POLA PARENTING DI PESANTREN DALAM MEMBENTUK PERILAKU POSITIF REMAJA SANTRI : STUDI POLA KEPENGASUHAN DI PONDOK PESANTREN LANGITAN WIDANG TUBAN.

(1)

POLA PARENTING DI PESANTREN DALAM MEMBENTUK PERILAKU POSITIF REMAJA SANTRI

(Studi Pola Kepengasuhan di Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)

Oleh: Ro’fatul Ummah Nim: B53212087

PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM JURUSAN DAKWAH

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN OTENTISITAS SKRIPSI ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

BAB I: PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B.Rumusan Masalah ... 8

C.Tujuan Masalah ... 8

D.Batasan Masalah ... 8

E. Manfaat Menelitian ... 9

F. Definisi Konsep G.Metodologi Penelitian ... 14

H.Sistematika Pembahasan ... 21

BAB II: PARENTING, PESANTREN, DAN PERILAKU REMAJA A.Kajian Teoritik 1. Parenting ... 22

a. Pengertian Parenting ... 23

b. Jenis-jenis Parenting ... 26

c. Model Parenting ... 31 d. Metode Islamic Parenting


(6)

2. Pesantren ... 31

3. Konsep dan Teori Perilaku a. Pengertian perilaku ... 32

b. Proses Pembentukan Perilaku ... 33

c. Komponen Perilaku ... 37

d. Perilaku Positif ... 38

e. Bentuk Perilaku ... 38

f. Perilaku Ibadah ... 39

g. Interpesonal Skill ... 40

h. Perilaku Kesantunan ... 47

i. Perilaku Seksual ... 49

4. Masa Remaja a. Pengertian Remaja ... 51

b. Karakteristik umum perkembangan Remaja ... 52

5. Pola Parenting di pesantren dalam Membentuk Perilaku Positif Remaja santri B. Penelitian Terdahulu yang Terkait ... 53

BAB III : HASIL PENELITIAN A. Profil Pondok Pesantren langitan B. Deskipsi Data Penelitian 1. Pola Parenting dalam Membentuk Perilaku Positif Remaja Santri di Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban a. Gambaran Pola Parenting oleh Ibu Nyai ... 56

b. Gambaran Pola Parenting oleh Dewan Ustadzah ... 68

c. Gambaran Pola Parenting oleh Pengurus Pondok ... 70

d. Pendapat Santri Terhadap Pola Parenting Pengasuh ... 71 2. Dampak Implementasi Pola Parenting Dalam Membentuk

Perilaku Positif Remaja Santri Di Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban


(7)

a. Perilaku Ibadah ... 73

b. Perilaku Kesantunan ... 74

c. Perilaku Intepersonal Skill ... 76

d. Perilaku Belajar ... 77

e. Perilaku Pemenuhan Seksual ... 78

BAB IV: ANALISIS DATA A.Pola Parenting dalam Membentuk Perilaku Positif Remaja Santri di Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban 1. Gambaran Pola Parenting oleh Ibu Nyai ... 88

2. Gambaran Pola Parenting oleh Dewan Ustadzah ... 91

3. Gambaran Pola Parenting oleh Pengurus Pondok ... 92

B.Dampak Implementasi Pola Parenting Dalam Membentuk Perilaku Positif Remaja Santri Di Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban 1. Perilaku Ibadah ... 93

2. Perilaku Kesantunan ... 94

3. Perilaku Interpersonal Skill ... 95

4. Perilaku Belajar ... 96

5. Perilaku Pemenuhan Seksual ... 97

C.Konfirmasi antara Temuan dan Teori ... 97

BAB IV : PENUTUP A.Kesimpulan... 105

B.Saran ... 107


(8)

ABSTRAK

Ro’fatul Ummah (B5321287 Pola Parenting di Pesantren dalam Membentuk Perilaku Positif Remaja Santri (Studi Pola Kepengasuhan di Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban)

Pola Parenting adalah cara atau model yang digunakan oleh Parent (pengasuh) dalam mendidik, dan membina anak dalam bentuk perlakuan fisik maupun psikis yang tercermin dalam tutur kata, sikap, perilaku dan tindakan yang diberikan. Pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan Islam yang ikut andil dalam mendidik dan membina santri agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa. Sedangkan Perilaku positif adalah tindakan-tindakan baik yang sesuai dengan norma, nilai dan peraturan yang berlaku.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola parenting yang diterapkan di pesantren Langitan widang Tuban dalam membentuk perilaku positif remaja santri. Penelitian ini menggunakan metode penelitian Kualitatif, yakni menggambarkan pola

parenting di pesantren dengan menggunakan kata-kata. Sedangkan jenis penelitiannya

menggunakan etnografi untuk memaparkan keunikan dan kompleksitas pola

parenting (kepengasuhan) pondok pesantren Langitan Widang Tuban. Hasil

penelitian ini menjelaskan bahwa pola parenting yang paling dominan dalam membentuk perilaku positif remaja santri di Pesanten Langitan adalah pola parenting

dengan metode nasehat, keteladanan (direct dan indiect), dan pengganjaran meliputi penghargaan dan hukuman yang sesuai dengan konsep pola kepengasuhan Ki Hajar

Dewantara, yaitu, “ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karsa, tut wuri

handayani” yang berarti di depan memberi teladan, di tengah memberi semangat, di

belakang memberi dorongan. Pola parenting tersebut cukup berhasil dalam membentuk perilaku positif santri remaja meliputi perilaku ibadah, perilaku belajar, perilaku kesantunan, perilaku Interpersonal skill, dan perilaku pemenuhan kebutuhan seksual.


(9)

1

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang

Anak merupakan aset bangsa yang tidak ternilai harganya, dimana secara alamiah anak tumbuh menjadi besar dan dewasa. Mereka adalah penerus perjuangan bangsa yang akan menerima estafet kepemimpinan di kelak kemudian hari. Sebagai pewaris kemerdekaan, pemuda bertugas mengisi kemerdekaan, memikul tanggung jawab masa depan terhadap maju mundurnya suatu negara. Agar anak mampu melaksanakan tugas-tugas melanjutkan estafet kepemimpinan dan pembangunan dari generasi pendahulunya, maka kepadanya perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara wajar baik rohaniah, jasmaniah maupun sosial.

Salah satu pasal yang di dalamnya mencakup Hak Anak termuat pada BAB II pasal 2, yang menyatakan bahwa anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang, baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. Anak juga berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya.1

Dalam masa pengasuhan, lingkungan pertama yang berhubungan dengan anak adalah orang tuanya. Anak tumbuh dan berkembang dibawah pengasuhan dan perawatan orang tua. Oleh karena itu, orang tua merupakan dasar pertama bagi pembentukan pribadi anak. Melalui orang tua, anak beradaptasi dengan

1

Undang-undang Perlindungan anak, Keppres No. 77 tentang Komisi Perlindungan


(10)

2

lingkungannya untuk mengenal dunia sekitarnya serta pola pergaulan hidup yang berlaku dilingkungannya. Betapa besarnya tanggungjawab orang tua dihadapan allah SWT terhadap pendidikan anak. Tentang perkara ini Allah berfirman:                               

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At Tahrim: 6)

Wali atau orang tua mempunyai kewajiban untuk mendidik anak-anaknya. Memerintahkan kepada kebaikan, termasuk memerintahkan untuk melaksanakan sholat. Sebagaimana hadist yang disampaikan oleh Rosulullah SAW.2

ع ن

ع

م

بور

ش ن

ع ي

ع ب

ن

أ يب

ع ه

ن

ج

د

ق

لا

اق :

ل

ر س

و ل

م ها

ر و

أ ا

و ل

َ

ك

م

صلااب

ل

و

م

أ ب

ء ا

س ب

س ع

ي

و ,

ضا

ر ب و

م

ع ل

ي ه

و ا

م

أ ب

ءا

ع

ش

ر

و .

ف ر

ق

و

ب ا

ي ه

م

ف

لا

م

ض

جا

ع.

اور

َواَوبأ

Dari 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata:Rasulullah SAW bersabda, “Suruhlah anak-anakmu melaksanakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka karena meninggalkan shalat itu jika berumur sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR. Abu Dawud)

Remaja yang dibesarkan dengan pengasuhan yang kurang tepat, kurang terpenuhinya kebutuhan psikologis mereka sesuai dengan tahap perkembangannya, menjadikan mereka tumbuh dan berkembang dengan cara


(11)

3

yang salah. Kurangnya pengarahan dan penanaman nilai-nilai positif pada anak kurang dapat menempatkan dirinya dengan benar di lingkungan.

Namun, Pada umumnya saat ini banyak remaja yang dalam proses pembentukannya bukan hanya diasuh oleh orang tua (ayah-ibu) yang merupakan basis dalam proses pengasuhan, melainkan juga oleh individu-individu lain dan atau lembaga pendidikan baik formal maupun informal yang ada disekitarnya. Orang tua bekerja sama dengan pihak yang dianggap mampu memberikan pendidikan yang baik, kasih sayang, dan perhatian yang cukup kepada anak. Hal tersebut mempunyai alasan yang beragam, di antaranya orang tua merasa khawatir tidak mampu memberikan pendidikan yang maksimal dan terbaik kepada anak, sehingga peran orang tua digantikan oleh pihak lain, salah satunya pondok pesantren.

Fenomena di atas sesuai dengan definisi parenting. Parent dalam

parenting (pengasuhan) memiliki beberapa definisi di antaranya ibu, ayah,

seseorang yang akan membimbing dalam kehidupan baru, seorang penjaga, maupun seorang pelindung. Parent adalah seseorang yang mendampingi dan membimbing semua tahapan pertumbuhan anak, yang merawat, melindungi, membimbing dan mengarahkan kehidupan baru anak dalam setiap tahapan perkembangannya.3

UU RI No 11 tahun 2012 tentang system peradilan pidana anak Bab 1 ketentuan umum pasal 1 ayat 17 menyatakan bahwa wali adalah orang atau

3

Jane Brooks, the Process of Parenting. Terjemahan oleh Rahmat Fajar (Yogyakarta:


(12)

4

badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak.

Pondok Pesantren adalah salah satu lembaga yang ikut andil dalam proses kepengasuhan anak yang mempunyai visi mendidik, membina dan mengasuh individu untuk menjadi manusia yang beriman – taqwa, berbudi pekerti luhur dengan berbekal keterampilan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga mampu mengemban amanat dan kewajibannya dalam menjalankan ajaran agama untuk kepentingan membangun bangsa dan negara. Dhofier menyatakan bahwa unsur-unsur dasar yang membentuk lembaga pondok pesantren adalah kyai, masjid, asrama, santri dan kitab kuning.4

Lembaga pondok Pesantren menyediakan asrama atau pondok (pemondokan) sebagai tempat tinggal bersama sekaligus tempat belajar para santri di bawah bimbingan Kyai agar terjadi sikap timbal balik antara kyai dan santri yang berupa terciptanya hubungan kekerabatan seperti halnya hubungan ayah dan anak.

Sikap timbal balik ini menimbulkan keakraban dan kebutuhan untuk saling berdekatan secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama, dan memudahkan dalam pengawasan dan pembinaan kepada para santri secara intensif dan istiqomah. Dengan adanya peraturan-peraturan yang telah dibuat oleh pesantren, secara otomatis mereka akan belajar hal baru yang

4

Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup, (Jakarta:


(13)

5

menjadikan anak mengalami berbagai perubahan secara fisik, emosi, perilaku dan sosial.5

Pesantren berikhtiar meletakkan visi dan kiprahnya dalam kerangka pengabdian sosial yang pada mulanya ditekankan kepada pembentukan moral keagamaan yang kemudian dikembangkan kepada rintisan-rintisan pengembangan yang lebih sistematis dan terpadu yang menyediakan layanan kosultasi bagi masyarakat, anak-anak, dan para remaja.

Pada umumnya santri yang tinggal di pondok pesantren saat ini adalah anak pada usia remaja yakni usia 12-21 tahun. Masa ini disebut sebagai masa peralihan, dimana usianya berkisar 12 sampai 21 tahun yang tidak menyenangkan dimana terjadi juga perubahan pada dirinya baik secara fisik, psikis maupun social.

Periode ini dirasakan sebagai suatu krisis karena belum adanya pegangan, sedangkan kepribadianya sedang mengalami pembentukan. Kondisi tersebut apabila didukung dengan lingkungan yang kurang kondusif, kurangnya bimbingan ataupun pendidikan, ketidakmampuan menyesuaikan diri serta sifat kepribadian yang kurang baik akan menjadi pemicu buruk terhadap prilaku pada remaja.6

Pola pengasuhan yang salah terhadap remaja akan mengakibatkan ketergantungan, frustasi dan akhirnya akan mengganggu proses perkembangan konsep dirinya. Konsep diri yang rendah bisa menghasilkan beberapa konsekuensi psikologi, fisik, dan perilaku sosial yang bisa mempengaruhi

5

S, Galba, Pesantren sebagai Wadah Komunikasi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hal. 22.

6 Ermi Yantiek, “Kecerdasan Emosi, Kecerdasan Spiritual

dan Perilaku Prososial


(14)

6

sebaik apakah remaja mengendalikan masa remaja dan transisi tak terelakkan menuju dunia dewasa.

Sayangnya, dan terlalu sering terjadi, konsekuensi ini termasuk depresi, kurangnya motivasi belajar, rendahnya spiritual, kurangnya penghargaan terhadap sistem nilai kesantunan dan kesopanan terhadap yang lebih tua, kurang ta‟dzim pada guru, kurang menyayangi sesama teman sebaya, dan kesalahan dalam pemenuhan kebutuhan seksual, sehingga sangat memerlukan pola asuh yang sesuai dengan kebutuhan remaja.7

Dengan demikian, usia remaja adalah usia pencarian identitas dan sangat rentan terjerumus dalam lingkungan pergaulan yang cenderung negatif. Oleh karena itu, dibutuhkan pembinaan, pemahaman, pendidikan dan pengasuhan yang bersifat bersifat spiritual.8

Lingkungan pesantren memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai etika dan estetika untuk pembentukan karakter, pembentukan karakter tidak semata-mata dilakukan melalui pembelajaran pengetahuan, akan tetapi melalui penanaman nilai-nilai yang diwjudkan dalam aktifitas social. Dalam hal ini, santri akan mendapat pengawasan dan bimbingan dari kyai dan para ustadz/ustadzah melalui metode keteladanan di pesantren.

Dengan demikian apa yang dilakukan di pesantren tidak hanya menekankan pentingnya nilai-nilai itu diimplementasikan dalam kehidupan

7Dennis Trittin dan Arlyn Lawrence, Parents Are you ready to Launch?. Terjemahan oleh

Cheryl Rosa, (Jakarta: Kesaint Blanc, 2014), terj, hal. 107. 8

Didiki Suhardi, “Peran SMP berbasisi Pesantren sebagai Upaya Penanaman


(15)

7

sehari-hari, melainkan memberikan contoh langsung dalam kehidupan mereka di pesantren.9 Ukuran keberhasilan santri dalam studi di pesantren tidak semata-mata diukur dari kecakapan atau kemampuannya dalam melahap dan menguasai kitab kuning atau pengetahuan lainnya, lebih dari itu terletak pada relasinya dengan kyai, sesama santri dan lingkungannya.10

Saat ini pondok pesantren langitan widang dihuni lebih dari 5500 santri yang mayoritas adalah usia remaja dari berbagai daerah di Indonesia dan sebagian malaysia. Dalam rentang masa satu setengah abad pondok pesantren Langitan widang Tuban telah menunjukkan kiprah dan peran yang luar biasa. Banyak tokoh-tokoh besar dan pengasuh pondok pesantren yang dididik dan dibesarkan di pondok pesantren langitan ini, seperti K.H. Kholil Bangkalan,

K.H. Hasyim Asy’ary, K.H. Syamsul Arifin dan lain-lain.11

Pola kepengasuhan pesantren tersebut mampu membuat perubahan perilaku yang signifikan terhadap perilaku santri, pondok pesantren telah menerapkan pola atau Gaya kepengasuhan khas yang sudah berjalan berabad-abad. Oleh karena itu, sangat menarik untuk mengambil judul penelitian

tentang “Pola Parenting di Pesantren dalam Membentuk Perilaku Positif

Remaja Santri (Studi Pola Kepengasuhan di Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban).”

9Abdul Syakur, “

Peran Pesantren dalam Pendidikan Nilai”, Jurnal Pesantren Direktorat

Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren-Jenderal Pendidikan Islam-Kementrian Agama RI, (Volume 1, 2010), hal. 89-90.

10

Achmad Fahruddin, Gus Dur dari Pesantren ke Istana Negara, (Jakarta: Link Brothers,

1999), hal. 42. 11


(16)

8

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan asumsi-asumsi teoritik, penelitian terdahulu dan realitas di lapangan, maka pertanyaan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:

“Bagaimana Pola Parenting dalam Membentuk Perilaku Positif Remaja di

Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban?”

Selanjutnya pertanyaan pokok tersebut diperinci ke dalam beberapa pertanyaan untuk memudahkan pencapaian tujuan penelitian.

1. Bagaimana pola parenting dalam membentuk perilaku positif remaja santri di pondok pesantren Langitan Widang Tuban?

2. Bagaimana dampak implementasi pola parenting dalam membentuk perilaku positif remaja santri di pondok pesantren langitan Widang Tuban?

C.Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Menggambarkan pola parenting dalam membentuk perilaku positif remaja santri di pondok pesantren Langitan Widang Tuban

2. Menjelaskan dampak implementasi pola parenting dalam membentuk perilaku positif remaja santri di pondok pesantren langitan Widang Tuban?

D.Batasan Masalah

Dalam penelitian ini penulis memfokuskan penelitiannya tentang pola

parenting dalam membentuk perilaku positif remaja santri putri berusia 12

sampai 21 tahun yang tinggal di pesantren Langitan Widang Tuban yang dilakukan oleh kyai dan bu nyai, ustadz/ustadzah dan para pengurus pesantren.


(17)

9

Adapun santri yang diteliti berjumlah 35 orang, tiga orang dewan masyayikh (pak kiai dan bunyai), 5 ustadzah dan 7 pengurus

E.Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari hasil penelitian ini adalah:

1. Menambah pemahaman peneliti tentang pola Parenting di pesantren terhadap pembentukan perilaku positif remaja santri

2. Diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah perbendaharaan teoritis khususnya dalam masalah penerapan kepengasuhan terhadap pembentukan perilaku positif remaja santri di lembaga pesantren.

3. Dapat menambah kepustakaan sebagai bantuan dan studi banding bagi mahasiswa di masa mendatang

4. Diharapkan bisa bermanfaat bagi individu atau kelompok khususnya para pelaksana kepengasuhan di pesantren Langitan Widang Tuban sebagai bahan pertimbangan dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengasuh

5. Dapat dijadikan sebagai tambahan referensi dalam memberikan bantuan kepada pelaksana kepengasuhan dalam mengoptimalkan pembentukan perilaku positif remaja di pondok pesantren Langitan Widang Tuban

F. Definisi Konsep

1. Pola Parenting di Pesantren a. Pola Parenting


(18)

10

Dalam kamus ilmiah popular pola bermakna model, contoh, pedoman (rancangan) dasar kerja.12 Sedangkan Parenting berasal dari kata parent yang artinya orang tua, ayah, ibu.13

Parenting dalam Bahasa Indonesia bermakna kepengasuhan.

Berasal dari kata pengasuh yang artinya individu-individu yang mengasuh, melindungi, membimbing dari bayi hingga tahap dewasa. Kepengasuhan adalah sebuah proses tindakan dan interaksi antara orang tua dan anak. Parent dalam parenting (pengasuhan) memiliki beberapa definisi di antaranya ibu, ayah, seseorang yang Akan membimbing dalam kehidupan baru, seorang penjaga, maupun seorang pelindung. Parent

adalah seseorang yang mendampingi dan membimbing semua tahapan pertumbuhan anak, yang merawat, melindungi, membimbing dan mengarahkan kehidupan baru anak dalam setiap tahapan perkembangannya.14

b. Pondok Pesantren

Menurut Ahmad Tafsir, “Istilah Pesantren adalah lembaga Pendidikan Islam tertua di Indonesia yang telah berfungsi sebagai salah satu pusat dakwah dan pusat pengembangan masyarakat muslim

Indonesia”. Jadi pondok pesantren sebagai tempat untuk belajar ilmu

agama Islam sekaligus juga tempat tinggal para santri. Sedangkan

12

Puis A Partanto dan Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola,

1994), hal. 605.

13John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia an English Indonesian

Dictionary, (Jakarta: Gramedia, 1996), hal. 418. 14

Jane Brooks, the Process of Parenting. Terjemahan oleh Rahmat Fajar (Yogyakarta:


(19)

11

pondok, masjid, kiai, santri dan pengajian kitab-kitab klasik merupakan Lima elemen dasar bagi pondok pesantren. Istilah pondok diambil dari Bahasa Arab Funduq, yang berarti hotel, penginapan. Istilah pondok diartikan juga dengan asrama yang sebagai tempat tinggal santri dalam menuntut ilmu agama di lingkungan pesantren. Dengan demikian pondok mengandung arti sebagai tempat tinggal. Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan yang bertujuan untuk mendalami ilmu agama Islam, dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian.15

Lingkungan pesantren mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan karakter melalui penanaman nilai-nilai etika dan estetika melalui metode keteladanan yang dilakukan oleh kyai, ustadz dan para pengurus pesantren.

Lembaga pondok Pesantren menyediakan asrama atau pondok (pemondokan) sebagai tempat tinggal bersama sekaligus tempat belajar para santri di bawah bimbingan Kyai agar terjadi sikap timbal balik antara kyai dan santri yang berupa terciptanya hubungan kekerabatan seperti halnya hubungan ayah dan anak. Sikap timbal balik ini menimbulkan keakraban dan kebutuhan untuk saling berdekatan secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama, dan memudahkan dalam pengawasan dan pembinaan kepada para santri secara intensif dan istiqomah.16

c. Pola Parenting di Pesantren

15

Suyono dkk, Peranan Pondok Pesantren Dalam Mengatasi Kenakalan Remaja Studi

Kasus Di Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta, jurnal, hal. 4.


(20)

12

Parenting adalah kepengasuhan yang dilakukan oleh orang tua

dalam membantu perkembangan anak meliputi perkembangan fisik, psikologis, dan social.

UU RI No 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak Bab 1 ketentuan umum pasal 1 ayat 17 menyatakan bahwa wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak. Dalam hal ini peran pesantren dan komponen yang membimbing santri adalah wali (pengasuh).

Adapun pola parenting di pesantren yang peneliti maksud adalah cara, model, contoh kepengasuhan yang diterapkan oleh kyai, ustdaz/ustadzah dan pengurus pesantren meliputi cara mendidik, memberikan perlindungan, aturan-aturan, hadiah atau hukuman, serta memberikan tanggapan kepada santri remaja dalam lingkup pesantren agar menjadi manusia dewasa yang memiliki perilaku positif yang mana berupaya untuk tidak melanggar kaidah-kaidah hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan dalam norma-norma yang berlaku dalam agama.

d. Perilaku Positif Remaja

Dalam Kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI), perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan.17

17 KBBI


(21)

13

Moral atau perilaku dalam pengertiannya yang umum menaruh penekanan kepada karakter dan sifat-sifat individu yang khusus.18

Dikatakan remaja (adolence) adalah mereka yang berusia 12-21 tahun, yaitu masa topan badai (strum und drang), yang mencerminkan kebudayaan modern yang penuh gejolak akibat pertentangan nilai-nilai.19

Ketika memasuki usia remaja, anak-anak tidak lagi begitu saja menerima kode perilaku dari orang tua, guru, bahkan teman-teman sebaya. Sekarang dia sendiri ingin membentuk kode sendiri berdasarkan konsep tentang benar dan salah yang telah diubah dan diperbaiki agar sesuai dengan tingkat perkembangan yang lebih matang dan yang telah dilengkapi dengan hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang dipelajari dari orang tua, guru dan orang sekitarnya. Beberapa remaja bahkan melengkapi kode perilaku mereka dengan pengetahuan yan diperoleh dari pelajaran agama.20

Perilaku positif adalah perilaku yang tidak melanggar kaidah-kaidah hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan dalam norma-norma yang berlaku dalam agama.

Adapun Perilaku positif remaja yang penulis maksud disini adalah sikap, perbuatan, tindakan baik yang tidak melanggar aturan dan sesuai dengan sistem nilai dan moral yang berlaku di pesantren yang dimunculkan oleh santri remaja dalam kehidupan sehari-hari meliputi

18

Wahyudi Kumorotomo, Etika Adminitrasi Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2007), hal. 6. 19

Sarlito Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta: Rajawali Press, 2015), hal. 29-30.

20

Elizabeth Hurlock, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang


(22)

14

perilaku ibadah, perilaku belajar, kesantunan, interpersonal skill, dan pemenuhan kebutuhan seksual.

G.Metodologi Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian a. Pendekatan

Jika melihat permasalahan yang dikemukakan dapat dikatakan bahwa Tipe pertanyaan penelitian ini lebih banyak berkaitan dengan pemahaman (meaning). Karena itu jenis penelitian yang digunakan peneliti adalah penelitian kualitatif dimana data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan dalam bentuk angka. Data tersebut mungkin berasal dari naskah, wawancara, catatan lapangan, dokumen pribadi, catatan atau memo, jurnal dan dokumen resmi lainnya.21

b. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif etnografi. Penelitian etnografi bermaksud mendeskripsikan suatu komunitas atau Kultur, mengetahui gambaran tentang keunikan kelompok, kompleksitas penuh nuansa-nuansa interaksi, praktik budaya dan setingnya sehingga pembaca mampu merasakan secara actual menghayati pengalaman dari kelompok yang diteliti.22

21 John Creswell, Edisi Ketiga Research Design Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan

Mixed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hal. 4-5. 22

Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data (Jakarta: Raja Grafindo Persada,


(23)

15

Peneliti menggunakan penelitian kualitatif etnografi untuk menggambarkan serta memaparkan keunikan dan kompleksitas pola parenting (kepengasuhan) pondok pesantren Langitan Widang Tuban yang berkaitan dengan pola parenting dalam membentuk perilaku positif remaja santri di pondok pesantren langitan Widang Tuban.

2. Informan dan Lokasi Penelitian a. Informan Penelitian

Adapun informan dalam penelitian ini adalah bu nyai, ustadz-ustadzah dan pengurus sebagai pelaksana pola parenting dan santri (remaja usia 12-21 tahun) sebagai obyek pola parenting di pondok pesantren langitan Widang Tuban.

b. Lokasi Penelitian

Peneliti memilih Lembaga pendidikan Pondok pesantren langitan Widang Tuban yang mana dianggap sebagai pelaksana parenting yang unik, tidak saja karena keberadaanya yang sudah sangat lama, tetapi juga karena kultur, metode, dan jaringan yang diterapkan oleh lembaga agama tersebut mampu mencetak para remaja menjadi pribadi yang luar biasa, agamawan, berwawasan luas sehingga tugas-tugas perkembangan psikologis-nya terpenuhi.


(24)

16

Dalam penelitian ini peneliti berusaha memberikan gambaran tentang langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti. Adapun tahap-tahap penelitian yang peneliti lakukan adalah sebagai berikut: 23

1) Tahap Orientasi

Tahap ini dilakukan sebelum merumuskan masalah secara umum. Peneliti hnaya berbekal perkiraan tentang kemungkinan adanya masalah yang layak diungkapkan melalui penelitian. Dari hasil orientasi itulah dirumuskan Masalah yang masih umum sebagai focus penelitian.

2) Tahap Eksplorasi

Pada tahap ini peneliti memasuki proses Menentukan instrumen dan rencana pengumpulan data yang digunakan untuk mempertajam masalah atau merumuskan kesimpulan atau menyusun teori-teori. Instrument yang banyak digunakan adalah wawancara, sebagai instrumen dalam penelitian dengan tehnik komunikasi langsung. Selanjutnya juga menggunakan tehnik Observasi (pengamatan), baik langsung maupun tidak langsung. Dalam penggunaan instrument ini, maka alat yang paling banyak digunakan adalah pencacatan dengan berbagai bentuk jenisnya. Adapun secara rinci sebagai berikut:

a) Menyusun rancangan penelitian b) Memilih lapangan penelitian

c) Menjajaki dan menilai keadaan lapangan

23

Hadari Nawawi dan Martini Hardari, Instrumen Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta:


(25)

17

d) Memilih dan memanfaatkan informan e) Menyiapkan perlengkapan penelitian f) Memahami etika penelitian

3) Analisis data dan penyusunan laporan penelitian a) Analisis data umum untuk mempertajam masalah

b) Analisis data dilakukan untuk sampai pada tafsiran-tafsiran yang berhubungan dengan setiap sub masalah atau aspek-aspek yang telah dipertajam.

c) Mengecek kembali kebenaran dan kemungkinan mengembangkan penafsiran-penafsiran dengan masuknya data baru.

d) Analisis untuk menemukan makna data dan tafsirannya dalam Konteksnya dengan masalah secara keseluruhan. Dan bersamaan dengan proses menghimpun dan menganalisis data itu disusun laporan penelitian dan hasil-hasilnya.

d. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif maka peneliti menggunakan dua jenis data untuk menggali data sebagai berikut

1) Data primer

Data ini berupa teks hasil observasi dan wawancara dengan informan.24 Dalam hal ini data primer bersumber dari ibu nyai, ustadzah, pengurus dan santri remaja santri pondok pesantren Langitan Widang Tuban.

24

Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif (Yogyakarta: Graha


(26)

18

2) Data sekunder

Data sekunder berupa data-data yang sudah tersedia dan dapat diperoleh oleh peneliti dengan cara membaca, melihat atau mendengarkan.25 Peneliti menggali data berupa foto, buku profil pesantren, hasil rekaman, video sambutan pengasuh mengenai profil pondok pesantren, surat-surat dan dokumen semacamnya.

e. Tehnik Pengumpulan Data

Dalam usaha mengumpulkan data yang dibutuhkan dalam pembahasan laporan ini, penulis menggunakan beberapa metode atau teknik pengumpulan data sebagai berikut:

1) Wawancara

Wawancara adalah kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan pada para responden.26 Dalam penelitian ini yang menjadi responden adalah kyai, ustdadz/ustadzah, pengurus pesantren selaku pelaksana parenting dan santri sebagai obyek parenting tentang hal-hal yang terkait pola parenting terhadap perubahan perilaku santri remaja di pesantren Langitan Widang Tuban.

2) Observasi

Observasi merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mengamati secara langsung maupun tidak langsung terhadap

25Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif (Yogyakarta: Graha

Ilmu, 2006), hal. 211. 26

Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta,


(27)

19

kegiatan yang Sedang berlangsung.27 Dalam penelitian ini peneliti menggunakan tehnik participant observation yakni peneliti ikut langsung dalam kegiatan sehari-hari untuk mengumpilkan data tentang keadaan pondok pesantren Langitan Widang Tuban.

3) Dokumentasi

Schatman dan Strauss menegaskan bahwa dokumen historis merupakan bahan penting dalam penelitian kualitatif. Dokumentasi merupakan suatu cara pengumpulan data dengan menggunakan dokumen-dokumen sebagai sumber data. Dokumen-dokumen tersebut dapat berupa: buku raport pesantren, buku induk santri, buku profil pesantren dan rekaman. 28

f. Tehnik Analisis Data

Peneliti melakukan aktivitas analisis data dengan menggunakan analisis intraktif yang meliputi tiga tahapan berikut:29

1) Reduksi data

Mereduksi berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, dan memfokuskan pada hal-hal yang penting.

2) Penyajian data

Data dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antara kategori dan sejenisnya. Menyajikan data Akan mempermudah

27 Sugiyono, Metode penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta,

2012), hal. 145.

28Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu Komunikasi

dan Ilmu social lainnya (Bandung: Remaja PosdaKarya, 2004), hal. 195.

29

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta,


(28)

20

peneliti untuk memahami apakah yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan hal-hal yang dipahami.

3) Penarikan kesimpulan

Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan Akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data selanjutnya. Jika ada bukti yang mendukung maka Akan menjadi kesimpulan yang kredibel. g. Tehnik keabsahan Data

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan tehnik keabsahan data sebagai berikut: 30

1) Perpanjangan Keikutsertaan

Peneliti dalam penelitian kualitatif adalah instrument itu sendiri. Keikutsertaan peneliti sangat menentukan dalam pengumpulan data. Perpanjangan keikutsertaan peneliti memungkinkan peningkatan derajat kepercayaan data yang dikumpulkan.

Agar keabsahan data dapat diterima maka peneliti terjun langsung ke lokasi penelitian, yakni ke pondok pesantren Langitan Widang Tuban dalam waktu yang cukup panjang guna mendeteksi dan memperhitungkan distorsi yang mungkin mengotori data

2) Ketekunan Pengamatan

Dalam penelitian ini peneliti mengamati dengan teliti dan rinci secara berkesinambungan terhadap factor-faktor yang menonjol.

30

Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Roesda Karya, 2000),


(29)

21

3) Triangulasi

Triangulasi Dapat dilakukan dengan cara (a) Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara, (b) Membandingkan apa yang orang katakan di depan umum dan apa yang dikatakannya secara pribadi, (c) membandingkan keadaan dengan perspektif orang dengan berbagai pendapat

H.Sistematika Pembahasan

Bab I, pendahuluan, merupakan bagian awal dari penelitian yang dapat dijadikan sebagai awalan dalam memahami keseluruhan dari pembahasan. Bab ini berisi beberapa sub bagian meliputi; latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, manfaat penelitian, definisi konsep, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab II, berisi kerangka teoritis yang dijadikan sebagai pisau analisis data, meliputi teori parenting, teori Pesantren, dan teori perilaku remaja. Kedua berisi penelitian terdahulu yang relevan.

Bab III, uraian tentang objek penelitian. Bab ini menjelaskan latar belakang sejarah berdirinya Pesantren, pola parenting dan hal-hal yang terkait dengan tema penelitian di pondok pesantren Langitan Widang Tuban.

Bab IV, merupakan analisis data yang meliputi sajian data dan pembahasan.

Bab V, penutup, yang terdiri kesimpulan yakni temuan penelitian dan implikasi teoritis, serta saran di antaranya tentang keterbatasan penelitian.


(30)

22

BAB II

PARENTING, PESANTREN DAN PERILAKU POSITIF REMAJA

A.Kerangka Teoritik

1. Parenting

a. Pengertian Parenting

Parent dalam parenting (pengasuhan) memiliki beberapa definisi

di antaranya ibu, ayah, seseorang yang mendampingi dan membimbing semua tahapan pertumbuhan anak, yang merawat, melindungi, dan mengarahkan kehidupan baru anak dalam setiap tahapan perkembangannya.

Rahmat Fajar mengemukakan bahwa memberikan tanggung jawab dan perhatian yang mencakup kasih sayang dan hubungan dengan anak yang terus berlangsung, Kebutuhan material seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal, Akses kebutuhan medis, Disiplin yang bertanggung jawab, menghindarkan dari serta hukuman fisik yang berbahaya, Pendidikan intelektual dan moral, Persiapan bertanggung jawab sebagai orang dewasa.31

Ketika orang tua memberikan perhatian dan hal yang dibutuhkan anak, pengasuhan tidak berjalan satu arah, melainkan ada interaksi dan timbal balik antara orang tua dan anak. Kedua pihak saling mengubah satu sama lain saat anak tumbuh menjadi sosok dewasa.32

31 Jane Brooks, the Process of Parenting. Terjemahan oleh Rahmat Fajar (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2001), Hal. 21. 32

Jane Brooks, the Process of Parenting. Terjemahan oleh Rahmat Fajar (Yogyakarta:


(31)

23

Dengan demikian Peran dasar orang tua ialah bertanggung jawab atas pemeliharaan. Orang tua mempunyai wewenang untuk memenuhi kebutuhan komples anak karena dianggap mengetahui hal-hal terbaik untuk anaknya.

b. Jenis-jenis Pola Parenting

Pola asuh orang tua terhadap remaja, sangat bervariasi. Ada yang pola asuhnya menurut apa yang dianggap terbaik oleh dirinya sendiri saja sehingga ada yang bersifat otoriter, memanjakan anak, acuh tak acuh, tetapi ada juga yang penuh kasih sayang. Perbedaan pola asuh orang tua dapat berpengaruh terhadap perbedaan perkembangan emosi, perilaku dan sosial remaja.

Saiful Bahri Djamarah mengemukakan beberapa macam tipe-tipe pola asuh orang tua, yaitu:33

1) Pola Parenting Otoriter

Pola asuh otoriter adalah tipe pola asuh yang memaksakan kehendak. Orang tua cenderung menjadi pengendali dan pengawas, selalu memaksakan kehendak kepada anak, tidak terbuka terhadap anak, sangat sulit menerima saran dan cenderung memaksakan kehendak dalam perbedaan. Hubungan orang tua dan anak cenderung renggang.

2) Pola Parenting Demokratis

33

Saiful Bahri Djamarah, Pola Asuh Orang tua dan Komunikasi dalam Keluarga upaya

membangun Citra Membentuk Pribadi Anak Edisi Revisi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2014), Hal.


(32)

24

Tipe demokratis adalah tipe pola asuh yang terbaik. Tipe ini mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan individu. Orang tua menggunakan kontrol terhadap anak. Orang tua mengharapkan anak untuk berbagi tanggung jawab dan mampu mengembangkan potensi anaknya. Tipe pola asuh ini berjalan dalam suasana yang rileks dan memiliki kecenderungan untuk menghasilkan produktivitas dan kreativitas.

3) Pola Parenting Karismatik

Tipe pola asuh karismatik adalah pola asuh orang tua yang memiliki kewibawaan yang kuat. Kewibawaan itu hadir bukan karena kekuasaan atau ketakutan, tetapi karena adanya relasi kejiwaan antara orang tua dan anak. Adanya kekuatan internal luar biasa yang diberkahi kekuatan gaib (supernatural powers) oleh tuhan dalam diri orang tua. Sehingga dalam waktu singkat dapat menggerakkan anak tanpa bantahan.

4) Pola Parenting Transaksi

Pola asuh orang tua ini selalu melakukan perjanjian (transaksi), di mana antara orang tua dan anak membuat kesepakatan dari setiap tindakan yang diperbuat. Orang tua menghendaki anaknya mematuhi dalam wujud melaksanakan perjanjian yang telah disepakati. Ada sanksi tertentu yang dikenakan kepada anak jika suatu waktu anak melanggar perjanjian tersebut.


(33)

25

Menurut Saiful Djamrah pengganjaran dalam pola pengasuhan dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu hukuman dan penghargaan.

a. Hukuman

Hukuman berasal dari kata latin “punire” yang berarti

menjatuhkan hukuman pada seseorang karena suatu kesalahan, perlawanan atau pelanggaran sebagai ganjaran atau pembalasan. b. Penghargaan

Istilah penghargaan berarti tiap bentuk penghargaanuntuk setiap hasil yang baik. Penghargaan tidak harus dalam bentuk materi, tetapi dapat berupa kata-kata pujian, senyuman atau tepukan dipunggung.

c. Model Parenting

Widjaja mengemukakan dua tipe parenting dalam keluarga, yaitu pola kepengasuhan Ki Hajar Dewantara dan pola kepengasuhan Pancasila.34

1) Pola Parenting Ki Hajar Dewantara

Pola kepengasuhan yang dikemukakan oleh ki Hajar Dewantara adalah ing ngarsa sung tulodo, ing madya mangun karsa, tut wuri

handayani. Yang berarti di dapan memberi teladan, di tengah

memberi semangat, di belakang memberi pengaruh. 2) Pola Parenting Pancasila

34 Saiful Bahri Djamarah, Pola Asuh Orang tua dan Komunikasi dalam Keluarga upaya

membangun Citra Membentuk Pribadi Anak Edisi Revisi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2014), Hal.


(34)

26

Kepengasuhan pancasila mengikuti pola seimbang, selaras dan serasi menurut keadaan. Yaitu mengikuti asas pola Parenting

pancasila, yaitu di depan memberi teladan, di tengah memberi semangat, di belakang memberi pengaruh, di atas memberi pengayoman/perlindungan, di bawah menunjukkan pengabdian. Maka seorang pengasuh yang baik diharapkan mengerti dan memahami di mana dia harus menempatkan diri pada situasi dan kondisi tertentu serta mengenal karakteristik anak, dan obyektif.35

d. Metode Islamic Parenting

Ada beberapa metode Islamic parenting diantaranya adalah metode cerita, pembiasaan, memberi nasehat, keteladanan, pembinaan dengan hukuman, dan memberikan imbalan hadiah

1) Metode Cerita

Metode cerita juga digunakan dalam upaya menanamkan sejumlah nilai kepada anak. Penggunaan metode cerita cukup banyak disebutkan dalam Al Quran yang berbunyi:

                         

Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran ini kepadamu, dan Sesungguhnya kamu sebelum (kami mewahyukan) nya adalah Termasuk orang-orang yang belum mengetahui (QS. Yusuf:3)

Menurut Sulityowati, “Lewat cerita diupayakan menanamkan benih kecerdasan, inovasi dan kreativitas pada akal anak. Keteladan

35

Saiful Bahri Djamarah, Pola Asuh Orang tua dan Komunikasi dalam Keluarga upaya


(35)

27

yang baik lewat cerita edukatif perlu diberikan untuk mengimbangi cerita-cerita yang tidak edukatif yang berpotensi merusak kepribadian

anak”.36

2) Metode Keteladanan

Keteladanan adalah metode atau cara membina dengan memberikan pembelajaran kepada anak dengan cara memberikan contoh yang baik, baik melalui perkataan ataupun perbuatan. Keteladanan orang tua sangat berpengaruh dalam membentuk kepribadian anak.

Sebuah pepatah mengatakan bahwa, “pengaruh perbuatan satu

orang terhadap seribu orang lebih besar dari pada pengaruh ucapan

seribu orang kepada satu orang.”37 Sedangkan menurut Quthub,

seorang ulama mesir, mengatakan bahwa teladan yang baik sangat membantu dalam membentuk karakter yang baik.38

Dalam praktek kepengasuhan, metode keteladanan ini dilaksanakan dalam dua cara. Yaitu Pertama, secara langsung

(direct) maksudnya bahwa pengasuh benar-benar menjadikan

dirinya sebagai contoh teladan yang baik bagi anak didik.

                      

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu

36

Sulistyowati Khairu, Kesalahan Fatal Orang Tua dalam Mendidik Anak Muslim,

(Jakarta: Dan Idea, 2014), hal. 21 37

Hery Huzairy, Agar Anak Kita Menjadi Sholeh, (Solo: Aqwam, 2015), hal. 73


(36)

28

membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?. (Q.S. Al Baqoroh:44)

Kedua, secara tidak langsung (indirect) yang maksudnya, pengasuh menceritakan riwayat para nabi, kisah-kisah orang besar, pahlawan dan syuhada, yang tujuannya agar anak didik menjadikan tokoh-tokoh tersebut sebagai suri teladan dalam kehidupan mereka. Mengasuh dengan contoh (keteladanan) adalah satu metode kepengasuhan yang dianggap besar pengaruhnya. segala yang dicontohkan oleh Rosulullah saw dalam kehidupannya merupakan cerminan kandungan Al Quran secara utuh.39

Sebagaimana firman Allah swt sebagai berikut:

                               

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah

dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS.

Al Ahdzab: 21) 3) Metode nasehat

Menurut Sulistyowati metode nasehat cukup berhasil dalam pembentukan akidah anak dan mempersiapkan secara baik secara moral, emosional maupun social. Petuah yang tulus dan nasehat akan berpengaruh jika memasuki jiwa yang bening, hati yang terbuka, akal

39

Sulistyowati Khairu, Kesalahan Fatal Orang Tua dalam Mendidik Anak Muslim,


(37)

29

yang jernih dalam berpikir dan akan cepat mendapat respon yang baik dan meninggalkan bekas yang sangat dalam. 40

Al Quran telah menegaskan pengertian ini dalam banyak ayat dan berulang-ulang kali menyebutkan menfaat dari peringatan dengan kata-kata yang mengandung petunjuk dan nasehat yang tulus. Sebagaimana dijelaskan dalam Al Quran









 

dan tetaplah memberi peringatan, karena Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. (QS. Ad Dzariyat:55)

4) Metode Perhatian dan Pengawasan

Mengawasi dan memperhatikan kesiapan mental dan social serta kemampuan pemikirannya. Mengawasi dari berbagai aspek meliputi keimanan anak, moral anak, mental dan intelektual anak, jasmani anak, psikologi anak, social anak dan spiritual anak.41

5) Pembinaan dengan Hukuman

Rosulullah SAW telah meletakkan tata cara bagi para pengasuh untuk memperbaiki penyimpangan anak, mendidik, membina, meluruskan kebengkokannya, membentuk perilaku dan spiritualnya. Memberikan hukuman tidak boleh dilakukan dengan sembarangan.

40 Sulistyowati Khairu, Kesalahan Fatal Orang Tua dalam Mendidik Anak Muslim,

(Jakarta: Dan Idea, 2014), hal. 24. 41

Sulistyowati Khairu, Kesalahan Fatal Orang Tua dalam Mendidik Anak Muslim,


(38)

30

Beberapa persyaratan dalam memberikan hukuman kepada anak yaitu:42

a. Pengasuh tidak terburu-buru menggunakan pukulan kecuali setelah menggunakan semua cara lembut yang mendidik dan membuat jera

b. Pengasuh tidak memukul ketika dalam keadaan yang sangat marah

c. Ketika memukul menghindari anggota badan yang peka seperti kepala, muka, dada, dan perut

d. Pukulan yang diberikan tidak terlalu keras

e. Tidak memukul anak sebelum usia sepuluh tahun

f. Jika kesalahan untuk pertama kalinya, hendaknya ia diberi kesempatan untuk bertaubat dan memberi kesempatan untuk minta maaf

Para pengasuh dianjurkan untuk menghindari hukuman dengan pukulan, Ada beberapa alternatif lain di antaranya43

a. Nasehat dan petunjuk b. Ekspresi cemberut c. Pembentakan

d. Memberi pekerjaan rumah (PR) atau tugas lainnya e. Alternatif terakhir adalah dengan pukulan ringan

42 Sulistyowati Khairu, Kesalahan fatal Orang Tua dalam Mendidik Anak Muslim,

(Jakarta: Dan Idea, 2014), hal. 28. 43

Sulistyowati Khairu, Kesalahan fatal Orang Tua dalam Mendidik Anak Muslim,


(39)

31

6) Metode Hadiah dan Imbalan

Para ulama salaf telah menetapkan pentingnya pemberian dorongan kegembiraan kepada anak-anak dan balasan untuk mereka atas kebaikan yang dilakukan.44 Sedangkan menurut Mohammad Muhyiddin jika hukuman merupakan cara yang dipakai atau digunakan oleh orang tua untuk mengembalikan sikap dan perilaku yang negatif, maka hadiah merupakan cara untuk mendukung perilaku yang baik, yang telah ditunjukkan anak.45

2. Pesantren

Menurut Zamakhsari Dhofier “Pesantren adalah salah satu lembaga

yang ikut andil dalam proses kepengasuhan anak yang mempunyai visi mendidik dan membina individu untuk menjadi manusia yang beriman-bertakwa, berbudi pekerti luhur dengan berbekal ketrampilan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga mampu mengemban amanat dan kewajibannya dalam menjalankan ajaran agama untuk kepentingan membangun bangsa dan Negara.46

Achmad Fahruddin mengungkapkan, Menurut para ahli, pesantren baru dapat di sebut pesantren apabila memenuhi lima syarat, yaitu (1) ada

44 Syekh Khalid Bin Abdurrahman Al Akk, Cara Islam Mendidik Anak, (Yogyakarta: Ad

Dawa, 2006), hal. 162.

45 Mohammad Muhyiddin, ESQ Power for Better Life, (Yogyakarta: Tunas Publishing,

2006), hal. 374

46 Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pendangan Hidup, (Jakarta:


(40)

32

kyai, (2) asrama atau pondok, (3) masjid, (4) santri, dan (5) pengajaran kitab kuning.47

Sedangkan M. Arifin mengatakan bahwa pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek) dimana santri santri menerima pendidikan melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah pimpinan kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat karismatik dan independen dalam segala hal.48

Ukuran keberhasilan santri dalam studi di pesantren tidak semata-mata diukur dari kecakapan atau kemampuannya dalam melahap dan menguasai kitab kuning atau pengetahuan lainnya, lebih dari itu terletak pada relasinya dengan kyai, sesama santri dan lingkungannya.49

3. Konsep dan Teori Perilaku a. Pengertian Perilaku

Saifuddin Zuhri mengungkapkan bahwa, “Psikologi memandang

perilaku manusia (human Behavior) sebagai reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun bersifat kompleks. Perilaku bersifat komplek karena Faktor lingkungan memiliki kekuatan besar dalam membentuk perilaku,

47

Achmad Fahruddin, Gus Dur dari Pesantren ke Istana Negara, (Jakarta: Link Brothers,

1999), hal.41

48Suyono, “Peranan Pesantren Dalam Mengatasi Kenakalan Remaja” (Solo, 2007), Hal.

4.

49

Achmad Fahruddin, Gus Dur dari Pesantren ke Istana Negara, (Jakarta: Link Brothers,


(41)

33

bahkan terkadang pengaruh karakteristik lingkungan lebih besar dari pada karakteristik individu. 50

Kurt Lewin merumuskan suatu model hubungan perilaku yang mengatakan bahwa perilaku adalah karakteristik individu dan karakteristik lingkungan. Karakteristik individu meliputi motif, nilai-nilai, sifat kepribadian, dan sikap yang saling berinteraksi satu sama lain dan kemudian berinteraksi dengan karakteristik lingkungan.

b. Proses Pembentukan perilaku

Muhammad Athiyah Al Abrasyi mengatakan bahwa pembentukan perilaku merupakan pendidikan budi pekerti serta akhlak ke dalam jiwa setiap individu.

Perilaku manusia terbentuk karena adanya kebutuhan. Menurut Abraham Harold Maslow, kebutuhan-kebutuhan tersebut sebagai berikut:51

1) Kebutuhan Fisiologi

Kebutuhan ini merupakan kebutuhan manusia yang paling dasar. Kebutuhan untuk mempertahankan hidupnya secara fisik yaitu kebutuhan akan makan, minum, seks, istirahat dan oksigen (bernafas). 2) Kebutuhan Rasa Aman

Kebutuhan ini sangat penting bagi setiap orang. Agar kebutuhan akan rasa aman ini terpenuhi, maka perlu diciptakan iklim kehidupan

50 Saifuddin Azwar, Sikap Manusia Teori dan Pengakuannya, (Yogyakarta: Pustaka

Belajar, 2015), hal. 9. 51


(42)

34

yang memberi kebebasan untuk berekspresi yang perlu bimbingan dari orang tua.

3) Kebutuhan Pengakuan dan Kasih Sayang

Kebutuhan ini dapat diekspresikan dalam berbagai cara, seperti: persahabatan, percintaan, ataupun pergaulan yang lebih luas. Melalui kebutuhan ini seseorang mencari pengakuan, dan curahan kasih sayang dari orang lain, baik dari orang tua, saudara, guru, pimpinan, teman, atau orang dewasa lainnya.

4) Kebutuhan Penghargaan

Kebutuhan ini meliputi kepercayaan diri, kompetensi, kecukupan, prestasi, dan kebebasan, Penghargaan dari orang lain meliputi pengakuan, perhatian, prestise, respek, dan kedudukan (status).

5) Kebutuhan Aktualisasi Diri

Kebutuhan ini merupakan puncak dari hirarki kebutuhan manusia yaitu perkembangan atau perwujudan potensi dan kapasitas secara penuh. Walaupun kebutuhan lainnya terpenuhi, tidak mengembangkan atau tidak mampu menggunakan kemampuan bawahannya secara penuh, maka seseorang akan mengalami kegelisahan, ketidaksenangan, atau frustasi.

Menurut Maslow ada dua jenis motivasi atau kebutuhan. Yaitu kebutuhan primer dan kebutuhan spiritual. Motivasi jenis pertama sudah dijalaskan di awal, sedangkan kebutuhan spiritual adalah


(43)

35

kebutuhan fitri. Kebutuhan spiritual untuk melakukan refleksi secara spiritual dan melakukan retropeksi atas perilakunya sendiri, serta membuat kalkulasi apakah hidupnya cukup berimbang antara kebutuhan material dengan kebutuhan non material.52

Salah satu karakteristik reaksi perilaku manusia yang menarik adalah sifat deferensial. Yang mana satu stimulus akan menimbulkan respon yang beragam dan sebaliknya beberapa stimulus yang beragam dapat menimbulkan satu reaksi yang sama. Secara ilustratif hal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:53

S1 R1

S2

(1)

R2

S3 R3

S4 R4

Gambar.2.1. Sifat Diferensial Perilaku

Gambar di atas mengilustrasikan bahwa S melambangkan stimulus lingkungan yang diterima oleh individu 1 dapat menimbulkan respon yang dilambangkan oleh R. jadi , respon R3 dapat timbul dikarenakan stimulus S3 ataupun oleh stimulus S1 dan stimulus S2 dapat menimbulkan respon R2 ataupun respon R4.

Icek Ajzen dan Martin Fishbein mengemukakan teori tindakan beralasan (Theory of Reasoned Action). Tentang penyebab perilaku

52 Bartono dan Ruffino, Tehnik Supervisi dan Uji Kompetensi untuk Pendidikan

Pariwisata, Ebook, (Yogyakarta: CV. Andi, 2010), hal. 210.

53

Saifuddin Azwar, Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya, (Yogyakarta: Pustaka


(44)

36

volisional (perilaku yang dilakukan atas kemuan sendiri), teori ini didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut:

1) Manusia pada umumnya melakukan sesuatu dengan cara-cara yang masuk akal

2) Manusia mempertimbangkan semua informasi yang ada

3) Secara implisit maupun eksplisit manusia mempertimbangkan keterlibatan tindakan mereka.

Secara sederhana teori ini mengatakan bahwa seseorang akan melakukan suatu perbuatan apabila ia mempunyai keyakinan bahwa perbuatan itu positif dan orang lain menginginkan perbuatan itu untuk dilakukan.

c. Komponen Perilaku

Komponen perilaku atau komponen konatif menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan obyek sikap yang dihadapinya. Kaitan ini didasari oleh asumsi bahwa kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi perilaku. Kecenderungan berperilaku secara konsisten, selaras dengan kepercayaan dan perasaan ini membentuk sikap individual. Kedua komponen tersebut dijelaskan sebagai berikut:54

1) Komponen Kognitif (kepercayaan)

54

Saifuddin Azwar, Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya, (Yogyakarta: Pustaka


(45)

37

Komponen kognitif berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi obyek perilaku. Kepercayaan datang dari apa yang telah dilihat dan diketahui oleh seseorang. Berdasarkan apa yang dilihat akan terbentuk ide atau gagasan mengenai sifat atau karakteristik umum suatu obyek.

2) Komponen Afeksi

Komponen afektif menyangkut masalah emosional subyektif seseorang terhadap obyek perilaku. Secara umum, komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu, namun pengertian perasaan pribadi seringkali sangat berbeda perwujudannya jika dikaitkan dengan perilaku. Reaksi emosional dipengaruhi oleh kepercayaan atau apa yang dianggap sebagai benar dan berlaku bagi obyek yang dimaksud.

d. Perilaku Positif

Anwarul Haq mengatakan, “Dan sesungguhnya Dalam ayat lain

disebutkan bahwa tujuan diutusnya nabi Saw adalah mengajar dan mendidik masyarakat untuk berperilaku baik yang di dalamnya termasuk ruh kesabaran, pengendalian atau mawas diri, keteguhan hati, simpati kepada orang-orang yang membutuhkannya.55 Sedangkan menurut Mansur perilaku positif adalah tindakan-tindakan baik yang datang dari sifat-sifat batin yang ada dalam hati menurut syara’”56

55S. Anwarul Haq, Prophet’s Guidances for Childreen. Terjemahan Oleh Anwarul Haq,

Bimbingan Remaja Berakhlak Mulia, (Bandung: Marja’, 1881), hal. 80.

56

Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011),


(46)

38

Allah yang maha agung berfirman dalam Al Quran







 

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (QS. Al Qolam: 4)

e. Bentuk Perilaku

Perilaku dapat diberi batasan sebagai suatu tanggapan individu terhadap rangsangan yang berasal dari dalam maupun luar diri individu tersebut. Secara garis besar bentuk perilaku ada dua macam, yaitu:57

1) Perilaku Pasif (respons internal)

Perilaku yang sifatnya masih tertutup, terjadi dalam diri individu dan tidak dapat diamati secara langsung. Perilaku ini sebatas sikap belum ada tindakan yang nyata.

2) Aktif (respons eksternal)

Perilaku yang sifatnya terbuka, perilaku aktif adalah perilaku yang dapat diamati langsung, berupa tindakan yang nyata.

f. Perilaku Ibadah Remaja 1) Pengertian Ibadah

Perilaku ibadah perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah, yang didasari ketaan mengerjakan perintahnya dan menjauhi larangannya.58 Ibadah-ibadah itu berpola dalam bentuk sholat, zakat, puasa, dan haji, serta ibadah sunnah yang telah dilakukan oleh nabi


(47)

39

Muhammad Saw seperti membaca dzikir, membaca tahlil, membaca Al Quran, dan membaca sholawat kepada nabi Muhammad Saw 2) Motivasi Beribadah

Nabi Muhammad Saw datang untuk mengajarkan manusia tentang perkara-perkara agama dan pedoman hidup. Yakni mengajakan bagaimana menyembah Allah SWT yang tidak mempunyai sekutu, dan untuk meningkatkan akhlak-akhlak mulia.

Layak disebutkan disini, bahwa ibadah-ibadah yang disyariatkan dalam Islam dan dianggap sebagai pilar-pilar keimanan bukanlah azimat kosong yang menghubungkan manusia dengan hal-hal gaib yang tidak jelas dan membebani manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan tersembunyi dan gerakan-gerakan tanpa makna. Akan tetapi kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Islam adalah latihan-latihan yang berulang-ulang untuk membiasakan seseorang agar hidup dengan akhlak yang benar dan agar senantiasa berpegang teguh dengan akhlak tersebut meskipun zaman berubah.

Atas dasar ini, ibadah dalam Islam adalah sebuah kewajiban yang ditetapkan Allah SWT sebagai bentuk ketundukkan hamba kepada Tuhannya. Dalam slam ibadah adalah pedoman pendidikan perilaku. Ia mempunyai pengaruh nyata dalam kehidupan muslim.


(48)

40

Mementingkan ibadah sama halnya dengan mementingkan perilaku yang benar.59

g. Perilaku Belajar Remaja 1) Definisi Belajar

Cronbach memberikan definisi belajar sebagai Learning is

shown by a change in behvior result of experience (belajar merupakan

aktivitas yang ditunjukkan oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman). Menurut Sardiman belajar adalah perubahan tingkah laku dengan serangkaian kegiatan, misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya.60

Sedangkan Syaiful Bahri Djamrah merumuskan belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa dan raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya.61

Berdasarkan pengertian yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses usaha perubahan tingkah laku yang kompleks dilakukan seseorang dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dan sebagainya, akibat interaksinya dengan lingkungan.

59

Syekh Khalid bin Abdurrahman Al Akk, Cara Islam mendidik Anak, (Yogyakarta: Ad

Dawa, 2006), hal. 318

60 Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014),

Hal. 20. 61


(49)

41

2) Lingkungan Belajar

Surachmand mengemukakan lima hal yang berhubungan dengan perilaku belajar yang baik, yaitu Kebiasaan mengikuti pelajaran, Kebiasaan memantabkan pelajaran, Kebiasaan membaca buku, Kebiasaan menyiapkan karya tulis, dan kebiasaan menghadapi ujian.62

Untuk meningkatkan kebiasaan belajar, sebaiknya terlebih dahulu menggariskan waktu belajar, kapan dan dimana belajar, bagaimana membagi waktu belajar, seberapa baik konsentrasi dan bagaimana sikap dan metode yang digunakan dalam belajar.

Menurut Roestiah bahwa belajar yang efisien dapat dicapai apabila menggunakan strategi yang tepat, yakni adanya pengaturan waktu untuk mengikuti pelajaran, belajar di asrama, belajar kelompok, maupun mengikuti ujian. Perilaku belajar mempengaruhi prestasi belajar.63

Menurut Hamalik, ada beberapa factor yang mempengaruhi prestasi belajar, yaitu:64

1) Factor yang bersumber dari diri sendiri, seperti tidak mempunyai tujuan dan minat terhadap bahan ajaran, kesehatan yang sering menganggu, dan kurangnya penguasaan bahan pelajaran.

62 Hanifah, “

Pengaruh Perilaku Belajar Tehadap Prestasi Akademik Mahasiswa Akutansi”, Vol. 1, (Desember, 2001), hal. 67.

63Syukri, “Kebiasaan Belajar Mahasiswa Pada Program Studi Pendidikan Dunia Usaha Ekonomi Koperasi Fakultas” (Skripsi, fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah

Kuala Banda Aceh, 1995), hal. 133 64

Hamalik, Metode Belajar dan Kesulitan-Kesulitan Belajar, (Bandung Tarsito, 1983),


(50)

42

2) Factor yang bersumber dari lingkungan belajar, misalnya cara meberi pelajaran, kurangnya bahan pelajaran, kurangnya alat-alat, bahan pelajaran tidak sesuai dengan kemampuan

3) Factor yang bersumber dari lingkungan keluarga

4) Factor yang bersumber dari masyarakat, seperti gangguan jenis kelamin, bekerja di samping sekolah, aktif bernegosiasi, dan tidak dapat mengatur waktu rekreasi dan waktu istirahat.

h. Interpersonal Skill Remaja

1) Pengertian Interpersonal Skill

Remaja dituntut untuk menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya. Tugas perkembangan yang harus diselesaikan oleh remaja antara lain, membina hubungan dengan teman sebaya dan menjalankan peran sosialnya. Keberhasilan remaja dalam membina hubungan dengan teman sebaya dan menjalankan peran sosialnya dipengaruhi oleh kemampuan yang dimilikinya. Buhrmester, Furman, Witterberg, & Reisht mengistilahkan kemampuan ini sebagai

interpersonal skill.

Interpersonal skill remaja dipengaruhi oleh lingkungan keluarga

dan proses hidup yang dijalaninya sehari-hari. Kemampuan remaja membina hubungan interpersonal dengan orang lain tidak terjadi begitu saja melainkan pola hubungan orang tua dan anak dalam keluarga akan menjadi model bagi hubungan anak dengan orang lain di luar rumah.


(51)

43

Remaja baik adalah remaja yang memiliki interpersonal skill

yang baik, misalnya jika melihat teman kesulitan, langsung tanggap untuk memberikan bantuan dan merasa terpanggil untuk membantu orang lain. Semua ini harus diraih dalam suatu lingkungan yang sarat dengan cinta dan kepedulian.

Kecerdasan yang mempengaruhi interpersonal skill remaja adalah Emotional Quotient (EQ) atau yang lebih kita kenal dengan kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi menjadikan seseorang lebih mendalami dalam berbuat dan berprilaku, karena Emotional Quotient

(EQ) merupakan salah satu aspek kecerdasan dalam menentukan efektifitas penggunaan kecerdasan yang konvensioanal tersebut. Kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk mengelola perasaan, kemampuan untuk mempersepsi situasi, bertindak sesuai dengan persepsi tersebut dan menentukan potensi seseorang untuk mempelajari ketrampilan ketrampilan praktis yang didasarkan pada kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri, empati dan kecakapan dalam membina hubungan dengan orang lain.65

2) Factor Interpersonal Skill Remaja

Beberapa faktor yang mempengaruhi kompetensi interpersonal remaja, yaitu a) Kematangan beragama, Remaja yang matang kehidupan beragamanya memiliki interpersonal skill lebih tinggi dibandingkan remaja yang kurang matang kehidupan beragamanya. b)

65 Goleman, Kecerdasan Emosi untuk mencapai puncak, (Jakarta: Gramedia Pustaka


(52)

44

Kontak anak dengan orang tua, Kontak anak dengan orang tua menunjang anak untuk belajar dan bersosialisasi dengan lingkungan sosialnya di luar rumah. Anak-anak yang mempunyai kontak yang baik dengan orang tuanya menunjukkan perilaku sosial yang baik dengan teman-teman sebayanya di luar rumah c) Interaksi dengan teman sebaya, remaja yang mempunyai kesempatan berinteraksi dengan teman sebayanya lebih mudah membina hubungan interpersonal.66

3) Aspek Interpersonal Skill Remaja

Beberapa aspek interpersonal skill menurut para ahli dapat dijelaskan sebagai berikut: a) Kemampuan berinisiatif, adalah suatu usaha untuk memulai suatu interaksi dengan orang lain yang mengarah pada penciptaan suasana hubungan interpersonal yang baru dengan orang lain, baik yang belum dikenal maupun sudah dikenal, dan mempertahankan hubungan yang telah dibina tersebut. b) Kemampuan membuka diri adalah kemampuan seseorang untuk mengungkapkan informasi yang bersifat pribadi mengenai dirinya sendiri dan memberikan perhatian kepada orang lain sebagai suatu bentuk penghargaan yang akan memperluas kesempatan untuk terjadinya sharing, c) Kemampuan bersikap asertif adalah kemampuan untuk mempertahankan hak-hak pribadi, mengemukakan gagasan,

66Widya Warta, “Hubungan Antara Peran Jenis Dengan Kompetensi Interpersonal Pada Remaja” Fakultas Psikologi Universitas Widya Mandala Madiun, (Januari, 2010), hal. 27.


(53)

45

perasaan, keyakinan secara langsung dengan jujur, tegas, dengan cara yang sesuai.67

Keterampilan Interpersonal adalah seberapa baik seseorang berkomunikasi dengan seseorang dan seberapa baik seseorang berperilaku atau membawa diri.68

4) Perilaku Sosial

Kemuliaan akhlak ditampilkan dalam sikap dan perilaku. Perilaku tersebut juga berlaku dalam hubungan antar sesama. Suatu perilaku yang seharusnya ditampakkan kepadaorang lain. Adapun perilaku terhadap orang lain adalah sebagai berikut:69

a) Saling menunjukkan rasa cinta. Layaknya cinta kepada saudara kandung

b) Saling tolong menolong dalam kebaikan

c) Membantu persatuan dalam ikatan yang kuat dan menghindari perselisihan

d) Saling menasehati dalam kebaikan, serta menjahui fitnah

e) Bersikap adil, menjauhkan diri dari perilaku menghina dan mencela

f) Menghindarkan diri dari saling menuduh dan mengejek. hari. dan jika dua orang muslim bertemu, maka yang terbaik di antara keduanya adalah mereka yang lebih dulu memberi salam,

67Widya Warta, “Hubungan Antara Peran Jenis Dengan Kompetensi Interpersonal Pada

Remaja” Fakultas Psikologi Universitas Widya Mandala Madiun, (Januari, 2010), hal. 26. 68

Http://Poncopurwanto.Blogspot.co.id/2011/07/uas-Makalah-Interpesonal-Skill.Html.Di

akses pada 16 Oktober 2015 Pukul 21.22


(54)

46

i. Perilaku Kesantunan 1) Definisi Kesantunan

Kesantunan (politeness), kesopansantunan atau etiket adalah tatacara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan ini biasa disebut ‘tatakrama’.

Berdasarkan pengertian tersebut, kesantunan dapat dilihat dari berbagai segi dalam pergaulan sehari- hari. Pertama, kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun atau etiket dalam pergaulan sehari- hari.

Kedua, kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku dalam masyarakat, tempat atau situasi tertentu, tetapi belum tentu berlaku bagi masyarakat, tempat atau situasi lain. Ketika seseorang bertemu dengan teman karib, boleh saja dia menggunakan kata yang agak kasar dengan suara keras, tetapi hal itu tidak santun apabila ditujukan kepada tamu atau seseorang yang baru dikenal.

Ketiga, kesantunan selalu bipolar, yaitu memiliki hubungan dua kutub, seperti antara anak dan orang tua, antara orang yang masih muda dan orang yang lebih tua, antara tuan rumah dan tamu, antara pria dan wanita, antara murid dan guru, dan sebagainya.


(55)

47

Keempat, kesantunan tercermin dalam cara berpakaian (berbusana), cara berbuat (bertindak) dan cara bertutur (berbahasa) 2) Jenis Kesantunan

Kesantunan dapat dibagi tiga, yaitu kesantunan berpakaian, kesantunan berbuat, dan kesantunan berbahasa. Kecuali berpakaian, dua kesantunan terakhir tidak mudah dirinci karena tidak ada norma baku yang dapat digunakan untuk kedua jenis kesantunan itu.

Dalam kesantunan berpakaian (berbusana, berdandan) ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama berpakaianlah yang sopan ditempat umum, yaitu hindarilah pakaian yang dapat merangsang orang lain terutama lawan jenis, seperti pakaian tembus pandang (transparan) menampakkan bagian badan yang pada umumnya ditutup, dan rok yang terlalu mini atau terbelah terlalu tinggi. Kedua, berpakaianlah yang rapi dan sesuai dengan keadaan, yaitu berpakaian resmi pada acara resmi, berpakaian santai pada situasi santai Betapapun mahalnya pakaian renang, tidak akan sesuai apabila dipakai dalam suatu acara resmi.

Kesantunan perbuatan adalah tatacara bertindak atau gerak-gerik ketika menghadapi sesuatu atau dalam situasi tertentu, misalnya duduk di ruang kelas, menghadapi orang yang kita hormati, berjalan di tempat umum menunggu giliran (antre), dan sebagainya.


(56)

48

3) Kesantunan Berbahasa

Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam tempat komunitas tertentu. Jika tatacara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya.

j. Perilaku Seksual Remaja

Meningkatnya minat seksual remaja mendorong bagi remaja itu sendiri untuk selalu berusaha mencari informasi dalam berbagai bentuk. Sumber informasi itu dapat diperoleh dengan bebas mulai dari teman sebaya, buku-buku, film, video, bahkan dengan mudah membuka situs-situs lewat internet. Penyimpangan terhadap perilaku seksual selain dikarenakan kurangnya pengetahuan remaja tentang pengetahuan kesehatan reproduksi juga sebagai akibat pengaruh media massa dan internet yang menyediakan informasi yang kurang tepat dan salah.

Pendidikan kesehatan reproduksi yang dimaksud adalah memberikan informasi kepada remaja sehingga para remaja tahu bagaimana cara menghindari terjadinya hubungan seksual sebelum


(1)

105

parenting dengan metode nasehat, keteladanan (direct dan Indiect), dan

pengganjaran meliputi penghargaan dan hukuman. Dari ketiga pola parenting tersebut masing-masing ada kelebihan dan kekurangannya.

Penjelasannya sebagai berikut:

1) Metode nasehat, kelebihan metode ini adalah mudah dilakukan, sedangkan kekurangannya adalah kurang efektif dan pengaruhnya minim, kebanyakan santri tidak suka di nasehati atau diceramahi bisa karena sudah terlalu sering sehingga merasa bosan. Metode ini masih relevan diterapkan di pesantren langitan saat ini karena dampaknya masih dianggap cukup besar

2) Metode Keteladanan, kelebihan metode ini adalah memudahkan pengasuh mengevaluasi perilaku santri, memudahkan santri memahami suatu pelajaran, mendorong pengasuh untuk selalu berusaha menjadi teladan yang baik bagi para santri. Sedangkan kelemahannya adalah jika pengasuh melakukan kesalahan dalam memberikan teladan maka otomatis santri akan melakukan hal yang sama. Metode ini sangat relevan diterapkan saat ini di pesantren Langitan karena sangat efektif dalam membentuk perilaku positif santri

3) Metode Pengganjaran meliputi pemberian hadiah dan hukuman. Kelebihan dari metode dengan memberikan hadiah adalah baik bagi psikologis santri, mereka akan menganggap bahwa usaha dan kerja keras yang mereka lakukan sangat dihargai sehingga akan membuat


(2)

106

santri semakin bersemangat untuk bersaing menjadi yang terbaik. Dan kekurangannya adalah akan membuat santri terbiasa melakukan suatu hal karena mengharap sebuah imbalan dan jika harapannya tidak terwujud maka kemungkinan akan menimbulkan kekecewaan. Sedangkan hukuman yang diterapkan di pesantren Langitan berbeda dengan hukuman yang ada di tempat lainnya, bukan hukuman fisik yang menyakiti melainkan hukuman yang mengandung tarbiyah

misalnya memberikan tugas memimpin dzikir, jamaah di shof paling depan, membersihkan kamar mandi dan lain sebagaimya, jika hukuman seperti itu rutin diterapkan maka santri akan terbiasa melakukan hal-hal yang disebutkan diatas, sebagai contoh bagi santri lain agar tidak melakukan kesalahan yang sama dan membuat jerah santri agar tidak mengulang kesalahan lagi. Sedangkan kelemahannya adalah akan berdanpak pada psikologis santri, mereka akan merasa dipermalukan di depan umum dan hal ini sangat tidak baik bagi perkembangan mental santri. Bisa dikatakan metode hukuman atau ta’ziran merupakan metode khas yang diterapkan di setiap pesantren. Namun kurang relevan jika di terapkan saat ini

Ketiga pola parenting di atas sesuai dengan konsep pola kepengasuhan Ki Hajar Dewantara, yaitu, “ing ngarso sung tulodho,

ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” yang berarti di depan

memberi teladan, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan.


(3)

107

2. Dampak Implementasi Pola Parenting dalam Membentuk Perilaku Positif

Remaja Santri Di Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban

Pola parenting yang diterapkan di pesantren Langitan cukup

berdampak pada perilaku santri remaja. karena pola parenting yang diterapkan cukup membantu pembentukan perilaku positif santri remaja meliputi perilaku ibadah, perilaku belajar, perilaku kesantunan, perilaku Interpersonal skill, dan perilaku pemenuhan kebutuhan seksual. Yakni santri giat dalam melaksanakan amalan ubudiyah, semangat belajar terutama

menghafal nadhoman, sopan santun dalam bertutur kata, berpakaian dan berperilaku, memiliki kepedulian terhadap sesama dan dapat mengontrol hasrat seksual dengan baik sesuai peraturan yang diterapkan oleh pesantren. B.Rekomendasi

1. Bagi Pengasuh Pesantren

Bagi para pengasuh di pesantren Langitan, terutama bagi pengurus dan dewan asatidzah yang mempunyai waktu lebih lama dengan santri diharapkan mampu melaksanakan pola parenting yang telah diterapkan

secara istiqomah, terpogram dan sistematis sehingga bisa dilaporkan dalam catatan khusus bahwa santri dapat mengalami perubahan perilaku menjadi lebih baik.

2. Bagi Lembaga Pesantren

Agar lembaga mensosialisasikan pola parenting yang diterapkan di

pesantren kepada seluruh wali santri supaya diterapkan pula kepada santri dalam lingkungan keluarga di rumah.


(4)

108

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Peneliti hanya sebatas menjelaskan secara kualitaif dalam artian hanya memberikan gambaran umum mengenai pola parenting di Pesantren dalam membentuk perilaku positif santri remaja. Maka untuk selanjutnya perlu dilakukan pengukuran terkait keefektifan dan keefesiensian pola parenting dalam bentuk penelitian Kuantitatif


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Al Akk, Syekh Khalid Bin Abdurrahman. Cara Islam Mendidik Anak. Yogyakarta: Ad Dawa. 2006.

Alwisol, Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press. 2009.

Azwar, Saifuddin. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka pelajar. 2015.

Brooks, Jane. the Process of Parenting. Terj. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2001. Creswell, John. Edisi Ketiga Research Design Penelitian Kualitatif, Kuantitatif,

dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2014.

Dhofier, Zamakhsari. Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup, Jakarta: LP3ES. 1982.

Djamarah, Syaiful Bahri. Pola Asuh Orang Tua dan Komunikasi dalam Keluarga Upaya Membentuk Citra Membentuk Pribadi Anak. Jakarta: Rineka Cipta. 2014.

________. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta. 2011.

Echols, John M dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia an English Indonesian Dictionary. Jakarta: Gramedia. 1996.

Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2014.

Fahruddin, Achmad, Gus Dur dari Pesantren ke Istana Negara. Jakarta: Link Brothers. 1999.

Galba, S, Pesantren sebagai Wadah Komunikasi. Jakarta: Rineka Cipta. 1991. Hamalik, Metode Belajar dan Kesulitan-Kesulitan Belajar. Bandung: Tarsito.

1989.

Haq, S. Anwarul, Prophet’s Guidances for Childreen. Terjemahan Oleh Anwarul Haq. Bimbingan Remaja Berakhlak Mulia. Bandung: Marja’. 1881.

Hery Huzairy, Agar Anak Kita Menjadi Sholeh. Solo: Aqwam. 2015.

Hurlock, Elizabeth, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga. Tt.


(6)

xvii

Khairu, Sulistyowati, Kesalahan fatal Orang Tua dalam Mendidik Anak Muslim. Jakarta: Dan Idea. 2014.

Mansur, Pendidikan Anaka Usia Dini Dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011.

Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Roesda Karya. 2000.

Mulayana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu social lainnya. Bandung: Remaja PosdaKarya. 2004.

Nawawi, Hadari dan Martini Hardari, Instrumen penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada Press. 1995.

Partanto, Puis A dan Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola. 1994.

Rosa, Cheryl, Parents Are you ready to Launch, Jakarta: Kesaint Blanc. Terjemahan Buku oleh Dennis Trittin dan Arlyn Lawrence Parenting for the Launch?. 2014.

Sardiman, Interaksi Dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers. 2014. Sarwono, Jonathan, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta:

Graha Ilmu. 2006.

Sarwono, Sarlito, Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Press. 2015.

Subagyo, Joko, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta. 2004.

Sugiyono, Metode penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. 2012.

Sulaiman bin as’ad Abu Daud Sijistany. Ebook. Sunan Abu Daud. Hadist No. 495. Suyono dkk, Peranan Pondok Pesantren Dalam Mengatasi Kenakalan Remaja

Studi Kasus Di Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta

Syukri, Kebiasaan Belajar Mahasiswa Pada Program Studi Pendidikan Dunia Usaha Ekonomi Koperasi Fakultas. Skripsi. fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 1995.