Bukan untuk perempuan baik baik seperti

“bukan untuk perempuan baik-baik
seperti saya”
vodka, media, dan ibuisme negara
pascareformasi

Khaerul Umam Noer
Pusat Kajian Wanita & Gender UI
Anggota Asosiasi Antropologi Indonesia

Membungkam gerakan perempuan,
mendorong ibuisme negara
 Gerakan perempuan sejak masa pra
kemerdekaan memiliki satu agenda dasar:
pendidikan untuk perempuan.
 Pasca Kongres Perempuan Kedua di Jakarta
pada 1935, agenda berkembang menjadi
pendidikan politik bagi perempuan
 Lahirnya Serikat Rakyat dan Wanita Sedar 
pada tahun 1950 berdiri Gerakan Wanita
Sedar, yang kemudian berubah menjadi
Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI)


Membungkam gerakan perempuan,
mendorong ibuisme negara
 Gerwani sebagai organisasi perempuan
“garis keras”  kedekatan dengan Partai
Komunis Indonesia
 Peristiwa Gerakan 30 September mendorong
penghancuran terhadap gerakan perempuan
 Lahirnya organisasi perempuan bentukan
pemerintah : PKK, Dharma Wanita dan
Dharma Pertiwi

Dari PKK hingga Keluarga Cemara
 Ideologi PKK mengkonstruksi perempuan
sebagai “ibu” dan “istri”  sosok perempuan
yang setia, lembut, bertanggungjawab atas
pendidikan anak, tangkas dalam kegiatan
domestik rumah tangga.
 Informasi mengenai PKK dalam kanal resmi
pemerintah: TVRI  program acara Berita

Nasional maupun acara Kelompencapir.

Dari PKK hingga Keluarga Cemara
 Dari tahun 1980an sampai 1996, belum ada
final tentang sosok perempuan ideal dalam
perspektif Orde Baru
 6 Oktober 1996, muncul acara Keluarga
Cemara  kisah tentang keluarga yang berisi
Emak, Abah, Euis, Cemara dan Agil
 Emak sebagai representasi perempuan ideal:
istri yang taat, ibu yang penyayang, anggota
masyarakat yang aktif, dan paling penting:
tidak berpolitik.

Runtuhnya Orde Baru dan lahirnya
“sosok perempuan jenis baru”
 Runtuhnya Orde Baru pada 1998 mendorong
mandegnya proyek ibuisme negara 
berhentinya aktivitas PKK.
 Media masih memunculkan sosok perempuan

ideal Orde Baru
 Muncul pula sosok perempuan baru,
perempuan berpendidikan, kelas menengah,
mampu beradaptasi dengan perubahan 
Contoh paling baik adalah Sarah dalam Si
Doel Anak Sekolahan.

Si Doel Anak Sekolahan
 Kontestasi antara dua perempuan: Jaenab
dan Sarah  Jaenab merepresentasikan
proyek ibuisme negara, sedangkan Sarah
adalah lawannya.
 Dinamika politik mengubah sosok Sarah
sebagai figur utama pada musim ke-5 SDAS
pada 2000
 Lahirnya sosok-sosok perempuan yang berani
mengutarakan apa pendapatnya

KISS, Lampu Merah, dan Hidayah
 Periode 1998-2000 memunculkan satu genre

baru di media: infotainmen  banyak berisi
skandal rumah tangga
 Dibukanya keran media oleh BJ Habibie
mendorong semakin menjamurnya media
esek-esek seperti Lampu Merah dll  koran
kuning?
 Kedua genre ini: infotainmen dan koran
kuning mendorong kehadiran “media Islam”
jenis baru: Hidayah

Geger reformasi:
perang lama di medan baru
 Reformasi mendorong banyak hal: lahirnya
sosok perempuan yang berbeda dengan
perempuan Orde Baru.  perempuan mandiri
yang mampu menjadi dirinya sendiri dan
mengutarakan pendapatnya.
 Di sisi lain, kehadiran “media Islam”
membawa semangat lama tentang gambaran
ideal seorang perempuan.

 Perang lama antara sosok “perempuan baikbaik” versus “perempuan tidak baik-baik”

Masa depan studi media
 Studi media “seharusnya” tidak menjadikan
media sebagai fokus melainkan sebagai pintu
masuk.
 Studi media “seharusnya” dapat menarik
satu fenomena media jauh lebih luas dan
dalam.
 Melalui media kita bisa melihat bagaimana
konstruksi atas sosok perempuan  tidak bisa
dilepaskan dari dinamika sosial dan politik.

TERIMA KASIH…