Tinjauan fatwa NO. 25-26/DSN-MUI/III/2002 terhadap implementasi akad ijarah pada sewa tempat produk gadai emas bank BRI syariah KC Surabaya Diponegoro.
TINJAUAN FATWA NO. 25-26/DSN-MUI/III/2002 TERHADAP IMPLEMENTASI AKAD IJA >RA HPADA SEWA TEMPAT PRODUK GADAI EMAS BANK BRISYARIAH KC SURABAYA
DIPONEGORO
Skripsi
Oleh:
Fatah Ahmad Fadholi (C72213122)
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah Dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah) SURABAYA
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
ABSTRAK
Dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil judul “Tinjauan Fatwa No. 25-26/DSN-MUI/III/2002 Terhadap Implementasi Akad Ija>rah Pada Sewa Tempat Produk Gadai Emas Bank BRISyariah KC Surabaya Diponegoro”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Bagaimana implementasi akad ija>rah pada produk gadai emas di Bank BRISyariah KC Surabaya Diponegoro ? (2) Bagaimana tinjauan Fatwa No.25-26/DSN-MUI/III/2002 terhadap implementasi akad ija>rah pada sewa tempat produk gadai emas di Bank BRI Syariah KC Surabaya Diponegoro ?
Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan teknik Observasi, wawancara (interview) dan studi pustaka yang kemudian dianalisis dengan teknik deskriptif dalam menjabarkan data tentang Implementasi Akad Ija>rah Pada Sewa Tempat Produk Gadai Emas Bank BRISyariah KC Surabaya Diponegoro. Selanjutnya data tersebut dianalisis dari perspektif Fatwa DSN-MUI dengan teknik kualitatif dalam pola pikir deduktif, yaitu dengan meletakkan norma hukum Islam yaitu fatwa DSN sebagai rujukan dalam menilai fakta-fakta khusus mengenai Implementasi Akad Ija>rah Pada Sewa Tempat Produk Gadai Emas Bank BRISyariah KC Surabaya Diponegoro.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa penggunaan akad ija>rah dalam biaya penyimpanan dan pemeliharaan ini dikenakan sebagai penukaran manfaat untuk masa tertentu atas obyek ija>rah, mengingat obyek ija>rah memerlukan tempat penyimpanan yang aman. Bank akan menyimpan barang jaminan tersebut kedalam brankas (safe deposit box) yang disediakan oleh bank BRISyariah KC Surabaya. Biaya pemeliharaan dan penyimpanan gadai iB emas di Bank BRISyariah KC Surabaya Diponegoro menetapkan besaran biaya tersebut menggunakan rate, yaitu : 1,5% per bulan untuk emas perhiasan dan1,34% per bulan untuk emas batangan. Rate tersebut dikalikan dengan jumlah pinjaman / pembiayaan. Dari analisis yang disimpulkan Bank BRISyariah dalam menentukan biaya sewa masih mengambil atau memperhitungkan dari jumlah nilai pinjaman sehingga pada akhirnya cara tersebut tidak sesuai dengan apa yang ada dalam fatwa yaitu fatwa no. 25butir kedua nomor 4 dan fatwa no.26 butir pertama nomor 3.
Dari kesimpulan di atas, hendaknya dalam menentukan biaya penitipan dan pemeliharaan berdasarkan kadar, jenis emas & berat emas. Menentukanujroh dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat, jarak dan atau kriteria lain.
(7)
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN SKRIPSI ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI... ix
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah... 6
C. Rumusan Masalah... 7
D. Kajian Pustaka ... 7
E. Tujuan Penelitian... 10
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 10
G. Definisi Operasional ... 11
(8)
I. Sistematika Pembahasan ... 17
BAB II RA HN,IJA >RA H, DAN FATWA DSN-MUI A.Rahn... 19
1. PengertianRahn... 19
2. Landasan Hukum ... 20
3. Rukun dan SyaratRahn... 22
4. Akibat Hukum ... 25
5. Penjualan barang gadai setelah jatuh tempo ... 27
6. Berakhirnyarahn... 27
B. Ija>rah ... 28
1. PengertianIja>rah... 28
2. Landasan HukumIja>rah... 30
3. Rukun dan SyaratIja>rah }... 31
4. Macam-macamija>rah... 34
5. Biaya sewa dalamija>rah ... 35
6. Berakhirnyaija>rah ... 38
C. Fatwa Dewan Syariah Nasional ... 40
BAB III IMPLEMENTASI AKADIJA >RA H PADA SEWA TEMPAT PRODUK GADAI EMAS BANK BRI SYARIAH KC SURABAYA A. Gambaran umum Bank BRI Syariah ... 47
1. Sejarah berdirinya Bank BRI Syariah... 47
2. Kelembagaan... 49
3. Visi dan Misi... 49
4. Struktur Organisasi ... 50
5. 7 nilai bank BRISyariah... 51
6. Produk-produk bank BRI Syariah ... 53
B. Praktik pembiayaan gadai emas di Bank BRI Syariah KC Surabaya ... 56
(9)
2. Pembiayaan gadai emas BRI Syariah IB ... 59 3. Perhitungan biaya sewa tempat gadai emas BRISyariah IB . 62
BAB IV TINJAUAN FATWA NO. 25-26/DSN-MUI/III/2002 TERHADAP IMPLEMENTASI AKAD IJA>RAH PADA SEWA TEMPAT
PRODUK GADAI EMAS BANK BRI SYARIAH KC SURABAYA A. Analisis Implementasi AkadIja>rahPada Sewa Tempat Produk
Gadai Emas Bank BRI Syariah Kc Surabaya... 66 B. Analisis Fatwa No.25-26/DSN-MUI/III/2002 terhadap
Implementasi AkadIja>rahpada Sewa Tempat Produk Gadai Emas di Bank BRI Syariah KC Surabaya ... 70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 75 B. Saran ... 76
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(10)
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdirinya lembaga keuangan syariah yang terus mengalami perkembangan yang pesat membawa andil yang sangat baik dalam tatanan sistem keuangan Indonesia. Peran ini tentu saja sebagai upaya untuk mewujudkan sistem keungan yang adil. Oleh karena itu, keberadaanya perlu mendapat dukungan dari segenap lapisan masyarakat muslim.1
Lembaga keuangan syariah merupakan lembaga keuangan yang juga mengedepankan kemaslahatan masyarakat sesuai dengan tuntunan syariah yang menjadi landasan dari semua lembaga keuangan syariah. Salah satu aplikasinya adalah menerapkan layanan yang berbasis moral dan spiritual.2
Bank syariah sebagai salah satu lembaga keuangan yang pelaksanaannya berdasar prinsip syariah. Ketentuan ini berdasarkan adanya larangan syariat Islam terhadap praktik perbankan yang mengandung riba, baik dalam bunga pinjaman maupun penyimpanan uang (deposito) yang terdapat pada perbankan konvensional. Oleh karenan itu perbankan syariah menyelamatkan umat Islam dari memakan harta yang haram.3
Perbankan syariah memiliki tujuan yang sama seperti perbankan konvensional, yaitu agar lembaga perbankan dapat menghasilkan keuntungan dengan cara meminjamkan modal, menyimpan dana, membiayai kegiatan 1
M. Nur Rianto al Arif,Lembaga Keuangan Syariah, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), 5. 2
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah: produk-produk dan A spek-aspek Hukumnya, (Jakarta: Kencana, 2014), 154
3
(11)
2
usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai. Berperan sebagai lembaga intermediasi, prinsip hukum Islam melarang transaksi perbankan yang mengandung bunga (riba), perjudian dan spekulasi yang disengaja (maisir), serta ketidakjelasan dan manipulatif (gharar).4
Dalam hal melakukan penyaluran dana, pada perbankan syariah dikenal dengan istilah pembiayaan5. Pembiayaan ini harus terbebas dari unsur-unsur yang telah disebutkan sebelumnya. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan degan itu berupa : (a) transaksi bagi hasil dalam bentuk mud}a>rabah dan musyarakah; (b) transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ija>rah atau sewa beli dalam bentuk ija>rah muntahiya bittamlik; (c) transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam dan istishna’; (d) transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan (e) transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ija>rah untuk transaksi multijasa, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalanujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.6
Seiring dengan perkembangan zaman, produk-produk perbankan mengalami berbagai inovasi. Salah satunya adalah produk gadai syariah yang
4
M. Nur Rianto al Arif,Lembaga Keuangan Syariah, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), 5. 5
Sutan Remi Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam T ata Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafita, I,1999) 1.
6
(12)
3
saat ini tidak hanya dilakukan oleh lembaga jaminan seperti pegadaian, tetapi praktik gadai yang sesuai syariah mulai dilakukan di bank syariah.
Gadai syariah dalam hukum Islam disebut rahn. Menurut Syafi’i Antonio,rahn adalah satu akad dimana seseorang menahan salah satu benda atau harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.7 Dasar hukum tentang dibolehkannya transaksi rahn ini dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 283 yaitu :
Artinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya). ” (Q.S. al-Baqarah : 283)8
Rasulullah dahulu juga pernah melakukan transaksi tersebut dengan menggadaiakan baju besinya kepada seorang Yahudi, sebagaimana dijelaskan oleh ‘Aisyah dalam satu riwayat yaitu :
)
:
(
7
Muhammad Syafi’i Antonio,Bank Syariah : Dari Teori ke Praktik,Jakarta: Gema Insani, 2001), 182.
8
(13)
4
Artinya : “Dari ‘Aisyah ra berkata, bahwa sesungguhnya Nabi SAW membeli makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran ditangguhkan dengan menggadaikan baju besinya.”9
Dalam dunia perbankan, kebanyakan rahn yang digunakan adalah
rahn emas syariah, dikarenakan marhunnya (barang yang digadaikan) adalah emas.Rahnatau gadai emas syariah dalam bank syariah harus sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah karena bank syariah merupakan lembaga keuangan yang diawasi oleh Bank Indonesia.10
Penggunaan sistem gadai syariah ini merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan berbagai konsep perekonomian berbasiskan Islam. Salah satu bank syariah yang membuka layanan gadai emas sebagai layanan alternatif mereka adalah bank BRI syariah, melalui produk yang diberi nama Qard beragun emas.11
Qard beragun emas merupakan produk pembiayaan atas dasar jaminan berupa emas sebagai salah satu alternatif memperoleh uang tunai dengan cepat yang diperuntukkan untuk perorangan. Praktik gadai emas yaitu dengan menjaminkan emas.
Ketika nasabah membutuhkan dana, nasabah dapat mengajukan pembiayaan dengan menjaminkan emas perhiasan atau emas batangan dengan memakai akad rahn. jika nasabah setuju dengan pembiayaan tersebut, bank melakukan proses penaksiran, total pembiayaan, dan
9
Imam Zainudin achmad bin al-Lathif az-Zabidi, Ringkasan Shahih Bukhari, Penerjemah: Achmad Zaidun, Cet.1. (Jakarta: Pustaka Amani,2002), 355
10
Cik Basir, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan A gama dan Mahkamah Syariah, (Jakarta: Kencana, 2009), 60
11
(14)
5
perhitungan biaya-biaya atas proses transaksi tersebut. Terhadap barang yang dijaminkan tersebut maka bank menyimpan dan memelihara barang jaminan tersebut agar terhindar dari hal-hal yang dapat merusak jaminan tersebut. Karena bank melakukan hal tersebut, maka bank membebankan biaya sewa tempat dengan menggunakan akad ija>rah. Dalam perhitungan biaya sewa tempat Bank BRISyariah menggunakan rate yang telah ditentukan bank BRI syariah.12
Penggunaan rate yang ditetapkan BRISyariah akan tidak sesuai jika dikaitkan dengan jumlah pembiayaan yang diterima nasabah. Apabila biaya tersebut dikaitkan dengan jumlah marhun bih maka akan ada tambahan terhadap jumlah pinjaman yang di pinjam nasabah. Ada kalanya praktik di bank syariah tidak terlepas dari peraturan yang melenceng dari syariah.
Dewan Syariah Nasional (DSN) juga mengeluarkan fatwa sebagai bentuk dukungan terhadap pengembangan gadai syariah. Dalam Fatwa DSN-MUI juga telah mengatur mengenai gadai syariah yang dilakukan oleh lembaga keuangan syariah yaitu Fatwa No. 25/DSN-MUI/III2002 butir kedua angka empat dijelaskan bahwa “besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman” dan Fatwa No.26/DSN-MUI/III/2002. Tentang rahn emas Dalam fatwa di atas telah diatur bagaimana ketentuan dalam praktiknya,
Berdasarkan uraian di atas yang menjadi latar belakang dalam penulisan ini, peneliti akan meneliti implementasi akad ija>rah pada gadai
12
(15)
6
emas yang dilakukan Bank BRISyariah dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Fatwa 25-26/DSN-MUI/III/2002. Penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai implementasi akad ija>rah yang dipakai sebagai dasar untuk perhitungan biaya sewa tempat atau biaya penyimpanan dan pemeliharaan. Maka dari itu penulis ingin menyusunnya dalam skripsi berjudul “Tinjauan Fatwa No. 25-26/DSN-MUI/III/2002 Terhadap
Implementasi Akad Ija>rah Pada Sewa Tempat Produk Gadai Emas Bank
BRISyariah KC Surabaya Diponegoro”.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
1. Identifikasi masalah
Identifikasi masalah dilakukan untuk menjelaskan kemungkinan cakupan yang dapat muncul dalam penelitian dengan melakukan ifrntifikasi sebanyak-banyaknya, kemudian yang dapat diduga sebagai masalah..13 Berdasarkan penjelasan sebagaimana pada latar belakang di atas maka dapat ditarik beberapa permasalahan yang berkaitan dengan judul penelitian adalah sebagai berikut:
a. Pembiayaan gadai emas di Bank BRISyariah
b. Implementasi akad dalam gadai syariah di Bank BRISyariah c. {Perhitungan biaya penyimpanan dan pemeliharaan emas d. Kepatuhan bank terhadap fatwa DSN-MUI
e. Implementasi akadija>rahpada produk gadai emas bank BRISyariah
13
Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, (Surabaya: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016),8.
(16)
7
f. Tinjauan fatwa DSN-MUI terhadap implementasi akad ija>rah pada sewa tempat produk gadai emas bank BRISyariah
2. Batasan masalah
Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak meluas, maka penulis membatasi pada permasalahan sebagai berikut :
a. Implementasi akadija>rahpada produk gadai emas Bank BRISyariah b. Tinjauan fatwa DSN-MUI terhadap implementasi akad ija>rah pada
sewa tempat produk gadai emas Bank BRISyariah
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dalam penelitian ini terdapat dua rumusan masalah yaitu :
1. Bagaimana implementasi akad ija>rah pada produk gadai emas di bank BRISyariah KC Surabaya Diponegoro ?
2. Bagaimana tinjauan Fatwa No.25-26/DSN-MUI/III/2002 terhadap implementasi akad ija>rah pada sewa tempat produk gadai emas di Bank BRISyariah KC Surabaya Diponegoro?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian yang sudah pernah dilakukan seputar masalah yang akan diteliti sehingga
(17)
8
terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada.14
Penelitian mengenai produk gadai memang pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya. Pada penelitian ini penulis membahas mengenai implementasi akad ija>rah terhadap sewa tempat dalam produk Qardh Beragun Emas, yaitu akad yang digunakan untuk penyimpanan dan pemeliharaan terhadap barang yang digadaikan yakni emas batangan maupun emas perhiasan.
Skripsi karya Robby Aris Subakti pada tahun 2005 dengan berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Aplikasi Penetapan Tarif Ija>rah Pada Barang Gadai Di Pegadaian Syari’ah Sidokare Sidoarjo”. Dalam penelitiannya membahas tentang aplikasi penetapan tarif ija>rah pada barang gadai di Pegadaian Syari’ah Sidokare Sidoarjo, dimana penetapan tarifnya dihitung berdasarkan kelipatan per 10 hari; 1 hari dihitung sama dengan 10 hari. Hal ini diperbolehkan karena perhitungannya tidak dengan konsep mempersamakan waktu yang berbeda. Akan tetapi, dengan menggunakan dasar satuan waktu minimal (terkecil).15
Skripsi karya Musrifah pada tahun 2006 dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Tentang Dua Akad (RahndanIja>rah) Dalam Satu Transaksi Di Pegadaian Syari’ah Baba’an Surabaya” membahas tentang dua akad yaitu
14
Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, (Surabaya: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016),8.
15
Robby Aris Subakti, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap A plikasi Penetapan Tarif Ija>rah Pada Barang Gadai Di Pegadaian Syari’ah Sidokare Sidoarjo”,(Skripsi -- IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2005), 12
(18)
9
rahn dan ija>rah dalam satu transaksi di Pegadaian Syari’ah Baba’an Surabaya. Hal ini boleh menurut hukum Islam karena akad rahn dan akad
ija>rah obyeknya adalah tidak sama. Selain itu kedua akad tersebut berdasarkan kesepakatan dan kerelaan.16
Skripsi karya Abdus Salam tahun 2012 dengan judul “Aplikasi Gadai Emas di BPRS Bhakti Sumekar Sumenep Perspektif Fatwa Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor 25 26 III 2002 tentang
rahn (gadai) emas”. Penelitian ini membahas mengenai aplikasi gadai emas di BPRS Bhakti Sumekar, dengan mengajukan permohonan dan membawa emas sebagai jaminan dengan akad rahn, akad ija>rah sebagai sewa tempat dan akad qard sebagai pinjaman kemudian Bank akan melakukan proses penilaian atas emas jaminan tersebut dan mencairkan dana pinjamannya sesuai kesepakatan. Penentuan biaya pemeliharaan Emas gadai dengan mengkalkulasi semua biaya operasional, mulai biaya perawatan barang jaminan, asuransi, gaji karyawan sampai setoran ke pemerintah kabupaten Sumenep. Aplikasi gadai emas dan penentuan biaya pemeliharaan, mengacu pada fatwa DSN-MUI dibenarkan karena adanya unsur yang saling menguntungkan kedua belah pihak dan terdapat unsur kemaslahatan dan tolong menolong dalam bermuamalah.17
16
Musrifah, “Tinjauan Hukum Islam Tentang Dua A kad (Rahn dan Ija>rah) Dalam Satu Transaksi Di Pegadaian Syari’ah Baba’an Surabaya”,(Skripsi -- IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2006). 15
17
Abdus Salam, “A plikasi Gadai Emas di BPRS Bhakti Sumekar Sumenep Perspektif Fatwa Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia (DSN-MUI Nomor 25-26/III/2002 tentang (gadai) emas” (SkripsI--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2012), 27.
(19)
10
Sekilas skripsi Abdus Salam ada kemiripan dengan masalah yang diteliti, tetapi pada penilitian ini ada titik tekan di ija>rah yang menjadi salah satu akad di gadai syariah. Penjelasan Abdus Salam lebih luas dalam membahas permasalahan yang diaangkat, sedaangkan dalam penelitian ini lebih fokus padaa implementasi akadija>rahditinjau dari fatwa DSN-MUI.
Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, penulis akan membahas mengenai implementasi akadija>rah pada biaya sewa tempat pada produk gadai emas di Bank BRISyariah yang mana perhitungan biaya tersebut berkaitan dengan jumlah pembiayaan.
E. Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan permasalahan yang diteliti diatas, maka pada penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui implementasi akad ija>rah pada produk gadai emas di Bank BRISyariah Diponegoro
2. Mengetahui tinjauan Fatwa No.25-26/DSN-MUI/III/2002 terhadap implementasi akad ija>rah pada sewa tempat produk gadai emas di Bank BRISyariah KC Surabaya Diponegoro
F. Kegunaan Hasil Penelitian
1. Dari segi teoritis, hasil penelitian diharapkan mampu berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan, menambah wawasan mengenai akad
ija>rah yang terdapat pada produk gadai emas bagi siapa saja yang membacanya.
(20)
11
2. Dari segi praktis, dapat memberikan informasi tambahan maupun pembanding bagi peneliti berikutnya untuk membuat karya tulis ilmiah yang lebih sempurna dan juga bagi pelaku kegiatan ekonomi dalam menerapkan akad tersebut.
G. Definisi Operasional
Untuk mempermudah pemahaman dan memperoleh deskripsi terhadap istilah-istilah yang terkandung dalam penelitian yang berjudul tinjauan Fatwa 25-26/DSNMUI/III/2002 terhadap implementasi akad ija>rah
pada sewa tempat produk gadai emas Bank BRISyariah, maka perlu dijelaskan makna dari setiap istilah tersebut yakni sebagai berikut :
AkadIja>rah : Akad pemindahan hak guna atas
barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa.18 Akad ija>rah digunakan pada produk qardh beragun emas di Bank BRISyariah sebagai akad atas penyimpanan dan pemeliharaan yang dilakukan bank terhadap barang yang dijaminkan.
Gadai emas : Barang yang dijadikan jaminan untuk pembayaran hak (piutang) dalam hal
18
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah : Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001), 117
(21)
12
ini yang dijaminkan adalah emas, baik emas perhiasan maupun batangan. Fatwa No.25-26/DSN-MUI/III/2002: Fatwa yang dikeluarkan DSN-MUI
tentangrahndanrahnemas.
H. Metode Penelitian
Metode merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Sedangkan penelitian dapat diartikan sebagai sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, membina, serta mengembangkan ilmu pengetahuan.19
Aspek-aspek yang digunakan peneliti untuk melakukan penelitian meliputi :
1. Data yang dikumpulkan
Dalam pengumpulan data yang penulis pakai adalah penelitian lapangan yaitu penelitian yang datanya diambil atau dikumpulkan dari lapangan dimana kasus itu berada. Guna menjawab rumusan masalah seperti yang telah dikemukakan diatas, maka data yang perlu dihimpun meliputi:
a. Data primer
Datayang penulis dapatkan langsung dari obyek yang diteliti yakni mengenai produk gadai emas, data mengenai praktik gadai emas, data mengenai mekanisme akad ija>rah, data perhitungan biaya sewa
19
(22)
13
tempat, dokumen-dokumen yang berhubungan dengan praktik gadai emas.
b. Data sekunder
Data yang peneliti dapatkan dari literatur-literatur kepustakaan yang bisa berupa buku-buku, kitab atau artikel yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain :
Konsep umum tentang rahn yang meliputi pengertianrahn, dasar hukum rahn, rukun dan syarat rahn, hak dan kewajiban para pihak (rahin dan murtahin), berakhirnya akad rahn, serta pemanfaatan dan penjualan barang jaminan.
Tentang ija>rah yang meliputi pengertian ija>rah, dasar hukum
ija>rah, \rukun dan syarat ija>rah, dan ketentuan umum pada ija>rah
beserta biaya sewa tempat. 2. Sumber data
a. Sumber data primer
Sumber data primer adalah sumber utama dimana data diperoleh secara langsung dari subyek yang diteliti.Interviewi dari perseorangan ataupun dari suatu instansi untuk keperluan penelitian, seperti dengan melakukan wawancara secara langsung dengan pihak-pihak yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.20 Data tersebut diperoleh melalui wawancara dengan officer gadai Bank BRISyariah
20
(23)
14
KC Surabaya Diponegoro, Fatwa DSN-MUI, Dokumen-dokumen yang berkaitan dengan praktik gadai emas.
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung diperoleh dari sumber pertama dan telah tersusun dalam bentuk dokumen-dokumen tertulis.21
Beberapa data sekunder dalam bentuk literatur, antara lain : 1. Mardani. Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqih Muamalah.
2. Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik. 3. Rachmat Syafei. Fiqih Muamalah
4. Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu 5. M. Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah 6. Sayyid Sabiq,Fiqh Sunnah
3. Teknik pengumpulan data
Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti guna mendapatkan data yang valid antara lain:
a. Observasi
Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara terjun langsung dan mengamati (melihat, mendengar, dan merasakan secara langsung)22. Penggunaan teknik ini dilakukan untuk
21
Ibid., 65
22
Sugiyono,Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Cet. 12, (Bandung: Alfabeta, 2012), 145.
(24)
15
melihat langsung proses terjadinya akad, praktek gadai emas, di Bank BRISyariah KC Surabaya Diponegoro.
b. Wawancara
Wawancara adalah metode pengambilan data dengan cara menanyakan sesuatu kepada seseorang yang menjadi informan atau responden. Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan staff gadai Bank BRISyariah KC Surabaya Diponegoro.
c. Dokumentasi
Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, buku, surat kabar, dan lain sebagainya. Dengan adanya dokumentasi dalam suatu penelitian maka dapat meningkatan keabsahan dan penelitian lebih terjamin, karena peneliti betul-betul melakukan penelitian ke lapangan secara langsung23. Adapun dalam skripsi ini penulis mencari data yang berkaitan dengan penelitian antara lain: formulir atau dokumen yang berkaitan dengan gadai emas di Bank BRI Syariah.
4. Teknik pengelolaan data
Setelah mendapatkan beberapa data yang dibutuhkan, maka untuk menyusun data dan mempermudah peneliti dalam melakukan analisa data, maka peneliti mengolah data tersebut melalui beberapa teknik sebagaimana berikut:
23
(25)
16
a. Editing
Editing adalah pengecekan atau pengkoreksian data yang dikumpulkan.24 Adapun penggunaan metode ini digunakan untuk memeriksa, meneliti serta mendeskripsikan data yang relevan dengan penelitian terhadap biaya sewa tempat pada produk gadai emas di Bank BriSyariah KC Surabaya.
b. Organizing
Organizing adalah mengatur dan menyusun sumber data sedemikian rupa sehingga diperoleh gambaran yang sesuai dengan rumusan masalah serta mengelompokkan data yang diperoleh dari Bank BRISyariah KC Surabaya Diponegoro.25
c. A nalyzing
A nalyzing merupakan tindak lanjut terhadap teknik sebelumnya yaitu dengan menganalisa data yang terkait dengan praktek akadija>rah
pada produk gadai emas di Bank BRISyariah KC Surabaya Diponegoro sehingga memunculkan suatu kesimpulan.
5. Teknik analisis data
Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif, yaitu analisis yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati dengan metode yang telah ditentukan.26
24
Ibid.
25
Chalid Narbuko dan Abu Achmadi,Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), 153.
26
(26)
17
Peneliti menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Tujuannya adalah menafsirkan dan menuturkan data yang bersangkutan dengan situasi yang sedang terjadi bagaimana implementasi akad ija>rah pada sewa tempat atau biaya penyimpanan dan pemeliharaan pada produk gadai emas di Bank BRISyariah KC Surabaya Diponegoro.
Peneliti menggunakan metode pola pikir untuk menganalisa suatu data yaitu pola pikir deduktif yang berpijak pada teori teori tentang rahn
dan ija>rah dengan kemudian dikaitkan praktek gadai emas dan perhitungan biaya sewa tempat atau biaya penyimpanan dan pemeliharaan terhadap emas yang dijaminkan yang nanti akan ditarik kesimpulan atas praktek tersebut.
I. Sistematika Pembahasan
Agar penulisan dalam penelitian ini tidak keluar dari jalur yang telah ditentukan dan bisa dipahami serta lebih sistematis, maka penulis membagi lima bab pada penelitian ini yang sistematikanya sebagai berikut:
Bab pertama, berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, definisi operasional, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua, landasan teori mengenai implementasi akad Ija>rah pada sewa tempat produk gadai emas, yaitu teori tentang akadrahn, dalam hal ini memuat pengertian gadai (rahn) dan dasar hukumnya, rukun dan syarat, hak dan kewajiban (ra>hin dan murtahin), status barang gadai, resiko kerusakan
(27)
18
barang jaminan, pendapat para ulama tentang pemanfaatan barang gadai (murtahin), batalnya akadrahn. Teori akad ija>rahmeliputi pengertian ija>rah, dasar hukum, rukun dan syarat, beserta biaya atau upah dalam akad ija>rah, dan Fatwa No.25-26/DSNMUI/III/2002 tentangrahndanrahnemas.
Bab ketiga, merupakan penyajian data mengenai implementasi akad
ija>rah terhadap sewa tempat pada produk gadai emas Bank BRISyariah KC Surabaya. Pada bab ini, berisi mengenai kelembagaan Bank BRISyariah KC Surabaya Diponegoro serta praktik gadai emas dan penerapan akad ija>rah
dalam produk gadai emas.
Bab keempat, berisi analisis terhadap implementasi akad ija>rah
terhadap biaya sewa tempat pada produk gadai emas di Bank BRISyariah KC Surabaya Diponegoro dan Tinjauan Fatwa No.25-26/DSNMUI/III/2002 terhadap biaya sewa pada produk gadai emas di Bank BRISyariah KC Surabaya Diponegoro.
Bab kelima, merupakan akhir dari penelitian yang berisikan tentang kesimpulan dan saran. Kesimpulan berisi tentang beberapa hal yang berkaitan dengan hasil penelitian sedangkan saran adalah beberapa masukan dari peneliti atas hasil penelitian.
(28)
19 BAB II
RA HN,IJA >RA H, DAN FATWA DSN-MUI
A.Rahn
1. PengertianRahn
Secara etimologi, gadai (rahn) merupakan bentuk masdar dari :
-
yang artinya menggadaikan, mengutangi, jaminan utang, menungguhkan1. Dalam merumuskan pengertianrahnsecara bahasa mempunyai dua makna yaitu (tetap dan lama), yakni tetapatau berarti (pengekangan atau keharusan).2 Rahn adalah menjadikan harta benda sebagai jaminan utang agar utang itu dilunasi (dikembalikan), atau dibayarkan harganya jika tidak dapat mengembalikannya.3 Secara sederhana bahwa rahn adalah semacam jaminan utang dalam gadai.
Gadai merupakan salah satu kategori dari perjanjian hutang piutang untuk suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang berhutang menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap hutangnya itu. Barang jaminan tetap menjadi hak milik orang yang menggadaikan (orang yang berhutang) tetapi dikuasai oleh penerima gadai (yang berpiutang). Gadai mempunyai nilai sosial yang tinggi dan dilakukan secara suka rela atas dasar tolong menolong.4
1
Ahmad Warson Munawar, Kamus A l-Munawir A rab-Indonesia Terlengkap, edisi kedua (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), 542.
2
Rachmat Syafe’i,Fiqih Muamalah, III (Bandung: CV Pustaka Setia, 2006), 159.
3
Abdullah bin Muhammad ath-thayyar,Ensiklopedi Fiqh Muamalah dalam Pandangan 4 Mazhab, (Yogyakarta: Maktabah al-hanif, 2009), 174.
4
(29)
20
2. Landasan Hukum
Gadai hukumnyaja>iz(boleh) menurut al-Qur’an, sunnah dan ijma’. a. Dalil al-Quran menganairahnterdapat dalam QS. Al-Baqarah: 283
ð
✁✂ ✄☎✆ ✝✞ ✟ ✠ ✡☛✟ ☞✌✝ ✍✞✎✟ ✏✁✑
ð✟ ✌✒ ✂✓✆ ✔✆ ✌✕✝✖✟ ✌✗✘ ✌✘ ✁✆✆✒ ✙ ✚ ✘ ✁✚ ✠ ✡✁✟ ☎ ✞✞✛✘ ✆ ✞✁✆
✁✜ð✟ ✍✌ ✁✁✟
✘
✞ð
✆
✞✟ ✢ð✆
Artinya : Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Qs. Al-Baqarah : 283).5
b. Dalil as-Sunnah salah satunya yang bersumber dari ‘Aisyah r.a.
)
:
(
Artinya : “Dari ‘Aisyah ra berkata, bahwa sesungguhnya Nabi SAW membeli makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran
ditangguhkan dengan menggadaikan baju besinya.”6
Dalam hadith tersebut nabi melaksanakan gadai ketika sedang di Madinah. Ini menunjukkan bahwa gadai tidak terbatas hanya untuk
5
Departemen Agama RI,A l-Quran dan terjamahnya, (Bandung: Syaamil quran, 2012), 49. 6
Imam Zainudin achmad bin al-Lathif az-Zabidi, Ringkasan Shahih Bukhari, Penerjemah: Achmad Zaidun, Cet.1. (Jakarta: Pustaka Amani,2002), 355.
(30)
21
orang yang sedang dalam perjalanan saja, tetapi juga bagi orang yang tinggal di rumah.
c. Dasar ijma’
Ijma’ ulama atas hukum rahn adalah mubah (boleh). hanya beberapa dari mereka berbeda pendapat seperti mazhab Dzahiri, Mujahid dan al-Dhahak. Mereka berpendapat hanya membolehkan gadai pada waktu bepergian saja berdasarkan al-Baqarah ayat 283 diatas, sedangkan jumhur ulama sepakat membolehkan gadai, tetapi tidak diwajibkan sebab gadai hanya jaminan saja jika kedua belah pihak tidak saling percaya. Mereka tidak mempertentangkan kebolehannya demikian pula landasan hukumnya, jumhur berpendapat disyariatkan pada waktu bepergian dan juga berada ditempat domisilinya, hal ini berdasarkan praktik nabi. Sedangkan ayat yang mengaitkan gadai dengan bepergian itu tidak dimaksudkan sebagai syarat sahnya gadai, melainkan hanya menunjukkan bahwa gadai itu pada umumnya dilakukan pada waktu sedang bepergian (pada waktu itu).7 Disamping itu, penyebutan shafar (bepergian) dalam ayat diatas keluar dari yang umum (kebiasaan).8
7
Masjfuk Zuhfi,Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: Haji Masagung, 1992) 118.
8
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), 290.
(31)
22
3. Rukun dan Syaratrahn
Rukun merupakan unsur yang harus dipenuhi secara tertib dalam setiap perbuatan hukum. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun rahn
itu hanyaija>b(pernyataan penyerahan barang sebagai agunan/jaminan oleh pemilik barang). Disamping itu menurut mereka untuk kesemmpurnaan dan untuk mengikatnya akad rahn ini, maka diperlukan al-qabd (penguasa barang) oleh pemberi utang.9
Sedangkan menurut Syafi’i, rukun rahn ada empat, yaitu: Si>ghat,
‘a>qid,marhun, danmarhu>n bih. Namun dari keempat rukun ini mempunyai
syarat tertentu yang harus dipenuhi dalam kelestarian adanya akadrahn.
Dari penjelasan diatas dapat kita pahami bahwa pada dasarnya rukun-rukun yang ada padarahnmeliputi :
a. Rahin(yang menggadaikan), dalam konteks perbankan, yaitu gadai emas
syariah adalah nasabah
b. Murtahin(yang menerima gadai), yaitu bank.
c. Marhun(barang yang digadaikan), yaitu emas batangan atau perhiasan.
d. Marhun bih(utang), yaitu pembiayaan yang diterima nasabah (Rahin)
e. Sighat (ijab-qabul), yaitu akad kontrak yang dilakukan antara nasabah
dan pihak bank atau pihak yang menggadaikan dengan yang menerima gadai.
9
(32)
23
Dari rukun-rukun yang telah disebutkan diatas, ada syarat yang harus dipenuhi dari setiap rukunnya. Syarat – syarat rahntersebut meliputi hal –
hal sebagai berikut : a. Rahindanmurtahin
1. Cakap bertindak hukum, menurut jumhur ulama adalah orang-orang yang telah baligh berakal. Oleh karena itu, tidak sah anak kecil dan orang gila. Menurut ulama Hanafiyah, kedua belah pihak yang berakad tidak disyaratkan baligh, tetapi cukup berakal. Oleh sebab itu, menurut mereka anak kecil yang mumayyiz boleh melakukan
akadrahn, dengan syarat mendapatkan persetujuan dari walinya.10 2. Layak untuk melakukan transaksi pemilikan. Setiap orang yang sah
melakukan jual beli, juga sah untuk melakukan gadai karena gadai seperti juga jual beli merupakan pengelolaan harta.
b. Marhun(barang yang digadaikan)
Adapun syarat-syarat barang gadai yang harus dipenuhi menurut ulama Hanafiyah ialah disyari’atkan harus berupa harta yang memiliki nilai, diketahui dengan jelas dan pasti, bisa untuk diserahkan, dipegang, dikuasai, tidak tercampur dengan sesuatu yang tidak termasuk
al-marhu>n, terpisah dan teridentifikasi, baik itu berupa harta tidak bergerak
atau harta bergerak, baik itu hartamithliatauqi>mi.11
10
Nasrun Haroen,Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama,2000), 215.
11
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (penerjem: fiqih islam wa adillatuhu, Abdul hayyie Al-Kaffaani dkk,jilid 6, (Jakarta: Gema Insani, 2011), 133.
(33)
24
Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah, gadai bisa sah dengan dipenuhinya tiga syarat, yakni:
1. Harus berupa barang, karena utang tidak bisa digadaikan
2. Penetapan kepemilikan penggadai atas barang yang digadaikan tidak terhalang
3. Barang yang digadaikan bisa dijual manakala sudah tiba masa pelunasan utang gadai.
c. Marhun bih(utang)
1. merupakan hak yang wajib diberikan / diserahkan kepada pemiliknya 2. memungkinkan pemanfaatannya. apabila sesuatu yang menjadi utang
tidak bisa dimanfaatkan, tidak sah hukumnya.
3. dapat dikuantifikasikan atau dapat dihitung jumlahnya. Apabila tidak dapat dikuantifikasikan maka tidak sah.12
4. utang boleh dilunasi dengan agunan tersebut.13 d. Sighat(ijab-qabul)
1. Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertantu dan juga dengan waktu-waktu masa depan.
2. Rahnmempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian utang, seperti
halnya akad jual beli. Oleh karena itu, tidak boleh diikat dengan syarat tertentu atau dengan suatu waktu pada masa depan.
12
Syafii Antoniio,Bank syariah: wacana ulama dan cendekiawan..., 215.
13
(34)
25
4. Akibat hukum
Apabila akad gadai telah sempurna dengan diserahkannya barang yang digadaikan (marhu>n) kepada murtahin, maka timbulah hukum-hukum
sebagai berikut:
a. Adanya hubungan antara utang dengan jaminan
Utang tersebut hanya sebatas utang yang diberikan jaminan, bukan utang-utang yang lain.
b. Hak untuk menahan jaminan
Adanya hubungan antara utang dan jaminan memberikan hak kepada
murtahinuntuk menahan jaminan di tangannya atau di tangan orang lain
yang disepakati bersama dengan tujuan untuk mengamankan utang. Apabila utang telah jatuh tempo maka jaminan bisa dijual untuk membayar utangnya.
c. Menjaga barang jaminan (marhu>n)
Dengan adanya hak menahan jaminan, makamurtahinwajib menjaga
jaminan tersebut seperti ia menjaga hartanya sendiri, karena jaminan tersebut merupakan titipan dan amanah.
d. Pembiayaan atas barang jaminan (marhu>n)
Para Ulama sepakat bahwa pembiayaan atas jaminan dibebankan kepada ra>hin. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang jenis
(35)
26
1) Menurut Ulama Hanafiyah, pembiayaan dibagi antara ra>hin selaku
pemilik barang danmurtahin, yang dibebani pemeliharaannya dengan
rincian sebagai berikut:
a) Setiap biaya yang berkaitan dengan kemaslahatan barang jaminan dibebankan kepadara>hinkarena barang tersebut miliknya.
b) Setiap biaya yang berkaitan dengan pemeliharaan barang jaminan dibebankan kepada murtahin, karena ia yang menahan barang tersebut termasuk resikonya.
2) Menurut Jumhur yang terdiri dari atas Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, semua biaya yang berakitan dengan barang jaminan dibebankan kepada ra>hin, baik yang berkaitan dengan biaya
menjaganya, pengobatan, maupun biaya lainnya. Menurut Malikiyah apabila ra>hin tidak bersedia menanggung biaya tersebut, biaya
dibebankan kepada murtahin. Akan tetapi menurut Syafi’iyah hakim
harus memaksara>hinuntuk memberikan biaya yang berkaitan dengan
barang jaminan, apabila ia berada ditempat dan dipandang mampu. Apabila ra>hin tidak mampu, maka hakim bisa memerintahkan
murtahin untuk membiayainya dan biaya tersebut kemudian diperhitungkan sebagai utang ra>hin. Menurut Hanabilah apabila
murtahin mengeluarkan biaya tanpa persetujuan ra>hin, padahal ia
mampu untuk meminta izin kepadanya, maka berarti murtahin
melakukannya dengan sukarela, dan oleh karenanya ia tidak berhak meminta ganti padamurtahin.
(36)
27
5. Penjualan barang gadai setelah jatuh tempo
Gadai merupakan jaminan utang dan tujuan gadai adalah mendapatkan pelunasan utang melalui harga barang yang digadaikan jika
rahin gagal melunasi utangnya setelah jatuh tempo.14 Jika telah jatuh tempo, orang yang menggadaikan barang berkewajiban melunasi utangnya. Jika tidak melunasinya, dan dia tidak mengizinkan barangnya dijual untuk kepentingannya, hakim berhak memaksanya untuk melunasi atau menjual barang yang dijadkan jaminan. Jika hakim telah menjualnya, kemudian terdapat kelebihan dari kewajiban yang harus dibayar oleh rahin, kelebihan
itu milikrahin, dan jika masih belum bisa untuk melunasi utangnya, rahin
berkewajiban melunasi sisanya.15
Para fuqaha berpendapat saat jatuh tempo, murtahin boleh menuntut
rahin untuk melunasi utangnya. Jika utangnya dibayar, permasalahannaya
berakhir. Akan tetapi, jika rahin tidak melunasi utangnya dengan
melambat-lambatkan waktu, mempersulit, atau menghilangkan diri, hakim boleh memerintahkanmurtahinmenjual barang gadaian.16
6. Berakhirnyarahn
Akadrahn dipandang berakhir dengan beberapa keadaan berikut:
a. Barang telah diserahkan kembali kepada pemiliknya.
14
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa A dillatuhu, (Jakarta: Gema Insani. 2011), 275.
15
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 12, terj. Kamaluddin A. Marzuki, (Bandung: Al-Ma’arif, 1999), 144-145.
16
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (penerjem: fiqih islam wa adillatuhu, Abdul hayyie Al-Kaffaani dkk,jilid 6, (Jakarta: Gema Insani, 2011), 275.
(37)
28
Dengan penyerahan tersebut, akadrahnberakhir. Jumhur ulama selain
Syafi’i berpendapat, karena barang gadai merupakan jaminan utang, jika diserahkan kepada pemiliknya, tidak ada lagi jaminan.
b. Rahnmembayar utangnya.
c. Dijual dengan perintah hakim atas permintaanrahin.
d. Pembebebasan utang.
Pembebasan utang dalam bentuk apa saja, menandakan habisnyarahn
meskipun dengan cara pemindahan olehmurtahin.
e. Pembatalan olehmurtahin.
f. Rusaknya barangrahnbukan oleh tindakan atau penggunaanmurtahin
g. Memanfaatkan barangrahndengan penyewaan, hibah, atau sedekah,
baik dari pihakrahinmaupunmurtahin.
B.Ija>rah
1. PengertianIja>rah
Ija@rahberasal dari kataal-ajru( ) yang berartial-‘iwad}( )
yang memiliki arti ganti. Dari sebab ituath|- th|awa@b (pahala) dinamai ajru
(upah).17Menurut jumhur ulama ijārah diartikan dengan menjual manfaat,18
yaitu akad atas suatu kemanfaatan kemudian mendapat imbalan.
Menurut pengertian syara’, ija>rah adalah suatu jenis akad untuk
mengambil manfaat dengan jalan penggantian.19 Secara istilah, banyak
17
Sayyid Sabiq,Fikih Sunnah 13, terj. Kamaluddin A. Marzuki (Bandung: Al-ma’arif, 1999),15.
18
(38)
29
definisi mengenai ija>rah yang telah dikemukakan, antara lain sebagai
berikut:
Menurut ulama Hanafiyah, ija>rah adalah akad yang membolehkan
kepemilikan yang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan.
Menurut ulama Malikiyah, ija>rah adalah nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiaei dan sebagian yang dapat dipindahkan. Menurut ulama Syafi’iyah, ija>rah adalah akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu danmubah serta menerima pengganti atau kebolehan dangan pengganti tertentu.20
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional bahwa ija>rah adalah akad
pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Dengan demikian akad ija>rah tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya perpindahan hak guna saja dari yang menyewakan kepada penyewa.21
Dari beberapa definisi diatas dapat dipahami bahwa ija>rah adalah
menukarkan sesuatu dengan imbalan atau biasa disebut sewa menyewa atau upah mengupah. Sewa menyewa merupakan jual beli manfaat atas barang tertentu, sedangkan upah mengupah merupakan jual beli jasa atau tenaga atas perbuatan atau pekerjaan tertentu.
19
Sayyid Sabiq,Fikih Sunnah 13, terj. Kamaluddin A. Marzuki (Bandung: Al-ma’arif, 1999), 7.
20
Rachmat Syafe’i,Fiqih Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), 122
21
Adiwarman A. Karim,Bank Islam: A nalisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raha Grafindo Persada, 2004), 128
(39)
30
2. Landasan HukumIja>rah
Ija>rah baik dalam bentuk sewa menyewa maupun dalam bentuk upah
mengupah merupakan bentuk muamalah yang telah disyariatkan dalam Islam. Hukum asalnya adalah boleh atau mubah apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam hukum Islam.22
Berikut landasan hukum yang dijadikan landasan oleh para ulama akan kebolehan ija>rah bila dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang
ditetapakn syara’ berdasarkan ayat Al-Qur’an, Al-Hadis, dan Ijma yaitu: a. Al-Qur’an
Landasan hukum mengenaiija>rahterdapat dalam surat al-Baqarah:
233 sebagai berikut:
✣✤.. ✤✥ ✥ ✦✧★ ✩✪✥ ✪ ✩✤ ★✧ ✪ ✩
Artinya: “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kemu memberikan pembayaran menurut yang patut...” (Q.S. al-Baqarah: 233)23
Kemudian landasan hukum mengenai ija>rah terdapat dalam surat al-Qasash ayat 26 sebagaimana berikut :
Artinya: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya." (QS. al-Qasash: 26)24
22
Amir Syarifudin,Garis-garis Besar Fiqh, Cet. II, (Jakarta: Kencana, 2003), 216. 23
Departemen Agama RI,A l-Quran dan terjamahnya, (Bandung: Syaamil quran, 2012), 37. 24
(40)
31
b. Al-Hadis
)
(
Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)25
c. Ijma’
Umat Islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ija>rah
dibolehkan sebab bermanfat bagi manusia.26 Selain itu, sebagian masyarakat sangat membutuhkan akad ini karena dapat meringankan beban. Tentang di syariatakan sewa menyewa, semua kalangan sepakat dan hampir semua ulama menyetujuinya.
3. Rukun dan SyaratIja>rah
Menurut ulama Hanafiyah, rukun ija>rah adalah ijab dan qabul, antara
lain dengan menggunakan kalimat :al-ija>rah, al- isti’jar, al- ikhtira’, dan
al-ikra.27
Sedangkan rukunija>rahmenurut mayoritas ulama ada empat, yaitu
a. A qid, yaitu orang yang melakukan akad yakniajirsebagaipenerima sewa
danmusta’jirsebagai penyewa jasa atau penerima upah.
b. Sighat(ijab qabul), yaitu ikatan kata antaraajirdanmusta’jir.
25
Ibnu Hajar Al-Asqalani,Bulughul Maram Terjemah Irfan Maulana Hakim, Cet. I, (Surabaya: Sinar Wijaya, 2010), 373.
26
Rachmad Syafe’i,Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 124.
27
Wahbah az-Zuhaili, A l-Fiqh al-Islami wa A dillatuhu, (penerjem: fiqih islam wa adillatuhu, Abdul hayyie Al-Kaffaani dkk,jilid 6, (Jakarta: Gema Insani, 2011), 387.
(41)
32
c. Ujrah (harga sewa), biaya yang dikeluarkan atas manfaat yang telah
diperoleh.
d. Manfaat barang, yaitu sesuatu yang diperoleh dari barang yang disewakan.
Dalam akadija>rah ada empat macam syarat sebagaimana dalam akad
jual beli, yaitu:
a. Syarat terjadinya akad (syart al-in’iqad)
Syarat yang berkaitan dengan aqid adalah berakal, mumayyiz
menurut Hanafiyah, dan baligh menurut Syafi’iyah dan Hanabilah. Dengan demikian, akad ijārah tidak sah apabila pelakunya adalah orang
gila atau masih di bawah umur. Adapun Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa syarat taklif (pembebbanan kewajiban syariat), yaitu baligh dan berakal adalah syarat terjadinya akad ija>rah karena
sama halnya dengan jual beli.
b. Syarat pelaksanaan (syarth an-Nafaadz)
Agar akad ija>rah terlaksana disyaratkan terpenuhinya hak milik
atau kekuasaan atas objek ija>rah. Maka tidak sah apabila tidak
mempunyai hak kepemilikan atau kekuasaan atas objekija>rah.
c. Syarat sahija>rah(syarth ash-shihhah)
Syarat sahnya ija>rah harus dipenuhi beberapa syarat yang
(42)
33
upah (ujrah) dan akadnya sendiri. Diantara syarat-syarat tersebut adalah
sebagai berikut:28
1) Kerelaan dari kedua pelaku akad. Syarat ini didasarkan pada firman Allah dalam surah An-Nisa (4) ayat 29:
✫✬
Artinya: wahai orang-orang yang beriman! janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirim. Sungguh Allah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An-Nisa’: 29)29
2) Objek akad bermanfaat dengan jelas.
Jika manfaat itu tidak jelas dan dapat menyebabkan perselisihan, maka akadnya menjadi tidak sah karena ketidakjelasan menghalangi penerimaan, penyimpanan dan penyerahan sehingga tidak tercacpai maksud akad tersebut. Kejelasan objek akad terwujud dengan penjelasan manfaat, yaitu dengan mengetahui barang yang disewakan. Selanjutnya adalah penjelasan masa waktu, karena penjelasan waktu ini sangat penting maka akad menjadi jelas. Kalau tidak ada penentuan waktu maka akad menjadi tidak jelas kadarnya kecuali dengan adanya penentuan waktu. Dengan penentuan tersebut maka akan menghindarkan dari hal hal yang merugikan. Kemudian mengenai penjelasan objek kerja, hal ini menjadi sebuah tuntutan
28
Rahmad Syafe’i,Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 126-128.
29
(43)
34
untuk menghindari ketidakjelasan yang bisa mengakibatkan rusaknya akad.
3) Hendaknya objek akad harus dapat diserahkan
Menurut kesepakatan fuqaha, akad ija>rah tidak dibolehkan
terhadap sesuatu yag dapat diserahkan, baik secara nyata seperti menyewakan onta yang lepas maupun secara syara’ seperti seorang dokter mencabut gig yang masih sehat.
4) Manfaat dari objekija>rahdibolehkan menurut syara’
Hendaknya manfaat yang dijadikan objek ija>rah dibolehkan
secara syara, seperti menyewakan buku, rumah, apartemen,tempat penyimpanan barang berharga dan sebagainya.
5) Tidak menyewakan pekerjaan yang diwajibkan kepadanya.
6) Orang yang disewa tidak boleh mengambil manfaat dari pekerjaannya 7) Obyek yang disewakan terhindar dari cacat.
8) Syarat barang sewaan adalah dapat dipegang atau dikuasai.
4. Macam-macamija>rah
a. A l-Ija>rah ‘A la> A l-Manafi’. Ija>rah atas manfaat, disebut juga sewa
menyewa. Dalam ija>rah bagian pertama ini, objek akadnnya adalah
manfaat dari suatu benda.
b. Ija>rah A l-Zimmah. ija>rah atas pekerjaan, disebut juga upah-mengupah.
Dalam ija>rah bagian kedua ini, objek akadnya adalah amal atau
(44)
35
Secara global jenis-jenisija>rahdapat dibagi menjadi beberapa bentuk.30
a. Ija>rah Mutlaqah, adalah proses sewa menyewa yang memberikan
kesempatan bagi penyewa untuk pemanfaatan dari barang sewa untuk jangka waktu tertentu dengan imbalan yang besarnya telah disepakati bersama.
b. Ba>i A t-Takjiri, adalah suatu kontrak sewa yang diakhiri dengan
penjualan. Dalam kontrak ini pembayaran sewa telah diperhitungkan sehingga pembelian terhadap barang secara angsur. Jenisija>rahini dapat
dikombinasikan dengan ba>i al-muraba>hah untuk tujuan pengadaan
barang dan pembiayaan impor. Bentuk kombinasi ini telah banyak disepakati oleh bank-bank syariah di luar negeri dengan sukses, proses tersebut yaitu setelah bank membiayai pengimporan barang sesuai dengan pesanan nasabah secara muraba>hah langsung menyewakan kepada nasabah untuk jangka waktu tertentu dan pada akhir pembiayaan nasabah memiliki aset tersebut.
5. Biaya sewa dalamija>rah
Biaya sewa juga termasuk dalam bab ija>rah sebagaimana perjanjian
kerja. Menurut bahasa ija>rah berarti “upah” atau “ganti” atau imbalan,
30
Muhammad. Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah. (Yogyakarta: UII press, 2000), 35.
(45)
36
karena itu lafadz ija>rah mempunyai pengertian umum yang meliputi upah
atas pemanfaatan suatu benda atau imbalan dari suatu aktifitas.31
Antara ajirdan muajirada biaya atau dengan kata lain imbalan yang
diterima muajir atas sewa manfaat yang dilakukannya. Manakala akad
sewa telah berlangsung, penyewa sudah berhak mengambil manfaat dan orang yang menyewakan berhak pula mengambil upah.
Islam tidak menetapkan ketentuan-ketentuan biaya pembayaran sewa, karena tentang harga dari barang yang disewakan seperti halnya dalam jual beli, akan tetapi Islam menerangkan kewajiban adanya penggantian biaya sewa di dalam ija>rah sewaktu dalam akad. Adapun
menurut aturan yang mesti sesuai dengan kemutlakan ija>rah itu sendiri, maka harus kontan sewa atau upahnya, hanya saja disayaratkan dalam ija>rah adanya tempo waktu, maka dalam keadaan yang demikian upah sewa dapat dijadikan tempo waktu.32
Terkait dengan syarat dalam biaya sewa, para ulama telah menetapkan beberapa syarat yaitu:
a. Syarat upah berupa harta yang bernilai dan diketahui
Mengetahui upah (ujrah) tidak sah keculai dengan isyarat dan
penentuan, ataupun dengan penjelasan. Menurut Abu Hanifah, diharuskan mengetahui tempat pelunasan upah jika upah itu termasuk barang yang perlu dibawa dan membutukan biaya. Sedangkan menurut
31
Helmi karim,Fikih Muamalah, (Jakarta: PT, Grafindo, Persada, 1993), 29.
32
(46)
37
ash-Shahiban, hal itu tidak disyariatkan dan tempat akad cukup dijadikan tempat untuk pelunasan.
Syarat upah dibawah ini memiliki perbedaan pendapat menurut ash-shahiban dan ulama Syafi’iyah berdasarkan qiyas, tidak membolehkan menyewa seorang perempuan untuk menyusui ditambah makan dan pakaiannya karena ketidak jelasan upahnya, yaitu makan dan pakaian. Sedangkan Abu Hanif dan Ulama Malikiyah membolehkan menyewa seseorang untuk melayani atau menyewa hewan ditambah makannya dan pakaian atau sejenisnya untuk pembantu itu.
Ketidak jelasan upah dalam penyewa tersebut tidak menyebabkan pertikaian karena dalam kebiasaan yang berlaku, masyarakat bersikap toleran terhadap perempuan yang disewa untuk menyusui diberi kemudahan demi kasih sayang terhadap anak-anak, sehinga hal itu sudah menjadi hal yang umum dalam masyarakat.33
b. Upah tidak berbentuk manfaat yang sejenis dengan ma’qud ‘alaih
(obyek akad)34
Upah tidak berbentuk manfaat yang sejenis dengan ma’qud ‘alaihi
(obyek akad). Seperti ija>rah tempat tinggal dibayar dengan tempat
tinggal, jasa dibayar dengan jasa, penunggagan dibayar dengan penunggangan, dan pertanian dibayar dengan pertanian. Menurut ulama Malikiyah, penerapan prinsip ini dalam ija>rah adalah bahwa akad ini
33
Wahbah az-Zuhaili, A l-Fiqh al-Islami wa A dillatuhu, (penerjem: fiqih islam wa adillatuhu, Abdul hayyie Al-Kaffaani dkk,jilid 6, (Jakarta: Gema Insani, 2011), 400.
34
(47)
38
menurut mereka terjadi secara sedikit demi sedikit sesuai dengan terjadinya manfaat. Maka manfaat pada waktu akad itu tidak ada seutuhnya, sehingga salah satu pihak menjadi terlambat dalam menerima manfaat secara seutuhnya.
Secara umum syarat yang berkaitan dengan ujrah/upah dapat disimpulkan bahwaujrahharus jelas dan diketahui serta tidak berbentuk
manfaat. Karena upah tersebut merupakan pembayaran atas nilai manfaat yang diterima kepada seseorang yang melakukan pekerjaannya dalam bentuk imbalan yang harus diketahui dengan jelas.
6. Berakhirnyaija>rah
Pada dasarnya perjanjian dalam akad ija>rah adalah akad lazim,
masing-masing pihak yang yang terikat dalam akad tidak berhak membatalakan perjanjian (tidak mempunyai hak fasakh) karena termasuk akad pertukaran.
Jiika salah satu pihak (yang menyewakan atau penyewa) meninggal dunia, perjanjian sewa menyewa tidak akan menjadi batal, asal yang menjadi obyek sewa masih ada. Sebab dalam hal salah satu pihak meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh ahli warisnya.35
Secara umum Wahbah az-Zuhaili berpendapat bahwa akad ija>rah
berakhir berdasarkan sebab-sebab sebagai berikut:
a. Akad ija>rah telah habis atau selesai. Menurut ulama Hanafiyah salah
satu dari pihak yang berakad ada yang meninggal maka akad ija>rah
35
(48)
39
berakhir, karena warisan berlaku dalam barang yang ada dan dimiliki, selain itu manfaat dalam akad ija>rah terjadi bertahap sehingga ketika
orang yang mewariskan meninggal maka manfaatnya menjadi tidak ada. Namun menurut jumhur ulama akad ija>rah tidak batal dengan
meninggalnya salah satu pihak yang berakad. Hal ini dikarenakan akad
ija>rahmerupakan akad yang mengikat seperti halnya akad jual beli.
b. Akad ija>rah dapat berakhir dengan adanya pengguguran akad, hal ini
dikarenakan akad ija>rah dapat dikatakan sebagai akad tukar menukar
sehingga akadija>rahdapat dibatalkan seperti halnya akad jual beli.
c. Akad ija>rah berakhir dengan adanya kerusakan pada barang yang
disewakan. Namun ada beberapa pendapat bahwa rusaknya barang tidak dapat membatalkan akad ija>rah, diantaranya adalah pendapat
Muhammad Ibnul Hasan bahwa ija>rah tidak batal karena manfaatnya
yang hilang dapat dipenuhi lagi.
d. Akadija>rah berakhir dikarenakan telah habisnya masaija>rahkecuali ada
uzur atau halangan, karena akad ija>rah ditetapkan sampai batas tertentu maka akad ija>rah dianggap habis ketika sampai pada batas waktunya.
Pendapat ini adalah pendapat yang disepakati oleh para fuqoha.36
36
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (penerjem: fiqih islam wa adillatuhu, Abdul hayyie Al-Kaffaani dkk,jilid 6, (Jakarta: Gema Insani, 2011), 429-431.
(49)
40
C. Fatwa Dewan Syariah Nasional
Fatwa berasala dari bahasa Arab al-fatwa, walfutya jamaknya
fatawa37 yang telah diadopsi dan membumi dalam kehidupan masyarakat
Indonesia. Kamus istilah Keuangan dan Perbankan Syariah mendefinisikan
fatwa sebagai penjelasan tentnang hukum Islam yang diberikan oleh seorang
fa>qihatau lembaga fatwa kepada umat, yang muncul karena adanyapertanyaan
ataupun tidak.38 Secara sederhana fatwa menurut KBBI adalah jawab (keputusan, pendapat) yang diberikan oleh mufti tentang suatu masalah.39
Dalam struktur organisasi bank syariah, ada lembaga yang bertugas mngawasi dan bertanggung jawab memberikan pengawasan terhadap operasional bank syariah, yakni Dewan Pengawas Syariah. Selain Dewan Pengawas Syariah, pada tingkat nasional ada pula Dewan Syariah Nasional (DSN).
Dewan Syariah Nasional adalah badan yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia pada tahun 1999 yang memiliki kompetensi dan otoritas resmi sehingga berwenang mengeluarkan ketentuan-ketentuan syariah dalam bentuk fatwa Dewan Syariah Nasional40 Fatwa-fatwa tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI).41 Dengan
37
A.W. Munawar, Kamus A l-Munawir A rab-Indonesia Terlengkap, edisi kedua (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), 1034
38
Bank Indonesia, Kamus Istilah Keuangan dan Perbankan Syariah, (Jakarta: Direktorat Perbankan Syariah, 2006), 18.
39
Departemen Pendidikan Nasional,Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga Jakarta: Balai Pustaka, 20017), 314.
40
Butir IV Keputusan Ddewan Syariah Nasional No. 01 Tahun 2000 tanggal 1 April 2000 tentang Pedoman Dasar Dewan Majelis Ulama Indonesia tentang Pedoman Rumah Tangga DSN-MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syariah NasionalSyariah Nasional
41
(50)
41
dituangkannya fatwa-fatwa DSN ke PBI maka prinsip-prinsip syariah terkait dengan kegiatan usaha bank syariah yang tercntum dalam PBI tersebut menjadi hukum positif yang mengikat perbankan syariah.42 Keberadaan PBI merupakan amanat dari UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2004.43
Berkaitan dengan perkembangan lembaga keuangan syariah itulah, keberadaan DSN beserta produk hukumnya mendapat legitimasi dari BI yang merupakan lembaga negara pemegang otoritas dibidang perbankan, seperti tertuang dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/1999, di mana pada pasal 31 dinyatakan: “untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan usahanya, bank umum syariah diwajibkan memperhatikan fatwa DSN”, lebih lanjut, dalam Surat Keputusan tersebut juga dinyatakan: “”demikian pula dalam hal bank akan melakukan kegiatan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 28 dan Pasal 29, jika ternyata kegiata usaha yang dimaksudkan belum difatwakan oleh DSN, maka wajib meminta persetujuan DSN sebelum melakukan usaha kegiatan tersebut”.
Dewan Syariah Nasional (DSN) secara struktural berada dibawah MUI dan bertugas menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya. Pada prinsipnya, pendirian DSN dimaksudkan sebagai usaha untuk efisiensi dan koordinasi para ulama dalam menanggapi isu-isu yang berhubungan dengan
42
Lihat Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan Perundang-undangan.
43
Pasal 10 ayat (3) UU No. 3 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU no. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
(51)
42
masalah ekonomi dan keuangan, selain itu DSN juga diharapkan dapat berperan sebagai pengawas, pengarah dan pendorong penerapan nilai-nilai prinsip ajaran islam dalam kehidupan ekonomi.44
Fungsi fatwa DSN bagi perbankan syariah antara lain adalah:
1. Pedoman bagi Dewan Pengawas Syariah dalam menjalankan tugas pengawasan di masing-masing bank syariah.
2. Dasar hukum bagi abnk syariah dalam melakukan kegiatan usahanya. 3. Landasan bagi peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia tentang
perbankan syariah dan kegiatan usaha bank syariah.
Dari sekian banyak fatwa yang telah dikeluarkan DSN-MUI, penulis mengambil fatwa yang berkenaan dengan teori yang penulis bahas pada bab ini. Fatwa yang penulis ambil adalah fatwa no. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang
rahn45.. Dewan Syariah Nasional dalam menetapkan fatwa ini dengan
pertibangan antara lain sebagai berikut:
a. bahwa salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang;
b. bahwa lembaga keuangan syari’ah (LKS) perlu merespon kebutuhan masyarakat tersebut dalam berbagai produknya;
c. bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah, Dewan Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa untuk 44
Angka IV butir 2 huruf b Keputusan Dewan Syariah Nasional No. 1 tahun 2000 tanggal 1 April tahun 2000
45
Dewan Syariah Nasional MUI dan Bank Indonesia,Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, Cet 4, (Jakarta: Gaung Persada, 2006), 25.
(52)
43
dijadikan pedoman tentang Rahn, yaitu menahan barang sebagai jaminan atas utang.
Sebagai pengingat DSN-MUI dalam menetapkan fatwa maka disebutkan seperti dibawah ini:
1. Firman Allah, QS. Al-Baqarah [2]: 283:
"Dan apabila kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang juru tulis maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang..."
2. Hadis Nabi riwayat al-Bukhari dan Muslim dari ’Aisyah r.a., ia berkata:
.
"Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya."
3. Hadits Nabi riwayat al-Syafi’i, al-Daraquthni dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah, Nabi s.a.w. bersabda:
.
"Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya." 4. Hadits Nabi riwayat Jama’ah, kecuali Muslim dan al-Nasa’i, Nabi s.a.w.
bersabda:
.
"Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Orang yang menggunakan
(53)
44
kendaraan dan memerah susu tersebut wajib menanggung biaya perawat an dan pemeliharaan."
5. Ijma:
Para ulama sepakat membolehkan akad Rahn. (al-Zuhaili,al-Fiqh al-Islami wa A dillatuhu,1985, V: 181)
6. Kaidah Fiqih:
.
Pada dasarnya segala bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Kemudian DSN-MUI juga memperhatikan pendapat-pendapat dalam menetapkan fatwa. Pendapat tersebut antara lain:
1. Pendapat Ulama tentang Rahn antara lain:
)
4
367
(
Mengenai dalil ijma’, ummat Islam sepakat (ijma’) bahwa secara garis besar akad rahn (gadai/penjaminan utang) diperbolehkan
)
2
131
(
Pemberi gadai boleh memanfaatkan barang gadai secara penuh sepanjang tidak mengakibatkan berkurangnya (nilai) barang gadai tersebut.
Mayoritas Ulama selain mazhab Hanbali berpendapat bahwa penerima gadai tidak boleh memanfaatkan barang gadai sama sekali.
2. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari’ah Nasional pada hari Kamis, 14 Muharram 1423 H./ 28 Maret 2002 dan hari Rabu, 15 Rabi’ul Akhir 1423 H. / 26 Juni 2002.
Setelah menerangkan latar belakang akan dibuatnya fatwa kemudian juga mempertimbangkan dalil dalil yang berhubungan dengan rahn.
(54)
45
Pertimbangan terakhir adalah memperhatian pendapat mengenai rahn, maka
DSN-MUI menetapkan fawa tentangrahnadalah sebagai berikut:
Pertama : Hukum
Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut.
Kedua : Ketentuan Umum
1. murtahin(penerima barang) mempunyai hak untuk menahanmarhun (barang) sampai semua utangrahin(yang menyerahkan barang) dilunasi.
2. Marhundan manfaatnya tetap menjadi milikrahin.Pada prinsipnya,marhuntidak boleh dimanfaatkan olehmurtahinkecuali seizinrahin,dengan tidak mengurangi nilaimarhundan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.
3. Pemeliharaan dan penyimpananmarhunpada dasarnya menjadi kewajibanrahin, namun dapat dilakukan juga olehmurtahin,sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajibanrahin.
4. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpananmarhuntidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
5. Penjualanmarhun
a. Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan
rahinuntuk segera melunasi utangnya.
b. Apabilarahintetap tidak dapat melunasi utangnya, makamarhundijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.
Hasil penjualanmarhundigunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
c. Kelebihan hasil penjualan menjadi milikrahindan kekurangannya menjadi kewajibanrahin.
(55)
46
Kemudian lebih spesifik lagi mengenai rahn, masyarakat pada
umumnya telah lazim menjadikan emas sebagai barang berharga yang disimpan dan menjadikannya objek rahn sebagai jaminan utang untuk
mendapatkan pinjaman uang di bank syariah. bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, Dewan Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa tentang hal itu untuk dijadikan pedoman. Maka fatwa mengenai jaminan emas ini diatur lebih spesifik lagi yakni dalam Fatwa No. 26/DSN-MUI/III/200246 tentang rahn emas dengan penetapan fatwa sebagai berikut :
Pertama : 1. Rahn Emas dibolehkan berdasarkan prinsip Rahn (lihat Fatwa DSN nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn). 2. Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung
oleh penggadai (rahin).
3. Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan.
4. Biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad Ijarah.
Kedua : Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
46
(56)
47 BAB III
IMPLEMENTASI AKADIJA >RA H PADA SEWA TEMPAT PRODUK GADAI EMAS BANK BRI SYARIAH KC SURABAYA
A. Gambaran umum Bank BRI Syariah 1. Sejarah berdirinya Bank BRI Syariah
Berawal dari akuisisi PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk., terhadap Bank Jasa Arta pada 19 Desember 2007 dan setelah mendapatkan izin dari Bank Indonesia pada 16 Oktober 2008 melalui suratnya o.10/67/KEP.GBI/DpG/2008, maka pada tanggal 17 November 2008 PT. Bank BRISyariah secara resmi beroperasi. Kemudian PT. Bank BRISyariah merubah kegiatan usaha yang semula beroperasional secara konvensional, kemudian diubah menjadi kegiatan perbankan berdasarkan prinsip syariah Islam.
Dua tahun lebih PT. Bank BRISyariah hadir mempersembahkan sebuah bank ritel modern terkemuka dengan layanan fi¬nansial sesuai kebutuhan nasabah dengan jangkauan termudah untuk kehidupan lebih bermakna. Melayani nasabah dengan pelayanan prima (service excellence) dan menawarkan beragam produk yang sesuai harapan nasabah dengan prinsip syariah.
Kehadiran PT. Bank BRISyariah di tengah-tengah industri perbankan nasional dipertegas oleh makna pendar cahaya yang mengikuti logo perusahaan. Logo ini menggambarkan keinginan dan tuntutan
(57)
48
masyarakat terhadap sebuah bank modern sekelas PT. Bank BRISyariah yang mampu melayani masyarakat dalam kehidupan modern. Kombinasi warna yang digunakan merupakan turunan dari warna biru dan putih sebagai benang merah dengan brand PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk.,
Aktivitas PT. Bank BRISyariah semakin kokoh setelah pada 19 Desember 2008 ditandatangani akta pemisahan Unit Usaha Syariah PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk., untuk melebur ke dalam PT. Bank BRISyariah (proses spin off ) yang berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2009. Penandatanganan dilakukan oleh Bapak Sofyan Basir selaku Direktur Utama PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk., dan Bapak Ventje Rahardjo selaku Direktur Utama PT. Bank BRISyariah.
Saat ini PT. Bank BRISyariah menjadi bank syariah ketiga terbesar berdasarkan aset. PT. Bank BRISyariah tumbuh dengan pesat baik dari sisi aset, jumlah pembiayaan dan perolehan dana pihak ketiga. Dengan berfokus pada segmen menengah bawah, PT. Bank BRISyariah menargetkan menjadi bank ritel modern terkemuka dengan berbagai ragam produk dan layanan perbankan.
Sesuai dengan visinya, saat ini PT. Bank BRISyariah merintis sinergi dengan PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk., dengan memanfaatkan jaringan kerja PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk., sebagai Kantor Layanan Syariah dalam mengembangkan bisnis yang
(58)
49
berfokus kepada kegiatan penghimpunan dana masyarakat dan kegiatan konsumer berdasarkan prinsip Syariah.1
1.1. Daftar Tabel Pemegang Saham Daftar Pemegang Saham PT. Bank BRI Syariah
Per 31 Desember 2010
No Nama & Alamat Jumlah Saham (Lembar)
Jumlah yang Disetor (Rupiah) 01 PT. Bank Rakyat Indonesia
(Persero), Tbk., Jl. Jend. Sudirman Kav. 44-45 Kel. Bendungan Hilir, Kec. Tanah Abang Jakarta Pusat 10210
1.957.999.000 978.999.500.000
02 Yayasan Kesejahteraan Pekerja (YKP) BRI Jl. Sultan Iskandar Muda No. F. 25 (Arteri Pondok Indah) Jakarta
1.000 500.000
Total 1.958.000.000 979.000.000.000
2. Kelembagaan
a. Nama Perbankan : PT. BANK BRI SYARIAH b. Legalitas kelembagaan
1) Tahun Berdiri : 17 November 2008
2) Nomor Badan Hukum : o.10/67/KEP.GBI/DpG/2008 3) Tanggal Badan Hukum : 16 Oktober 2008
c. Alamat : Jl. Raya Diponegoro No. 16D, Surabaya
3. Visi dan Misi
a. Visi Bank BRISyariah Kantor Cabang Surabaya
Menjadi bank ritel modern terkemuka dengan ragam layanan finansial
1
BRISyariah, “Sejarah”, dalam http://www.brisyariah.co.id/?q=sejarah, diakses pada tanggal 25 Mei 2017
(1)
74
Biaya sewa yang dibebankan kepada nasabah memakai prosenastase
dari jumlah pinjaman. Penggunaan prosentase dapat mengundang
permasalahan karena kompensasi / ujroh dalam konsep ijara>h harus dapat diketahui dengan jelas oleh si penerima sewa. Hal tersebut bisa dikatakan bahwa praktiknya dalam pengambilan biaya penyimpanan bisa menuju riba karena ada penambahan dari setiap pinjaman dan dibayarkan saat pelunasan / jatuh tempo. Dengan begitu bisa dikatakan bank mengambil laba manfaat dari pinjaman.
(2)
75
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari penelitian yang dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Implementasi akad ija>rah dalam biaya sewa tempat ini dikenakan sebagai penukaran manfaat untuk masa tertentu atas obyek ija>rah, karena obyek
ija>rah memerlukan tempat penyimpanan yang aman. Bank akan menyimpan barang jaminan tersebut kedalam brankas (safe deposit box) yang disediakan oleh bank BRISyariah KC Surabaya. Biaya sewa tempat pada gadai iB emas di Bank BRI Syariah KCP Gresik BRISyariah KC Diponegoro menetapkan besaran biaya tersebut menggunakanrate, yaitu :
a. 1,5% per bulan untuk emas perhiasan. b. 1,34% per bulan untuk emas batangan.
Rate diatas akan jadi dasar perhitungan dalam penetapan besaran biaya pemeliharaan dan penyimpanan, dengan cararatedikalikan denganplafond
pembiayaan yang bisa dipinjamkan dari bank kepada nasabah.
2. Tinjauan fatwa DSN-MUI atas akad ija>rahyaitu Pada Fatwa No. 25/DSN-MUI/III/2002 butir kedua angka 4 menjelaskan bahwa “Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman”, dan Fatwa DSN No.26/DSNMUI/ III/2002
butir pertama nomor tiga juga telah dijelaskan bahwa “Ongkos
(3)
76
nyata – nyata diperlukan”. Tetapi pada praktiknya Bank BRISyariah dalam menentukan biaya sewa masih mengambil atau memperhitungkan
dari jumlah nilai pinjaman sehingga pada akhirnya cara tersebut tidak
sesuai dengan apa yang ada dalam fatwa tersebut.
B. Saran
Sesuai dengan apa yang telah dituliskan setelah melakukan
penelitian, kepada Bank BRISyariah KC Surabaya hendaknya dalam
menentukan biaya sewa tempat berdasarkan kadar, jenis emas & berat emas.
Menentukan ujroh dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat, jarak dan
atau kriteria lain. Bank BRISyariah KC Surabaya diharapkan menggunakan
Fatwa DSN-MUI dalam melaksanakan produknya agar produk pembiayaan
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin.Hukum Gadai Syariah. Jakarta : Sinar Grafika, 2008.
Antonio, Muhammad Syafi’i.Bank Syariah Dari Teori ke Praktik.Jakarta: Gema Insani, 2001
Aris Subakti, Robby.Tinjauan Hukum Islam Terhadap A plikasi Penetapan Tarif Ija>rah Pada Barang Gadai Di Pegadaian Syari’ah Sidokare Sidoarjo. Skripsi -- IAIN Sunan Ampel. Surabaya, 2005.
al Arif, M. Nur Rianto, Lembaga Keuangan Syariah. Bandung: Pustaka Setia, 2012.
Asqa>la>ni (al), Ahmad Ibnu Hajar. Bulughul Maram Terjemah Irfan Maulana Hakim, Cet.I. Surabaya: Sinar Wijaya, 2010.
ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad. Ensiklopedi Fiqh Muamalah dalam Pandangan 4 Mazhab. Yogyakarta: Maktabah al-hanif. 2009
az-Zabidi, Imam Zainudin Achmad bin al-Lathif. Ringkasan Shahih Bukhari, Penerjemah Achmad Zaidun. Jakarta: Pustaka Amani, 2002.
az-Zuhaili, Wahbah. A l-Fiqh al-Islami wa A dillatuhu, (penerjem: fiqih islam wa adillatuhu, Abdul hayyie Al-Kaffaani dkk, Jilid 6. Jakarta: Gema Insani, 2011.
Bank Indonesia. Kamus Istilah Keuangan dan Perbankan Syariah. Jakarta: Direktorat Perbankan Syariah, 2006.
Basir, Cik. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan A gama dan Mahkamah Syariah, Jakarta: Kencana, 2009.
Basyir, Ahamad Azhar. A sas-A sas Hukum Muamalat. Yogyakarta: UII Press, 2000.
Chalid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara, 1997.
Departemen Agama RI, A l-Quran dan terjamahnya, Bandung: Syaamil quran, 2012
Departemen Agama RI, A l-Quran dan T erjemahnya, Jakarta: Lestari Books, t.t Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
(5)
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka, 2017.
Dewan Syariah Nasional MUI dan Bank Indonesia. Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI, Cet 4, Jakarta: Gaung Persada, 2006.
Haroen, Nasrun.Fiqih Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000.
Imam kabiir Ali bin Umar ad-Daarulquthni, Sunan ad-Daaruquthni, jilid 2 (Beirut: Daar Al-Fikr. 1994
Imam Zainudin achmad bin al-Lathif az-Zabidi, Ringkasan Shahih Bukhari, Penerjemah: Achmad Zaidun, Cet.1. (Jakarta: Pustaka Amani, 2002.
Karim, Adiwarman A. Karim.Bank Islam: A nalisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: PT. Raha Grafindo Persada, 2004.
Karim, Helmi.Fikih Muamalah. Jakarta: PT, Grafindo, Persada, 1993.
Mardani. Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013.
Muhammad,Manajemen Bank Syari’ah.Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002.
Muhammad. Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah. Yogyakarta: UII press, 2000.
Munawar, Ahmad Warson.Kamus A l-Munawir A rab-Indonesia Terlengkap, edisi kedua. Surabaya: Pustaka Progresif, 2002.
Musrifah, Tinjauan Hukum Islam Tentang Dua A kad (Rahn dan Ija>rah) Dalam Satu Transaksi Di Pegadaian Syari’ah Baba’an Surabaya. Skripsi -- IAIN Sunan Ampel. Surabaya. 2006.
Remi Sjahdeini, Sutan. Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata hukum Perbankan Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafita, I, 1999.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah 12, terj. Kamaluddin A. Marzuki. Bandung: Al-Ma’arif, 1999
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah 13, terj. Kamaluddin A. Marzuki. Bandung: Al-ma’arif, 1999
Sasli, Rais. Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem Operasional (Suatu Kajian Kontemporer). Jakarta: UI-Press, 2006.
Sjahdeini, Sutan Remy. Perbankan Syariah: produk-produk dan A spek-aspek Hukumnya, Jakarta: Kencana, 2014.
(6)
Soekanto, Soerjono.Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-PRESS, 2007. Sugiyono,Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Cet. 12. Bandung:
Alfabeta. 2012.
Syafe’i, Rachmat.Fiqih Muamalah,Bandung: Pustaka Setia, 2004. Syarifudin, Amir.Garis-garis Besar Fiqh, Cet. II. Jakarta: Kencana, 2003.
Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya,
Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi.Surabaya: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya. 2016.
Zuhfi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam. Jakarta: Haji Masagung, 1992.
Zuhriah, Nurul. Metodelogi Penelitian Sosial dan Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2006.
Brosur Qardh beragun Emas, BRISyariah KC Surabaya Diponegoro http://www.brisyariah.co.id/