pancasila sebagai filsafat (2). docx

PANCASILA SEBAGAI FILSAFAT
Modul ini disusun untuk Memenuhi Tugas UAS Individu
Mata Kuliah Umum Pendidikan Pancasila
Tahun Ajaran 2014/2015

Dosen Pengampu : Dwi Afrimetty T., S.H., M.H
Disusun oleh:
Sari Handayani (4115142419)
PPKn A 2014

ILMU SOSIAL POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2015

BAB I
PENDAHULUAN
Pancasila adalah hasil penggalian pencarian jati diri bangsa Indonesia yang
ditemukan oleh Founding Fathers dan mengumandangkannya kepada seluruh
penjuru dunia, bahwa ada negara baru yang merdeka yang memiliki dasar negara
yaitu Pancasila sebagai jati diri bangsa, cita-cita bangsa dan falsafah bangsa.

Tidak semua orang banyak memahami dengan betul apa itu hakikat dari pancasila,
apa

itu

keberadaan

pancasila

(ontologi),

nilai-nilai

yang

dimilikinya

(epistemologi), manfaat-manfaat atau nilai-nilai yang dikandungnya (aksiologi),
dan lain sebagainya. Pancasila mempunyai efek yang besar terhadap kemajuan
suatu bangsa, dengan keluhuran yang dimilikinya Pancasila memiliki nilai-nilai

kebangsaan, nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai keadilan, nilai-nilai toleransi atau
keagamaan, yang hidup dan hadir di tanah Indonesia jauh sebelum Indonesia
merdeka. Pancasila menjadikan banyaknya perbedaan menjadi satu kesatuan yang
utuh, hidup berdampingan tanpa adanya peperangan di bawah Bhineka Tunggal
Ika yang terikat erat di bawah kaki Sang Garuda Indonesia yang membawa
kedamaian hingga detik ini. Pancasila layak menjadi landasan hidup, falsafah
bangsa, pandangan hidup, dan filsafat bangsa berdasarkan atas nilai-nilai yang
telah disampaikan di atas. Karena pada kenyataannya pemikiran atau falsafah
hidup seseorang sangat berdampak terhadap kehidupan maupun tingkah lakunya.
Untuk itu, Pancasila dihadirkan sebagai suatu jalan, solusi atau filsafat
untuk manusia agar manusia dapat menjalankan perannya, eksistensinya dengan
baik, dengan falsafah hidup yang baik, yang mana mengajarkan untuk memiliki
Tuhan Yang Maha Esa, melaksanakan perintah-Nya serta menjadikannya sebagai
pegangan dan pedoman dalam hidup. Pancasila menanamkan nilai-nilai di mana
sebagai manusia yang hidup di dunia dengan manusia lain, harus peduli terhadap
keadaan kehadiran manusia lain disekitarnya, baik dengan menghormati agama
yang dimilikinya, bersikap yang sesuai dengan Kemanusiaan yang adil dan
beradab. Pancasila menyatukan perbedaan dengan Persatuan Indonesia. Pancasila
mengajarkan bahwa segala permasalahan yang ada, pendapat yang berbeda bisa


diselesaikan dengan Musyawarah untuk Mufakat, dan menanamkan nilai
kepemimpinan untuk memimpin rakyat berdasarkan atas Hikmat Kebijaksanaan.
Serta Pancasila menanamkan nilai-nilai persamaan akan seluruh bangsa dengan
memberikan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Segala ketentuan
dan dasar yang benar-benar merupakan dasar atau falsafah yang akan memberikan
suatu pencapaian yang luar biasa apabila dilakukan secara sepenuhnya, dan
utamanya

seluruh

rakyat

Indonesia

melaksanakan

Pancasila

dengan


sesungguhnya. Maka falsafah bangsa yakni Pancasila akan menghantarkan
Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang sesungguhnya,
yang setiap bangsanya taat kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjadi manusia yang
bermartabat dan berbudi pekerti luhur, menerima perbedaan dan hidup dengan
baik dalam perbedaan, menjadi pemimpin yang bijaksana utamanya pemimpin
bagi diri sendiri, melaksanakan segala permasalahan dengan permusyawaratan
dan menegakkan keadilan di atas negeri bahkan dunia. Adapun nilai-nilai yang
ada dalam Pancasila adalah nilai-nilai yang universal dan internasional dan dapat
dijadikan sebagai filsafat oleh seluruh manusia di dunia yang sesuai dengan
perkembangan zaman.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat
Istilah ‘filsafat’ berasal dari bahasa Yunani, (philosophia), tersusun dari kata
philos yang berarti cinta atau philia yang berarti persahabatan, tertarik kepada dan
kata sophos yang berarti kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman
praktis, intelegensi (Bagus, 1996 : 242). Dengan demikian philophia secara
harfiah berarti mencintai kebijaksanaan. Kata kebijaksanaan juga dikenal dalam
bahasa Inggris, wisdom. Berdasarkan makna kata tersebut maka mempelajari

filsafat berarti merupakan upaya manusia untuk mencari kebijaksanaan hidup
yang nantinya bisa menjadi konsep yang bermanfaat bagi peradaban manusia.

Suatu pengetahuan bijaksana akan mengantarkan seseorang mencapai kebenaran.
Orang yang mencintai pengetahuan bijaksana adalah karakteristik dari setiap filsuf
dari

dahulu

sampai

sekarang.

Filsuf

dalam

mencari

kebijaksanaan,


mempergunakan cara dengan berpikir sedalam-dalamnya. Filsafat sebagai hasil
berpikir sedalam-dalamnya diharapkan merupakan pengetahuan yang paling
bijaksana atau setidak-tidaknya mendekati kesempurnaan.

Adapun istilah ‘philosophos’ pertama kali digunakan oleh Phythagoras (572-497
M) untuk menunjukkan dirinya sebagai pecinta kebijaksanaan (lover of wisdom),
bukan kebijaksanaan itu sendiri. Selain Pythagoras, filsuf-filsuf lain juga
memberikan pengertian filsafat yang berbeda-beda. Oleh karena itu, filsafat
mempunyai

banyak

arti,

tergantung

pada

bagaimana


filsuf-filsuf

menggunakannya. Berikut disampaikan beberapa pengertian filsafat menurut
beberapa filsuf, yaitu antara lain :

 Plato (427-347 SM ); filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada atau
ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli;
 Aristoteles (384-322 SM); filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi
kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika,
retorika, etika , ekonomi, politik, dan estetika atau filsafat menyelidiki sebab
dan asas segala benda;
 Marcus Tullius Cicero (106-43 SM); filsafat adalah pengetahuan tentang
sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha untuk mencapainya;
 Immanuel Kant (1724-1804); filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala
pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan, yaitu : “apakah
yang dapat kita ketahui? (dijawab oleh etika), sampai dimanakah pengharapan
kita? (dijawab oleh antropologi)”.

Secara umum filsafat merupakan ilmu yang berusaha menyelidiki hakikat

segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. Berdasarkan pengertian umum ini,
ciri-ciri filsafat dapat disebut sebagai usaha berpikir radikal, menyeluruh, dan
integral, atau dapat dikatakan sebagai suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu
sedalam-dalamnya.

Sejak kemunculannya di Yunani, dan menyusul perkembangan pesat ilmu
pengetahuan, kedudukan filsafat kemudian dikenal sebagai The Mother of Science
(induk ilmu pengetahuan). Sebagai induk ilmu pengetahuan, filsafat merupakan
muara bagi ilmu pengetahuan, termasuk ilmu pengetahuan yang bersifat
positivistik, seperti ilmu komunikasi dan teknologi informasi yang baru saja
muncul dalam era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) saat ini.
Demikian pula, dibandingkan dengan ilmu pengetahuan lain, filsafat merupakan
kegiatan intelektual yang metodis dan sistematis, namun lebih menekankan makna
yang hakiki dari segala sesuatu.

Dalam Kamus Filsafat, Bagus (1996: 242) mengartikan filsafat sebagai
sebuah pencarian. Beranjak dalam arti harfiah filsafat sebagai cinta akan
kebijaksanaan, menurut Bagus (1996: 242-243), arti itu menunjukkan bahwa
manusia tidak pernah secara sempurna memiliki pengertian menyeluruh tentang
segala sesuatu yang dimaksudkan kebijaksanaan, namun terus-menerus harus

mengejarnya. Berkaitan dengan apa yang dilakukannya, filsafat adalah
pengetahuan yang dimiliki rasio manusia yang menembus dasar-dasar terakhir
dari segala sesuatu. Filsafat menggumuli seluruh realitas, tetapi teristimewa
eksistensi dan tujuan manusia.

Dalam pengertiannya sebagai pengetahuan yang menembus dasar-dasar
terakhir dari segala sesuatu, filsafat memiliki empat cabang keilmuan yang utama,
yaitu :
 Metafisika; cabang filsafat yang mempelajari asal mula segala sesuatu yang
ada dan yang mungkin ada. Metafisika terdiri atas metafisika umum yang
selanjutnya disebut sebagai ontologi, yaitu ilmu yang membahas segala sesuatu
yang ada, dan metafisika khusus yang terbagi dalam teodesi yang membahas
adanya alam semesta, dan antropologi metafisik yang membahas adanya
manusia.
 Epistemologi; cabang filsafat mempelajari seluk beluk pengetahuan. Dalam
epistemologi,

terkandung

pertanyaan-pertanyaan


mendasar

tentang

pengetahuan, seperti kriteria apa yang dapat memuaskan kita untuk
mengungkapkan kebenaran, apakah sesuatu yang kita percaya dapat diketahui,
dan apa yang dimaksudkan oleh suatu pernyataan yang dianggap benar.
 Aksiologi; cabang filsafat yang menelusuri hakikat nilai. Dalam aksiologi
terdapat etika yang membahas hakikat nilai baik-buruk, dan estetika yang
membahas nilai-nilai keindahan. Dalam etika, dipelajari dasar-dasar benarsalah dan baik-buruk dengan pertimbangan-pertimbangan moral secara

fundamental dan praktis. Sedangkan dalam estetika, dipelajari kriteria-kriteria
yang mengantarkan sesuatu dapat disebut indah.
 Logika; cabang filsafat yang memuat aturan-aturan berpikir rasional. Logika
mengajarkan manusia untuk menelusuri struktur-struktur argumen yang
mengandung kebenaran atau menggali secara optimal pengetahuan manusia
berdasarkan bukti-buktinya. Bagi para filsuf, logika merupakan alat utama
yang digunakan dalam meluruskan pertimbangan-pertimbangan rasional
mereka untuk menemukan kebenaran dari problem-problem kefilsafatan.


B. PANCASILA
Lahirnya intruksi Presiden RI Nomor 12 Tahun 1968, telah menguatkan
keberadaan Pancasila yang isinya menyebutkan bahwa Pancasila yang resmi
adalah Pancasila yang tata urutan atau rumusan sila-silanya ada pada alinea ke-4
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Adapun yang dimaksud Pancasila
adalah :
1.
2.
3.
4.

Ketuhanan Yang Maha Esa;
Kemanusiaan yang adil dan beradab;
Persatuan Indonesia;
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan

perwakilan;
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Berdasarkan atas nilai-nilai luhur dalam Pancasila, maka muncullah pendidikan
Pancasila di perguruan tinggi yakni sebagai bagian dari pendidikan nasional yang
dilandasi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pancasila sebagai dasar
kerohanian dan dasar negara tercantum pada paragraf ke-4 Pembukaan UndangUndang Dasar 1945, melandasi jalannya pemerintahan negara, melandasi
hukumnya, dan melandasi setiap kegiatan operasional dalam negara termasuk
pendidikan nasional di dalamnya, serta pendidikan Pancasila dan segenap
pendidikan matakuliah lainnya. Adapun pendidikan Pancasila yang mempunyai

tujuan mempersiapkan mahasiswa calon sarjana yang berkualitas, berdedikasi
tinggi, dan bermartabat agar :
1. Menjadi pribadi yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2. Sehat jasmani dan rohani, berakhlak mulia, dan berbudi pekerti luhur;
3. Memiliki kepribadian yang mantap, mandiri, dan bertanggung jawab sesuai
hati nurani;
4. Mampu mengikuti perkembangan IPTEK dan seni;
5. Mampu ikut mewujudkan kehidupan yang cerdas dan berkesejahteraan bagi
bangsanya.

Asal mula Pancasila itu sendiri menurut Prof. Dr., Drs. Notonagoro, S.H. dalam
bukunya Pancasila Secara Ilmiah Populer (1975) menyebutkan adanya beberapa
macam asal mula atau sebab-musabab Pancasila, yang dapat dipakai sebagai
falsafah negara, yakni causa materialis, causa formalis, sebagai sambungan dari
causa formalis dan causa finalis, causa efisien atau asal mula.
 Causa Materialis
Artinya asal mula bahan, yaitu bangsa Indonesia sebagai bahan terdapat dalam
adat kebiasaan, kebudayaan, dan dalam agama-agamanya.
 Causa Formalis
Artinya asal mula bentuk atau bangun dan causa finalis atau asal mula tujuan,
yaitu Bung Karno dan Bung Hatta sebagai pembentuk negara, BPUPKI adalah
asal mula bentuk atau bangun dan asal mula tujuan Pancasila sebagai calon dasar
filsafat negara.
 Sebagai Sambungan dari Causa Formalis dan Causa Finalis
Adalah sembilan orang anggota BPUPKI termasuk Bung Karno dan Bung Hatta,
sebagai asal mula sambungan dalam asal mula bentuk maupun asal mula tujuan
Pancasila sebagai calon dasar filsafat negara. Dengan cara menyusun rencana
Pembukaan UUD 1945, yang di dalamnya terdapat Pancasila dan BPUPKI
menerima rencana tersebut dengan perubahan.

 Causa Efisien atau Asal Mula Karya
Adalah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI yang menjadikan
Pancasila sebagai dasar filsafat negara (sebelum ditetapkan PPKI, istilahnya
masih calon dasar filsafat negara).

Selanjutnya dijelaskan bahwa berdasarkan teori causa materialis dapat
digambarkan pada kenyataan, yaitu kondisi sebelum diproklamirkannya negara,
perumusan menjadi dasar kerohanian atau dasar filsafat Negara R.I. pada masa
perjuangan kemerdekaan dengan dimulainya sidang-sidang Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), melalui penyampaian
konsep dasaar negara oleh para tokoh-tokoh di antaranya Mr. Muh. Yamin, Prof.
Soepomo, dan Ir. Soekarno pada tanggal, 29 Mei, 31 Mei, dan 1 Juni 1945.

Berdasarkan teori causa formalis dan causa finalis, dapat digambarkan sebagai
kondisi yang ada pada saat perumusan rancangan mukadimah hukum dasar yang
merupakan hasil perumusan tanggal 22 Juni 1945, kemudian bisa diterima oleh
anggota BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945 saat sidang terakhir.

Untuk memenuhi teori efisiensi, dapat ditunjukkan melalui kondisi sesudah masa
proklamasi kemerdekaan R.I., yang kegiatan lembaga BPUPKI telah beralih ke
lembaga Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dengan tugas yang
berbeda, yaitu meletakkan dasar neegara, Pembukaan Undang-Undang Dasar, dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

C. Pancasila Sebagai Falsafah Hidup
Dalam kehidupan bangsa Indonesia, diakui bahwa nilai-nilai Pancasila adalah
falsafah hidup atau pandangan hidup yang berkembang dalam sosial-budaya
Indonesia. Nilai Pancasila dianggap nilai dasar dan puncak atau sari budaya
bangsa. Oleh karena itu, nilai ini diyakini sebagai jiwa dan kepribadian bangsa.
Dengan mendasarnya nilai ini dalam menjiwai dan memberikan watak
(kepribadian dan identitas), maka pengakuan atas kedudukan Pancasila sebagai
falsafah adalah wajar.

Sebagai ajaran falsafah, Pancasila mencerminkan

nilai-nilai dan pandangan

mendasar dan hakiki rakyat Indonesia dalam hubungannya dengan sumber
kemestaan, yakni Tuhan Yang Maha Pencipta Asas Ketuhanan Yang Maha Esa
sebagai asas fundamental dalam kemestaan, dijadikan pula asas fundamental
kenegaraan. Asas fundamental itu mencerminkan identitas atau kepribadian
bangsa Indonesia yang religius.

Sejak kelahirannya sebagai falsafah nasional modern (1 Juni 1945), Pancasila
telah dinyatakan milik nasional, artinya milik seluruh bangsa Indonesia. Sekali
pun telah merasa memiliki Pancasila, tetapi belum tentu secara otomatis sudah
mengamalkan Pancasila tersebut. Untuk dapat mengamalkan Pancasila, yang juga
disebut pancasilais seharusnya memenuhi tiga syarat, yaitu :
1. Keinsyafan batin tentang benarnya Pancasila sebagai falsafah negara,
2. Pengakuan bahwa yang bersangkutan menerima dan mempertahankan
Pancasila dan,
3. Mempersonifikasikan seluruh sila-sila Pancasila dalam perbuatan dengan
membiasakan praktik pengamalan seluruh sila-sila dalam sikap, perilaku
budaya dan politik.

Pancasila dapat digolongkan sebagai filsafat dalam arti produk, sebagai
pandangan hidup, dan filsafat dalam arti praktis. Hal ini berarti filsafat Pancasila
mempunyai fungsi dan peranan sebagai pedoman dan pegangan dalam sikap,
tingkah laju dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari, dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi bangsa Indonesia di mana pun
mereka berada.

Sebelum seseorang bersikap, bertingkah laku atau berbuat, terlebih dahulu ia akan
berpikir tentang sikap, tingkah laku, dan perbuatan mana yang sebaiknya
dilakukan. Hasil pemikirannya merupakan suatu putusan dan putusan ini disebut
nilai. Nilai adalah sifat, keadaan, atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Setiap orang di dalam
kehidupannya, sadar atau tidak sadar, tentu memiliki filsafat hidup atau
pandangan hidup. Pandangan hidup atau filsafat hidup seseorang adalah
kristalisasi nilai-nilai yang diyakinikebenarannya, ketepatan dan manfaatnya. Hal
itulah yang kemudian menimbulkan tekad untuk mewujudkan dalam bentuk sikap,
tingkah laku dan perbuatan.

D. Nilai-nilai Pancasila berwujud dan bersifat Filsafat
Pendekatan filsafat Pancasila adalah ilmu pengetahuan yang mendalam tentang
Pancasila. Untuk mendapatkan pengertian yang mendalam, kita harus mengetahui
sila-sila Pancasila tersebut. Dari setiap sila-sila, kita cari pula intinya. Setelah kita
ketahui hakikat dan intinya, maka selanjutnya kita cari hakikat dan pokok-pokok
yang terkandung di dalamnya, yaitu sebagai berikut :
a. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, berarti bahwa nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila itu dijadikan dasar dan pedoman dalam mengatur
sikap dan tingkah laku manusia Indonesia, dalam hubungannya dengan Tuhan,
masyarakat dan alam semesta.
b. Pancasila sebagai dasar negara ini berarti bahwa nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila itu dijadikan dasar dan pedoman dalam mengatur tata

kehidupan bernegara, seperti yang diatur oleh UUD 1945. Untuk kepentingankepentingan kegiatan praktis operasional, hal ini diatur dalam Tap. MPR No.
III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan,
yaitu sebagai berikut :
1) Undang-Undang Dasar 1945
2) Ketetapan MPR
3) Undang-Undang
4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
5) Peraturan Pemerintah
6) Keputusan Presiden
7) Peraturan Daerah
c. Filsafat Pancasila yang abstrak tercermin dalam Pembukaan UUD 1945, dan
merupakan uraian terinci dan Proklamasi 17 Agustus 1945 yang dijiwai
Pancasila.
d. Pancasila yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan suatu
kebulatan yang utuh.
e. Jiwa Pancasila yang abstrak setelah tercetus menjadi Proklamasi Kemerdekaan
17 Agustus 1945, tercermin dalam pokok-pokok yang terkandung dalam
Pembukaan UUD 1945.
f. Berdasarkan penjelasan

otentik

UUD

1945,

Undang-Undang

Dasar

menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD
1945 pada pasal-pasalnya. Hal ini berarti, pasal-pasal dalam Batang Tubuh
UUD 1945 menjelmakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam
Pembukaan UUD 1945 sebagai perwujudan dari Pancasila.
g. Berhubung dengan itu, kesatuan tafsir sila-sila Pancasila harus bersumber dan
berdasarkan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945.
h. Nilai-nilai yang hidup berkembang dalam masyarakat Indonesia dan belum
tertampung dalam pembukaan UUD 1945, perlu diselidiki untuk memperkuat
dan memperkaya nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan dan
Batang Tubuh UUD 1945, dengan ketentuan sebagai berikut.
1) Nilai-nilai yang menunjang dan memperkuat kehidupan bermasyarakat dan
bernegara dapat kita terima, asal tidak bertentangan dengan kepribadian
bangsa dan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, misalnya
referendum atau pemilihan presiden secara langsung.
2) Nilai-nilai yang melemahkan dan bertentangan dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945, tidak
dimasukkan sebagai nilai-nilai Pancasila. Bahkan harus diusahakan tidak

hidup dan berkembang lagi dalam masyarakat Indonesia, misalnya
demonstrasi dengan merusak bangunan/kantor, penjahat dihakimi massa,
atau penjarahan.
3) Nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD
1945, dipergunakan sebagai batu ujian dari nilai-nilai yang lain agar dapat
diterima sebagai nilai-nlai Pancasila.

Filsafat Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia merupakan
kenyataan objektif yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Pancasila
memberi petunjuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa
membedakan suku atau ras.

Secara filosofis, dalam kehidupan bangsa Indonesia diakui bahwa nilai Pancasila
adalah pandangan hidup. Dengan demikian, Pancasila dijadikan sebagai pedoman
dalam bertingkah laku dan berbuat dalam segala bidang kehidupan, meliputi
bidang ekonomi, politik, sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan.

Sebagai ajaran filsafat, Pancasila mencerminkam nilai dan pandangan dasar dan
hakiki rakyat Indonesia, dalam hubungannya dengan sumber kesemestaan, yakni
Tuhan Yang Maha Pencipta. Dasar normatif yang dapat kita sebut filsafat negara,
diperlukan sebagai kerangka untuk menyelenggarakan negara.
Falsafah negara merupakan norma yang paling mendasar untuk mengecek apakah
kebijakan legislatif sudah dan eksekutif sesuai dengan persetujuan dasar
masyarakat?.

E. Pengertian Pancasila Secara Filsafat
Pancasila sebagai sistem filsafat yaitu suatu konsep tentang dasar negara yang
terdiri dari lima sila sebagai unsur yang mempunyai fungsi masing-masing dan

satu tujuan yang sama untuk mengatur dan menyelenggarakan kehidupan
bernegara di Indonesia. Filsafat negara kita adalah Pancasila, yang diakui dan
diterima oleh bangsa Indonesia sebagai pandangan hidup. Dengan demikian,
Pancasila harus dijadikan pedoman dalam kelakuan dan pergaulan sehari-hari.

Sebagaimana telah dirumuskan oleh Presiden Soekarno, Pancasila pada
hakikatnya telah hidup sejak dahulu dalam moral, adat istiadat, dan kebiasaan
masyarakat Indonesia. “Dengan adanya kemerdekaan Indonesia, Pancasila
bukanlah lahir, atau baru dijelmakan, tetapi sebenarnya Pancasila itu bangkit
kembali”.

Sebagaimana pandangan hidup bangsa, maka sewajarnyalah asas-asas Pancasila
disampaikan kepada generasi baru melalui pengajaran dan pendidikan. Pancasila
menunjukkan terjadinya proses ilmu pengetahuan, validitas dan hakikat ilmu
pengetahuan (teori ilmu pengetahuan).

Pancasila menjadi daya dinamis yang meresapi seluruh tindakan kita, dan kita
harus merenungkan dan mencerna arti tiap-tiap sila dengan berpedoman pada
uraian tokoh nasional, agar kita tidak memiliki tafsiran yang bertentangan.
Dengan Pancasila sebagai filsafat negara dan bangsa Indonesia, kita dapat
mencapai tujuan bangsa dan negara kita.

Pancasila sebagai sistem filsafat memberi arah agar kesejahteraan dan
kemakmuran bertolak dari keyakinan manusia yang percaya kepada kebesaran
Tuhan, kesejahteraan yang berlandaskan paham kemanusiaan, kesejahteraan yang
memihak pada kesatuan dan persatuan serta kebersamaan sebagai suatu kesatuan
bangsa yang utuh dan bulat.

Kedudukan Pancasila sebagai sistem filsafat yang bersinggungan dengan
kenegaraan sekurang-kurangnya harus melingkupi hal-hal yang mendasar dalam
kehidupan bernegara dan bermasyarakat (Djamal, 1986 : 3-4), antara lain :

a.
b.
c.
d.

Kemampuan filsafat untuk mengatur sistem politik.
Kemampuan filsafat untuk mengatur sistem ekonomi.
Kemampuan filsafat untuk mengatur sistem sosial dan budaya bangsa.
Kemampuan dengan konsep ide-ide dan nilai-nilai yang dipedomani untuk
kebersamaan dalam kehidupan bernegara.

Fungsi Pancasila sebagai sistem filsafat dalam kehidupan bangsa dan negara
Indonesia, seperti berikut :
a. Memberikan jawaban yang mendasar tentang hakikat kehidupan bernegara.
b. Memberikan dan mencari kebenaran yang substansif tentang hakikat negara,
ide negara, dan tujuan negara.

Pancasila pada awal pertumbuhannya merupakan dasar filsafat negara, hasil
kesepakatan dan perenungan yang kemudian dihayati sebagai filsafat hidup
bangsa. Pancasila sebagai filsafat hidup merupakan seperangkat prinsip
pengarahan yang dijadikan dasar dan memberikan arah untuk dicapai dalam
mengembangkan kehidupan nasional.

Pancasila pada dasarnya merupakan sebagai ideologi bangsa dan negara, termasuk
ideologi dinamik dan atau ideologi terbuka. Dalam hal ini penting untuk
mengemukakan ciri-ciri kekhususannya, untuk membuktikan dan memantapkan
bahwa Pancasila memang sebgai ideologi dapat memenuhi tuntutan zaman serta
dapat menyesuaikan perkembangan masyarakat

Pancasila sebagai hasil perenungan yang mendalam dari para tokoh-tokoh
kenegaraan Indonesia yang semula untuk merumuskan dasar negara yang
merupakan suatu sistem filsafat, karena telah memenuhi ciri-ciri pokok filsafat.
Demikian Pancasila sebgai sistem filsafat berlandaskan pada hakikat kodrat
manusia. Walaupun semula tidak terpikirkan oleh tokoh-tokoh kenegaraan
Indonesia tentang hakikat manusia, namun karena betul-betul perenungannya
yang mendalam maka secara langsung dijiwai oleh hakikat kodrat manusia dalam
hidup bersama.

Berbicara tentang filsafat ada dua hal yang patut diperhatikan yakni filsafat
sebagai metode dan filsafat sebagai suatu pandangan. Keduanya akan berguna
bagi ideologi Pancasila. Filsafat sebagai metode menunjukkan cara berpikir dan
cara mengadakan analisis yang dapat dipertanggungjawabkan untuk dapat
menjabarkan

ideologi

Pancasila.

Sedangkan

Pancasila

sebagai

filsafat

mengandung pandangan nilai dan pemikiran yang dapat menjadi substansi dan isi
pembentukan ideologi Pancasila.

Filsafat Pancasila dapat didefinisikan secara ringkas sebagai refleksi kritis dan
rasional tentang Pancasila sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa,
dengan tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertiannya secara mendasar
dan menyeluruh. Pembahasan filsafat dapat dilakukan secara deduktif, yakni
dengan mencari hakikat Pancasila, serta menganalisis dan menyusunnya secara
sistematis menjadi keutuhan pandangan yang komprehensif.
Dapat juga dilakukan secara induktif, yakni dengan mengamati gejala-gejala
sosial budaya masyarakat, mereflesikannya, dan menarik arti dan makna yang
hakiki dari gejala-gejala itu. Dengan demikian, filsafat Pancasila dapat disajikan
sebagai bahan-bahan yang sangat penting bagi penjabaran ideologi Pancasila.

Adapun Pancasila sebagai sistem filsafat adalah suatu kesatuan yang saling
berhubungan untuk satu tujuan tertentu, yang saling berkualifikasi yang tidak
terpisahkan satu dengan yang lainnya.

Pancasila Sebagai Sistem Filsafat memiliki beberapa nilai yaitu Nilai Obyektif
dan Subyektif.
1. Rumusan dari sila-sila Pancasila menunjukkan adanya sifat-sifat yang umum,
universal dan abstrak. Karena pada hakikatnya Pancasila adalah nilai.
2. Inti nilai-nilai Pancasila berlaku tidak terikat oleh ruang.

Artiya

keberlakuannya sejak jaman dahulu, masa kini dan untuk masa yang akan
datang. Untuk bangsa Indonesia boleh jadi untuk negara lain yang secara
eksplisit tampak dalam adat istiadat, kebudayaan, tata hidup kenegaraan dan
tata hidup beragama.
3. Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 memenuhi syarat
sebagai pokok kaidah negara yang fundamental, sehingga merupakan suatu
sumber hukum positif di Indonesia. Oleh karena itu, hierarki suatu tertib
hukum di Indonesia berkedudukan sebagai tertib hukum tertinggi. Maka secara
objektif tidak dapat diubah secara hukum, sehingga melekat pada kelangsungan
hidup negara. Sebagai konsekuensinya adalah jika nilai-nilai yang terkandung
dalam Pembukaan UUD 1945 itu diubah, maka sama halnya dengan
membubarkan negara proklamasi 17 Agustus 1945.

Nilai-nilai Pancasila dalam Sistem Filsafat sebagai berikut :
1. Nilai Pancasila timbul dari bangsa Indonesia itu sendiri. Nilai-nilai yang
terdapat dalam Pancasila merupakan hasil dari pemikiran, penilaian, dan
refleksi filosofis dari bangsa Indonesia itu sendiri. Ideologi Pancasila berbeda
dengan ideologi-ideologi lainnya karena isi dari Pancasila diambil dari nilai
budaya bangsa dan religi yang telah melekat erat, sehingga jiwa Pancasila
adalah jiwa bangsa Indonesia sendiri, sedangkan ideologi lain seperti

liberalis,sosialis, komunis dan lain sebagainya merupakan hasil dari pemikiran
filsafat orang.
2. Nilai Pancasila merupakan Filsafat Bangsa Indonesia. Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa Indonesia menjadi pedoman bangsa untuk mengatur
aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, sekaligus menjadi cermin jati diri
bangsa yang diyakini sebgai sumber nilai atas kebenaran, keadilan, kebaikan,
dan kebijaksanaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3. Pancasila merupakan nilai-nilaiyang sesuai dengan hati nurani bangsa
Indonesia, karena bersumber dari kepribadian bangsa. Sehingga dalam
perjalanannya akan selaras dengan nilai-nilai Pancasila.

Ideologi Pancasila adalah keseluruhan prinsip normatif yang berlaku bagi
negara Republik Indonesia dan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Namun,
filsafat Pancasila akan mengungkapkan konsep-konsep kebenaran yang bukan
saja ditujukan pada bangsa Indonesia, melainkan bagi manusia pada umumnya.
Manusia adalah makhluk yang khas, yaitu dilengkapi rasio dan kehendak bebas,
maka etika atau filsafat moral merupakan bagian yang penting. Di sini dibahas arti
dari kesusilaan, ukuran kesusilaan, prinsip-prinsip susila, baik dalam kehidupan
pribadi, maupun dalam kehidupan sosial. Wawasan filsafat meliputi bidangbidang penyelidikan ontologi, epistimologi dan aksiologi. Ketiga bidang ini
dianggap mencakup kesemestaan.
1. Aspek Ontologi
Ontologi menurut Runes ialah teori tentang keberadaan ada atau eksistensi.
Menurut Aristoteles, ontologi adalah ilmu yang menyelidiki hakikat sesuatu dan
disamakan artinya dengan metafisika.

Pada awal pemikiran manusia, mereka berusaha mengerti hakikat sesuatu yang
ada disekitarnya, yaitu alam dan kehidupan. Apakah realitas yang tampak ini
merupakan suatu realitas sebagai wujudnya, yakni benda (materi)? Apakah ada
suatu rahasia di balik realitas itu, sebagaimana yang tampak pada makhluk hidup,

seperti tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia?Apakah sesungguhnya alam
semesta, binatang-binatang, matahari, dan bulan yang beredar, menjadikan siang
dan malam, bergerak (beredar) terus-menerus? Itu semua adalah contoh-contoh
masalahyang ada pada awal pemikiran manusia.

Bidang ontologi ini meliputi penyelidikan tentang makna keberadaan (ada,
eksistensi) manusia, benda, ada alam semesta (kosmologi), juga ada mutlak yang
tidak terbatas sebagai maha sumber ada semesta. Artinya, ontologi merupakan
adanaya Tuhan dan alam gaib, seperti rohani dan kehidupan sesudah kematian
(alam di balik dunia, alam metafisika). Jadi, ontologi adalah bidang yang
menyelidiki makna yang ada (eksistensi dan keberadaan), sumber ada, jenis ada
dan hakikat ada, termasuk ada alam, manusia, metafisika, dan kesemestaan atau
kosmologi.

Dalam kehidupan bernegara, nilai dasar Pancasila harus tampak dalam produk
peraturan perundangan yang berlaku, dengan kata lain peraturan perundangan
harus dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila, sehingga tidak boleh bertentangan dengan
nilai-nilai Pancasila.
Dasar-dasar ontologi Pancasila menunjukkan secara jelas bahwa Pancasila itu
benar-benar ada dalam realitas dengan identitas dan entitas yang jelas. Melalui
tinjauan filsafat, dasar ontologis Pancasila mengungkap status istilah yang
digunakan, isi dan susunan sila-sila, tata hubungan, serta kedudukannya. Dengan
kata lain, pengungkapan secara ontologis itu dapat memperjelas identitas dan
entitas Pancasila secara filosofis.

Kaelan (2002:69) menjelaskan dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah
manusia yang memiliki hakikat mutlak mono-pluralis. Manusia Indonesia
menjadi dasar adanya Pancasila. Manusia Indonesia sebagai pendukung pokok
sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas

susunan kodrat raga dan jiwa, jasmani dan rohani, sifat kodrat manusia sebagai
makhluk individu dan sosial, serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk
pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa (Kaelan,
2002:72).

Ciri-ciri dasar dalam setiap sila Pancasila mencerminkan sifat-sifat dasar manusia
yang bersifat dwi-tunggal. Ada hubungan yang bersifat dependen antara Pancasila
dengan manusia Indonesia. Artinya eksistensi, sifat dan kualitas Pancasila amat
bergantung pada manusia Indonesia. Selain ditemukan adanya manusia Indonesia
sebagai pendukung pokok Pancasila, secara ontologis, realitas yang menjadikan
sifat-sifat melekat dan dimiliki Pancasila dapat diungkap sehingga identitas dan
entitas Pancasila itu menjadi sangat jelas.

Soekarno menggunakan istilah Pancasila untuk memberi lima dasar negara yang
diajukan. Dua orang sebelumnya Soepomo dan Muhammad Yamin meskipun
menyampaikan konsep dasar negara masing-masing, tetapi tidak sampai
memberika nama. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang di dalamnya duduk Soekarno sebagai
anggota, menggunakan istilah Pancasila yang diperkenankan Soekarno menjadi
nama resmi Dasar Negara Indonesia yang isinya terdiri dari lima sila, tidak seperti
yang diusulkan melainkan seperti rumusan PPKI yang tercermin dalam
Pembukaan UUD 1945 alinea keempat.

Berhubung pengertian Pancasila merupakan kesatuan, menurut Notonagoro
(1983: 32), maka lebih seyogyanya dan tepat untuk menulis istilah Pancasila tidak
sebagai dua kata “Panca Sila”, akan tetapi sebagai satu kata “Pancasila”.
Penulisan Pancasila bukan dua kata melainkan satu kata juga mencerminkan
bahwa Pancasila adalah sebuah sistem bukan dua buah sistem.

Nama Pancasila yang menjadi identitas lima dasar negara Indonesia adalah bukan
istilah yang diperkenalkan Soekarno tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang
BPUPKI, bukan Pancasila yang ada dalam kitan Sutasoma, bukan yang ada dalam
Piagam Jakarta, melainkan yang ada dalam alinea keempat Pembukaan UUD
1945.

Jika ditinjau menurut sejarah asal-usul pembentukannya, Pancasila memenuhi
syarat

sebagai dasar filsafat negara. Ada empat macam sebab (causa) yang

menurut Notonagoro dapat digunakan untuk menetapkan Pancasila sebagai Dasar
Filsafat Negara, yaitu sebab berupa materi (causa material), sebab berupa bentuk
(causa formalis), sebab berupa tujuan (causa finalis), dan sebab berupa asal mula
karya (causa eficient) (Notonagoro, 1983:25). Lebih jauh Notonagoro
menjelaskan keempat causa itu seperti beriktu. Pertama, bangsa Indonesia sebgai
asal mula bahan (causa meterialis) taerdapat dalam adat kebiasaan, kebudayaan
dan dalam agama-agamanya; kedua, seorang anggota Badan Penyelidik Usahausaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yaitu Bung Karno yang
kemudian bersama-sama Bung Hatta menjadi Pembentuk Negara, sebagai asal
mula bentuk dan bangun (causa formalis) dan asal mula tujuan (causa finalis) dari
Pancasila sebagai calon dasar filsafat Negara; ketiga, sejumlah sembilan orang,
diantaranya kedua beliau tersebut ditambah dengan semua anggota BPUPKI yang
terdiri atas golongan-golongan kebangsaan dan agama, dengan menyusun rencana
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tempat terdapatnya Pancasila, dan Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang menerima
rencana tersebut dengan perubahan sebagai asal mula sambungan, baik dalam arti
asal mula bentuk maupun dalam arti asal mula tujuan dari Pancasila sebagai Calon
Dasar Filsafat Negara; keempat, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indoneisa
sebagai asal mula karya (causa eficient), yaitu yang menjadikan Pancasila sebagai
Dasar Filsafat Negara yang sebelumnya ditetapkan sebagai calon Dasar Filsafat
Negara (Notonagoro, 1983; 25-26).

2. Aspek Epistemologi
Menurut Runes Epistemologi adalah bidang atau cabang filsafat yang
menyelidiki asal, syarat, susunan, metode dan validitas ilmu pengetahuan.
Pengetahuan manusia sebagai hasil pengalaman dan pemikiran, akam membentuk
budaya.

Bagaimana

proses

terjadinya

pengetahuan

sampai

membentuk

kebudayaan, sebagai wujud keutamaan (superioritas) manusia untuk disadari lebih
dalam. Bagaimana manusia mengetahui bahwa ia tahu, atau bagaimna manusia
mengetahui bahwa sesuatu itu ilmu pengetahuan, hal ini menjadi penyelidikan
epistemologi.

Epistemologi meneliti sumber pengetahuan, proses dan syarat terjadinya
pengetahuan, batas dan validitas ilmu pengetahuan. Jadi, epistemologi dapat
disebut ilmu tentang ilmu, atau teori terjadinya ilmu atau science of science, atau
wissenschaftslehre. Pengetahuan yang termasuk cabang epistemologi adalah
matematika, logika, gramatika, dan semantika (Lab. Pancasila IKIP Malang, 1990.
18-19).

Jadi, bidang epistemologi adalah filsafat yang menyelidiki makna dan nilai ilmu
pengetahuan, sumbernya, syarat-syarat dan proses terjadinya ilmu, termasuk
semantik, logika, matematika, dan teori ilmu.

Epistemologi Pancasila terkait dengan sumber dasar pengetahuan Pancasila
Eksistensi Pancasila dibangun sebagai abstraksi dan penyederhanaan terhadap
realitas yang ada dalam masyarakat bangsa Indoensia dengan lingkungan yang
heterogen, multikultur, multietnik dengan cara menggali nilai-nilai yang memiliki
kemiripan dan kesamaan untuk memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat
bangsa Indonesia (Salam, 1998:29).

Masalah-masalah yang dihadapi menyangkut keinginan untuk mendapatkan
pendidikan, kesejahteraan, perdamaian, dan ketentraman. Pancasila itu lahir
sebagai respon atau jawaban atas keadaan yang terjadi dan dialami masyarakat
bangsa Indonesia dan sekaligus merupakan harapan.
Diharapkan Pancasila menjadi cara yang efektif dalam memecahkan kesulitan
hidup yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia.

Pancasila memiliki kebenaran korespondensi dari aspek epistemologis sejauh silasila itu secara praktis didukung oleh realita yang dialami dan dipraktekkan oleh
manusia Indonesia. Pengetahuan Pancasila bersumber pada manusia Indonesia
dan lingkungannya. Pancasila dibangun dan berakar pada manusia Indonesia
beserta seluaruh suasana kebatinan yang dimiliki.

Kaelan (2002: 96) mengemukakan bahwa Pancasila merupakan pedoman dan
dasar bagi bangsa Indonesia dalam memandang realitas alam semesta, manusia,
masyarakat, bangsa dan negara tentang makna hidup serta sebagai dasar bagi
manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam hidup dan
kehidupan.

Dasar epistemologis Pancasila juga berkait erat dengan dasar ontologis Pancasila
karena pengetahuan Pancasila berpijak ada hakikat manusia yang menjadi
pendukung pokok Pancasila (Kaelan, 2002: 97). Secara lebih khusus, pengetahuan
tentang Pancasila yang sila-sila di dalamnya merupakan abstraksi atas kesamaan
nilai-nilai yang ada dan dimiliki oleh masyarakat yang pluralistik dan heterogen
adalah epistemologi sosial.

Epistemologi sosial Pancasila juga dicirikan dengan adanya upaya masyarakat
bangsa Indonesia yang berkeinginan untuk membebaskan diri menjadi bangsa
merdeka, bersatu, berdaulat, dan berketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan
yang

adil

dipimpin

oleh

hikmat

kebijaksanaan

dalam

permusyawaratan/perwakilan, serta ingin mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.

Sumber pengetahuan Pancasila dapat ditelusuri melalui sejarah terbentuknya
Pancasila. Dalam penelusuran sejarah mengenai kebudayaan yang berkait dengan
lahirnya Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, telah diuraikan di
depan yang secara garis besar dapat dikemukakan sebagai berikut. Akar sila-sila
Pancasila ada dan berpijak pada nilai serta budaya masyarakat bangsa Indonesia.

Nilai serta budaya masyarakat bangsa Indonesia yang dapat diungkap mulai awal
sejarah pada abad IV Masehi di samping diambil dari nilai asli bangsa Indonesia
juga diperkaya dengan dimasukkannya nilai dan budaya dari luar Indonesia. Nilainilai yang dimaksud berasal dari agama Hindu, Budha, Islam, serta nilai-nilai
demokrasi yang dibawa dari Barat. Berdasarkan realitas yang demikian, maka
dapat dikatakan babhwa secara epistemologis pengetahuan Pancasila bersumber
pada nilai dan budaya tradisional dan modern, budaya asli dan campuran.

Selain itu, sumber historis itu, menurut tinjauan epistemologis, Pancasila
mengakui kebenaran pengetahuan yang bersumber dari wahyu atau agama serta
kebenaran yang bersumber pada akal pikiran manusia serta

kebenaran yang

bersifat empiris berdasarkan pada pengalaman. Dengan sifatnya yang demikian,
maka pengetahuan Pancasila mencerminkan adanya pemikiran masyarakat
tradisional dan modern.

3. Aspek Aksiologi
Aksiologi menurut Runes berasal dari istilah Yunani, yaitu axios yang berarti
nilai, manfaat, pikiran atau ilmu/teori. Dalam pengetahuan yang modern, aksiologi
disamakan dengan teori nilai, yakni sesuatu yang diinginkan, disukai atau yang
baik, bidang yang menyelidiki hakikat nilai, kriteria, dan kedudukan metafisika
suatu nilai.

Menurut Prof. Brameld, aksiologi dapat disimpulkan sebagai suatu cabang
filsafat yang menyelidiki :
a. tingkah laku moral yang berwujud etika,
b. ekspresi etika yang berwujud estetika atau seni dan keindahan, serta
c. sosio-politik yang berwujud ideologi.

Bidang aksiologi ialah cabang filsafat yang menyelidiki makna nilai, sumber
nilai, jenis dan tingkatan nilai, serta hakikat nilai. Sebagaimana dihayati manusia,
kehidupan manusia selalu berada dan dipengaruhi nilai, seperti nilai alamiah dan
jasmaniah (tanah subur, udara bersih, air bersih, cahaya, dan panas matahari,
tumbuh-tumbuhan dan hewan) demi kehidupan. Kemudian ada pula nilai
psikologis, seperti berpikir, rasa, karsa, cinta, estetika, etika, logika, dan cita-cita.
Bahkan ada pula nilai ketuhanan dan agama.

Kehidupan manusia sebagai makhluk subjek budaya, pencipta, dan penegak nilai,
berarti manusia secara sadar mencari, memilih dan melaksanakan (menikmati)
nilai. Jadi, nilai merupakan fungsi rohani jasmani manusia. Artinya nilai di dalam
kepribadian manusia. Bahkan, nilai di dalam kepribadian, seperti pandangan
hidup, keyakinan (agama), dan bagaimana manusia mengamalkannya (sama
dengan moral) merupakan kualitas kepribadian. Martabat manusia ditentukan oleh
keyakinannya dan amal kebajikannya. (1990: 19-20).

Dengan demikian, aksiologi merupakan bidang yang menyelidiki makna nilai,
sumber nilai, jenis nilai, tingkatan nilai, dan hakikat nilai, termasuk estetika, etika,
ketuhanan, dan agama.

Aksiologi terkait erat dengan penelaahan atas nilai. Dari aspek aksiologi,
Pancasila tidak bisa dilepaskan dari manusia Indonesia sebagai latar belakang,
karena Pancasila bukan nilai yang ada dengan sendirinya (given value) melainkan
nilai yang diciptakan (created value) oleh manusia Indonesia. Nilai-nilai dalam
Pancasila hanya bisa dimengerti dengan mengenal manusia Indonesia dan latar
belakangnya.

Nilai berhubungan dengan kajian mengenai apa yang secara intrinsik, yaitu
bernilai dalam dirinya sendiri dan ekstrinsik atau disebut instrumental, yaitu
bernilai sejauh dikaitkan dengan cara mencapai tujuan. Pada aliran hedonisme
yang menjadi nilai intrinsik adalah kesenangan, pada utilitarianisme adalah nilai
manfaat bagi kebanyakan orang (Smart J.J., Bernard Williams, 1973:71).

Pancasila mengandung nilai, baik intrinsik maupun ekstrinsik atau instrumental.
Nilai intrinsik Pancasila adalah hasil perpaduan antara nilai asli milik bangsa
Indonesia dan nilai yang diambil dari budaya luar Indonesia, baik yang diserap
pada saat Indonesia memasuki masa sejarah abad IV Masehi, masa imperialis,
maupun yang diambil oleh para kaum cendekiawan Soekarno, Muhammad Hatta,
Ki Hajar Dewantara, dan para pejuang kemerdekaan lainnya yang mengambil
nilai-nilai modern saat belajar ke negara Belanda.

Kekhasan nilai yang melekat dalam Pancasila sebagai nilai intrinsik terletak pada
diakuinya nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan

sosial sebagai satu kesatuan. Kekhasan ini yang membedakan Indonesia dari
negara lain. Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan
keadilan memiliki sifat umum universal. Karena sifatnya yang universal, maka
nilai-nilai itu tidak hanya milik manusia Indonesia, melainkan manusia seluruh
dunia.

Pancasila sebagai nilai instrumental mengandung imperatif dan menjadi arah
bahwa dalam proses mewujudkan cita-cita negara bangsa, seharusnya
menyesuaikan dengan sifat-sifat yang ada dalam nilai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Sebagai nilai instrumental, Pancasila
tidak hanya mencerminkan identitas manusia Indonesia, melainkan juga berfungsi
sebagai cara (mean) dalam mencapai tujuan, bahwa dalam mewujudkan cita-cita
negara

bangsa,

Indonesia

menggunakan

cara-cara

yang

berketuhanan,

berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan, berkerakyatan yang
menghargai musyawarah dalam mencapai mufakat, dan berkeadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.

Pancasila juga mencerminkan nilai realitas dan identitas. Pancasila mencerminkan
nilai realitas, karena di dalam sila-sila Pancasila berisi nilai yang sudah
dipraktekkan dalam hidup sehari-hari oleh bangsa Indonesia. Di samping
mengandung nilai realitas, sila-sila Pancasila berisi nilai-nilai identitas, yaitu nilai
yang diinginkan untuk dicapai.

Menurut Kaelan (2002: 128), nilai-nilai yang terkandung dalam sila I sampai
dengan sila V Pancasila merupakan cita-cita, harapan, dambaan bangsa Indonesia
yang akan diwujudkan dalam kehidupannya. Namun, Pancasila pada tahun 1945
secara formal menjadi das Sollen bangsa Indonesia, sebenarnya diangkat dari
kenyataan riil yang berupa prinsip-orinsip dasar yang terkandung dalam adatistiadat, kebudayaan dan kehidupan keagamaan atau kepercayaan bangsa

Indonesia. Oleh karena itu, sebagaimana dikutip oleh Kaelan (2002:129),
Driyarkara menyatakan bahwa bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan Sein
im Sollen. Pancasila merupakan harapan, cita-cita, tapi sekaligus adalah kenyataan
bagi bangsa Indonesia.

Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mempunyai tingkatan dan bobot
yang berbeda. Meskipun demikian, nilai-nilai itu tidak saling bertentangan,
bahkan saling melengkapi. Hal ini disebabkan sebagai suatu substansi, Pancasila
merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh, atau kesatuan organik (organic
whole). Dengan demikian berarti nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh pula. Nilai-nilai itu saling
berhubungan secara erat dan nilai-nilai yang satu tidak dapat dipisahkan dari nilai
yang lain. Atau nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia itu akan memberikan
pola (patroon) bagi sikap, tingkah laku dan perbuatan bangsa Indonesia (Kaelan,
2002:129).

Notonagoro (1983 :39) menyatakan bahwa isi arti dari Pancasila yang abstrak itu
hanya terdapat atau lebih tepat dimaksudkan hanya terdapat dalam pikiran atau
angan-angan, justru karena Pancasila itu merupakan cita-cita bangsa, yang
menjadi dasar falsafah atau dasar kerohanian negara. Tidak berarti hanya tinggal
di dalam pikiran atau angan-angan saja, tetapi ada hubungannya dengan hal-hal
yang sungguh-sungguh ada. Adanya Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil adalah
tidak bisa dibantah.

F. Nilai-Nilai Pancasila sebagai Dasar dan Arah Keseimbangan Antara Hak
dan Kewajiban Asasi Manusia
Pandangan mngenai hubungan antara manusia dalam masyarakat, merupakan
falsafah kehidupan masyarakata yang memberi corak dan warna bagi kehidupan
masyarakat. Ada beberapa pandangan pokok mengenai hubungan manusia dalam

masyarakatnya, ada yang memberi arti yang sangat kuat kepada manusia sebagai
pribadi. Pandangan ini memberi bobot yang berlebihan. Dalam kehidupan
manusia terjadi persaingan bebas yang tidak jarang terjadi penindasan terhadap
kaum yang lemah, akhirnya membawa kecenderungan hanya yang kuat sajalah
yang dapat hidup. Masyarakat yang demikian menimbulkan kepincangan, karena
tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab serta asas
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Selain dari pandangan di atas, ada lagi pandangan lain mengenai hubungan
manusia dengan masyarakat yang memberi bobot yang berlebihan terhadap
masyarakat,

sehingga

kedudukan

manusia

kehilangan

kepribadiannya.

Masyarakatlah yang dianggap segala-galanya, sehingga pribadi-pribadi dianggap
seolah-olah sebuah mesin raksasa masyarakat. Dalam masyarakat yang demikian,
terasa adanya tekanan batin, sehingga kebahagiaan yang utuh tidak terpenuhi.

Berdasarkan kedua pandangan di atas, bagaimanakah menurut Pancasila arti dan
hubungan antara manusia dengan masyarakatnaya? Pancasila tidak memilih salah
satu dari pandangan tersebut dan juga tidak menggabungkannya. Individualisme
dan liberalisme maupun komunisme dalam segala bentuknya, tidak sesuai dengan
Pancasila. Pancasila memandang, bahwa kebahagiaan manusia akan tercapai jika
dikembangkan hubungan yang serasi antara manusia dengan masyarakat serta
hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Apabila memahami nila-nilai dari sila-sila Pancasila akan terkandung beberapa
hubungan manusia yang melahirkan keseimbangan antara hak dan kewajiban
anatara hubungan tersebut, yaitu sebagai berikut.
1. Hubungan vertikal

Hubungan vertikal adalah hubungan mnusia dengan Tuhan Yang Maha Kuasa,
sebagai penjelmaan dari nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam hubunga
ini, manusia memiliki kewajiban-kewajiban untuk melaksanakan perintah Tuhan
dan menghentikan segala larangan-Nya. Sedangkan hak yang diterima oleh
manusia dari Tuhan Yang Maha Kuasa, adalah rahmat tidak terhingga yang
diberikan dan pembalasan amal baik di akhirat nanti.
2. Hubungan horizontal
Hubungan horizontal adalah hubungan manusia dengan sesamanya, baik dalam
fungsinya sebagai warga masyarakat, warga bebas, dan warga negara. Hubungan
tersebut melahirkan hak-dan kewajiban yang seimbang, seperti pajak yang dibayar
kepada negara sebagai suatu kewajiban warga negara, sedangkan hak yang
diterima warga negara adalah pembangunan infrastruktur (jalan raya, pengairan,
dan lain-lain) sebagai kewajiban negara terhadap rakyatnya.

3. Hubungan alamiah
Hubungan alamiah adalah hubungan manusia dengan alam sekitar yang meliputi
hewan, tumbuh-tumbuhan, dan alam dengan segala kekayaannya. Seluruh alam
dengan segala isinya adalah untuk kebutuhan manusia, namun manusia
berkewajiban melestarikan alam dan kekayaannya, karena alam mengalami
penyusutan yang nilai-nilainya makin lama semakin berkurang, sedangkan
manusia yang membutuhkannya makin lama makin bertambah. Oleh karena itu,
memelihara kelestarian alam merupakan kewajiban manusia sedangkan hak yang
diterima oleh manusia dari alam sudah tidak terhingga banyaknya. Dengan
demikian, hubungan manusia dengan alam memiliki keeseimbangan antara hak
dan kewajiban sebgaimana hubungan manusia dengan masyarakat dan Tuhan
Yang Maha Kuasa.
Pancasila adalah suatu pandangan hidup atau ideologi yang mengatur hubungan
manusia dengan Tuhan, antar manusia dengan masyarakat atau bangsanya, dan
manusia dengan alam lingkungannya. Alasan yang prinsipil mengenai Pancasila

sebagai pandangan hidup dengan fungsinya tersebut di atas, adalah sebagai
b