AMIEN RAIS, GURU BANGSA.doc 27KB Jun 13 2011 06:28:16 AM

AMIEN RAIS, GURU BANGSA
H Daliso Rudianto, SH*)
Lagu yang dilantunkan Franky, Slank, Katon Bagaskara, Iwan Fals, Dede Yusuf dan para
pengamen jalanan saatnya kejujuran memimpin negeri ini ternyata harus membentur tembok
waktu. Sebab lagu itu belum tepat untuk diterjemahkan menjadi kenyataan politik sekarang.
Pesan yang ingin disampaikan lewat lagu itu ternyata melampaui zamannya. Masih berada di
wilayah harapan, berada dalam ruang dan waktu masa depan.
Artinya, saat ini ketidakjujuran masih memimpin negeri ini. Ini sebuah kenyataan pahit
yang harus ditelan oleh bangsa ini. Betapa tidak, kalau dicermati, pelaksanaan Pemilu Legislatif
dan Pemilu Eksekutif sungguh jas bukak iket blangkon alias sami mawon, atau sama dan
sebangun. Apanya yang sama dan sebangun? Kecurangannya.
Teman-teman di Panwaslu dan para pemantau lain mengeluh. Kecurangan yang terjadi
ketika pra kampanye membukit, kecurangan ketika kampanye menggunung, kecurangan saat
pencoblosan menggunung-gunung dan yang mengerikan, kecurangan saat penghitungan dan
penjumlahan suara sungguh sebesar supergunung tak terkira-kira.
Dan di negeri ketika ketidakjujuran masih memimpin, maka hampir dipastikan
kecurangan-kecurangan itu akan lenyap dan amblas tanpa bekas mirip masuk angin diusir
dengan balsem dan minum wedang jahe panas. Kalau toh ada tindakan, atau katakanlah proses
hukum maka proses hukumnya sama sekali tidak berdampak secara signifikan pada pemenang
atau kandidat pemenang. Boleh ditebak, hampir dipastikan tidak ada satu kecurangan pun baik
yang kelas bukit maupun kelas supergunung yang sampai berdampak pada diskualifikasi

pemenang. Hampir dipastikan bakal tidak ada tindakan untuk menganulir kemenangan meski
kemenangan diwarnai oleh kecurangan yang tampak jelas oleh mata. Ibarat main bola, kartu
merahnya ternyata lupa dibawa oleh sang wasit ke tengah lapangan. Maka yang dikeluarkan
dengan diiringi bunyi peluit nyaring hanyalah melulu kartu kuning. Dan tanpa kartu merah maka
pertandingan jelas tidak fair.
Dalam kondisi seperti ini, ketika Pak Amien-Siswono bermain bersih, dengan mudah
ditumbangkan dan suaranya diduga dikempeskan sampai membuat berpuluh-puluh juta
pendukungnya frustrasi dan berniat untuk memilih jadi golput aktif dalam Pemilu Eksekutif
putaran kedua nanti. Kebersihan niat, tindakan dan kebersihan program memang dikampanyekan
oleh Pak Amien-Siswono bersama tim suksesnya. Ternyata ini juga membentur tembok waktu.
Sebab kenyataan di lapangan kecurangan, dalam bentuk money politik yang sulit dibuktikan dan
sulit ditindak itu, ternyata diperlukan untuk meraih kemenangan.
Kebersihan belum saatnya memimpin negeri ini, demikian agaknya.
Banyak dari relawan tim sukses Pak Amien-Siswono yang bergerak di daerah-daerah
sungguh pusing, sebab tersedia banyak orang yang mau mencoblos suara asal diberi imbalan.
Ketika imbalan itu tidak ada maka mereka berpaling kepada calon lain yang memberikan
imbalan. Bagi mereka uang sebesar limabelas ribu sampai seratus ribu rupiah untuk kerja hanya
mencoblos kertas sungguh menggiurkan. Dan bagi mereka pragmatisme politik semacam ini sahsah saja, sekaligus aman-aman saja. Sebab pada saat Pemilu Legislatif kemarin, praktik semacam
ini sudah terbukti lolos dari jerat hukum.
Ketika proses penghitungan dan penjumlahan maka jurus quick ‘magic’ count yang

dimainkan oleh para magician lokal plus global pun membuat orang tercengang. Banyak yang
sungguh terpana, heran dan marah, karena merasa suaranya hilang, terhilangkan atau pindah atau
entah bagaimana menjadi tidak terrepresentasikan dalam hitungan. Mungkin ini hanya perasaan,

hanya intuisi saja, mungkin juga memang kebenaran sejati yang sedang dilindas oleh
ketidakbenaran. Mungkin karena harapan tidak sesuai kenyataan. Kita tidak tahu pasti.
Yang kita tahu pasti adalah Pak Amien Rais-Pak Siswono Yudo Husodo beserta tim
suksesnya sesungguhnya telah menang dan sukses, paling tidak menang melawan dirinya sendiri,
dan sukses melawan godaan untuk bertindak curang. Kalau toh kemudian kalah secara formal,
toh masih menang secara moral. Ibarat satria Pandawa, maka pada awal pertunjukan selalu
dikalahkan oleh gerombolan raksasa Korawa bersama Sengkuni-sengkuninya. Baik Sengkuni
lokal maupun Sengkuni impor illegal alisa selundupan.
Dalam kondisi seperti ini memang posisi terbaik yang dapat diambil oleh Pak Amien Rais
adalah sebagai guru bangsa. Penulis yakin, meski Pak Amien Rais keturunan guru dan
berpengalaman menjadi guru, agak kewalahan juga kalau harus menghadapi banyak muridmurid nakal yang ada di lingkungan bangsa ini. Saking nakalnya, sang guru pun dicurangi.
Tetapi tidak apa, dengan kecerdikan (sifat fatonah) yang prima Pak Amien Rais suatu saat
nanti pasti dapat menundukkan para murid yang nakal ini. Apalagi selama ini Pak Amien Rais
telah dianugerahi kemampuan tabligh (bahkan pernah memimpin Majelis Tabligh PP
Muhammadiyah), kemampuan berfikir, berkata dan bertindak sidiq dan amanah. Tidak ada yang
meragukan semua itu.

*)Penulis adalah Direktur LPSAS (Lembaga Pengkajian strategi dan Analisis Sosial)
Prospek Yogyakarta
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 16 2004