Dari Slilit Sampai Analogi Pengelolaan H

Dari Slilit Sampai Analogi Pengelolaan Hasil Bumi
news.unair.ac.id/2016/07/09/slilit-sampai-analogi-pengelolaan-hasil-bumi/

Rio F. Rachman

7/9/2016

Emha Ainun Nadjib adalah budayawan multi talenta. Pria kelahiran Jombang yang akrab disapa Cak Nun ini lihai
membuat cerpen, puisi, esai, naskah teater, dan kerap menggubah lirik lagu. Bersama grup musik Kiai Kanjeng,
Cak Nun melanglang buana di penjuru dunia. Menyuguhkan musik memikat yang diracik dengan sholawat. Tak
hanya itu, diskusi Maiyah yang turut digagasnya sejak lebih dari sedekade silam terus mengalami perkembangan.
Maiyah adalah sebuah aktifitas sarasehan yang digelar di sejumlah kota. Kegiatan ini memungkinkan semua
hadirin melontarkan pendapat tentang persoalan bangsa. Baik di level mikro maupun makro. Untuk kemudian,
dipikirkan bersama solusinya. Atau paling tidak, dirumuskan bagaimana seharusnya masyarakat menyikapi
keadaan negeri yang dengan kondusifitas fluktuatif.
Di Surabaya, Maiyah dikenal dengan sebutan Bang-Bang Wetan. Di Jombang disebut Padhang Mbulan, di Jakarta
dikenal dengan Kenduri Cinta, di Yogyakarta bernama Mocopat Syafaat, di Malang ada Obor Ilahi, dan ragam
sebutan di kota-kota lain berdasar kearifan lokal masing-masing.
Adapun Slilit Sang Kiai adalah salah satu bukti kepiawaian Cak Nun berbahasa tulis. Pada kata pengantar,
dituturkan bahwa Slilit Sang Kiai merupakan kumpulan kolom. Ini bukan karya yang dimaksudkan menjadi sebuah
buku yang utuh. Tak heran, tema yang dibahas beraneka rupa dan terkesan melompat-lompat.

Secara umum, topik buku yang pertama kali terbit pada 1991 ini berkutat soal problem yang membelit Indonesia
dan alternatif cara mengatasinya. Terdapat banyak retorika dan pengandaian. Tak ayal, dalam beberapa artikel,
pembaca mesti melakukan kontemplasi untuk memahaminya.
Artikel pembuka berjudul sama dengan buku ini: Slilit Sang Kiai. Berkisah tentang kerisauan seorang Kiai. Pemuka
agama itu secara tidak sengaja mencomot potongan kecil kayu di pagar orang.

1/3

Kayu kecil seukuran tusuk gigi itu digunakannya untuk membersihkan slilit yang ada di sela-sela gigi seusai
memimpin dan makan di acara kenduri salah satu warga.
Aku tak sempat minta maaf kepada yang empunya perihal tindakan mencuri itu. Apakah Allah akan
mengampuniku? (hal. 18).
Kutipan tersebut dihaturkan pemuka agama yang baru meninggal dalam mimpi para santri. Cerita itu memberi
pelajaran dan bahan renungan bagi murid-murid. Mereka membayangkan, betapa tambah sedihnya sang Kiai bila
kayu yang dicuri sebesar batang gelondongan di hutan Kalimantan.
Apa yang disampaikan dalam artikel tersebut menyentuh aspek spiritual yang sifatnya ketuhanan. Poin serupa
tampak pada banyak tulisan lain. Misalnya, dalam Berniaga dengan dan dalam Allah (hal. 21), Allah Maha Menepati
Janji (hal. 148), Bumi Tuhan (hal. 303), dan lain sebagainya.
BACA JUGA: Belajar Bijak dari Karya Cak Nun
Tak hanya soal spiritual ketuhanan yang bisa dibilang berada pada ranah hablumminallah (hubungan manusia

dengan Allah atau Tuhan). Pandangan Cak Nun di ranah hablumminannas (hubungan manusia dengan manusia)
juga terlihat dalam sejumlah artikel. Misalnya, yang tertuang di Watak Dialog (hal. 47).
Di artikel tersebut, Cak Nun mengutip garis besar pemikiran buku berjudul Dialog Sunnah Syiah. Lelaki yang lahir
pada 27 Mei 1953 tersebut menyampaikan, terdapat makna yang dapat dipetik dari dialog antara ulama Syiah AsSayyid Syarafuddin Al-Musawi Al-‘Amili dan ulama jumhur Syaikh Bisri Al Maliki. Betapa perbincangan mereka tidak
didasari dengan upaya gesekan dan usaha menjatuhkan lawan berbicara.
Sebaliknya, yang ada adalah semangat mencari kebenaran, kesiapan untuk menyaksikan kekeliruan diri, rileksitas
untuk menerima perbedaan, serta keikhlasan menginsyafi kekurangan pribadi. Faktor-faktor positif semacam itu
seperti menguap dalam fenomena masa kini. Di mana perdebatan hanya menjadi konstelasi saling hujat dan
menghina satu sama lain. Perbedaan bukan diposisikan sebagai anugerah, melainkan didaulat sebagai jurang
pemisah.
Sementara itu, salah satu dari 69 kolom di buku ini mencerminkan kondisi pengelolaan hasil bumi di Indonesia.
Kebetulan, saat ini sedang gonjang-ganjing isu freeport, salah satu perusahaan Amerika Serikat yang aktif
mengeruk hasil bumi di Papua.
Dalam artikel berjudul Tamu Entah Siapa (hal. 97), Cak Nun membuat fragmen singkat. Dikemukakan, ada seorang
tamu yang digdaya, meminta izin pada tuan rumah, untuk menggali tanah di bawah rumahnya.
Di bawah tanah rumahmu ini terdapat barang yang amat berharga. Tetapi, karena kau tak mampu dan tak punya
biaya untuk menggalinya sendiri, sebaiknya akulah yang mengerjakannya (hal. 97).
Dijelaskan, si tuan rumah, sempat diingatkan oleh salah satu anggota keluarganya tentang risiko jangka panjang.
Namun, dia mengabaikan saran tersebut. Hingga pada suatu waktu, seseorang menyindirnya:
Engkau tertidur dalam bangunanmu, engkau membangun dunia yang akan menjadi semu dalam kurun waktu (hal.

99).
Apa yang disampaikan dalam artikel itu mengesankan, dalam melakukan pengelolaan hasil bumi di Indonesia,
terdapat banyak aspek yang mesti diperhatikan. Termasuk, soal masa depan bangsa dan kondisi multi sektor lain di
masa datang yang harus dipertimbangkan.
Buku
Judul: Slilit Sang Kiai

2/3

Penulis: Emha Ainun Nadjib
Penerbit: Mizan Pustaka
Tahun: Edisi baru, 2015
Tebal: 312 halaman
Post Views: 23

3/3