PPD 06 PPD 06 | Berbagi itu Indah

BAB VI
KECERDASAN EMOSIONAL

TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa mampu:
1. membuat definisi inteligensi emosional;
2. membandingkan peran inteligensi rasional dan inteligensi emosional ;
3. menunjukkan perilaku-perilaku sebagai cerminan inteligensi emosional ;
4. menyebutkan fungsi inteligensi emosional dalam berbagai bidang ;
5. menyebutkan upaya pendidik dalam mengembangkan inteligensi emosional

PEMBAHASAN
Pembahasan mengenai inteligensi emosional akan diawali dengan
pembahasan kembali mengenai inteligensi pada umumnya. Pembahasan ini penting
terkait dengan peran dan fungsi kemampuan berpikir rasional dan kemampuan
berpikir emosional yang dikendalikan susunan syaraf otak manusia. Selanjutnya
baru diuraikan secara lebih khusus hal-hal yang berkaitan dengan inteligensi
emosional. Hal-hal khusus dimaksud termasuk di dalamnya hakekat inteligensi
emosional, aspek-aspek inteligensi emosional, pentingnya inteligensi emosional
dalam pendidikan, dan apa yang harus diperhatikan pendidik dalam pengembangan
inteligensi emosional.


139

A.

Kedudukan Kecerdasan Emosional
Pada waktu lalu, orang mengartikan inteligensi sebagai kemampuan

memecahkan masalah dan bersifat umum. Inteligensi dapat diukur dan biasanya
dinyatakan dalam angka (quotient). Oleh karena itu banyak orang menyebut tes
inteligensi sebagai tes IQ–suatu cara penyebutan yang tidak tepat. Sejak tahun 80an, pandangan mengenai inteligensi ini ada pergeseran dari “sesuatu” yang bersifat
tunggal menjadi “sesuatu” yang bersifat majemuk. Gardner (1991) atas dasar
penelitian-penelitiannya yang dipengaruhi oleh studi neurofisiologi dan antropologi
mengemukakan hakekat inteligensi sebagai kemampuan yang bersifat majemuk.
Temuan-temuan Gardner

menghantarkan pada pendefinisian inteligensi

sebagai “kemampuan untuk memecahkan masalah atau untuk menciptakan produk
yang berguna dalam satu seting budaya atau lebih”. Definisi tersebut direvisi lagi

menjadi “potensi biopsikologis untuk memproses informasi yang dapat digiatkan
dalam suatu seting budaya untuk memecahkan masalah atau untuk menciptakan
produk yang berguna dalam suatu budaya”. Atas dasar temuan-temuan awalnya,
Gardner memilah inteligensi menjadi tujuh yaitu verbal-linguistic; logical-mathematical; spatial; bodily-kinesthetic; musical; interpersonal; dan intrapersonal.
Pada tahun 1999, Gardner mengemukakan beberapa kategori inteligensi
lainnya yaitu naturalistic intelligence, spiritual intelligence, dan existential
intelligence. Bagaimanakah menggambarkan inteligensi manusia? Inteligensi
digambarkan

dalam

bentuk

profil

dimana

setiap

orang


akan

memiliki

kecenderungan kuat dalam satu inteligensi atau lebih.
Dalam

kaitan

dengan

pendidikan,

pandangan

Gardner

dapat


disarikan sebagai berikut: (1) pendidik mampu dalam bidang bahasa, berbicara
secara efektif, dan menulis secara terampil; (2) pendidik menampilkan keterampilan
interpersonal secara kuat, mereka memahami aspirasi dan ketakutan orang lain; (3)

140

pendidik berkemampuan intrapersonal yang baik, menyadari kelebihan, kelemahan,
dan tujuan sendiri; dan (4) pendidik yang efektif tahu akan keberadaannya,
membantu orang lain memahami situasi hidup, mengklarifikasi setiap tujuan, dan
merasa berarti dalam setiap kehidupan manusia.
Di samping itu, seorang pendidik juga harus memiliki karakteristik kreatif,
kepemimpinan, bermoral, dan arif. Walaupun sebenarnya inteligensi itu tidak
berurusan dengan hal moral dan tak bermoral, tetapi ada semacam konsensus
dimana individu-individu menggunakan inteligensinya terbelah ke cara-cara yang
prososial dan anti sosial.

Dalam hal ini, inteligensi spiritual memang masih

menjadi polemik, benarkah itu sebagai inteligensi? Karena, pada hakekatnya
inteligensi itu bebas dari nilai, sementara spiritualitas sarat dengan nilai. Walaupun

demikian, dalam sejumlah aspek yang berkaitan dengan moral hendaknya menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari peristiwa pendidikan.
Perkembangan otak manusia dan fungsinya hampir semua terjadi ketika
anak berusia dini. Perhatikanlah pandangan Bloom sebagai berikut:
-

Anak usia 0 – 4 tahun, 50% kemampuan otaknya telah berfungsi.

-

Anak usia 4 – 8 tahun 80% kemampuan otaknya telah berfungsi.

-

Anak usia 8 tahun ke atas tinggal mengembangkan 20% kemampuan otaknya.
Perkembangan otak terjadi kalau diasah terus, sayangnya dalam penelitian

ditunjukkan bahwa kebanyakan anak hanya dikembangkan kemampuannya sekitar
5%. Dengan demikian, seharusnya sejak dini pendidikan memberi banyak
kesempatan anak untuk mengembangkan fungsi otaknya. Walaupun pada usia-usia

yang lebih tinggi hanya sebagian kecil saja dari kemampuan otak yang
dikembangkan, namun apabila dasar pengembangan kemampuan otak telah
diletakkan pada pendidikan usia dini, maka pada usia-usia selanjutnya, yakni ketika

141

anak ada di masa remaja akan memberi kemungkinan yang lebih baik daripada
sejak awal anak tidak dipersiapkan.

Motor

Sensori
Spasial
koordinatif

Perencanaan
gerakan yang
kompleks &
pikiran
kolaboratif


B
W
Auditori

Pemrosesan
visual dari kata

Visi
Penamaan
obyek

B = Broca’s area = pusat pembentukan kata
W = Wernicke = pemahaman bahasa

Gambar 1: Topografi Otak Manusia
Dalam gambar topografi otak tampak bahwa kemampuan berpikir manusia
terdiri atas delapan aspek. Kedelapan aspek tersebut harus dikembangkan dalam
setiap diri anak didik. Oleh karena secara dasar setiap anak memiliki potensi
berupa kemampuan berpikir, maka tugas pendidik sebenarnya terutama terletak

pada pemberian kesempatan seluas-luasnya bagi anak didik untuk mengasah
otaknya melalui menerapkan apa yang difahami dalam kehidupan nyata. Dalam
kaitan ini Gardner (1999) menyebutkan bahwa anak didik yang dikatakan memiliki
pemahaman yang mendalam (deep understanding) adalah anak yang mampu
mengaplikasikan pengetahuannya dalam kehidupan nyata. Belajar tidak berhenti
sampai anak memperoleh nilai dalam raport misalnya, tetapi dituntut bagaimana
anak berperilaku dalam hidup sehari-hari di seting apa saja.

142

CORTEX

SUB-CORTEX

Kemampuan berpikir rasional di cortex
Kemampuan berpikir emosional di sub cortex

Gambar 2: Letak Inteligensi (Kemampuan berpikir)
Umumnya urusan belajar dan berpikir hanya dikaitkan dengan cortex yakni
tempat dimana informasi diterima dari sensory receptor yang diolah lebih lanjut

pada area tertentu (disimpan s/d dimunculkan kembali melalui response generator
dan effector). Pandangan ini dibantah oleh Goleman ketika ia mengembangkan
pandangannya tentang inteligensi emosional. Goleman pada tahun 1995 menulis
pentingnya emosional dalam mempengaruhi kinerja manusia. Inteligensi emosional
tersebut berpusat pada bagian sub-cortex khususnya di bagian limbik dan akan
membentuk amigdala. Perlu diketahui bahwa antara cortex & sub-cortex
dihubungkan sejumlah jaringan syaraf yang kompleks yang memelihara hubungan
kerja antara keduanya. Jadi urusan belajar bukan saja terkait dengan kemampuan
berpikir rasional, melainkan ada campur tangan dari kemampuan berpikir
emosional yang berpusat di sub cortex.
Dalam pendidikan, hakekat inteligensi emosional perlu difahami benar oleh
setiap pelaku pendidikan. Walaupan kemampuan berpikir rasional sebagai modal

143

utama dalam berpikir, namun adakalanya terjadi pembajakan emosional (emotional
hijacking) yang bisa merusak kerja kemampuan berpikir rasional manusia. Dalam
hal ini, secara tidak disengaja kemampuan berpikir emosional yang dikendalikan
dari sub cortex akan bekerja dan berpengaruh besar terhadap cara-cara manusia
berpikir. Bisa jadi kemampuan berpikir emosional justru mengalahkan kemampuan

berpikir rasional.
B.

Kecerdasan Emosional
Temuan Gardner tentang inteligensi menghantar ke penjelajahan lebih

lanjut, sehingga muncul pandangan baru tentang inteligensi, misalnya inteligensi
emosional, inteligensi sosial, inteligensi spiritual, dan mungkin akan berkembang
sebutan inteligensi lainnya.
Seberapa penting kita membahas inteligensi emosional bagi seorang
pendidik? Sejauh ini orang cenderung mengatakan akan pentingnya inteligensi
rasional pada umumnya. Namun dalam berbagai studi terbukti bahwa hanya 10%20% inteligensi rasional itu menentukan keberhasilan hidup. Itulah sebabnya,
mengapa Goleman (1995) merujuk bahwa inteligensi emosional sebagai "master
aptitude" sebab ia telah membimbing penggunaan kemampuan intelektual dan
kemampuan lainnya.
Inteligensi emosional sering dipandang sebagai istilah yang sangat luas,
namun pada intinya ia adalah kemampuan untuk mengidentifikasi dan melabeli
perasaan. Secara lebih jelas, Solomey mendefinikan inteligensi emosional sebagai
a set of competencies that have to do with understanding emotions in oneself and in
others, regulating emotions in oneself and in others. Most importantly being able

to use your emotions as a source of information with problem solving, being
creative, and dealing with social situations. Kemampuan ini dapat dirinci sebagai
kemampuan untuk (1) memahami diri sendiri, (2) mengekspresikan suatu emosi

144

secara tepat, (3) memotivasi diri sendiri, (4) mengatur emosi sendiri, (5)
memecahkan masalah dan mengevaluasi resikonya, (6) menyelesaikan konflik, dan
(7) empati.
Seseorang yang inteligensi emosionalnya tinggi memiliki ciri-ciri: (1)
lebih percaya diri, (2) harga diri tinggi, (3) memiliki sedikit masalah perilaku,
(4) lebih optimis, (5) mampu menangani emosi sendiri secara lebih baik,
dan (6) hidup bahagia.
a

b

b. Anak/Siswa

a. Pedidik

a
1

a2

Gambar 3: Empati Pendidik kepada Anak/Siswa
Satu kemampuan emosional yang menjadi primadona adalah kemampuan
empati. Bagaimanakah kemampuan ini dilakukan oleh pendidik? Empati
merupakan kemampuan memasuki dunia pribadi orang lain tanpa kehilangan jati
dirinya sendiri atau tidak menjadi lebur dalam pribadi orang lain. Gambar 3
menunjukkan bagaimana pendidik bertindak empatik pada orang yang dididiknya.
Suatu saat pendidik (a) memasuki dunia pribadi orang yang dididik (a 1), namun dia
tidak berubah menjadi pribadi orang yang dididiknya itu (b). Pada saatnya dia ke
luar lagi menjadi dirinya sendiri (a2).

145

Di samping empati, kemampuan emosional harus tampak pada kemampuan
mendengarkan. Kemampuan sebagai pendengar yang aktif menuntut keterampilan
memperhatikan, menginterpretasi, dan mengingat stimuli-stimuli yang kita tangkap
dari pembicaraan. Dalam kaitan hubungan interpersonal, mendengarkan merupakan
ketrampilan yang sangat penting. Bahkan suatu penelitian terhadap kepala personalia
pada tiga ratus perusahaan ditemukan bahwa mendengarkan secara efektif menduduki
peringkat teratas di antara keterampilan-keterampilan yang harus dimiliki oleh
manajer/pemimpin.
Demikianpun pada hubungan pendidik dan anak/siswa, keterampilan yang
paling penting bagi pendidik adalah kemampuan mendengarkan. Apabila ingin
menjadi pendengar aktif yang unggul, perhatikan 14 penanda kemampuan
mendengarkan secara aktif berikut: be motivated, make eye contact, show interest,
avoid distracting actions, empathy, take in the whole picture, ask questions,
paraphrase, don’t interrupt, integrating what’s being said, don’t over-talk, confront
your biases, make smooth transitions between speaker and listener, be natural.
Dalam pergaulan, orang akan menampilkan kemampuan memahami orang
lain dan bertindak sesuai pemahaman mereka. Kemampuan tersebut ada sejak usia
dini. Anak dapat menampilkan sikap empatik. Sikap empatik dapat muncul
bergantung pada kemampuan anak untuk mengendalikan diri. Tanda-tanda anak
yang mampu mengendalikan diri atau mampu mengelola emosinya muncul dalam
bentuk sanggup menunggu tanpa merengek, berdebat atau membujuk orang lain
tanpa marah. Menjalin hubungan dengan orang lain secara harmonis membutuhkan
kemampuan tersebut. Selain itu perlu dipahami bahwa kemampuan menangani
emosi merupakan seni (art) menjalin hubungan.
Kunci pokok kompetensi sosial adalah bagaimana orang mengekspresikan
perasaan-perasaannya. Paul Ekman menggunakan istilah tata cara tampilan (display

146

rules) mengenai penampilan perasaan-perasaan tersebut yang banyak dipengaruhi
budaya setempat.
Kita dididik untuk mempelajari tata cara tampilan emosi sejak dini.
Pendidikan emosi dilakukan orangtua melalui menyuruh langsung anak untuk
menampilkan emosi tertentu atau melalui contoh tampilan oleh orangtua. Dalam
pembelajaran perasaan, emosi merupakan medium tetapi sekaligus juga pesan.
Tampilan emosi akan menerima konsekuensi langsung atas pengaruh yang
ditimbulkan kepada orang yang terkena. Atas reaksi orang lain, kemungkinannya,
anak akan menjadi bahagia atau sebaliknya menjadi kecewa atau terluka.
Penguasaan orang akan keterampilan mengekspresikan emosi dapat menular
kepada orang lain. Dalam contoh ekstrim, kalau kita tenang menghadapi orang yang
sedang siap perang, maka emosi marah orang yang siap perang tersebut akan reda.
Perlu diketahui bahwa sebagian besar penularan emosi melalui cara yang tidak
kentara, merupakan bagian “transmisi” yang diam-diam berlangsung pada setiap
perjumpaan.

Demikian juga, penerimaan atas pengiriman emosi akan diikuti

dengan cara yang tidak kentara pula.
Hal pokok yang menentukan pengiriman dan penerimaan suasana hati
adalah sinkroni. Sinkroni pendidik dan anak yang dididik di sekolah menunjukkan
seberapa jauh hubungan mereka. Sebagai contoh, semakin erat koordinasi gerak
pendidik-anak didik akan semakin besar perasaan bersahabat, kebahagiaan,
antusiasme, minat, dan keterbukaan mereka ketika melakukan interaksi. Mengenai
inti pengaruh emosi bergantung pada karisma emosional seseorang. Singkatnya,
koordinasi suasana hati merupakan inti dari setiap hubungan. Apabila seseorang
pandai menyesuaikan dengan suasana hati orang lain, maka ia akan mudah
membawa orang lain di bawah pengaruhnya.

Sebaliknya, orang yang kurang

pandai menerima dan mengirimkan emosi akan banyak mengalami masalah dalam

147

hubungan, sebab seringkali orang lain tidak nyaman berhadapan dengannya,
walaupun tidak tahu apa sebabnya.
Erat kaitannya dengan peran pendidik, maka tampilan inteligensi emosional
akan menampak pada perilaku: (1) mengorganisasi kelompok, esensinya adalah
kemampuan mendidik yakni memprakarsai dan mengkoordinasi aktivitas
kelompok; (2) merundingkan solusi, yakni kemampuan sebagai mediator, mencegah
dan menyelesaikan konflik; (3) hubungan pribadi, yaitu kemampuan ber-empati
dan menjalin hubungan baik; dan (4) analisis sosial, intinya kemampuan
mendeteksi

perasaan orang lain. Bila kemampuan-kemampuan hubungan

interpersonal tersebut tidak diimbangi dengan kesadaran akan kebutuhan dan
perasaan serta bagaimana memenuhinya, akan mengarah ke kekosongan
keberhasilan sosial. Orang akan menjadi bunglon sosial. Bagi para bunglon sosial
yang penting kemenangan sosial, walaupun mereka hidup dalam ketidakcocokan
antara wajah publik dan realitas pribadinya.
Ada sementara orang yang gagal dalam pergaulan. Mengapa? Mereka tidak
memiliki sopan-santun pergaulan. Mereka cenderung tidak memiliki sinkroni dan
harmoni sosial. Kebanyakan mereka mengalami disemia, yakni tidak mampu
menangkap pesan nonverbal orang lain. Pendidik yang memiliki inteligensi
emosional tinggi diharapkan mampu pesan-pesan verbal dan non verbal anak
didiknya dan dengan demikian mudah baginya untuk menyesuaikan dengan anak
didik mereka.
Untuk apa emosi manusia ? secara umum emosi berperan utama dalam
menghadapi situasi-situasi kritis. Oleh karena itu, emosi bisa berfungsi untuk (1)
merasakan dengan hati (emotional mind), (2) melakukan pembajakan emosional
(emotional hijacking), dan (3) sebagai dasar pengambilan keputusan.

148

C.

Aspek-Aspek Inteligensi Emosional
Inteligensi emosional merupakan konsep yang luas, namun demikian intinya

adalah kemampuan untuk mengidentifikasi dan memberikan label terhadap keadaan
emosi seseorang. Dengan demikian secara sederhana cukup menggunakan tiga
suku kata untuk menyatakan emosi yaitu « Saya merasa … », misalnya saya merasa
sedih, saya merasa senang, saya merasa jengkel, dan sebagainya.
Kemampuan-kemampuan utama sebagai pertanda keadaan emosional
misalnya:


Kemampuan untuk memahami diri sendiri ;



Kemampuan untuk mengekspresikan emosi secara tepat;



Kemampuan untuk memotivasi diri sendiri;



Kemampuan untuk meregulasi keadaan emosi diri sendiri



kemampuan untuk memecahkan masalah dengan segala resikonya;



Kemampuan untuk menyelesaikan konflik;



Kemampuan untuk berempati.
Anak yang dikatakan memiliki inteligensi emosional tinggi:



Anak lebih percaya diri;



Sebagai pelajar yang berperilaku baik;



Memiliki harga diri yang tinggi;



Sedikit memiliki problema hidup;



Lebih optimistik;



Mampu menangani permasalahan emosi secara lebih baik;



Lebih berbahagia.

149

Mempelajari inteligensi emosional akan mengarahkan pendidik dalam
mengenali peranan unik dari emosi dasar manusia yang terdiri atas :


Marah (anger)



Takut (fear)



Bahagia (happiness)



Cinta (love)



Kagum (surprise)



Jijik (disgust)



Sedih (sadness)

D.

Pentingnya Inteligensi Emosional Dalam Pendidikan
Pemahaman mengenai inteligensi emosional akan menjadi dasar bagi

pendidik untuk mengambil ide-ide pengembangan emosional ke dalam praktekpraktek pendidikan. Dalam hal ini, kita harus memiliki keyakinan bahwa setiap
pendidik harus memiliki kesadaran penuh arti pentingnya inteligensi emosional dan
mereka mampu memilah anak-anak yang berpenampilan inteligensi emosional
tinggi dan yang rendah. Dalam hal ini pendidik perlu mengembangkan lingkungan
belajar yang positif berdasarkan pada penghargaannya atas perasaan dan kebutuhan
anak.
Pada

bagian

berikut

dikemukakan

beberapa

alasan

mengapa

mengembangkan inteligensi emosional anak itu penting dalam pendidikan. Alasanalasan tersebut antara lain:


Membantu anak menangani situasi-situasi yang menimbulkan ancaman atau
anak merasa terancam, terutama dalam situasi belajar;



Mengajar anak untuk mau membantu orang lain;

150



Meningkatkan kesadaran dan otonomi moral anak;



Membuat anak hidup lebih berbahagia;



Membuat anak menjadi orang yang saling menghargai, bekerja sama, dan
empati;



Mengajak anak untuk berani memikul tanggungjawab; dan



Membuat anak menjadi manusia mandiri.

E.

Apa Yang Harus Diperhatikan Pendidik Dalam Pengembangan
Inteligensi Emosional
Ada beberapa keyakinan yang melandasi pendidik ketika menjalankan

tugas-tugas kependidikannya. Keyakinan tersebut, antara lain:


Guru berada bersama siswa karena didasari oleh kebutuhan-kebutuhan
siswa, bukan karena alasan yang lainnya,



Oleh karena itu, kebutuhan-kebutuhan siswa lebih penting dari guru,



Emosi guru akan mempengaruhi emosi siswa,



Emosi siswa mempengaruhi kemampuannya dan keinginannya untuk
belajar,



Kebanyakan guru di sekolah-sekolah tradisional memiliki kebutuhan
terselubung yang penting untuk menjadi merasa kuat, penting, terhormat,
dihargai, dan melakukan kontrol,



Kebutuhan terselubung di atas membatasi kemampuan mereka untuk
membantu siswa-siswa menumbuhkan pribadi dan mengembangkan
kemampuan intelektual,

151



Guru yang baik bila memiliki sedikit kebutuhan emosional yang
terselubung. Sebaliknya guru yang tidak baik adalah yang penuh kebutuhan
sehingga mengalahkan kebutuhan pokok siswa-siswanya,



Para guru harus mendapat rasa hormat secara suka rela dari para siswa
mereka. Mereka tidak bisa menuntut itu,



Hormat, takut, dan ketaatan seringkali kabur. Penghormatan akan didapat
guru dan diberikan oleh anak secara sukarela. Takut dan ketaatan akan
didapat melalui pemaksaan,



Setiap anak unik secara emosional; semua anak tidak dicipta secara sama
kemampuan emosionalnya di otak,



Oleh karena keunikan di atas, setiap anak harus dilayani dan diperlakukan
secara individual, khususnya melalui memperhatikan perasaan-perasaan
mereka,



Individualitas, kebebasan anak merupakan tujuan pendidikan yang tertinggi.
Keseragaman bukan merupakan tujuan pendidikan yang diharapkan,



Mengabaikan keadaan emosional adalah salah satu cara terburuk dan
melawan kepentingan-kepentingan individu siswa,



Pengabaian aspek emosional secara berulang

atau terus-menerus

merupakan hal yang biasa di sekolah-sekolah tradisional,


Pendidikan memiliki makna belajar lebih dari sekedar mengajar, dan



Tujuan pendidikan tertinggi adalah memfasilitasi dicapainya kebahagiaan,
yang datangnya dari self-motivation, self-direction, self-discipline, selfconfidence, dan self-esteem.
Atas dasar keyakinan-keyakinan di atas, berikut ini disampaikan beberapa

tip bagi guru dalam menjalankan perannya sebagai pendidik:

152



Bantulah anak mempelajari perbendaharaan bahasa emosional,



Bantulah anak untuk menjadi merasa aman, tidak terlalu merasa diawasi
guru,



Peroleh kesadaran diri guru untuk mengidentifikasi perasaan dan ketakutanketakutannya sendiri,



Bantulah guru untuk memiliki perasaan sendiri, tanpa menyalahkan siswasiswanya. Artinya perasaan guru tidak untuk dilampiaskan kepada siswa,
dan



Bantulah guru untuk melihat kebutuhan-kebutuhannya yang tidak disadari
dan seringkali mencuat dalam proses pendidikan.
Berikut ini dikemukakan beberapa perilaku guru yang disarankan dan tidak

disarankan dalam memperlakukan anak-anak didiknya. Sebagai pesan penting,
ikutilah petunjuk yang disampaikan oleh Dorothy Low Nolte dalam buku Children
Learn What They Live With:
With:


Jika anak banyak dicela, ia akan terbiasa menyalahkan



Jika anak banyak dimusuhi, ia akan terbiasa menantang



Jika anak dihantui ketakutan, ia akan terbiasa merasa cemas



Jika anak banyak dikasihani, ia akan terbiasa meratapi nasibnya



Jika anak dikelilingi olok-olok, ia akan terbiasa menjadi pemalu



Jika anak dikitari rasa iri, ia akan terbiasa merasa bersalah.
 Jika anak serba dimengerti, ia akan terbiasa menjadi penyabar
 Jika anak banyak diberi dorongan, ia akan terbiasa percaya diri
 Jika anak banyak dipuji, ia akan terbiasa menghargai
 Jika anak diterima oleh lingkungannya, ia akan terbiasa menyayangi
 Jika anak diperlakukan dengan jujur, dia akan terbiasa melihat
kebenaran

153

 Jika anak ditimang tanpa berat sebelah, ia akan terbiasa melihat keadilan
 Jika anak dikerumuni keramahan, ia akan terbiasa berpendirian:
“Sungguh Indah Dunia Ini!”
Bagaimanakah anda bersikap pada anak didik anda? Lakukan koreksi diri,
kemungkinan-kemungkinan kebiasaan berperilaku terhadap orang lain dan
memikirkan akibat yang akan muncul sebagaimana dikemukakan oleh Nolte di atas.

RANGKUMAN
Dalam belahan otak dalam (sub cortex) bersemayam kemampuan inteligensi
emosional.

Kemampuan tersebut mempengaruhi kerja kemampuan berpikir

rasional manusia. Ada dua kemungkinan pengaruh, yakni pengaruh positif dan
negatif.

Inteligensi emosional berpengaruh positif bila menjadikan perilaku

manusia lebih arif. Sebaliknya, pengaruh kemampuan emosional terhadap proses
berpikir rasional bersifat negatif bila perilaku manusia menjadi lebih dikuasai
suasana emosional dan bersifat irrasional.
Kemampuan inteligensi emosional lebih berkaitan dengan dua kemampuan
utama manusia yaitu kemampuan memahami diri, menerima diri, mengarahkan diri
dan mengendalikan diri (inteligensi intrapersonal) serta kemampuan untuk
berhubungan dengan orang lain secara harmonis (inteligensi interpersonal).
Dalam kehidupan sehari-hari, siswa perlu dipahami tampilan inteligensi
emosional.

Anak-anak

didik

dapat

dikelompokkan

menjadi

anak

yang

berpenampilan inteligensi emosional tingi dan rendah. Pendidik bertugas memantau
dan mengarahkan anak didik untuk menguasai karakteristik inteligensi emosional
tingi.

154

Ada sejumlah keyakinan yang harus dikuasai pendidik dalam memahami
dan memberi fasilitas bagi perkembangan kecerdasan emosional anak didiknya.
Awal dari seluruh kegiatan pendidikan, harus dimulai dari penguasaan pendidik atas
tampilan inteligensi emosionalnya sendiri dan dilanjutkan dengan memahami
tampilan inteligensi emosional anak didinya.
PENDALAMAN
Selesaikan tugas berikut ini!
1.

Buatlah ringkasan hakekat inteligensi emosional!

2.

Kapan inteligensi emosional berperan secara positif dan sebaliknya
kapan berperan secara negatif?

3.

Dikatakan bahwa perkembangan emosional manusia dapat diajarkan.
Bagaimana peran pendidik dalam hal ini?

4.

Bandingkan dengan contoh anak yang memiliki tingkat inteligensi
emosional tinggi dan yang tingkat inteligensi emosionalnya rendah dalam
menghadapi suatu keadaan kritis!

5.

Amati perilaku guru atau dosen yang sedang mengajar. Selama
pengamatan, catat mana yang lebih sering dipakai guru atau dosen tersebut
apakah ida menampilkan karakteristik inteligensi emosional tinggi atau rendah?

DAFTAR RUJUKAN
Gardner, H. (1983) Frames of mind: The theory of multiple intelligences. New
York: Basic Books.
Gardner, H. (1991). The Unschooled Mind: How Children Think and How Schools
Should Teach. New York: Basic Books
Gardner, H. (1993) Multiple intelligences: the theory in practice - a reader. New
York: Basic Books.
Gardner, H. (1993a). Frames of mind: The theory of multiple intelligence. New
York: Basic Books.

155

Gardner, H. (1993b). Multiple intelligence: The theory in practice. New York: Basic
Books. http://www.ode.state.or.us
Gardner, H. (1999). Intelligence reframed: Multiple intelligences for the 21th
century. New York: Basic Books.
Goleman, D. (1995). Emotional intelligence. New York: Bantam.
Goleman, D. (1999). Working with emotional intelligence. London: Boombury
Publishing Plc.
Scherer, K. R.; Banse, R.; & Wallbott, H. G. (2001). Emotion inferences from vocal
expression correlate across languages and cultures. Journal of CrossCultural Psychology, 32(1), 76-92.
Simmons, S & Simmons Jr, J.C. (1997). Measuring emotional intelligence: The
groundbreaking guide to applying the principles of emotional intelligence.
Arlington, Texas: The Summit Publishing Group.
Sternberg, R. J. (1986). Intelligence, wisdom, and creativity: Three is better than
one. Educational Psychologist, 2(3), 175-190.
Sternberg, R. J. (1990). Wisdom and its relations to intelligence and creativity. Di
dalam R. J. Sternberg (Ed.), Wisdom: Its nature, origins, and development
(pp 142-159). New York: Cambride University Press.

156