Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Perkawinan Usia Muda Dikalangan Remaja di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Faktor Sosial Ekonomi

2.1.1. Pengertian Sosial Ekonomi

  Kata sosial berasal dari kata “socius” yang artinya kawan (teman). Dalam hal ini arti kawan bukan terbatas sebagai teman sepermainan, teman sekelas, teman sekampung dan sebagainya. Yang dimaksud kawan disini adalah mereka (orang-orang) yang ada di sekitar kita, yakni yang tinggal dalam satu lingkungan tertentu dan mempunyai sifat yang saling mempengaruhi (Wahyuni, 1986 : 60).

  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sosial berarti segala sesuatu yang berkenaan dengan masyarakat (KBBI, 2002 : 1454). Sedangkan kata sosial menurut Departemen Sosial adalah segala sesuatu yang dipakai sebagai acuan dalam berinteraksi antar manusia dalam konteks masyarakat atau komuniti, sebagai acuan berarti sosial bersifat abstrak yang berisi simbol-simbol berkaitan dengan pemahaman terhadap lingkungan, dan berfungsi untuk mengatur tindakan-tindakan yang dimunculkan oleh individu-individu sebagai anggota suatu masyarakat. Sehingga dengan demikian, sosial haruslah mencakup lebih dari seorang individu yang terikat pada satu kesatuan interaksi, karena lebih dari seorang individu berarti terdapat hak dan kewajiban dari masing-masing individu yang saling berfungsi satu dengan lainnya diakses pada pukul 14.25 WIB, 18 April 2012).

  Sedangkan istilah ekonomi berasal dari bahasa Yunani yaitu “oikos” yang artinya rumah tangga dan “nomos” yang artinya mengatur. Jadi secara harfiah ekonomi berarti cara mengatur rumah tangga. Ini adalah pengertian yang paling sederhana. Namun seiring dengan perkembangan dan perubahan masyarakat, maka pengertian ekonomi juga sudah lebih luas. Ekonomi juga sering diartikan sebagai cara manusia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jadi dapat dikatakan bahwa ekonomi bertalian dengan proses pemenuhan keperluan hidup manusia sehari-hari (http://id.wikipedia.org/Ilmu_ekonomi, diakses pada pukul 19.32 WIB, 19 April 2012).

  Menurut istilah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ekonomi berarti segala sesuatu tentang azas-azas produksi, distribusi dan pemakaian barang-barang serta kekayaan (seperti perdagangan, hal keuangan dan perindustrian) (KBBI, 2002 : 379). Dari beberapa pengertian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa sosial ekonomi dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat, antara lain dalam sandang, pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.

  Pemenuhan kebutuhan yang dimaksud berkaitan dengan penghasilan. Hal ini disesuaikan dengan penelitian yang dilakukan.

  Kehidupan sosial ekonomi harus di pandang sebagai sistem (sistem sosial) yaitu satu keseluruh bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berhubungan dalam suatu kesatuan. Kehidupan sosial adalah kehidupan bersama manusia atau kesatuan manusia yang hidup dalam suatu pergaulan. Interaksi ini pertama sekali terjadi pada keluarga dimana ada terjadi hubungan antara ayah, ibu dan anak. Dari adanya interaksi antara anggota keluarga maka akan muncul hubungan dengan masyarakat luar. Pola hubungan interaksi ini tentu saja di pengaruhi lingkungan dimana masyarakat tersebut bertempat tinggal. Di dalam masyarakat pedesaan kita ketahui interaksi yang terjadi lebih erat dibandingkan dengan perkotaan. Pada masyarakat yang hidup diperkotaan hubungan interaksi biasanya lebih dieratkan oleh status, jabatan atau pekerjaan yang dimiliki. Hal ini menyebabkan terjadinya stratifikasi sosial di dalam masyarakat.

  Keberadaan seperti hal diatas mempengaruhi gaya hidup seseorang, tentu saja termasuk dalam berperilaku dan dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Seperti yang dikatakan oleh beberapa ahli mengenai konsumsi dan gaya hidup. Konsumsi terhadap suatu barang menurut Weber merupakan gambaran hidup dari kelompok atau status tertentu (Kartono, 1992 : 137).

  Melly. G. Tan mengatakan untuk melihat kedudukan sosial ekonomi adalah pekerjaan, penghasilan, dan pendidikan. Berdasarkan ini masyarakat itu dapat digolongkan kedalam kedudukan sosial ekonomi rendah, sedang dan tinggi (Tan dalam Koentjaraningrat, 1981 : 35).

  1. Golongan masyarakat berpenghasilan rendah. Yaitu masyarakat yang menerima pendapatan lebih rendah dari keperluan untuk memenuhi tingkat hidup yang minimal. Untuk memenuhi tingkat hidup yang minimal, mereka perlu mendapatkan pinjaman dari orang lain. Karena tuntutan kehidupan yang keras, kehidupan remajanya menjadi agresif. Sementara itu, orang tua yang sibuk mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi tidak sempat memberikan bimbingan dan melakukan pengawasan terhadap perilaku putra-putrinya, sehingga remaja cenderung dibiarkan menemukan dan belajar sendiri serta mencari pengalaman sendiri.

2. Golongan masyarakat berpenghasilan sedang. Yaitu pendapatan yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok dan tidak dapat menabung.

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991), pendidikan diartikan pemahaman proses pembelajaran bagi individu untuk mencapai pengetahuan dan pemahaman sebagai yang lebih tinggi mengenai obyek

  3. Golongan masyarakat berpenghasilan tinggi. Yaitu selain dapat memenuhi kebutuhan pokok, juga sebagian dari pendapatannya itu dapat ditabungkan dan digunakan untuk kebutuhan yang lain. Remaja dalam golongan ini sering berada dalam kemewahan yang berlebihan. Remaja dengan mudahnya mendapatkan segala sesuatu. Membuatnya kurang menghargai dan menganggap sepele, yang dapat menciptakan kehidupan berfoya-foya, sehingga anak dapat terjerumus dalam lingkungan antisosial. Kemewahan membuat anak menjadi terlalu manja, lemah secara mental, tidak mampu memanfaatkan waktu luang dengan hal-hal yang bermanfaat. Situasi demikian menyebabkan remaja menjadi agresif dan memberontak, lalu berusaha mencari kompensasi atas dirinya dengan melakukan perbuatan yang bersifat melanggar.

2.2. Faktor Pendidikan

2.2.1 Defenisi Pendidikan

  • – obyek tertentu dan spesifik. Pengetahuan tersebut diperoleh secara formal yang berakibat individu mempunyai pola pikir dan perilaku sesuai dengan pendidikan yang telah diperolehnya. Secara umum pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat
dilihat tetapi labih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan melewati generasi. Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, khusunya di Indonesia yaitu : 1.

  Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan Daerah, dan juga sekolah yang berada di garis depan.

  Dalam hal ini, interfensi dari pihak

  • – pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan agar pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.

2. Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umunya yang merupakan ikon pendidikan dan merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu sebagai objek dari pendidikan.

   Dalam pengertian yang sederhana dan umum, makna pendidikan sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai – nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan. Usaha-usaha yang dilakukan untuk menanamkan nilai

  • – nilai tersebut serta mewariskannya pada generasi berikutnya untuk dikembangkan dalam hidup dan kehidupan yang terjadi dalam suatu proses pendidikan atau dengan kata lain bahwa pendidikan dapat diaartikan sebagai suatu hasil peradaban bangsa yang dikembangkan atas dasar pandangan bangsa itu sendiri (nilai dan norma masyarakat) yang berfungsi sebagai filsafat pendidikannya atau cita - cita dan pernyataan tujuan pendidikannya.

2.2.2. Tingkat Pendidikan

  Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan. Pendidikan di Indonesia mengenal tiga jenjang pendidikan, yaitu pendidikan dasar (SD/MI/Paket A dan SLTP/MTs/Paket B), pendidikan menengah (SMA/SMK/MA/Paket C), dan pendidikan tinggi. Meski tidak termasuk dalam jenjang pendidikan, terdapat pula pendidikan anak usi dini, pendidikan yang diberikan sebelum memasuki dasar. Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.

  1. Pendidikan formal Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselengarakan di sekolah

  • – sekolah pada umumnya. Jalur pendidikan ini mempunyai jenjang pendidikan yang jelas, mulai dari pendidikan dasar, pendidikan pertama, pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi.

  2. Pendidikan non formal Pendidikan non formal meliputi pendidikan dasar, dan pendidikan lanjutan.

  Pendidikan dasar mencakup pendidikan keaksaraan dasar, keaksaraan fungsional, dan keaksaraan fungsional, dan keaksaraan lanjutan paling banyak ditemukan dalam pendidikan usia dini (PAUD), Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA), maupun Pendidikan Lanjut Usia. Pemberantasan Buta Aksara (PBA) serta program paket A (setara SD), paket B (setara B) merupakan pendidikan dasar. Pendidikan lanjutan meliputi program paket C (setara SLTA), kursus, pendidikan vokasi, latihan keterampilan lain, baik dilaksanakan secara terorganisasi maupun tidak terorganisasi.

  Pendidikan non formal mengenal pula Pusat Kegiatan Masyarakat (PKBM) sebagai pangkalan program yang dapat berada di dalam kawasan setingkat atau lebih kecil dari kelurahan/desa. PKBM berlaku untuk umum merupakan padanan dari

  Community Learning Center (CLC) yang menjadi bagian komponen dari Community Center.

2.3 Faktor OrangTua

2.3.1 Peran dan Fungsi OrangTua

  Anak

  • – anak dan remaja sangat memerlukan perhatian dan bimbingan dalam menjalani masa remaja menuju masa depannya, sebuah masa yang selaku orangtua tidak pernah tahu. Sepantasnyalah selaku orangtua memberikan bekal bekal kepada anak-anak tersebut sehingga mereka dapat menjalani kehidupan dengan benar dan bahagia. Berbagai masalah remaja yang muncul dewasa ini baik yang berhubungan dengan perilaku seks, kecanduan obat dan kenakalan remaja lainnya disebabkan antara lain oleh kurangnya perhatian dan bekal yang diterima oleh anak-anak dan remaja dari orangtuanya, yang berawal dari masalah komunikasi antara ayah, ibu dan mereka. Kebanyakan dari para orangtua merasa canggung dan kurang percaya diri untuk mempersiapkan anak-anak mereka memasuki masa baligh atau dewasa karena menganggap pembicaraan mengenai seks adalah tabu, sehingga segan membicarakannya dan tidak tahu bagaimana cara memulai menyampaikannya.

  Orangtua merupakan komponen keluarga yang terdiri dari Ayah dan Ibu, dan merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah keluarga. Orangtua merupakan guru yang paling utama ditemui oleh anak didalam keluarga sebelum si anak terjun ke dalam lingkungan yang lebih luas lagi, seperti lingkungan masyrakat dan sebagainya. Artinya, orangtua memiliki tanggung jawab yang lebih untuk mendidik, membimbing dan mngasuh anak

  • – anak mereka untuk mencapai tahapan yang mengantarkan anaknya sebagai bekal menuju kehidupan masyarakat yang lebih luas lagi. Orangtua yang mengajarkan nilai
  • – nilai yang terkandung di dalam keluarganya kepada
  • – anaknya dan memberi sanksi ketika anaknya melanggar aturan di dalam keluarga. Orangtua memiliki fungsi penting bagi anak di dalam sebuah keluarga, fungsi
  • – fungsi tersebut antara lain : 1.

  Fungsi Religius, artinya orangtua memiliki kewajiban untuk memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota lainnya kepada kehidupan beragama. Memberikan penjelasan bahwa untuk melaksanakan fungsi ini, orangtua sebagai tokoh inti dalam keluarga itu harus terlebih dahulu menciptakan iklim yang dapat religius dalam lingkungan keluarga itu, yang dapat dihayati oleh seluruh anggota keluarga.

  Orangtua merupakan komponen keluarga yang terdiri dari Ayah dan Ibu, dan merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah keluarga. Orangtua merupakan guru yang paling utama ditemui oleh anak didalam keluarga sebelum si anak terjun ke dalam lingkungan yang lebih luas lagi, seperti lingkungan masyrakat dan sebagainya. Artinya, orangtua memiliki tanggung jawab yang lebih untuk mendidik, membimbing dan mngasuh anak

  • – anak mereka untuk mencapai tahapan yang mengantarkan anaknya sebagai bekal menuju kehidupan masyarakat yang lebih luas lagi. Orangtua yang mengajarkan nilai
  • – nilai yang terkandung di dalam keluarganya kepada
  • – anaknya dan memberi sanksi ketika anaknya melanggar aturan di dalam keluarga.
Orangtua memiliki fungsi penting bagi anak di dalam sebuah keluarga, fungsi

  • – fungsi tersebut antara lain : 2.

  Fungsi Religius, artinya orangtua memiliki kewajiban untuk memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota lainnya kepada kehidupan beragama. Memberikan penjelasan bahwa untuk melaksanakan fungsi ini, orangtua sebagai tokoh inti dalam keluarga itu harus terlebih dahulu menciptakan iklim yang dapat religius dalam lingkungan keluarga itu, yang dapat dihayati oleh seluruh anggota keluarga.

  3. Fungsi Edukatif, pelaksanaan fungsi edukatif di keluarga merupakan salah satu tanggungjawab yang dipikul oleh orangtua. Sebagai salah satu unsur pendidikan keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama bagi anak. Orangtua harus mengetahui tentang pentingnya anak secara keseluruhan. Ditangan orangtuanyalah masalah

  • – masalah yang menyangkut anak, apakah dia akan tumbuh menjadi orang yang suka merusak dan menyeleweng atau si anak akan tumbuh menjadi orang yang baik.

4. Fungsi Protekrif, biasanya orangtua memberikan gambaran pelaksanaan fungsi

  • – lingkungan, yaitu dengan cara melarang atau menghindarkan anak dari perbuatan perbuatan yang tidak diharapakan oleh orangtua, mengawasi atau membatasi perbuatan anak dalam hal
  • – hal tertentu, menganjurkan atau menyuruh mereka untuk melakukan perbu
  • – perbuatan yang diharapkan oleh orangtua mereka, mengajak
  • – bekerja sama dan saling membantu, dan memberikan contoh dan teladan dalam hal hal yang diharapkan oleh orangtua.

  5. Fungsi Sosialisasi, tugas orangtua dalam mendidik setiap anaknya tidak saja mencakup mengembangkan pribadi, agar menjadi pribadi yang baik tetapi meliputi pula mempersiapkannya menjadi anggota masyarakat yang baik. Sehubungan dengan itu perlu dilaksanakan fungsi sosialisasi itu berarti orangtua memiliki kedudukan sebagai penghubung anak dengan kehidupan sosial dan norma - norma sosial dan membutuhkan fasilitas yang memadai.

6. Fungsi Ekonomis, meliputi : pemberian nafkah, perencanaan serta pembelajarannya.

  Keadaan ekonomi keluarga mempengaruhi pula harapan orangtua akan masa depan anak

  • – anak mereka serta harapan anak – anak itu sendiri. Orangtua harus dapat mendidik anaknya agar dapat memberikan penghargaan yang tepat terhadap uang dan pencariannya, diserta dengan pengertian kedudukan ekonomi keluarga secara nyata, bila tahap perkembangan anak telah memungkinkan. Berdasarkan dari penjelasan di atas mengenai fungsi orangtua terhadap anaknya antara lain menanamkan kehidupan yang beragama, memberikan pendidikan dalam masa perkembangan anak, terutama pada anak yang beranjak remaja, perlunya pendidikan mengenai dunia remaja terhadap anak merupakan pendidikan yang paling mendasar yang diberikan oleh orangtua kepada anaknya yang akan beranjak remaja, dengan begitu si anak akan cenderung terbuka terhadap orangtua , orangtua juga berfungsi sebagai penghubung dalam kehidupan sosial anak dan memberikan nafkah secara ekonomi demi masa depan si anak.

2.4. Perkawinan

2.4.1. Definisi Penyesuaian Perkawinan

  Penyesuaian dapat didefinisikan sebagai interaksi seseorang yang continue dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan dengan dunia anda (Calhoun & Acocella, 1995).

  Interaksi dengan diri sendiri yaitu jumlah keseluruhan dari apa yang telah ada pada seseorang : tubuh, perilaku, dan pemikiran serta perasaaan diri sendiri adalah sesuatu yang dihadapi individu setiap detik. Interaksi dengan orang lain, jelas berpengaruh pada individu, sebagaimana individu juga berpengaruh terhadap orang lain. Interaksi dengan dunia kita, penglihatan dan penciuman serta suara yang mengelilingi seseorang saat ia menyelesaikan urusannya, mempengaruhi diri sendiri dan dunia atau lingkungannya. Penyesuaian juga merupakan suatu proses psikologis dimana seseorang mengatur atau memenuhi keinginan dan tantangan dan kehidupan sehari-hari (Witten & Lloyd, 2006).

  Salah satu bentuk penyesuaian diri adalah penyesuaian terhadap perkawinan.

  Penyesuaian perkawinan adalah suatu ”state” dimana seluruh perasaan bahagia dan kepuasan suami dan istri terhadap pernikahan mereka dan antara mereka berdua.

  Pasangan yang menikah memiliki banyak harapan, yang terkadang realistis tapi ada yang tidak realistis. Penyesuaian pernikahan menuntut adanya kematangan dan tumbuh serta berkembangnya pengertian diantara pasangan (Hashmi, Khurshid, Hassan, 2006).

  Laswell dan Laswell mengatakan konsep dari penyesuaian pernikahan adalah dua individu belajar untuk saling mengakomodasikan kebutuhan, keinginan dan harapan.

  Penyesuaian pernikahan juga sebuah proses yang panjang karena setiap orang dapat berubah sehingga setiap waktu masing-masing pasangan harus melakukan penyesuaian pernikahan. Hoult juga mengatakan bahwa penyesuaian pernikahan merupakan perubahan sikap dan tingkah laku pada masing-masing pasangan suami istri yang menguntungkan untuk memenuhi harapan atau tujuan pernikahan (Wahyuningsih, 2002).

  Berdasarkan beberapa pengertian penyesuaian perkawinan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa penyesuaian perkawinan merupakan poses interaksi dan sejumlah perasaan suami dan istri terhadap pernikahan mereka, menyesuaikan diri, dan mengembangkan serta menumbuhkan interaksi dan pencapaian kepuasan yang maksimum terhadap hubungan yang mereka bentuk.

2.4.2. Landasan Hukum Perkawinan

  Adapun yang menjadi dasar hukum perkawinan adalah : 1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 a.

  Pasal 1 : Perkawinan adalah ikatan suami istri lahir-bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa). Sebuah perkawinan diijinkan apabila seorang pria telah mencapai umur 19 tahun dan seorang wanita telah mencapai umur 16 tahun.

  a.

  (1). Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.

  (2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  2. Selain Undang-Undang diatas, Undang-Undang RI No. 10 Tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera, dapat juga dijadikan acuan dalam membentuk keluarga yang berketahanan dan berkualitas.

3. Untuk menindak lanjuti pasal (1) UU No. 1 Tahun 1974, Badan Kependudukan dan

  Keluarga Berencana Nasional Pusat yang telah bekerjasama dengan MOU bahwa Usia Pertama Perkawinan adalah apabila seorang pria telah mencapai umur 25 tahun dan seorang wanita telah mencapai umur 20 tahun.

2.4.3. Bentuk-bentuk Penyesuaian Diri dalam Perkawinan

  Penyesuaian diri dalam perkawinan memiliki beberapa area yang akan dilalui, seperti agama, kehidupan sosial, teman yang menguntungkan, hukum, keuangan, dan seksual. Hurlock (1999) juga mengatakan bahwa dari sekian banyak masalah penyesuaian diri dalam pernikahan, ada empat hal pokok yang paling umum dan paling penting dalam menciptakan kebahagiaan perkawinan. Empat hal itu adalah :

1. Penyesuaian dengan pasangan

  Masalah yang paling penting yang pertama kali harus dihadapi saat seseorang memasuki dunia pernikahan adalah penyesuaian dengan pasangan (istri maupun suaminya). Semakin banyak pengalaman dalam hubungan interpersonal antara pria dan wanita yang diperoleh dimasa lalu, makin besar pengertian dan wawasan sosial mereka sehingga memudahkan dalam penyesuaian dengan pasangan. Hal ini juga terjadi pada remaja putri yang menikah dini.

  Hurlock (1999) juga mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi penyesuaian terhadap pasangan. Faktor-faktor tersebut adalah :

a. Konsep pasangan ideal.

  Pada saat memilih pasangan, baik pria maupun wanita sampai pada waktu tertentu dibimbing oleh konsep pasangan ideal yang dibentuk selama masa dewasa. Semakin seseorang terlatih menyesuaikan diri terhadap realitas maka semakin sulit penyesuaian yang dilakukan terhadap pasangan.

  b. Pemenuhan kebutuhan

  Apabila penyesuaian yang baik dilakukan, pasangan harus memenuhi kebutuhan yang berasal dari pengalaman awal. Apabila diperlukan pengenalan, pertimbangan prestasi dan status sosial sosial agar bahagia, pasangan harus membantu pasangan lainnya untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

  c. Kesamaan latar belakang

  Semakin sama latar belakang suami dan istri maka semakin mudah untuk saling menyesuaikan diri. Bagaimanapun juga apabila latar belakang mereka sama, setiap orang dewasa mencari pandang unik tentang kehidupan. Semakin berbeda pandangan hidup ini, maka semakin sulit penyesuaian diri dilakukan.

  d. Minat dan kepentingan bersama

  Kepentingan yang sama mengenai suatu hal yang dapat dilakukan pasangan cenderung membawa penyesuaian yang baik dari pada kepentingan bersama yang sulit dilakukan dan dibagi bersama.

  e. Keserupaan nilai

  Pasangan yang menyesuaikan diri dengan baik mempunyai nilai yang lebih serupa daripada mereka yang penyesuaian dirinya buruk.

  f. Konsep peran

  Setiap lawan pasangan mempunya konsep yang pasti mengenai bagaimana seharusnya peranan seorang suami dan istri, atau setiap individu mengharapkan pasangannya memainkan perannya. Jika harapan terhadap peran tidak terpenuhi maka akan mengakibatkan konflik dan penyesuaian yang buruk.

  g. Perubahan dalam pola hidup

  Penyesuaian terhadap pasangannya berarti mengorganisasikan pola kehidupan, merubah persahabatan dan kegiatan-kegiatan sosial, serta merubah persyaratan pekerjaan, terutama bagi seorang istri. Penyesuaian-penyesuaian ini seringkali diikuti oleh konflik emosional.

2. Penyesuaian seksual

  Masalah penyesuaian utama yang kedua dalam pernikahan adalah penyesuaian seksual, masalah ini adalah masalah yang paling sulit dalam pernikahan dan salah satu penyebab yang mengakibatkan pertengkaran dan ketidakbahagiaan dalam pernikahan. Permasalahan biasanya dikarenakan pasangan belum mempunyai pengalaman yang cukup dan tidak mampu mengendalikan emosi mereka. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penyesuaian seksual yaitu :

  a. Perilaku terhadap seks

  Sikap terhadap seks sangat dipengaruhi oleh cara pria dan wanita menerima informasi seks selama masa anak-anak dan remaja. Jika perilaku yang tidak menyenangkan dilakukan maka akan sulit sekali untuk dihilangkan bahkan tidak mungkin dihilangkan.

  b. Pengalaman seks masa lalu

  Cara orang dewasa bereaksi terhadap masturbasi, petting, dan hubungan suami istri sebelum menikah, ketika mereka masih muda dan cara pria dan wanita merasakan itu sangat mempengaruhi perilakunya terhadap seks. Apabila pengalaman awal seorang wanita tidak menyenangkan maka hal ini akan mewarnai sikapnya terhadap seks.

  c. Dorongan seksual

  Dorongan seksual berkembang lebih awal pada pria daripada wanita dan cenderung tetap demikian, sedang wanita muncul secara periodik. Dengan turun naik selama siklus menstruasi. Variasi ini mempengaruhi minat dan kenikmatan akan seks, yang kemudian mempengaruhi penyesuaian seksual.

  d. Pengalaman seks marital awal Sikap terhadap penggunaan alat kontrasepsi,dan pengaruh vasektomi.

3. Penyesuaian keuangan

  Uang dan kurangnya uang mempunyai pengaruh yang kuat terhadappenyesuaian diri individu dalam pernikahan. Istri yang berusia muda atau masih remaja cenderung memiliki sedikit pengalaman dalam hal mengelola keuangan untuk kelangsungan hidup keluarga. Suami juga terkadang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan keuangan, khususnya jika istrinya bekerja di luar rumah dan berhenti setelah memiliki anak pertama sehingga mengurangi pendapatan keluarga.

4. Penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan

  Setiap individu yang menikah secara otomatis memperoleh sekelompok keluarga baru. Mereka itu adalah anggota keluarga pasangan dengan usia yang berbeda, mulai dari bayi hingga kakek atau nenek dan terkadang dengan latar belakang yang berbeda, tingkat pendidikan yang berbeda, budaya dan latar belakang sosial yang berbeda. Penyesuaian diri dengan pihak keluarga pasangan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

  a. Stereotip tradisional mengenai ibu mertua

  Stereotip yang secara luas diterima masyarakat ”Ibu mertua yang representatif” dapat menimbulkan perangkat mental yang tidak menyenangkan bahkan sebelum perkawinan. Stereotip yang tidak menyenangkan mengenai orang usia lanjut seperti cenderung ikut campur tangan dapat masalah bagi keluarga pasangan.

  b. Keinginan untuk mandiri

  Orang yang menikah muda cenderung menolak berbagai saran dan petunjuk dari orang tua mereka, walaupun mereka menerima bantuan keuangan, dan khususnya mereka menolak bantuan dari keluarga pasangan.

  c. Keluargaisme

  Penyesuaian dan perkawinan akan lebih pelik apabila salah satu pasangantersebut menggunakan lebih banyak waktunya terhadap keluarganya daripada mereka sendiri. Apabila pasangan terpengaruh oleh keluarga, apabila seseorang anggota keluarga berkunjung dalam waktu yang lama dan hidup dengan mereka untuk seterusnya.

  d. Mobilitas sosial

  Individu dewasa muda yang status sosialnya meningkat diatas anggota keluarga atau diatas status keluarga pasangannya mungkin saja tetap membawa mereka dalam latar belakangnya. Banyak orangtua dan anggota keluarga sering bermusuhan dengan pasangan muda.

  e. Anggota keluarga berusia lanjut

  Merawat anggota keluarga berusia lanjut merupakan faktor yang sangat sulit dalam penyesuaian pekawinan karena sikap yang tidak menyenangkan terhadap orangtua dan urusan keluarga khususnya bila dia juga mempunyai anak-anak.

   f. Bantuan keuangan untuk keluarga pasangan

  Apabila pasangan muda harus membantu atau memikul tanggung jawab, bantuan keuangan bagi pihak keluarga pasangan, hal itu sering membawa hubungan keluarga yang tidak baik. Hal ini dikarenakan anggota keluarga pasangan dibantu keuangannya, menjadi marah dan tersinggung dengan tujuan agar diperoleh bantuan tersebut.

2.4.4. Kondisi Yang Menyumbang Kesulitan Dalam Penyesuaian Perkawinan

  Hurlock (1999) mengemukakan beberapa faktor yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyesuaian pernikahan. Faktor-faktor tersebut adalah :

  1. Persiapan yang terbatas untuk pernikahan

  Penyesuaian seksual saat ini terlihat lebih mudah dilakukan dibandingkan masa lalu, dikarenakan banyaknya informasi namun kebanyakan pasangan suami istri hanya menerima sedikit persiapan dibidang keterampilan domestik, mengasuh anak, dan manajemen uang.

  2. Perubahan peran dan status sosial menjadi suami atau istri.

  Kecenderungan terhadap perubahan peran dalam perkawinan bagi pria dan wanita serta konsep yang berbeda tentang peran membuat penyesuaian dalam pernikahan semakin sulit saat ini dibandingkan pada masa lalu.

  3. Pernikahan dini

  Pernikahan dini akan lebih banyak memerlukan proses penyesuaian diri masing-masing pasangan karena pada umumnya di usia ini individu belum terlalu matang dalam hal emosional, ekonomi, dan seksual.

  4. Konsep yang tidak realistis tentang perkawinan.

  Orang dewasa yang belajar perguruan tinggi dengan pengalaman yang sedikit cenderung memiliki konsep yang tidak realistis mengenai makna pernikahan dengan pekerjaan, pembelanjaan uang, atau perubahan pola hidup.

  5. Pernikahan campuran Penikahan yang dilakukan antara dua adat istiadat yang berbeda.

  6. Pacaran yang dipersingkat.

  Periode masa pacaran yang singkat pada masa sekarang dibandingkan masa lalu, sehingga pasangan hanya punya sedikit waktu untuk memecahkan masalah tentang penyesuaian sebelum melangsungkan pernikahan.

  7. Romantika perkawinan

  Harapan yang berlebihan mengenai tujuan dan hasil pernikahan sering membawa kekecewaan yang menambah kesulitan penyesuaian terhadap tugas dan tanggung jawab pernikahan.

2.4.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Pernikahan

  Burgess & Locke (1960), menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor dasar yang dapat digunakan untuk mengetahui pernyesuaian pernikahan, yaitu :

1. Karakteristik kepribadian

  Salah satu faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian perkawinan dan karakteristik kepribadian. Berikut ini 6 karakteristik kepribadian yang dapat menyebabkan ketidak bahagian dalam pernikahan yaitu :

  a. Individu yang memiliki kecenderungan pesimis yang lebih besar dari pada sikap optimis.

  b. Individu yang memiliki kecenderungan neurotis yang ditampilkan dengan ciri-ciri peka/sensitif, mudah marah dan merasa tidak berdaya serta kesepian. c. Individu yang memiliki kecenderungan tingkah laku dominan (menguasai) terhadap orang lain (suami/istri) dan keras kepala.

  d. Individu yang selalu mencela dan tidak memperhatikan orang lain(suami / istri).

  e. Individu yang kurang percaya diri.

  f. Individu yang merasa sanggup memenuhi kebutuhan sendiri yang ditunjukkan dengan tingkah laku menyendiri bila menghadapi masalah, menghindari dan menolak nasehat orang lain.

  Apabila antara suami istri tidak ada rasa saling percaya akan membuat kehidupan pernikahan menjadi tidak bahagia. Faktor keterbukaan antara suami dan istri cukup penting dalam penyesuaian pernikahan. Saling terbuka memudahkan proses penyesuaian dalam pernikahan, sedangkan saling menutup diri (tidak terbuka) antara suami dan istri cenderung menyulitkan pernikahan. Jika suami istri menyelesaikan masalah sendiri atau tidak saling terbuka menyebabkan mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan emosional satu sama lain.

2. Latar belakang Budaya

  Persamaan latar belakang budaya antara suami dan istri merupakan hal yang baik, sedangkan jika terdapat perbedaan latar belakang yang cukup besar maka hal tertentu ini dapat menyulitkan penyesuaian dalam pernikahan. Suami dan istri dengan latar belakang budaya yang berbeda akan mengalami kesulitan berkomunikasi. Beberapa penelitian menunjukkan beberapa hasil diantaranya :

  (1) Tingkat budaya orang tua suami lebih berpengaruh daripada orang tua istri. Umumnya pria boleh menikahi wanita dengan kondisi ekonomi dan status sosial lebih rendah.

  Sedangkan wanita tidak boleh menikahi pria yang memiliki tingkat ekonomi dan status sosial lebih rendah darinya.

  (2) Perbedaan budaya antara suami dan istri diasumsikan akan mengakibatkan pernikahan yang tidak sukses.

  3. Pola Respon

  Secara umum keromantisan dihubungkan dengan adanya saling ketertarikan. Hal ini merupakan kebahagian terbesar dalam pernikahan. Gairah cinta ini tidak dibatasi oleh perbedaan budaya dan kelas sedangkan gambaran yang membosankan apabila cinta berkembang tanpa adanya keakraban dan persahabatan. Hal ini tidak tergantung pada kecantikan, daya tarik seks, atau ciri fisik lain, tetapi pada keserasian, ketertarikan, dan hubungan yang akrab.

  4. Hasrat Seks

  Data statistik yang didapat Terman dan Locke dari penelitian yang dilakukan oleh Burgess & Cottrel, serta beberapa penelitian lain memberikan informasi bahwa terdapat hubungan antara perilaku seksual dengan penyesuaian pernikahan. Menurut Walgito (1984) adanya saling pengertian antara suami dan istri terhadap dorongan seks, pasangannya akan menghindarkan ketidakpuasan dalam melakukan hubungan seksual. sedangkan bila pasangannya memiliki dorongan seksual yang tidak seimbang dan tidak dapat dimengerti oleh kedua belah pihak, hal tersebut akan menimbulkan persoalan.

  Sedangkan menurut Burgess dan Locke (1960) faktor psikologis merupakan faktor yang lebih besar mempengaruhi penyesuaian seksual dalam perkawinan dibandingkan dengan faktor biologis.

2.4.6. Pola Penyesuaian Perkawinan

  Landis dan landis (dalam wahyuningsih, 2002) mengemukakan tiga pola penyesuaian perkawinan berdasarkan cara

  • –cara memecahkan konflik, yaitu :

  

1. Kompromi (compromise), yang berarti bahwa dalam memecahkan konflik pasangan,

suami istri melakukan kesepakatan-kesepakatan yang memuaskankedua belah pihak.

  Suami istri berusaha untuk menyatukan pendapat melalui kesepakatan sehingga meraih tingkat penyesuaian yang tinggi yang kemudian menumbuhkan rasa saling percaya dan rasa aman.

  

2. Akomodasi (accomodate), pada pola ini pasangan berada pada posisi bertolak

  belakang, memiliki karakteristik yang bertolak belakang, tetapi menerima kenyataan bahwa ada perbedaan. Pasangan suami istri melakukan akomodasi untuk mencapai keseimbangan dengan mentoleransi tingkah laku atau hal-hal lain dari pasangannya yang berbeda dengannya. Selama proses akomodasi pasangan dapat melakukan diskusi untuk meraih cara pandang yang menguntungkan kedua belah pihak.

  

3. Permusuhan (hostility), pada pola ini pasangan suami-istri berusaha untuktetap

  mempertahankan pendapat masing-masing dengan segala cara. Pasangan sering bertengkar mengenai berbagai hal yang berbeda. Pasangan suami istri tidak dapat menyelesaikan perbedaan yang ada dengan cara yang memuaskan, sehingga pernikahan diliputi oleh tekanan.

2.5. Remaja

2.5.1. Pengertian Remaja

  Menurut Papalia (2004) remaja adalah transisi perkembangan antara masakanak- kanak dan masa dewasa yang meliputi perubahan secara fisik, kognitif, dan perubahan sosial. Lahey (2004) menyatakan bahwa remaja adalah periode yang dimulai dari munculnya pubertas sampai pada permulaan masa dewasa. Hurlock (1999), mengemukakan istilah Adolescence atau remaja yang berasal dari bahasa latin adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescence, seperti yang dipergunakan saat ini juga mempunyai arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, social, dan fisik.

  Menurut Piaget dalam Hurlock 1999) secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa. Lazimnya masa remaja dianggap mulai ada saat anak secara seksual menjadi matang dan berakhir sampai ia menjadi matang secara hukum. Batasan remaja menurut WHO (dalam Sarwono, 2003) lebih konseptual .Dalam definisi ini dikemukakan 3 kriteria yaitu biologi, psikologi, dan sosial ekonomi, sehingga secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut : Remaja adalah suatu masa dimana :

  1. Individu berkembang dari saat pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.

  2. Individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identitas dari kanak-kanak menjadi dewasa.

  3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.

  Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan masa remajamerupakan masa dimana individu mengalami transisi perkembangan dari masa kanak-kanak menuju dewasa, kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik, usia dimana individu mulai berhubungan dengan masyarakat, dan telah mengalami perkembangan tanda-tanda seksual, pola psikologis, dan menjadi lebih mandiri.

2.5.2. Pembagian Masa Remaja

  Menurut Monks (2001) batasan usia remaja adalah antara 12 tahun sampai 21 tahun. Monks membagi batasan usia ini dalam tiga fase, yaitu :

  1. Fase Praremaja atau remaja awal ( 12 - 15 tahun ) Pada masa ini individu mulai meninggalkan peran sebagai anak

  • – anak dan berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang mandiri. Fokus dari tahap ini adalah penerimaan terhadap bentuk dan kondisi fisik serta adanya konformitas yang kuat dengan teman sebayanya. Masa praremaja biasanya berlangsung hanya dalam waktu yang relatif singkat. Masa ini ditandai dengan gejaknya seperti tidak tenang, kurang suka bekerja, pesimistik dan sebagaianya. Secara garis besar sifat-sifat negatif tersebut dapat diringkas, yaitu : negatif dalam prestasi, baik prestasi jasmani maupun prestasi mental, dan negatif dalam sikap sosial, baik dalam bentuk menarik diri dalam masyarakat maupun dalam bentuk agresif terhadap masyarakat.

  2. Fase remaja Madya atau pertengahan ( 15 - 18 tahun ) Masa ini ditandai dengsn berkembangnya kemampuan berfikir individu yang baru.

  Teman sebaya masih memiliki peran yang penting, namun individu sudah lebih mampu mengarahkan diri sendiri. Pada masa ini, remaja mulai mengembangkan kematangan tingkah laku, belajar mengendalikan impulsivitas dan membuat keputusan-keputusan awal yang bertujuan dengan vokasional yang ingin dicapai. Selain itu, penerimaan dari lawan jenis menjadi penting bagi individu.

  3. Fase remaja Akhir ( 18 - 21 tahun ) Masa ini ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki peran-peran orang dewasa. Selama periode ini remaja berusaha memantapkan tujuan vokasional dan mengembangkan sense of personal identity. Keinginan yang kuat untuk menjadi matang dan diterima dalam kelompok teman sebaya dan orang dewasa, juga menjadi ciri dari tahap ini.

  Batasan usia remaja untuk masyarakat Indonesia sendiri adalah antara usia 11 tahun sampai usia 24 tahun. Hal ini dengan pertimbangan bahwa usia 11 tahun adalah usia dimana pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai tampak. Batasan usia 24 tahun merupakan batas maksimal individu yang belum dapat memenuhi persyaratan kedewasaan secara sosial maupun psikologis. Individu yang sudah menikah dianggap dan diperlukan sebagai individu dewasa penuh sehingga tidak lagi digolongkan sebagai remaja (Sarwono, 2003).

  The UN Convention on The Rights of The Child (CRC) menandakan bahwa usia 18 tahun merupakan usia yang berada diantara masa anak-anak dan masa dewasa, usia ini merupakan batasan usia remaja. CRC juga mengatakan bahwa individu yang berusia dibawah 18 tahun masih dianggap sebagai usia anak-anak atau remaja. The World Health Organization (WHO) memiliki batasan yang tidak jauh berbeda. Batasan usia remaja menurut WHO adalah individu yang berusia pada rentang 10-19 tahun. Berdasarkan dari beberapa pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata batasan usia remaja berkisar antara 10 tahun sampai 24 tahun, dengan pembagian fase remaja awal berkisar

  10-15 tahun, fase remaja tengah berkisar 16-18 tahun dan fase remaja akhir berkisar 19- 24 tahun.

2.5.3. Ciri-ciri Remaja Yang Melakukan Perkawinan muda

  Hurlock mengatakan bahwa semua periode perkembangan memiliki ciri-ciri perkembangan yang membedakan dari satu periode dengan periode berikutnya. Masa remaja juga mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelumnya dan sesudahnya. Remaja yang menikah baik itu remaja putra maupun remaja putri akan mengalami masa remaja yang diperpendek, sehingga ciri dan tugas perkembangan mereka juga ikut diperpendek dan masuk pada masa dewasa (Monks, 2001).

  1. Remaja yang telah menikah akan mengalami suatu periode peralihan yang cukup signifikan. Peralihan yang terjadi adalah beralih dari masa anak-anak menuju masa dewasa, dimana remaja harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak- kanakan dan harus mempelajari pola dan sikap baru terutama dalam pernikahan.

  2. Remaja yang telah menikah akan mengalami periode perubahan, yaitu meliputi perubahan fisik, emosional, perubahan pola dan minat, perubahan nilai-nilai yang berlaku, dan sikap ambivalen terhadap setiap perubahan.

  3. Remaja yang telah menikah, mereka diharuskan masuk pada masa dewasa, tidak lagi pada ambang masa dewasa. Masa remaja mereka menjadi diperpendek dan mereka harus meninggalkan stereotip belasan tahun dan menjadi dewasa.

2.5.4. Tugas-Tugas Perkembangan Remaja

  Dalam Hurlock (1999), semua tugas perkembangan pada masa remaja dipusatkan pada penanggulangan sikap dan pola perilaku yang kekanak-kanakan dan mengadakan persiapan untuk menghadapi masa dewasa. Monks (2001) menyebutkan bahwa remaja yang telah menikah maka masa remaja menjadi diperpendek sehingga tugas-tugas perkembangannya juga mengalami penyesuaian. Adapun tugas perkembangan pada masa remaja adalah :

  1. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita. Remaja mulai mempelajari hubungan baru dengan lawan jenis dengan tujuan untuk mengetahui lawan jenis lebih dalam bagaimana harus bergaul dengan mereka. Remaja yang menikah mulai mempelajari hubungan baru dengan pasangan dan lebih matang, hubungan dengan teman sebaya mereka juga sudah mulai terbatasi.

  2. Mencapai peran sosial sebagai pria atau wanita Remaja putri yang telah menikah pencapaian peran sosial sebagai wanita yaitu menjadi istri dan ibu yang baik. Peran sosial ini terbentuk mulai saat kanak-kanak, seperti pada wanita dimana mereka didorong untuk berprilaku feminin sejak mereka masih kanak-kanak. Peran sosial ini biasanya diakui oleh masyarakat dan diterima oleh masyarakat.

  3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif Seringkali sulit bagi remaja untuk menerima keadaan fisiknya bila sejak kanak-kanak mereka telah mengagungkan konsep mereka tentang penampilan saat dewasa nanti. Remaja yang telah menikah akan mengalami hal baru berkaitan dengan kondisi fisiknya, seperti ketika mereka hamil dan melahirkan anak.

  4. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya.

  Bagi remaja yang sangat mendambakan kemandirian, usaha untuk mandiri secara emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lain merupakan tugas perkembangan yang mudah. Remaja yang menikah diusia muda diharapkan mencapai kemandirian emosional dari orang tua walaupun mereka belum cukup siap.

  5. Mempersiapkan karier ekonomi Remaja putri yang menikah di usia muda menjadi terhambat dalam persiapan karier ekonomi mereka. Mereka kehilangan kesempatan untuk melanjutkan keterampilan lainnya sehingga menghambat proses persiapan karier ekonomi mereka.

  6. Mempersiapkan pernikahan dan keluarga Kecenderungan kawin muda menyebabkan persiapan pernikahan merupakan tugas perkembangan yang paling penting dalam tahun-tahun remaja. Persiapan pernikahan dan keluarga saat ini hanya sedikit diberikan baik itu dalam keluarga maupun disekolah dan di Perguruan tinggi, kurangnya p ersiapan ini merupakan salah satu penyebab dari “ masalah yang tidak terselesaikan” yang oleh remaja dibawa kedalam masa dewasa. Remaja putri yang telah menikah biasanya tidak dapat melanjutkan pendidikan mereka sehingga persiapan mereka dalam menghadapi dunia pernikahan juga terbatas (Santrock, 1995). Persiapan yang terbatas itu tidak hanya dari pendidikan saja, kesiapan yang terbatas dari segi fisik mereka, psikologis, maupun segi finansial.

2.6. Pernikahan Dini

2.6.1. Definisi Pernikahan Dini