Pengembangan Instrumen Spiritualitas pad D

PENGEMBANGAN INSTRUMEN SPIRITUALITAS PADA PEMBELAJARAN
SAINS BERBASIS IMTAK BAGI MAHASISWA CALON GURU
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU
SISDIKNAS) sebagai penjabaran dari salah satu tujuan negara yang tercantum pada
pembukaan UUD 45, mencerdaskan kehidupan bangsa, mengamanatkan bahwa pendidikan
nasional bertujuan untuk:
Mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan mejadi warga Negara yang demokratis serta bertanggunga jawab.
Kompetensi lulusan suatu jenjang pendidikan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional
tersebut mencakup komponen pengetahuan, ketrampilan, kecakapan, kemandirian,
kreativitas, kesehatan, akhlak, ketaqwaan, dan kewarganegaraan. Semua komponen pada
tujuan pendidikan nasional sudah selayaknya tercermin pada kurikulum dan sistem
pembelajaran pada semua jenjang pendidikan. Sesuai dengan tujuan pendidikan nasional,
tugas lembaga pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik secara optimal
menjadi kemampuan untuk hidup di masyarakat dan ikut mensejahterakan masyarakat.
Lulusan suatu jenjang pendidikan harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan serta

berprilaku yang baik. Untuk itu peserta didik harus mampu mendemonstrasikan
pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Pembelajaran sains (fisika, kimia dan biologi) Fisika, Kimia, Biologi berfungsi untuk
menumbuhkan kesadaran terhadap keteraturan dan keindahan ciptaan tuhan, meningkatkan
pemahaman

konsep

dan

prinsip-prinsip

melalui

sejumlah

keterampilan

proses.


Keterampilan proses mencakup: pengamatan, membuat hipotesis, menggunakan alat dan
bahan

yang dilaksanakan melalui kegiatan praktik, sesuai dengan prosedur dan

keselamatan kerja. Dengan demikian, upaya menanamkan ketakwaan tidak hanya menjadi

1

kewajiban guru agama semata, tetapi juga menjadi kewajiban pendidik lainnya, termasuk
dalam pembelajaran sains.
Ketiga aspek (kognitif, psikhomotor dan afektif) memiliki bobot penilaian yang
proposional. Proses penilaiannya dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu. Dalam hal
ini, Aspek Kognitif mencakup : pemahaman konsep yang berfungsi untuk menunjang
pelaksanaan praktik. Aspek Psikomotor mencakup keterampilan sains yang dilaksanakan
melalui praktikum. Aspek Afektif yang terkait dengan mata pelajaran biasanya dititik
beratkan pada sikap ilmiah yang mencakup: ketelitian, ketekunan, dan kemampuan
memecahkan masalah secara logis dan sistematis. Di samping itu, aspek afektif juga secara
umum mencakup: perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai, (Djameri Mardapi 2004:3; S.
Nasution 1989:152).

Beberapa Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) yang memiliki fakultas/jurusan
tarbiyah (kependidikan), memiliki fungsi yang sama dengan LPTK lainnya, yaitu
menghasilkan para sarjana calon guru. Dalam hal ini, PTAI tersebut memiliki tantangan
untuk dapat mengintegrasikan pembelajaran sains dengan landasan dan spiritualisasi nilai
dalam proses pembelajarannya. PTAI tidak hanya dituntut untuk mampu menghasilkan
para guru yang memiliki kompetensi memadai, namun juga sekaligus memiliki
kemampuan penanaman sikap dan nilai yang terintegrasi dalam pembelajaran tersebut.
Apatah lagi, standar kompetensi guru sebagaimana dicanangkan pada Peraturan Mendiknas
No. 16 tahun 2007, secara tegas mencantumkan kompetensi kepribadian, dimana guru
dituntut untuk mampu menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia,
dewasa, arif, bertanggung jawab, memiliki etos kerja dan tanggung jawab yang tinggi dan
menjunjung tinggi etika profesinya. Karenanya, keseluruhan karakter kepribadian tersebut
sudah semestinya juga menjadi sasaran dalam pembelajaran sains bagi mahasiswa calon
guru tersebut.
Upaya spiritualisasi pembelajaran tampaknya merupakan tindak lanjut dari wacana
islamisasi sains dan disiplin ilmu, terutama secara praktis dalam bidang pendidikan.
Terkait dengan upaya tersebut, Nasim Butt (1995) menegaskan 3 prinsip dasar sebagai
acuan bagi pengembangan pendidikan sains dalam perspektif Islam, yaitu memasukkan
iman dan nilai sebagai landasan pembelajaran sains, memanusiawikan dalam pembelajaran
sains di kelas, serta mengintegrasikan sains dan agama dalam pembelajaran di kelas.

2

Namun demikian, model pembelajaran yang tepat dalam mengintegrasikan sains dengan
nilai-nilai Islam tersebut belum banyak memperoleh perhatian dalam penelitian pendidikan.
Dalam penerapan pembelajaran sains yang berbasis imtak, tentunya diperlukan juga
seperangkat instrumen asesmen yang sesuai dengan model pembelajaran itu sendiri. Dalam
praktek pembelajaran yang selama ini berlangsung, asesmen konvensional dalam bentuk
tes tertulis (paper & pencil test) lebih banyak digunakan ketimbang asesmen otentik.
Sementara itu, asesmen tes konvensional sendiri memiliki kelemahan dalam mengevaluasi
nilai dan sikap yang juga terkandung dalam pembelajaran sains itu sendiri. Di sisi lain,
asesmen otentik sendiri belum banyak dikembangkan dalam pembelajaran sains. Morgan
(2004) melaporkan bahwa lebih dari 70 % guru tidak menggunakan asesmen otentik dalam
pembelajaran, meskipun jenis asesmen ini telah direkomendasikan sebagai bentuk penilaian
yang sesuai dengan hakekat sains yang mengutamakan keterampilan proses dan produk
sains.

Asesmen ini setidaknya telah direkomendasikan oleh berbagai kalangan ahli

pendidikan (NSTA, 1998; Rustaman, 2006; dan Zainul, 2001).


Hal ini disebabkan

kesulitan guru dalam menyusun dan menerapkan asesmen otentik, sebagaimana dilaporkan
oleh Wulan (2007). Kesulitan ini semakin meningkat terutama bagi guru madrasah, yang
relatif kurang mengenal asesmen otentik. Dalam kerangka itulah, penelitian ini menemukan
signifikansinya.

Untuk tujuan itu, peneliti mengajukan rencana penelitian untuk

mengembangkan instumen asesmen otentik yang sesuai bagi penerapan model
pembelajaran berbasis Imtak bagi mahasiswa calon guru madrasah.

B. Indentifikasi dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan peta teoritis di atas dapat dirumuskan suatu pertanyaan, yaitu Asesmen
Otentik yang Bagaimana yang relevan untuk diterapkan pada Model Pembelajaran
Sains Berbasis Imtak bagi Mahasiswa Calon Guru Madrasah ?
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan deskripsi (gambaran) dari kajian literatur dan temuan studi
pendahuluan di atas fokus penelitian secara “tentatif” dirumuskan sebagai berikut:


3

a. Bagaimanakah keadaan awal pembelajaran sains pada pembelajaran sains calon guru
madrasah sebelum asesmen otentik dan model pembelajaran berbasis imtak
diterapkan ?
b. Desain model implementasi pengembangan model bagaimana yang relevan pada
pembelajaran berbasis imtak bagi mahasiswa calon guru madrasah?
c. Desain model asesmen otentik yang bagaimana yang relevan pada pembelajaran
berbasis imtak bagi mahasiswa calon guru madrasah ?
d. Bagaimanakah tingkat keterapan asesmen otentik pada model pembelajaran sains
berbasis imtak yang dihasilkan dilihat dari aspek: peningkatan prestasi mahasiswa;
dukungan terhadap pelaksanaan pembelajaran; substansi isi (materi pelajaran);
fleksibilitas desain model; keselarasan dengan media dan potensi dukungan
stakeholders?
e. Bagaimanakah efektifitas dan dampak pengembangan asesmen otentik pada model
pembelajaran sains berbasis imtak terhadap hasil belajar mahasiswa dan terhadap dosen
dalam menyusun rencana pembelajaran dan evaluasi hasil belajar sains?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menghasilkan pengembangan asesmen
otentik relevan untuk untuk diterapkan pada model pembelajaran sains berbasis imtak bagi
mahasiswa calon guru madrasah.
b. Tujuan Khusus Penelitian
1) Untuk mengetahui keadaan awal pembelajaran sains sebelum desain asesmen dan
model pembelajaran diimplementasikan.
2) Untuk menemukan desain model implementasi pengembangan asesmen otentik yang
relevan untuk diterapkan pada model pembelajaran sains berbasis imtak.
3)

Untuk mengetahui tingkat keterapan pengembangan asesmen otentik pada model
pembelajaran sains berbasis imtak terhadap mahasiswa dilihat dari aspek: peningkatan
prestasi mahasiswa; dukungan terhadap pelaksanaan pembelajaran; substansi isi (materi
pelajaran); fleksibilitas desain model; dan potensi dukungan stakeholders?

4) Untuk mengetahui efektifitas dan dampak pengembangan asesmen otentik pada model
pembelajaran sains berbasis imtak terhadap mahasiswa, peningkatan belajar mahasiswa,
4

dukungan terhadap dosen dalam menyususn rencana pembelajaran dan evaluasi hasil

belajar sains.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Umum Penelitian
Dengan dihasilkannya pengembangan asesmen otentik yang relevan untuk
diterapkan pada model pembelajaran berbasis imtak bagi mahasiswa calon guru madrasah,
dapat dimanfaatkan dalam meningkatkan mutu pembelajaran sains di LPTK PTAI.
b. Manfaat Khusus Penelitian
1) Untuk memberi masukan kepada dosen-dosen sains khususnya dalam menerapkan
model pembelajaran berbasis imtak.
2) Desain implementasi pengembangan asesmen otentik dan model pembelajaran sains
berbasis imtak dapat dimanfaatkan meningkatkan pembelajaran sains.
3)

Desain asesmen otentik yang dihasilkankan dapat digunakan sebagai bahan acuan
dosen untuk mengevaluasi keberhasilan pembelajaran sains berbasis imtak.

4) Untuk memberi masukan kepada dosen dan mahasiswa dalam meningkatkan mutu
pembelajaran sains

5


BAB II
LANDASAN TEORITIK
Asesmen Otentik adalah suatu istilah/terminologi yang diciptakan untuk
menjelaskan berbagai metode penilaian alternatif yang memungkinkan siswa dapat
mendemonstrasikan kemampuannya dalam menyelesaikan tugas-tugas dan menyelesaikan
masalah, sekaligus, mengekspresikan pengetahuan dan keterampilannya dengan cara
mensimulasikan situasi yang dapat ditemui di dalam dunia nyata di luar lingkungan
kampus (Hymes, 1991).
Dalam hal ini adalah simulasi yang dapat mengekspresikan prestasi (performance)
siswa yang ditemui di dalam praktek dunia nyata. Karenanya, dapat dimengerti bahwa
Asesmen Otentik dapat diidentikkan dengan asesmen kinerja (Performance Assesments),
sebagaimana dikemukakan oleh Zainul (2001), bahwa asesmen otentik dimaksudkan juga
sebagai Proses Penilaian Kinerja prilaku Siswa secara multi dimensional pada situasi nyata
(life-like performance behavior). Meskipun asesmen otentik ini direkomendasikan sebagai
bentuk penilaian yang sesuai dengan hakekat sains yang mengutamakan keterampilan
proses dan produk sains (NSTA, 1998; Rustaman, 2006; dan Stiggins, 1994), namun pada
kenyataannya Morgan (2004) menemukan bahwa lebih dari 70 % guru tidak menggunakan
jenis asesmen ini dalam pembelajaran.


Di antara penyebabnya adalah sebagaimana

dilaporkan oleh Wulan (2003) yang mengungkap tentang kesulitan guru dalam menyusun
dan menggunakan asesmen otentik.
2.Model Pembelajaran
Makna model pembelajaran sebagaimana Joyce and Weill (2000) menjelaskan
adalah: a plant or pattern that we can use to design face to face teaching in classrom or
tutorial settings and to sgaps instructional material including books, film, tapes, and
komputer. Each model guide us as we design instruction to help students achieve various
objectives.
Maksudnya yaitu, kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis
dalam mengorganisir pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu yang
berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam
merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar.
6

Pengembangan model pembelajaran dimaksud untuk menentukan konseptual yang
berisi tentang prosedur pengembangan rancangan kegiatan pembelajaran pendidikan
Agama Islam yang dapat meningkatkan kompetensi keagamaan siswa kampus dasar.
Desain model yang dikembangkan meliputi desain perencanaan, implementasi dan

evaluasi. Setiap desain berisi tentang tahapan-tahapan yang dapat dijadikan rujukan oleh
guru dalam mengembangkan aktivitas pembelajaran.
3. Sains dan Pembelajaran Sains Berbasis Imtak
Pada dasarnya sains yang berbasis imtak berbeda dengan sains sebagaimana dikenal
pada umumnya. Namun demikian, perlu diberikan penegasan bahwa sains berbasis imtak,
dalam hal ini sains berbasis Islam sebagaimana diungkap oleh Sardar (1998), adalah sains
yang juga memiliki fungsi dan tanggung jawab untuk mengembangkan kesadaran
ketuhanan; mengharmoniskan tujuan dan cara dalam mencari ilmu pengetahuan;
memperhatikan relevansi sosial dalam pencarian maupun penerapan ilmu pengetahuan;
serta menolak netralitas ilmu pengetahuan obyektif. Dalam hal ini terlihat, sains berbasis
imtak, sebagaimana juga dapat dipahami ajuan langkah Zaghlul Najjar (1995:146) tentang
garis-garis besar upaya penulisan ulang dan pengajaran sains dalam perspektif Islam,
mencakup aspek ontologis, epistemologi dan aksiologi sains itu sendiri.
Model Pembelajaran Berbasis Imtak
a. Model pembelajaran Nilai-Nilai Islami berdasarkan adapatasi terhadap teori David R.
Kratwohl, dapat dimodifikasi menjadi sebagai berikut:
(1) Tahap memulai terbukanya menerima rangsangan, yang meliputi tingkatan :
1.1 Penyadaran; 1.2 Hasrat untuk menerima pengaruh; dan 1.3 Memberikan perhatian
secara memilih diantara pengaruh yang masuk.
(2) Tahap memulai memberikan tanggapan terhadap rangsangan afektif, yang meliputi
tingkatan : 2.1 Mulai memberikan perhatian p[ada nilai yang dirangsangkan; 2.2
Berhasrat untuk secara aktif memberikan perhatian; 2.3 Menikmati dengan penuh
kebahagiaan memberikan perhatian terhadap nilai afektif.
(3) Tahap mulai memberikan perhatian terhadap rangsangan, yang meliputi tingkatan : 3.1
Mulai menerima nilai yang sudah menarik perhatiannya; pada tingkatan ini anak didik
mulai aktif menyatakan perhatiannya berdasarkan nilai yang mulai diterimanya; 3.2
7

Memilih berdasarkan nilai pada tingkatan ini anak didik sudah mulai menggunakan
nilainya sebagai acuan dalam memilih obyek; dan 3.3 Percaya akan kebenaran semua
nilai. Pada tingkatan ini anak didik sudah mulai dengan penuh keyakinan menerima
kebenaran suatu nilai.
(4) Pengorganisasian berbagai nilai yang telah diterimanya, yang meliputi tingkatan :4.1
Menetapkan kedudukan atau hubungan suatu nilai dengan nilai lainnya; 4.2
Menempatkan prioritas diantara nilai-nilai yang telah diterima.
(5) Penyaturagaan nilai-nilai dalam satu system nilai yang konsisten, yang meliputi
tingkatan : 5.1 Generalisasi nilai sebagai landasan acuan dalam melihat dan
memandang masalah-masalah yang dihadapi; dan 5.2 Mengembangkan suatu filsafat
hidup yang konsisten. Pada saat ini semua nilai yang ditanamkan dalam dirinya telah
menjadi bagian terpadu dari system kepribadian anak didik. (Soedijarto, 1993).
b. Model Pembelajaran Nilai-Nilai Islami Berdasarkan “Values Clarification”
Prinsip-prinsip model pembelajaran internalisasi nilai berdasarkan model Values
Clarification mempunyai tiga langkah utama dan tiap langkah terdiri pula atas dua bagian
sehingga seluruhnya menjadi tujuh langkah adalah sebagai berikut :
I.

Memilih

(1)

secara

bebas,

(2)

dari

beberapa

alternative,

(3)

dengan

memepertimbangan setiap konsekuensi tiap alternative.
II.

Menghargai (4) menjunjung tinggi, merasa bahagia dengan pilihan itu, (5)
menyatakan dan mempertahankannya di depan umum.

III.

Berbuat (6) melaksanakan dan menerapkannya dalam perbuatan (7) melakukannya
berulang-ulang sebagai pola kelakuan.

(1) Memilih itu harus dilakukan secara bebas. Nilai yang dipaksakan tidak akan
mengintegrasikannya dalam sistem nilainya.
(2) Memilih harus dari sejumlah alternative sehingga ia dapat memilihnya secara bebas.
(3) Memilih hanya setelah mempertimbangkan konsekuensinya. Memilih adalah proses
berfikir yang memerlukan waktu dan tak dapat dilakukan impulsive dan tergesa-gesa.
(4) Menghargai suatu nilai, menujunjung tinggi suatu nilai suatu tanda bahwa suatu nilai
menjadi bagian integral dalam kepribadian kita. Kita harus bangga akan nilai-nilai yang
telah kita pilih.

8

(5) Menegaskan berarti berani mengemukakannya di depan orang lain bila nilai itu telah
kita internalisasikan kita tidak malu menyaksikannya di depan umum.
(6) Melaksanakannya. Nilai harus nyata dalam perbuatan. Kelakuan kita harus
mencerminkan nilai-nilai yang kita junjung tinggi.
(7) Mengulangi. Bila nilai itu telah sebagian dari kepribadian kita, maka kita harus
mewujudkan nilai itu secara konsisten dalam kelakuan kita. (S. Nasution, 1989).

Dimensi Religiusitas: menurut Glock & Stark (dalam Ancok,1985; Turmudhi, 1991;
Safaria, 1999).
1. Dimensi ideologis (religious belief), yaitu dimensi yang menunjukkan tingkat
keyakinan seseorang terhadap kebenaran agamanya, terutama terhadap ajaranajaran fundamental atau dogma
2. Dimensi ritualistik (religious practice), yaitu dimensi yang menunjukkan tingkat
kepatuhan seseorang dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual yang dianjurkan
di dalam agamanya. Kepatuhan ini ditunjukkan dengan kepatuhan seseorang dalam
melaksanakan ibadah, sembahyan, puasa, dll
3. Dimensi eksperiensial (religious feeling atau experiental dimension), yaitu yang
menunjukkan seberapa jauh tingkat seseorang dalam merasakan dan mengalami
perassaan-perasaan atau pengalaman-pengalaman religiusnya. Misalnya seberapa
besar seseorang merasakan kedekatan dengan orang lain, keyakinan akan doanya
terkabul atau keyakinannya bahwa Tuhan akan memberikan pertolongan
4. Dimensi intelektual (religious knowledge), yaitu yang menunjukkan tingkat
pengetahuan dan pemahaman seseorang terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama
yang termuat dalam kitab suci atau pedoman pokok agamanya. Misalnya, apakah
individu memahami bagaiman cara melakukan sholat, bagaimana cara mensucikan
diri dari kotoran, berpuasa yang benar, dll.
5. Dimensi konsekuensial (religious effect), yaitu yang menunjukkan tingkatan
seseorang dalam berprilaku yang dimotivasi oleh ajaran agamanya atau seberapa
jauh seseorang mampu menerapkan ajaran agamanya dalam prilaku hidupnya
sehari-hari.

Misalnya jika ajaran agamnya mengajarkan untuk beramal, maka
9

dengan senang hati mendermakan uangnya untuk kegiatan sosial dan keagamaan.
Bisa menahan diri dari mengerjakan hal-hal yang dilarang oleh agama seperti
menolak untuk mencuri, berbohonh atau memkai narkoba.
Pengembangan Instrumen Asesmen Otentik
Pada dasarnya instrumen dibagi dua, yaitu instrumen yang berbentuk tes dan
instrumen yang non tes1. Tes merupakan prosedur sistematis untuk melakukan pengamatan
terhadap perilaku seseorang dan mendiskripsikan perilaku tersebut dengan bantuan skala
angka atau suatu sistem penggolongan 2. Indikator perilaku yang diungkapkan oleh
instrumen tes bersifat kinerja maksimal (Maximum performance) karena suatu tes
dirancang untuk mengungkapkan kemampuan individu secara maksimal. Yang termasuk
dalam kelompok tes adalah tes prestasi belajar, tes inteligensi, tes bakat, atau tes
kemampuan akademik.
Sementara itu, indikator perilaku yang diungkapkan oleh instrumen yang berbentuk
non tes bersifat Instrumen penilaian kinerja (performance assesment) mencakup
konten/konteks yang dinilai berpatok pada pedoman/penuntun

pemberian skor yang

memuat karakteristik kualitas Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dikatakan bahwa
hakikat instrumen adalah alat ukur yang dimiliki kualitas validitas dan reliabilitas yang
baik dan digunakan untuk mengumpulkan data dalam suatu penelitian. Dalam penelitian
ini Instrumen spriritualitas diperoleh melalui prosedur pengembangan skala Thurstone.
Penggunaan skala Likert didasarkan pada pendapat Djaali bahwa skala Likert dapat
dipergunakan untuk mengukur sikap, pendapat, persepsi seseorang atau kelompok tentang
suatu gejala atau fenomena pendidikan.3 Sedangkan Seltiz menyatakan penggunaan skala
Likert lebih mudah dikonstruksi dari pada skala Thurstone selain itu skala Likert
memberikan koefisien korelasi lebih tinggi dari pada skala Thurstone.4
1. Prosedur Pengembangan Instrumen Spritualitas
1
2

3
4

Ibid., h. 127.
Lee J. Cronbrach, 1984. Essentials of Psychologocal Testing (New York: Harper and Row
Publishers, h. 26.
Djaali dan Pudjiono Muljono, op cit, h. 40.
Lewis R. Aiken. 1997. Psychological Testing and Assessment. London: Allyn and Bacon, h. 254.

10

Bagan Alir Penyusunan Konstruk Instrumen
Pengukuruan Spiritualitas dan Kisi-kisi
Kajian Teori Tentang Konsep Variabel
dan menyusun konstruk dari variabel Tersebut
Pengembangan Dimensi dan Indikator



Identifikasi aspek Spiritualitas

Membuat Kisi-kisi Instrumen Penilaian
Spritualitas

Validasi Teoritik dan Validasi empirik




Evaluasi dan penilaian oleh pakar
Revisi

Uji Coba Instrumen




Uji coba
Evaluasi
Revisi

Butir-butir Instrumen Penilaian Spiritualitas Hasil Uji
Coba dan Kisi-kisi
Bentuk yang dibakukan

2. Ujicoba Instrumen
Menurut Djaali untuk mengetahui apakah suatu instrumen dianggap valid secara
konseptual maka instrumen tersebut diujicobakan pada sekelompok responden yang
merupakan sampel uji coba. Dari respon sampel uji coba tersebut akan diperoleh data yang
11

akan dianalisa untuk menguji validitas internal.

Analisa

data

hasil

uji

coba

dimaksudkan untuk menguji validitas butir instrumen secara empiris, validitas yang akan
diuji adalah validitas antara skor butir dengan skor total.5
3. Kalibrasi
a. Validitas Instrumen
Dalam penelitian ujicoba untuk content validity pada instrumen pada skor butir
kontinum yaitu pada variabel penilaian praktikum IPA digunakan rumus korelasi product
moment (r). Hal ini sesuai dengan pendapat Ferguson, jika skor butir kontinum maka untuk
menghitung skor butir dengan skor total instrumen digunakan rumus koefisien korelasi
product moment (r).6 Menurut Kaplan koefisien korelasi Pearson product moment adalah
perbandingan yang digunakan untuk membedakan tingkat variasi pada variabel tersebut
dan juga mengestimasi variasi pada variabel yang lainnya. Koefisien korelasinya
dinyatakan dengan nilai dari –1,0 dan 1,0. 7 dan Sudjana juga menyatakan bahwa rumus
product moment Korelasi lebih senang digunakan karena; (1) perhitungannya sederhana
sementara besaran-besaran yang diperlukan bisa langsung diperoleh dari besaran-besaran
yang ada pada saat menentukan regresi Y atas X, (2) lebih terlihat dalam bentuk data asli,
kekeliruan yang terjadi pada hasil akhir untuk r sangat kecil, (3) tanda r positif atau negatif
bisa langsung diperoleh, dan (4) mudah dibuat program perhitungan dengan mneggunakan
bantuan komputer.8
Kaplan juga menyatakan bahwa Validity didefinisikan sebagai pencocokan skor
test atau ukuran dengan kualitas ukuran yang dapat dipercaya.9 Sedangkan
Kerlinger secara epistemologi menyatakan definisi validity dalam bentuk
pertanyaan sebagai berikut, apa yang diukur dan bagaimana mengukurnya? 10
Menurut Ghiselli ada tiga tipe validity, yaitu: (1) criterion-related Validity, (2)
content Validity, dan (3) construct Validity.11

5
6

7

8
9
10
11

Djaali, Pudji Muljono dan Ramly, op.cit., pp. 116.
George A. Ferguson and Yoshio Takane, Statistical Analysis in Psychology and Education (New
York: McGraw-Hill Book Company, 1989), p. 125.
Robert M. Kaplan, Basic Statistics For The Beavioral Sciences (Boston: Allyn and Bacon, Inc.,
1987) pp. 224.
Sudjana, Teknik Analisis Regresi dan Korelasi (Bandung: Tarsito, 1992), pp. 47-48.
Kaplan, op.cit., p. 254.
Kerlinger, op.cit., p. 457.
Ghiselli, Campbell and Zedeck, op.cit., p. 267.

12

Construct validity mempermasalahkan seberapa jauh item-item tes mampu
mengukur apa yang harus diukur sesuai dengan definisi konseptual yang telah ditetapkan. 12
Menyusun sebuah construct validity harus dimulai dari definisi teori untuk konstruk, dengan memberikan beberapa teori tentang prilaku, dan teori khusus dengan cara: (1) tujuan
konstruk, (2) bagaimana hubungan antara konstruk, dan (3) bagaimana hubungan dari prilaku khusus yang tampak.13 Kerlinger menyatakan bahwa criterion related validity adalah
membandingkan tes atau skor dengan satu atau beberapa variabel eksternal atau kriteria 14
sedangkan Ghiselli menyatakan bahwa The Criterion related validity digambarkan secara
kuantitatif yang ditampilkan berupa tingkat hubungan antara skor predictor dan skor criterion. Tingkat hubungan ini dihitung dengan menggunakan rumus koefisien korelasi Pearson seperti point biserial, biserial, phi atau tetrachoric. Koefisien yang digunakan untuk
mengindikasikan tingkat hubungan antara skor predictor dan criterion biasanya disebut
dengan koefisien validitas.15

b. Reliabilitas Instrumen
Reliabilitas berasal dari kata reliability berarti sejauh mana suatu pengukuran
dapat dipercaya. Suatu hasil pengukuran hanya dapat dipercaya apabila dalam beberapakali
pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subyek yang sama, diperoleh hasil
pengukuran yang relatif sama.16 Agar instrumen dalam penelitian ini dapat dipercaya maka
harus mempunyai reliabilitas yang memadai.
Ghiselli menyatakan bahwa, The reliability of measurement (or the lack it) is the
extent of unsystematic in the quantitative description of some characteristic of an individual when the same individual is measured a number of times”17 Definisi ini memberikan
asumsi dengan mengukur berulang-ulang prilaku seseorang dengan cara membedakan skor
seseorang, seperti membedakan skor masing-masing individu menunjukkan variasi yang
tidak sistematis. Sedangkan Kerlinger menyatakan bahwa reliabilitas adalah ketepatan atau

12
13
14
15
16
17

Djaali, Pudji Muljono dan Ramly, op.cit., p. 73.
Ghiselli, Campbell and Zedeck, op.cit., p. 282.
Kerlinger, op.cit., p. 459.
Ghiselli, Campbell and Zedeck, op.cit., p. 269.
Djaali, Pudji Muljono, Ramly, op.cit., p. 81.
Ghiselli, Campbell and Zedeck, op.cit., p. 191.

13

ketelitian dalam mengukur instrumen18 dan Marlene menyatakan bahwa reliabilitas mengacu pada suatu tingkatan dimana hasil-hasil pengukuran bebas dari kesalahan-kesalahan
yang tidak dapat diramalkan
Reliabilitas instrumen untuk mengukur variabel perhatian orang tua digunakan rumus Alpha Cronbach untuk mengestimasi konsistensi internal dari instrumen yang itemnya
bukan skor 0 atau 1 (benar atau salah).19 Koefisien reliabilitas variabel tersebut dihitung
setelah butir pernyataan yang tidak valid dibuang.
c. Validasi oleh Pakar/Tenaga Ahli
Instrumen dimaksudkan untuk mengukur tingkat spiritualitas / religiusitas yang diukur
melalui aspek: (a) ideologis, (b) konsekuensial, (c) eksperiensial, (d) intelektual, dan
(e) ritualistik. Validasi tenaga ahli dilakukan melalui prosedur Thurstone.
Kriteria penilaian berdasarkan atas:
a.
b.
c.
d.
e.

18
19

Kesesuaian antara pernyataan dengan variabel
Kesesuaian antara pernyataan dengan indikator
Kesesuaian antara pernyataan dengan indikator dan variabel
Penulisan pernyataan menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang benar
Pernyataan tidak ambigu/bermakna ganda

Kerlinger, op.cit., p. 443.
Kaplan, op.cit., p. 252.

14

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
“Research and Development”. Menurut Borg dan Gall (1979:626), “ Educational research
and development (R&D) is process used to develop and validate educational products.”
Dalam kaitan ini Borg dan Gall menjelaskan bahwa, yang dimaksud produk dalam konteks
penelitian dan pengembangan pendidikan tidak hanya terbatas pada bahan-bahan material
saja seperti buku teks, film pendidikan dan sejenisnya, akan tetapi juga berhubungan
dengan prosedur dan proses seperti misalnya metode mengajar atau metode
pengorganisasian pembelajaran.
Proses pelaksanaan “Research and Development” membentuk suatu siklus yang
diawali dengan melakukan suatu studi pendahuluan untuk menemukan suatu produk
pendidikan, kemudian produk tersebut dikembangkan dalam suatu situasi tertentu, diuji,
direvisi, dan dikaji kembali, sampai pada akhirnya ditemukan produk akhir yang dianggap
sempurna yang selanjutnya produk tersebut diuji validasinya. Apabila sudah teruji,
diharapkan dapat diterapkan untuk memperbaiki proses pendidikan dalam upaya
menghasilkan lulusan (output) yang lebih baik.
Secara rinci prosedur penelitian dan pengembangan (Research and Development)
menurut Borg dan Gall membagi kedalam 10 tahapan pokok, yaitu:
1. Riset dan pengumpulan informasi yang meliputi penelaahan literature dan observasi
lapangan;
2. Perencanaan, meliputi pendefinisian produk yang akan dikembangkan, perumusan
tujuan dan menentukan urutan pelajaran;
3. Pengembangan produk awal termasuk mempersiapkan bahan-bahan pembelajaran,
buku pegangan dan alat penilaian;
4. Uji lapangan produk awal yang telah dikembangkan dalam skala terbatas. Pada uji
lapangan ini data dikumpulkan melalui wawancara, observasi dan angket, selanjutnya
data tersebut dianalisis untuk menemukan berbagai kelemahan dan kekurangan;

15

5. Revisi produk awal setelah ditemukan berbagai kelemahan dan kekurangan, selanjutnya
produk awal tersebut dikembangkan menjadi menjadi produk yang lebih baik;
6. Uji lapangan produk yang sudah direvisi dalam skala yang lebih luas. Pada tahap ini,
data secara kuantitatif dari subyek penelitian (siswa) baik sebelum maupun sesudah
proses pengembangan dikumpulkan, hasilnya divalidasi dan dibandingkan dengan
kelompok lain;
7. Revisi produk yang telah diuji lapangan pada tahap 6;
8. Uji lapangan produk yang sudah direvisi dalam skala yang lebih luas lagi. Pada tahap
ini dilakukan wawancara, observasi dan penyebaran angket untuk mengumpulkan data,
yang selanjutnya data tersebut dianalisis;
9. Revisi akhir produk (final product revision). Revisi ini dilakukan berdasarkan hasil iji
lapangan pada langkah 8;
10. Desiminasi dan distribusi, yaitu langkah melaporkan produk yang telah dihasilkan pada
pertemuan ilmiah serta dipublikasikan melalui jurnal.
B. Prosedur Penelitian
Langkah-langkah yang ditempuh melalui penelitian ini mengacu pada model
penelitian dan pengembangan seperti yang dikemukakan oleh Borg dan Gall. Atas dasar
pertimbangan kondisi dan situasi lapangan serta rekomendasi pihak terkait (jurusan Tadris
IPA STAIN Cirebon, jumlah mahasiswa sebanyak 300 mahasiswa), yang tidak mungkin
membawa siswa pada situasi laboris seperti yang dilakukan Borg dan Gall, maka proses
penelitian dan pengembangan model melalui uji coba terbatas dan uji coba yang lebih luas,
dilakukan di kelas reguler. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya terjadi penyederhanaan
walaupun prosedur penelitian yang ditempuh tetap mengacu pada model penelitian dan
pengembangan seperti yang disarankan Borg dan Gall. Langkah-langkah dan prosedur
penelitian yang digunakan adalah:
1. Melakukan Pra-survai
Pra-survai dilakukan untuk pengkajian literatur dan pengkajian lapangan sebagai
upaya untuk memahami model dan kondisi pembelajaran sains dewasa ini. Pengkajian
lapangan dilakukan bukan hanya terhadap kinerja dosen dalam pengelolaan pembelajaran
sains di LPTK PTAI, akan tetapi juga cara belajar mahasiswa baik di kampus (di dalam
kelas) maupun di luar kampus.
16

Studi mengenai kinerja guru dan siswa merupakan fokus penelitian pertama yang
dianggap penting untuk diteliti, sebab guru dan siswa merupakan subyek dalam proses
pembelajaran. Di samping guru dan siswa, studi pendahuluan juga dilakukan dengan
menganalisis kondisi kampus yang bukan saja tentang fasilitas termasuk media
pembelajaran yang tersedia serta pemanfaatannya oleh guru, akan tetapi juga tentang iklim
sosial dan iklim psikologis warga kampus seperti pimpinan perguruan tinggi, guru, staf
administrasi kampus dan siswa.
2. Menyusun Rencana Awal Model
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan hasil pra-survai, langkah selanjutnya adalah
menyusun rancangan atau desain awal pembelajaran. Proses pelaksanaan dalam rancangan
dan pengembangan model awal ini dilakukan dengan kolaborasi bersama dosen mata
kuliah khususnya.
3. Mengadakan Uji Coba
Uji coba yang dilakukan dalam dua tahap, yaitu uji coba terbatas dan yang lebih
luas. Uji coba terbatas difokuskan kepada evaluasi proses pada satu mata kuliah yang
melibatkan dosen dan mahasiswa semester 5/6, sedangkan uji coba yang lebih luas
difokuskan kepada evaluasi proses, juga difokuskan kepada evaluasi hasil yang melibatkan
dosen dan mahasiswa semester 5/6 pada beberapa mata kuliah yang berbeda. Desain uji
coba dalam skala yang lebih luas digunakan desain tes awal-tes akhir atau kelompok (Nana
Sudjana, Ibrahim, 1989:35). Desain uji coba lebih luas digambarkan sebagai berikut:
Tes awal
T1

Variabel bebas
(Perlakuan)
X

Tes akhir
T2

Langkah-langkah yang ditempuh dalam proses uji coba yang lebih luas sesuai
dengan desain di atas adalah sebagai berikut:
a. Menentukan sekelompok subyek penelitian;
b. Mengadakan tes awal (T1);
c. Mencobakan model pembelajaran (X);

17

d. Mengadakan tes akhir (T2), setelah proses belajar mengajar dengan model
pembelajaran;
e. Mencari rata-rata baik tes awal

(T1) maupun tes akhir (T2), membandingkan

keduanya;
Dengan metoda statistika dicari selisih perbedaan antara kedua rata-rata tersebut,
untuk menentukan ada dan tidaknya pengaruh yang signifikan dari penggunaan model
pembelajaran. Selain analisis nilai rata-rata, dalam pelaksanaan uji coba ini juga dilakukan
analisis proses untuk penyempurnaan model yang dikembangkan.
4. Melakukan Pengujian Model
Pengujian (validasi) model dilakukan untuk melakukan efektifitas model
pembelajaran yang akan dikembangkan dengan model pembelajaran yang selama ini
digunakan dalam proses pembelajaran sains. Desain eksperimen yang digunakan adalah
desain statis dua kelompok (Nana Sudjana, Ibrahim, 1989:37). Bagan disain tersebut adalah
sebagai berikut:
Kelompok
E (eksperimen)

Perlakuan

Tes akhir

(variabel bebas)
X

(variabel terikat)
Y

-

Y

K (kontrol)

Berdasarkan disain di atas, maka langkah-langkah dalam uji validasi adalah sebagai
berikut:
1. Menentukan kelompok eksperimen (KE) dan kelompok kontrol (KK), yaitu 3
kelompok kampus yang dijadikan subyek pada uji coba yang lebih luas;
2. Melakukan perlakuan (X) yaitu untuk KE, dan pada KK diberikan pelajaran dengan
model pembelajaran yang selama ini digunakan ;
3. Mengadakan tes akhir (Y) baik untuk KE maupun untuk KK;
4. Membandingkan gain, (selisih antara hasil tes awal dan tes akhir) antara KE dan
KK;
5. Menguji signifikansi secara statistik perbedaan tersebut.
C. Lokasi Penelitian
Lokasi dan Subyek Penelitian Pra-survai
Penelitian dilakukan di kampus STAIN Cirebon, Prodi Tadris IPA-Biologi
1. Lokasi dan Subyek Penelitian untuk Uji Coba Terbatas
Di STAIN Cirebon, Prodi Tadris IPA-Biologi
18

2. Lokasi dan Subyek Penelitian Kegiatan Uji Coba yang Lebih Luas
Penelitian dilakukan di kampus STAIN Cirebon Prodi Tadris IPA-Biologi
3. Lokasi dan Subyek Penelitian untuk Uji Validasi Model Pembelajaran
Penelitian dilakukan di kampus: STAIN Cirebon pada pembelajaran di Prodi Tadris
IPA-Biologi Jurusan Tarbiyah.
D.Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah (1)
pengamatan (observasi), (2) wawancara dan kuesioner, (3) analisis dokumen dan (4) tes).
1.Pengamatan (observasi)
Pengamatan (observasi) dilakukan pada setiap tahapan penelitian, baik pada tahap
pra-survai, tahap pengembangan maupun pada tahap uji coba yang lebih luas. Pada tahap
pra-survai observasi dilakukan untuk mengumpulkan data tentang pola pembelajaran yang
selama ini dilakukan oleh dosen dan mahasiswa di dalam kelas, serta fasilitas termasuk
media pembelajaran sains yang tersedia dan penggunaannya dalam proses pembelajaran.
Pada tahap uji coba baik terbatas maupun yang lebih luas, observasi dilakukan
untuk mengumpulkan data tentang pola pembelajaran dosen sains serta cara belajar
mahasiswa.
2.Wawancara dan Kuesioner
Wawancara dan kuesioner digunakan pada tahap pra-survai, tahap pengembangan
model dan tahap uji coba. Pada tahap pra-survai wawncara dan kuesioner digunakan untuk
memperoleh informasi dari guru dan siswa. Pada tahap pengembangan uji coba model
untuk mendapatkan informasi dalam rangka penyempurnaan model yang sedang
dikembangkan digunakan wawancara. Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian
ini adalah wawancara tidak berstruktur atau wawancara yang menghendaki jawaban
terbuka. Hal ini dimaksudkan agar sumber data dapat mengemukakan pandangannya sesuai
dengan pendapatnya secara bebas.
Demikian juga penggunaan kuesioner. Alat pengumpul data ini disusun secara
bervariasi. Artinya, selain diberi kemungkinan jawaban juga disediakan tempat yang

19

memungkinkan responden untuk menjawab sesuai dengan pendapatnya. Bentuk kuesioner
semacam ini dianggap efektif untuk menjaring data sesuai dengan pertanyaan penelitian.
3.Analisis Dokumen
Analisis dokumen digunakan untuk mengumpulkan berbagai informasi khususnya
untuk melengkapi data dalam rangka studi pendahuluan, yaitu untuk menjawab pertanyaan
penelitian yang berhubungan dengan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran sains
yang selama ini berlangsung.
4.Tes
Tes dalam penelitian ini adalah alat ukur yang diberikan kepada individu untuk
mendapatkan jawaban yang diharapkan secara tertulis. Tes digunakan untuk mengukur ada
atau tidak adanya pengaruh penggunaan model pembelajaran terhadap penguasaan materi
pembelajaran serta untuk menguji efektifitas penggunaan model yang telah dipilih
dibandingkan dengan model pembelajaran yang selama ini digunakan oleh dosen dalam
pembelajaran sains. Tes dalam penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaanpertanyaan yang berhubungan dengan uji coba model yang lebih luas serta uji validasi
model.
Tes yang digunakan bukan dalam penelitian ini bukan tes baku atau tes standar.
Akan tetapi tes yang disusun oleh dosen bersama peneliti. Hal ini didasarkan kepada
pertimbangan bahwa tes prestasi belajar yang disusun sendiri dapat mengungkapkan
keberhasilan model pembelajaran. Nana Sudjana, Ibrahim (1989:101) mengemukakan
bahwa, dalam penelitian pendidikan, penyusunan tes prestasi belajar buatan peneliti sebagai
alat pengumpul data jauh lebih baik daripada tes baku atau sekedar mengumpulkan data
sekunder dari dokumen hasil belajar yang telah ada, sebab instrumen yang dihasilkan dapat
dipandang sebagai hasil penelitian itu sendiri.
E. Penyusunan Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian disusun sesuai dengan alat pengumpul data seperti yang telah
dikemukakan di atas. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penyusunan instrumen
penelitian ini adalah:
1. Menyusun kisi-kisi atau lay out penelitian untuk memudahkan dalam
menentukan dan penyusunan alat pengumpul data, sesuai dengan jenis data
yang diperlukan;
20

2. Membuat kerangka pertanyaan setiap alat pengumpul data yang telah ditentukan
berserta kemungkinan jawabannya. Alat pengumpul data seperti tes, kerangka
pertanyaan ditentukan bersama dosen pengampu mata kuliah. Hal ini didasarkan
kepada pertimbangan bahwa terdisfungsikan hanya untuk kepentingan pra dan
pasca-tes yang digunakan untuk memperoleh keandalan model yang
dikembangkan;
3. Menguji coba instrumen setelah sebelumnya meminta pendapat dan
pertimbangan ahli tentang instrumen yang telah disusun. Pertimbangan para ahli
dimaksudkan untuk menguji validitas isi dan validitas konstruk. Sedangkan uji
coba dilaksanakan untuk menguji keterbacaan instrumen;
4. Merevisi instrumen setelah mempertimbangkan hasil konsultasi dengan ahli dan
memasukan hasil uji coba keterbacaan. Beberapa revisi yang disarankan oleh
ahli diantaranya tentang bentuk pertanyaan yang diajukan yang sebaiknya tidak
menimbulkan kesan seperti menguji, serta bentuk option yang tidak terbatas
kepada option tertutup akan tetapi harus memberi kemungkinan jawaban yang
bersifat terbuka. Sedangkan hasil uji coba keterbacaan adalah adanya saran
tentang penjelasan istilah yang dianggap sulit khusunya untuk siswa seperti
istilah” media pembelajaran;
5. Memperbanyak instrumen sebanyak subyek penelitian.
F.Analisis Data
Pendekatan “Research and Development” yang digunakan dalam penelitian ini
bertujuan untuk memperoleh asesmen model pembelajaran dalam pembelajaran sains
berbasis imtak yang sesuai dengan kondisi lapangan yang ada, yang dapat digunakan untuk
meningkatkan pembelajaran sains di LPTK PTAI. Sesuai dengan penelitian ini maka ada
dua jenis data yaitu data kualitatif dan data kuantitatif.
Data kualitatif dihasilkan dari studi pendahuluan atau kegiatan pra survey baik
dalam studi literatur maupun studi lapangan, serta proses pengembangan dan penemuan
model itu sendiri baik melalui uji coba terbatas maupun uji coba lebih luas, khususnya
dalam upaya melihat pengaruh model yang dikembangkan terhadap peningkatan
kepribadian siswa islami yang diajukan. Analisis data kualitatif dilakukan melalui
penafsiran secara langsung untuk menyusun kesimpulan. Hal ini seperti diungkapkan Nana
21

Sudjana dan Ibrahim (1989:126) bahwa data kualitatif bisa disusun dan langsung
ditafsirkan untuk menyusun kesimpulan penelitian melalui kategorisasi data kualitatif
berdasarkan masalah dan tujuan penelitian. Dijelaskan pula bahwa peneliti tidak perlu
melakukan pengolahan data melalui perhitungan matematis sebab data telah memiliki
makna apa adanya.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka data kualitatif yang diperoleh dalam setiap
tahapan penelitian setelah dilakukan katagorisasi secara langsung ditafsirkan oleh peneliti
untuk selanjutnya diambil kesimpulan.
Data kuantitatif dilakukan dalam proses uji coba dan uji validasi. Dalam proses uji
coba, analisis data kuantitatif digunakan untuk melihat pengaruh penggunaan model
terhadap penguasaan materi pembelajaran sains, dengan mencari selisih (gains) antara hasil
pra dan pasca-tes. Sedangkan, pengujian validasi digunakan untuk melihat efektifitas
model

pembelajaran

sebagai

hasil

pengembangan

dibandingkan

dengan

model

pembelajaran yang selam ini digunakan oleh guru. Proses analisis data dilakukan
menggunakan bantuan komputer dengan program SPSS versi 15.0.
G. Agenda Rencana Penelitian
No.
KEGIATAN
1  Persiapan teknis:

RENCANA
Bulan 1

 Seminar proposal
 Perbaikan proposal
2.
3.
4.
5.
6.
7.

 Penetapan lokasi dan ijin penelitian
Penilaian dan uji coba instrumen
Penelitian pra-survai
Analisis Pendahuluan
Penyusunan draf awal model dan review
Uji coba terbatas dan penyempurnaan
Uji coba lebih luas dan penyempurnaan

Bulan ke 1 dan 2
Bulan ke 2 dan 3
Bulan ke 2 dan 3
Bulan ke 3 dan 4
Bulan ke 4, 5 dan 6
Bulan ke 6, 7 dan 8

8.
9.

hingga ditemukan model final
Pengujian validasi
Penyusunan laporan

Bulan ke 8, 9 dan 10
Bulan ke 11 dan 12

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengembangan Model Pembelajaran Sains Berbasis Imtak
22

Pada bagian pertama dari penelitian ini, peneliti terlebih dahulu melakukan
penelusuran literature untuk menyusun sebuah model pembelajaran yang sesuai bagi pembelajaran sains berbasis iman dan takwa. Pembentukan model pembelajaran ini merupakan
suatu rangkaian kegiatan hingga terbentuknya sebuah model yang dianggap solid. Proses
pembentukan model pembelajaran sains berbasis iman dan takwa ini diawali dengan merumuskan ide-ide atau konsep-konsep model hipotetis kurikulum yang memadukan sains dan
imtak yang dianggap cocok untuk diterapkan di perkuliahan. Dari gagasan atau konsepsi
tersebut selanjutnya dikembangkan rancangan atau desain tertulis, model implementasi dan
evaluasi atas hasil yang diharapkan oleh guru sains.
1. Gagasan/Konsepsi Sains Berbasis Imtak
Hakikat Sains
Untuk membahas hakikat sains, diperlukan sebuah kajian kritis yang tentunya akan
membawa konsekuensi pada cara pandang manusia dalam menanggapi dan menghayati
sains. Cara pandang yang sempit tentang sains akan mempengaruhi warna yang diberikan
kepada para siswa dalam proses pendidikan dan pembelajaran sains. Terlepas dari materi
apa yang diajarkan, model pendidikan dan pembelajaran sains akan sangat dipengaruhi oleh
persepsi para pendidik tentang sains itu sendiri.
Untuk membahas hakikat sains, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan,
sehingga para memungkinkan para pendidik untuk memahami pengertian sains secara lebih
luas.20
1. Sains sebagai kumpulan pengetahuan
Sebagai kumpulan pengetahuan, sains mengacu pada berbagai konsepsi sains
yang sangat luas. Sains dipertimbangkan sebagai akumulasi berbagai pengetahuan
yang telah ditemukan sejak zaman dahulu sampai pengetahuan yang terkini dan
terbaru.

Pengetahuan tersebut berupa fakta, konsep, teori dan generalisasi yang

menjelaskan tentang alam semesta.
2. Sains sebagai suatu proses penelusuran (investigasi)
Sebagai suatu proses penelusuran, sains pada umumnya merupakan suatu
pandangan yang Menghubungkan gambaran sains yang berhubungan erat dengan
20

R. Rohandi, Memberdayakan Anak melalui Penddikan Sains, dalam Sumaji, Pendidikan Sains Yang
Humanitis, Penerbit Kanisius. Jakarta. 1998. hal. 113-115

23

kegiatan laboratorium beserta perangkatnya. Sains dipandang sebagai suatu displin
ilmu yang ketat dari kegiatan pengamatan, inferensi, hipotesis dan percobaan tentang
alam semesta.
3. Sains sebagai kumpulan nilai
Sebagai kumpulan nilai, sains berhubungan erat dengan penekanan sains
sebagai proses. Bagaimanapun juga, pandangan ini menekankan pada aspek nilai
ilmiah yang melekat dalam sains, termasuk di dalamnya nilai kejujuran, rasa ingin
tahu (curiousity), dan keterbukaan akan berbagai fenomena yang baru sekalipun
4. Sains sebagai cara untuk mengenal dunia
Proses sains dipengaruhi oleh cara manusia memahami kehidupan dan dunia
di sekitarnya. Dalam konteks ini, Sains dipahami sebagai salah satu cara manusia
mengerti dan memberi makna pada dunia di sekitar mereka. Diyakini, bahwa sains
merupakan hal sangat penting dan karenanya dipandang sebagai suuatu cara untuk
memahami alams emesta. Namun demikian, disadari pula bahwa sians memiliki
keterbatasan sebagai suatu keumpulan pengetahuan dan strategi untuk memahami
dunia secara komprehensif.
5. Sains sebagai Institusi Sosial
Sains seharusnya dipandang dalam pengertian sebagai kumpulan para
profesional dan ilmuwan, dimana para melalui sains para ilmuwan dilatih dan diberi
penghargaan akan karya yang dihasilkannya, didanai, dan diatur dalam masyarakat,
dikaitkan

dengan

unsur

pemerintah,

bahkan

dipengaruhi

dalam

politik.

Kenyataannya, saat ini banyak para ilmuwan mengembangkan sains berkaitan dengan
kepentingan negara ataupun tendensi tertentu.
6. Sains sebagai Hasil Konstruksi Manusia
Pandangan ini menunjuk pada pengertian bahwa sains sebenarnya merupakan
penemuan dari suatu kebenaran ilmiah mengenai hakikat alam semesta yang tidak
lain merupakan akumulasi kebenaran yang diperoleh. Hal pokok dalam pandangan
ini adalah sains merupakan kontruksi pemikiran manusia, yang karenanya apa yang
dihasilkan bisa jadi memiliki sifat bias dan sementara.
7.

Sains sebagai Bagian dari Kehidupan Sehari-hari

24

Manusia menyadari bahwa apa yang dipakai dan digunakan untuk pemenuhan
kebutuhan hidup sangat dipengaruhi oleh sains. Hal ini tidak semata-mata dalam
wujud produk teknologi sebagai hasil dari metode ilmiah dalam sains, tetapi juga
berupa bagaimana cara manusia berpikir mengenai situasi sehari-hari yang sangat
kuat dipengaruhi oleh pendekatan ilmiah.
Kritik terhadap Sains Modern dan Urgensi Sains Islam
Memang benar bahwa Barat telah memperoleh kemajuan yang sangat besar baik di
bidang sains maupun teknologi, menurut terminologi mereka, sejak mereka memisahkan
aspek metafisik dari pemikiran dan kehidupan mereka. Namun, tidak dapat dipungkiri
bahwa pesatnya perkembangan sains dan teknologi tersebut diikuti pula oleh berbagai
dampak negatif yang semakin besar manakala kehilangan ikatan aspek metafisiknya.
Dalam pandangan Ziauddin Sardar, sebagian besar sains modern yang ada sekarang ini
menyebar karena dominasi Barat di bidang ini, dan tumbuh dengan akar budaya, illusi, etos
atau sistem nilai Barat, maka mudahlah dipahami bahwa sains modern atau sains Barat
tidak mungkin bersifat universal, netral dan bebas nilai.

Dalam kerangka ini, sains

seringkali dikembangkan untuk mengejar keuntungan dan jumlah produksi, untuk
pengembangan militer dan perlengkapan-perlengkapan perang, serta untuk dominasi suatu
ras manusia terhadap ras lainnya, sebagaiman juga untuk mendominasi dan
mengeksploitasi alam semesta. Sejauh mana sains modern bersifat universal, tidak netral,
dan bebas nilai, para ilmuwan muslim sendiri masih memiliki keragaman pendapat.
Sementara itu, Sayid Hossein Nasr memandang bahwa isi dan penerapan
sains barat telah terpisah dari ilmu pengetahuan wahyu akibat dari proses sekularisasi,
sehingga seluruh rangkaian sains menjadi salah dan teramat berbahaya. Naquib Al-Attas
mengidentifikasikan nilai-nilai zaman pencerahan (Renaissance) sebagai nilai-nilai dari
sains dan teknologi modern. Dia mengakui bahwa Islam pada tahap awal evolusinya telah
memberikan kontribusi yang sangat penting terhadap sains dan teknologi Barat, "tetapi
ilmu pengetahuan dan semangat ilmiahnya yang rasional telah disusun dan dibentuk
kembali untuk disesuaikan dengan wadah peradaban Barat sehingga ia mengalami
peleburan dan amalgamasi dengan semua elemen-elemen lain yang membentuk karakater

25

dan personalitas peradaban Barat.21

Karenanya, Sardar memandang perlu untuk

merekontruksi sains dan membentuk apa yang disebut dengan sains Islam.
Pro dan Kontra Seputar Sains Islam dan Islamisasi Sains
Dalam majalah Nature (vol. 282/22, 1979), Ziauddin Sardar melaporkan hasil
perjalanannya ke delapan negara muslim (Tunisia, Mesir, Turki, Syiria, Arab Saudi,
Pakistan, dan Malaysia) yang dipilihnya sebagai negara kunci yang mewakili pendapat dan
sikap ilmuwan-ilmuwan muslim di dunia Islam terhadap sains modern dan teknologi
modern.

Sardar mengklasifikasikan pendapat tersebut menjadi empat pandangan dan

sikap yang membentuk suatu spektrum luas sikap ilmuwan muslim terhadap sains
modern.22
Pandangan yang pertama, menganggap sains itu bersifat universal, netral dan bebas
nilai, karenanya hanya ada satu sains. Pandangan ini sebenarnya merupakan pandangan
yang dominan di kalangan ilmuwan Barat dan juga para ilmuwan Tunisia yang diwakili
oleh Ali El-Hilli. Bahkan El-Hilli mengungkap, “Kita tidak dapat mengkompromikan
rasionalitas dasar dari sains dengan urusan-urusan keagamaan. Jika kita kompromikan
obyektivitas dan ne