Studi Kasus Mengenai Self-Compassion pada Ibu yang Memiliki Anak Autistik di SLB Bandung.

(1)

viii

Abstrak

Penelitian ini berjudul Studi Kasus Mengenai Self-Compassion pada Ibu yang Memiliki Anak Autistik di SLB “X” Bandung. Gangguan perkembangan autisme merupakan gangguan perkembangan kompleks yang menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Bagi ibu yang memiliki anak autistik proses penerimaan keadaan anak bukanlah proses yang mudah. Agar ibu yang memiliki anak autistik dapat memiliki fungsi diri yang optimal, terutama dalam mengasuh dan membesarkan anak autistik dengan baik maka diperlukanlah kemampuan menerima diri, memberi pemahaman terhadap diri, tidak terhanyut dalam perasaan menderita sendirian, dan keterbukaan untuk melihat keadaan secara objektif. Dalam ilmu psikologi, sikap tersebut dikenal dengan istilah self-compassion. Menurut Neff (2003) self-compassion dapat dilihat dari ketiga komponen penyusunnya, yaitu: kindness, common humanity, dan mindfulness. Ketiga komponen dari

self-compassion berkombinasi dan saling berkaitan satu sama lain dalam menciptakan kerangka self-compassionate.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran dinamika ketiga komponen self-compassion pada ibu yang memiliki anak autistik di SLB “X” Bandung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan studi kasus agar melalui penelitian ini dapat diperoleh gambaran yang mendalam mengenai dinamika komponen self-compassion yang ada dalam diri ibu yang memiliki anak autistik di SLB “X” Bandung. Responden dalam penelitian ini berjumlah 2 orang yang ditentukan melalui teknik purposive sampling. Adapun alat ukur yang digunakan adalah wawancara yang dibuat oleh peneliti berdasarkan teori self-compassion dari Kristin Neff (2003), dengan validitas menggunakan evaluasi dari 2 orang experts. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis konten.

Kesimpulan yang diperoleh adalah ibu yang memiliki anak autistik di SLB “X” Bandung yang menjadi responden penelitian kurang memiliki gambaran self-compassion karena keduanya kurang memenuhi ketiga komponen self-compassion. Saran untuk penelitian selanjutnya, diharapkan menambahkan dan meneliti faktor-faktor yang berpengaruh terhadap self-compassion agar hasil penelitian menjadi lebih mendalam. Kata kunci: self-compassion, anak autistik, autisme


(2)

ix

Universitas Kristen Maranatha

Abstract

This study is entitled The Case Study about Self-Compassion of Mothers Who Have Autistic Children in Special School of “X” Bandung. Autism development disorder is a complex development disorder which relates to communication, social interaction, and imagination activities. For mothers who have autistic children, the process of accepting the circumstance is not an easy process. To gain optimally self-function, especially in taking good care of autistic children, the mothers needs an ability to accept themselves, to give understanding to themselves, not be influenced by the feeling of suffer alone, and have an open heart to see things objectively. In psychology science, that behavior is known as compassion. Neff (2003) suggests that compassion is divided by three components: self-kindness, common humanity, and mindfulness. The three components of self-compassion combine and relate one another to create the framework of self-compassionate.

This study is to achieve the dynamic description of the three components of self-compassion of mothers who have autistic children in Special School of ”X” Bandung. The method used in this study is qualitative with case study approach so that this study can get thorough picture of the dynamic of self-compassion components that the mothers have. There are two respondents in this study which are drawn through purposive sampling technique. The measuring tool used is interview made by the researcher based on the theory of self-compassion by Kristin Neff (2003) with validity of using 2 experts’ evaluations. The data analysis technique used is content analysis.

The conclusion is that mothers who have autistic children in Special School of ”X” Bandung who become respondents have less self-compassion because they do not meet the three components of self-compassion. Suggestions for further research are expected to add and examine the factors that affect the self-compassion for the result of research becomes more profound.


(3)

x DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

LEMBAR PERNYATAAN PUBLIKASI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR BAGAN ... xvi

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 15

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian... 16

1.3.1 Maksud Penelitian... 16

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 16

1.4 Kegunaan Penelitian ... 16


(4)

xi

Universitas Kristen Maranatha

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 16

1.5 Kerangka Pemikiran... 17

1.6 Asumsi Penelitian ... 22

BAB II TUNJAUAN PUSTAKA 2.1 Self-Compassion ... 23

2.1.1 Definisi Self-Compassion ... 23

2.1.2 Komponen- Komponen Self-Compassion ... 25

2.1.2.1 Self-Kindness ... 26

2.1.2.2 Common Humanity ... 27

2.1.2.3 Mindfulness ... 28

2.1.3 Korelasi Antar Komponen ... 29

2.1.4 Compassion for Others ... 31

2.1.5 Faktor- Faktor yang Dapat Memengaruhi Self-Compassion ... 32

2.1.5.1 Faktor Internal... 32

2.1.5.1.1 Personality (Kepribadian)... 32

2.1.5.1.2 Jenis Kelamin ... 36

2.1.5.2 Faktor Eksternal ... 37

2.1.5.2.1 The Role of Parents... 37

2.1.5.2.2 The Role of Culture ... 40

2.1.6 Manfaat Self-Compassion ... 41


(5)

xii

2.1.6.2 Opting Out of the Self-Esteem Game ... 43

2.1.6.3 Motivation and Personal Growth ... 43

2.2 Masa Dewasa Awal... 44

2.2.1 Perkembangan fisik masa dewasa awal ... 45

2.2.2 Perkembangan kognitif masa dewasa awal ... 45

2.3 Masa Dewasa Madya ... 46

2.3.1 Perkembangan fisik masa dewasa madya ... 47

2.3.2 Perkembangan kognitif masa dewasa madya ... 47

2.4 Autisme ... 48

2.4.1 Definisi Autisme ... 48

2.4.2 Ciri- Ciri Autisme ... 49

2.4.3 Tingkat Kecerdasan Anak Autis ... 52

2.4.3.1 Low Functioning (IQ rendah) ... 52

2.4.3.2 Medium Functioning (IQ sedang) ... 52

2.4.3.3 High Functioning (IQ tinggi) ... 52

2.4.4 Hal- Hal Pada Orang Tua yang Memiliki Anak Autis ... 52

2.4.4.1 Perasaan, Reaksi Emosi Orang Tua Terhadap Anak Autis ... 52

2.4.4.2 Tekanan Terhadap Sumber Daya ... 53

2.4.4.3 Efek Bagi Kesehatan Fisik ... 54

2.4.4.4 Efek Bagi Pernikahan ... 54


(6)

xiii

Universitas Kristen Maranatha

3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian ... 55

3.2 Bagan Prosedur Penelitian ... 55

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 55

3.3.1 Variabel Penelitian ... 55

3.3.2 Definisi Konseptual ... 56

3.3.3 Definisi Operasional ... 56

3.4 Alat Ukur ... 57

3.4.1 Alat Ukur Self-Compassion ... 57

3.4.1.1 Kisi- Kisi Alat Ukur Self-Compassion ... 57

3.4.2 Data Pribadi ... 59

3.4.3 Validitas Alat Ukur ... 59

3.5 Populasi dan Teknik Pemilihan Responden ... 60

3.5.1 Populasi Sasaran ... 60

3.5.2 Karakteristik Responden ... 60

3.5.3 Teknik Pemilihan Responden ... 60

3.5.4 Jumlah Responden ... 60

3.6 Teknik Pengambilan Data ... 61

3.7 Teknik Analisis Data... 61

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 62


(7)

xiv

4.1.1.1 Identitas Pribadi ... 62

4.1.1.2 Data Pemeriksaan ... 63

4.1.1.3 Status Praesens ... 63

4.1.1.3.1 Status Phychicus ... 63

4.1.1.3.2 Status Psychicus ... 64

4.1.1.4 Observasi Umum ... 64

4.1.1.5 Pembahasan Kasus I (LY) ... 65

4.1.1.5.1 Pembahasan Komponen Self-Kindness vs Self- Judgement...65

4.1.1.5.2 Pembahasan Komponen Common Humanity vs Self- Isolation ... 74

4.1.1.5.3 Pembahasan Komponen Mindfulness vs Over- Identification ... 77

4.1.2 Kasus II ... 82

4.1.2.1 Identitas Pribadi ... 82

4.1.2.2 Data Pemeriksaan ... 83

4.1.2.3 Status Praesens ... 83

4.1.1.3.1 Status Phychicus ... 83

4.1.1.3.2 Status Psychicus ... 84

4.1.2.4 Observasi Umum ... 84

4.1.2.5 Pembahasan Kasus II (DW) ... 85

4.1.2.5.1 Pembahasan Komponen Self-Kindness vs Self- Judgement...85


(8)

xv

Universitas Kristen Maranatha

Isolation ... 91

4.1.2.5.3 Pembahasan Komponen Mindfulness vs Over- Identification ... 95

4.2 Diskusi ... 99

4.2.1 Persamaan ... 99

4.2.2 Perbedaan ... 100

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 102

5.2 Saran ... 102

5.2.1 Saran Teoretis ... 102

5.2.2 Saran Praktis ... 102

DAFTAR PUSTAKA ... 104

DAFTAR RUJUKAN ... 107 LAMPIRAN


(9)

xvi

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Kerangka Pikir ... 22 Bagan 3.1 Bagan Prosedur Penelitian ... 55


(10)

xvii

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kisi-Kisi Alat Ukur Self-Compassion... 57

Tabel 4.1 Keterangan Waktu Pemeriksaan Kasus I ... 63

Tabel 4.2 Keterangan Waktu Pemeriksaan Kasus II ... 83


(11)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Data Pribadi

Lampiran 2 Kerangka Wawancara Lampiran 3 Surat Pernyataan Kesediaan Lampiran 4 Transkrip dan Coding Subjek LY Lampiran 5 Transkrip dan Coding Subjek DW Lampiran 6 Verbatim Wawancara Subjek LY Lampiran 7 Verbatim Wawancara Subjek DW


(12)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Pasangan yang sudah memutuskan untuk membina suatu rumah tangga tentu ingin mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya bersama orang yang disayangi dan dicintai. Hampir setiap pasangan yang menikah ingin melengkapi kebahagiaan mereka dengan kehadiran buah hati sebagai perwujudan cinta kasih yang terjalin diantara pasangan. Bahkan banyak pula pasangan yang dengan sengaja melakukan suatu program agar dikaruniai seorang anak karena kehadiran anak memiliki makna yang sangat besar dan penting bagi mereka. Tentunya dikaruniai anak yang normal dan sehat secara jasmani maupun rohani merupakan dambaan setiap pasangan. Meskipun demikian, ternyata tidak semua pasangan dikaruniai anak yang normal, seperti misalnya anak dengan gangguan perkembangan autisme. Anak dengan gangguan autisme disebut anak autistik. Menurut Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan, Diah Setia, berdasarkan data BPS tahun 2010 terdapat 112.000 anak di Indonesia menyandang autis, pada rentang usia sekitar 5-19 tahun (www.republika.co.id).

Kriteria yang digunakan para dokter dan psikiater untuk mendiagnosis autisme diambil dari Manual Diagnostik dan Statistik untuk Gangguan-gangguan Mental (DSM: Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorders) yang dikeluarkan oleh APA (American Psychiatric Association). DSM melihat autisme sebagai gangguan spektrum, artinya autisme yang dialami individu berbeda-beda meskipun garis batas perbedaannya tidak terlalu jelas namun secara umum autisme merupakan gangguan perkembangan yang melibatkan berbagai perilaku bermasalah termasuk diantaranya masalah berkomunikasi, masalah persepsi, masalah motorik, dan perkembangan sosial (James & Susan, 2013)


(13)

2

Dalam hal interaksi sosial, umumnya sulit bagi anak autistik untuk melakukan kontak mata dengan lawan bicaranya dan juga sulit berbagi pengalaman dengan orang lain oleh karena itu percakapan timbal balik bersama anak autistik cenderung kurang cair dan tidak melibatkan emosi, akibatnya kita kurang dapat membentuk hubungan yang akrab dengan anak autistik. Selain itu, para klinisi juga menduga mereka mengalami ketidakmampuan untuk memahami perasaan dan emosi orang lain karena mereka memiliki kesulitan untuk membaca raut wajah ataupun intonasi suara orang lain.

Dalam hal komunikasi, anak autistik memiliki kesulitan berkomunikasi berkaitan dengan ketidakmampuan memproduksi kata-kata yang bermakna, mereka pun kurang mampu memahami dan menarik konteks pembicaraan yang dikatakan, ditulis, atau yang diekspresikan oleh orang lain secara non-verbal. Anak autis juga kurang memiliki kemampuan untuk menerjemahkan kalimat-kalimat ungkapan atau yang memiliki makna kiasan sehingga ia akan menarik arti kalimat secara konkrit. Persoalan umum lainnya bagi anak autistik adalah ketidakmampuan memertahankan percakapan yang lazim, contohnya melantur kemana-mana dan bergumam tidak jelas. (Sastry & Aguirre, 2014)

Selain kekurangan dalam hal interaksi sosial dan komunikasi, anak autistik juga memiliki keterbatasan dalam hal minat dan perilaku. Anak autistik memiliki minat sangat dalam kepada hal-hal tertentu dan terbatas hanya di hal tersebut, bukannya meluas seperti lazimnya individu lain. Mereka juga cenderung menampilkan perilaku yang dianggap tidak lazim atau tidak biasa, seperti gerakan tubuh berulang dan gerakan fisik yang menarik perhatian seperti bertepuk tangan, melompat, atau berguling-guling. Perilaku-perilaku tersebut biasa disebut dengan istilah stiming. Hal itu mengacu pada aktivitas menenangkan diri (self-calming) maupun memicu diri (self-stimulation) yang dianggap bisa membantu mempertahankan self-arousal yang tepat. Kebanyakan anak autistik juga menerapkan ekholalia, yaitu kecenderungan mengingat atau mengulangi kata, frasa, atau bahkan paragraf


(14)

3

Universitas Kristen Maranatha untuk menstimulasi diri sendiri atau menenangkan diri di saat mengalami kecemasan (Sastry & Aguirre, 2014).

Di samping tiga hal utama yang menjadi ciri-ciri utama anak autistik terdapat pula persoalan lain yang dialami banyak anak autistik, yaitu persoalan indrawi dan gangguan kesehatan. Banyak anak autistik yang memiliki kepekaan berlebih yang dapat membangkitkan pengalaman super kuat yang menenggelamkan, seperti reaksi berlebih terhadap sentuhan (tactile), penglihatan (visual), atau pendengaran (auditory). Anak autistik yang sensitif terhadap sentuhan biasanya menolak untuk disentuh, menolak makanan dengan tekstur tertentu, hanya dapat mengenakan pakaian dengan bahan tertentu, dan terganggu dengan label yang terdapat di pakaiannya (edukasi.kompas.com).

Anak autistik yang sensitif dalam hal penglihatan biasanya akan terganggu dengan rangsang visual tertentu dan menghindari kontak dengan pemandangan tertentu. Gangguan penglihatan pada anak autistik disebabkan oleh kombinasi antara ketajaman penglihatan yang buruk dan ketidakmampuan otak untuk mengolah apa yang dilihat oleh mata. Banyak anak autistik yang mengalami gangguan pergerakan mata yang membuat penglihatannya tidak bisa fokus dan buram sejak lahir (sehatraga.com).

Anak autistik yang sensitif dalam hal pendengaran biasanya akan terganggu dengan rangsang auditori seperti suara-suara bervolume keras atau bunyi-bunyian tertentu. Jika anak autistik mendengar suara yang mengganggu, ia akan cenderung menarik diri dan menutup telinganya (cirianakautis.com).

Dengan adanya kepekaan yang dimiliki anak autistik terhadap hal-hal yang dianggap mengganggu, maka perlu adanya perhatian dan kewaspadaan dari keluarga untuk mengenal kepekaan yang dialami anak autistik. Keluarga juga dapat mengusahakan pemberian terapi yang dapat membantu berkurangnya sensitivitas tersebut.


(15)

4

Selain memiliki kepekaan yang tinggi dalam hal tertentu, anak autis juga seringkali memiliki masalah kesehatan yang berkaitan dengan metabolisme, alergi, masalah pencernaan, atau masalah kesehatan lainnya yang dapat memperburuk gejala autisme. Masalah-masalah tersebut biasanya ditangani dengan menerapkan diet khusus seperti pengaturan makanan dan nutrisi, salah satunya adalah dengan menghilangkan gluten (protein yang terdapat pada tepung terigu, gandum, dan oats) dan casein (protein yang terdapat pada susu dan olahannya). Hal ini dilakukan berdasarkan hipotesa bahwa protein tersebut diserap secara berbeda pada anak autistik dan bereaksi menyerupai reaksi opiat di otak. Diet khusus tersebut dapat membantu anak autistik dalam beberapa hal, seperti buang air besar, tidur, aktivitas dan kemajuan perkembangan anak autis.

Menurut Joko Yuwono, seorang praktisi di bidang autistik, ketika anak didiagnosa menyandang autisme, banyak ibu yang merasa bersalah karena mungkin tidak melindungi bayinya dengan benar selama masa kehamilan. Tak jarang pula munculnya emosi-emosi negatif dari keluarga, seperti malu, kecewa atau marah, namun potensi lahirnya anak autis bukan hanya kekeliruan ibunya. Ada beberapa faktor penyebab gangguan perkembangan autisme yang dialami anak, yaitu faktor genetik, gangguan pada sistem syaraf, ketidakseimbangan kimiawi, dan kemungkinan lain.

Dengan gangguan perkembangan yang dialami anak, maka orang tua pun memiliki tuntutan yang lebih untuk mendampingi kehidupan anak, agar anak lebih mampu untuk mengoptimalkan dirinya di lingkungan. Berbagai cara dapat digunakan untuk membantu anak mengembangkan kemampuannya. Salah satu caranya adalah dengan menyekolahkan mereka di sekolah berkebutuhan khusus. Berdasarkan data Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat tahun 2015 di Bandung terdapat 38 sekolah yang dapat memberikan layanan pendidikan untuk menangani anak autistik, salah satunya adalah SLB “X”.


(16)

5

Universitas Kristen Maranatha SLB “X” memberikan pendidikan bagi anak-anak dengan berbagai kebutuhan khusus, seperti autisme, retardasi mental, down syndrome, dan ADHD. Di SLB “X” saat ini terdapat 12 siswa penyandang autistik. Pengajar di SLB ‘X” berjumlah 6 orang ditambah seorang helper yang bertugas menenangkan anak bila tantrum. SLB “X” merupakan sekolah luar biasa yang berada di bawah suatu yayasan sosial non-profit yang bergerak di bidang pengembangan potensi anak. Yayasan ini berdiri sejak tahun 1984 yang dilandaskan dengan keyakinan bahwa setiap anak ada potensi untuk berkembang. Selain sekolah, di yayasan ini juga terdapat klinik tumbuh kembang yang dikelola oleh tenaga medis. Fokus pelayanannya adalah mendeteksi anak usia dini dengan gangguan perkembangan dan memberikan terapi bagi anak dengan gangguan perkembangan.

SLB “X” bernaung di bawah yayasan yang sudah berdiri cukup lama di Bandung, namun sayangnya baik kegiatan akademik maupun non-akademik fokusnya terbatas untuk perkembangan anak dan belum ada wadah maupun kegiatan yang mampu menunjang kesehatan mental orang tuanya padahal kesehatan mental orang tua dapat menunjang pengasuhan dan tumbuh kembang anak. Alasan itulah yang menjadi ketertarikan bagi peneliti untuk melakukan penelitian di SLB “X” Bandung

Bagi anak penyandang autistik ada sekitar 10 terapi yang paling banyak direkomendasikan oleh dokter dan profesional di bidangnya. Salah satu terapi yang paling banyak diterapkan di Indonesia adalah terapi ABA (Applied Behavioral Analysis). Terapi ini dilakukan dengan memberi positive reinforcement baik berupa hadiah maupun pujian jika anak dapat berperilaku sesuai dengan arahan. Terapi lain yang perlu diterapkan bagi anak autistik adalah terapi wicara. Sebagian besar anak penyandang autisme mempunyai kesulitan dalam bicara dan berbahasa oleh karena itu terapi wicara diperlukan agar kemampuan bicara dan berbahasanya dapat berkembang. Terapi yang berikutnya adalah terapi okupasi yang berguna untuk mengembangkan kemampuan motorik halus, terapi fisik untuk perkembangan


(17)

6

motorik kasar, terapi sosial dan bermain untuk meningkatkan kemampuan anak autistik dalam berinteraksi, terapi perilaku untuk kemampuan penyesuaian diri terhadap berbagai perubahan di lingkungan, terapi perkembangan untuk mengembangkan minat, aspek kekuatan dari diri anak, emosi dan intelektualnya, terapi visual berupa metode pembelajaran menggunakan gambar, dan terapi biomedik untuk mengatasi gangguan metabolisme pada anak autistik (www.autis.info).

Saat anak autistik menjalankan berbagai macam terapi diperlukan dukungan dari berbagai pihak, mulai dari dokter anak, dokter syaraf, psikolog, terapis, dan tentunya orang tua dan keluarga. Dukungan orang tua dalam proses terapi dapat ditunjukan dengan cara yang beragam, mulai dari mengantar ke tempat terapi, melakukan pendampingan secara intensif, melakukan kerja sama dengan terapis saat anak mengikuti terapi, mencari informasi baru untuk menambah wawasan, dan melakukan berbagai evaluasi perkembangan anak.

Menurut Wijayakusuma (2004) terapi yang diberikan kepada setiap anak autistik akan lebih efektif apabila melibatkan peran serta orang tua. Dengan kata lain, orang tua diharapkan tidak hanya memasrahkan perkembangan anak mereka kepada para ahli atau terapis. Baik ayah maupun ibu, keduanya memiliki peran yang sama-sama penting dalam pendampingan anak autistik meskipun dengan bentuk dan cara yang berbeda.

Biasanya para ibu lebih sering terlihat dalam mendampingi keseharian anak autistik dibandingkan ayah. Kehadiran dan keterlibatan ibu untuk mendampingi anak sangat berarti bagi kemajuan kemampuan anak meskipun terapi membutuhkan waktu yang lama, dengan biaya yang cukup besar, dan hasilnya pun tidak langsung terlihat. Selain mendampingi anaknya menjalankan terapi, banyak pula ibu yang belajar agar dapat memberikan terapi sendiri di rumah. Meskipun hal tersebut bukan hal yang mudah karena mereka tidak mengikuti pendidikan terapi secara khusus, tetapi demi kemajuan anaknya para ibu tetap mengusahakannya.


(18)

7

Universitas Kristen Maranatha Suatu penelitian menyebutkan bahwa para ibu lebih banyak menghabiskan waktu dengan anak-anak mereka dibandingkan ayah dan karena itu ibu mengalami stress yang lebih tinggi daripada ayah (Dyson, 1997). Sebuah riset di Swedia tentang efek-efek kesehatan bagi orang tua yang memiliki putra-putri autistik menemukan dampak kesehatan yang signifikan bagi ibu, khususnya jika anaknya hiperaktif atau memiliki masalah perilaku. Yang menarik, para ayah tidak mengalami efek kesehatan seperti itu. (Allik, Larson & Smedje, 2006).

Menurut Cohen dan Volkmar (2006) ibu merupakan tokoh yang lebih rentan terhadap masalah penyesuaian. Hal ini dikarenakan ibu berperan langsung dalam kelahiran anak. Biasanya ibu cenderung mengalami perasaan bersalah dan depresi yang berhubungan dengan ketidakmampuan anaknya dan ibu lebih mudah terganggu secara emosional. Ibu juga stress karena perilaku yang ditampilkan oleh anaknya seperti tantrum, hiperaktif, kesulitan bicara, perilaku yang tidak lazim, ketidakmampuan bersosialisasi dan berteman.

Bagi seorang ibu yang memiliki anak autistik, dibutuhkan usaha untuk mengatasi berbagai permasalahan yang kerap muncul ketika merawat anak autistik. Jordan (2001) menuliskan beberapa masalah yang dihadapi oleh orang tua anak autistik, khususnya ibu. Masalah yang pertama berkaitan dengan ketidakahlian ibu untuk memahami anak autistik dan tidak memahami apa yang seharusnya mereka lakukan kepada anaknya. Masalah kedua berkaitan dengan harga diri. Ibu memiliki harga diri yang rendah karena merasa bersalah dan tidak mampu membuat kontak dengan anaknya. Masalah yang ketiga adalah ketidakyakinan ibu terhadap masa depan anak, namun Danuatmaja (2003) menuturkan bahwa dengan intervensi dini yang efektif dapat membuat perbedaan yang signifikan dalam perkembangan anak autistik karena intervensi dini data membuat sel otak baru tumbuh dan menutup sel-sel lama yang rusak sehingga memungkinkan anak autistik dapat tumbuh seperti anak yang tidak mengalami gangguan perkembangan. Masalah keempat berkaitan dengan permasalahan penyerta pada anak autistik, seperti: gangguan sensori, gangguan bahasa yang spesifik,


(19)

8

gangguan motorik, emosional, perilaku, metabolisme, dan lain sebagainya. Masalah kelima berkaitan dengan kesulitan anak untuk beradaptasi dan berinteraksi dengan orang lain. Masalah keenam berkaitan dengan informasi dan dukungan sosial yang diperlukan ibu selama mendampingi perkembangan anak autistik.

Anak autistik senantiasa membutuhkan banyak perhatian dan pengawasan dari orang-orang disekitarnya dibandingkan anak normal sehingga keterbatasan yang dimiliki anak autistik mengakibatkan stress yang tinggi bagi ibu yang mengasuhnya (Price, 2009). Hasil penelitian juga menunjukan indikasi bahwa orang tua yang memiliki anak autistik, khususnya ibu, melaporkan beberapa stress dan depresi daripada ibu yang memiliki anak dengan gangguan perkembangan lainnya (Volkmar et al, 2005).

Dari pemaparan di atas, kita dapat mengetahui bahwa ibu dari anak autistik memiliki kondisi khusus yang tidak dialami para ibu yang memiliki anak bukan autistik. Ibu yang memiliki anak autistik harus memiliki sikap menerima, kesabaran yang tinggi, dan pengelolaan stress yang baik. Oleh karena itu, menjadi hal yang penting bagi ibu dari anak autistik untuk memiliki kemampuan menghibur diri, terbuka, memberikan pemahaman dan kehangatan terhadap diri sendiri agar tetap positif dalam menghadapi situasi hidup yang baik maupun buruk dalam merawat dan mendampingi anak autistik. Dalam ilmu psikologi, sikap tersebut dikenal dengan istilah self-compassion.

Self-compassion adalah keterbukaan dan kesadaran individu terhadap penderitaan diri sendiri, tanpa menghindar dari penderitaan itu, memberikan pemahaman dan kebaikan terhadap diri sendiri ketika menghadapi penderitaan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan tanpa menghakimi diri sendiri, serta melihat suatu kejadian sebagai pengalaman yang dialami semua manusia, serta melihat sesuatu apa adanya, tidak kurang, dan tidak lebih dalam memberikan respon terhadap situasi tersebut tanpa mengurangi atau membesar-besarkan situasi tersebut (Neff, 2003). Agar ibu dari anak- anak autistik memiliki derajat


(20)

self-9

Universitas Kristen Maranatha compassion yang tinggi maka diperlukan kombinasi dari tiga komponen penyusun self-compassion yang terdiri atas: self-kindness, common humanity, dan mindfulness (Neff, 2003).

Self-kindness adalah kemampuan individu untuk memahami diri dan menerima diri apa adanya dengan memberikan kehangatan dan pengertian ketika mengalami penderitaan, kegagalan, atau merasa tidak mampu, sehingga individu akan cenderung bersikap ramah terhadap diri ketika dihadapkan pada situasi yang tidak menyenangkan daripada marah dan mengkritik diri atas pengalaman yang menimpanya serta tidak menyakiti atau mengkritik diri yang umumnya dianggap sebagai suatu tindakan yang normal dilakukan. Common humanity merupakan kesadaran individu untuk memandang kesulitan, kegagalan, dan tantangan sebagai bagian dari hidup manusia dan merupakan sesuatu yang dialami semua orang, bukan hanya dialami dirinya sendiri. Mindfulness adalah cara individu menerima dan melihat secara jelas perasaan dan pikiran sendiri secara apa adanya, tanpa disangkal dan ditekan (Neff, 2003).

Ketiga komponen dari self-compassion, yaitu self-kindness, common humanity, dan mindfulness berkombinasi dan saling berkaitan satu sama lain dalam menciptakan kerangka self-compassionate, sehingga apabila komponen yang satu tinggi dan yang lain juga tinggi maka akan menghasilkan self-compassion yang tinggi pula (Neff, 2003)

Menurut Neff (2003) pada dasarnya self-compassion tidak hanya diandalkan saat seseorang mengalami suatu masalah, tetapi juga dalam situasi dan kondisi apapun. Salah satu manfaat self-compassion adalah rendahnya kecemasan, depresi, dan self-critism. Bagi ibu dari anak autistik, memiliki self-compassion merupakan hal yang sangat dibutuhkan. Hal ini tercermin dari manfaat yang bisa diperoleh jika ibu dari anak autistik memiliki self-compassion. Manfaat pertama, self-compassion dapat memberikan ketahanan emosional dan meningkatkan kesejahteraan (well being). Jika ibu dari anak autistik memiliki self-compassion maka ia dapat mempunyai coping skill yang lebih baik karena dapat memandang


(21)

10

perasaan dan pemikiran negatif secara objektif tanpa penghindaran secara emosional. Dengan memiliki self-compassion dalam derajat yang tinggi maka ibu yang memiliki anak autistik akan memiliki kecerdasan emosi yang baik pula.

Manfaat yang kedua jika ibu dari anak autistik memiliki self-compassion yang tinggi adalah hasilnya emosi positif tanpa menilai diri baik atau buruk. Ibu dari anak autistik akan terbuka pada fakta bahwa semua manusia memiliki kekuatan dan kelemahan tanpa perlu mengelola citra diri agar selalu terlihat baik. Para ibu akan melihat bahwa meskipun anaknya memiliki kelemahan, tapi juga memiliki kelebihan yang dapat memberikan kekuatan bagi ibu anak autistik.

Manfaat yang ketiga dari self-compassion adalah ibu dari anak autistik akan memiliki rasa aman, tenang, dan percaya diri untuk melakukan usaha yang terbaik. Dengan kata lain self-compassion sebagai sumber motivasi bagi ibu yang memiliki anak autistik untuk mendapatkan pencapaian tertinggi. Secara praktis ibu dari anak autistik dengan self-compassion yang tinggi akan dapat menjalankan perannya dengan optimal baik sebagai istri, sebagai ibu, maupun sebagai anggota masyarakat.

Hasil wawancara terhadap dua ibu yang memiliki anak autistik di SLB “X” Bandung adalah sebagai berikut: Ibu pertama bernama Ibu I yang memiliki anak autistik bernama A dan berjenis kelamin laki-laki. Saat ini A berusia 13 tahun dan duduk di kelas 6. Awal mula Ibu I merasa ada yang ganjil dengan perkembangan A saat A berusia 1,5 tahun dan belum dapat berbicara padahal seharusnya sudah dapat berbicara. Ada pula kesedihan mendalam yang dirasakan Ibu I manakala A juga sulit melakukan kontak mata dengan Ibu I. Suatu hari Ibu I mengisi pertanyaan mengenai ciri-ciri anak autistik di suatu majalah dan ternyata sekitar 80% tanda-tanda tersebut muncul dalam diri A. Ibu I mulai merasakan kesedihan dan tidak menyangka kalau anaknya memiliki gangguan perkembangan autisme. Pada saat itu Ibu I tinggal di kota Samarinda dan mencari pengobatan ke dokter di Samarinda. Ketika


(22)

11

Universitas Kristen Maranatha diperiksakan ke dokter di Samarinda, dokter tidak menemukan keanehan apapun dalam diri A dan mengatakan bahwa A hanya mengalami keterlambatan bicara. Ibu I merasa bingung dan akhirnya membawa anaknya ke Bandung. Setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan dan pemantauan oleh dokter di Bandung, ternyata diketahui bahwa anaknya menyandang autisme. Meskipun Ibu I sudah memperkirakan kondisi anaknya, namun tetap dalam hati kecilnya ia merasakan kesedihan.

Ibu I sempat bertanya-tanya mengenai penyebab sindrom autisme yang dialami A dan setelah diteliti oleh dokter kemungkinan penyebabnya adalah tertelannya air ketuban ketika dalam kandungan yang menyebabkan gangguan pada otak A. Meskipun awalnya Ibu I merasa sedih, namun kemudian Ibu I melihat sisi lainnya bahwa dengan keadaan A dan segala keterbatasannya Ibu I bisa membantu orang lain yang membutuhkan kehadirannya seperti ibu-ibu lain yang mengalami kondisi serupa. Ibu I mengambil hikmah dan pelajaran dari peristiwa-peristiwa hidupnya termasuk mengubah aspek yang tidak ia sukai dari dirinya mengenai ketidaksabaran (self-kindness). Kehadiran A yang membuat Ibu I belajar dari tidak sabar menjadi lebih sabar.

Berbagai terapi diusahakan agar A memiliki kemajuan, mulai dari terapi okupasi sampai dengan terapi wicara. Ibu I kembali merasakan kebingungan karena di sekolah A belum boleh mendapatkan terapi wicara dan hanya boleh mendapatkan terapi okupasi karena A belum bisa duduk tenang. Terapi wicara bisa didapatkan apabila A sudah dapat duduk tenang. Ibu A pun mendapat masukan dari pihak lain, sampai kapan harus menunggu A dapat duduk tenang baru bisa mendapat terapi wicara. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, akhirnya Ibu I mendatangkan terapis wicara ke rumah. Terapi wicara yang dijalankan cukup lama ternyata tidak memberikan kemajuan yang berarti bagi kemampuan berbicara A. Ibu I pun membawa A melakukan pemeriksaan EEG (Elektroenselografi) dan hasilnya diketahui bahwa terdapat gangguan di bagian otak kiri A yang menyebabkan ia kehilangan kemampuan


(23)

12

berbicara dan bahasanya. Ibu I kembali merasakan kesedihan karena ternyata A tidak dapat berbicara meskipun ia diberikan terapi wicara secara terus-menerus.

Ketidakmampuan berbicara dalam diri A menjadi yang paling sulit bagi Ibu I dalam mengasuh dan mendampingi A. Ibu I tidak dapat mengetahui apa yang diinginkan A. Jika A menginginkan suatu benda, A hanya akan menarik-narik Ibu I dan Ibu I tidak dapat memahami apa yang diinginkan oleh A. Ibu I pun kerap merasa malu jika di tempat umum A merasa kesal sampai tantrum, hal itu akan menjadi tontonan orang yang melihat dengan tatapan aneh. Untuk mengatasi perilaku A yang mengundang perhatian orang lain maka Ibu I memberikan ponsel agar A tenang dan pikirannya tertuju pada ponsel. Hal itu diterapkan juga di rumah. Ibu I membiarkan A bermain ponsel agar tidak terlalu aktif dan membuat rumah berantakan. Lama kelamaan Ibu I menyadari bahwa ia melakukan kesalahan dengan membiarkan A terus-menerus bermain ponsel akibatnya interaksi A dengan Ibu I semakin berkurang, kegiatan menulis, menggambar, dan melakukan penjumlahan yang biasa dilakukan di rumah menjadi jarang. Ibu I juga mulai khawatir dengan radiasi dari ponsel dan kerusakan mata yang mungkin terjadi apabila A terlalu sering bermain ponsel. Ibu I menyesal dengan hal itu dan kini ia menerapkan aturan baru yaitu hanya satu hari dalam seminggu, yaitu hari sabtu untuk bermain ponsel. Ibu I menganggap sikapnya yang terdahulu merupakan kesalahan yang cukup fatal karena ia kehilangan banyak waktu bersama anaknya namun di sisi lain ia melihat hal positif karena A ternyata banyak belajar melalui ponsel seperti melihat video pesawat terbang dan lain sebagainya (mindfulness).

Banyak peristiwa dalam hidup Ibu I yang membuatnya belajar untuk menjadi ibu yang lebih baik dan konsisten membimbing anak-anaknya. Hari-hari Ibu I dilalui dengan kesibukannya mendampingi A dan adiknya yang sekarang berusia 7 tahun. Terkadang Ibu I merasa lelah dan merasakan juga suasana hati yang kurang baik. Jika hal itu terjadi Ibu I memilih untuk berdiam diri di kamar dan meresapi perasaan yang sedang dialaminya tanpa


(24)

13

Universitas Kristen Maranatha disangkal ataupun dibesar-besarkan. Ibu I akan terbuka pada pikiran dan perasaannya. Jika ia merasa kesal ia akan berbaring sambil menerima perasaan kesal tersebut dan setelah satu jam biasanya Ibu I akan merasa lebih baik (mindfulness).

Jika memiliki permasalahan Ibu I akan bercerita kepada suaminya. Ibu I hampir tidak pernah merasakan kesepian atau merasa sendiri menanggung segala kesulitan (common humanity). Ia senang karena memiliki suami yang mendukungnya dan memberikan kekuatan meskipun tinggal berjauhan namun komunikasi antara Ibu I dan suaminya berjalan dengan baik. Hanya satu hal yang Ibu I khawatirkan yang belum mampu Ibu I dapatkan solusinya, yaitu mengenai kehidupan A apabila Ibu I dan suaminya meninggalkan dunia ini kelak sementara mungkin adiknya juga sudah punya kesibukan dengan rumah tangganya sendiri.

Banyaknya tantangan dan bahkan penderitaan yang dialami Ibu I dalam mengasuh dan membesarkan A membuat Ibu I berpasrah kepada Tuhan dan tetap mengusahakan yang terbaik untuk perkembangan anaknya, salah satunya dengan mengasuh anaknya sendiri dan menyekolahkan anaknya di SLB “X”. Setelah Ibu I bertemu dengan teman-teman yang memiliki kondisi serupa, Ibu I pun menjadi semakin bersyukur karena ia tidak sendiri, banyak orang lain yang kondisinya sama bahkan lebih parah dari kondisi anaknya (common humanity). Ibu I merasa dapat belajar dari kondisi yang dihadapinya, seperti lebih banyak bersyukur ketika ada kemajuan sekecil apapun dan lebih banyak sabar (self-kindness).

Ibu kedua bernama Ibu S yang memiliki anak autistik bernama K. K saat ini berusia 11 tahun dan duduk di kelas 4. K didiagnosa menyandang autis pada saat berusia 3 tahun. Selama 2,5 tahun Ibu S tidak melihat tanda-tanda yang aneh dari diri K dan baru menyadari ketika K tidak menoleh saat dipanggil, asyik bermain sendiri dalam waktu yang lama dan tidak dapat memusatkan perhatian ketika diajak berbicara. Pertama kali mengetahui anaknya menyandang autisme Ibu S merasa kaget dan ia pun berusaha mencari terapi dan pengobatan yang mungkin dapat membantu kesembuhan anaknya. Berapapun besarnya biaya yang harus


(25)

14

dikeluarkan untuk membiayai terapi K akan diusahakan oleh Ibu S dan suaminya meskipun keadaan ekonomi mereka juga belum mapan. Dari terapi yang satu ke terapi lain di berbagai tempat Ibu S usahakan, namun dari semuanya itu tidak ada terapi yang langsung membawa hasil signifikan bagi perkembangan anaknya. Dengan keadaan itu, Ibu S pun merasa sedih dan sempat merasa sendirian (common humanity). Perasaan sendiri itu semakin bertambah karena Ibu S tidak memiliki banyak pengetahuan mengenai autisme dan tidak memiliki keterampilan yang memadai untuk menangani anak autistik. Ibu S juga merasa menyesal karena ia merasa terlambat mendeteksi gangguan yang dialami K (self-kindness).

Ibu S bertanya-tanya mengapa anaknya seperti itu dan mengapa harus anaknya yang mengalami kondisi autis. Ibu S pun merenung mempertanyakan kesalahan apa yang ia perbuat sehingga dikaruniai anak yang bisa dikatakan kurang sempurna (mindfulness). Yang Ibu S lakukan kemudian adalah berdoa dan berpasrah. Dengan begitu ia dapat menerima keadaan anaknya dan semakin terbiasa dengan keadaan itu. Menurut Ibu S tidak ada gunanya jika terus menerus terpaku dengan kekurangan anaknya, maka yang perlu dilakukan adalah berusaha dan berdoa. Jika dulu Ibu S sering merasakan kesepian, sekarang Ibu S jarang merasa kesepian karena ia bertemu dengan banyak ibu-ibu yang juga mengalami permasalahan serupa dan di SLB “X” ini Ibu S banyak melakukan sharing, bertukar pikiran, dan mendapat informasi dari ibu-ibu lain (common humanity).

Hari-hari Ibu S diisi dengan rutinitas mengantar K ke sekolah dan mengurus adik K yang baru berusia 1 tahun. Tak jarang Ibu S kerepotan mengurus K karena K merupakan anak yang sangat aktif. Ibu S harus selalu mendampingi K kemanapun K pergi karena takut terjadi sesuatu yang negatif pada K atau orang-orang yang K temui. Meskipun Ibu S merasa lelah dan ingin beristirahat tetapi ibu S tidak menghiraukan rasa lelah tersebut dan tetap mendampingi K karena K tidak dapat mengerti apakah ibunya merasa lelah atau butuh istirahat. Terlebih saat K berusia 10 tahun, Ibu S mengandung anak keduanya sehingga Ibu S


(26)

15

Universitas Kristen Maranatha merasa semakin mudah lelah dan lagi-lagi K tidak dapat diberi pengertian agar tenang dan tidak dapat diberi penjelasan bahwa ibunya sedang mengandung. Jika K memiliki keinginan dan keinginannya tidak dipenuhi maka ia akan marah dan menangis. Hal itu membuat Ibu S merasa sedih, namun Ibu S berpikir jika semua kemauan anak dipenuhi, K akan menjadi semakin manja. Terkadang Ibu S merasa putus asa karena tidak dapat mengendalikan K (mindfulness). Ketika K merasa senang akan suatu hal dan tertawa-tawa sendiri, justru dalam hati Ibu S terlintas kepedihan.

Seiring dengan berjalannya waktu Ibu S semakin bisa menerima dan mensyukuri kehadiran K. Setelah keluarga Ibu S pindah rumah ke tempat yang baru, ia pun tidak merasa malu mengenalkan K kepada lingkungan sekitar agar para tetangga juga memahami dan memaklumi keadaan anaknya (self-kindness). Ibu S pun mengajarkan anaknya bergaul sehingga dapat mengenal lingkungannya. Saat ini K bahkan dapat pergi ke warung sendirian dan mengambil jajanan yang diinginkan. Ibu S hanya berpesan kepada penjaga warung, jika anaknya mengambil jajanan, maka nanti Ibu S yang akan membayar tagihannya.

Melalui paparan di atas kita dapat melihat bahwa self-compassion dibutuhkan oleh ibu dari anak autistik oleh karena itu peneliti tertarik untuk melihat bagaimana gambaran dinamika komponen self-compassion pada ibu yang memiliki anak penyandang autisme, khususnya para ibu yang memiliki anak autistik di SLB “X” Bandung.

1.2 Identifikasi Masalah

Dari uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah maka masalah yang ingin diteliti dalam penelitian ini adalah self-compassion pada ibu yang memiliki anak autistik di SLB “X” Bandung.


(27)

16

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan maksud ingin memperoleh gambaran mengenai self-compassion pada ibu yang memiliki anak autistik di SLB “X” Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui dinamika tiga komponen self-compassion pada ibu yang memiliki anak autistik di SLB “X” Bandung.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis

Memberi sumbangan informasi bagi ilmu Psikologi khususnya Positive Psychology mengenai self-compassion pada ibu yang memiliki anak autistik di SLB “X” Bandung.

• Sebagai masukan bagi para peneliti selanjutnya untuk mendapatkan suatu pijakan dan masukan mengenai penelitian self-compassion.

1.4.2 Kegunaan Praktis

• Memberikan informasi kepada ibu yang memiliki anak autistik mengenai self-compassion sebagai bahan masukan untuk bahan evaluasi dan pengembangan diri sehingga ibu yang memiliki anak autistik mampu memberikan penerimaan dan kehangatan bagi diri sendiri meskipun menghadapi tantangan dan kesulitan dalam proses membesarkan anak autistik.

• Memberikan informasi kepada kepala SLB “X” Bandung mengenai self-compassion pada para ibu yang memiliki anak autistik untuk membuat program konseling yang berkaitan dengan kesehatan mental para ibu yang menyekolahkan anaknya di SLB tersebut.


(28)

17

Universitas Kristen Maranatha 1.5Kerangka Pemikiran

Ibu yang memiliki anak autistik memiliki tantangan dan tuntutan yang berbeda dari ibu yang memiliki anak bukan autistik. Anak autistik memiliki gangguan perkembangan dan fungsi susunan saraf pusat yang menyebabkan gangguan fungsi otak, akibatnya anak autistik memiliki keterbatasan dalam hal komunikasi, interaksi sosial, dan pola perilaku. Keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki anak autistik dalam berkomunikasi dan sosial membuat anak autistik membutuhkan dukungan dari orang lain dalam hidup sehari-hari. Salah satu dukungan yang bermanfaat bagi anak autistik adalah berasal dari ibu.

Para ibu yang memiliki anak autistik memerlukan self-compassion agar dapat lebih optimal dalam merawat dan mendampingi anak autistik serta tetap bersikap secara positif meskipun menghadapi banyak tantangan dan kesulitan selama proses membesarkan anak autistik. Self-compassion memiliki arti keterbukaan dan kesadaran individu terhadap penderitaan diri sendiri tanpa menghindar dari penderitaan itu, memberikan pemahaman dan kebaikan terhadap diri sendiri ketika menghadapi penderitaan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan tanpa menghakimi diri sendiri, serta melihat suatu kejadian sebagai pengalaman yang dialami semua manusia, serta melihat sesuatu apa adanya, tidak kurang, dan tidak lebih dalam memberikan respon terhadap situasi tersebut tanpa mengurangi atau membesar-besarkan situasi tersebut (Neff, 2003). Pada ibu yang memiliki anak autistik hal ini tercermin dalam kemampuannya untuk memiliki kesadaran akan permasalahan, tantangan, dan kesulitan yang dihadapinya sebagai ibu saat mengasuh dan mendampingi anak autistik tanpa menghindari maupun mengkritik diri sendiri namun tetap memberikan pengertian dan kenyamanan bagi diri sendiri.

Self-compassion terdiri dari tiga komponen yaitu self-kindness, common humanity, dan mindfulness (Neff,2011). Komponen yang pertama adalah self-kindness. Self-kindness merupakan kemampuan individu untuk memahami diri dan menerima diri apa adanya dengan


(29)

18

memberikan kehangatan dan pengertian ketika mengalami penderitaan, kegagalan, atau merasa tidak mampu sehingga individu akan cenderung bersikap ramah terhadap diri ketika dihadapkan pada situasi yang tidak menyenangkan daripada marah dan mengkritik diri atas pengalaman yang menimpanya. Apabila derajat self-kindness rendah, hal tersebut dinamakan self-judgement. Self-judgement adalah sikap memusuhi, merendahkan, dan mengkritik aspek-aspek yang ada di dalam diri mereka yang dianggap sebagai kekurangan dan ketidakmampuan yang dimiliki.

Ibu yang memiliki anak autistik di SLB “X” Bandung yang mempunyai self-kindness tinggi akan menerima kondisi hidup yang harus dijalani dan menerima anak mereka apa adanya dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Mereka juga akan menerima segala bentuk kesulitan yang harus dihadapi ketika mengasuh dan mendampingi anak autistik. Ketika ibu yang memiliki anak autistik di SLB “X” menghadapi kegagalan dan kesulitan dalam mengasuh anaknya, ibu tidak akan mengkritik secara berlebihan terhadap kekurangan yang dimilikinya. Ibu dari anak autistik akan melihat bahwa kesulitan-kesulitan dalam mendampingi anak autistik merupakan hal yang tidak bisa dihindari oleh karena itu mereka tidak perlu menghukum diri dengan terus-menerus merasa bersalah. Dengan memiliki self-kindness yang tinggi maka Ibu dari anak autistik di SLB “X” Bandung akan menerima segala kelebihan dan kelemahan dalam dirinya dalam proses membesarkan anak autistik.

Ibu yang memiliki anak autis di SLB “X” Bandung yang memiliki derajat self-kindness yang rendah akan cenderung mengkritik dan menyalahkan dirinya secara berlebihan saat mengalami kegagalan maupun kesulitan saat mengasuh dan mendampingi perkembangan anak autistik. Ibu akan cenderung marah, stress, frustrasi, dan mengkritik diri sendiri secara berlebihan, contohnya ibu yang memiliki anak autistik di SLB “X” Bandung menyalahkan dirinya sendiri karena telah melahirkan anak yang tidak normal dan menganggap dirinya


(30)

19

Universitas Kristen Maranatha bodoh karena kesulitan mengasuh dan memberikan perkembangan yang signifikan bagi anaknya.

Komponen yang kedua adalah common humanity. Common humanity merupakan kesadaran individu untuk memandang kesulitan, kegagalan, dan tantangan sebagai bagian dari hidup manusia dan merupakan sesuatu yang dialami semua orang , bukan hanya dialami dirinya sendiri. Orang dengan aspek common humanity yang rendah akan merasakan self-isolation. Self-isolation merupakan keadaan individu berfokus pada kekurangan serta merasa bahwa dirinya lemah dan tidak berharga. Ketika individu melihat sesuatu dalam dirinya yang tidak disukainya, maka individu akan merasa orang lain lebih sempurna dari dirinya.

Bagi ibu yang memiliki anak autistik di SLB “X” yang memiliki derajat common humanity yang tinggi akan menyadari bahwa semua ibu, memiliki kesulitan, suka-duka, bahkan penderitaan masing-masing saat mengasuh dan membesarkan anak. Ibu yang memiliki anak autistik di SLB “X” Bandung juga menyadari bahwa masih banyak ibu yang juga mengalami keadaan serupa dan bukan hanya dirinya sendiri yang paling menderita.

Berkebalikan dengan ibu yang memiliki common humanity yang tinggi, ibu yang memiliki anak autistik di SLB “X” dengan derajat common humanity yang rendah cenderung menganggap hanya dirinya sendiri yang menderita, ceroboh, bodoh, dan banyak melakukan kesalahan dari mulai melahirkan anak autistik sampai mengasuh dan membesarkannya. Mereka berpikir bahwa tidak ada orang lain yang dapat merasakan apa yang dirinya rasakan, oleh karena itu mereka merasakan kesepian.

Komponen yang ketiga adalah mindfulness. Mindfulness adalah cara individu menerima dan melihat secara jelas perasaan dan pikiran sendiri secara apa adanya, tanpa disangkal dan ditekan. Individu tidak melebih-lebihkan kegagalan maupun perasaan yang dirasakan. Derajat mindfulness yang rendah dikenal sebagai over-identification. Over-identification yakni reaksi ekstrem atau reaksi berlebihan ketika individu menghadapi suatu


(31)

20

permasalahan, suasana hati individu cenderung terbawa oleh emosi-emosi negatif. Individu cenderung menganggap bahwa dirinya akan melakukan kesalahan yang sama di masa yang akan datang sehingga merasa takut, cemas, dan merasa dihantui oleh kesalahannya.

Ibu yang memiliki anak autistik di SLB “X” Bandung jika memiliki derajat mindfulness yang tinggi, ketika mengalami suatu kegagalan dalam mengasuh anaknya akan menerima dengan terbuka bahwa memang anak mereka memiliki keterbatasan, perlu pengawasan yang lebih, dan perlu proses yang lebih lama dalam memelajari sesuatu sehingga ibu menerima dan tidak membesar-besarkannya.

Jika ibu yang memiliki anak autistik di SLB “X” Bandung memiliki derajat mindfulness yang rendah, maka ibu akan fokus bahkan terpuruk dengan kesedihan dan kegagalan yang dialaminya meskipun anak menunjukan sedikit kemajuan, tetap saja ibu dari anak autistik melihat sisi negatifnya, seperti masih banyak kemampuan yang tidak dikuasai anaknya.

Menurut Barnard & Curry (2011),ketiga komponen dari self-compassion saling berkaitan dan saling memengaruhi satu sama lain. Pertama, self-kindness dapat meningkatkan komponen common humanity dan mindfulness. Jika seseorang memberikan perhatian, kelembutan, pemahaman, dan kesabaran terhadap kekurangan dirinya, mereka tidak akan merasa malu karena kekurangannya dan tidak akan menarik diri dari orang lain (Brewer, M.B and Brown, 1998). Ibu yang memiliki anak autistik di SLB “X” Bandung akan memilih untuk mengakui dan terbuka mengenai kekurangan yang dimiliki dan tidak merasa malu maupun menarik diri dari lingkungan common humanity) serta memungkinkan ibu yang memiliki anak autistik mengadopsi pandangan yang seimbang ketika menghadapi permasalahan dalam mengasuh anak penyandang autistik (mindfulness). Sebagai contoh, ibu akan mengenalkan anak mereka kepada lingkungan keluarga maupun tetangga dan menceritakan bahwa anak mereka memiliki kebutuhan khusus yang disebut autisme. Ibu yang memiliki anak autistik


(32)

21

Universitas Kristen Maranatha juga memiliki pandangan bahwa jika sebelumnya ia mengalami kegagalan ketika melahirkan anak autistik, maka ia akan lebih cermat dan berhati-hati dalam membesarkan anak autistik.

Korelasi yang kedua adalah common humanity dapat meningkatkan self-kindness dan mindfulness. Jika ibu yang memiliki anak autistik di SLB “X” dapat melihat bahwa kegagalan merupakan hal yang dialami semua orang dan orang yang mengalami kegagalan berhak mendapat empati dan penghiburan, maka ibu dari anak autistik pun akan memberikan empati dan kebikan terhadap dirinya sendiri (common humanity). Ibu yang memiliki anak autistik di SLB “X” dapat menilai diri sendiri dengan lembut karena melihat bahwa kelemahan dan ketidaksempurnaan merupakan bagian yang melekat dalam hidup manusia sehingga ibu dari anak autistik tidak melebih-lebihkan emosi maupun kegagalan yang dialami (mindfulness).

Korelasi yang ketiga adalah mindfulness dapat meningkatkan self-kindness dan common-humanity. Jika ibu yang memiliki anak autistik di SLB “X” dapat melihat kesulitan maupun kegagalan secara objektif, maka ibu dari anak autistik akan menghindari pemberian kritik yang berlebihan kepada diri sendiri dan dapat memberikan kehangatan kepada diri sendiri (self-kindness) dan menyadari bahwa ibu yang memiliki anak autistik juga pernah mengalami hal yang serupa dengan dirinya (common humanity).

Derajat self-compassion dibangun oleh konstelasi dari ketiga komponennya (self-kindness, common humanity, dan mindfulness). Satu komponen berhubungan dengan komponen lainnya membangun derajat self-compassion. Individu dapat dikatakan memiliki compassion apabila mampu menerapkan ketiga komponen yang membangun self-compassion. Jika kurang mampu menerapkan salah satu komponen maka dapat dikatakan individu tersebut kurang memiliki self-compassion.

Ibu yang memiliki self-compassion mampu untuk memahami dan menerima diri apa adanya ketika menghadapi kegagalan. Mereka juga dapat melihat bahwa peristiwa kegagalan yang dialaminya adalah sesuatu yang wajar dan pernah dialami oleh orang lain, maka dari itu


(33)

22

ibu juga mampu memandang permasalahan yang terjadi dalam kehidupannya secara lebih objektif dan tidak berlebihan. Sebaliknya ibu yang kurang memiliki self-compassion cenderung mengkritik diri dengan keras ketika mengalami kegagalan dalam hidup. Mereka juga menganggap bahwa hanya dirinyalah yang pernah mengalami kegagalan tersebut sehingga memandang bahwa ia adalah orang yang paling tidak beruntung. Ibu cenderung bereaksi berlebihan ketika menghadapi berbagai peristiwa dalam kehidupannya sehingga sulit untuk belajar dari pengalaman.

Berikut ini adalah bagan kerangka pikir mengenai gambaran self-compassion pada ibu yang memiliki anak autistik di SLB “X” Bandung.

1.6Asumsi

Ibu yang memiliki anak autistik di SLB “X” Bandung membutuhkan self-compassion agar mereka dapat memberikan perhatian dan kehangatan kepada diri sendiri saat memaknai kesulitan dalam hidupnya.

Self-compassion pada ibu yang memiliki anak autistik di SLB “X” Bandung dapat dilihat dari tiga komponen, yaitu self-kindness, common humanity, dan mindfulness. Self-compassion pada ibu yang memiliki anak autistik di SLB “X” Bandung

dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internalnya meliputi personality dan jenis kelamin; sedangkan faktor eksternalnya role of parents dan role of culture. Ibu yang memiliki anak autistik di SLB “X” Bandung Self-Compassion Self-kindness vs Self-judgement

Common humanity vs Self- isolation

Mindfulness vs Over-identification

Bagan 1.1 Kerangka Pikir

Gambaran dinamika Self-kindness, Common humanity, dan Mindfulness pada Ibu yang memiliki anak autistik di SLB “X” Bandung


(34)

102 BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan penelitian, maka dapat ditarik simpulan mengenai self-compassion pada ibu yang memiliki anak autistik di SLB “X” Bandung, sebagai berikut:

• Ibu yang memiliki anak autistik di SLB “X” Bandung memiliki kesamaan pada gambaran self-kindness. Ibu yang memiliki anak autistik di SLB “X” Bandung mampu menerima diri, memaafkan diri sendiri dan toleransi terhadap kekurangan diri sehingga mampu menyayangi diri sendiri dan tidak bersikap keras terhadap diri sendiri.

• Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa ibu yang memiliki anak autis di SLB “X” Bandung kurang memiliki gambaran self-compassion karena dari 2 responden penelitian, secara keseluruhan responden pertama kurang memiliki mindfulness dan responden kedua kurang memiliki common humanity.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoretis

Bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian studi kasus mengenai self-compassion dapat menambahkan dan meneliti faktor-faktor yang berpengaruh terhadap self-compassion agar hasil penelitian menjadi lebih mendalam.

5.2.2 Saran Praktis

• Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi para orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus, khususnya para ibu di SLB “X” Bandung agar


(35)

103

mengikuti kegiatan-kegiatan yang dapat melatih stabilitas emosi dan merilis emosi negatif seperti kegiatan meditasi dan terlibat dalam kegiatan keagamaan.

• Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi SLB “X” Bandung untuk memberikan wadah bagi orang tua, khususnya para ibu untuk melakukan sharing antar kelompok yang berguna untuk meningkatkan kesehatan mental.


(36)

STUDI KASUS MENGENAI SELF-COMPASSION PADA IBU

YANG MEMILIKI ANAK AUTISTIK DI SLB “X” BANDUNG

SKRIPSI

Diajukan untuk menempuh sidang sarjana pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung

Disusun Oleh: PUSPITA HARMONI

1130044

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BANDUNG


(37)

v

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Allah Bapa yang Mahakuasa, Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria atas segala berkat, dan kasih karunia-Nya, serta tuntunan Roh Kudud peneliti mampu menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

Skripsi yang berjudul “Studi Kasus Mengenai Self-Compassion pada Ibu yang Memiliki Anak Autistik di SLB “X” Bandung” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menempuh sidang sarjana di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung.

Peneliti menyadari bahwa skripsi yang telah disusun ini belum sempurna karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang peneliti miliki. Besar harapan peneliti kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan peneliti ke depannya

Dalam melakukan penyusunan skripsi ini, peneliti menerima bantuan, bimbingan, serta dukungan dari berbagai pihak. Peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama pengerjaan skripsi ini. Ucapan terima kasih peneliti sampaikan kepada yang terhormat:

1. Dr. Irene P. Edwina, M.Si., Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

2. Lie Fun Fun, M.Psi., Psikolog, selaku Kaprodi S1 Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha dan selaku dosen pembimbing pendamping yang telah memberi kritik dan saran bagi peneliti.


(38)

vi

3. Meilani Rohinsa, M.Psi., psikolog, selaku dosen pembimbing utama yang selalu meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, dukungan serta arahan kepada peneliti agar skripsi ini dapat terselesaikan dengan sebaik mungkin.

4. Drs. Paulus H. Prasetya M.Si., Psikolog yang telah meluangkan banyak waktu untuk membimbing dan memberi masukan kepada peneliti terutama dalam pengolahan data skripsi.

5. Staff tata usaha Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha, selaku sumber bantuan dalam mengurus administrasi surat menyurat untuk melakukan penelitian di SLB “X” Bandung.

6. Kepala sekolah SLB “X” Bandung yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk melakukan penelitian di SLB “X” Bandung.

7. Dua orang ibu luar biasa yang bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. Terima kasih banyak atas kesediaannya meluangkan waktu dan berbagi pengalaman yang menginspirasi dengan peneliti.

8. Teguh G. dan Rini W. sebagai orang tua yang telah memberi bantuan secara finansial kepada peneliti.

9. Emiliana H. sebagai nenek yang selalu memberikan dukungan dan doa selama peneliti melakukan penyusunan skripsi ini.

10. Gabriel Sefriyanto, terima kasih atas cinta, bantuan, dukungan, semangat, dan doa yang selalu diberikan kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

11. Ras Nanda Acika, Giovani Natalia, Rahadjeng Indreswari, Febiola Eka Putri, dan Claudia Febriani. Terima kasih atas kebersamaannya selama menempuh studi di Fakultas


(39)

vii

Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung. Terima kasih juga atas bantuan, dukungan, dan semangat hingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini

12. Teman-teman mahasiswa khususnya angkatan 2011 dan dosen-dosen Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha terima kasih atas bantuan, saran, dan dukungannya kepada peneliti.

13. Teman-teman OMIPALA (Ully Simarmata, Jenty Cypriana, Veronika Yulianti, Mikael Eko, Wangga, Oscar, Fr. Moses, Fr. Bayu)

14. Teman-teman OMK Santo Ignasius Cimahi 15. Rekan-rekan Nu Skin Bandung

16. Seluruh pihak yang telah membantu yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu

Akhir kata peneliti mengucapkan terima kasih banyak kepada seluruh pembaca dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan pihak-pihak yang memerlukan.

Bandung, Desember 2016


(40)

104

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Allik H, J. O. Larson, & H. Smedje. (2006). Health related quality of life in parents of school-age children with Asperger syndrome of high functioning autism. Health and quality of life outcomes. London: BioMed Central.

Bakwin, Harry, & Ruth Morris. (1960). Clinical management of behavior disorder in children. 2nd ed. Philadelphia & London: WB Saunders Company.

Bandura, A. (1997). Self-Efficacy: The exercise of control. New York: Freeman.

Barnard, K. L. & Curry, J. F. (2011). Self-compassion: conceptualization, correlate, & interventions. Journal of general psychology. Washington DC: American Psychological Association.

Bennett, & Goleman T. (2001). Emotional alchemy: how the mind can heal the heart. New York: Three Rivers Press.

Brewer, M. B. & Brown, R. J. (1998). Intergroup relations in D.T. Gilbert, S.T. Fiske & G. Lindzey (eds). The readbook of social psychology. 4th ed. New York: McGrawhill. Budiman, Melly. (1998). Makalah simposium pentingnya diagnose dini dan penatalaksanaan

terpadu pada autisme. Surabaya.

Deci, E.L., Ryan R. M. (1995). Human autonomy: the basis for true self-esteem. New York: Plenum.

Dyson, A. H. (1997). Writing superheroes: contemporary childhood, popular culture, and classroom literacy. New York: Teachers College Press.

Eaves. L. J. & Kenneth, S. K. (2005). Psychiatric genetics (Review of psychiatric series. Volume 24. Number 1; Oldham J. M. & Riba, M. B. series editors). Washington DC: American Psychiatric Publishing.

Glaser, B. & Strauss A. 1980. The discovery of grounded theory: Strategies for Qualitative Research. Chicago: Aldine

Gulo, W. (1982). Pengantar psikologi. Salatiga: Penerbit UKSW.

Harris, J. C. (2006). Intelectual Disability: understanding its development, causes classification, evaluation, and treatment. New York: Oxford University Press.

Harter, S. (1999). The construction of the self: a developmental perspective. New York: Guilford Press.

Hofstede, G. (1991). Cultures and organizations: software of mind. Maidenhead, UK: McGraw Hill.

Kerlinger, F. N. (1998). Asas-asas penelitian behavioral. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Knoers & Haditono. (1999). Psikologi perkembangan: pengantar dalam berbagai bagian. Cetakan 12. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.


(41)

105

Leary, M. R. & Rick, H. H. (2009). Handbook of individual differences in social behavior. New York: The Guilford Press.

Lopez, S. J. (2008). Positive psychology: exploring the best in people. Santa Barbara: Praeger.

Mangunsong, F. dkk. (1998). Psikologi dan pendidikan anak luar biasa. Depok: LPSP3-UI. Martin, L. (2010). Financial planning for autis child. Cetakan 1. Yogyakarta: Katahati. Mastuti, E. (2005). Analisis faktor alat ukur kepribadian big five (adaptasi dari IPIP) pada

mahasiswa suku jawa. Insan.

Mugno dkk. (2007) Impairment of quality of life in parents of children and adolescents with pervasive developmental disorder. Health and quality of life outcomes. London: BioMed Central.

Murphy-Hoefer, R.; Adler, S. & Higbee, C.(2004). Perception about cigarette smoking and risks among college students. Nicotine & tobacco research. Vol.6.

Nawawi. (2003). Metode penelitian bidang sosial.Yogyakarta: Gajah Mada.

Neff, K. D. (2003). An alternative conceptualization of a healthy attitude toward oneself: self and identity. Psychology Press.

Neff, K. & Rude et al. (2007). An examination of self-compassion in relation to positive psychological functioning and personality traits. Journal of research in personality. Neff, K. D. (2009). The role of self-compassion in development: a healthier way to relate

oneself. Journal of human development. Basel: Karger Publisher.

Neff, K. & McGehee, P. (2009). Self-compassion and psychological resilience among adolescents and young adults. Journal of self and identity.

Neff, K. & Vonk. (2009). Self-compassion versus global self-esteem: two different ways of relating to oneself. Journal of personality. Pubmed.

Neff, K. D. (2011). Self-compassion: stop beating yourself up and left insecurity behind. New York: Harper Collins Publishers.

Pusponegoro, H. D. & Solek, P. (2007). Apakah anak kita autis? Bandung: Trikarsa.

Santrock, J. W. (2002). Life-span development: perkembangan masa hidup. Edisi 5. Jakarta: Erlangga.

Santrock, J. W. (2011). Life-span development: perkembangan masa hidup. Edisi 13. Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Sastry, A., & Aguirre, B. (2014). Parenting anak dengan autisme. Diterjemahkan oleh: Yudi Santoso. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Schaie, K. W. & Cherry, L. W. 2001. Adult development and aging. Edisi 5. Cambridge: Pearson.


(42)

106

Universitas Kristen Maranatha Schieve, L. A. et al. (2007). Prevalence of parent-reported diagnosis of autism spectrum

disorder among children in the US. Volume 124. American Academy of Pediatrics. Soehartono. (2011). Metode penelitian sosial: suatu teknik penelitian bidang kesejahteraan

sosial dan ilmu sosial lainnya. Bandung: Rosda.

Sugiyono. (2008). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta. Sugiyono. (2010). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta. Suryana, A. (2004). Terapi autisme, anak berbakat, dan anak hiperaktif. Jakarta: Progress. Widihastuti, S. (2007). Pola pendidikan anak autis. Yogyakarta: Fajar Nugraha.


(43)

107

DAFTAR RUJUKAN

http://cirianakautis.com/ diakses tanggal 15 Maret 2014.

http://kamulah.com/pengertian-dan-ciri-anak-autis/ diakses tanggal 3 April 2014

Hidayat, Sianiwati S., dkk. 2015. Panduan penulisan skripsi sarjana (edisi revisi). Bandung: Universitas Kristen Maranatha

Melisa, F. (2013). 112000 anak indonesia diperkirakan menyandang autisme. Diakses dari

http://republika.co.id/berita/nasional/umum/13/04/09/mkz2un-112000-anak-Indonesia-diperkirakan-menyandang-autisme tanggal 07 Mei 2014.

Ngelow, Gemala D. 2015.Studi kasus mengenai psychological well-being pada abdi dalem punakawan di keratin kasultanan yogyakarta. (Skripsi). Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha: Bandung.

www.selfcompassion.org diakses tanggal 20 Agustus 2015.

Yusuf, E. A. (2003). Autisme masa kanak. Diakses dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3635/1/psikologi-elvi.pdf tanggal 17 September 2015.


(1)

vi

3. Meilani Rohinsa, M.Psi., psikolog, selaku dosen pembimbing utama yang selalu meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, dukungan serta arahan kepada peneliti agar skripsi ini dapat terselesaikan dengan sebaik mungkin.

4. Drs. Paulus H. Prasetya M.Si., Psikolog yang telah meluangkan banyak waktu untuk membimbing dan memberi masukan kepada peneliti terutama dalam pengolahan data skripsi.

5. Staff tata usaha Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha, selaku sumber bantuan dalam mengurus administrasi surat menyurat untuk melakukan penelitian di SLB “X” Bandung.

6. Kepala sekolah SLB “X” Bandung yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk melakukan penelitian di SLB “X” Bandung.

7. Dua orang ibu luar biasa yang bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. Terima kasih banyak atas kesediaannya meluangkan waktu dan berbagi pengalaman yang menginspirasi dengan peneliti.

8. Teguh G. dan Rini W. sebagai orang tua yang telah memberi bantuan secara finansial kepada peneliti.

9. Emiliana H. sebagai nenek yang selalu memberikan dukungan dan doa selama peneliti melakukan penyusunan skripsi ini.

10.Gabriel Sefriyanto, terima kasih atas cinta, bantuan, dukungan, semangat, dan doa yang selalu diberikan kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

11.Ras Nanda Acika, Giovani Natalia, Rahadjeng Indreswari, Febiola Eka Putri, dan Claudia Febriani. Terima kasih atas kebersamaannya selama menempuh studi di Fakultas


(2)

vii

dukungan, dan semangat hingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini

12.Teman-teman mahasiswa khususnya angkatan 2011 dan dosen-dosen Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha terima kasih atas bantuan, saran, dan dukungannya kepada peneliti.

13.Teman-teman OMIPALA (Ully Simarmata, Jenty Cypriana, Veronika Yulianti, Mikael Eko, Wangga, Oscar, Fr. Moses, Fr. Bayu)

14.Teman-teman OMK Santo Ignasius Cimahi 15.Rekan-rekan Nu Skin Bandung

16.Seluruh pihak yang telah membantu yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu

Akhir kata peneliti mengucapkan terima kasih banyak kepada seluruh pembaca dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan pihak-pihak yang memerlukan.

Bandung, Desember 2016


(3)

104

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Allik H, J. O. Larson, & H. Smedje. (2006). Health related quality of life in parents of school-age children with Asperger syndrome of high functioning autism. Health and quality

of life outcomes. London: BioMed Central.

Bakwin, Harry, & Ruth Morris. (1960). Clinical management of behavior disorder in

children. 2nd ed. Philadelphia & London: WB Saunders Company.

Bandura, A. (1997). Self-Efficacy: The exercise of control. New York: Freeman.

Barnard, K. L. & Curry, J. F. (2011). Self-compassion: conceptualization, correlate, & interventions. Journal of general psychology. Washington DC: American Psychological Association.

Bennett, & Goleman T. (2001). Emotional alchemy: how the mind can heal the heart. New York: Three Rivers Press.

Brewer, M. B. & Brown, R. J. (1998). Intergroup relations in D.T. Gilbert, S.T. Fiske & G. Lindzey (eds). The readbook of social psychology. 4th ed. New York: McGrawhill. Budiman, Melly. (1998). Makalah simposium pentingnya diagnose dini dan penatalaksanaan

terpadu pada autisme. Surabaya.

Deci, E.L., Ryan R. M. (1995). Human autonomy: the basis for true self-esteem. New York: Plenum.

Dyson, A. H. (1997). Writing superheroes: contemporary childhood, popular culture, and

classroom literacy. New York: Teachers College Press.

Eaves. L. J. & Kenneth, S. K. (2005). Psychiatric genetics (Review of psychiatric series. Volume 24. Number 1; Oldham J. M. & Riba, M. B. series editors). Washington DC: American Psychiatric Publishing.

Glaser, B. & Strauss A. 1980. The discovery of grounded theory: Strategies for Qualitative

Research. Chicago: Aldine

Gulo, W. (1982). Pengantar psikologi. Salatiga: Penerbit UKSW.

Harris, J. C. (2006). Intelectual Disability: understanding its development, causes

classification, evaluation, and treatment. New York: Oxford University Press.

Harter, S. (1999). The construction of the self: a developmental perspective. New York: Guilford Press.

Hofstede, G. (1991). Cultures and organizations: software of mind. Maidenhead, UK: McGraw Hill.

Kerlinger, F. N. (1998). Asas-asas penelitian behavioral. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Knoers & Haditono. (1999). Psikologi perkembangan: pengantar dalam berbagai bagian. Cetakan 12. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.


(4)

Leary, M. R. & Rick, H. H. (2009). Handbook of individual differences in social behavior. New York: The Guilford Press.

Lopez, S. J. (2008). Positive psychology: exploring the best in people. Santa Barbara: Praeger.

Mangunsong, F. dkk. (1998). Psikologi dan pendidikan anak luar biasa. Depok: LPSP3-UI. Martin, L. (2010). Financial planning for autis child. Cetakan 1. Yogyakarta: Katahati. Mastuti, E. (2005). Analisis faktor alat ukur kepribadian big five (adaptasi dari IPIP) pada

mahasiswa suku jawa. Insan.

Mugno dkk. (2007) Impairment of quality of life in parents of children and adolescents with pervasive developmental disorder. Health and quality of life outcomes. London: BioMed Central.

Murphy-Hoefer, R.; Adler, S. & Higbee, C.(2004). Perception about cigarette smoking and risks among college students. Nicotine & tobacco research. Vol.6.

Nawawi. (2003). Metode penelitian bidang sosial.Yogyakarta: Gajah Mada.

Neff, K. D. (2003). An alternative conceptualization of a healthy attitude toward oneself: self

and identity. Psychology Press.

Neff, K. & Rude et al. (2007). An examination of self-compassion in relation to positive psychological functioning and personality traits. Journal of research in personality. Neff, K. D. (2009). The role of self-compassion in development: a healthier way to relate

oneself. Journal of human development. Basel: Karger Publisher.

Neff, K. & McGehee, P. (2009). Self-compassion and psychological resilience among adolescents and young adults. Journal of self and identity.

Neff, K. & Vonk. (2009). Self-compassion versus global self-esteem: two different ways of relating to oneself. Journal of personality. Pubmed.

Neff, K. D. (2011). Self-compassion: stop beating yourself up and left insecurity behind. New York: Harper Collins Publishers.

Pusponegoro, H. D. & Solek, P. (2007). Apakah anak kita autis? Bandung: Trikarsa.

Santrock, J. W. (2002). Life-span development: perkembangan masa hidup. Edisi 5. Jakarta: Erlangga.

Santrock, J. W. (2011). Life-span development: perkembangan masa hidup. Edisi 13. Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Sastry, A., & Aguirre, B. (2014). Parenting anak dengan autisme. Diterjemahkan oleh: Yudi Santoso. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Schaie, K. W. & Cherry, L. W. 2001. Adult development and aging. Edisi 5. Cambridge: Pearson.


(5)

106

Universitas Kristen Maranatha Schieve, L. A. et al. (2007). Prevalence of parent-reported diagnosis of autism spectrum

disorder among children in the US. Volume 124. American Academy of Pediatrics.

Soehartono. (2011). Metode penelitian sosial: suatu teknik penelitian bidang kesejahteraan

sosial dan ilmu sosial lainnya. Bandung: Rosda.

Sugiyono. (2008). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta. Sugiyono. (2010). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta. Suryana, A. (2004). Terapi autisme, anak berbakat, dan anak hiperaktif. Jakarta: Progress. Widihastuti, S. (2007). Pola pendidikan anak autis. Yogyakarta: Fajar Nugraha.


(6)

DAFTAR RUJUKAN

http://cirianakautis.com/ diakses tanggal 15 Maret 2014.

http://kamulah.com/pengertian-dan-ciri-anak-autis/ diakses tanggal 3 April 2014

Hidayat, Sianiwati S., dkk. 2015. Panduan penulisan skripsi sarjana (edisi revisi). Bandung: Universitas Kristen Maranatha

Melisa, F. (2013). 112000 anak indonesia diperkirakan menyandang autisme. Diakses dari

http://republika.co.id/berita/nasional/umum/13/04/09/mkz2un-112000-anak-Indonesia-diperkirakan-menyandang-autisme tanggal 07 Mei 2014.

Ngelow, Gemala D. 2015.Studi kasus mengenai psychological well-being pada abdi dalem

punakawan di keratin kasultanan yogyakarta. (Skripsi). Fakultas Psikologi

Universitas Kristen Maranatha: Bandung.

www.selfcompassion.org diakses tanggal 20 Agustus 2015.

Yusuf, E. A. (2003). Autisme masa kanak. Diakses dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3635/1/psikologi-elvi.pdf tanggal 17 September 2015.