Tinjauan maslahah mursalah dalam putusan Pengadilan Agama Mojokerto nomor 0052/Pdt.P/2014/PA.Mr tentang pencabutan atas surat penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat nikah KUA Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto.

(1)

TINJAUAN

MAS{LAH{AH MURSALAH

DALAM PUTUSAN

PENGADILAN AGAMA MOJOKERTO NOMOR

0052/PDT.P/2014/PA.MR TENTANG PENCABUTAN ATAS

SURAT PENOLAKAN PERKAWINAN OLEH PEGAWAI

PENCATAT NIKAH KUA KECAMATAN MOJOANYAR

KABUPATEN MOJOKERTO

SKRIPSI

Oleh:

Muhammad Fahruddin Alwy Addefa NIM. C01212039

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam

Prodi Hukum Keluarga Surabaya


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Penelitian yang berjudul “Tinjauan Mas{lah{ah Mursalah dalam Putusan Pengadilan Agama Mojokerto Nomor 0052/Pdt.P/2014/PA.Mr Tentang Pencabutan Atas Surat Penolakan Perkawinan Oleh Pegawai Pencatat Nikah KUA Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto” ini merupakan hasil penelitian kualitatif yang bertujuan menjawab pertanyaan tentang bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara Nomor 0052/Pdt.P/2014/PA.Mr dan bagaimana tinjauan mas{lah{ah mursalah dalam putusan Pengadilan Agama Mojokerto Nomor 0052/Pdt.P/2014/PA.Mr.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan jenis penelitian lapangan (field research), yang mana peneliti terjun langsung ke lapangan untuk menggalih tentang praktik perkawinan anggota Pegawai Negeri pada Polri dengan calon istrinya di tolak oleh Pegawai Pencatat Nikah KUA Mojoanyar Kabupaten Mojokerto dengan alasan anggota Pegawai Negeri pada Polri yang bersangkutan tidak mendapatkan izin dari orang tua mempelai laki-laki (Polri) serta melakukan wawancara kepada Hakim Pengadilan Agama Mojokerto tentang Maslahah Mursalah terhadap kasus tersebut diatas.

Hasil penelitian yang diperoleh tentang bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara Nomor 0052/Pdt.P/2014/PA.Mr yakni dengan melihat secara yuridis, filosofis, dan sosiologis. Serta berdasarkan asas lex siperiori derogat legi inferiori. Tinjauan mas{lah{ah mursalah dalam putusan Pengadilan Agama Mojokerto Nomor 0052/Pdt.P/2014/PA.Mr yakni agar para Polri tidak mengambil jalan tengah, yaitu dengan melakukan nikah sirri atau malah melakukan zina. Apabila keadaan itu dibiarkan dan sampai terjadi maka akan menjadi permasalahan baru bagi para Polri dan menimbulkan kemadhorotan. Saran dalam peneltian ini ditujukan kepada Kapolri hendaknya merevisi peraturan tentang tata cara pengajuan izin bagi Pegawai Negeri pada Polri seorang laki-laki, yang asalnya pengajuan izin bisa di ganti dengan sebatas pemberitahuan kepada orang tua. Bagi Hakim Pengadilan Agama Mojokerto apabila ada kasus yang sama dengan Pasal 6 Perkapolri Nomor 9 Tahun 2010, hendaknya menggunakan mas{lah{ah mursalah sebagai dasar pertimbangan putusan.


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

PERSEMBAHAN ... v

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TRANSLITRASI ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 8

C. Rumusan Masalah ... 10

D. Kajian Pustaka ... 10

E. Tujuan Penelitian ... 12

F. Kegunaan Penelitian ... 12

G. Definisi Operasional ... 13

H. Metode Penelitian ... 14

I. Sistematika Pembahasan ... 18

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN PEGAWAI NEGERI POLRI DAN MASL{AH{AH MURSALAH A. Tinjauan Umum tentang perkawinan 1. Pengertian Perkawinan ... 20

2. Syarat dan rukun pernikahan ... 21

B. Perkawinan Pegawai Negeri pada Polri 1. Pegawai Negeri pada Polri ... 24


(8)

2. Perkawinan bagi pegawai negeri pada Polri ... 27

C. Masl{ah{ah Mursalah 1. Pengertian dan dasar hukumnya ... 30

2. Macam-macam mas{lah{ah mursalah ... 33

3. Syarat-syarat dalam kehujahan mas{lah{ah mursalah ... 42

4. Aplikasi mas{lah{ah mursalah dalam kehidupan ... 47

BAB III : DESKRIPSI PERKARA DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA MOJOKERTO NOMOR 0052/Pdt.P/2014/PA.Mr. A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Mojokerto 1. Sejarah Pengadilan Agama Mojokerto ... 50

2. Letak Geografis Pengadilan Agama Mojokerto ... 53

3. Wewenang dan Wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama Mojokerto ... 55

4. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Mojokerto ... 59

B. Deskripsi Perkara dan Dasar Penetapan dalam Penetapan Pengadilan Agama Mojokerto Nomor 0052/Pdt.P/2014/PA.Mr 1. Deskripsi Kasus ... 62

2. Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Mojokerto ... 64

BAB IV : TINJAUAN MAS{LAH{AH MURSALAH TERHADAP PERATURAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2010 PASAL 6 TENTANG PROSEDUR IZIN KAWIN DI LEMBAGA KEPOLISIAN 1. Analisis Terhadap Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Penetapan Nomor 0052/Pdt.P/2014/PA.Mr ... 71

2. Analisis maslahah mursalah terhahadap Penetapan Pengadilan Agama Mojokerto Nomor 0052/Pdt.P/2014/PA.Mr ... 79


(9)

BAB V : PENUTUP

A.Kesimpulan ... 84 B.Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 86 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(10)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Islam merupakan agama rahmatan lil ‘A>lami>n. Yaitu undang-undang dasar yang bertujuan untuk memberikan kedamaian serta ketenangan bagi seluruh makhluk-Nya. Disamping itu, Islam memberikan banyak peluang serta kontribusi mendasar bagi manusia untuk senantiasa ber taqarrub kepada Allah swt, dan menjalankan sunnah rasul, sehingga ditaraf tertentu, manusia akan menemukan tingkat kenyamanan dalam beribadah, bertaqwa kepada Allah swt.

Pernikahan merupakan salah satu bagian dari sekian banyak ajaran agama Islam. Diantara beberapa tujuan menikah adalah menjalan sunnah rasul, melestarikan eksistensi manusia, bentuk syukur dengan karunia Allah SWT.1

Allah berfirman dalam surat Ar-Rum 21 :













Artinya:“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.

1

M. Ali Ash-Shobuni, Pernikahan Islam (Kado Bahagia Untuk Mempelai Berdua), (Solo, Al-Maktabah Al-„Ashriyah, 2006), 6-13.


(11)

2

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Ar-Rum: 21).2 Berdasarkan ayat di atas, terlihat jelas bahwa pernikahan merupakan perintah Allah swt kepada hamba-Nya untuk menciptakan suasana aman, tenang serta harmonis. Dengan kata lain, pernikahan merupakan sebuah Piagam yang sangat kokoh. Piagam yang merajut jalinan istimewa antara dua jenis yang berbeda, pria dan wanita, untuk sebuah tujuan yang sangat mulia.

Oleh karena itu, Allah swt, dalam pernikahan telah mengatur dengan jelas tentang syarat dan rukunnya. Yang selanjutnya, kebahagiaan rumah tangga yang diistilahkan dengan Baiti> Jannati> (Rumahku adalah surgaku), bisa terwujud di alam nyata, bukan hanya sekedar mimpi belaka. Kata kuncinya adalah menjalankan perintah Allah swt, dan melaksanakan pernikahan secara islami (syar’i).

Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.3 Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), perkawinan ialah akad yang sangat kuat atau mi>sa>qa>n ghal>izan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.4

2

Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : CV Penerbit Diponegoro,2005),406..

3

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.

4


(12)

3

Manusia adalah makhluk yang lebih dimuliakan dan diutamakan Allah SWT dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Allah SWT telah menetapkan adanya aturan tentang perkawinan bagi manusia dengan aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar. Manusia tidak boleh berbuat semaunya, Allah SWT tidak membiarkan manusia berbuat semaunya seperti binatang, kumpul dengan lawan jenis hanya menurut seleranya, atau seperti tumbuh-tumbuhan yang kawin dengan perantara angin.5

Sehingga hubungan laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan saling ridha-meridhai, dengan upacara akad nikah sebagai lambang dari adanya rasa ridha-meridhai, dihadiri para saksi yang menyaksikan kedua pasangan laki-laki dan perempuan itu telah terikat.6

Indonesia merupakan negara yang majemuk dan sekaligus negara yang muslimnya terbesar di dunia, maka tidaklah aneh bila terdapat undang-undang yang jelas sebagai pedoman tersendiri yang berdasarkan ajaran agama Islam untuk mengatur tata cara atau pedoman dalam menjalankan perkawinan dan juga perceraiannya. Undang-undang perkawinan secara prinsip dapat diterima karena tidak menyalahi ketentuan yang berlaku dalam fiqih munakahat tanpa melihat mazhab fiqih tertentu. Hal ini dapat terjadi mungkin karena pembuat undang-undang

5

Al Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002) 1-2

6


(13)

4

perkawinan tersebut, yaitu Presiden dan DPR lebih memperhatikan kesadaran hukum masyarakat yang mayoritasnya adalah beragama Islam.7

Menurut KUH Perdata bahwa untuk dapat melangsungkan perkawinan haruslah dipenuhi syarat-syarat pokok demi sahnya suatu perkawinan antara lain: syarat materiil dan syarat formil. Syarat materiil yaitu syarat yang berkaitan dengan inti atau pokok dalam melangsungkan perkawinan. Sedangkan syarat formil yaitu syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam pelaksanaan perkawinan.8

Selanjutnya dijelaskan di dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 6 sebagai berikut:

Pasal 6

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. 2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai

umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapatkan izin kedua orang tua.

3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. 4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan

tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.9

Ketentuan pasal tersebut diatas berlaku untuk seluruh Warga Negara Indonesia (WNI) tidak terkecuali Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan anggota TNI/Polri. Meskipun untuk anggota PNS dan TNI/Polri tentang

7

Amir Syariffuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Praneda Media, 2006), 30.

8

Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis(BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), 63-64.

9


(14)

5

persyaratan perkawinan ada peraturan yang berlaku khusus untuk mereka. Diantaranya Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pengajuan Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk Bagi Pegawai Negeri Pada Kepolisian Negara Republik Indonesia:

Pasal 6

a. Surat permohonan pengajuan izin kawin.

b. Surat keterangan N1 dari kelurahan/desa sesuai domisili, mengenai nama, tempat, dan tanggal lahir, agama, pekerjaan, tempat kediaman dan status calon suami/istri.

c. Surat keterangan N2 dari kelurahan/desa sesuai domisili, mengenai asal usul yang meliputi nama, agama, pekerjaan, dan tempat kediaman orang tua/wali.

d. Surat keterangan N4 dari kelurahan/desa sesuai domisili, mengenai orang tua calon suami/istri.

e. Surat pernyataan kesanggupan dari calon suami/istri untuk melaksanakan kehidupan rumah tangga.

f. Surat pernyataan persetujuan orang tua, apabila kedua orang tua telah meninggal dunia, maka persetujuan diberikan oleh calon suami/istri. g. Surat keterangan pejabat personel dari satuan kerja pegawai negeri

pada Polri yang akan melaksanakan perkawinan, mengenai status pegawai yang bersangkutan perjaka/gadis/kawin/duda/janda.

h. Surat akta cerai atau keterangan kematian suami/istri, apabila mereka sudah janda/duda.

i. Surat keterangan dokter tentang kesehatan calon suami/istri untuk menyatakan sehat, dan khusus bagi calon istri melampirkan tes urine untuk mengetahui kehamilan.10

Dari rumusan pasal-pasal tersebut, bahwasanya sudah jelas persyaratan perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam melaksanakan perkawinan. Apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan maka Pegawai Pencatat Nikah (PPN), baik KUA maupun catatan sipil akan menolak perkawinan

10

Peraturan kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomer 9 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pengajuan Perkawinan, Perceraian , Dan Rujuk Bagi Pegawai Negeri Pada Kepolisian Republik Indonesia.


(15)

6

pihak-pihak yang mengajukan permohonan jika tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Sebagaimana dijelaskan di dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974:

Pasal 21

1. Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.

2. Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.

3. Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada Pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut di atas.

4. Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan cara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan agar supaya perkawinan dilangsungkan.11

Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah KUA sering terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Dari penolakan itu, ada pihak yang menerima dan ada pula pihak yang tidak menerima tentang penolakan tersebut. Bagi pihak yang tidak menerima penolakan itu, bisa mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama terkait dengan penolakan perkawinan yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah KUA agar Pengadilan Agama memberikan ketetapan apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan pihak Pegawai Pencatat Nikah KUA supaya perkawinan dilangsungkan seperti yang dijelaskan dalam pasal 21 poin 3 dan 4 Undang-undang Perkawinan No 1 tahun 1974.

11


(16)

7

Sebagaimana dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 disebutkan dalam pasal 12 ayat (1): “dalam hal hasil pemeriksaan membuktikan bahwa syarat-syarat perkawinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (2) tidak terpenuhi atau terdapat halangan untuk menikah, maka kehendak perkawinannya ditolak dan tidak dapat dilaksanakan”.12

Salah satu kasus tentang pengajuan permohonan ke Pengadilan Agama karena penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah KUA ialah seperti yang dilakukan oleh salah satu calon suami seorang anggota Pegawai Negeri pada Polri di wilayah Pengadilan Agama Mojokerto. Perkawinan anggota Pegawai Negeri pada Polri dengan calon istrinya di tolak oleh Pegawai Pencatat Nikah KUA Mojoanyar Kabupaten Mojokerto dengan alasan anggota Pegawai Negeri pada Polri yang bersangkutan tidak mendapatkan izin dari orang tuanya yaitu dari orang tuanya mempelai laki-laki(Polri). Dalam penolakannya Pegawai Pencatat Nikah KUA berargumen, bahwa di dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2010, menjelaskan anggota Pegawai Negeri pada Polri harus mendapatkan surat pernyataan persetujuan dari orang tua dan atasannya bila ingin melangsungkan perkawinan.

Bahwasanya selama surat pernyataan persetujuan dari orang tua belum atau tidak diperoleh, maka surat izin kawin bagi anggota Pegawai Negeri pada Polri tidak akan diterbitkan, dan selama surat izin kawin tidak

12


(17)

8

diterbitkan maka yang bersangkutan tidak akan pernah bisa melangsungkan perkawinan dengan seseorang yang dicintainya.

Karena anggota Pegawai Negeri pada Polri yang bersangkutan tidak menerima atas penolakan perkawinan yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah KUA Mojoanyar Kabupaten Mojokerto, maka anggota Pegawai Negeri pada polri yang bersangkutan mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama Mojokerto untuk memberikan ketetapan yang memerintahkan agar mencabut surat penolakan yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah KUA Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto serta supaya perkawinan dilangsungkan. Sesuai dengan surat penetapan Pengadilan Agama Mojokerto Nomor 0052/Pdt.P/2014/PA.Mr, Pengadilan Agama Mojokerto memerintahkan agar supaya perkawinan dilangsungkan.

Atas dasar inilah, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terkait tentang “Tinjauan Mas{lah{ah Mursalah dalam Putusan

Pengadilan Agama Mojokerto Nomor 0052/Pdt.P/2014/PA.Mr Tentang Pencabutan Atas Surat Penolakan Perkawinan Oleh Pegawai Pencatat Nikah KUA Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto”. B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah

Dari paparan latar belakang di atas, penulis mengidentifikasi inti permasalahan yang terkandung di dalamnya sebagai berikut:

1. Prosedur izin nikah di lembaga kepolisian. 2. Persyaratan izin nikah di lembaga kepolisian.


(18)

9

3. Pertimbangan hukum yang dipakai Majelis Hakim dalam memutus perkara pencabutan surat penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah KUA.

4. Aplikasi nikah di lembaga kepolisian.

5. Tinjauan mas{lah{ah mursalah terhadap dalam Putusan Pengadilan Agama Mojokerto Nomor 0052/Pdt.P/2014/PA.Mr Tentang Pencabutan Atas Surat Penolakan Perkawinan Oleh Pegawai Pencatat Nikah KUA

Dalam suatu penelitian, sangat sulit untuk meneliti semua permasalahan yang ada pada bidang yang diteliti, oleh karena itu setiap peneliti akan membatasi masalah yang akan diteliti, begitu juga halnya dengan penelitian ini, yang akan diteliti harus merupakan bagian dari masalah yang telah dipaparkan di atas, jadi pandangan harus merupakan salah satu dari permasalahan di atas.

Mengingat hal tersebut di atas, penulis perlu membatasi masalah yang akan diteliti dengan tujuan agar penulis dapat mencapai sasaran penelitian dan tidak terjadi kesimpang siuran dalam menafsirkan masalah yang ada. Adapun masalah yang akan diteliti pada penelitian ini adalah Tinjauan Maslahah Mursalah dalam Putusan Pengadilan Agama Mojokerto Nomor 0052/Pdt.P/2014/PA.Mr Tentang Pencabutan Atas Surat Penolakan Perkawinan Oleh Pegawai Pencatat Nikah KUA Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto.


(19)

10

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari pemaparan latar belakang di atas muncullah beberapa rumusan masalah yaitu :

1. Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara Nomor 0052/Pdt.P/2014/PA.Mr ?

2. Bagaimana tinjauan mas{lah{ah mursalah dalam putusan Pengadilan Agama Mojokerto Nomor 0052/Pdt.P/2014/PA.Mr ?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah diskripsi tentang kajian atau penelitian yang sudah dilakukan diseputar masalah yang diteliti sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang sedang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan duplikasi dari kajian atau penelitian.13

Nurhanun Mu‟in, dengan skripsinya yang berjudul “Penolakan Perkawinan Karena Pemalsuan Akta Cerai Oleh PPN. (Studi Kasus Di KUA Kecamatan Bandar Kedung Mulyo Jombang Dari Perspektif UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan)”, pada skripsi diatas meneliti tentang akta cerai palsu dapat menyebabkan tertolaknya perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di KUA Kecamatan Bandar Kedung Mulyo karena tidak memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Sedangkan pada skripsi ini penulis akan lebih membahas pada penetapan Pengadilan Agama

13

Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel, Petunjuk Penulisan Skripsi, (Cetakan III, januari 2011), 9.


(20)

11

Mojokerto terhadap penolakan perkawinan yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah KUA Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto.14

Samsul amin, 2005, Tinjauan Hukum Islam terhadap juklak /07/III/1988 tentang izin kawin bagi anggota polri (studi kasus di kepolisian daerah jawa tengah). Penelitian ini memfokuskan pada : (1) Dasar pelaksanan izin kawin anggota polri di polda jawa tengah terhadap juklak /07/III/1988, (2) Tinjauan hukum islam terhadap pelaksanaan juklak /07/III/1988. adapun metodologi dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode empiris. Adapun hasil penelitian ini adalah: (1) Dasar pelaksanan izin kawin anggota polri di polda jawa tengah terhadap juklak /07/III/1988 berjalan baik dan lancar sesuai dengan yang diatur dalam juklak Dasar pelaksanan izin kawin anggota polri di polda jawa tengah terhadap juklak /07/III/1988, serta dengan pelayanan yang baik. Sehingga tidak terjadi gagalnya rencana pernikahan anggota polri yang ada di polda jawa tengah. (2) Tinjauan hukum islam terhadap pelaksanaan juklak /07/III/1988 adalah tidak bertentangan dengan hukum islam yang di buktikan melalui nilai-nilai yang terkandung dalam juklak tersebut, serta adanya adat kebiasaan (‘urf).15

Sedangkan skripsi ini fokus terhadap tinjauan maslahah mursalah putusan Pengadilan Agama Mojokerto dalam hal pencabutan surat

14Nurhanun Mu‟in, “Penolakan Perkawinan Karena Pemalsuan Akta Cerai Oleh PPN (Studi

Kasus di KUA Kecamatan Bandar Kedung Mulyo Jombang dari Perspektif UU No. 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan)” (Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2004), 12.

15

Samsul Amin, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Juklak /07/III/1988 Tentang Izin Kawin Bagi Anggota Polri (Studi Kasus di Kepolisian Daerah Jawa Tengah) (Skripsi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2005).


(21)

12

penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah KUA, serta dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut.

E. Tujuan Penelitian

Secara operasional tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui tentang pertimbangan hakim dalam memutus perkara

Nomor 0052/Pdt.P/2014/PA.Mr.

2. Mengetahui Tinjauan mas{lah{ah mursalah dalam putusan Pengadilan Agama Mojokerto Nomor 0052/Pdt.P/2014/PA.Mr.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat untuk hal-hal sebagai berikut:

1. Secara Teoretis hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi memperkuat ilmu pembaca pada umumnya, dan khusus bagi mahasiswa/i yang berkaitan dengan masalah Hukum Keluarga Islam Selain itu juga dapat digunakan sebagai bahan acuan bagi peneliti-peneliti berikutnya khususnya yang berhubungan dengan penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah KUA.

2. Secara Praktis, penelitian ini dapat dijadikan literatur atau referensi untuk memahami secara mendalam bagi Pegawai Negeri pada Polri dalam melangsungkan perkawinan dan bagi Pegawai Pencatat Nikah KUA dalam melakukan penolakan perkawinan.


(22)

13

G. Definisi Operasional

Permasalahan di atas tidak hanya diselesaikan dengan pemikiran saja, melainkan harus dianalisis dengan landasan teori, sehingga dapat terwujud karya ilmiah yang memiliki bobot keilmuan. Untuk memperjelas kemana arah pembahasan masalah yang diangkat, maka penulis perlu memberikan definisi dari judul tersebut, yakni dengan menguraikan sebagai berikut:

1. Maslahah mursalah

Metode istilahi yang dijadikan dasar pembentukan hukum, terhadap kejadian yang tidak ada hukumnya dalam nas dan ijmak atau kias atau ihtihsan hal itu disyariatkan karena dikehendaki oleh maslahat umum, dan karena adanya saksi yang sesuai syariat islam yang mengikutinya.

2. Putusan

Pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan,16 yaitu putusan Pengadilan Agama Mojokerto Nomor 0052/Pdt.P/2014/PA.Mr Terhadap Pencabutan Atas Surat Penolakan Perkawinan Oleh Pegawai Pencatat Nikah KUA.

16

Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), 167


(23)

14

3. Penolakan Perkawinan

Penolakan oleh Pegawai Pencatat Nikah karena dalam pemeriksaan syarat-syarat perkawinan tidak terpenuhi atau terdapat halangan untuk menikah.17 Penolakan perkawinan karena tidak terpenuhi syarat-syarat perkawinan yaitu tidak adanya surat pengantar dari Kepala Satuan Kerja (Kasatker).

H. Metode Penelitian

Penelitian yang penulis lakukan ini termasuk penelitian lapangan (field research), oleh karena itu data yang dikumpulkan merupakan data langsung dari lapangan sebagai obyek penelitian yang bersumber dari pandangan hakim Pengadilan Agama Malang. Adapun penulisan skripsi ini menggunakan metode pembahasan sebagai berikut:

1. Lokasi Penelitian

Adapun lokasi yang digunakan penelitian penulis adalah Pengadilan Agama Mojokerto.

2. Data yang dikumpulkan

Data yang dihimpun adalah data tentang :

a. Dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan permohonan penetapan Pengadilan Agama Mojokerto Nomor 0052/Pdt.P/2014/PA.Mr. tentang pencabutan atas surat penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah KUA Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto.

17

Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah.


(24)

15

b. Hukum acara peradilan agama terhadap putusan Pengadilan Agama Mojokerto Nomor 0052/Pdt.P/2014/PA.Mr. tentang pencabutan atas surat penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah KUA Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto.

3. Sumber Data

Sumber data adalah tempat di mana kita mendapatkan data, dalam penelitian lapangan terdapat dua jenis sumber data yaitu :

a. Sumber primer, yaitu sumber untuk memperoleh data langsung dari objek penelitian oleh orang yang melakukan penelitian.18 Pada penelitian kali ini, sumber data primernya adalah Hakim Pengadilan Agama Mojokerto

b. Sumber sekunder, yaitu Sumber sekunder diperoleh dari dokumen, catatan-catatan atau tulisan yang berhubungan dengan izim kawin di lembaga kepolisian seperti :

1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor l tahun 1974 Tentang Perkawinan.

2) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.

3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.

18


(25)

16

4) Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah.

5) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pengajuan Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk Bagi Pegawai Negeri Pada Kepolisian Negara Republik Indonesia.

6) Sumber-sumber lain yang berkaitan dengan skripsi ini. 4. Teknik pengumpulan data

Untuk memperoleh data tersebut digunakan teknik sebagai berikut:

a. Wawancara (Interview)19 yaitu teknik memperoleh data dengan tanya jawab langsung secara lisan. Adapun dalam penelitian ini dengan hakim-hakim Pengadialan Agama Mojokerto. Wawancara ini dilakukan dengan pokok pertanyaan yang telah disiapkan kemudian dilanjutkan dengan variasi wawancara guna memperoleh data yang diperlukan.

b. Dokumentasi merupakan salah satu teknik untuk memperoleh data dari buku dan bahan bacaan mengenai penelitian yang dilakukan.20 Studi dokumen ini adalah salah satu cara pengumpulan data yang digunakan dalam suatu penelitian sosial. Pengumpulan data tersebut dilakukan guna memperoleh data

19

Moh. Nazhir, Metode Penelitian, (Bogor, Ghalia Indonesia,2005), 52.

20

Soerjono Soekanto, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, (Jakarta: UI – Press,1986),201


(26)

17

primer dan sekunder, baik dari kitab-kitab, buku-buku, maupun dokumen lain yang berkaitan dengan kebutuhan penelitian.

5. Teknik Pengolahan

Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah melalui tahapan tahapan sebagai berikut:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali semua data yang diperoleh dengan memilih dan menyeleksi data tersebut dari berbagai segi yang meliputi kesesuaian, keselarasan satu dengan yang lainnya, keaslian, kejelasan serta relevansinya dengan permasalahan.21 b. Organizing, yaitu mengatur dan menyusun data sedemikian rupa

sehingga dapat memperoleh gambaran yang sesuai dengan rumusan masalah.22

6. Teknik Analisis Data

Setelah data selesai dikumpulkan dengan lengkap baik dari lapangan maupun dokumenter, tahap berikutnya adalah tahap analisis. Seperti halnya teknik pengumpulan data, analisis data juga merupakan bagian yang penting dalam penelitian, karena dengan menganalisis, data dapat diberi arti dan makna yang jelas sehingga dapat digunakan untuk memecahkan masalah dan menjawab persoalan-persoalan yang diajukan dalam penelitian. Dalam penelitian ini sesuai dengan arah studi yang dipilih maka teknik analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif analisis, yaitu metode yang menggambarkan dan

21

Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), 91.

22


(27)

18

menjelaskan data secara rinci dan sistematis tentang putusan pencabutan atas surat penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah KUA kemudian di analisis dengan teori mas{lah{ah mursalah untuk memperoleh kesimpulan.

I. Sistematika Pembahasan

Secara umum, skripsi ini dibagi dalam lima bab. Dimana satu sama lain saling berkaitan dan merupakan suatu sistem yang urut untuk mendapatkan suatu kesimpulan dalam mendapatkan suatu kebenaran ilmiah. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

Bab pertama adalah pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua, Tinjauan umum tentang perkawinan bagi Pegawai Negeri Sipil yang akan di bahas meliputi: ketentuan perkawinan bagi Pegawai Negeri Sipil pada Polri dan mas{lah{ah mursalah..

Bab ketiga, Pada bab ini memaparkan hasil penelitian atau data penelitian yang terdiri atas: gambaran umum tentang Pengadilan Agama Mojokerto, struktur organisasi Pengadilan Agama Mojokerto, keadaan geografis dan wilayah yuridis Pengadilan Agama Mojokerto yang kemudian dilanjutkan dengan deskripsi kasus serta dasar pertimbangan Hakim dalam mengeluarkan penetapan Pengadilan Agama Mojokerto Nomor 0052/Pdt.P/2014.PA.Mr.


(28)

19

Bab keempat merupakan bab yang membahas analisis terhadap dasar pertimbangan hakim dalam penetapan Nomor 0052/Pdt.P/2014/PA.Mr serta tinjauan mas{lah{ah mursalah dalam putusan Pengadilan Agama Mojokerto Nomor 0052/Pdt.P/2014/PA.Mr Tentang Pencabutan Atas Surat Penolakan Perkawinan Oleh Pegawai Pencatat Nikah KUA.

Bab kelima adalah Penutup yang merupakan bagian akhir, terdiri atas kesimpulan dari seluruh uraian skripsi ini yang selanjutnya diberikan saran-saran agar para pembaca dapat mengambil manfaat dari pembahasan yang ada didalamnya.


(29)

20

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN PEGAWAI NEGERI POLRI DAN MASL{AH{AH MURSALAH

A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan

Secara etimologis perkawinan dalam Bahasa Arab berarti nikah atau zawa>j. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Quran dan hadis Nabi. Sedangkan secara terminologis perkawinan yaitu akad yang membolehkan terjadinya istimta>’ (persetubuhan) dengan seorang wanita, selama wanita tersebut bukan dengan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau seperti sebab susuan.1

Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2 Dengan pasal ini dapat dilihat tujuan perkawinan itu sendiri yaitu untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.3

Mengenai pengertian perkawinan ini banyak beberapa pendapat yang satu sama lainnya berbeda. Tetapi perbedaan pendapat ini sebetulnya

1

Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), 4.

2

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

3


(30)

21

bukan untuk memperlihatkan pertentangan yang sungguh-sungguh antara pendapat yang satu dengan yang lain. Perbedaan itu hanya terdapat pada keinginan para perumus untuk memasukkan unsur-unsur yang sebanyak-banyaknya dalam perumusan pengertian perkawinan di satu pihak dan pembatasan banyaknya unsur di dalam perumusan pengertian perkawinan di pihak yang lain.4

Hukum perkawinan yang berlaku bagi tiap-tiap agama tersebut satu sama lain ada perbedaan, akan tetapi tidak saling bertentangan. Adapun di Indonesia telah ada hukum perkawinan yang secara otentik diatur di dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.

2. Syarat dan Rukun Perkawinan

Rukun dan syarat perkawinan dalam hukum Islam merupakan hal penting demi terwujudnya suatu ikatan perkawinan antara seorang lelaki dengan seorang perempuan. Rukun perkawinan merupakan faktor penentu bagi sahnya atau tidak sahnya suatu perkawinan. Adapun syarat perkawinan adalah faktor-faktor yang harus dipenuhi oleh para subjek hukum yang merupakan unsur atau bagian dari akad perkawinan.5

Menurut pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI) rukun dan syarat perkawinan terdiri atas:6

4

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 2007), 8.

5

Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 92.

6


(31)

22

a. Calon suami

Seorang calon suami yang ingin menikah harus memenuhi beberapa syarat, yaitu: bukan mahram dari calon istri, tidak terpaksa artinya atas kemauan sendiri, jelas orangnya, dan tidak sedang ihram haji.7 Sebagaimana dijelaskan pula di dalam pasal 5 ayat (1) Kompilasi

Hukum Islam “Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”.

b. Calon istri

Adapun syarat-syarat bagi calon istri yang ingin menikah adalah tidak adanya halangan shar’i>, yaitu: tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam masa ‘iddah, calon istri juga harus merdeka artinya atas kemauan sendiri, jelas orangnya, dan tidak sedang berihram haji.8

c. Wali nikah

Wali dalam perkawinan adalah orang yang berkuasa mengurus

atau mengatur perempuan yang di bawah perlindungannya.9 Untuk menjadi wali nikah, seseorang harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:

8

Ibid., 67-68.

9


(32)

23

laki-laki, dewasa, sehat akalnya, tidak dipaksa, adil, dan tidak sedang ihram haji. Di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 19 menjelaskan

bahwa ‚wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus

dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk

menikahkannya‛.

d. Dua orang saksi lelaki, dan

Syarat menjadi saksi adalah laki-laki, ba>ligh, waras akalnya, adil, dapat mendengarkan dan melihat, bebas artinya tidak dipaksa, tidak sedang ihram haji, dan memahami bahasa yang dipergunakan untuk i>jab dan qabu>l.10

e. Ijab dan qobul

Ijab adalah pernyataan pertama untuk menunjukkan kemauan membentuk hubungan suami istri dari pihak perempuan. Sedangkan qobul adalah pernyataan kedua yang diucapkan oleh pihak yang mengadakan akad berikutnya untuk menyatakan rasa ridha dan setuju. Dalam melaksanakan ijab qobul harus digunakan kata-kata yang dapat dipahami oleh masing-masing pihak yang melangsungkan akad nikah sebagai persyaratan kemauan yang timbul dari kedua belah pihak, dan tidak menggunakan kata-kata yang samar atau tidak mengerti maksudnya.11

10

Al Hamdani, Risalah Nikah, 68.

11


(33)

24

Sedangkan syarat-syarat perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yang terdapat pada pasal 6 yaitu:

Pasal 6

1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. 2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai

umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapatkan izin kedua orang tua.

3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. 4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan

tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.12

B. Perkawinan Pegawai Negeri pada Polri 1. Pegawai Negeri pada Polri

Istilah polisi sepanjang sejarah ternyata mempunyai arti yang berbeda-beda. Setiap negara juga memberikan pengertian tentang polisi juga berbeda-beda, dikarenakan masing-masing negara cenderung untuk memberikan istilah dalam bahasanya sendiri atau menurut kebiasaan-kebiasaannya sendiri.

Menurut pasal 1 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2010 ‚Kepolisian Negara

Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat Polri adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan, ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman,

12


(34)

25

dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya

keamanan dalam negeri‛. Pasal 1 ayat (2) ‚Pegawai Negeri pada Polri

adalah anggota Polri dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Polri‛.13 Fungsi Kepolisian tentunya berkaitan erat dengan tugas dan wewenang lembaga kepolisian yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan dari terbentuknya lembaga tersebut. Dalam hal ini fungsi dari kepolisian ada hubungannya dengan pengertian tugas, yang mana dapat dikemukakan bahwa fungsi dari polisi adalah merupakan bagian dari pada tugas negara.

Secara umum tujuan dibentuknya lembaga kepolisian adalah untuk menciptakan kondisi aman, tenteram dan tertib dalam masyarakat.14

Keamanan, ketentraman, dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat yang ditandai oleh terjaminnya tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat yang merupakan salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional.15

13

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pengajuan, Perceraian, dan Rujuk Bagi Pegawai Negeri Pada Kepolisian Negara Republik Indonesia.

14

Philipus M. Hadjon, Fungsi Kepolisian Dalam Pelaksanaan Good Governance, (Yogyakarta: LaksBang, 2005), 149.

15


(35)

26

Pegawai Negeri pada Polri menjalankan tugas dan wewenangnya di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, khususnya di daerah hukum Pegawai Negeri pada Polri yang bersangkutan ditugaskan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.16 Sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945, Polri mengemban tiga tugas utama, yaitu penegakan hukum, memelihara keamanan, ketertiban masyarakat, melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. Semua tugas ini berkaitan dengan sendi-sendi kehidupan masyarakat yang paling hakiki, yaitu keadilan, ketentraman, dan rasa aman yang sangat didambakan oleh rakyat.

Untuk keabsahan suatu tindakan yang dilakukan dalam pelaksanaan tugas, harus berdasarkan kepada suatu wewenang yang diberikan oleh undang-undang kepada petugas. Seorang petugas yang memiliki wewenang, berarti petugas tersebut mempunyai kekuasaan bertindak sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan sehingga pengertian pemberian wewenang merupakan pemberian keabsahan untuk melakukan suatu tindakan.17

Salah satu dari tugas Pegawai Negeri pada Polri adalah melakukan penyidikan, untuk dapat melakukan penyidikan ia diberi wewenang untuk melakukan tindakan-tindakan antara lain penangkapan,

16

Ricky Francois Wakanto, Buku Pintar Calon Anggota dan Anggota Polri, (Jakarta: Visimedia, 2009), 19.

17

Djoko Prakoso, Polri Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum, (Jakarta: Bina Aksara: 1987), 143.


(36)

27

penahanan dan lain sebagainya. Tanpa wewenang, Pegawai Negeri pada Polri tidak dapat melakukan tindakan apapun.

Untuk kepentingan umum Pegawai Negeri pada Polri dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri, yaitu suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh Pegawai Negeri pada Polri yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat, resiko dari tindakannya, dan betul-betul untuk kepentingan umum.

2. Perkawinan bagi pegawai negeri pada Polri

Anggota yang akan melangsungkan perkawinan, yang akan bercerai ataupun yang akan rujuk kembali dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku dan dilaksanakan sesuai dengan tuntunan agama yang dianutnya, yaitu:

a. Menurut agama Islam.

b. Menurut agama Kristen Protestan. c. Menurut agama Kristen Katholik. d. Menurut agama Hindhu dan Budha.18

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 pasal 2

ayat (1) menjelaskan bahwa: ‚Pegawai Negeri Sipil yang

melangsungkan perkawinan pertama, wajib memberitahukannya secara tertulis kepada Pejabat melalui saluran hierarki dalam waktu selambat-lambatnya 1 tahun setelah perkawinan itu dilangsungkan‛, dan oleh

18


(37)

28

karena menurut pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 43 Tahun

1999 bahwa: ‚anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia menjadi

bagian dari Pegawai Negeri yang dimaksud di atas, maka anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melangsungkan perkawinan juga wajib memberitahukannya secara tertulis kepada

Pejabat‛.

Langkah-langkah yang sudah ditentukan dalam perkawinan Polri adalah sebagai berikut:

a. Anggota Polri yang akan melaksanakan perkawinan harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang. b. Izin kawin baru dapat diberikan oleh pejabat berwenang, setelah

mendapat pengesahan dari pejabat agama di lingkungan Polri. c. Izin kawin pada prinsipnya diberikan kepada anggota jika

perkawinan/pernikahan itu memperlihatkan prospek kebahagiaan dan kesejahteraan bagi calon suami/istri yang bersangkutan, lagi pula tidak akan membawa pengaruh atau akibat yang dapat merugikan kedinasan.

d. Surat izin kawin hanya berlaku selama 6 bulan terhitung mulai tanggal dikeluarkannya.

e. Dalam hal izin kawin diberikan, sedangkan perkawinan tidak jadi dilakukan, maka yang bersangkutan harus segera melaporkan pembatalan itu kepada pejabat yang memberikan izin tersebut berikut alasan-alasan secara tertulis.


(38)

29

f. Setelah perkawinan dilangsungkan, maka salinan surat kawin dari lembaga yang berwenang, berikut salinan surat izin kawin diserahkan yang bersangkutan kepada pejabat dikesatuannya guna penyelesaian administrasi dan keuangan.

g. Anggota Polri tidak diperkenankan kawin mengikuti pendidikan pertama/pendidikan dasar baik di luar maupun di luar negeri.19

Dalam mengajukan permohonan izin kawin bagi Pegawai Negeri pada Polri harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Surat permohonan pengajuan izin kawin.

b. Surat keterangan N1 dari kelurahan/desa sesuai domisili, mengenai nama, tempat, dan tanggal lahir, agama, pekerjaan, tempat kediaman dan status calon suami/istri.

c. Surat keterangan N2 dari kelurahan/desa sesuai domisili, mengenai asal usul yang meliputi nama, agama, pekerjaan, dan tempat kediaman orang tua/wali.

d. Surat keterangan N4 dari kelurahan/desa sesuai domisili, mengenai orang tua calon suami/istri.

e. Surat pernyataan kesanggupan dari calon suami/istri untuk melaksanakan kehidupan rumah tangga.

f. Surat pernyataan persetujuan orang tua, apabila kedua orang tua telah meninggal dunia, maka persetujuan diberikan oleh calon suami/istri.

g. Surat keterangan pejabat personel dari satuan kerja pegawai negeri pada Polri yang akan melaksanakan perkawinan, mengenai status pegawai yang bersangkutan perjaka/ gadis/ kawin/ duda/ janda. h. Surat akta cerai atau keterangan kematian suami/istri, apabila

mereka sudah janda/duda.

i. Surat keterangan dokter tentang kesehatan calon suami/istri untuk menyatakan sehat, dan khusus bagi calon istri melampirkan tes urine untuk mengetahui kehamilan.

j. (tiga) lembar, dengan ketentuan:

1. Bagi Perwira berpakaian dinas harian dengan latar belakang berwarna merah.

2. Bagi Brigadir berpakaian dinas harian dengan latar belakang berwarna kuning.

19


(39)

30

3. Bagi PNS Polri berpakaian dinas harian dengan latar belakang berwarna biru, dan

4. Bagi calon suami/istri yang bukan pegawai negeri pada Polri berpakaian bebas rapi dengan latar belakang disesuaikan dengan pangkat calon suami/istri.

k. Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) bagi calon suami/istri yang bukan pegawai negeri.20

C. Masl{ah{ah Mursalah

1. Pengertian dan dasar hukumnya

Mas{lah}ah berasal dari kata s}alah{a ( َحَلَص ) yang secara arti kata berarti baik lawan dari buruk atau rusak. Mas}}lah}ah adalah masd{ar dengan arti kata s{alahu yaitu manfaat atau terlepas dari padanya kerusakan. Pengertian mas}lah}ah dalam bahasa arab adalah perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia.21

Dari makna kebahasaan ini dipahami bahwa al-mas{lah{ah meliputi segala yang mendatangkan manfaat, baik melalui cara mengambil dan melakukan sesuatu tindakan maupun dengan menolak dan menghindarkan segala bentuk menimbulkan kemudharatan dan kesulitan.22

Menurut Abdul Wahhab Khallaf pengertian mas{lah{ah mursalah (kesejahteraan umum) yaitu sesuatu yang dianggap maslahat dimana shari‘ tidak mensyariatkan hukum untuk

20

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pengajuan Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk Bagi Pegawai Negeri Pada Kepolisian Negara Republik Indonesia.

21Totok Jumantoro, Samsul Munir, Kamus us}u>l Fiqih, (Jakarta: Amzah, 2005),

200.

22


(40)

31

mewujudkan maslahat itu, juga tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya.28

Sedangkan menurut Muhammad Abu> Zahra mas{lah{ah mursalah adalah segala kemaslahatan yang sejalan dengan tujuan-tujuan shari’ah (dalam mensyariatkan hukum Islam) dan kepadanya tidak ada dalil khusus yang menunjuk tentang diakuinya atau tidaknya.23

Mas{lah{ah ini disebut mutlak karena tidak dibatasi dengan dalil pengakuan atau dalil pembatalan. Contohnya yaitu, mas{lah{ah yang karena mas{lah{ah itu sahabat mensyariatkan pengadaan penjara, ditentukan pajak pajak penghasilannya, atau maslahah-maslahah lain yang harus dituntut oleh keadaan-keadaan darurat kebutuhan dan atau karena kebaikan, dan belum disyariatkan hukumnya. Artinya, mendatangkan keuntungan bagi mereka dan menolak mudarat serta menghilangkan kesulitan daripadanya.24

Sumber asal dari metode mas{lah{ah mursalah diambil dari nas Alquran yang banyak jumlahnya, diantaranya:











dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Alanbiya>’ : 107).25

23

Muhammad Abu> Zahra, Ilmu Us}ul al-Fiqh, (Beirut: Da>r al-Fikr al-Arabi, 1987), 279.

24

Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam,126-127.

25


(41)

32

Disini allah SWT berfirman bahwa dia menciptakan Muhammad SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam, dia mengirimnya sebagai rahmat untuk semua orang, barangsiapa menerima rahmat untuk semua orang, barangsiapa menerima rahmat ini dan berterima kasih atas berkah ini maka akan bahagia di dunia dan akhirat, namun jika sebaliknya maka dunia dan akhirat akan lepas darinya.

















Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. Yunus : 57).26

Maksud ayat di atas adalah pencegah kekejian dari kesamaran-kesamaran dan keragu-raguan, yaitu menghilangkan kekejian dan kotoran yang ada di dalamnya, hidayah dan rahmat dari allah dapat

dihasilkan dengan adanya al qur’an itu.









Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan". (QS. Yunus : 58).27

26

Kementerian Agama RI, Alquran dan Tafsirnya, Jilid 11..., 327-328.

27


(42)

33

Maksud ayat di atas adalah dengan petunjuk agama yang benar, yang datang dari allah ini hendaknya mereka bergembira, karena sesungguhnya hal itu yang patut mereka banggakan, dari harta duniawi dan apa yang ada di dalamnya, berupa keindahan yang akan rusak dan pasti hilang. ....



...



Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan. (QS. Albaqarah:195). 28

Maksud ayat di atas adalah keenggangan untuk membelanjakan harta di jalan allah, lambat laut, hanya akan merendahkan martabat suatu komunitas, bahkan pada akhirnya, membinasakannya.

...



.Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS. Albaqarah 185).29

Maksud ayat di atas adalah bolehnya musafir dan orang sakit untuk tidak berpuasa adalah bukti bahwa allah memberikan kemudahan kepada hamba-hambanya dalam syariatnya.

2. Macam-macam mas{lah{ah mursalah

Dilihat dari pembagian mas}lah}ah ini, dibedakan menjadi dua macam yaitu, dilihat dari segi tingkatannya dan eksistensinya

28

Kementerian Agama RI, Alquran dan Tafsirnya, Jilid 1..., 286.

29


(43)

34

a. Mas}lah}ah dari segi tingkatannya 1) Al-Mas}lah}ah al-d}aru>riyyah

Al-mas}lah}ah al-d}aru>riyyah adalah kemaslahatan yang menjadi dasar tegaknya kehidupan asasi manusia baik yang berkaitan dengan agama maupun dunia. Jika ia luput dari kehidupan manusia maka mengakibatkan rusaknya tatanan kehidupan manusia tersebut. Al-mas}lah}ah al-d}aru>riyyah ini meliputi (1) memelihara agama , untuk memelihara agama maka disyariatkan manusia untuk beribadah kepada Allah, menjalani semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya; (2) memelihara jiwa, untuk memelihara jiwa maka agama mengharamkan pembunuhan tanpa alasan yang benar, dan bagi yang melakukannya dijatuhi hukuman kisas, (3) memelihara keturunan, maka agama mengharamkan zina, dan bagi yang melakukannya di dera; (4) memelihara harta benda, untuk memelihara harta benda maka agama mengharamkan pencurian, bagi yang melakukannya akan diberi siksa; dan (5) memelihara akal, untuk memelihara akal maka agama mengharamkan minum arak (khamr).30 Sementara itu, ada ulama yang memasukkan yang kelima, yaitu memelihara kehormatan secara berdiri sendiri, sehingga menjadi yang keenam. Hanya saja bagi yang mencantumkan lima, maka

30


(44)

35

‘ird dimasukkan dalam memelihara keturunan (nasl atau nasb)31dan ada yang memasukkan dalam memelihara jiwa (nafs) seperti Abd. Wahha>b Khallaf.32 al-Juwayni>, al-Ghaza>li>,

dan al-Sha>tibi> termasuk ulama yang memesukkan al-‘ird} ke dalam nasl.33 Contoh mas}lah}ah al-d}aru>riyyah pada mas}lah}ah mursalahyaitu pembuatan rambu-rambu lalu lintas, guna untuk menghindarkan diri dari kecelakaan.

2) Al-Mas}lah}ah al-h}a>jiyyah

Persoalan-persoalan yang dibutuhkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan kesusahan yang dihadapi. Apabila tidak ada, maka tidak sampai menyebabkan rusaknya tatanan kehidupannya. Dengan kata lain, dilihat dari segi kepentingannya maka mas}lah}ah ini lebih rendah tingkatannya dari al-mas}lah}ah al-d}aru>riyyah. Misalnya, menikahkan anak-anak untuk menghindarkan dari kesulitan.34 Dan diberikannya hak talak bagi suami, jika penyebutan talak tidak dilakukan maka akan mempersulit suami karena diharuskan untuk membayar mahar misl. Sedangkan contoh mas}lah}ah al-h}a>jiyyah dalam mas}lah}ah mursalah adalah kewajiban

31

Fa>d}il Abd al-Wah}id Abd al-Rahman, al-Anmu>dhaj fi> U}su>l al-Fiqh,(Baghdad: Matba’at al-

Ma’arif, 1969), 248.

32

Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam... 141.

33Ja>sur ‘Awdah

, Fiqh al-Maqa>s}id,(Firjinia: al-Ma’had al-‘Alami> li al-Fikr al-Isla>mi>, 2008), 22.

34


(45)

36

menyalakan lampu pada siang maupun malam hari guna menghindarkan diri dari kesulitan di jalan raya.

3) Al-Mas}lah}ah al-tah}si>niyah

Mas}lah}ah ini juga bisa disebut mas}lah}ah takmi>liyah yaitu mas}lah}ah yang sifatnya untuk memelihara kebagusan dan kebaikan budi pekerti serta keindahan saja. Sekiranya kemaslahatan tidak dapat diwujudkan dalam kehidupan tidaklah menimbulkan kesulitan dan kegoncangan serta rusaknya tatanan kehidupan manusia. Namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan dalam hidup manusia.35 Dalam mas}lah}ah mursalah contoh yang berkaitan dengan tingkatan mas}lah}ah al-tah}si>niyah misalnya adalah penggunaan helm berstandar Standar Nasional Indonesia (SNI) sebagai pelengkap dalam berkendara terutama pengendara roda dua agar tercipta keamanan secara tepat.

b. Dilihat dari segi kandungan Mas{lah{ah, para ulama ushul fiqh membaginya sebagai berikut:

1) Mas{lah{ah al-‘Ammah yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum ini tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat. Misalnya para ulama

35


(46)

37

memperbolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak aqidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.36

2) Mas{lah{ah al-Kha@s}s}ah yaitu kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (maqfu@d).37

Pentingnya pembagian kedua kemaslahatan ini berkaitan dengan prioritas mana yang harus didahulukan apabila antara kemaslahatan umum bertentangan dengan kemaslahatan pribadi. Dalam pertentangan kedua kemaslahatan ini, Islam mendahulukan kemaslahatan umum daripada kemaslahatan pribadi.38

c. Dilihat dari segi berubah atau tidaknya mas{lah{ah, menurut Muhammad Mushthafa al-Syalabi, guru besar ushul fiqh di Universitas al-Azhar Mesir, ada dua bentuk, yaitu:39

1) Mas{lah{ah al-Thabitah yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnya berbagai kewajiban ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.

2) Mas{lah{ah al-Mutaghayyirah yaitu kemaslahatan yang berubahubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum. Kemaslahatan seperti ini berkaitan dengan

36

Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1996), 116.

37

Ibid.

38

Ibid., 116-117.

39


(47)

38

permasalahan mu’amalah dan adat kebiasaan, seperti dalam

masalah makanan yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya.

d. Mas}lah}ah dilihat dari segi eksistensinya 1) Al-Mas}lah}ah al-mu‘tabarah

Kemaslahatan yang terdapat nas} secara tegas menjelaskan dan mengakui keberadaannya dan terdapat dalil untuk memelihara dan melindunginya. Contohnya, dalil nas yang menunjukkan langsung kepada mas}lah}ah misalnya, tidak baiknya mendekati perempuan yang sedang haid dengan alasan haid itu adalah penyakit.40

2) Al-Mas}lah}ah al-mulghah

Mas}lah}ah yang berlawanan dengan ketentuan nas}. Artinya, mas}lah}ah yang tertolak karena ada dalil yang menunjukkan bahwa ia bertentangan dengan ketentuan dalil yang jelas. Contohnya, masyarakat pada jaman sekarang lebih mengakui emansipasi wanita untuk menyamakan derajat dengan laki-laki dalam memperoleh harta warisan dan inipun dianggap sejalan dengan tujuan ditetapkannya hukum waris oleh Allah Swt. untuk memberikan hak waris kepada perempuan sebagaimana yang berlaku bagi laki-laki. Dalam hal ini, hukum Allah Swt. telah jelas dan ternyata berbeda dengan

40


(48)

39

apa yang dikira baik oleh akal itu, yaitu hak waris laki-laki adalah dua kali lipat hak waris perempuan, sebagaimana ditegaskan dalam QS Annisa’(4): 11.

3) Al-Mas}lah}ah al-mursalah

Mas}lah{ah mursalah menurut istilah terdiri dari dua kata yaitu mas}lah{ah dan mursalah. Kata mas}lah{ah menurut bahasa

berarti‚manfaat‛, dan kata mursalah berarti ‚lepas‛. Gabungan

dari dua kata tersebut yaitu mas}lah{ah mursalah menurut istilah, seperti yang dikemukakan Abdul Wahab Khallaf, berarti

‚sesuatu yang dianggap mashlahat namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak pula ada dalil

tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya‛,

sehingga ia disebut mas}lah{ah mursalah (mas}lah{ah yang lepas dari dalil secara khusus).41

Menurut Abu Nur Zubair, mas}lah{ah mursalah adalah suatu sifat yang sesuai dengan hukum, tetapi belum tentu

diakui atau tidaknya oleh syara’. Abu Zahrah mendefinisikan

mas}lah{ah mursalah adalah segala kemaslahatan yang sejalan dengan tujuan-tujuan shari’ah (dalam mensyariatkan hukum Islam) secara umum, tetapi tidak ada dasar yang secara khusus menjadi bukti diakui atau tidaknya.42

41

H. Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), 148-149.

42Rachmat Syafe’i,


(49)

40

Sedangkan menurut al-Ghazali menyatakan setiap mas}lah{ah yang kembali kepada pemeliharaan maksud syara’

yang diketahui dari al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijma’, tetapi tidak dipandang dari ketiga dasar tersebut secara khusus dan tidak juga melalui metode qiyas, maka di pakai mas}lah{ah al-mursalah. Cara mengetahui mas}lah{ah yang sesuai dengan tujuan itu adalah dari beberapa dalil yang tidak terbatas. Oleh sebab itu, cara penggalian mas}lah{ah seperti itu disebut al- mas}lah{ah almursalah. Artinya terlepas dari dalil secara khusus, tetapi termasuk pada petunjuk umum dari beberapa dalil syara’. Kesimpulannya al-mas}lah{ah al-mursalah menurut pandangannya adalah suatu metode istidlal (mencari dalil) dari

nash syara’ yang tidak merupakan dalil tambahan terhadap nash syara’, tetapi ia tidak keluar dari nash syara’.43

Mas}lah{ah mursalah adalah kemashlahatan yang tidak

disyariatkan oleh syar’i dalam wujud hukum, di dalam rangka

menciptakan kemashlahatan, di samping tidak terdapat dalil yang membenarkan atau menyalahkan. Karenanya mas}lah{ah mursalah itu disebut mutlak, lantaran tidak terdapat dalil yang menyatakan benar dan salah.44

43

Ibid.

44

Miftahul Arifin dan Faisal Haq, Ushul Fiqh, Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam,


(50)

41

Asy-Syatibi, salah seorang ulama madzhab Maliki mengatakan bahwa al- mas}lah{ah al-mursalah adalah setiap

prinsip syara’ yang tidak disertai bukti nash khusus, namun

sesuai dengan tindakan syara’ serta maknanya diambil dari dalil-dalil syara’.45

Berdasarkan pengertian tersebut, pembentukan hukum berdasarkan kemashlahatan ini semata-mata dimaksudkan untuk mencari kemashlahatan manusia. Maksudnya didalam rangka mencari yang menguntungkan, dan menghindari kemadharatan manusia yang bersifat sangat luas. mas}lah{ah itu merupakan sesuatu yang berkembang berdasar perkembangan yang selalu ada disetiap lingkungan.46

Dari macam-macam peringkat mas}lah}ah tersebut di atas, dapat diketahui dari cara memandangnya, di antaranya: a. Kemaslahatan ditinjau dari segi pengaruhnya atas

kehidupan umat manusia. Kemaslahatan ini meliputi tiga kemaslahatan yaitu primer, sekunder, dan tersier seperti yang telah dijelaskan di atas.

b. Kemaslahatan ditinjau dari segi hubungannya dengan kepentingan umum dan individu dalam masyarakat. Dapat dipandang dari dua bentuk kemaslahatan, yaitu

45Rachmat Syafe’i,

Ilmu Ushul Fiqih, 120.

46


(51)

42

kemaslahatan yang bersifat universal dan menyangkut kepentingan kolektif (kulliyah) dan kepentingan individu

(fard{iyah). Dalam praktiknya, pengukuran kemaslahatan ini bergantung pada kesepakatan masyarakat dan individu, kemaslahatan ini lebih bersifat pragmatis.

c. Kemaslahatan ditinjau dari segi kepentingan pemenuhannya dalam rangka pembinaan dan kesejahteraan umat manusia dan individu. Kemaslahatan ini ada tiga peringkat, yaitu:

1) Kemaslahatan yang mau tidak mau mesti ada bagi terpenuhinya kepentingan manusia.

2) Kemaslahatan yang di duga kuat mesti ada bagi kebanyakan orang.

3) Kemaslahatan yang diperkirakan harus ada.47 3. Syarat-syarat dalam kehujahan mas{lah{ah mursalah

Untuk menetapkan apakah sesuatu itu mengandung maslahat atau tidak, diperlukan pendidikan yang mendalam atas kemanfaatan dari kemudaratannya. Para ulama yang menjadikan hujah mas{lah{ah mursalah, mereka berhati-hati dalam hal itu, sehingga tidak menjadi pintu bagi pembentukan hukum syariat menurut hawa nafsu dan keinginan perorangan. Oleh karena itu, dibentuk syarat-syarat dalam

47

Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Pusat Penerbitan Universitas LPPM Universitas Islam Bandung, 1995), 105-106.


(52)

43

mas{lah{ah mursalah sebagai metode istinbath hukum Islam, di antaranya:

a. Kemaslahatan sesuai dengan prinsip-prinsip apa yang ada dalam ketentuan shari‘, yang secara us{u>l dan furu> ‘nya tidak bertentangan dengan nas.

b. Kemaslahatan hanya dapat dikhususkan dan diaplikasikan dalam bidang-bidang sosial dimana dalam bidang ini menerima dengan rasionalitas dibandingkan dengan bidang ibadah, karena tidak diatur secara rinci dalam nas.48

c. Berupa maslahat yang hakiki, bukan maslahat yang bersifat dugaan. Yaitu agar dapat direalisir pembentukan hukum suatu kejadian itu, dan dapat mendatangkan keuntungan atau menolak mudarat.

d. Berupa maslahat yang umum, bukan mas{lah{ah yang bersifat khusus (perorangan). Yaitu agar dapat direalisir bahwa dalam pembentukan hukum suatu kejadian dapat mendatangkan keuntungan kepada kebanyakan umat manusia, atau dapat menolak mudarat dari mereka, bukan mendatangkan keuntungan pada seseorang atau beberapa orang saja di antara mereka.49

e. Hasil maslahat merupakan pemeliharaan terhadap aspek-aspek d{aru>riyyah, h{a>jiyyah, dan tah{si>niyyah. Metode mas{lah{ah adalah sebagai langkah untuk menghilangkan kesulitan dalam berbagai

48

Al-Syatibi, Al-I’tis{om, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1991), 115-129.

49


(53)

44

aspek kehidupan, terutama dalam masalah-masalah sosial kemasyarakatan.50

Allah Swt. berfirman dalam Alquran Surah Alhajj ayat 7:





...



Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.51

Adapun Alasan yang dikemukakan jumhur ulama dalam menetapkan mas{lah{ah sebagai hujah dalam menetapkan hukum, sebagai berikut:

a. Bahwa mas{lah{ah mursalah umat manusia itu selalu baru dan tidak ada habisnya. Maka seandainya tidak disyariatkan hukum mengenai kemaslahatan manusia yang baru dan mengenai sesuatu yang dikehendaki oleh perkembangan mereka, serta pembentukan

hokum itu hanya berkisar atas maslahat yang diakui oleh shari’

saja, maka berarti telah ditinggalkan beberapa kemaslahatan umat manusia pada berbagai zaman dan tempat.

b. Bahwa orang yang meneliti pembentukan hukum para sahabat, tabiin dan para mujtahid, maka jadi jelas bahwa mereka telah mensyariatkan beberapa hukum untuk merealisir maslahat secara umum, bukan karena saksi yang mengakuinya. Misalnya

50

Al-Syatibi, al-I’tis{om..., 115-129.

51


(54)

45

menetapkan hasil pajak, pembukuan administrasi pengadaan penjara-penjara di tahun kelaparan.52

Dalam kehujahan mas{lah{ah mursalah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama usul diantaranya:

a. Mas{lah{ah mursalah tidak dapat menjadi hujah atau dalil menurut ulama mazhab Syafii, ulama mazhab Hanafi, dan sebagian ulama mazhab Malikiseperti Ibnu Hajib dan Ahli Zahir.

b. Mas{lah{ah mursalah dapat menjadi dalil atau hujah menurut sebagian ulama Imam Maliki, sebagian ulama Syafii, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama ulama usul.

c. Imam al-Qarafi berkata tentang mas{lah{ah mursalah‚’’Sesungguhnya berhujah dengan mas{lah{ah mursalah dilakukan oleh semua mazhab, karena mereka membedakan antara satu dengan yang lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat’’.

Kehujahan mas{lah{ah mursalah pada prinsipnya jumhur ulama mazhab menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum shara‘, sekalipun dalam menentukan syarat, penerapan, dan penempatannya, mereka berbeda pendapat.

Mazhab Hanafi mengatakan bahwa untuk menjadikan mas{lah{ah mursalah sebagai dalil, disyaratkan maslahat tersebut

52


(55)

46

berpengaruh pada hukum. Artinya, terdapat ayat, hadis atau ijmak yang menunjukkan bahwa sifat tersebut merupakan ilat (motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nas sebagai motivasi suatu hukum. Menghilangkan kemudaratan bagaimanapun bentuknya merupakan tujuan shara‘ yang wajib dilakukan. Dengan demikian, mazhab Hanafi menerima mas{lah{ah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum.53

Mazhab Maliki dan Hanbali juga menerima mas{lah{ah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fikih yang paling banyak dan luas menerapakan konsep ini. Imam Malik inilah mujtahid yang pertama kali memperkenalkan mas}lah}ah mursalah sebagai hujah syariat. Menurut mereka mas}lah}ah mursalah merupakan induksi dari logika sekumpulan nas, bukan dari nas yang parsial seperti yang berlaku dalam teori kias.54 Dan mazhab Syafii pada dasarnya juga menjadikan maslahat sebagai salah satu dalil

shara‘. Akan tetapi Imam Syafi’i memasukkannya dalam kias.55

Sementara itu menurut pemikiran hukum Islam dalam menanggapi penggunaan mas{lah{ah mursalah sebagai dalil shari>’ah ini, mereka bersifat tawasut{ (tidak menolak sepenuhnya, tapi juga tidak mempermudah penggunaannya). Hal ini sebagaimana pendapat Yusuf

53

Abdul Azizi Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Intermasa, 2006), 1146.

54

Abdul Wahab Khallaf,Mas{adir al-Tasyri>’ fi> Mala Nassa fi>hi, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1972), 89.

55


(56)

47

Qardhawy bahwa mungkin terjadi dalam syariat yang telah pasti, ada suatu hukum yang bertentangan dengan maslahat mahluk atau terdapat hukum yang membahayakan mereka.56

4. Aplikasi mas{lah{ah mursalah dalam kehidupan

Telah diketahui bahwa perbedaan lingkungan dan waktu ternyata berpengaruh pada pembentukan hukum-hukum shara‘, sebagaimana firman Allah Swt.:















Apa saja ayat yang kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya. Kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Albaqarah : 106).57

Lebih lanjut Ibn Qayyim mengemukakan dalam kitab I‘la>m al-

Muwaqqi‘i>n tersebut sebagai berikut:

Syariat itu adalah keadilan dan seluruhnya merupakan rahmat, dan kemaslahatan bagi umat secara keseluruhan, dan mempunyai kebijaksanaan semuanya. Maka setiap maslahat yang keluar dari garis keadilan kepada keaniayaan, dari rahmat kepada lawannya, dan dari kemaslahatan kepada kerusakan, dan dari kebijaksanaan kepada kesia-siaan, semuanya tidaklah termasuk dalam syariat walaupun dimasukkan ke dalamnya segala macam dalil.58

56

Amin Farih, Kemaslahatan dan Pembaharuan..., 43-44.

57

Kementerian Agama RI, Alquran dan Tafsirnya, Jilid 6, …276

58Abu Hamid Muhammad al-Ghaza>li, Al-Mustasfa min Ilmi al-Us{ul,

(Kairo: Darul Qolam, t.t), 311.


(1)

83

Berdasarkan ayat diatas, maka nikah adalah salah satu ajaran agama islam yang anjurkan kepada setiap manusia, tentunya dengan memenuhi syarat dan rukun nikah yang sudah diajarkan. Adapun tujuan dan fungsi nikah adalah untuk memperoleh dan menciptakan generasi selanjutnya.

Dalam ayat tersebut menggunakan sighat fi’il Amr, yang artinya perintah bagi kaum adam. Akan tetapi amr dalam ayat ini dihukumi sunnah (nadb) dikarenakan ada qorinah yang mengandung hukum lain yang dijelaskan pada ayat selanjutnya.

Berdasarkan ayat ini, maslahah mursalah bisa digunakan dalam kasus izin kawin di lembaga kepolisian. Hal ini telah dilakukan oleh hakim dalam memutuskan persoalan ini.

Mengenai Hakim Pengadilan Agama Mojokerto masalah izin kawin di lembaga kepolisian, manfaat yang bisa diambil dari pandangan tersebut adalah perkawinan yang tanpa izin dari orang tua anggota polri masih tetap bisa dilaksanakan karena istilah izin kawin kepada orang tua menjadi pemberitahuan, tidak dapat izin pun masih bisa menikah sehingga membawa kemaslahatan bagi anggota polri terutama anggota polri yang tidak mendapat izin kawin dari orang tuanya.


(2)

84

BAB V PENUTUP

Penutup pada bab terakhir ini meliputi kesimpulan dan saran berdasarkan paparan data dan temuan peneliti sesuai dengan focus penelitian.

A. Kesimpulan

1. Dasar pertimbangan majelis hakim Pengadilan Agama Mojokerto mengabulkan permohonan penetapan pencabutan surat penolakan perkawinan yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah KUA Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto, berdasarkan aspek yuridis, filosofis, dan sosiologis. Selain itu, penetapan Nomor 0052/Pdt.P/2014/PA.Mr. tersebut sudah sesuai dengan asas lex superiori derogat legi inferiori. Dimana apabila ada peraturan yang secara hierarki kedudukannya lebih rendah, dalam hal ini keputusan Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 9 Tahun 2010 dengan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, maka aturan hukum yang lebih tinggi harus didahulukan penerapannya dari pada aturan hukum di bawahnya.

2. Tinjauan mas{lah{ah mursalah dalam putusan Pengadilan Agama Mojokerto Nomor 0052/Pdt.P/2014/PA.Mr adalah menjadikan para polri untuk tidak mengambil jalan tengah, yaitu dengan melakukan nikah sirri atau malah melakukan zina. Apabila keadaan itu dibiarkan dan sampai terjadi maka akan menjadikan permasalahan yang baru bagi para Polri dan menimbulkan kemadhorotan.


(3)

85

B. Saran

Berdasarkan temuan penelitian dan kesimpulan, maka terdapat beberapa saran yang ingin peneliti sampaikan terkait dengan masalah izin kawin di lembaga kepolisian, diantaranya :

1. Bagi kapolri hendaknya melakukan perbaikan peraturan perundang-undangan atau merevisi ulang peraturan tentang tata cara pengajuan izin bagi pegawai negeri pada polri seorang laki-laki, yang asalnya pengajuan izin bisa di ganti dengan sebatas pemberitahuan kepada orang tua, agar sesuai dengan peraturan atasnya.

2. Bagi para hakim pengadilan agama mojokerto apabila ada kasus yang sesuai dengan pasal 6 perkapolri nomor 9 tahun 2010 tentang izin kawin polri laki-laki kepada orang tua bisa menggunakan mas{lah{ah mursalah sebagai dasar pertimbangan putusan.


(4)

86

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Slamet dan Aminuddin. Fiqih Munakahat 1. Bandung: Pustaka Setia, 1999.

Asmin. Status Perkawinan Antar Agama. Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1986.

Ash-Shobuni, M. Ali. Pernikahan Islam (Kado Bahagia Untuk Mempelai Berdua), Solo, Al-Maktabah Al-‘Ashriyah, 2006.

Dahlan, Abdul Azizi. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Intermasa, 2006. Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Terjemahnya, Bandung : CV Penerbit

Diponegoro,2005.

Djubaidah, Neng. Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Effendi, H. Satria. Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005.

Farih, Amin. Kemaslahatan dan Pembaharuan Hukum Islam. Semarang:

Walisongo Press, 2008.

Firdaus, Ushul Fiqh, Jakarta: Zikrul, 2004

Haq, Miftahul Arifin dan Faisal. Ushul Fiqh, Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam, Surabaya: Citra Media, 1997

Hamdani (al) Risalah Nikah, Jakarta: Pustaka Amani, 2002.

Hadjon, Philipus M. Fungsi Kepolisian Dalam Pelaksanaan Good Governance. Yogyakarta: LaksBang, 2005.

Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos, 1996

HS. Salim. Pengantar Hukum Perdata Tertulis(BW), Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.

Jumantoro, Totok. Amir, Samsul Munir. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Amzah, 2005.

Kelana, Momo. Hukum Kepolisian, Jakarta: PT. Grasindo, 1994.

Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid II. Jakarta: Widya Cahaya, 2011.


(5)

87

Khallaf, Abdul Wahhab. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

Mardani. Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011.

Muhammad, Abdul Kadir. Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004

Nazhir, Moh. Metode Penelitian, Bogor : Ghalia Indonesia, 2005.

Prakoso, Djoko. Polri Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum. Jakarta: Bina Aksara: 1987.

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pengajuan Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk Bagi Pegawai Negeri Pada Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah. Praja, Juhaya S. Filsafat Hukum Islam, Bandung: Pusat Penerbitan Universitas

LPPM Universitas Islam Bandung, 1995

Program Pascasarjana Uin Malang, Pedoman Penulisan Tesis Dan Disertasi, Malang: Pps Uin Malang, 2014.

Ridwan, Wachid. Wawancara. Mojokerto. 08 Desember 2016

Ramli SA. Muqaranah Mazaib Fil Us}u>l. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999. Sabiq, Sayyid. Terjemah Fiqif Sunnah, Juz 6, Bandung: PT Al-Ma’arif, 1980. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Mojokerto http//PA Mojokerto.com Syafe’i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: CV. Pustaka Setia, cet 1, 1999 Soekanto, Soerjono. Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, Jakarta: UI –

Press,1986.

Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan. Yogyakarta: Liberty, 2007.

Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: CV. Alfabeta, 2009.

Syariffuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Praneda Media, 2006.


(6)

88

Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta : Nuansa Aulia 2012.

Thalib, Moh. Perkawinan Menurut Islam, Surabaya: Al Ikhlas, 1993. Undang-undang Perkawinan Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974.

Wakanto, Ricky Francois. Buku Pintar Calon Anggota dan Anggota Polri. Jakarta: Visimedia, 2009.

Wilayah Hukum Pengadilan Agama Mojokerto http//PA Mojokerto.com

Zahra, Muhammad Abu. Ilmu Ushul al-Fiqh. Beirut, Libanon: Darul Fikr al- Arabi, 1987.