.

Treatment Posttest

Pretest

Kondisi Sebelum diberikan Konseling

Pemberian Konseling Kolaboratif

Kondisi Setelah diberikan Konseling


(30)

Secara keseluruhan, untuk mempermudah melihat alur kerja penelitian/prosedur penelitian, maka dapat dilihat pada bagan di bawah ini.

Gambar 3.4. Prosedur Penelitian

PROSES HASIL

TAHAPAN STUDI PENDAHULUAN PENGEMBANGAN DAN VALIDASI UJI LAPANGAN OPERASIONAL DESIMINASI & DISTRIBUSI MODEL HIPOTETIK MODEL OPERASIONAL MODEL HIPOTETIK GAMBARAN PERILAKU IBU PUBLIKASI HASIL PENELITIAN - Kaji literature

- Analisis kebutuhan

- Rencana dan

- Validasi ahli

- Revisi pengembangan

model

- Pemberian konseling

- Revisi pengembangan

model

- Artikel /jurnal ilmiah

- Buku teks

- Seminar/lokakarya


(31)

D. Penelitian Tahap I : Penemuan Model 1. Lokasi dan Informan Penelitian

Lokasi penelitian pada tahap ini dilakukan sesuai dengan tempat dimana informan bekerja. Adapun informan 1 (terapis) bekerja di Pusat Terapi KRN Jakarta Barat, informan ke 2 bekerja di Universitas Atmajaya Jakarta (dosen, S.Kon) dan informan ke 3 bekerja di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Program Bimbingan dan Konseling. Berikut diskripsi informan untuk perumusan model konseling bagi ibu yang memiliki anak autistik.

Tabel 3.2. Tabel Daftar Informan dalam Penelitian Tahap I

Tahap Penelitian

Diskripsi Informan

Pengembangan Model Awal

Parjono SPd. Beliau adalah lulusan program pendidikan berkebutuhan khusus Universitas Sebelas Maret Surakarta. Saat ini beliau adalah konsultan bagi ibu dari anak autistik dan penanggungjawab program penanganan anak autistik di lembaga terapi anak autistik, Jakarta Barat. Beliau berpengalaman lebih dari 15 tahun.

Lisa, SPd, S.Kons. Beliau adalah dosen pada Program Bimbingan dan Konseling FKIP Universitas Atma Jaya Jakarta dan sebagai Konselor sekolah.

Dr. Ilfiandra, MPd. Beliau adalah dosen di Program Bimbingan dan Konseling Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

2. Teknik dan Instrumen Penelitian

Teknik penelitian pada Tahap I ini menggunakan teknik diskusi dalam studi delpi. Yang dimaksud dalam teknik diskusi dalam studi delpi ini adalah proses komunikasi yang bersifat interaktif antara peneliti dan ahli di lapangan dengan tujuan


(32)

gagasan. Dalam penelitian ini peneliti melakukan diskusi dengan tiga praktisi dalam bidang konseling dan layanan pendidikan kebutuhan khusus (autistik) untuk mendapatkan gambaran model konseling kolaboratif bagi ibu yang memiliki anak autistik. Diskusi dengan informan dilakukan secara berulang hingga tujuan diskusi tercapai.

Teknik diskusi dengan informan pada tahap ini dilakukan dengan cara mengirim gagasan model konseling awal yang ditulis oleh peneliti dan disertai format penilaian model yang dapat dinilai secara kuantitatif (angka sederhana) dan kualitatif (diskripsi). Tujuannya adalah agar informan membaca isi model secara menyeluruh dan memudahkan memberikan penilaian melalui format penilaian yang telah disediakan. Selanjutnya, berdasarkan hasil penilaian tersebut, peneliti melakukan klarifikasi terhadap masukan-masukan yang diberikan oleh informan.

Dengan pedoman penilaian ahli tentang model konseling kolaboratif ini diperoleh data tentang tingkat ketepatan/tingkat kemudahan dipahami isi konseling dan disertai dengan catatan kualitatif. Dengan pedomana ini, para ahli dapat menentukan tingkat kelayakan struktur dan isi model melalui lima alternatif jawaban yang bertingkat yaitu 5: Sangat tepat/sangat dipahami, 4: Tepat /dipahami, 3: Cukup tepat/cukup dipahami, 2: Kurang tepat dan 1: Sangat tidak tepat/dipahami. Sedang data deskriptif merupakan penjelasan dari setiap nomor sebagai masukan ahli yang digunakan oleh peneliti untuk melakukan perbaikan model konseling kolaboratif bagi ibu yang memiliki anak autistik. (Format penilaian terlampir). Berikut kisi-kisi pedoman penilaian model konseling kolaboratif bagi ibu yang memiliki anak autistik.


(33)

Tabel. 3.3. Kisi-Kisi Pedoman Penilaian Ahli Tentang Model Konseling Kolaboratif Bagi Ibu yang Memiliki Anak Autistik.

No Aspek Subaspek

1. Struktur dan Isi Model Konseling Kolaboratif Bagi Ibu yang Memiliki Anak Autistik

A. Rasional B. Tujuan C. Sasaran

D. Asumsi Model

E. Komponen Konseling F. Tahapan Konseling, G. Kompetensi Konselor H. Struktur dan Isi Intervensi

I. Evaluasi dan Indikator Keberhasilan 2. Suplemen Model Konseling

Kolaboratif Bagi Ibu yang Memiliki Anak Autistik

 Sesi Konseling

 Judul Setiap Sesi

 Tujuan Setiap Sesi

 Teknik

 Waktu yang Dibutuhkan

 Aktivitas Konseling

 Evaluasi

3. Teknik Analisis Data

Data dalam penelitian ini diperoleh dari beberapa sumber informan dan menggunakan beberapa teknik pengambilan data sehingga menghasilkan data yang bervariasi. Pada penelitian Tahap I ini, data yang diperoleh berupa data kualitatif meskipun ada beberapa data kuantitatif yang berwujud angka-angka sederhana. (Sugiyono, 2009, hal: 88). Untuk data yang berwujud angka, sebagimana pedoman peniliannya bahwa angka yang paling besar (5) menunjukkan nilai


(34)

yang sangat tepat/dipahami dan semakin kecil nilainya (1) maka menunjukkan nilai yang sangat tidak tepat/sukar dipahami. Berdasarkan nilai itulah peneliti menganalisis item dalam model konseling kolaboratif ini. Fokus analisisnya ditujukan pada item yang memperoleh nilai kecil, antara 1-3. Selain itu, peneliti juga menganalisis data kualitatif berupa catatan diskriptif yang dicantumkan disamping data kuantitati. Berdasarkan dua hal tersebut maka peneliti melakukan klarifikasi guna memperbaiki rumusan model konseling kolaboratif yang semakin baik dan tepat.

E. Penelitian Tahap II

1. Lokasi dan Informan Penelitian

Lokasi penelitian pada tahap ini dilakukan di tiga pusat terapi yakni dua pusat terapi di Jakarta dan satu pusat terapi di Tangerang Banten. Pemilihan tempat penelitian dilakukan berdasarkan alasan bahwa tempat penelitian tidak jauh dari tempat tinggal peneliti dan adanya hubungan kerja yang cukup baik sehingga memudahkan peneliti untuk melakukan kegiatan penelitian.

Informan utama dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak autistik usia dini. Pemilihan informan ibu yang memiliki anak autistik usia dini dilakukan berdasarkan alasan bahwa ibu yang memiliki anak autistik usia dini merupakan kondisi yang sangat strategis untuk mendapatkan bantuan yang tepat. Pada masa inilah ibu dihadapkan dengan berbagai permasalahan berkaitan dengan kehadiran anak autistik di tengah-tengah keluarga. Sebagai informan tambahan adalah terapis dimana terapis dianggap mengetahui perilaku ibu saat menghadapi anak autistik. Terapis adalah individu yang membantu menangani anak autistik di pusat terapi. Dua informan tersebut di atas dipilih untuk mendapatkan informasi tentang gambaran


(35)

persoalan yang dihadapi ibu dan perilaku ibu terhadap anak autistik sebelum dan sesudah diberikan konseling. Sedang untuk memperoleh gambaran perkembangan anak autistik dapat diperoleh melalui terapis dan sumber data dokumen.

Adapun rincian informan utama dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 3.4. Tabel Subyek Penelitian Pengembangan Model Konseling Kolaboratif bagi Ibu yang Memiliki Anak Autistik

No Subyek Penelitian Pekerajaan Anak Ke Usia Anak

1. Mama Tst Ibu rumah tangga 1 5 tahun

2. Mama Kr Ibu rumah tangga 1 5,5 tahun

3. Mama Tn Ibu rumah tangga 1 4,5 tahun

4. Mama Dv Ibu rumah tangga 1 5,2 tahun

5. Mama Bn Ibu rumah tangga 2 4,7 tahun

6. Mama Fbr Ibu rumah tangga 2 5,2 tahun

7. Mama Jd Ibu rumah tangga 1 4,5 tahun

8. Mama Ev Ibu rumah tangga 2 5 tahun

9. Mama Rn Ibu rumah tangga 1 5 tahun

10 Mama Ar Ibu rumah tangga 1 2,6 tahun

Pemilihan subyek penelitian dalam dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan alasan (1) ibu dianggap memiliki waktu yang lebih banyak untuk mengurus/menghadapi anak autistik. (2) permasalahan ibu dalam menghadapi anak autistik lebih nyata karena dalam kesehariannya ibu lebih berperan dalam mengasuh


(36)

ibu mengalami masa krisis dalam menghadapi anak autistik. Selain itu, masa anak usia dini merupakan masa yang paling efektif untuk meningkatkan perkembangan anak autistik. (4) ibu yang memiliki anak autistik (anak pertama dan atau kedua) diasumsikan mereka belum memiliki pengalaman dan pengetahuan dalam mengasuh/menghadapi anak, apalagi anak autistik. (5) ibu dari anak autistik yang tidak bekerja (ibu rumah tangga).

Selanjutnya, untuk informan kedua yang dapat memberikan informasi tambahan tentang gambaran perilaku ibu terhadap anak autistik dan perkembangan anak autistik diambil dari terapis dimana anak autistik belajar. Berikut daftar informan kedua dalam penelitian ini.

Tabel 3.5. Tabel Informan Terapis

NO NAMA LULUSAN TEMPAT

BEKERJA

JABATAN

1. BS D3 OT EFT Penanggungjawab program anak

2. NR S1, PLB AL IKH Penanggungjawab program anak

3. RR SI PLB AC Penanggungjawab program anak

2. Teknik dan Instrumen Penelitian

a) Teknik Wawancara Semi Terstruktur

Teknik yang digunakan dalam penelitian tahap kedua ini adalah wawancara semi terstruktur. Yang dimaksud dengan teknik wawancara semi terstruktur adalah pewawancara telah menyiapkan topik dan daftar pertanyaan sebagai pemandu wawancara sebelum aktivitas wawancara dilakukan. Pewawancara terus menelusuri topik yang diharapkan melalui jawaban yang diberikan partisipan. Jadi peneliti tidak


(37)

harus memberikan pertanyaan sesuai daftar pertanyaan yang terdapat pada panduan wawancara. (Sarosa, 2012). Untuk mempermudah peneliti dalam melakukan wawancara maka dilakukan ujicoba wawancara untuk mengetahui tingkat kesulitan dan tingkat pemahaman informan terhadap pertanyaan yang diberikan. (panduan wawancara terlampir)

Teknik wawancara semi terstruktur dilaksanakan dengan menggunakan panduan wawancara. Peneliti sesegera mungkin menulis hasil wawancara dan selanjutnya mengkonfirmasikan hasil wawancara dengan informan sehingga dapat memberikan tambahan dan koreksi. (Kvale, 1996). Di bawah ini adalah tabel kisi-kisi penggunaan teknik wawancara tentang perilaku ibu terhadap anak autistik.

Tabel 3.6. Kisi-Kisi Panduan Wawancara Tentang Perilaku Ibu Terhadap Anak Autistik

No Aspek Ruang Lingkup Instrumen Informan

1. Latar belakang ibu  Pendidikan

 Keluarga

Pedoman Ibu (Ibu)

2. Pemahaman ibu tentang anak autistik

 Pengertian anak

autistik

 Pemahaman tentang perkembangan anak autistik

 Manajemen

penanganan anak autistik


(38)

Selain hal tersebut di atas, untuk mempermudah dan memfokuskan topik dalam melakukan wawancara, peneliti memberikan checklist terlebih dahulu kepada ibu yang memiliki anak autistik dimana checklist berisikan daftar pertanyaan untuk memperoleh gambaran perilaku ibu terhadap anak autistik. Berdasarkan hasil tersebut peneliti mengorganisir topik wawancara berdasarkan berbagai masalah yang dihadapi ibu yang memiliki anak autistik.

Untuk mengungkap perilaku ibu terhadap anak autistik peneliti mengembangkan kisi-kisi berdasarkan kerangka teori tentang perilaku yang menjelaskan bahwa perilaku adalah respon atau reaksi individu terhadap

3. Permasalahan dan

hambatan yang di hadapi ibu terhadap keluarga dan anak autistik

 Dukungan/keterliba tan keluarga lain

 Hubungan ibu

dengan terapis

 Pemahaman cara

menangani anak

autistik

 Informasi tentang anak autistik  Emosional/perasaan

ibu terhadap anak autistik

 Keterlibatan ibu dalam menanga-ni anak autistik.


(39)

stimulus/rangsangan dari luar/lingkungan baik benda maupun kejadian/situasi. Bentuk respon atau reaksi individu dapat berupa kegiatan, tindakan ataupun aktifitas nyata seperti berjalan, makan, memukul, menjewer, menangis, jengkel, bingung, menolong, marah dan sebagainya. Mengacu pendapat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku ibu terhadap anak autistik adalah reaksi atau respon ibu terhadap kehadiran anak autistik dalam keluarga yang berupa perlakuan atau tindakan terhadap anak autistik. Perilaku ibu terhadap anak autistik dibatasi pada tiga perilaku yakni reaksi emosi/perasaan ibu terhadap anak autistik, partisipasi dalam membantu perkembangan anak autistik dan perlakuan secara fisik ibu terhadap anak autistik. Dari tiga hal inilah peneliti mengembangkan instrumen berupa check list untuk mengungkap perilaku ibu terhadap anak autistik dan panduan wawancara. (checklist terlampir).

Adapun kisi-kisi perilaku ibu terhadap anak autistik dipaparkan dalam tabel di bawah ini.

Tabel 3.7. Kisi-Kisi Perilaku Ibu Terhadap Anak Autsitik

Variabel Subvariabel Indikator

Partisipasi/keterlibatan Ibu dalam proses penanganan anak autistik

Keterlibatan Ibu Bermain dengan anak Memberi terapi anak Mengatur kegiatan terapi Mengatur makanan anak Mengisi waktu luang

Pertemuan dengan para terapis Membuat jadwal kegiatan anak Pendampingan anak

Perasaan sedih

Mengeluh terhadap keadaan anak


(40)

Perilaku Ibu terhadap Anak Autistik

Emosi ibu terhadap anak autistik

Seringkali berbicara kasar Penerimaan terhadap anak Perasaan Malu

Persaaan kesal

Mudah marah saat bersama anak

Mudah tertekan/stress

Kecemasan terhadap masa depan anak

Perlakuan fisik terhadap anak autistik

Memukul anak Mencubit anak Mengunci anak

Menakuti anak dengan sesuatu Menjewer/menyentil telinga Menarik tangan anak

b) Observasi

Untuk mendapatkan informasi berkaitan dengan perkembangan anak autistik, peneliti menggunakan teknik observasi partisipan. Teknik observasi partisipan adalah observasi yang dilakukan oleh peneliti dengan melibatkan diri dalam proses terapi. Peneliti berperan sebagai terapis dan atau asisten guna melihat langsung dan mencatat perkembangan anak autistik. Yang dimaksud dengan terapis adalah individu yang memberikan materi kepada anak autistik seperti guru dan siswa. Sedang asisten terapis adalah peneliti berperan membantu kegiatan terapi yang dilakukan oleh terapis anak autistik itu sendiri. Dalam proses observasi ini, peneliti tetap ditemani terapis dimana anak autistik tersebut belajar. Hal ini dilakukan karena anak autistik tidak mudah untuk berganti-ganti terapis dalam waktu yang sangat singkat. (kesulitan beradaptasi dengan orang baru).

Dalam proses observasi ini, peneliti membuat checklist yang berisikan perkembangan anak autistik usia dini dan melakukan pencatatan secara


(41)

diskriptif/kualitatif. Catatan kualitatif sangat berguna untuk menggambarkan keadaan seacara konkrit. Untuk memudahkan informasi perkembangan anak autistik yang dibutuhkan maka dibuatlah kisi-kisi perkembangan anak autistik berdasarkan ciri-ciri anak autistik yakni aspek kognitif, komunikasi dan bahasa serta perilaku/Triad Impairment Wing’s. (Yuwono, 2010). Kemampuan anak juga ditambahkan aspek kognitif pada kemampuan komunikasi dan bahasa. Berikut di bawah ini tabel kisi-kisi perkembangan anak autistik.

Tabel 3.8. Tabel Kisi-Kisi Perkembangan Anak Autistik ASPEK

PERKEMBANGAN

SUB-ASPEK PERKEMBANGAN

INDIKATOR

Perilaku

 Acuh tak acuh.

 Perilaku tak terarah ; mondar-mandir, lari-lari, manjat-manjat, berputar-putar, lompat-lompat dsb.

 Kelekatan terhadap benda tertentu.  Perilaku tak terarah.

Rigid routine. Tantrum.

Obsessive-Compulsive Behavior.

 Terpukau terhadap benda yang berputar atau benda yang bergerak.


(42)

Gangguan Perkembangan Anak

Autistik Interaksi Sosial

 Tidak mau menatap mata.

 Dipanggil tidak menoleh.

 Tak mau bermain dengan teman

sebayanya.

 Asyik/bermain dengan dirinya

sendiri.

 Tidak ada empati dalam lingkungan sosial

Komunikasi dan

bahasa/kognitif

 Terlambat bicara.

 Tak ada usaha untuk berkomunikasi secara non verbal dengan bahasa tubuh.

 Meracau dengan bahasa yang tak dapat dipahami.

Membeo (echolalia).

 Tak memahami pembicaraan orang lain.

c) Dokumen Perkembangan Anak Autistik

Konseling kolaboratif bagi ibu yang memiliki anak autistik dilakukan dengan tujuan untuk mengubah perilaku ibu yang kurang baik menjadi lebih baik. Dengan perubahan perilaku ibu yang semakin baik diharapkan diikuti dengan perkembangan anak autistik yang semakin baik pula. Perilaku ibu yang baik diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan anak karena setidaknya ibu lebih memahami anak, mengerti cara merespon perilaku anak hingga bagaimana cara menangani dengan baik dan benar. Oleh karena itu, untuk mengungkap level perkembangan anak autistik yang meliputi aspek perkembangan perilaku, interaksi sosial, komunikasi dan bahasa, maka peneliti mengumpulkan dokumen yang berupa laporan perkembangan anak autistik. (dokumen catatan perkembangan anak terlampir).


(43)

3. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh pada penelitian Tahap II ini berupa data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif diperoleh dari hasil pretest dan posttest uji coba model konseling kolaboratif yang diberikan kepada ibu yang memiliki anak autistik. Instrumen tentang perilaku orang tua terhadap anak autistik yang berupa Check list diberikan untuk mengetahui gambaran perilaku ibu sebelum dan sesudah diberikan konseling. (pretest dan posttest). Nilai 1 diberikan jika jawaban ibu dianggap sesuai (ya) dan nilai 0 diberikan jika jawaban ibu tidak sesuai (tidak). Pertanyaan dalam ceck list terdiri dari 38 pertanyaan, 14 pertanyaan pada aspek partisipasi/kepedulian ibu terhadap anak autistik, 14 pertanyaan pada aspek emosi ibu anak autistik, dan 10 pada aspek perlakuan ibu terhadap anak autistik. Total skor semua adalah 38. Semakin tinggi nilai yang diperoleh, maka perilaku ibu menunjukkan perilaku yang sangat bagus/tepat. Oleh karena itu, untuk mempermudahkan penilaian terhadap perubahan perilaku ibu, maka peneliti membuat ukuran yakni nilai 33 - 38 : kategori sangat bagus, nilai 27 -32: kategori bagus, nilai 21 - 26 : kategori cukup bagus, nilai 15 - 20 : kategori rendah, nilai 9 - 14 : kategori sangat rendah dan nilai 0 - 9 : kategori sangat rendah sekali.

Dengan tolak ukur penilaian tersebut di atas, peneliti sangat mudah untuk mengelompokkan subyek berdasarkan nilai yang diperoleh. Dengan hal ini pula dapat dilihat perubahan perilaku ibu sebelum dan sesudah diberikan konseling. Perubahan tersebut dapat dilihat dari peningkatan/perubahan total skor pretest dan posttest.


(44)

Selain hal tersebut, penelitian ini juga melakukan analisis data kuantitatif dengan melekukan penghitungan sederhana yakni prosentase.

Data kualitatif yang ada dalam penelitian Thap II ini dianalisis menggunakan teknik analisis Miles dan Huberman yang dikutip oleh Sugiyono (2009). Miles dan Huberman menyebutnya sebagai teknik analisis interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sehingga data sampai jenuh. Proses analisis data dilakukan dalam tiga tahap yakni reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Berikut skema model interaktif dalam analisis data penelitian ini.

Pengumpulan

data

Pemaparan

data

Reduksi data

Kesimpulan

Kumpulan


(45)

Gambar 3.5. Gambar Skema Analisi Interaktif

1)Reduksi Data

Data yang diperoleh selama di lapangan jumlahnya sangat banyak, kaya, komplek dan sangat rumit. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis data melalui reduksi data. Reduksi data yang dimaksud adalah merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Sebagimana tujuan penelitian ini, maka peneliti memfokuskan data yang dipilih yakni informasi tentang konstruk dan isi model konseling pada tahap satu, permasalahan ibu dalam menghadapi anak autistik dan perilaku ibu kepada anak autistik pada tahap dua.

2)Penyajian data

Penyajian data dalam penelitian ini dilakukan dalam bentuk naratif dan dikelompokkan dalam kategori-kategori sesuai dengan tujuan penelitian. Data yang telah dirangkum dikelompokkan sesuai dengan kebutuhan penelitian. Dengan mengelompokkan data sesuai dengan kategori yang dibutuhkan, peneliti mudah memahami isi data yang disajikan.

Pada penelitian ini dapat dilihat data yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi ibu ketika memiliki anak autistik sejak dini dan


(46)

bagaimana perilaku ibu terhadap anak autistik yang terbagi dalam tiga bagian yakni respon emosi ibu saat memiliki anak autistik, keterlibatan ibu dalam membantu mengembangkan perilaku anak autistik dan perlakuan ibu secara fisik terhadap anak autistik.

3)Penarikan kesimpulan

Penarikan kesimpulan dilakukan berdasarkan data yang ada dan disertai dengan bukti-bukti yang kuat berdasarkan pengumpulan data yang dilakukan selama penelitian. Pengumpulan data yang dilakukan secara bertahap dan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data sangat membantu peneliti dalam membuat kesimpulan. Kesimpulan dalam penelitian ini mengacu pada rumusan masalah penelitian yakni bagaimana model konseling kolaboratif, perubahan perilaku ibu terhadap anak autistik, permasalahan yang dihadapi ibu yang memiliki anak autistik dan perkembangan anak autistik setelah ibu diberikan konseling. Melalui pengumpulan data secara bertahap dan teknik pengumpulan data yang tepat maka dapat ditemukan hubungan yang kausal atau interaktif, hipotesis atau teori. (Sugiyono, 2009: 99).

Alwasilah (2003) dan Sarosa (2012) memberikan langkah-langkah konkrit dalam membuat kesimpulan melalui cara yang disebut dengan induksi analitis (analytic induction). Langkah pertama peneliti mejelaskan fenomena yakni perilaku ibu yang memiliki anak autistik. Kemudian peneliti melihat satu kasus tentang perilaku ibu yang memiliki anak autistik dan dicocokan dengan hipotesis. Kegiatan ini dilakukan secara berulang-ulang dan terus menerus sehingga


(47)

menemukan kecocokan antara penjelasan tentang perilaku ibu terhadap anak autistik dan kejadian.

F. Definisi Operasional

1. Istilah perilaku dalam penelitian ini adalah tanggapan seseorang terhadap lingkungan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2010). Perilaku merupakan tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. (Kamus Besar Indonesia, 2008). Perilaku adalah berbagai tindakan dan tingkah laku yang dibuat oleh organisme, sistem, atau entitas buatan dalam hubungannya dengan lingkungannya, yang meliputi sistem lain atau organisme sekitar serta lingkungan fisik. Perilaku merupakan respon dari sistem atau organisme terhadap berbagai rangsangan atau input, baik intern maupun eksternal, sadar atau bawah sadar, terbuka atau rahasia, dan sukarela atau paksa.

Pada hakikatnya semua tindakan atau aktifitas manusia seperti berjalan, berbicara, tertawa, makan, bekerja, menulis, membaca dan sebagainya disebut sebagai perilaku. (Hodgdon, 1999). Skiner yang dikutip oleh seorang ahli psikologi Notoamodjo (2003) merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespon, maka teori skiner disebut teori “S – O - R”atau Stimulus – Organisme – Respon. (Karolusrefandake, 2011). Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perilaku adalah respon atau reaksi individu terhadap stimulus/rangsangan dari luar/lingkungan


(48)

baik benda maupun kejadian/situasi. Bentuk respon atau reaksi individu dapat berupa kegiatan, tindakan ataupun aktifitas nyata seperti berjalan, makan, memukul, menjewer, menangis, jengkel, bingung, menolong, marah dan sebagainya.

Mengacu pendapat tersebut di atas, yang dimaksud perilaku ibu terhadap anak autistik adalah reaksi atau respon ibu terhadap kehadiran anak autistik dalam keluarga yang berupa perlakuan atau tindakan terhadap anak autistik. Penelitian ini dibatasi pada tiga perilaku yakni reaksi emosi/perasaan ibu terhadap anak autistik, partisipasi dalam membantu perkembangan anak autistik dan perlakuan secara fisik terhadap perilaku anak autistik. Reaksi emosi/perasaan ibu terhadap anak autistik seperti reaksi kesedihan, reaksi yang suka mengeluh terhadap keadaan anak, berbicara kasar, respon penerimaan terhadap anak (penolakan), rasa malu mempunyai anak autistik, reaksi yang mudah kesal, mudah marah, tertekan/stress ketika menghadapi anak autistik dan rasa cemas terhadap masa depan anak. Sedang partisipasi ibu dalam membantu perkembangan anak autistik meliputi keterlibatan ibu dalam menangani anak di rumah, kesediaan ibu untuk bermain dengan anak, memberi terapi anak, mengatur jadwal terapis, mengatur makanan anak, mengisi waktu luang bersama anak, mengadakan pertemuan dengan para terapis, membuat jadwal kegiatan anak dan melakukan pendampingan anak selama proses terapi. Selanjutnya untuk perlakuan secara fisik terhadap perilaku anak autistik yang dirubah seperti perilaku ibu dengan cara memukul kepala, mencubit tubuh, mengunci anak dalam ruangan, menakuti anak


(49)

dengan benda tertentu, menjewer/menyentil telinga dan memaksa anak dengan menarik tangan anak (menyeret) untuk melakukan tugas/kegiatan tertentu. 2. Istilah konseling kolaboratif dalam penelitian ini mengacu kepada konseling

kolaboratif yang dikemukakan oleh Bertolino & O’Hanlon dalam Juntika Nurihsan (1998) yaitu konseling kolaboratif merupakan salah satu pendekatan konseling yang menekankan upaya konselor membantu konseli melalui proses kerjasama (berkolaborasi) dengan konseli dan pihak lain seperti dokter, guru, terapis dan sebagainya. Dengan konseling kolaboratif ini diharapkan konseli dapat mengembangkan dirinya sebaik mungkin, mengetahui masalah dan konflik yang sedang dihadapinya sehingga dapat menyelesaikan masalahnya secara tepat. Dalam penelitian ini kolaboratif dilakukan antara ibu sebagai konseli dan konselor serta dengan para ahli yaitu ahli terapi wicara, ahli terapi okupasi dan ahli terapi perilaku (Ortopedagog atau Psikolog). Sedang langkah-langkah konseling kolaboratif dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan pendapat Myrick yang dikutip Neely (1982). Myrick mendiskripsikan proses konseling yang berisikan tujuh tahapan. (1) Identifikasi masalah. (2) Memperjelas situasi konseli. (3) Mengidentifikasi kebutuhan konseli (4) Mencatat perilaku konseli yang relevan. (5) Mengembangkan rencana bersama. (6) Rencana awal. (7) Menidaklanjuti hasil.


(50)

(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Secara umum, temuan model konseling kolaboratif bagi ibu yang memiliki anak autistik bertujuan untuk mengubah perilaku ibu terhadap anak autistik yang kurang tepat dan menjadi lebih tepat. Model konseling kolaboratif ini dikembangkan di tiga pusat terapi yang terdiri atas: rasional, tujuan, asumsi, komponen, tahapan konseling, kompetensi konselor, struktur dan isi, dan evaluasi serta indikator keberhasilan. Model konseling kolaboratif disertai dengan suplemen prosedur tahapan konseling.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka peneliti menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : Pertama, Model konseling kolaboratif terdiri atas komponen: rasional, tujuan, asumsi, komponen, tahapan konseling, kompetensi konselor, peran konselor dan ahli, struktur dan isi, dan evaluasi serta indikator keberhasilan. Kedua, Model konseling kolaboratif dapat mengubah perilaku ibu terhadap anak autistik. Sebelum diberikan konseling terdapat 2 (20%) ibu dalam kategori nilai perilaku rendah dan 8 (80%) ibu dalam kategori sangat rendah. Setelah diberikan konseling, terdapat 4 (40%) ibu memiliki perilaku terhadap anak autistik dalam kategori cukup bagus dan 6 (60%) ibu dalam kategori bagus. Ketiga, konseling kolaboratif dapat mengubah sebagian besar reaksi emosi/perasaan ibu (di atas 50%) terhadap anak autistik seperti ibu sudah tidak mudah mengeluh, tidak menunjukkan rasa malu, menerima anak autistik apa adanya, tidak mudah kesal, tidak menyesal memiliki anak autistik dan tidak mudah stress menghadapi anak autistik. Tetapi


(2)

kesedihan yang mendalam, merasa terbebani memiliki anak autistik dan pesimis terhadap masa depan anak. Keempat, Konseling kolaboratif dapat meningkatkan parisipasi ibu dalam membantu meningkatkan perkembangan anak autistik seperti mengatur kegiatan anak, melanjutkan program terapi di rumah, membuat pertemuan dengan terapis, membuat dan mengevaluasi program anak, dan mengawasi kegiatan terapi anak. Tetapi ibu tidak menunjukkan pertisipasi dalam kegiatan bermain bersama anak dengan tujuan teraputik. Kelima, Konseling kolaboratif dapat mengubah perilaku ibu secara fisik terhadap anak autistik seperti menjewer telinga, menyentil telinga, mencubit anak, menghukum anak dengan mengunci anak dalam kamar, memaksa anak dengan menarik tangan, dan mendorong kepala anak. Tetapi konseling kolaboratif kurang maksimal dalam mengubah perlakuan ibu terhadap anak autistik seperti memukul, mengancam dengan batang sapu/kayu dan kemoceng serta mengancam anak dengan benda yang membuat anak takut seperti boneka, mainan berbulu, bunyi, binatang tertantu atau makanan. Hal tersebut masih dipandang oleh ibu sebagai cara yang efektif untuk mengendalikan perilaku anak seperti anak menjadi menurut, anak bersedia mengerjakan tugas, takut terhadap ibu, dan memudahkan ibu untuk mengajarkan sesuatu. Keenam, Sebagian besar ibu dari anak autistik menunjukkan adanya perubahan perilaku dimana perubahan perilaku tersebut diikuti dengan meningkatnya perkembangan anak autistik. Beberapa perkembangan anak yang positif seperti anak mulai dapat meniru, memahami bahasa, mulai dapat mengekspresikan keinginan, memahami perintah sederhana, dapat memproduksi suara/berbicara, mau berteman, perilaku yang kooperatif dan menurut. Selain perilaku ibu terhadap anak autistik yang positif diduga perkembangan anak autistik yang maksimal didukung dengan keikutsertaan anak dalam bersekolah (play group),


(3)

intensitas dan kosistensi penanganan baik di tempat terapi dan di rumah, kualitas terapis, dan keadaan anak itu sendiri.

B. Saran

1. Saran untuk Pengembangan Model Konseling Kolaboratif

Sebagaimana ciri konseling kolaboratif yang menonjol adalah adanya kerjasama antara konselor, ahli dan ibu (konseli) dalam menyelesaikan masalah ibu yang memiliki anak autistik. Kolaborasi antara konselor, ahli dan ibu menjadi prasyarat utama dalam model konseling kolaboratif ini. Kolaborasi memiliki derajad dan keterlibatan yang pantas, tidak ada yang paling penting, tetapi setiap ahli bertanggungjawab sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing. Konselor berperan membantu konseli dan bekerjasama dengan ahli serta ibu. Dengan menyadari hal tersebut maka tujuan konseling dapat dicapai secara optimal.

Berkenaan dengan hal tersebut, penting sekali menempatkan para ahli sebagai mitra yang sejajar tanpa menganggap satu ahli dengan ahli lainnya memiliki perbedaan peran kecuali bidang ahli yang dikuasai. Namun demikian, hal yang semestinya diperhatikan adalah kualitas dan pemahaman serta wawasan ahli tentang penanganan anak autistik dan prsoalan yang dihadapi oleh ibu. Prasyaratan ini sangat penting guna tercapainya proses dan hasil konseling kolaboratif yang efektif bagi perubahan perilaku ibu terhadap anak autistik. Bila diperlukan, konselor dapat memberikan gambaran peran dan tugas ahli melalui pembekalan atau pelatihan sebelum para ahli terlibat dalam konseling kolaboratif


(4)

2. Saran untuk Penerapan Model Konseling Kolaboratif

Perhatian terhadap masalah anak autistik masih sangat jauh dari yang diharapkan. Dari sisi penyelenggaraan pendidikan bagi anak autistik sudah difasilitasi dengan adanya pendidikan luar biasa dimana sekolah formal tersebut selayaknya ada tenaga bimbingan dan konseling yang terlatih. Namun faktanya belum maksimal.

Kemunculan gejala anak autistik terlihat sebelum usia 3 tahun. Anak-anak tersebut belum menginjak bangku persekolahan sehingga membutuhkan penanganan sejak dini. Sebagian besar dari mereka ditangani di pusat terapi dan di rumah. Ibu sangat membutuhkan bantuan/bimbingan dan konseling dalam menghadapi anak-anak mereka. Oleh karena itu, penerapan konseling dapat dilakukan melalui hal-hal sebagai berikut :

a. Mengadakan pelatihan-pelatihan terhadap calon konselor. Hingga saat ini tidak banyak ditemukan pusat-pusat terapi yang memberikan layanan konseling kepada ibu yang memiliki masalah dalam menghadapi anak autistik pada usia dini.

b. Dinas Pendidikan dapat bekerja sama dengan Dinas Kesehatan dan Sosial untuk membantu ibu yang memiliki anak autistik melalui program konseling sejak dini. Konseling sejak dini dapat dilakukan melalui program posyandu dan PKK (Program Kesejahteraan Keluargga).

3. Saran untuk Jurusan/Program Bimbingan dan Konseling

Data penelitian menunjukkan bahwa temuan anak autistik seringkali dapat didiagnosis pada usia dini. Teridentifikasinya anak autistik pada usia dini


(5)

memberikan keuntungan tersendiri bagi ibu guna mengambil langkah-langkah/ tindakan yang diperlukan. Pada kondisi ini pertolongan pertama adalah memberikan konseling bagi ibu yang memiliki anak autistik agar ibu lebih siap dalam menghadapi anak autistik, tidak salah dalam mengmabil tindakan dan memperlakukann anak autistik dengan cara-cara yang tepat. Kemampuan dalam memberikan konseling bagi ibu yang memiliki anak autistik selayaknya telah dimiliki oleh para mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling. Berkenaan dengan hal tersebut maka peneliti memberikan saran kepada Program Bimbingan dan Konseling sebagai berikut :

a. Memasukkan kajian yang berkaitan dengan anak berkebutuhan khusus (khususnya kajian anak autistik), dampak kehadiran anak autistik dalam keluarga dan berbagai cara penanganan anak autistik usia dini. Kajian ini dapat dimasukkan dalam mata kuliah yang relevan seperti mata kuliah Bimbingan Konseling bagi Populasi Khusus, Perkembangan Anak, dan Bimbingan dan Konseling Keluarga.

b. Memberikan tugas-tugas kunjungan ke pusat-pusat terapi anak autistik pada mata kuliah yang relevan seperti pada mata kuliah yang disebutkan pada bagian a dan menjalin kerjasama dengan pusat terapi serta Program Pendidikan Kebutuhan Khusus.

4. Saran untuk Penelitian Mendatang

Penelitian ini masih memiliki keterbatasan baik secara konseptual maupun secara metodologis. Berdasarkan keterbatasan penelitian ini, maka peneliti lain


(6)

a. Melakukan penelitian dengan tema yang sama dan menggunakan jumlah sempel yang cukup besar (30-50 subyek), serta menggunakan rancangan eksperimen (kelompok eksperimen dan kelompok kontrol) untuk menguji efektivitas model konseling bagi ibu yang memiliki anak autsitik melalui pendekatan kolaboratif.

b. Peneliti menyarankan untuk peneliti lain melakukan penelitian yang sama dan menguji hubungan perubahan perilaku ibu yang memiliki anak autistik terhadap perkembangan perilaku, interaksi sosial dan komunikasi bahasa anak autistik.