Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Perkawinan Usia Muda Dikalangan Remaja di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA PERKAWINAN USIA MUDA DIKALANGAN REMAJA DI DESA TEMBUNG

KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG

OLEH : SITI YULI ASTUTY

080902027

Skripsi Ini Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Mendapat Gelar Sarjana Sosial

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Nama : Siti Yuli Astuty NIM : 080902027

ABSTRAK

(Skripsi ini terdiri dari 6 bab, 101 halaman, 12 tabel, 18 daftar pustaka) Skripsi ini berjudul “Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Perkawinan Usia Muda Dikalangan Remaja di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang”. Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan usia muda dikalangan remaja dan untuk mendiskripsikan bentuk-bentuk pola asuh keluarga pasangan usia muda. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukkan bagi para orang tua, agar tidak tergesa-gesa untuk segera menikahkan anak-anak pada usia remaja. Karena usia remaja belum mampu menghadapi dan menyelesaikan persoalan-persoalan rumah tangga secara baik. Para remaja masih perlu bekal yang banyak baik bekal kedewasaan fisik, mental maupun sosial ekonomi, ilmu pengetahuan umum, agama, pengalaman-pengalaman hidup dalam kehidupan berumah tangga.

Penelitian dilakukan di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dimana informan dalam penelitian ini adalah remaja yang telah menikah di usia muda yaitu sebanyak 3 orang dan orangtua dari informan. Teknik pengumpulan data dengan dengan studi pustaka, studi lapangan, wawancara mendalam dan observasi. Data yang didapat di lapangan kemudian dianalisis dan disusun dalam draft tanya jawab antara peneliti yang dijelaskan secara kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan kesimpulan bahwa faktor lingkungan masyarakat dan orangtua cukup berpengaruh terhadap terhadap pembentukan konsep diri pada anak, karena si anak melihat kalau ibunya banyak yang juga melakukan pernikahan dini. Faktor tingkat ekonomi orangtua yang rendah banyak menyebabkan orangtua menikahkan anaknya di usia yang masih muda.


(3)

SCIENCE DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE UNIVERSITY OF NORTHERN SUMATRA

Name : Siti Yuli Astuty NIM : 080902023

ABSTRACT

(This thesis consists of 6 chapters, 101 pages, 12 tables, 18 references)

This thesis is entitled "Factors Causing Occurrence Amongst Young Age Teens Marriage in the Village District Tembung Percut Sei Tuan Deli Serdang regency". This study aimed to describe the factors that lead to early marriage among teenagers and to describe the forms of family upbringing young couples. Results from this study are expected to be material for parents to enter, so do not rush to immediately marry children in adolescence. Because teens have not been able to face and resolve domestic problems as well. The teens still need to stock a lot of good stock of physical maturity, mental and social economics, general science, religion, life experiences in married life.

The study was conducted in the village of Sei Tuan Tembung Percut District Deli Serdang regency. This research is descriptive, where the informants in this study were adolescents who had been married at a young age as many as 3 people and parents of informants. Data collection techniques to the study of literature, field studies, in-depth interviews and observation. The data obtained in the field and then analyzed and compiled in a draft of questions and answers between researchers described qualitatively.

The results show conclusively that the environmental factors and parental considerable influence on the formation of self-concept in children, because the child saw her mother who also did a lot of early marriage. Factors parents of low economic level caused many parents marry off their children at a young age.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik, yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Perkawinan Usia Muda Dikalangan Remaja di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat dalam menempuh Ujian Komprehensif untuk mencapai gelar Sarjana Sosial pada Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Selama penyusunan skripsi ini, penulis menyadari akan sejumlah kekurangan dan kelemahan, untuk itu penulis membuka diri untuk saran dan kritik yang dapat membangun guna perbaikan di masa yang akan mendatang. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam penyelesaian skripsi ini, dan secara khusus Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Hairani Siregar, S.Sos. M.SP, selaku Ketua Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Husni Thamrin, S. Sos. M.SP, selaku dosen pembimbing yang telah bersedia membimbing dan memberi dukungan saya dengan sebaik mungkin dalam penyelesaian skripsi ini.


(5)

4. Terimakasih kepada seluruh staff pengajar di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fisip USU untuk segala ilmu pengetahuan yang telah diberikan selama perkuliahan di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fisip USU.

5. Staf Administrasi Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, terutama buat Ibu Juraidah Hanum, Kak Debby, yang telah banyak membantu peneliti selama kuliah di Ilmu Kesejahteraan Sosial.

6. Kepada Bapak Drs. Pahrim Siregar selaku Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Percut Sei Tuan, yang telah memberikan informasi guna untuk melengkapi data-data yang dibutuhkan peneliti.

7. Terima kasih Buat Kedua Orangtua saya, Bapak Ngatmin dan Ibu Sugiarni terima kasih telah mendidik dan membimbing saya sampai sekarang. Terima kasih Pak terima kasih Ma doamu selalu menyertaiku dalam setiap langkah kehidupanku. Semua yang kalian lakukan tidak mungkin akan dapat saya balas, tapi saya akan selalu melakukan yang terbaik untuk kalian berdua dan akan selalu membuat kalian bangga.

8. Kemudian terima kasih buat adik-adik saya tersayang Nabila Husna dan Muhammad Haris, terima kasih kalian telah menjadi penyemangat kakak dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Buat Aminur Rasyid Matondang, ST, yang tidak bosan-bosanya menasehati saya dalam menyelesaikan skripsi saya ini, terima kasih atas segala pengorbanan yang telah diberikan kepada saya, sampai saya dapat menyelesaikan skripsi ini.


(6)

10.Buat Teman-Teman di stambuk 2008, vera, lisa, ririn, isna, rizka, ari, terimakasih ya atas semangat yang kalian berikan, kenangan bersama kalian tidak akan pernah saya lupakan.

11.Terima kasih Buat Bapak/Ibu serta adik-adik remaja putri yang telah sudi kiranya menjadi informan guna untuk melengkapi data-data yang dibutuhkan peneliti selama penelitian.

Semoga Allah SWT membalas dan melimpahkan rahmat serta karunia-Nya atas segala bantuan dan dukungan baik moril maupun materil yang telah diberikan. Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa skripsi masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, Untuk itu, peneliti sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi perbaikan dan kesempurnaan tulisan ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Maret 2013 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ...viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 6

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 7

1.4 Sistematika Penulisan ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor Sosial Ekonomi ... 9

2.1.1 Pengertian Sosial Ekonomi ... 9

2.2 Faktor Pendidikan ... 12

2.2.1 Definisi Pendidikan ... 12


(8)

2.3 Faktor Orangtua ... 15

2.3.1 Peran dan Fungsi Orangtua ... 15

2.4 Perkawinan ... 18

2.4.1 Defenisi Penyesuaian Perkawinan ... 18

2.4.2 Landasan Hukum Perkawinan ... 20

2.4.3 Bentu-bentuk Penyesuaian Diri Dalam Perkawinan ...21

2..4.4 Kondisi yang Menyumbang Kesulitan Dalam Penyesuaian Perkawinan.... 26

2.4.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Pernikahan... 28

2.4.6 Pola Penyesuain Perkawinan ... 31

2.5 Remaja... 32

2.5.1 Pengertian Remaja ... 32

2.5.2 Pembagian Masa Remaja ... 33

2.5.3 Ciri-ciri remaja yang Melakukan Perkawinan Usia Muda ... 35

2.5.4 Tugas-tugas Perkembangan Remaja ... 36

2.6 Pernikahan Dini ... 38

2.6.1 Defenisi Perkawinan Dini ... 38

2.6.2 Alasan Menikah...39

2.6.3 Pengaruh Faktor Kesiapan Menikah Terhadap Penyesuain Pernikahan ... 40

2.6.4 Peranan Menikah Dalam Pernikahan ... 43

2.6.5 Penyebab Pernikahan Dini ... 46


(9)

2.6.7 Dinamika Penyesuaian Pernikahan Remaja Putri yang Melakukan

pernikahan dini ... 51

2.7 Defenisi Konsep dan Definisi Operasiona ... 54

2.7.1 Defenisi Konsep ...54

2.7.2 Definisi Operasional ... 55

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian ... 57

3.2 Lokasi Penelitian ... 57

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 57

3.4 Teknik Penentuan Informan ... 59

3.5 Teknik Analisis Data ... 59

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Desa Tembung ... 60

4.2 Keadaan Penduduk ... 62

4.2.1 Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk ... 62

4.2.2 KelompokPenduduk Berdasarkan Kelompok Usia ... 62

4.2.3 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 64

4.2.4 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama ... 64

4.2.5 Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan ... 65

4.2.6 Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa ... 66

4.3 Sarana dan Prasarana ... 68


(10)

4.3.2 Sarana Ibadah ... 69

4.3.3 Prasarana Ekonomi ... 70

4.3.4 Prasarana Kesehatan ... 71

4.4 Program KB di Desa Tembung ... 72

BAB V ANALISIS DATA 5.1 Deskripsi Kriteria Informan ... 76

5.2 Deskripsi Hasil Penelitian ... 79

5.2.1 Faktor Orang Tua dalam Pembentukan Konsep Diri Remaja yang Menikah Dini ... 79

5.2.2 Faktor Kelompok Rujukan dalam Pembentukan Konsep Diri Remaja yang MenikahDini ... 83

5.2.3 Konsep Diri Remaja di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei tuan Kabupaten Deli Serdang yang Menikah Muda ... 87

5.3 Pembahasan Hasil Penelitian ... 95

BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan ... 98

6.2 Saran ... 99

DAFTAR PUSTAKA ... 101 LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Kelompok Penduduk Berdasarkan Kelompok Usia ... 62

Tabel 4.2 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 64

Tabel 4.3 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama ... 64

Tabel 4.4 Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan ... 65

Tabel 4.5 Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa ... 66

Tabel 4.6 Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ... 67

Tabel 4.7 Sarana Pendidikan ... 68

Tabel 4.8 Sarana Tempat Ibadah ... 69

Tabel 4.9 Prasarana Ekonomi ... 70

Tabel 4.10 Prasarana Kesehatan ... 71

Tabel 4.11 Prasarana Olahraga ... 72

Tabel 4.12 Gambaran Peserta KB menurut alat Kontrasepsi yang digunakan di Desa Tembung 2011... 73


(12)

DAFTAR GAMBAR


(13)

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Nama : Siti Yuli Astuty NIM : 080902027

ABSTRAK

(Skripsi ini terdiri dari 6 bab, 101 halaman, 12 tabel, 18 daftar pustaka) Skripsi ini berjudul “Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Perkawinan Usia Muda Dikalangan Remaja di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang”. Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan usia muda dikalangan remaja dan untuk mendiskripsikan bentuk-bentuk pola asuh keluarga pasangan usia muda. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukkan bagi para orang tua, agar tidak tergesa-gesa untuk segera menikahkan anak-anak pada usia remaja. Karena usia remaja belum mampu menghadapi dan menyelesaikan persoalan-persoalan rumah tangga secara baik. Para remaja masih perlu bekal yang banyak baik bekal kedewasaan fisik, mental maupun sosial ekonomi, ilmu pengetahuan umum, agama, pengalaman-pengalaman hidup dalam kehidupan berumah tangga.

Penelitian dilakukan di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dimana informan dalam penelitian ini adalah remaja yang telah menikah di usia muda yaitu sebanyak 3 orang dan orangtua dari informan. Teknik pengumpulan data dengan dengan studi pustaka, studi lapangan, wawancara mendalam dan observasi. Data yang didapat di lapangan kemudian dianalisis dan disusun dalam draft tanya jawab antara peneliti yang dijelaskan secara kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan kesimpulan bahwa faktor lingkungan masyarakat dan orangtua cukup berpengaruh terhadap terhadap pembentukan konsep diri pada anak, karena si anak melihat kalau ibunya banyak yang juga melakukan pernikahan dini. Faktor tingkat ekonomi orangtua yang rendah banyak menyebabkan orangtua menikahkan anaknya di usia yang masih muda.


(14)

SCIENCE DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE UNIVERSITY OF NORTHERN SUMATRA

Name : Siti Yuli Astuty NIM : 080902023

ABSTRACT

(This thesis consists of 6 chapters, 101 pages, 12 tables, 18 references)

This thesis is entitled "Factors Causing Occurrence Amongst Young Age Teens Marriage in the Village District Tembung Percut Sei Tuan Deli Serdang regency". This study aimed to describe the factors that lead to early marriage among teenagers and to describe the forms of family upbringing young couples. Results from this study are expected to be material for parents to enter, so do not rush to immediately marry children in adolescence. Because teens have not been able to face and resolve domestic problems as well. The teens still need to stock a lot of good stock of physical maturity, mental and social economics, general science, religion, life experiences in married life.

The study was conducted in the village of Sei Tuan Tembung Percut District Deli Serdang regency. This research is descriptive, where the informants in this study were adolescents who had been married at a young age as many as 3 people and parents of informants. Data collection techniques to the study of literature, field studies, in-depth interviews and observation. The data obtained in the field and then analyzed and compiled in a draft of questions and answers between researchers described qualitatively.

The results show conclusively that the environmental factors and parental considerable influence on the formation of self-concept in children, because the child saw her mother who also did a lot of early marriage. Factors parents of low economic level caused many parents marry off their children at a young age.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Perkawinan sebagai jalan untuk bisa mewujudkan suatu keluarga atau rumah tangga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini dimaksudkan bahwa perkawinan itu hendaknya berlangsung seumur hidup dan tidak boleh berakhir begitu saja. Perkawinan pada umumnya dilakukan oleh orang dewasa dengan tidak memandang pada profesi, agama, suku bangsa, miskin atau kaya, tinggal di desa atau di kota. Usia perkawinan yang terlalu muda mengakibatkan meningkatnya kasus perceraian karena kurangnya kesadaran untuk bertanggungjawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami-istri.

Usia perkawinan yang masih muda bagi perempuan menjadi refleksi perubahan sosial ekonomi. Pergeseran ini tidak hanya berpengaruh terhadap potensi kelahiran tetapi juga terkait dengan peran dalam pembangunan bidang pendidikan dan ekonomi. Sebagaimana diketahui bahwa jumlah remaja umur 10-19 tahun di Indonesia terdapat 43 juta atau 19,61% dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 220 juta, sekitar 1 juta remaja pria (5%) dan 200 ribu remaja wanita (1%) menyatakan secara terbuka bahwa mereka pernah melakukan hubungan seks. Sedangkan jumlah penduduk di Provinsi Sumatera Utara sebanyak 12.982.204 jiwa, mencakup mereka yang bertempat tinggal didaerah perkotaan sebanyak 6.382.672 jiwa (49,16%) dan di daerah pedesaan sebanyak 6.599.532 jiwa (50,84%).


(16)

Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan BPS Sumut menyebutkan 10 sampai 11 % wanita usia subur (WUS) menikah di usia 16 tahun pada 2010, dan menurut keterangan dari BPS Sumut sendiri paling tidak, ada 47,79% perempuan dikawasan pedesaan kawin pada usia dibawah 16 tahun, sementara diperkotaan besarnya mencapai 21,75% pada tahun 2011. Dari kantor kementerian agama menyebutkan bila di tahun 2006 kasus pernikahan usia dini sebanyak 19 kasus, dan meningkat menjadi 42 kasus di tahun 2007, serta melonjak lagi menjadi 68 kasus di tahun 2008, hingga desember 2010 diperkirakan maksimal terjadi 50 kasus perawinan di usia dini pada remaja.

Dalam UU No. 1 tahun 1974, pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun, usulan perubahan pada pasal 7 tahun 1974 ayat (1) perkawinan dapat dan dilakukan jika pihak laki-laki dan perempuan berusia minimal 19 tahun, ayat (2) untuk melangsungkan pernikahan masing-masing calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun, harus mendapat izin kedua orang tua, sesuai dengan kesepakatan pihak Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang telah melakukan kerjasama dengan MOU yang menyatakan bahwa Usia Perkawinan Pertama di izinkan apabila pihak pria mencapai umur 25 tahun dan wanita mencapai umur 20 tahun.

Namun dalam kenyataannya masih banyak kita jumpai perkawinan pada usia muda atau di bawah umur, padahal perkawinan yang sukses membutuhkan kedewasaan tanggung jawab secara fisik maupun mental, untuk bisa mewujudkan harapan yang ideal dalam kehidupan berumah tangga. Peranan orang tua sangat besar artinya bagi psikologis anak-anaknya. Mengingat keluarga adalah tempat pertama bagi tumbuh perkembangan anak sejak lahir hingga dewasa, maka pola asuh anak dalam perlu disebarluaskan pada


(17)

setiap keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab terjadinya perkawinan di usia muda dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang mendorong mereka untuk melangsungkan perkawinan di usia muda.

Terjadinya perkawinan usia muda di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang ini mempunyai dampak tidak baik kepada mereka yang telah melangsungkan pernikahan juga berdampak pada anak-anak yang dilahirkannya serta masing-masing keluarganya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua pekawinan di usia muda berdampak kurang baik bagi sebuah keluarga karena sedikit dari mereka yang telah melangsungkan perkawinan di usia muda dapat mempertahankan dan memelihara keutuhannya sesuai dengan tujuan dari perkawinan itu sendiri.

Berdasarkan fakta yang ada bahwa pola asuh demokratis lebih mendorong anak menjadi mandiri dan berprestasi di bandingkan dengan anak diasuh dengan cara otoriter. Hasil pola asuh pada pasangan muda ini untuk masing-masing pengasuh adalah pola asuh demokratik. Dengan pola asuh demokratik ini orang tua tidak mengekang pada anak-anaknya dan memaksakan kehendaknya pada anak-anak-anaknya, sebaliknya mereka memberikan kepercayaan penuh terhadap anak-anaknya untuk bisa menjalani kehidupan dimasa yang akan datang.

Hal yang penting yang harus disampaikan kepada masyarakat yang memiliki sosial ekonomi rendah hendaknya lebih meningkatkan keadaan ekonominya untuk dijadikan sebagai sumber penghasilan yang lain, masyarakat harus mengarahkan yang putus sekolah untuk mengikuti kursus-kursus keterampilan. Kepada pasangan yang belum menikah harus lebih memperhatikan dampak apa saja yang timbul dari perkawinan usia muda.


(18)

Perkawinan usia muda yang menjadi fenomena sekarang ini pada dasarnya merupakan satu siklus fenomena yang terulang dan tidak hanya terjadi di daerah pedesaan yang notabene dipengaruhi oleh minimnya kesadaran dan pengetahuan namun juga terjadi di wilayah perkotaan yang secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh “role model” dari dunia hiburan yang mereka tonton. Penelitian yang dilakukan oleh Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI) Provinsi Jawa Barat mengungkapkan fakta masih tingginya pernikahan di usia muda di pulau Jawa dan Bali. Diantara wilayah-wilayah tersebut, Jawa Barat di posisi pertama dalam jumlah pasangan yang menikah di usia muda dimana dari 1000 penduduknya dengan usia 15 hingga 19 terdapat 126 orang yang menikah dan melahirkan di usia muda. Kemudian diikuti dengan DKI Jakarta dengan 44 orang.

Dari data SDKI 1997 diketahui bahwa seekitar 52,6 % wanita pernah melakukan perkawinan pertamanya pada kelompok umur 15-19 tahun dengan tingkat pendidikan hanya tamat SD. Sejumlah 5,8 juta remaja pernah menikah pada umur kurang dari 16 tahun dan 25 % diantaranya bahkan menikah dibawah usia 14 tahun. Pihak yang sangat merasakan akibatnya adalah remaja putri atau perempuan karena tidak mempunyai kesempatan untuk bersekolah lagi dan harus menjalani perkawinan yang sebenarnya belum siap baginya, baik dari sisi mental maupun kesehatan reproduksinya.

Sikap atas persoalan ini terbagi dalam dua sisi yang berseberangan. Dengan alasan bahwa dengan menikah di usia muda akan menghindari hal-hal yang dilarang baik asas agama maupun sosial di tengah gejolak pergaulan yang semakin ”menggila” seperti saat ini. Alasan lain adalah pikiran bahwa dengan menikah muda, mereka akan masih sehat dan aktif berkarya di saat anak-anak mereka tumbuh besar yang membutuhkan biaya untuk keperluan pendidikan dan persoalan lainnya. Selain itu muncul pula alasan lain yang mengatakan bahwa nikah muda itu ”asyik”, pokoknya asyik aja.


(19)

meskipun dengan dalih dari pada terjerat dalam pergaulan bebas dan menghindari terjadinya hamil di luar pernikahan.

Dari pihak yang berseberangan melihat dan menelaah bahwa mereka yang menikah muda akan lebih cenderung untuk mengalami kegagalan dalam rumah tangga mereka. Tingginya perkara perceraian di hampir semua daerah yang menjadi area penelitian Ikatan Sosiologi Indonesia ( ISI ) berbanding lurus dengan tingkat penikahan di usia muda. Namun dalam alasan perceraian tentu saja bukan karena alasan kawin muda, melainkan alasan ekonomi dan lain sebagainya. Tetapi masalah tersebut tentu saja sebagai salah satu dampak dari pernikahan yang dilakukan tanpa kematangan usia dan psikologis. Menikah di usia muda juga akan menimbulkan banyak permasalahan di berbagai sisi kehidupan ekonomi misalnya, dengan tingkat pendidikan rendah yang dimiliki pasangan akan menyulitkan mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang layak yang berimbas pada kurangnya kecukupan secara ekonomi dalam rumah tangga.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian untuk mendeskripsikan pernikahan usia mudah khususnya untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pernikahan usia muda, serta dampak pernikahan usia muda tersebut dalam kehidupan berumah tangga di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Dengan melihat kenyataan ini telah mendorong penulis untuk melakukan penelitian dengan judul “Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan usia muda dikalangan remaja di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang”.


(20)

I.2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan langkah yang sangat penting karena langkah ini menentukan kemana suatu penelitian diarahkan. Perumusan masalah pada hakikatnya merupakan perumusan pertanyaan yang jawabannya akan dicari melalui penelitian (Soeharto, 2008: 2003).

Bahwa sasaran pembahasan penelitian ini adalah menyangkut pada pernikahan usia muda. Maka dalam pembahasan ini, nantinya tidak terlalu jauh melebar sesuai dengan topik pembahasan dan mengingat batasan waktu. Dalam penulisan ini, penulis mencoba merumuskan masalah dalam bentuk pertanyaan, sebagai berikut :

1. Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan terjadinya perkawinan usia muda dikalangan remaja di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang?

2. Bagaimana makna perkawinan usia muda dikalangan remaja yang terjadi di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang?

I.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian I.3.1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang ada, maka Tujuan penelitian ini yaitu :

1.Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan usia muda.


(21)

I.3.2. Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian diharapkan bagi instansi-instansi terkait khususnya instansi yang menangani masalah - masalah remaja dan sumber informasi bagi pemerintah guna peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pendidikan formal maupun pendidikan informal yang di harapkan dapat meningkatkan keterampilan para remaja, agar nantinya remaja -remaja yang telah putus sekolah atau tidak bersekolah lagi lebih mandiri dan dapat mengembangkan kemampuan mereka meskipun dengan lulusan pendidikan yang rendah serta dapat meningkatkan taraf ekonomi keluarga mereka.

2. Penelitian ini dapat memberikan kontribusi berupa masukan kepada para remaja dampak negatif dari perkawinan di usia muda dan sebagai bahan pertimbangan kepada pasangan remaja yang ingin melaksanakan pernikahan usia muda.

3. Menjadi bahan informan bagi peneliti yang ingin mengadakan penelitian yang sejenis dimasa akan datang.


(22)

I.4. Sistematika Penelitian

Sistematika penulisan secara garis besarnya dapat dikelompokan ke dalam 6 (enam) bab,dengan urutan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan uraian dan teori-teori yang berkaitan dengan penelitian, kerangka penelitian,defenisi konsep dan defenisi operasional.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan simple, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang gambaran umum lokasi penelitian yang berhubungan dengan masalah objek yang akan diteliti.

BAB V : ANALISA DATA

Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian dan analisanya

BAB VI : PENUTUP

Bab ini berisikan tentang kesimpulan dan saran atas penelitian yang telah dilakukan.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Faktor Sosial Ekonomi 2.1.1. Pengertian Sosial Ekonomi

Kata sosial berasal dari kata “socius” yang artinya kawan (teman). Dalam hal ini arti kawan bukan terbatas sebagai teman sepermainan, teman sekelas, teman sekampung dan sebagainya. Yang dimaksud kawan disini adalah mereka (orang-orang) yang ada di sekitar kita, yakni yang tinggal dalam satu lingkungan tertentu dan mempunyai sifat yang saling mempengaruhi (Wahyuni, 1986 : 60).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sosial berarti segala sesuatu yang berkenaan dengan masyarakat (KBBI, 2002 : 1454). Sedangkan kata sosial menurut Departemen Sosial adalah segala sesuatu yang dipakai sebagai acuan dalam berinteraksi antar manusia dalam konteks masyarakat atau komuniti, sebagai acuan berarti sosial bersifat abstrak yang berisi simbol-simbol berkaitan dengan pemahaman terhadap lingkungan, dan berfungsi untuk mengatur tindakan-tindakan yang dimunculkan oleh individu-individu sebagai anggota suatu masyarakat. Sehingga dengan demikian, sosial haruslah mencakup lebih dari seorang individu yang terikat pada satu kesatuan interaksi, karena lebih dari seorang individu berarti terdapat hak dan kewajiban dari masing-masing individu yang saling berfungsi satu dengan lainnya (http://www.depsos.go.id diakses pada pukul 14.25 WIB, 18 April 2012).

Sedangkan istilah ekonomi berasal dari bahasa Yunani yaitu “oikos” yang artinya rumah tangga dan “nomos” yang artinya mengatur. Jadi secara harfiah ekonomi berarti


(24)

cara mengatur rumah tangga. Ini adalah pengertian yang paling sederhana. Namun seiring dengan perkembangan dan perubahan masyarakat, maka pengertian ekonomi juga sudah lebih luas. Ekonomi juga sering diartikan sebagai cara manusia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jadi dapat dikatakan bahwa ekonomi bertalian dengan proses pemenuhan keperluan hidup manusia sehari-hari (http://id.wikipedia.org/Ilmu_ekonomi, diakses pada pukul 19.32 WIB, 19 April 2012).

Menurut istilah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ekonomi berarti segala sesuatu tentang azas-azas produksi, distribusi dan pemakaian barang-barang serta kekayaan (seperti perdagangan, hal keuangan dan perindustrian) (KBBI, 2002 : 379). Dari beberapa pengertian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa sosial ekonomi dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat, antara lain dalam sandang, pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Pemenuhan kebutuhan yang dimaksud berkaitan dengan penghasilan. Hal ini disesuaikan dengan penelitian yang dilakukan.

Kehidupan sosial ekonomi harus di pandang sebagai sistem (sistem sosial) yaitu satu keseluruh bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berhubungan dalam suatu kesatuan. Kehidupan sosial adalah kehidupan bersama manusia atau kesatuan manusia yang hidup dalam suatu pergaulan. Interaksi ini pertama sekali terjadi pada keluarga dimana ada terjadi hubungan antara ayah, ibu dan anak. Dari adanya interaksi antara anggota keluarga maka akan muncul hubungan dengan masyarakat luar. Pola hubungan interaksi ini tentu saja di pengaruhi lingkungan dimana masyarakat tersebut bertempat tinggal. Di dalam masyarakat pedesaan kita ketahui interaksi yang terjadi lebih erat dibandingkan dengan perkotaan. Pada masyarakat yang hidup diperkotaan hubungan


(25)

interaksi biasanya lebih dieratkan oleh status, jabatan atau pekerjaan yang dimiliki. Hal ini menyebabkan terjadinya stratifikasi sosial di dalam masyarakat.

Keberadaan seperti hal diatas mempengaruhi gaya hidup seseorang, tentu saja termasuk dalam berperilaku dan dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Seperti yang dikatakan oleh beberapa ahli mengenai konsumsi dan gaya hidup. Konsumsi terhadap suatu barang menurut Weber merupakan gambaran hidup dari kelompok atau status tertentu (Kartono, 1992 : 137).

Melly. G. Tan mengatakan untuk melihat kedudukan sosial ekonomi adalah pekerjaan, penghasilan, dan pendidikan. Berdasarkan ini masyarakat itu dapat digolongkan kedalam kedudukan sosial ekonomi rendah, sedang dan tinggi (Tan dalam Koentjaraningrat, 1981 : 35).

1. Golongan masyarakat berpenghasilan rendah. Yaitu masyarakat yang menerima pendapatan lebih rendah dari keperluan untuk memenuhi tingkat hidup yang minimal. Untuk memenuhi tingkat hidup yang minimal, mereka perlu mendapatkan pinjaman dari orang lain. Karena tuntutan kehidupan yang keras, kehidupan remajanya menjadi agresif. Sementara itu, orang tua yang sibuk mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi tidak sempat memberikan bimbingan dan melakukan pengawasan terhadap perilaku putra-putrinya, sehingga remaja cenderung dibiarkan menemukan dan belajar sendiri serta mencari pengalaman sendiri.

2. Golongan masyarakat berpenghasilan sedang. Yaitu pendapatan yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok dan tidak dapat menabung.


(26)

3. Golongan masyarakat berpenghasilan tinggi. Yaitu selain dapat memenuhi kebutuhan pokok, juga sebagian dari pendapatannya itu dapat ditabungkan dan digunakan untuk kebutuhan yang lain. Remaja dalam golongan ini sering berada dalam kemewahan yang berlebihan. Remaja dengan mudahnya mendapatkan segala sesuatu. Membuatnya kurang menghargai dan menganggap sepele, yang dapat menciptakan kehidupan berfoya-foya, sehingga anak dapat terjerumus dalam lingkungan antisosial. Kemewahan membuat anak menjadi terlalu manja, lemah secara mental, tidak mampu memanfaatkan waktu luang dengan hal-hal yang bermanfaat. Situasi demikian menyebabkan remaja menjadi agresif dan memberontak, lalu berusaha mencari kompensasi atas dirinya dengan melakukan perbuatan yang bersifat melanggar.

2.2. Faktor Pendidikan 2.2.1 Defenisi Pendidikan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991), pendidikan diartikan pemahaman proses pembelajaran bagi individu untuk mencapai pengetahuan dan pemahaman sebagai yang lebih tinggi mengenai obyek – obyek tertentu dan spesifik. Pengetahuan tersebut diperoleh secara formal yang berakibat individu mempunyai pola pikir dan perilaku sesuai dengan pendidikan yang telah diperolehnya.

Secara umum pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat


(27)

dilihat tetapi labih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan melewati generasi.

Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, khusunya di Indonesia yaitu : 1. Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan

Nasional, Dinas Pendidikan Daerah, dan juga sekolah yang berada di garis depan. Dalam hal ini, interfensi dari pihak – pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan agar pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.

2. Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umunya yang merupakan ikon pendidikan dan merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu sebagai objek dari pendidikan. (http://www.kavie-design.indonesianforum.net).

Dalam pengertian yang sederhana dan umum, makna pendidikan sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai – nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan. Usaha-usaha yang dilakukan untuk menanamkan nilai – nilai tersebut serta mewariskannya pada generasi berikutnya untuk dikembangkan dalam hidup dan kehidupan yang terjadi dalam suatu proses pendidikan atau dengan kata lain bahwa pendidikan dapat diaartikan sebagai suatu hasil peradaban bangsa yang dikembangkan atas dasar pandangan bangsa itu sendiri (nilai dan norma masyarakat) yang berfungsi sebagai filsafat pendidikannya atau cita - cita dan pernyataan tujuan pendidikannya.


(28)

2.2.2. Tingkat Pendidikan

Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan. Pendidikan di Indonesia mengenal tiga jenjang pendidikan, yaitu pendidikan dasar (SD/MI/Paket A dan SLTP/MTs/Paket B), pendidikan menengah (SMA/SMK/MA/Paket C), dan pendidikan tinggi. Meski tidak termasuk dalam jenjang pendidikan, terdapat pula pendidikan anak usi dini, pendidikan yang diberikan sebelum memasuki dasar. Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.

1. Pendidikan formal

Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselengarakan di sekolah – sekolah pada umumnya. Jalur pendidikan ini mempunyai jenjang pendidikan yang jelas, mulai dari pendidikan dasar, pendidikan pertama, pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi.

2. Pendidikan non formal

Pendidikan non formal meliputi pendidikan dasar, dan pendidikan lanjutan. Pendidikan dasar mencakup pendidikan keaksaraan dasar, keaksaraan fungsional, dan keaksaraan fungsional, dan keaksaraan lanjutan paling banyak ditemukan dalam pendidikan usia dini (PAUD), Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA), maupun Pendidikan Lanjut Usia. Pemberantasan Buta Aksara (PBA) serta program paket A (setara SD), paket B (setara B) merupakan pendidikan dasar. Pendidikan lanjutan meliputi program paket C (setara SLTA), kursus, pendidikan vokasi, latihan keterampilan lain, baik dilaksanakan secara terorganisasi maupun tidak terorganisasi.


(29)

Pendidikan non formal mengenal pula Pusat Kegiatan Masyarakat (PKBM) sebagai pangkalan program yang dapat berada di dalam kawasan setingkat atau lebih kecil dari kelurahan/desa. PKBM berlaku untuk umum merupakan padanan dari Community Learning Center (CLC) yang menjadi bagian komponen dari Community Center.

2.3 Faktor OrangTua

2.3.1 Peran dan Fungsi OrangTua

Anak – anak dan remaja sangat memerlukan perhatian dan bimbingan dalam menjalani masa remaja menuju masa depannya, sebuah masa yang selaku orangtua tidak pernah tahu. Sepantasnyalah selaku orangtua memberikan bekal bekal kepada anak-anak tersebut sehingga mereka dapat menjalani kehidupan dengan benar dan bahagia. Berbagai masalah remaja yang muncul dewasa ini baik yang berhubungan dengan perilaku seks, kecanduan obat dan kenakalan remaja lainnya disebabkan antara lain oleh kurangnya perhatian dan bekal yang diterima oleh anak-anak dan remaja dari orangtuanya, yang berawal dari masalah komunikasi antara ayah, ibu dan mereka. Kebanyakan dari para orangtua merasa canggung dan kurang percaya diri untuk mempersiapkan anak-anak mereka memasuki masa baligh atau dewasa karena menganggap pembicaraan mengenai seks adalah tabu, sehingga segan membicarakannya dan tidak tahu bagaimana cara memulai menyampaikannya.

Orangtua merupakan komponen keluarga yang terdiri dari Ayah dan Ibu, dan merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah keluarga. Orangtua merupakan guru yang paling utama ditemui oleh anak didalam keluarga sebelum si anak terjun ke dalam lingkungan yang lebih luas lagi, seperti


(30)

lingkungan masyrakat dan sebagainya. Artinya, orangtua memiliki tanggung jawab yang lebih untuk mendidik, membimbing dan mngasuh anak – anak mereka untuk mencapai tahapan yang mengantarkan anaknya sebagai bekal menuju kehidupan masyarakat yang lebih luas lagi. Orangtua yang mengajarkan nilai – nilai yang terkandung di dalam keluarganya kepada anak – anaknya dan memberi sanksi ketika anaknya melanggar aturan di dalam keluarga.

Orangtua memiliki fungsi penting bagi anak di dalam sebuah keluarga, fungsi – fungsi tersebut antara lain :

1. Fungsi Religius, artinya orangtua memiliki kewajiban untuk memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota lainnya kepada kehidupan beragama. Memberikan penjelasan bahwa untuk melaksanakan fungsi ini, orangtua sebagai tokoh inti dalam keluarga itu harus terlebih dahulu menciptakan iklim yang dapat religius dalam lingkungan keluarga itu, yang dapat dihayati oleh seluruh anggota keluarga.

Orangtua merupakan komponen keluarga yang terdiri dari Ayah dan Ibu, dan merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah keluarga. Orangtua merupakan guru yang paling utama ditemui oleh anak didalam keluarga sebelum si anak terjun ke dalam lingkungan yang lebih luas lagi, seperti lingkungan masyrakat dan sebagainya. Artinya, orangtua memiliki tanggung jawab yang lebih untuk mendidik, membimbing dan mngasuh anak – anak mereka untuk mencapai tahapan yang mengantarkan anaknya sebagai bekal menuju kehidupan masyarakat yang lebih luas lagi. Orangtua yang mengajarkan nilai – nilai yang terkandung di dalam keluarganya kepada anak – anaknya dan memberi sanksi ketika anaknya melanggar aturan di dalam keluarga.


(31)

Orangtua memiliki fungsi penting bagi anak di dalam sebuah keluarga, fungsi – fungsi tersebut antara lain :

2. Fungsi Religius, artinya orangtua memiliki kewajiban untuk memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota lainnya kepada kehidupan beragama. Memberikan penjelasan bahwa untuk melaksanakan fungsi ini, orangtua sebagai tokoh inti dalam keluarga itu harus terlebih dahulu menciptakan iklim yang dapat religius dalam lingkungan keluarga itu, yang dapat dihayati oleh seluruh anggota keluarga.

3. Fungsi Edukatif, pelaksanaan fungsi edukatif di keluarga merupakan salah satu tanggungjawab yang dipikul oleh orangtua. Sebagai salah satu unsur pendidikan keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama bagi anak. Orangtua harus mengetahui tentang pentingnya anak secara keseluruhan. Ditangan orangtuanyalah masalah – masalah yang menyangkut anak, apakah dia akan tumbuh menjadi orang yang suka merusak dan menyeleweng atau si anak akan tumbuh menjadi orang yang baik.

4. Fungsi Protekrif, biasanya orangtua memberikan gambaran pelaksanaan fungsi lingkungan, yaitu dengan cara melarang atau menghindarkan anak dari perbuatan – perbuatan yang tidak diharapakan oleh orangtua, mengawasi atau membatasi perbuatan anak dalam hal – hal tertentu, menganjurkan atau menyuruh mereka untuk melakukan perbuatan – perbuatan yang diharapkan oleh orangtua mereka, mengajak bekerja sama dan saling membantu, dan memberikan contoh dan teladan dalam hal – hal yang diharapkan oleh orangtua.

5. Fungsi Sosialisasi, tugas orangtua dalam mendidik setiap anaknya tidak saja mencakup mengembangkan pribadi, agar menjadi pribadi yang baik tetapi meliputi pula mempersiapkannya menjadi anggota masyarakat yang baik. Sehubungan dengan


(32)

itu perlu dilaksanakan fungsi sosialisasi itu berarti orangtua memiliki kedudukan sebagai penghubung anak dengan kehidupan sosial dan norma - norma sosial dan membutuhkan fasilitas yang memadai.

6. Fungsi Ekonomis, meliputi : pemberian nafkah, perencanaan serta pembelajarannya. Keadaan ekonomi keluarga mempengaruhi pula harapan orangtua akan masa depan anak – anak mereka serta harapan anak – anak itu sendiri. Orangtua harus dapat mendidik anaknya agar dapat memberikan penghargaan yang tepat terhadap uang dan pencariannya, diserta dengan pengertian kedudukan ekonomi keluarga secara nyata, bila tahap perkembangan anak telah memungkinkan.

Berdasarkan dari penjelasan di atas mengenai fungsi orangtua terhadap anaknya antara lain menanamkan kehidupan yang beragama, memberikan pendidikan dalam masa perkembangan anak, terutama pada anak yang beranjak remaja, perlunya pendidikan mengenai dunia remaja terhadap anak merupakan pendidikan yang paling mendasar yang diberikan oleh orangtua kepada anaknya yang akan beranjak remaja, dengan begitu si anak akan cenderung terbuka terhadap orangtua , orangtua juga berfungsi sebagai penghubung dalam kehidupan sosial anak dan memberikan nafkah secara ekonomi demi masa depan si anak.

2.4. Perkawinan

2.4.1. Definisi Penyesuaian Perkawinan

Penyesuaian dapat didefinisikan sebagai interaksi seseorang yang continue dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan dengan dunia anda (Calhoun & Acocella, 1995). Interaksi dengan diri sendiri yaitu jumlah keseluruhan dari apa yang telah ada pada


(33)

seseorang : tubuh, perilaku, dan pemikiran serta perasaaan diri sendiri adalah sesuatu yang dihadapi individu setiap detik. Interaksi dengan orang lain, jelas berpengaruh pada individu, sebagaimana individu juga berpengaruh terhadap orang lain. Interaksi dengan dunia kita, penglihatan dan penciuman serta suara yang mengelilingi seseorang saat ia menyelesaikan urusannya, mempengaruhi diri sendiri dan dunia atau lingkungannya. Penyesuaian juga merupakan suatu proses psikologis dimana seseorang mengatur atau memenuhi keinginan dan tantangan dan kehidupan sehari-hari (Witten & Lloyd, 2006). Salah satu bentuk penyesuaian diri adalah penyesuaian terhadap perkawinan.

Penyesuaian perkawinan adalah suatu ”state” dimana seluruh perasaan bahagia dan kepuasan suami dan istri terhadap pernikahan mereka dan antara mereka berdua. Pasangan yang menikah memiliki banyak harapan, yang terkadang realistis tapi ada yang tidak realistis. Penyesuaian pernikahan menuntut adanya kematangan dan tumbuh serta berkembangnya pengertian diantara pasangan (Hashmi, Khurshid, Hassan, 2006).

Laswell dan Laswell mengatakan konsep dari penyesuaian pernikahan adalah dua individu belajar untuk saling mengakomodasikan kebutuhan, keinginan dan harapan. Penyesuaian pernikahan juga sebuah proses yang panjang karena setiap orang dapat berubah sehingga setiap waktu masing-masing pasangan harus melakukan penyesuaian pernikahan. Hoult juga mengatakan bahwa penyesuaian pernikahan merupakan perubahan sikap dan tingkah laku pada masing-masing pasangan suami istri yang menguntungkan untuk memenuhi harapan atau tujuan pernikahan (Wahyuningsih, 2002).


(34)

Berdasarkan beberapa pengertian penyesuaian perkawinan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa penyesuaian perkawinan merupakan poses interaksi dan sejumlah perasaan suami dan istri terhadap pernikahan mereka, menyesuaikan diri, dan mengembangkan serta menumbuhkan interaksi dan pencapaian kepuasan yang maksimum terhadap hubungan yang mereka bentuk.

2.4.2. Landasan Hukum Perkawinan

Adapun yang menjadi dasar hukum perkawinan adalah :

1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 a. Pasal 1 :

Perkawinan adalah ikatan suami istri lahir-bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa). Sebuah perkawinan diijinkan apabila seorang pria telah mencapai umur 19 tahun dan seorang wanita telah mencapai umur 16 tahun.

a. Pasal 2 :

(1). Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.

(2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Selain Undang-Undang diatas, Undang-Undang RI No. 10 Tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera, dapat juga dijadikan acuan dalam membentuk keluarga yang berketahanan dan berkualitas.


(35)

3. Untuk menindak lanjuti pasal (1) UU No. 1 Tahun 1974, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Pusat yang telah bekerjasama dengan MOU bahwa Usia Pertama Perkawinan adalah apabila seorang pria telah mencapai umur 25 tahun dan seorang wanita telah mencapai umur 20 tahun.

2.4.3. Bentuk-bentuk Penyesuaian Diri dalam Perkawinan

Penyesuaian diri dalam perkawinan memiliki beberapa area yang akan dilalui, seperti agama, kehidupan sosial, teman yang menguntungkan, hukum, keuangan, dan seksual. Hurlock (1999) juga mengatakan bahwa dari sekian banyak masalah penyesuaian diri dalam pernikahan, ada empat hal pokok yang paling umum dan paling penting dalam menciptakan kebahagiaan perkawinan. Empat hal itu adalah :

1. Penyesuaian dengan pasangan

Masalah yang paling penting yang pertama kali harus dihadapi saat seseorang memasuki dunia pernikahan adalah penyesuaian dengan pasangan (istri maupun suaminya). Semakin banyak pengalaman dalam hubungan interpersonal antara pria dan wanita yang diperoleh dimasa lalu, makin besar pengertian dan wawasan sosial mereka sehingga memudahkan dalam penyesuaian dengan pasangan. Hal ini juga terjadi pada remaja putri yang menikah dini.

Hurlock (1999) juga mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi penyesuaian terhadap pasangan. Faktor-faktor tersebut adalah :


(36)

a. Konsep pasangan ideal.

Pada saat memilih pasangan, baik pria maupun wanita sampai pada waktu tertentu dibimbing oleh konsep pasangan ideal yang dibentuk selama masa dewasa. Semakin seseorang terlatih menyesuaikan diri terhadap realitas maka semakin sulit penyesuaian yang dilakukan terhadap pasangan.

b. Pemenuhan kebutuhan

Apabila penyesuaian yang baik dilakukan, pasangan harus memenuhi kebutuhan yang berasal dari pengalaman awal. Apabila diperlukan pengenalan, pertimbangan prestasi dan status sosial sosial agar bahagia, pasangan harus membantu pasangan lainnya untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

c. Kesamaan latar belakang

Semakin sama latar belakang suami dan istri maka semakin mudah untuk saling menyesuaikan diri. Bagaimanapun juga apabila latar belakang mereka sama, setiap orang dewasa mencari pandang unik tentang kehidupan. Semakin berbeda pandangan hidup ini, maka semakin sulit penyesuaian diri dilakukan.

d. Minat dan kepentingan bersama

Kepentingan yang sama mengenai suatu hal yang dapat dilakukan pasangan cenderung membawa penyesuaian yang baik dari pada kepentingan bersama yang sulit dilakukan dan dibagi bersama.


(37)

e. Keserupaan nilai

Pasangan yang menyesuaikan diri dengan baik mempunyai nilai yang lebih serupa daripada mereka yang penyesuaian dirinya buruk.

f. Konsep peran

Setiap lawan pasangan mempunya konsep yang pasti mengenai bagaimana seharusnya peranan seorang suami dan istri, atau setiap individu mengharapkan pasangannya memainkan perannya. Jika harapan terhadap peran tidak terpenuhi maka akan mengakibatkan konflik dan penyesuaian yang buruk.

g. Perubahan dalam pola hidup

Penyesuaian terhadap pasangannya berarti mengorganisasikan pola kehidupan, merubah persahabatan dan kegiatan-kegiatan sosial, serta merubah persyaratan pekerjaan, terutama bagi seorang istri. Penyesuaian-penyesuaian ini seringkali diikuti oleh konflik emosional.

2. Penyesuaian seksual

Masalah penyesuaian utama yang kedua dalam pernikahan adalah penyesuaian seksual, masalah ini adalah masalah yang paling sulit dalam pernikahan dan salah satu penyebab yang mengakibatkan pertengkaran dan ketidakbahagiaan dalam pernikahan. Permasalahan biasanya dikarenakan pasangan belum mempunyai pengalaman yang cukup dan tidak mampu mengendalikan emosi mereka. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penyesuaian seksual yaitu :


(38)

a. Perilaku terhadap seks

Sikap terhadap seks sangat dipengaruhi oleh cara pria dan wanita menerima informasi seks selama masa anak-anak dan remaja. Jika perilaku yang tidak menyenangkan dilakukan maka akan sulit sekali untuk dihilangkan bahkan tidak mungkin dihilangkan.

b. Pengalaman seks masa lalu

Cara orang dewasa bereaksi terhadap masturbasi, petting, dan hubungan suami istri sebelum menikah, ketika mereka masih muda dan cara pria dan wanita merasakan itu sangat mempengaruhi perilakunya terhadap seks. Apabila pengalaman awal seorang wanita tidak menyenangkan maka hal ini akan mewarnai sikapnya terhadap seks.

c. Dorongan seksual

Dorongan seksual berkembang lebih awal pada pria daripada wanita dan cenderung tetap demikian, sedang wanita muncul secara periodik. Dengan turun naik selama siklus menstruasi. Variasi ini mempengaruhi minat dan kenikmatan akan seks, yang kemudian mempengaruhi penyesuaian seksual.

d. Pengalaman seks marital awal

Sikap terhadap penggunaan alat kontrasepsi,dan pengaruh vasektomi.

3. Penyesuaian keuangan

Uang dan kurangnya uang mempunyai pengaruh yang kuat terhadappenyesuaian diri individu dalam pernikahan. Istri yang berusia muda atau masih remaja cenderung memiliki sedikit pengalaman dalam hal mengelola keuangan untuk kelangsungan hidup


(39)

keluarga. Suami juga terkadang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan keuangan, khususnya jika istrinya bekerja di luar rumah dan berhenti setelah memiliki anak pertama sehingga mengurangi pendapatan keluarga.

4. Penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan

Setiap individu yang menikah secara otomatis memperoleh sekelompok keluarga baru. Mereka itu adalah anggota keluarga pasangan dengan usia yang berbeda, mulai dari bayi hingga kakek atau nenek dan terkadang dengan latar belakang yang berbeda, tingkat pendidikan yang berbeda, budaya dan latar belakang sosial yang berbeda. Penyesuaian diri dengan pihak keluarga pasangan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

a. Stereotip tradisional mengenai ibu mertua

Stereotip yang secara luas diterima masyarakat ”Ibu mertua yang representatif” dapat menimbulkan perangkat mental yang tidak menyenangkan bahkan sebelum perkawinan. Stereotip yang tidak menyenangkan mengenai orang usia lanjut seperti cenderung ikut campur tangan dapat masalah bagi keluarga pasangan.

b. Keinginan untuk mandiri

Orang yang menikah muda cenderung menolak berbagai saran dan petunjuk dari orang tua mereka, walaupun mereka menerima bantuan keuangan, dan khususnya mereka menolak bantuan dari keluarga pasangan.

c. Keluargaisme

Penyesuaian dan perkawinan akan lebih pelik apabila salah satu pasangantersebut menggunakan lebih banyak waktunya terhadap keluarganya daripada mereka sendiri.


(40)

Apabila pasangan terpengaruh oleh keluarga, apabila seseorang anggota keluarga berkunjung dalam waktu yang lama dan hidup dengan mereka untuk seterusnya.

d. Mobilitas sosial

Individu dewasa muda yang status sosialnya meningkat diatas anggota keluarga atau diatas status keluarga pasangannya mungkin saja tetap membawa mereka dalam latar belakangnya. Banyak orangtua dan anggota keluarga sering bermusuhan dengan pasangan muda.

e. Anggota keluarga berusia lanjut

Merawat anggota keluarga berusia lanjut merupakan faktor yang sangat sulit dalam penyesuaian pekawinan karena sikap yang tidak menyenangkan terhadap orangtua dan urusan keluarga khususnya bila dia juga mempunyai anak-anak.

f. Bantuan keuangan untuk keluargapasangan

Apabila pasangan muda harus membantu atau memikul tanggung jawab, bantuan keuangan bagi pihak keluarga pasangan, hal itu sering membawa hubungan keluarga yang tidak baik. Hal ini dikarenakan anggota keluarga pasangan dibantu keuangannya, menjadi marah dan tersinggung dengan tujuan agar diperoleh bantuan tersebut.

2.4.4. Kondisi Yang Menyumbang Kesulitan Dalam Penyesuaian Perkawinan Hurlock (1999) mengemukakan beberapa faktor yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyesuaian pernikahan. Faktor-faktor tersebut adalah :


(41)

1. Persiapan yang terbatas untuk pernikahan

Penyesuaian seksual saat ini terlihat lebih mudah dilakukan dibandingkan masa lalu, dikarenakan banyaknya informasi namun kebanyakan pasangan suami istri hanya menerima sedikit persiapan dibidang keterampilan domestik, mengasuh anak, dan manajemen uang.

2. Perubahan peran dan status sosial menjadi suami atau istri.

Kecenderungan terhadap perubahan peran dalam perkawinan bagi pria dan wanita serta konsep yang berbeda tentang peran membuat penyesuaian dalam pernikahan semakin sulit saat ini dibandingkan pada masa lalu.

3. Pernikahan dini

Pernikahan dini akan lebih banyak memerlukan proses penyesuaian diri masing-masing pasangan karena pada umumnya di usia ini individu belum terlalu matang dalam hal emosional, ekonomi, dan seksual.

4. Konsep yang tidak realistis tentang perkawinan.

Orang dewasa yang belajar perguruan tinggi dengan pengalaman yang sedikit cenderung memiliki konsep yang tidak realistis mengenai makna pernikahan dengan pekerjaan, pembelanjaan uang, atau perubahan pola hidup.

5. Pernikahan campuran


(42)

6. Pacaran yang dipersingkat.

Periode masa pacaran yang singkat pada masa sekarang dibandingkan masa lalu, sehingga pasangan hanya punya sedikit waktu untuk memecahkan masalah tentang penyesuaian sebelum melangsungkan pernikahan.

7. Romantika perkawinan

Harapan yang berlebihan mengenai tujuan dan hasil pernikahan sering membawa kekecewaan yang menambah kesulitan penyesuaian terhadap tugas dan tanggung jawab pernikahan.

2.4.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Pernikahan

Burgess & Locke (1960), menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor dasar yang dapat digunakan untuk mengetahui pernyesuaian pernikahan, yaitu :

1. Karakteristik kepribadian

Salah satu faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian perkawinan dan karakteristik kepribadian. Berikut ini 6 karakteristik kepribadian yang dapat menyebabkan ketidak bahagian dalam pernikahan yaitu :

a. Individu yang memiliki kecenderungan pesimis yang lebih besar dari pada sikap optimis.

b. Individu yang memiliki kecenderungan neurotis yang ditampilkan dengan ciri-ciri peka/sensitif, mudah marah dan merasa tidak berdaya serta kesepian.


(43)

c. Individu yang memiliki kecenderungan tingkah laku dominan (menguasai) terhadap orang lain (suami/istri) dan keras kepala.

d. Individu yang selalu mencela dan tidak memperhatikan orang lain(suami / istri).

e. Individu yang kurang percaya diri.

f. Individu yang merasa sanggup memenuhi kebutuhan sendiri yang ditunjukkan dengan tingkah laku menyendiri bila menghadapi masalah, menghindari dan menolak nasehat orang lain.

Apabila antara suami istri tidak ada rasa saling percaya akan membuat kehidupan pernikahan menjadi tidak bahagia. Faktor keterbukaan antara suami dan istri cukup penting dalam penyesuaian pernikahan. Saling terbuka memudahkan proses penyesuaian dalam pernikahan, sedangkan saling menutup diri (tidak terbuka) antara suami dan istri cenderung menyulitkan pernikahan. Jika suami istri menyelesaikan masalah sendiri atau tidak saling terbuka menyebabkan mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan emosional satu sama lain.

2. Latar belakang Budaya

Persamaan latar belakang budaya antara suami dan istri merupakan hal yang baik, sedangkan jika terdapat perbedaan latar belakang yang cukup besar maka hal tertentu ini dapat menyulitkan penyesuaian dalam pernikahan. Suami dan istri dengan latar belakang budaya yang berbeda akan mengalami kesulitan berkomunikasi. Beberapa penelitian menunjukkan beberapa hasil diantaranya :


(44)

(1) Tingkat budaya orang tua suami lebih berpengaruh daripada orang tua istri. Umumnya pria boleh menikahi wanita dengan kondisi ekonomi dan status sosial lebih rendah. Sedangkan wanita tidak boleh menikahi pria yang memiliki tingkat ekonomi dan status sosial lebih rendah darinya.

(2) Perbedaan budaya antara suami dan istri diasumsikan akan mengakibatkan pernikahan yang tidak sukses.

3. Pola Respon

Secara umum keromantisan dihubungkan dengan adanya saling ketertarikan. Hal ini merupakan kebahagian terbesar dalam pernikahan. Gairah cinta ini tidak dibatasi oleh perbedaan budaya dan kelas sedangkan gambaran yang membosankan apabila cinta berkembang tanpa adanya keakraban dan persahabatan. Hal ini tidak tergantung pada kecantikan, daya tarik seks, atau ciri fisik lain, tetapi pada keserasian, ketertarikan, dan hubungan yang akrab.

4. Hasrat Seks

Data statistik yang didapat Terman dan Locke dari penelitian yang dilakukan oleh Burgess & Cottrel, serta beberapa penelitian lain memberikan informasi bahwa terdapat hubungan antara perilaku seksual dengan penyesuaian pernikahan. Menurut Walgito (1984) adanya saling pengertian antara suami dan istri terhadap dorongan seks, pasangannya akan menghindarkan ketidakpuasan dalam melakukan hubungan seksual. sedangkan bila pasangannya memiliki dorongan seksual yang tidak seimbang dan tidak dapat dimengerti oleh kedua belah pihak, hal tersebut akan menimbulkan persoalan. Sedangkan menurut Burgess dan Locke (1960) faktor psikologis merupakan faktor yang


(45)

lebih besar mempengaruhi penyesuaian seksual dalam perkawinan dibandingkan dengan faktor biologis.

2.4.6. Pola Penyesuaian Perkawinan

Landis dan landis (dalam wahyuningsih, 2002) mengemukakan tiga pola penyesuaian perkawinan berdasarkan cara –cara memecahkan konflik, yaitu :

1. Kompromi (compromise), yang berarti bahwa dalam memecahkan konflik pasangan, suami istri melakukan kesepakatan-kesepakatan yang memuaskankedua belah pihak. Suami istri berusaha untuk menyatukan pendapat melalui kesepakatan sehingga meraih tingkat penyesuaian yang tinggi yang kemudian menumbuhkan rasa saling percaya dan rasa aman.

2. Akomodasi (accomodate), pada pola ini pasangan berada pada posisi bertolak belakang, memiliki karakteristik yang bertolak belakang, tetapi menerima kenyataan bahwa ada perbedaan. Pasangan suami istri melakukan akomodasi untuk mencapai keseimbangan dengan mentoleransi tingkah laku atau hal-hal lain dari pasangannya yang berbeda dengannya. Selama proses akomodasi pasangan dapat melakukan diskusi untuk meraih cara pandang yang menguntungkan kedua belah pihak.

3. Permusuhan (hostility), pada pola ini pasangan suami-istri berusaha untuktetap mempertahankan pendapat masing-masing dengan segala cara. Pasangan sering bertengkar mengenai berbagai hal yang berbeda. Pasangan suami istri tidak dapat menyelesaikan perbedaan yang ada dengan cara yang memuaskan, sehingga pernikahan diliputi oleh tekanan.


(46)

2.5. Remaja

2.5.1. Pengertian Remaja

Menurut Papalia (2004) remaja adalah transisi perkembangan antara masakanak-kanak dan masa dewasa yang meliputi perubahan secara fisik, kognitif, dan perubahan sosial. Lahey (2004) menyatakan bahwa remaja adalah periode yang dimulai dari munculnya pubertas sampai pada permulaan masa dewasa. Hurlock (1999), mengemukakan istilah Adolescence atau remaja yang berasal dari bahasa latin adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescence, seperti yang dipergunakan saat ini juga mempunyai arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, social, dan fisik.

Menurut Piaget dalam Hurlock 1999) secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa. Lazimnya masa remaja dianggap mulai ada saat anak secara seksual menjadi matang dan berakhir sampai ia menjadi matang secara hukum. Batasan remaja menurut WHO (dalam Sarwono, 2003) lebih konseptual .Dalam definisi ini dikemukakan 3 kriteria yaitu biologi, psikologi, dan sosial ekonomi, sehingga secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut : Remaja adalah suatu masa dimana :

1. Individu berkembang dari saat pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.

2. Individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identitas dari kanak-kanak menjadi dewasa.

3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.


(47)

Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan masa remajamerupakan masa dimana individu mengalami transisi perkembangan dari masa kanak-kanak menuju dewasa, kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik, usia dimana individu mulai berhubungan dengan masyarakat, dan telah mengalami perkembangan tanda-tanda seksual, pola psikologis, dan menjadi lebih mandiri.

2.5.2. Pembagian Masa Remaja

Menurut Monks (2001) batasan usia remaja adalah antara 12 tahun sampai 21 tahun. Monks membagi batasan usia ini dalam tiga fase, yaitu :

1. Fase Praremaja atau remaja awal ( 12 - 15 tahun )

Pada masa ini individu mulai meninggalkan peran sebagai anak – anak dan berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang mandiri. Fokus dari tahap ini adalah penerimaan terhadap bentuk dan kondisi fisik serta adanya konformitas yang kuat dengan teman sebayanya. Masa praremaja biasanya berlangsung hanya dalam waktu yang relatif singkat. Masa ini ditandai dengan gejaknya seperti tidak tenang, kurang suka bekerja, pesimistik dan sebagaianya. Secara garis besar sifat-sifat negatif tersebut dapat diringkas, yaitu : negatif dalam prestasi, baik prestasi jasmani maupun prestasi mental, dan negatif dalam sikap sosial, baik dalam bentuk menarik diri dalam masyarakat maupun dalam bentuk agresif terhadap masyarakat.

2. Fase remaja Madya atau pertengahan ( 15 - 18 tahun )

Masa ini ditandai dengsn berkembangnya kemampuan berfikir individu yang baru. Teman sebaya masih memiliki peran yang penting, namun individu sudah lebih mampu mengarahkan diri sendiri. Pada masa ini, remaja mulai mengembangkan kematangan tingkah laku, belajar mengendalikan impulsivitas dan membuat keputusan-keputusan


(48)

awal yang bertujuan dengan vokasional yang ingin dicapai. Selain itu, penerimaan dari lawan jenis menjadi penting bagi individu.

3. Fase remaja Akhir ( 18 - 21 tahun )

Masa ini ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki peran-peran orang dewasa. Selama periode ini remaja berusaha memantapkan tujuan vokasional dan mengembangkan sense of personal identity. Keinginan yang kuat untuk menjadi matang dan diterima dalam kelompok teman sebaya dan orang dewasa, juga menjadi ciri dari tahap ini.

Batasan usia remaja untuk masyarakat Indonesia sendiri adalah antara usia 11 tahun sampai usia 24 tahun. Hal ini dengan pertimbangan bahwa usia 11 tahun adalah usia dimana pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai tampak. Batasan usia 24 tahun merupakan batas maksimal individu yang belum dapat memenuhi persyaratan kedewasaan secara sosial maupun psikologis. Individu yang sudah menikah dianggap dan diperlukan sebagai individu dewasa penuh sehingga tidak lagi digolongkan sebagai remaja (Sarwono, 2003).

The UN Convention on The Rights of The Child (CRC) menandakan bahwa usia 18 tahun merupakan usia yang berada diantara masa anak-anak dan masa dewasa, usia ini merupakan batasan usia remaja. CRC juga mengatakan bahwa individu yang berusia dibawah 18 tahun masih dianggap sebagai usia anak-anak atau remaja. The World Health Organization (WHO) memiliki batasan yang tidak jauh berbeda. Batasan usia remaja menurut WHO adalah individu yang berusia pada rentang 10-19 tahun. Berdasarkan dari beberapa pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata batasan usia remaja berkisar antara 10 tahun sampai 24 tahun, dengan pembagian fase remaja awal berkisar


(49)

10-15 tahun, fase remaja tengah berkisar 16-18 tahun dan fase remaja akhir berkisar 19-24 tahun.

2.5.3. Ciri-ciri Remaja Yang Melakukan Perkawinan muda

Hurlock mengatakan bahwa semua periode perkembangan memiliki ciri-ciri perkembangan yang membedakan dari satu periode dengan periode berikutnya. Masa remaja juga mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelumnya dan sesudahnya. Remaja yang menikah baik itu remaja putra maupun remaja putri akan mengalami masa remaja yang diperpendek, sehingga ciri dan tugas perkembangan mereka juga ikut diperpendek dan masuk pada masa dewasa (Monks, 2001).

1. Remaja yang telah menikah akan mengalami suatu periode peralihan yang cukup signifikan. Peralihan yang terjadi adalah beralih dari masa anak-anak menuju masa dewasa, dimana remaja harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan dan harus mempelajari pola dan sikap baru terutama dalam pernikahan.

2. Remaja yang telah menikah akan mengalami periode perubahan, yaitu meliputi perubahan fisik, emosional, perubahan pola dan minat, perubahan nilai-nilai yang berlaku, dan sikap ambivalen terhadap setiap perubahan.

3. Remaja yang telah menikah, mereka diharuskan masuk pada masa dewasa, tidak lagi pada ambang masa dewasa. Masa remaja mereka menjadi diperpendek dan mereka harus meninggalkan stereotip belasan tahun dan menjadi dewasa.


(50)

2.5.4. Tugas-Tugas Perkembangan Remaja

Dalam Hurlock (1999), semua tugas perkembangan pada masa remaja dipusatkan pada penanggulangan sikap dan pola perilaku yang kekanak-kanakan dan mengadakan persiapan untuk menghadapi masa dewasa. Monks (2001) menyebutkan bahwa remaja yang telah menikah maka masa remaja menjadi diperpendek sehingga tugas-tugas perkembangannya juga mengalami penyesuaian. Adapun tugas perkembangan pada masa remaja adalah :

1. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita. Remaja mulai mempelajari hubungan baru dengan lawan jenis dengan tujuan untuk mengetahui lawan jenis lebih dalam bagaimana harus bergaul dengan mereka. Remaja yang menikah mulai mempelajari hubungan baru dengan pasangan dan lebih matang, hubungan dengan teman sebaya mereka juga sudah mulai terbatasi.

2. Mencapai peran sosial sebagai pria atau wanita Remaja putri yang telah menikah pencapaian peran sosial sebagai wanita yaitu menjadi istri dan ibu yang baik. Peran sosial ini terbentuk mulai saat kanak-kanak, seperti pada wanita dimana mereka didorong untuk berprilaku feminin sejak mereka masih kanak-kanak. Peran sosial ini biasanya diakui oleh masyarakat dan diterima oleh masyarakat.

3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif Seringkali sulit bagi remaja untuk menerima keadaan fisiknya bila sejak kanak-kanak mereka telah mengagungkan konsep mereka tentang penampilan saat dewasa nanti. Remaja yang telah menikah akan mengalami hal baru berkaitan dengan kondisi fisiknya, seperti ketika mereka hamil dan melahirkan anak.


(51)

4. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya. Bagi remaja yang sangat mendambakan kemandirian, usaha untuk mandiri secara emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lain merupakan tugas perkembangan yang mudah. Remaja yang menikah diusia muda diharapkan mencapai kemandirian emosional dari orang tua walaupun mereka belum cukup siap.

5. Mempersiapkan karier ekonomi Remaja putri yang menikah di usia muda menjadi terhambat dalam persiapan karier ekonomi mereka. Mereka kehilangan kesempatan untuk melanjutkan keterampilan lainnya sehingga menghambat proses persiapan karier ekonomi mereka.

6. Mempersiapkan pernikahan dan keluarga Kecenderungan kawin muda menyebabkan persiapan pernikahan merupakan tugas perkembangan yang paling penting dalam tahun-tahun remaja. Persiapan pernikahan dan keluarga saat ini hanya sedikit diberikan baik itu dalam keluarga maupun disekolah dan di Perguruan tinggi, kurangnya persiapan ini merupakan salah satu penyebab dari “ masalah yang tidak terselesaikan” yang oleh remaja dibawa kedalam masa dewasa. Remaja putri yang telah menikah biasanya tidak dapat melanjutkan pendidikan mereka sehingga persiapan mereka dalam menghadapi dunia pernikahan juga terbatas (Santrock, 1995). Persiapan yang terbatas itu tidak hanya dari pendidikan saja, kesiapan yang terbatas dari segi fisik mereka, psikologis, maupun segi finansial.


(52)

2.6. Pernikahan Dini

2.6.1. Definisi Pernikahan Dini

Pernikahan merupakan salah satu bentuk interaksi antara manusia. Menurut Duvall dan Miller (Aryaaulia, 2004), pernikahan dapat dilihat sebagai suatu hubungan dyadic atau berpasangan antara pria dan wanita, yang juga merupakan bentuk interaksi antara pria dan wanita yang sifatnya paling intim dan cenderung diperhatikan. Menikah juga didefinisikan sebagai hubungan pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat yang melibatkan hubungan seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh anak, dan saling mengetahui tugas masing-masing sebagai suami dan istri. Duvall (2002) juga menyatakan bahwa pernikahan merupakan upacara pengakuan dan pernyataan menerima suatu kewajiban baru dalam tata susunan masyarakat. Menikah adalah memasuki jenjang rumah tangga atas dasar membangun dan membina bersama.

Dariyo (2002) menambahkan bahwa menikah merupakan hubungan yang bersifat suci/sakral antara pasangan dari seorang pria dan seorang wanita yang telah menginjak atau dianggap telah memiliki umur cukup dewasa dan hubungan tersebut telah diakui secara sah dalam hukum dan secara agama. Menurutnya, kesiapan mental untuk menikah mengandung pengertian kondisi psikologis emosional untuk siap menanggung berbagai resiko yang timbul selama hidup dalam pernikahan, misalnya pembiayaan ekonomi keluarga, memelihara dan mendidik anak-anak, dan membiayai kesehatan keluarga.

Pasal 1 Undang-undang Pernikahan No 1 tahun 1974 menyatakan pernikahan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Munandar, 2001). Pernikahan Dini (early Married) merupakan pernikahan


(53)

yang dilakukan oleh pasangan yang berusia dibawah 19 tahun (WHO, 2006). Hal ini sesuai dengan rekomendasi The Eliminatian of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) yang menyatakan bahwa usia 18 tahun seharusnya menjadi usia minimum yang resmi untuk menikah baik pada pria maupun wanita.

Berdasarkan beberapa penjelasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh individu yang berusia dibawah 19 tahun dan merupakan suatu hubungan dydic atau berpasangandan interaksi antar pria dan wanita yang bersifat suci aau sakral yang melibatkan melibatkan hubungan seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh anak, dan saling mengetahui tugas masing-masing sebagai suami dan istri.

2.6.2. Alasan Menikah

Menurut Bowner dan Spanier dalam Rahmi (2003) terdapat beberapa alasan seseorang untuk menikah seperti mendapatkan jaminan ekonomi, membentuk keluarga, mendapatkan keamanan emosi, harapan orang tua, melepaskan diri dari kesepian, menginginkan kebersamaan, mempunyai daya tarik seksual, untuk mendapatkan perlindungan, memperoleh posisi sosial dan prestise, dan karena cinta.

Duvall (2002) mengatakan ada beberapa alasan seseorang untuk menikah yakni untuk melepaskan diri dari beban hidup, untuk mengatasi perasaan trauma terhadap pengalaman berhubungan dengan lawan jenis, tekanan dari lingkungan keluarga, karena daya tarik seks, untuk merasakan kesenangan dan untuk status. Turner dan Helms dalam Dariyo (2002) menyatakan bahwa terdapat beberapa motivasi seseorang untuk menikah, yakni :


(54)

a. Motif Cinta

Cinta dan komitmen merupakan dasar utama pasangan untuk menikah. Banyak pasangan yang melangsungkan pernikahan karena memiliki kecocokan dan kesamaan minat.

b. Motif untuk memperoleh legitimasi terhadap pemenuhan kebutuhan biologis. Dengan menikah mereka dianggap tidak melanggar aturan dan norma masyarakat jika ingin melakukan hubungan seksual.

c. Untuk memperoleh legitimasi status anak.

Anak yang lahir dari hubungan antar laki-laki dan wanita yang terikat dalam lembaga perkawinan akan memperoleh pengakuan yang sah dihadapan ajaran agama maupun hukum negara.

d. Merasa siap secara mental

Keadaan siap untuk menikah akan membawa pasangan untuk menikah sesegera mungkin.

2.6.3. Pengaruh Faktor Kesiapan Menikah terhadap Penyesuaian Pernikahan Kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan yang bijak mencari pasangan dan mampu saling berbagi dengan pasangan merupakan langkah awal menuju perkawinan. Pasangan yang terlihat cocok satu ama lain dalam cinta, belum tentu siap untuk menikah. Menghadapi jenjang pernikahan dipermukan beberapa kesiapan dalam menikah. Aspek kesiapan yang dikemukan oleh Blood (1978) membagi kesiapan


(55)

menikah menjadi dua bagian yaitu kesiapan pribadi (personal) dan kesiapan situasi (ciscumstantial). Aspek-aspek tersebut adalah :

a. Kesiapan pribadi (personal)

1. Kematangan Emosi.

Kematangan emosi yang berarti kemampuan seseorang untuk dapat siaga terhadap diri dan kemampuan mengidentifikasikan perasaan sendiri. Kematangan emosi yaitu konsep normatif dalam perkembangan psikologis yang berarti bahwa seorang individu telah menjadi seorang yang dewasa. kematangan emosi berasal dari pengalaman yang cukup terhadap suatu perubahan dan terhadap suatu permasalahan. Kehidupan pernikahan memerlukan harapan yang realistik. Harapan yang realistik dapat membuat seseorang mampu menerima dirinya sendiri apa adanya dan mampu menerima orang lain sebagaimana diri orang tersebut. Kehidupan pernikahan yang memiliki pasangan yang dewasa secara emosi dan memiliki harapan-harapan pernikahan yang realistik akan lebih mudah melakukann penyesuaian pernikahan sehingga lebih mudah dipertahankan. Sebaliknya jika tidak maka akan sulit mempertahankan pernikahan.

2. Kesiapan Usia

Kesiapan usia berarti melihat usia yang cukup untuk menikah. Menjadi pribadi yang dewasa secara emosi membutuhkan waktu, sehingga usia merupakan hal yang berkaitan dengan kedewasaan.


(56)

3. kematangan sosial

Seseorang bisa saja dewasa secara emosional tapi bukan berarti memiliki cukup pengalaman dalam kehidupan sosial orang dewasa untuk siap menikah. Kematangan sosial dapat dilihat dengan cukupnya pengalaman berkencan (enough dating) dan cukupnya pengalaman hidup (enough single life).

4. Kesehatan emosional

permasalahan emosional yang dimiliki oleh manusia, diantaranya adalah kecemasan, merasa tidak aman, curiga dan lain-lain. Setiap individu memiliki perasaan seperti itu, namun jika hal itu berada tetap pada diri seseorang maka ia akan sulit menjalin hubungan dengan orang lain. Masalah emosi biasanya menjadi tanda ketidakmatangan yaitu bersikaps posesif, ketidakmampuan bertanggung jawab dan tidak dapat diprediksi.

5. Kesiapan Model Peran

Banyak orang belajar bagaimana menjadi suami dan istri yang baik dalam proses perkembangan mereka kelak. Mereka belajar apa artinya menjadi suami mapun istri yang baik dengan melihat figur ayah dan ibu mereka. orang tua yang memiliki figusr suami dan istri yang baik akan dapat memepengaruhi kesiapan menikahkan anak-anak mereka yang nantinya akan mempengaruhi pola penyesuaian pernikahan mereka.

b. Kesiapan Situasi

1. Kesiapan Sumber finansial

Kesiapan finansial tergantung dari nilai-nilai yang dimiliki masing-masing pasangan. Pasangan yang menikah diusia muda yang masih memiliki penghasilan yang


(1)

psikologis tentang diri sendiri yang terbentuk dari pengalaman dan interaksi dengan orang lain” (Suryabrata, 1993:40). Selanjutnya Cooley member pengertian “konsep diri adalah suatu gejala “looking glass self” (cermin diri), yaitu pertama, kita membayangkan orang

lain menilai penampilan kita. Kedua, kita membayangkan orang lain menilai penampilan kita. Ketiga, kita mengalami perasaan kecewa, perasaan sendiri dan malu.” Konsep diri remaja yang melakukan pernikahan dini yang sudah dipaparkan oleh informan-informan, kalau setelah mereka melakukan pernikahan dini sama sekali tidak membuat mereka minder atau tidak percaya diri baik di lingkungan masyarakan dan lingkungan pergaulan mereka. Setelah menikah mereka masih bisa bergaul dengan baik meskipun ada salah satu dari mereka setelah menikah dini sedikit membatasi pergaulannya karena sudah mempunyai tanggung jawab mengurus rumah dan suami. Dan semua informan memaparkan tanggapannya yang hampir semuanya sama, kalau menikah dini itu menyenangkan walaupun bagi beberapa orang menikah dini adalah pernikahan main-main karena belum cukupnya umur, dan emosi yang masih labil.


(2)

BAB VI PENUTUP VI.1. Kesimpulan

Dari seluruh uraian yang telah dikemukakan berupa hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan mengenai Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan usia muda dikalangan remaja di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Makna pernikahan usia muda di lokasi ini yaitu merupakan suatu kejanggalan yang masih harus dipahami bagi setiap masyarakat sekitar. Penelitian memperlihatkan permasalahan tersebut dengan dibuktikan bahwa dari kasus ini terdapat anggota masyarakat yang tidak mengindahkan peraturan-peraturan telah ditetapkan. Masyarakat telah banyak melakukan pernikahan usia muda di bawah batas umur yang telah di tetapkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat 2.

2. Faktor-faktor pendorong terjadinya perkawinan pada usia muda di lokasi penelitianini antara lain : faktor ekonomi, faktor keluarga, faktor pendidikan, faktor kemauan sendiri, dan faktor adat setempat. Faktor ekonomi, keluarga yang masih hidup dalam keadaan sosial ekonominya rendah/belum bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Faktor pendidikan, karena rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak, akan pentingnya pendidikan. Faktor keluarga yaitu orang tua mempersiapkan atau mencarikan jodoh untuk anaknya. Faktor kemauan sendiri, karena pergaulan bebas sehingga mereka melakukan pernikahan. faktor adat yang menyebabkan terjadinya pernikahan usia


(3)

muda karena ketakutan orang tua terhadap gunjingan dari tetangga dekat. Apabila anak perempuan belum takut anaknya dikatakan perawan tua.

3. Remaja yang memutuskan untuk menikah di usia muda pada umumnya beranggapan bahwa pendidikan bagi mereka adalah formalitas, sehingga mereka lebih mementingkan untuk berumahtangga daripada melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Bahkan kebanyakan dari remaja yang menikah di usi muda rela meninggalkan bangku sekolah.

VI.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, akhirnya penulis mencoba memberikan masukan atau beberapa saran antara lain :

1. Bagi para orang tua, hendaknya menyadari akan betapa pentingnya pendidikan agama bagi anak-anak, khususnya dalam keluarga. Orang tua hendaknya memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan agama anak dalam keluarga. Karena pendidikan agama dalam lingkungan keluarga merupakan aspek pendidikan yang pertama dan utama dalam membantu dan membimbing perkembangan anak menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang tampak dalam tutur kata, sikap dan tingkah lakunya.

2. Bagi para orang tua, janganlah tergesa-gesa untuk segera menikahkan anak-anak pada usia remaja. Karena usia remaja belum mampu menghadapi dan menyelesaikan persoalan-persoalan rumah tangga secara baik. Para remaja masih perlu bekal yang banyak baik bekal kedewasaan fisik, mental maupun sosial-ekonomik, ilmu pengetahuan umum dan agama, pengalaman-pengalaman hidup dan lain sebagainya. Jadi, semua itu penting bagi remaja sebagai persiapan untuk


(4)

menuju kehidupan di masa yang akan datang khususnya dalam kehidupan berumah tangga.

3. Bagi para remaja, jangan ada kata malas untuk belajar, capailah cita - cita mu setinggi langit, bekali dirimu dengan ilmu agama dan ilmu umum yang cukup, itu semua penting bagimu dalam menjalankan hidup sebagai pribadi dan sebagai orang tua setelah kamu menikah nanti.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Iqbal. 2002. Pokok – Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya.

Jakarta : Ghalia Indonesia.

Koentjaraningrat. 1981. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Gramedia, Jakarta Kartono, Kartini. 1992. Patologi Sosial Kenakalan Remaja. Jakarta, Rajawali Pers.

Nawawi, Hadari. 1998. Metode Penelitian Bidang Sosial. Gajah mada University Press:Yogyakarta.

Manaf, Abdul, dkk. 2000. Profil Statistik dan Indikator Gender Provinsi Sumatera Utara Tahun 2000. Jakarta: Kementrian Pemberdayaan Perempuan

Departemen Kesehatan RI. 2006. Panduan, Pengelolaan Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR). Jakarta: Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak-hak Reproduksi.

Siswanto, Wilopo, A. 2004. Ada Apa Dengan Gender?. Jakarta: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BkkbN).

Sunarto, HM, Mpd, Drs. 2007. Bahan Penyuluhan BKR Tentang Materi Ketahanan Keluarga Bagi Calon Pengantin. Jakarta: Badan Kependdudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BkkbN).

Sarlito, Sarwono. 1991. Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta : CV. Rajawali. Silalahi, Ulber. 2009. Metode Penelitian Sosial. PT. Rafika Aditomo, Bandung.

Siagian, Matias. 2011. Metode Penelitian Sosial, Pedoman Praktis Penelitian Bidang Ilmu Ilmu Sosial dan Kesehatan. Medan : Grasindo Monoratama


(6)

Sumber-Sumber Lain :

http://www.depsos.go.id. diakses Pada Tanggal 18 April 2012 Pukul 14.25 WIB

http://id.wikipedia.org/Ilmu-ekonomi. diakses pada Tanggal 19 April 2012 Pukul 19:32 WIB

http://repository.usu.ac.id. diakses pada tanggal 30 April 2012 Pukul 14.00 WIB

http://www.blog.binadarma.ac.id/fitriasuri/, diakses tanggal 27 Desember 2012 pukul 16.00 WIB.

(http://www.kavie-design.indonesianforum.net). diakses pada tanggal 16 Februari 2013 Pukul 22.15 WIB


Dokumen yang terkait

Faktor-Fator Yang Mempengaruhi Pernikahan Usia Muda (Studi Kasus Di Dusun IX Seroja Pasar VII Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang)

2 64 106

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepemilikan dan Keadaan Jamban Keluarga Di Desa Percut Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Tahun 2001

2 66 46

Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi Konsumsi Listrik Bagi Rumah Tangga Masyarakat Kelurahan Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang.

21 103 96

Faktor-faktor Ketidakikutsertaan Pasangan Usia Subur menjadi Akseptor KB di Desa Bandar Klippa Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang

6 62 58

Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi terhadap Pendapatan Nelayan (Studi Kasus : Desa Percut Sei Tuan, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang)

0 7 73

Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi terhadap Pendapatan Nelayan (Studi Kasus : Desa Percut Sei Tuan, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang)

0 3 11

Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Perkawinan Usia Muda Dikalangan Remaja di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang

0 0 48

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Perkawinan Usia Muda Dikalangan Remaja di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang

0 0 8

Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Perkawinan Usia Muda Dikalangan Remaja di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang

0 0 12

Faktor-Fator Yang Mempengaruhi Pernikahan Usia Muda (Studi Kasus Di Dusun IX Seroja Pasar VII Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang)

0 0 11