PENGENTASAN PENGANGGURAN TERDIDIK YANG
Kamis 7 - 8
PENGENTASAN PENGANGGURAN TERDIDIK YANG ADA DI KOTA MALANG
MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah
Pengantar Ekonomi Pembangunan
yang dibina oleh Bapak Gatot Isnani
Oleh
Rizki Kurniasari
309422421813/26
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN AKUNTANSI
OKTOBER 2010
PENGENTASAN PENGANGGURAN TERDIDIK DI KOTA
MALANG
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Masalah kependidikan yang serius dihadapi oleh kota berkembang
pada umumnya, antara lain berkisar pada masalah mutu pendidikan,
kesiapan tenaga pendidik, fasilitas, dan lapangan pekerjaan. Membidik
masalah yang terakhir, dengan tidak bermaksud mengecilkan arti ketiga
masalah lainnya, memiliki greget yang lain. Kekurangtersediaan lapangan
pekerjaan akan berimbas pada kemapanan sosial dan eksistensi pendidikan
dalam perspektif masyarakat.
Gatot Isnani (2009: 21) mengatakan bahwa tingkat pembangunan
manusia dapat diukur dengan tiga indikator yakni indeks kesehatan, indeks
pendidikan dan indeks ekonomi. Indeks pendidikan, yang terdiri atas dua sub
indeks (kemampuan baca tulis orang dewasa dan rata-rata lama atau tahun
bersekolah) untuk kota berkembang bila tidak diimbangi dengan ketersediaan
lapangan pekerjaan pada akhirnya akan menimbulkan kesenjangan.
Pada masyarakat yang tengah berkembang, pendidikan diposisikan sebagai sarana
untuk peningkatan kesejahteraan melalui pemanfatan kesempatan kerja yang ada. Dalam
arti lain, tujuan akhir program pendidikan bagi masyarakat pengguna jasa pendidikan,
adalah teraihnya lapangan kerja yang diaharpkan. Atau setidak-tidaknya, setelah lulus
dapat bekerja di sektor formal yang memiliki nilai "gengsi" yang lebih tinggi di banding
sektor informal.
Dengan
demikian,
keterbatasan
lapangan
pekerjaan
sehingga
berpotensi untuk tidak dapat tertampungnya lulusan program pendidikan di
lapangan kerja, secara linear berpotensi menggugat eksistensi dan urgensi
pendidikan dalam perspektif masyarakat. Masyarakat akan kehilangan
kepercayaan secara signifikan terhadap eksistensi lembaga pendidikan.
Gatot Isnani (2009: 41) mengatakan bahwa tingkat pengangguran
berhubungan erat dengan meluasnya kemiskinan dan distribusi pendapatan.
Bagi mereka yang menganggur jelas tidak berpenghasilan. Hal ini sangat
kontradiktif dengan fakta bahwa Malang sebagai kota pendidikan namun
tidak dapat memenuhi kebutuhan akan lapangan pekerjaan bagi angkatan
kerja yang ada di kota Malang.
Lapangan
pekerjaan
merupakan
indikator
penting
tingkat
kesejahteraan masyarakat dan sekaligus menjadi indikator keberhasilan
penyelenggaraan "pendidikan". Maka merembaknya isyu pengangguran
terdidik menjadi sinyal yang cukup mengganggu bagi perencana pendidikan
di negara-negara berkembang pada umumnya termasuk Indonesia, dan pada
khusunya kota Malang sebagai Kota Pendidikan.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas, masalah yang akan dibahas dalam makalah ini meliputi:
1.
2.
Apa pengertian dari Pengangguran?
Apa yang menjadi masalah pengangguran di kota Malang?
3.
Bagaimana keadaan pengangguran di kota Malang?
4.
Bagaimana cara mengatasi adanya pengangguran terdidik di kota Malang?
1.3 TUJUAN PEMBAHASAN
1.
Memahami pengertian dari Pengangguran.
2.
Memahami masalah yang mendasari timbulnya pengangguran di kota
Malang.
3.
Mengetahui keadaan pengangguran di kota Malang.
4.
Mengetahui cara mengatasi adanya pengangguran terdidik di kota Malang.
Adapun teknis penulisan dalam makalah ini berpedoman pada Buku Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah Universitas Negeri Malang (UM:2003).
DAFTAR RUJUKAN SEMENTARA
Isnani, Gatot. 2009. Ekonomi Pembangunan: sebuah Pengantar untuk Memahami
Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan Pembangunan Ekonomi Indonesia.
Bahan Ajar Tidak Diterbitkan Malang: Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi
Universitas Negeri Malang.
Universitas Negeri Malang. 2003. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, tesis,
Disertasi, Artikel, Makalah, Laporan Penelitian. Edisi keempat Cetakan Kedua.
Malang: Biro Administrasi Akademik, Kemahasiswaan, Perencanaan, dan
Sistem Informasi bekerjasama dengan enerbit Universitas Negeri Malang.
www.dimasmartha.com/daapenganggurankota (diakses tanggal 9 Oktober 2010)
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Pengangguran adalah
orang yang masuk dalam angkatan kerja (15 sampai 64 tahun) yang sedang mencari pekerjaan
dan belum mendapatkannya. Orang yang tidak sedang mencari kerja contohnya seperti ibu
rumah tangga, siswa sekolan smp, sma, mahasiswa perguruan tinggi, dan lain sebagainya yang
karena sesuatu hal tidak/belum membutuhkan pekerjaan.
Jenis & Macam Pengangguran
1. Pengangguran Friksional / Frictional Unemployment
Pengangguran friksional adalah pengangguran yang sifatnya sementara yang disebabkan adanya
kendala waktu, informasi dan kondisi geografis antara pelamar kerja dengan pembuka lamaran
pekerjaan.
2. Pengangguran Struktural / Structural Unemployment
Pengangguran struktural adalah keadaan di mana penganggur yang mencari lapangan pekerjaan
tidak mampu memenuhi persyaratan yang ditentukan pembuka lapangan kerja. Semakin maju
suatu perekonomian suatu daerah akan meningkatkan kebutuhan akan sumber daya manusia
yang memiliki kualitas yang lebih baik dari sebelumnya.
3. Pengangguran Musiman / Seasonal Unemployment
Pengangguran musiman adalah keadaan menganggur karena adanya fluktuasi kegiaan ekonomi
jangka pendek yang menyebabkan seseorang harus nganggur. Contohnya seperti petani yang
menanti musim tanam, tukan jualan duren yang menanti musim durian.
4. Pengangguran Siklikal
Pengangguran siklikal adalah pengangguran yang menganggur akibat imbas naik turun siklus
ekonomi sehingga permintaan tenaga kerja lebih rendah daripada penawaran kerja.
Pengangguran juga dapat dibedakan atas pengangguran sukarela (voluntary unemployment) dan
dukalara (involuntary unemployment). Pengangguran suka rela adalah pengangguran yang
menganggur untuk sementara waktu karna ingin mencari pekerjaan lain yang lebih baik.
Sedangkan pengangguran duka lara adalah pengengguran yang menganggur karena sudah
berusaha mencari pekerjaan namun belum berhasil mendapatkan kerja.
2.2 Masalah pengangguran di kota Malang
Tingginya angka pengangguran, masalah ledakan penduduk, distribusi pendapatan yang tidak
merata, dan berbagai permasalahan lainnya di negara kita menjadi salah satu faktor utama
rendahnya taraf hidup para penduduk di negara kita. Namun yang menjadi manifestasi utama
sekaligus faktor penyebab, rendahnya taraf hidup di kota-kota berkembang adalah terbatasnya
penyerapan sumber daya, termasuk sumber daya manusia. Jika dibandingkan dengan kota-kota
maju.
Pemanfaatan sumber daya yang dilakukan oleh kota-kota berkembang relatif lebih rendah
daripada yang dilakukan di kota-kota maju karena buruknya efisiensi dan efektivitas dari
penggunaan sumber daya baik sumber daya alam
maupun sumber daya manusia. Dua penyebab utama dari rendahnya pemanfaatan
sumber daya manusia adalah karena tingkat pengangguran penuh dan tingkat
pengangguran terselubung yang terlalu tinggi dan terus melonjak.
Pengangguran penuh atau terbuka yakni terdiri dari orang-orang yang
sebenarnya mampu dan ingin bekerja, akan tetapi tidak mendapatkan lapangan
pekerjaan sama sekali. Berdasarkan data dari Depnaker pada tahun 1997 jumlah
pengangguran terbuka saja sudah mencapai sekitar 10%.
2.3. TINGKAT PENGANGGURAN
1. Tingkat Pengangguran Menurut Umur
Tingkat pengangguran yang dimaksud pada tulisan ini
adalah tingkat pengangguran terbuka atau open unemployment
rate. Ukuran ini merupakan salah satu tolok ukur ketenagakerjaan
yang banyak digunakan untuk melihat sampai seberapa
jauh penawaran tenaga keja, serta bagaimana permintaan akan
kesempatan kerja.
Diperoleh dengan cara menghitung jumlah absolut angkatan kerja yang menganggur, baik
mereka yang baru lulus sekolah dan pertama kali mencari pekerjaan, maupun yang sudah pernah
bekerja tetapi sedang mencari kembali pekerjaan, dibagi dengan total angkatan kerja dikalikan
seratus. Jika tingkat pengangguran 10 persen, berarti ada 10 orang penganggur dari setiap 100
orang angkatan kerja.memperlihatkan pola tingkat pengangguran yang sangat umum, yaitu
memiliki persentase yang tinggi pada kelompok umur muda (15-19 tahun), kemudian menurun
tajam hingga usia 30-34 tahun. Pada umur-umur tua, relatif stabil rendah, untuk kemudian
meningkat lagi pada kelompok usia non produktif, karena mungkin masih banyak yang pension
tapi masih mencari pekerjaan.
2.Tingkat Pengangguran Menurut Tingkat Pendidikan
Tingkat pengangguran menurut tingkat pendidikan yang
ditamatkan lebih menarik untuk di bahas. Pada umumnya tingkat pengangguran di pedesaan
lebih rendah dari perkotaan, namun pada tingkat SLTP angkanya
sedikit lebih tinggi di pedesaan, dan pada klasifikasi SLTA angkanya hampir sama.
Kemungkinan penyebab ini adalah banyaknya lulusan SLTP yang tidak mampu melanjutkan
pendidikan ke SLTA, tetapi langsung mencari kerja.
Baik di daerah pedesaan maupun di perkotaan, tingkat pengangguran yang paling tinggi adalah
pada jenjang SLTA.
Kondisi ini belum banyak berubah sejak beberapa decade terakhir Hal ini dapat dibuktikan
dengan mengkaji ulang
beberapa tulisan yang membahas mengenai pengangguran seperti Effendi (1993) yang memakai
data SUPAS 1985, pembahasan yang berasal dari data sensus penduduk 1990 serna Sakernas
1996 oleh Tjiptoherijanto dan Soemitro (1998),
serta analisis Setiawan (2002) terhadap angkatan kerja dan pengangguran, yang didasarkan pada
data ketenagakerjaan hasil Sakernas 2001.
2.4 DAMPAK PENGANGGURAN BAGI KOTA MALANG
Kecenderungan pengangguran terdidik di kota Malang semakin meningkat namun upaya
perluasan kesempatan pendidikan dari pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi tidak
boleh berhenti. Akan tetapi pemerataan pendidikan itu harus dilakukan tanpa mengabaikan mutu
pendidikan itu sendiri.
Karena itu maka salah satu kelemahan dari sistem pendidikan kita adalah sulitnya memberikan
pendidikan yang benar-benar dapat memupuk profesionalisme seseorang dalam berkarier atau
bekerja. Saat ini pendidikan kita terlalu menekankan pada segi teori dan bukannya praktek.
Pendidikan seringkali disampaikan dalam bentuk yang monoton sehingga membuat para siswa
menjadi bosan., pendidikkan dalam wujud praktek lebih diberikan dalam porsi yang lebih besar.
Di sanapun, cara pembelajaran dan pemberian pendidikkan diberikan dalam wujud yang lebih
menarik dan kreatif.
Tingginya angka inflasi karena tidak seimbangnya antara permintaan dan
penawaran barang dan jasa. Ini membuktikan tingginya laju inflasi di negara kita lebih banyak
dipengaruhi sektor riil, bukan sektor moneter. Jika kita mengambil kesimpulan mengenai
masalah inflasi di Indonesia bahwa ternyata laju inflasi tidak semata ditentukan faktor moneter,
tapi juga faktor fisik. Ada empat faktor yang menentukan tingkat inflasi, tingkat inflasi
ditentukan faktor fisik prasarana.
Melonjaknya inflasipun karena dipicu oleh kebijakan pemerintah yang menarik subisidi sehingga
harga listrik dan BBM meningkat. Kenaikan BBM ini telah menggenjot tingkat inflasi bulan Juni
2001 menjadi 1,67 persen. Dampak ini masih terasa sampai bulan Juli 2001 yang akan
memberikan sumbangan inflasi antara 0,3-1 persen. Efek domino yang ditimbulkan pun masih
menjadi pemicu kenaikan harga lainnya. Diperkirakan inflasi tahun ini.
2.5 DATA PENGANGGURAN DI KOTA MALANG
Jumlah Pengangguran di Kota Malang hingga November 2009 mencapai 38 ribu orang dari total
jumlah penduduk yang mencapai 800 ribu orang. Jumlah ini terbagi menjadi 10 ribu
pengangguran yang murni tidak mencari kerja dan 28 ribu pengangguran yang aktif mencari
kerja.
Menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Kota Malang, Wahyu Santoso jumlah
pengangguran ini tak sebanding dengan jumlah lowongan yang tersedia selama 2009, yakni
sebesar 600 lowongan kerja. "Yang terserap lowongan kerja tak lebi dari seribu orang," katanya,
Senin (7/12).
Data di Dinas menyebutkan dari 38 ribu pengangguran, tercatat pengangguran berpendidikan
sarjana mencapai 30 persen, pengangguran berpendidikan SMA sebanyak 30 persen, dan
berpendidikan SMP sebanyak 15 persen. "Selebihnya lulusan SD dan tak berijazah.
Para sarjana menganggur karena tidak memiliki bekal kemampuan tambahan misalnya bahasa
asing, membuat, dan kerajinan. Padahal kemampuan tambahan itu merupakan nilai plus bagi
para pencari kerja. "Seharusnya saat kuliah mereka mencari kemampuan tambahan," katanya.
Untuk memperkecil jumlah pengangguran, Disnakersos menggelar berbagai kegiatan, seperti
bursa kerja. Selain itu juga terus menjalin kerja sama dengan perusahaan di luar Kota Malang
untuk bisa merekrut Warga Kota Malang sebagai tenaga kerjanya dan pengiriman TKI keluar
negeri. Wahyu berharap hingga akhir tahun 2009 jumlah PHK di Kota Malang tidak sampai
bertambah.
Pada tahun 2006, jumlah penangguran di Kota Malang mencapai 49.149 jiwa, pada 2007, jumlah
pengangguran mencapai 40.390 orang, pada 2008 mencapai 39 ribu orang.
BAB III
PENUTUP
3.1 kesimpulan
Pengangguran terjadi disebabkan antara lain, yaitu karena jumlah lapangan kerja yang tersedia
lebih kecil dari jumlah pencari kerja. Juga kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan pasar
kerja. Selain itu juga kurang efektifnya informasi pasar kerja bagi para pencari kerja.
Setiap penganggur diupayakan memiliki pekerjaan yang banyak bagi kemanusiaan artinya
produktif dan remuneratif sesuai Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 dengan partisipasi semua
masyarakat Indonesia. Lebih tegas lagi jadikan penanggulangan pengangguran menjadi
komitmen nasional.
Untuk itu diperlukan dua kebijakan, yaitu kebijakan makro dan mikro (khusus). Kebijakan
makro (umum) yang berkaitan erat dengan pengangguran, antara lain kebijakan makro ekonomi
seperti moneter berupa uang beredar, tingkat suku bunga, inflasi dan nilai tukar yang melibatkan
Bank Indonesia (Bank Sentral), fiskal (Departemen Keuangan) dan lainnya. Dalam keputusan
rapat-rapat kebinet, hal-hal itu harus jelas keputusannya dengan fokus pada penanggulangan
pengangguran. Jadi setiap lembaga pemerintah yang terkait dengan pengangguran harus ada
komitmen dalam keputusannya dan pelaksanaannya.
Selain itu, ada juga kebijakan mikro (khusus). Kebijakan itu dapat dijabarkan dalam beberapa
poin. Pertama, pengembangan mindset dan wawasan penganggur, berangkat dari kesadaran
bahwa setiap manusia sesungguhnya memilki potensi dalam dirinya namun sering tidak
menyadari dan mengembangkan secara optimal.
Kedua, segera melakukan pengembangan kawasan-kawasan, khususnya yang tertinggal dan
terpencil sebagai prioritas dengan membangun fasilitas transportasi dan komunikasi. Ketiga,
segera membangun lembaga sosial yang dapat menjamin kehidupan penganggur.
Keempat, segera menyederhanakan perizinan karena dewasa ini terlalu banyak jenis perizinan
yang menghambat investasi baik Penanamaan Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam
Negeri (PMDN) dan investasi masyarakat secara perorangan maupun berkelompok. Kelima,
mengaitkan secara erat (sinergi) masalah pengangguran dengan masalah di wilayah perkotaan
lainnya, seperti sampah, pengendalian banjir, dan lingkungan yang tidak sehat.
Kita. Diharapkan ke depannya di kota Malang kebijakan ketenagakerjaan dapat diubah
(reorientasi) kembali agar dapat berfungsi secara optimal untuk memerangi pengangguran.
3.2 SOLUSI MASALAH PENGANGGURAN DI KOTA MALANG
Sekitar 10 juta penganggur terbuka (open unemployed) dan 31 juta setengah penggangur
(underemployed) bukanlah persoalan kecil yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia dewasa
ini dan ke depan. Sepuluh juta penganggur terbuka berarti sekitar separo dari penduduk
Malaysia. Penganggur itu berpotensi menimbulkan kerawanan berbagai kriminal dan gejolak
sosial, politik dan kemiskinan. Selain itu, pengangguran juga merupakan pemborosan yang luar
biasa. Setiap orang harus mengkonsumsi beras, gula, minyak, pakaian, energi listrik, sepatu, jasa
dan sebagainya setiap hari, tapi mereka tidak mempunyai penghasilan. Bisa kita bayangkan
berapa ton beras dan kebutuhan lainnya harus disubsidi setiap harinya. Bekerja berarti memiliki
produksi. Seberapa pun produksi yang dihasilkan tetap lebih baik dibandingkan jika tidak
memiliki produksi sama sekali. Karena itu, apa pun alasan dan bagaimanapun kondisi Indonesia
saat ini masalah pengangguran harus dapat diatasi dengan berbagai upaya.
Sering berbagai pihak menyatakan persoalan pengangguran itu adalah persoalan muara.
Berbicara mengenai pengangguran banyak aspek dan teori disiplin ilmu terkait. Yang jelas
pengangguran hanya dapat ditanggulangi secara konsepsional, komprehensif, integral baik
terhadap persoalan hulu maupun muara. Sebagai solusi pengangguran, berbagai strategi dan
kebijakan dapat ditempuh sebagai berikut.
Setiap penganggur diupayakan memiliki pekerjaan yang banyak bagi kemanusiaan artinya
produktif dan remuneratif sesuai Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 dengan partisipasi semua
masyarakat Indonesia. Lebih tegas lagi jadikan penanggulangan pengangguran menjadi
komitmen nasional.
Untuk itu diperlukan dua kebijakan, yaitu kebijakan makro dan mikro (khusus). Kebijakan
makro (umum) yang berkaitan erat dengan pengangguran, antara lain kebijakan makro ekonomi
seperti moneter berupa uang beredar, tingkat suku bunga, inflasi dan nilai tukar yang melibatkan
Bank Indonesia (Bank Sentral), fiskal (Departemen Keuangan) dan lainnya.
Dalam keputusan rapat-rapat kebinet, hal-hal itu harus jelas keputusannya dengan fokus pada
penanggulangan pengangguran. Jadi setiap lembaga pemerintah yang terkait dengan
pengangguran harus ada komitmen dalam keputusannya dan pelaksanaannya
PENGENTASAN PENGANGGURAN TERDIDIK YANG ADA DI KOTA MALANG
MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah
Pengantar Ekonomi Pembangunan
yang dibina oleh Bapak Gatot Isnani
Oleh
Rizki Kurniasari
309422421813/26
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN AKUNTANSI
OKTOBER 2010
PENGENTASAN PENGANGGURAN TERDIDIK DI KOTA
MALANG
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Masalah kependidikan yang serius dihadapi oleh kota berkembang
pada umumnya, antara lain berkisar pada masalah mutu pendidikan,
kesiapan tenaga pendidik, fasilitas, dan lapangan pekerjaan. Membidik
masalah yang terakhir, dengan tidak bermaksud mengecilkan arti ketiga
masalah lainnya, memiliki greget yang lain. Kekurangtersediaan lapangan
pekerjaan akan berimbas pada kemapanan sosial dan eksistensi pendidikan
dalam perspektif masyarakat.
Gatot Isnani (2009: 21) mengatakan bahwa tingkat pembangunan
manusia dapat diukur dengan tiga indikator yakni indeks kesehatan, indeks
pendidikan dan indeks ekonomi. Indeks pendidikan, yang terdiri atas dua sub
indeks (kemampuan baca tulis orang dewasa dan rata-rata lama atau tahun
bersekolah) untuk kota berkembang bila tidak diimbangi dengan ketersediaan
lapangan pekerjaan pada akhirnya akan menimbulkan kesenjangan.
Pada masyarakat yang tengah berkembang, pendidikan diposisikan sebagai sarana
untuk peningkatan kesejahteraan melalui pemanfatan kesempatan kerja yang ada. Dalam
arti lain, tujuan akhir program pendidikan bagi masyarakat pengguna jasa pendidikan,
adalah teraihnya lapangan kerja yang diaharpkan. Atau setidak-tidaknya, setelah lulus
dapat bekerja di sektor formal yang memiliki nilai "gengsi" yang lebih tinggi di banding
sektor informal.
Dengan
demikian,
keterbatasan
lapangan
pekerjaan
sehingga
berpotensi untuk tidak dapat tertampungnya lulusan program pendidikan di
lapangan kerja, secara linear berpotensi menggugat eksistensi dan urgensi
pendidikan dalam perspektif masyarakat. Masyarakat akan kehilangan
kepercayaan secara signifikan terhadap eksistensi lembaga pendidikan.
Gatot Isnani (2009: 41) mengatakan bahwa tingkat pengangguran
berhubungan erat dengan meluasnya kemiskinan dan distribusi pendapatan.
Bagi mereka yang menganggur jelas tidak berpenghasilan. Hal ini sangat
kontradiktif dengan fakta bahwa Malang sebagai kota pendidikan namun
tidak dapat memenuhi kebutuhan akan lapangan pekerjaan bagi angkatan
kerja yang ada di kota Malang.
Lapangan
pekerjaan
merupakan
indikator
penting
tingkat
kesejahteraan masyarakat dan sekaligus menjadi indikator keberhasilan
penyelenggaraan "pendidikan". Maka merembaknya isyu pengangguran
terdidik menjadi sinyal yang cukup mengganggu bagi perencana pendidikan
di negara-negara berkembang pada umumnya termasuk Indonesia, dan pada
khusunya kota Malang sebagai Kota Pendidikan.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas, masalah yang akan dibahas dalam makalah ini meliputi:
1.
2.
Apa pengertian dari Pengangguran?
Apa yang menjadi masalah pengangguran di kota Malang?
3.
Bagaimana keadaan pengangguran di kota Malang?
4.
Bagaimana cara mengatasi adanya pengangguran terdidik di kota Malang?
1.3 TUJUAN PEMBAHASAN
1.
Memahami pengertian dari Pengangguran.
2.
Memahami masalah yang mendasari timbulnya pengangguran di kota
Malang.
3.
Mengetahui keadaan pengangguran di kota Malang.
4.
Mengetahui cara mengatasi adanya pengangguran terdidik di kota Malang.
Adapun teknis penulisan dalam makalah ini berpedoman pada Buku Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah Universitas Negeri Malang (UM:2003).
DAFTAR RUJUKAN SEMENTARA
Isnani, Gatot. 2009. Ekonomi Pembangunan: sebuah Pengantar untuk Memahami
Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan Pembangunan Ekonomi Indonesia.
Bahan Ajar Tidak Diterbitkan Malang: Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi
Universitas Negeri Malang.
Universitas Negeri Malang. 2003. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, tesis,
Disertasi, Artikel, Makalah, Laporan Penelitian. Edisi keempat Cetakan Kedua.
Malang: Biro Administrasi Akademik, Kemahasiswaan, Perencanaan, dan
Sistem Informasi bekerjasama dengan enerbit Universitas Negeri Malang.
www.dimasmartha.com/daapenganggurankota (diakses tanggal 9 Oktober 2010)
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Pengangguran adalah
orang yang masuk dalam angkatan kerja (15 sampai 64 tahun) yang sedang mencari pekerjaan
dan belum mendapatkannya. Orang yang tidak sedang mencari kerja contohnya seperti ibu
rumah tangga, siswa sekolan smp, sma, mahasiswa perguruan tinggi, dan lain sebagainya yang
karena sesuatu hal tidak/belum membutuhkan pekerjaan.
Jenis & Macam Pengangguran
1. Pengangguran Friksional / Frictional Unemployment
Pengangguran friksional adalah pengangguran yang sifatnya sementara yang disebabkan adanya
kendala waktu, informasi dan kondisi geografis antara pelamar kerja dengan pembuka lamaran
pekerjaan.
2. Pengangguran Struktural / Structural Unemployment
Pengangguran struktural adalah keadaan di mana penganggur yang mencari lapangan pekerjaan
tidak mampu memenuhi persyaratan yang ditentukan pembuka lapangan kerja. Semakin maju
suatu perekonomian suatu daerah akan meningkatkan kebutuhan akan sumber daya manusia
yang memiliki kualitas yang lebih baik dari sebelumnya.
3. Pengangguran Musiman / Seasonal Unemployment
Pengangguran musiman adalah keadaan menganggur karena adanya fluktuasi kegiaan ekonomi
jangka pendek yang menyebabkan seseorang harus nganggur. Contohnya seperti petani yang
menanti musim tanam, tukan jualan duren yang menanti musim durian.
4. Pengangguran Siklikal
Pengangguran siklikal adalah pengangguran yang menganggur akibat imbas naik turun siklus
ekonomi sehingga permintaan tenaga kerja lebih rendah daripada penawaran kerja.
Pengangguran juga dapat dibedakan atas pengangguran sukarela (voluntary unemployment) dan
dukalara (involuntary unemployment). Pengangguran suka rela adalah pengangguran yang
menganggur untuk sementara waktu karna ingin mencari pekerjaan lain yang lebih baik.
Sedangkan pengangguran duka lara adalah pengengguran yang menganggur karena sudah
berusaha mencari pekerjaan namun belum berhasil mendapatkan kerja.
2.2 Masalah pengangguran di kota Malang
Tingginya angka pengangguran, masalah ledakan penduduk, distribusi pendapatan yang tidak
merata, dan berbagai permasalahan lainnya di negara kita menjadi salah satu faktor utama
rendahnya taraf hidup para penduduk di negara kita. Namun yang menjadi manifestasi utama
sekaligus faktor penyebab, rendahnya taraf hidup di kota-kota berkembang adalah terbatasnya
penyerapan sumber daya, termasuk sumber daya manusia. Jika dibandingkan dengan kota-kota
maju.
Pemanfaatan sumber daya yang dilakukan oleh kota-kota berkembang relatif lebih rendah
daripada yang dilakukan di kota-kota maju karena buruknya efisiensi dan efektivitas dari
penggunaan sumber daya baik sumber daya alam
maupun sumber daya manusia. Dua penyebab utama dari rendahnya pemanfaatan
sumber daya manusia adalah karena tingkat pengangguran penuh dan tingkat
pengangguran terselubung yang terlalu tinggi dan terus melonjak.
Pengangguran penuh atau terbuka yakni terdiri dari orang-orang yang
sebenarnya mampu dan ingin bekerja, akan tetapi tidak mendapatkan lapangan
pekerjaan sama sekali. Berdasarkan data dari Depnaker pada tahun 1997 jumlah
pengangguran terbuka saja sudah mencapai sekitar 10%.
2.3. TINGKAT PENGANGGURAN
1. Tingkat Pengangguran Menurut Umur
Tingkat pengangguran yang dimaksud pada tulisan ini
adalah tingkat pengangguran terbuka atau open unemployment
rate. Ukuran ini merupakan salah satu tolok ukur ketenagakerjaan
yang banyak digunakan untuk melihat sampai seberapa
jauh penawaran tenaga keja, serta bagaimana permintaan akan
kesempatan kerja.
Diperoleh dengan cara menghitung jumlah absolut angkatan kerja yang menganggur, baik
mereka yang baru lulus sekolah dan pertama kali mencari pekerjaan, maupun yang sudah pernah
bekerja tetapi sedang mencari kembali pekerjaan, dibagi dengan total angkatan kerja dikalikan
seratus. Jika tingkat pengangguran 10 persen, berarti ada 10 orang penganggur dari setiap 100
orang angkatan kerja.memperlihatkan pola tingkat pengangguran yang sangat umum, yaitu
memiliki persentase yang tinggi pada kelompok umur muda (15-19 tahun), kemudian menurun
tajam hingga usia 30-34 tahun. Pada umur-umur tua, relatif stabil rendah, untuk kemudian
meningkat lagi pada kelompok usia non produktif, karena mungkin masih banyak yang pension
tapi masih mencari pekerjaan.
2.Tingkat Pengangguran Menurut Tingkat Pendidikan
Tingkat pengangguran menurut tingkat pendidikan yang
ditamatkan lebih menarik untuk di bahas. Pada umumnya tingkat pengangguran di pedesaan
lebih rendah dari perkotaan, namun pada tingkat SLTP angkanya
sedikit lebih tinggi di pedesaan, dan pada klasifikasi SLTA angkanya hampir sama.
Kemungkinan penyebab ini adalah banyaknya lulusan SLTP yang tidak mampu melanjutkan
pendidikan ke SLTA, tetapi langsung mencari kerja.
Baik di daerah pedesaan maupun di perkotaan, tingkat pengangguran yang paling tinggi adalah
pada jenjang SLTA.
Kondisi ini belum banyak berubah sejak beberapa decade terakhir Hal ini dapat dibuktikan
dengan mengkaji ulang
beberapa tulisan yang membahas mengenai pengangguran seperti Effendi (1993) yang memakai
data SUPAS 1985, pembahasan yang berasal dari data sensus penduduk 1990 serna Sakernas
1996 oleh Tjiptoherijanto dan Soemitro (1998),
serta analisis Setiawan (2002) terhadap angkatan kerja dan pengangguran, yang didasarkan pada
data ketenagakerjaan hasil Sakernas 2001.
2.4 DAMPAK PENGANGGURAN BAGI KOTA MALANG
Kecenderungan pengangguran terdidik di kota Malang semakin meningkat namun upaya
perluasan kesempatan pendidikan dari pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi tidak
boleh berhenti. Akan tetapi pemerataan pendidikan itu harus dilakukan tanpa mengabaikan mutu
pendidikan itu sendiri.
Karena itu maka salah satu kelemahan dari sistem pendidikan kita adalah sulitnya memberikan
pendidikan yang benar-benar dapat memupuk profesionalisme seseorang dalam berkarier atau
bekerja. Saat ini pendidikan kita terlalu menekankan pada segi teori dan bukannya praktek.
Pendidikan seringkali disampaikan dalam bentuk yang monoton sehingga membuat para siswa
menjadi bosan., pendidikkan dalam wujud praktek lebih diberikan dalam porsi yang lebih besar.
Di sanapun, cara pembelajaran dan pemberian pendidikkan diberikan dalam wujud yang lebih
menarik dan kreatif.
Tingginya angka inflasi karena tidak seimbangnya antara permintaan dan
penawaran barang dan jasa. Ini membuktikan tingginya laju inflasi di negara kita lebih banyak
dipengaruhi sektor riil, bukan sektor moneter. Jika kita mengambil kesimpulan mengenai
masalah inflasi di Indonesia bahwa ternyata laju inflasi tidak semata ditentukan faktor moneter,
tapi juga faktor fisik. Ada empat faktor yang menentukan tingkat inflasi, tingkat inflasi
ditentukan faktor fisik prasarana.
Melonjaknya inflasipun karena dipicu oleh kebijakan pemerintah yang menarik subisidi sehingga
harga listrik dan BBM meningkat. Kenaikan BBM ini telah menggenjot tingkat inflasi bulan Juni
2001 menjadi 1,67 persen. Dampak ini masih terasa sampai bulan Juli 2001 yang akan
memberikan sumbangan inflasi antara 0,3-1 persen. Efek domino yang ditimbulkan pun masih
menjadi pemicu kenaikan harga lainnya. Diperkirakan inflasi tahun ini.
2.5 DATA PENGANGGURAN DI KOTA MALANG
Jumlah Pengangguran di Kota Malang hingga November 2009 mencapai 38 ribu orang dari total
jumlah penduduk yang mencapai 800 ribu orang. Jumlah ini terbagi menjadi 10 ribu
pengangguran yang murni tidak mencari kerja dan 28 ribu pengangguran yang aktif mencari
kerja.
Menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Kota Malang, Wahyu Santoso jumlah
pengangguran ini tak sebanding dengan jumlah lowongan yang tersedia selama 2009, yakni
sebesar 600 lowongan kerja. "Yang terserap lowongan kerja tak lebi dari seribu orang," katanya,
Senin (7/12).
Data di Dinas menyebutkan dari 38 ribu pengangguran, tercatat pengangguran berpendidikan
sarjana mencapai 30 persen, pengangguran berpendidikan SMA sebanyak 30 persen, dan
berpendidikan SMP sebanyak 15 persen. "Selebihnya lulusan SD dan tak berijazah.
Para sarjana menganggur karena tidak memiliki bekal kemampuan tambahan misalnya bahasa
asing, membuat, dan kerajinan. Padahal kemampuan tambahan itu merupakan nilai plus bagi
para pencari kerja. "Seharusnya saat kuliah mereka mencari kemampuan tambahan," katanya.
Untuk memperkecil jumlah pengangguran, Disnakersos menggelar berbagai kegiatan, seperti
bursa kerja. Selain itu juga terus menjalin kerja sama dengan perusahaan di luar Kota Malang
untuk bisa merekrut Warga Kota Malang sebagai tenaga kerjanya dan pengiriman TKI keluar
negeri. Wahyu berharap hingga akhir tahun 2009 jumlah PHK di Kota Malang tidak sampai
bertambah.
Pada tahun 2006, jumlah penangguran di Kota Malang mencapai 49.149 jiwa, pada 2007, jumlah
pengangguran mencapai 40.390 orang, pada 2008 mencapai 39 ribu orang.
BAB III
PENUTUP
3.1 kesimpulan
Pengangguran terjadi disebabkan antara lain, yaitu karena jumlah lapangan kerja yang tersedia
lebih kecil dari jumlah pencari kerja. Juga kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan pasar
kerja. Selain itu juga kurang efektifnya informasi pasar kerja bagi para pencari kerja.
Setiap penganggur diupayakan memiliki pekerjaan yang banyak bagi kemanusiaan artinya
produktif dan remuneratif sesuai Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 dengan partisipasi semua
masyarakat Indonesia. Lebih tegas lagi jadikan penanggulangan pengangguran menjadi
komitmen nasional.
Untuk itu diperlukan dua kebijakan, yaitu kebijakan makro dan mikro (khusus). Kebijakan
makro (umum) yang berkaitan erat dengan pengangguran, antara lain kebijakan makro ekonomi
seperti moneter berupa uang beredar, tingkat suku bunga, inflasi dan nilai tukar yang melibatkan
Bank Indonesia (Bank Sentral), fiskal (Departemen Keuangan) dan lainnya. Dalam keputusan
rapat-rapat kebinet, hal-hal itu harus jelas keputusannya dengan fokus pada penanggulangan
pengangguran. Jadi setiap lembaga pemerintah yang terkait dengan pengangguran harus ada
komitmen dalam keputusannya dan pelaksanaannya.
Selain itu, ada juga kebijakan mikro (khusus). Kebijakan itu dapat dijabarkan dalam beberapa
poin. Pertama, pengembangan mindset dan wawasan penganggur, berangkat dari kesadaran
bahwa setiap manusia sesungguhnya memilki potensi dalam dirinya namun sering tidak
menyadari dan mengembangkan secara optimal.
Kedua, segera melakukan pengembangan kawasan-kawasan, khususnya yang tertinggal dan
terpencil sebagai prioritas dengan membangun fasilitas transportasi dan komunikasi. Ketiga,
segera membangun lembaga sosial yang dapat menjamin kehidupan penganggur.
Keempat, segera menyederhanakan perizinan karena dewasa ini terlalu banyak jenis perizinan
yang menghambat investasi baik Penanamaan Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam
Negeri (PMDN) dan investasi masyarakat secara perorangan maupun berkelompok. Kelima,
mengaitkan secara erat (sinergi) masalah pengangguran dengan masalah di wilayah perkotaan
lainnya, seperti sampah, pengendalian banjir, dan lingkungan yang tidak sehat.
Kita. Diharapkan ke depannya di kota Malang kebijakan ketenagakerjaan dapat diubah
(reorientasi) kembali agar dapat berfungsi secara optimal untuk memerangi pengangguran.
3.2 SOLUSI MASALAH PENGANGGURAN DI KOTA MALANG
Sekitar 10 juta penganggur terbuka (open unemployed) dan 31 juta setengah penggangur
(underemployed) bukanlah persoalan kecil yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia dewasa
ini dan ke depan. Sepuluh juta penganggur terbuka berarti sekitar separo dari penduduk
Malaysia. Penganggur itu berpotensi menimbulkan kerawanan berbagai kriminal dan gejolak
sosial, politik dan kemiskinan. Selain itu, pengangguran juga merupakan pemborosan yang luar
biasa. Setiap orang harus mengkonsumsi beras, gula, minyak, pakaian, energi listrik, sepatu, jasa
dan sebagainya setiap hari, tapi mereka tidak mempunyai penghasilan. Bisa kita bayangkan
berapa ton beras dan kebutuhan lainnya harus disubsidi setiap harinya. Bekerja berarti memiliki
produksi. Seberapa pun produksi yang dihasilkan tetap lebih baik dibandingkan jika tidak
memiliki produksi sama sekali. Karena itu, apa pun alasan dan bagaimanapun kondisi Indonesia
saat ini masalah pengangguran harus dapat diatasi dengan berbagai upaya.
Sering berbagai pihak menyatakan persoalan pengangguran itu adalah persoalan muara.
Berbicara mengenai pengangguran banyak aspek dan teori disiplin ilmu terkait. Yang jelas
pengangguran hanya dapat ditanggulangi secara konsepsional, komprehensif, integral baik
terhadap persoalan hulu maupun muara. Sebagai solusi pengangguran, berbagai strategi dan
kebijakan dapat ditempuh sebagai berikut.
Setiap penganggur diupayakan memiliki pekerjaan yang banyak bagi kemanusiaan artinya
produktif dan remuneratif sesuai Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 dengan partisipasi semua
masyarakat Indonesia. Lebih tegas lagi jadikan penanggulangan pengangguran menjadi
komitmen nasional.
Untuk itu diperlukan dua kebijakan, yaitu kebijakan makro dan mikro (khusus). Kebijakan
makro (umum) yang berkaitan erat dengan pengangguran, antara lain kebijakan makro ekonomi
seperti moneter berupa uang beredar, tingkat suku bunga, inflasi dan nilai tukar yang melibatkan
Bank Indonesia (Bank Sentral), fiskal (Departemen Keuangan) dan lainnya.
Dalam keputusan rapat-rapat kebinet, hal-hal itu harus jelas keputusannya dengan fokus pada
penanggulangan pengangguran. Jadi setiap lembaga pemerintah yang terkait dengan
pengangguran harus ada komitmen dalam keputusannya dan pelaksanaannya