BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Alginat - Pengaruh Konsentrasi Pemlastis Gliserol Terhadap Karakteristik Edible Film Kalsium Alginat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Alginat

  Alginat adalah polisakarida alam yang umumnya terdapat pada dinding sel dari semua spesies alga coklat (Pheaophyceae). Asam alginat pertama kali dan dipatenkan oleh seorang ahli kimia dari Stanford Inggris tahun 1881 dengan mengekstrak Lamanaria stenophylla (Anonim II, 2005). Asam alginat dalam alga coklat umumnya terdapat sebagai garam-garam kalsium, magnesium, natrium. Tahap pertama pembuatan alginat adalah mengubah kalsium alginat dan magnesium alginat yang tidak larut menjadi natrium alginat yang larut dalam air dengan pertukaran ion dibawah kondisi alkalin (Zhanjiang, 1990).

  2+ 2+

  Dimana: M adalah kation bivalen seperti Ca , Mg dan lain-lain Alg adalah alginat.

  Proses pertukaran ion dari alginat dilakukan dengan mineral asam sebelum diekstraksi dengan alkali, persamaan rekasinya sebagai berikut: Larutan natrium alginat kasar yang diperoleh difiltrasi dan diendapkan dengan

  2+

  Ca untuk membentuk garam kalsium yang tidak larut. Selanjutnya pemisahan dilakukan dengan proses asidifikasi untuk memisahkan asam alginat dan ion-ion kalsium.

  Kemudian gel asam alginat yang terbentuk didehidrasi lalu dicampur dengan alkali (Na

2 CO 3 ) untuk membuat kembali garam natrium yang larut.

  Akhirnya diperoleh pasta natrium alginat, lalu dikeringkan dan digiling untuk memperoleh bubuk natrium alginat ( Zhanjiang, 1990).

  2.1.1. Produksi

  Penyedian alginat secara komersial diperoleh dari hasil ekstraksi alga coklat, sebagaian besar dari laminaria hyperbore, Macrocystis pryfera, Laminaria

  

digitata, Ascophyllumnodosum, Laminaria joponica, Ecklonia maxima, Lessonia

nigrescens, dan Durvillaea antarctive.

  Komposisi alginat dari ganggang laut tidak sama variasinya tergantung pada musim dan kondisi pertumbuhannya, ketidak samaan ini tergantung pada sifat dari tumbuhan itu (Bernd, 2009).

  Ada beberapa Negara yang telah memproduksi alginat secara komersial diantaranya adalah Amerika Serikat. Pada Tahun 1927 Thornley membangun perusahan untuk memproduksi alginat di San Diego kemudian diorganisasi dimulai oleh Alginate Industries Ltd. selama periode 1934-1939. Dan sekarang ada dua perusahaan terbesar di Amerika Serikat yaitu Kelco dan Alginat Industries yang memproduksi sekitar 70% alginat dari seluruh dunia (Zhanjiang, 1990). Di China produksi alginat dimulai tahun 1957 di Qingdao yang berasal dari spesies Sargassum Pollidum. Negara – negara penghasil alginat terbesar lainya yaitu Jepang dan Prancis.

  2.1.2. Struktur Kimia dan Komposisi

  Alginat merupakan polimer linear yang mengandung lebih dari 700 residu asam uronat yaitu β-D asam manuronat dan α-L asam guluronat dengan ikatan 1,4. Rantai alginat yang mengandung residu asam manuronat disebut blok M, rantai alginat yang hanya mengandung residu asam gluronat disebut blok G dan rantai alginat yang mengandung residu asam manuronat serta asam gluronat disebut blok MG ( Masakatsu dan Inukai, 1999).

  Dengan adanya nitrogen dalam struktur polimer dari polisakarida, stanford mengusulkan dengan pasti jalan keluar dari penelitian tentang struktur algina, asam uronik merupakan penyusun utama dari struktur dasar alginat yang dipatenkan pada tahun 1926 (Bernd, 2009). Struktur dasar dari monomer alginat adalah cincidan dapat membentuk 2 konfigurasi, yaitu C1 dan

  1C . β -D-manuronat di alam terdapat dalam konfigurasi C1. Pada konfigurasi 1C

  α-D-manuronat, interaksi -COOH pada C-5 dan -OH pada C-3 akan kaku, sedangkan pada C1 gugus-gugus ini berada pada posisi ekuatorial sehingga lebih stabil. Sebaliknya, untuk alasan yang sama, α -L-guluronat terdapat dalam konfigurasi 1C dibandingkan C1.

  Polimer alginat dibentuk dari hubungan antara C-1 dan C-4 tia dan dihubungkan oleh ikatan eter oksigen. Polimer alginat terdiri dari 3 jenis, dibentuk dari struktur ekuatorial gugus C-1 dan C-4 dan membentuk polimer lurus, sedangkan polimer G dibentuk dari struktur aksial. Perbedaan struktur polimer ini menyebabkan polimer G lebih banyak digunakan untuk proses

  2+

  pembentukan gel alginat dengan penambahan ion Ca . Ion tesebut akan

  • menggantikan ion H pada gugus karboksilat dan membentuk jembatan ion penghubung antara polimer G yang satu dengan yang lainnya. Hubungan antara polimer G ini akan membentuk struktur egg-box.

  Alginat merupakan polimer linear yang mengandung β-(1,4) linked D-asam manuronat (M) dan α-(1-asam gluronat) (G). Gambar 2.1 menunjukkan dalam rantai polimer, monomer dapat tersusun sebagai blok GG, blok MM dan blok GM (Donati dan Paoletti, 2009).

Gambar 2.1. Struktur Kimia Alginat, a.Konformasi 4C1 Garam Natrium dari Asam Β-D-Mannuronat (M) dan Konformasi 1C4 Garam Natrium dari Asam Α-L-Guluronat (G). b. Komposisi Blok Alginat yaitu Blok G, Blok M dan Blok MG

  Residu asam manuronat mempunyai ikatan C 1,4 di-equtorial sehingga bentuknya rata seperti pita. Struktur ini menjadi stabil dengan adanya ikatan H antara proton dari OH dan C dengan cincin O dari residu tetangganya, seperti

  3

gambar 2.2 dibawah ini: Gambar 2.2. Ikatan 1,4 di-equatorial dari natrium manuronat.

  Struktur asam guluronat berbeda dengan asam manuronat. Residu asam gluronat mempunyai ikatan C 1,4 di-axial sehingga struktur pita dari polimer ini melengkung, berlawanan dengan bentuk merata dari manuronat. Struktur ini stabil dengan adanya ikatan H antara gugus OH pada atom C

  2 dari residu yang satu

  • dengan gugus COO dari residu tetangganya ( Anonim II, 2005) Gambar 2.3. Ikatan 1,4 di-axial dari asam guluronat .

  Masing-masing spesies alga coklat mengandung tipe alginat atau ratio M/G yang berbeda tergantung dari waktu panen dan bagian anatomi tumbuhan (Robinson, 1987). Alginat yang mengandung asam guluronat yang tinggi akan cendrung mempunyai struktur rigid (kaku) serta mempunyai porositas yang besar, sedangkan alginat yang mengandung asam manuronat yang tinggi mempunyai struktur yang tidak rigid. Unit G dan M diatur dalam rantai dan keseluruhan rasio, M / G, dari dua unit dalam rantai dapat bervariasi dari satu jenis rumput laut dengan yang lain. Dengan kata lain semua "alginat" tidak selalu sama. Jadi beberapa rumput laut dapat menghasilkan alginat yang memberikan viskositas yang tinggi ketika dilarutkan dalam air, sedangkan yang lain dapat menghasilkan viskositas rendah. Kondisi-kondisi dari prosedur ekstraksi dapat juga mempengaruhi viskositas. Demikian pula, kekuatan gel yang dibentuk oleh penambahan garam kalsium dapat bervariasi dari satu alginat dengan yang lain. Umumnya alginat dengan kandungan G yang lebih tinggi akan memberikan gel yang lebih kuat, dikatakan alginat memiliki rasio M / G rendah.

  Penentuan rasio M/G dapat dilakukan dengan menghidrolisis parsil alginat dengan asam organik encer seperti asam oksalat 1 M, dimana sebagian alginat akan larut. Residu yang tidak larut dapat dipisahkan ke dalam fraksi yang kaya akan guluronat (blok G) yang tidak larut pada pH 2,85 tersebut. Fraksi yang larut oleh hidrolisis parsil mengandung uronat M dan G (blok MG) ( Zhanjiang, 1990).

2.1.3. Sifat-sifat Fisika dan Kimia

2.1.3.1. Sifat Fisika

  Kelarutan dan kemampuan mengikat air dari alginat bergantung pada jumlah ion karboksilat, berat molekul dan pH. Kemampuan mengikat air meningkat bila jumlah ion karboksilat semakin banyak dan jumlah residu kalsium alginat kurang dari 500, sedangkan pH di bawah 3 terjadi pengendapan. Secara umum, alginat dapat diabsorpsi air dan bisa digunakan sebagai pengemulsi dengan viskositas yang rendah (Kaban, 2008).

  Asam alginat tidak larut dalam media berair, akan tetapi bila pH dinaikkan maka sebagian asam alginat diubah menjadi garam yang larut. Total netralisasi terjadi pada pH sekitar 4, dimana asam alginat secara sempurna diubah menjadi garam yang sesuai (ISP, 2001). Garam alginat yang larut dalam air adalah alginat yang mengandung logam alkali, amonia dan amina dengan berat molekul rendah tidak larut dalan air kecuali magnesium alginat.

  Alginat tidak stabil terhadap panas, oksigen, ion logam dan sebagainya. Dalam keadaan yang demikian, alginat akan mengalami degradasi. Selama penyimpanan, alginat secepatnya mengalami degradasi dengan adanya oksigen terutama dengan naiknya kelembaban udara. Alginat dengan viskositas sedang atau rendah. Urutan stabilisasi alginat selama penyimpanan adalah: Natrium alginat > amonium alginat > asam alginat. Alginat komersial mudah terdegradasi oleh mikroorganisme yang terdapat di udara, kerena bahan tersebut mengandung partikel alga dan zat nitrogen. Semua larutan alginat akan mengalami depolimerisasi dengan kenaikan suhu (Zhanjiang, 1990)

  Larutan natrium alginat stabil pada pH sekitar 4-10. Pembentukan gel atau pengendapan alginat dapat terjadi pada pH dibawah 4, dengan berubahnya garam alginat menjadi asam alginat yang tidak larut. Penyimpanan larutan alginat yang lama diluar batasan pH diatas tidak dianjurkan, karena dapat menyebabkan depolimerisasi senyawa polimer akibat hidrolisis. Asam alginat tidak larut dalam air, sehingga yang bisa digunakan dalam industri adalah garam natrium alginat atau kalium alginat. Natrium alginat adalah bubuk warna kram, larut dalam air dengan membentuk koloid, kental, tidak larut dalam alkohol, klorofom, eter dan larutan asam jika pH dibawah 3. Propilen glikol alginat menunjukkan stabilitas yang sangat baik dalam larutan asam khusus efektif pada batasan pH 2,5-4. Kondisi ini dihindari karena efek pelindung dari gugus ester akan hilang secara cepat disebabkan terjadinya saponifikasi (ISP, 2001).

2.1.3.2. Sifat Kimia

  Metil ester alginat dibuat dengan mereaksikan asam alginat dengan diazometan atau asam klorida dalam metanol atau melalui reaksi antara dimetilsulfat dengan natrium alginat yang tersuspensi dalam larutan tidak berair. Ester dapat dibentuk pada kondisi yang biasa dengan 1,2-alkilen oksida. Jika digunakan propilen oksida, dapat dihasilkan propilen glikol eter yang dapat digunakan sebagai zat tambahan dalam makanan seperti jelly dalam bentuk garam kalsium. antara asetil klorida dengan adanya basa organik atau reaksi katalitik dengan anhidrida asetat. Amonium diasetil alginat bersifat larut dalam air, tidak larut dalam pelarut organik dan mengembang dalam alkohol encer, membentuk gel atau mengendap dengan tembaga (II), timah (II) dan ion trivalen atau tetravalen. Tidak mengendap atau membentuk gel dengan kalsium, barium, besi (II), mangan (II), atau seng. Ester alginat sulfat diperoleh dengan asam sulfat yang digunakan dalam bidang medis sebagai zat anti beku darah (Muzzarelli, 1973)

  Ester alginat seperti asam karboksimetil alginat diperoleh dalam bentuk garam natrium, melalui reaksi antara natrium alginat dengan asam kloroasetat dalam natrium hidroksida. Garam basa organik dari alginat dapat mempengaruhi kelarutan asam alginat dalam pelarut organik. Sebagai contoh, tributilamin, feniltrimetilamonium dan benziltrimetilamonium alginat larut dalam etanol absolut sedangkan trietanolamin alginat larut dalam etanol 75%. Senyawa amonium kuartener dengan hidrokarbon seperti asetil trimetil amonium bromida bereaksi dengan asam alginat membentuk endapan asetil trimetil amonium alginat (Kaban, 2007).

2.1.4. Pembentukan Gel

  2+

  Alginat dapat membentuk gel dengan adanya kation-kation divalent seperti Ca

  , 2+ 2+ 2+

  Mn , Cu , dan Zn dimana ikatan silang terjadi karena adanya kompleks khelat antara ion-ion divalent dengan anion karboksilat dari blok G-G. Intraksi ion logam

  • dengan gugus COO dari alginat terjadi pada inter dan intra molekul. Disamping
  • intraksi ion logam dengan gugus COO dari alginat, gugus OH dari polimer juga

  2+

  ikut berperan (Zhanjiang, 1990). Ion Ca mempunyai orbital d yang kosong

  2+ sehingga alginat sebagai ligan dapat menyumbangkan elektronnya kepada Ca . 2+

  Ion Ca yang merupakan jambatan penghubung inter molekul alginat hanya dapat menerima 5 ligan oksigen, sementara alginat berpotensi menyumbangkan 10 ligan oksigen dari kedua rantai yang paralel yaitu masing-masing dari OH pada C dan C . Ikatan O yang menghubungkan 1-4 dan sebuah gugus karboksil serta

  2

  3

  cincin O dari residu tetangganya (Chaplin, 2005), seperti gambar 2.4 dibawah ini:

Gambar 2.4. Alginat sebagai ligan

  Seperti dijelaskan diatas , rantai asam guluronat melengkung sedangkan rantai asam manuronat merata. Hal ini menyebabkan keduanyai mempunyai

  2+ 2+

  perbedaan dalam berikatan dengan ion Ca . Penambahan Ca pada asam

  2+

  guluronat menjadikannya bentuk gel, seperti Ca masuk kedalam egg box antara unit monomer, seperti gambar dibawah ini:

Gambar 2.5. Pembentukan gel kalsium alginat

  • 2+

  Ion Ca dapat mengadakan ikatan dengan gugus COO pada masing-masing blok yang paralel, seperti gambar 2.6 dibawah ini:

  • - 2+

Gambar 2.6. Ion Ca pada gugus COO dari blok G yang paralel

  2+

  Rantai blok M yang seperti pita mendatar dapat berikatan dengan Ca dan ini diharapkan terjadi pada konsentrasi kation yang tinggi. Akibat adanya perbedaan struktur antara blok M dan G maka gel yang dibentuk dari blok M bersifat elastis, sedangkan gel dari blok G sifat rigid. Kekuatan dari gel yang dibentuk dengan penambahan garam Ca bervariasi dari satu alginat dengan alginat lain. Alginat dengan kandungan blok G yang tinggi, seperti Macrocytis memberikan alginat dengan viskositas yang sedang. Sargassum memberikan hasil viskositas yang rendah, Laminaria digitata menghasilkan kekuatan gel yang lembut sampai sedang sementara Laminaria hyperborea dan Durvillaea menghasilkan gel yang kuat (McHugh, 2003).

2.1.5. Pertukaran Ion dalam Pembentukan Kalsium Alginat

  Pertukaran ion adalah elektrolit tak larut yang mengandung gugus ion positif atau ion negatif yang dapat dipertukarkan dengan ion lain dari larutan disekitarnya, tanpa mengalami perubahan struktur dalam resin. Ada dua tipe resin penukar ion yaitu resin kation dan resin anion. Resin kation adalah ion yang bermuatan positif, mampu mempertukarkan kation yang berada dalam resin dengan kation dari larutan disekitar resin, misalnya Ca, Mg, Fe, dan H. Resin penukar anion adalah ion yang bermuatan negatif, mampu mempertukarkan anion dalam resin dengan anion dari larutan yang mengalir melewati resin, misalnya Cl, SO, dan OH (Benefield, 1982). Kemampuan dari ion-ion logam divalent berikatan dengan alginat tergantung pada jumlah relatif dari unit asam D-manuronat dan L-guluronat dalam alginat.

  • Pembentukan gel alginat terjadi karena adanya pertukaran ion Na dengan kation divalent, sehingga dari yang bersifat larut dalam air menjadi tidak larut dalam air (Zhianjiang, 1990).

  Jumalah ion divalent yang dibutuhkan untuk mengendapkan alginat meningkat sesuai dengan sesuai dengan tingkatan berikut: Pb, Cu < Ca < Co, Ni, Zn < Mn. Sifat pertukaran ion dari alginat tergantung pada komposisi kimia dari alginat. Alginat yang kaya asam manuronat seperti pada Laminaria digitata mempunyai affinitas yang rendah terhadap Ca dalam reaksi pertukaran ion Na-Ca, dibandingkan dengan alginat yang kaya akan unit guluronat seperti pada

  Laminaria hyperborea (Muzzarelli, 1973)

  Kemampaun alginat untuk berikatan dengan ion-ion divalent akan berkurang sesuai dengan urutan dibawah ini a)

  Untuk alginat yang kaya akan blok M dari Laminaria digitata Pb > Cu > Cd > Ba > Sr > Ca > Co, Ni, Zn, Mn > Mg

  b) Untuk alginat Laminaria hyperborea yang kaya akan blok G

  Pb > Cu > Ba > Sr > Cd > Ca > Co, Ni, Zn, Mn > Mg Sementara konsentrasi dari ion yang dibutuhkan untuk pembentukan gel alginat dari kedua jenis ganggang coklat diatas adalah sama, yaitu semakin meningkat Ba < Pb < Cu < Sr < Cd < Ca < Zn < Ni < Co < Mn, Fe < Mg. ( Zhanjiang, 1990).

2.1.6. Kegunaan Alginat

  Kegunaan alginat didasarkan pada tiga sifat utamanya yaitu kemampuan untuk:

  1. Larut dalam air serta meningkatkan viskositas larutan

  2. Membentuk gel

  3. Membentuk film dan serat ( McHugh, 2003) Alginat dapat digunakan dalam berbagai bidang industri antara lain industri makanan, tekstil, medis/farmasi dan kosmotik (McCormick, 2001). Dalam industri tekstil, alginat digunakan sebagai pengental pesta yang megandung zat tekstil sehingga alginat menjadi pengental yang terbaik untuk zat warna.

  Dalam bidang makanan, sifat kekentalan alginat dapat digunakan dalam pembuatan saus serta sirup, sebagai penstabil dalam pembuatan es krim (McHugh, 2003). Film kalsium alginat juga digunakan sebagai pembungkus ikan, buah, daging dan makanan lain untuk pengawetan dan merupakan pengepak alternatif karena mudah terurai oleh mikroorganisme sehingga bersifat ramah lingkungan.

  Sebagai pembungkus yang dapat dimakan, alginat berperan sebagai komponen diet seperti serat karena hanya meningkatkan volume usus, tidak diabsorbsi dalam saluran pencernaan, berkalori rendah dan tidak berpotensi untuk merusak (Cancela, 2003). Film pelapis kalsium alginat dapat digunakan untuk membantu mengawetkan ikan beku, jika ikan dibekukan dengan jeli kalsium alginat maka ikan dilindungi dari udara sehingga proses oksidasi dihambat. Jika jelli mencair bersama ikan, dengan mudah dapat dipisahkan. Potongan daging yang dibungkus dengan flim kalsium alginat sebelum dibekukan menyebabkan juice daging akan diabsorbsi kembali kedalam daging selama proses pencairan, sehingga pembungkus dapat melindungi daging dari kontaminasi bakteri (McHugh, 2003).

  Dalam bidang farmasi, alginat dapat digunakan sebagai pembalut luka yang dapat menyembuhkan luka karena dapat mengabsorpsi cairan dari luka, dimana kalsium alginat dalam serat diubah oleh cairan tubuh menjadi natrium alginat yang larut (McHugh, 2003). Alginat dalam bentuk garam dapat digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan polimer pembentuk gel lainya untuk mengontrol pelepasan obat dari matriks tablet. Dalam cairan lambung, natrium alginat terhidrasi dan dikonversi menjadi bentuk asam alginat yang tidak dapat larut, sehingga menekan pelepasan obat dalam perut ( ISP, 2001 ; McHugh, 2003).

  Alginat dapat dibuat menjadi membran dengan melarutkan natrium alginat dalam air kemudian dibiarkan satu malam. Larutan tersebut kemudian dituang kedalam plat kaca dan dibiarkan selama 1 jam sampai ketebalannya homogen, lalu cetakan gelas diimersikan ke dalam larutan CaCl 0,1 M selama satu malam.

  2 Cetakan gelas yang berisi membran alginat kemudian dicuci dengan air dan lapisan tipis yaitu membran kalsium laginat (Inukai and Masakatsu, 1999).

  Gel alginat dalam bentuk butiran dapat digunakan sebagai biokatalis enzim untuk sel. Proses yang menggunakan immobilisasi biokatalis adalah menghasilkan etanol dari pati, membuat beer dengan immobilisasi ragi, fermentasi untuk menghasilkan butanol dan isopropanol serta produk lanjutan dari yoghurt ( McHugh, 2003)

2.2. Edible Packaging ( Kemasan yang Dapat Dimakan)

  Penggunaan kemasan yang dapat dimakan dalam industri bahan makanan telah menjadi suatu topik yang menarik karena sangat potensial untuk meningkatkan masa berlaku dari banyak produk makanan. Kemasan yang dapat dimakan digabungkan dengan aditif bahan makanan dan zat lain dapat meningkatkan warna, flavor, tekstur serta mengontrol pertumbuhan mikroba. Anti mokroba ditambahkan ke kemasan yang dapat dimakan berfungsi untuk menghalangi pertumbuhan ragi, jamur dan bakteri selama penyimpanan dan distribusi.

  Antimikroba yang umum digunakan termasuk asam benzoat, natrium benzoat, asam sorbat, kalium sorbat dan asam propinoat. (Kaban, 2007).

  Penambahan antioksidan ke kemasan yang dapat dimakan dapat meningkatkan stabilisasi dan mempertahankan nilai gizi dan warna dari produk makanan dengan cara melindungi produk tersebut terhadap ketengikan akibat oksidasi, degradasi dan diskolorasi. Tipe dari antioksidan makanan yaitu asam (juga dalam bentuk garam dan esternya) dan senyawa phenolat (Kaban, 2008). Asam yang digunakan seperti asam sitrat, asam askorbat dan esternya, bertindak sebagai zat pengkelat logam sinergis apabila digunakan tersendiri atau dikombinasikan antioksidan phenolat. Senyawa phenolat seperti butylated

  hydroxyanisole (BHA), butylated hydroxytoluene (BHT), tertiary buttylated hydroxyquinone (TBHQ), propil gallat dan tekoferol menghambat oksidasi lemak

  dan minyak yang terdapat pada bahan makanan.

  Proses secara minimal telah banyak diterapkan pada buah-buahan. Proses pengemasan sehingga buah siap dikomsumsi dalam keadaan segar (Krochta et al, 1994). Masalah yang sering muncul pada buah hasil proses minimal adalah meningkatnya kecepatan kerusakan akibat proses respirasi, produksi etilen yang meningkat karena jaringan rusak serta aktifnya enzim polifenolase penyebab pencoklatan. Akibat terjadi peningkatan proses biokimia sehingga terjadi perubahan flavor, tekstur dan kualitas gizi (Brecht, 1995). Untuk itu diperlukan pengetahuan dan teknik baru dalam pengemasan dan penyimpanan pasca proses minimal, sehingga kecepatan respirasi dapat ditekan dan kenampakan organoleptik mampu dipertahankan.

  Penanganan produk buah proses minimal dengan aplikasi pengemas dari kemasan yang dapat dimakan (edible packaging) merupakan salah satu alternatif yang aman bagi kesehatan konsumen dan ramah lingkungan (Krochta et al, 1994). Fungsi kemasan pada bahan pangan adalah untuk mencegah atau mengurangi kerusakan, melindungi dari pencemaran serta gangguan fisik seperti gesekan, benturan dan getaran. Kemasan juga berfungsi sebagai wadah untuk memberi bentuk dan memudahkan penyimpanan, pengangkutan dan pendistribusiannya. Selain itu kemasan juga berfungsi untuk menambahkan daya tarik (appearance) dari bahan pangan tersebut sebagai tujuan promosi.

  Terdapat lima syarat kemasan untuk bahan pangan yaitu: penampilan, perlindungan, fungsi, biaya, dan limbah kemasan tersebut bersifat ramah lingkungan. Dengan adanya persyaratan ramah lingkungan, maka penggunaan

  edible packaging

  adalah sangat menjanjikan. Edible packaging adalah kemasan yang dapat langsung dimakan dan aman bagi lingkungan. Edible packaging dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian yaitu kemasan yang berfungsi sebagai penyalut (edible coating) dan kemasan yang berfungsi sebagai dalam bentuk pelapis dalam bentuk lembaran tipis (edible film).

  Komponen dari penyalut dan pelapis yang dapat dimakan dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu hidrokoloid, lipida, dan komposit. Hidrokoloid yang sesuai termasuk protein, turunan selulosa, alginat, pektin, starch dan asam lemak. Komposit mengandung kedua komponen lipida dan hidrokoloid dan lapisan kedua berselang-seling sepanjang kemasan.

2.2.1. Edible Coating (Lapisan penyalut yang dapat dimakan)

  

Edibel coating telah banyak digunakan untuk penyalut bahan pangan seperti

  daging beku, makanan semi basah, produk konfeksionari, ayam beku, produk hasil laut, sosis, buah-buahan dan sebagai penyalut kapsul obat-obatan (Krochta et

  

al , 1994). Beberapa jenis penyalut yang sering digunakan adalah penyalut lilin

dan minyak, penyalut turunan polimer alam dan polimer sintesis.

  Penggunaan secara komersial dari lilin terutama pada jeruk, apel, tomat dan timun secara terbatas juga digunakan untuk alpokat, pisang, cherry, anggur, jambu biji, mangga, nanas, melon, dan lain-lain. Penyalut juga digunakan untuk sayur-sayuran seperti asparagus, biji-bijian, wortel, umbi-umbian dan lain-lain. Penyalut lilin dibuat dengan lilin alam, lilin sintesis dan asam lemak, minyak (minyak tumbuhan-tumbuhan dan minyak meneral), resin, pengemulsi, pemlastis, zat anti buih, surfaktan, dan pengawet.

  Penyalut dengan bahan polisakarida telah dikembangkan, terutama untuk produk buah dan biji yang sudah diproses. Penyalut pektin dibuat dari pektin metoksil rendah (kandungan metoksil 2-20%), kalsium klorida (sebagai pengikat silang), plastisizer dan dalam keadaan tertentu asam-asam organik (Miers et al, 1953 ; Schultz et al, 1984). Permasalahn dengan penggunaan penyalut paktin adalah sangat permeabel terhadap uap air. Penyalut pektin metoksil rendah (kandungan metoksil 3,8%, viskositas intrinsik 3,2 dan ketebalan parafin beeswax,

  

emulsifier , tritanolamina, atau minyak kelapa dan karboksimetil selulosa, dan

asam oleat atau natrium oleat.

  Penyalut komposit larut dalam air dengan sifat menahan uap air yang baik disebabkan kelarutan uap air yang bertambah dan penyalut, menghasilkan permeabilitas uap air yang tinggi. Penyalut ini digunakan pada peaches yang disimpan pada temperatur kamar dengan RH 57-63% menghasilkan permeabilitas O 2 dan fermentasi yang rendah. pembentuk film, tapi tidak mengandung ester asam lemak sukrosa. Pada pengujian laboratorium, nature-seal menahan pemasakan buah tomat dan mengga dan menunda pencoklatan carambolas (Nisperos-Carriedo et al, 1992 ; Sanches 1990). Penyalut yang terdiri dari kitosan dan asam laurat kurang parmeabel terhadap uap air, tetapi lebih permeabel terhadap gas dibandingkan kitosan sendiri.

  Penyalut bilayer adalah penyalut yang merupakan kombinasi dari penyalut lipida dan panyalut polisakarida. Penyalut lipida bersifat penahan air yang baik sedangkan penyalut polisakarida mempunyai sifat permeabilitas gas yang baik. Salah satu contoh penyalut seperti ini terdiri dari lapisan asam palmitat dan asam stearat dan lapisan hidroksipropil selulosa, banyak sekali mengurangi transfer air (Kamper dan Fennema, 1985). Penyalut yang lain terdiri dari 53% hidroksipropil metil selulosa dan 45% asam stearat mempunyai permeabilitas 0,17g air

2 Mil/(m /hari/mmgH) pada 85% RH dibandingkan dengan 48 g air Mil/

  2 (m /hari/mmgH) hanya hidroksipropil metilselulos (Kaban, 2008).

  Protein juga telah dikembangkan untuk digunakan sebagai penyalut untuk buah dan sayur-sayuran. Protein untuk penyalut yang dapat dimakan dapat diperoleh dari jagung, gandum, kacang kedelai dan collogen (gelatin) dan ini menghasikan penghalang yang terbaik terhadap O

  2 dan CO 2 tapi tidak demikian terhadap air.

  Penyalut komposit jagung yang mengandung minyak nabati, gliserin, asam sitrat, dan antioksidan mencegah ketengikan dalam produk seperti biji dengan bertindak sebagai penghalang kelembaban tapi juga barangkali transport O

  2

  dibatasi disamping bertindak sebagai pembawa antioksidan. Zein telah digunakan dalam formulasi penyalut yang dapat dimakan untuk tablet farmasi dan produk konfeksionari termasuk nut dan buah kering, sering pengganti sebagai shelac. Penyalut zein dilaporkan menghambat kemasakan tomat. Penyalut gluten gandum baik sebagai penghambat terhadap O

  2 dan CO 2 dan sifat mekaniknya sama dengan

  penyalut polimer, tetapi penyalut ini mempunyai permeabilitas air yang tinggi disebabkan sifat hidropiliknya (Kaban, 2008).

  Lapisan tipis hidrokoloid dapat digunakan dalam aplikasi dimana mengontrol migrasi uap air bukan sebagai tujuan. Lapisan tipis ini mmiliki sifat penahan yang baik terhadap oksigen, karbon dioksida dan lipida. Kebanyakan dari lapisan tipis ini juga mempunyai sifat mekanik yang diinginkan membuatnya berguna untuk meningkatkan integritas struktur dari produk yang rapuh. Kealarutan dalam air dari lapisan tipis polisakarida menguntungkan dalam situasi dimana lapisan tipis akan dikonsumsi dengan suatu produk yang dipanaskan sebelum dikomsumsi. Selama pemanasan, lapisan tipis hidrokoloid akan terlarut dan idealnya tidak mengubah sifat sensori dari makanan.

  Hidrokoloid yang digunakan sebagai film pelapis dapat diklasifikasikan menurut komposisinya, muatan molekul dan kelarutannya dalam air. Dari segi komposisi, hidrokoloid dapat merupakan karbohidrat atau protein. Karbohidrat pembentuk film meliputi starch, gum tumbuh-tumbuhan (sebagai contoh alginat, pektin, dan gum arabic) dan starch yang dimodifikasi secara kimia.

  Protein pembentuk film meliputi glatin, casein, protein kacang kedelai,

  

whey protein, wheat gluten, dan zein. Keadaan muatan dari hidrokoloid dapat digunakan untuk pembentukan film. Alginat dan pektin membutuhkan adisi dari ion polivalen, pada umumnya kalsium untuk memfasilitasi pembentukan film. Hidrokoloid yang bermuatan tersebut, sama seperti protein, mudah dipengaruhi perubahan pH karena adanya muatannya. Untuk beberapa aplikasi, keuntungan dapat diperoleh melalui penggabungan hidrokoloid yang mempunyai muatan yang berlawanan seperti glatin dan gum arabic.

  Meskipun film hidrokoloid pada umumnya mempunyai daya tahan yang rendah terhadap uap air karena sifat hidropiliknya, tapi untuk hidrokoloid yang mempunyai kelarutan yang sedang didalam air seperti etilselulosa, wheat gluten, dan zein memberikan daya tahan yang lebih besar terhadap lewatnya uap air dibandingkan hidrokoloid yang larut dalam air (Donhow, 1994).

  Film lipida sering digunakan sebagai penahan terhadap uap air.

  Penggunaannya dalam bentuk murni sebagai free-standing film dibatasi, karena integritas dan durabilitas kurang memadai. Lilin pada umunya digunakan untuk Formulasi untuk pelapis lilin sering berbeda dan komposisi sering ditentukan peruntukannya. Meskipun asam lemak dan alkohol asam lemak adalah penahan efektif terhadap uap air, sifat kerapuhannya membutuhkan penggunaan dengan suatu matriks pendukung.

  Banyak lipida berada dalam bentuk kristal dan kristal individunya tidak dapat ditembus (kedap) terhadap gas dan uap air. Sajak parmeate dapat lewat diantara kristal, sifat penahan kristal lipida sangat tergantung pada susunan kumpulan intrakristal. Lipida terdiri dari kristal yang dapat pada memberikan daya tahan yang besar terhadap difusi gas dibandingkan kristal yang tersusun renggang. Lipida yang terdapat dalam keadaan cair atau mempunyai perbandingan yang besar dari komponen cair memberikan daya tahan yang kurang terhadap gas dan transmisi uap dibanding dengan yang dalam keadaan padat (Kemper and Fennema, 1994; Kester and Fennema, 1989). Sifat barrier dari lipida yang mempunyai sifat kristal dapat dipengaruhi oleh kekerasan dan bentuk polimorphis (Kester and Fennema, 1989).

  Film komposit dapat diformulasi dengan menggabungkan keunggulan dari komponen lipida dan hidrokoloid dan mengurangi kelemahan masing-masing. Apabila penahan terhadap uap air diinginkan, komponen lipida dapat memenuhi fungsi ini sedangkan komponen hidrokoloid memberikan durabilitas yang diperlukan. Sifat-sifat film bilayer lipida-hidrokoloid telah dipelajari secara luas (Greener and Fennema, 1989). Film komposit terdiri dari gabungan casein dan monogliserida terasetilasi telah dipelajari oleh Krochta et al. (1990). Film komposit dari gum acasia dan gliserol monostearat dilaporkan mempunyai sifat penahan uap air yang baik pada gradien kelembaban relatif 43,8-23,6 % (Martin- Polo and Voilley, 1990).

  Fungsi organoleptik nutrisi dan sifat mekanik dari suatu edible film dapat diubah dengan penambahan berbagai-bagai bahan kimia dalam jumlah yang sedikit. Plastisizer seperti gliserol, monogliserida terasetilasi, polietilena glikol dan sukrosa sering digunakan untuk modifikasi sifat mekanik dari film. Penggabungan dari aditif ini menyebabkan perubahan yang signifikan dalam sifat barrier dari film. Sebagai contoh, penambahan plastisizer hidropilik pada yang sering diujumpai dalam formulasi adalah zat antimikroba, vitamin, antioksidan, flavor dan pigmen.

  Banyak teknik yang ditentukan untuk pembentukan film secara langsung pada permukaan makanan atau secara terpisah self-supporting film. Beberapa tehnik pembentukan film dapat digunakan dengan beberapa tehnik aplikasi berikut yaitu pencelupan (dipping), penyemprotan (spraying) dan penuangan (casting). Metode pencelupan melekatkan film ke produk makanan yang membutuhkan beberapa aplikasi atau keseragaman pada permukaan yang tidak teratur. Setelah pencelupan, kelebihan bahan pelapis dibiarkan mengering dari produk, dan kemudian dikeringkan dan dibiarkan memadat. Metode ini telah digunakan untuk

  film

  monogliserida terasetilasi terhadap daging, ikan dan ayam serta pelapisan lilin terhadap buah dan sayuran.

  Film yang diaplikasi dengan penyemprotan dapat dibentuk dalam thinner,

  cara yang seragam dibandingkan dengan cara pencelupan. Penyemprotan, tidak seperti pencelupan, adalah lebih sesuai untuk penggunaan film kepada bahan makanan yang hanya satu permukaan ditutupi. Hal ini dikehendaki apabila perlindungan dibutuhkan pada hanya satu permukaan, misalnya apabila pizza

  

crust diarahkan ke saus lembab. Penyemprotan dapat juga digunakan untuk

  pelapis kedua yang tipis, seperti larutan kation yang dibutuhkan membentuk ikatan silang alginat atau pelapis pektin.

  Teknik penuangan (casting) berguna untuk pembentukan lapisan tipis yang berdiri sendiri (free-standing film) dipinjamkan dari metode yang dikembangkan untuk film yang tidak dapat dimakan (non-edible film). Pelapisan adalah sederhana dan membiarkan ketebalan film dikontrol secara teliti pada permukaan yang halus dan rata. Penuangan dapat dilakukan melalui penyebaran dengan ketebalan terkontrol atau dengan penuangan. Penyebaran dengan ketebalan terkontrol membutuhkan pembentang (spreader) dengan suatu reservoir produk dan pintu penyesuaian, tinggi yang dapat diatur dengan teliti dan dengan pengulangan yang baik. Pembentang digerakkan diatas permukaan penerima, menghasilkan suatu lapisan dari larutan pembentuk film dengan ketebalan yang diinginkan, yang dilanjutnya dikeringkan. Alternatif lain, larutan pembentukan menerima dan selanjutnya dikeringkan.

2.2.2.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Edible film

  Dalam pembuatan edible film, faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah: suhu, konsentrasi polimer, dan plasticizer.

  1. Suhu Perlakuan suhu diperlukan untuk membentuk edible film yang utuh, tanpa adanya perlakuan panas kemungkinan terjadinya interaksi molekuler sangatlah kecil. Sehingga pada saat film dikeringkan akan menjadi retak dan berubah menjadi potongan-potongan kecil. Perlakuan panas diperlukan untuk membuat pati tergelatinisasi, sehingga terbentuk pasta pati yang merupakan bentuk awal dari edible film. Kisaran suhu gelatinisasi pati rata-rata 64,5 C - 70 C (McHugh 2003 dan Krochta, 1994)

  2. Konsentrasi Polimer Konsentrasi pati ini sangat berpengaruh, terutama pada sifat fisik edible

  

film yang dihasilkan dan juga menentukan sifat pasta yang dihasilkan. Menurut

  Krochta dan Johnson (1997), semakin besar konsentrasi pati maka jumlah polimer penyusun matrik film semakin banyak sehingga dihasilkan film yang tebal.

  3. Plasticizer

  Plasticizer ini merupakan bahan nonvolatile, yang ditambahkan ke dalam formula film akan berpengaruh terhadap sifat mekanik dan fisik film yang terbentuk karena akan mengurangi sifat intermolekuler dan menurunkan ikatan hidrogen internal. Plasticizer ini mempunyai titik didih tinggi dan penambahan plasticizer dalam film sangat penting karena diperlukan untuk mengatasi sifat rapuh film yang

disebabkan oleh kekuatan intermolekuler ekstensif. Menurut Krochta dan Jonhson

(1997), plasticizer polyol yang sering digunakan yakni seperti gliserol dan sorbitol.

  Konsentrasi gliserol 1 - 2 % dapat memperbaiki karakteristik film.

2.3. Edible Film Anti Mikroba

  Salah satu cara tradisional untuk mengendalikan pertumbuhan mikroba dalam produk makanan untuk meningkatkan keselamatan dan menunda kerusakan adalah dengan memasukkan bahan antimikroba atau menyemprot pada permukaan. Dalam aplikasi ini, efisiensi dari unsur antimikroba terbatas disebabkan migrasi tidak dikendalikan dalam makanan dan aktivasi parsial dari senyawa aktif karena interaksi dengan komponen makanan. Pada pengemas antimikroba, bahan antimikroba diinkorporasi ke dalam bahan pengemas, melapisi permukaan film pengemas atau satu sachet campuran antimikroba dapat ditambahkan ke dalam kemasan (Emiroglu et al, 2010). Ketika sistem pengemas makanan diberi aktifitas antimikroba, bahan pengemas akan membatasai atau menghalangi mikroba untuk tumbuh pada permukaan makanan, dengan demikian akan memperpanjang umur simpan dan meningkatkan keamanan terhadap mikroba tersebut. Antimikroba yang terdapat dalam bahan pangan dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), bakteristatik (menghambat pertumbuhan bakteri), fungisidal (membunuh kapang), fungistatik (menghambat pertumbuhan kapang) dan germisidal (menghambat germinasi spora bakteri). Mekanisme senyawa antimikroba dalam menghambat pertumbuhan bakteri dengan beberapa cara, yaitu (i) merusak struktur dinding sel dengan cara menghambat proses pembentukannya atau menyebabkan lisis pada dinding sel yang sudah terbentuk;

  (ii) mengubah permeabilitas membran sitoplasma yang akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan atau matinya sel; (iii) mendenaturasi protein; (iv) menghambat kerja enzim didalam sel yang mengakibatkan terganggunya metabolisme atau dinding sel.

  Edible film dapat digunakan sebagai pembawa zat aditif seperti

  antioksidan, antimikroba, pewarna, flavors. Metode yang berbeda dari aplikasi langsung seperti inkorporasi bahan antimikroba kedalam edible film atau edible

  coating memberikan efek yang fungsional pada permukaan makanan. Film

  antimikroba adalah pengemas yang dapat mengurangi, mencegah atau memperlambat pertumbuhan mikroorganisme patogenik didalam pembungkusan makanan dan bahan pengemas. Penelitian mengenai film antimikroba sedang dikembangkan pada saat ini untuk mengkontrol aktivitas mikribiologi pembusuk dari makanan yang tidak tahan lama. Beberapa bahan organik maupun anorganik aktif dapat dimasukkan dalam struktur polimer untuk mencegah mikroba yang digunakan dalam aplikasi pada makanan antara lain dapat berupa minyak atsiri, asam organik, bacteriocin, enzim, alkohol dan asam lemak. Kemampuan minyak atsiri untuk melindungi makanan-makanan melawan mikroorganisme patogen dan perusak telah dilaporkan oleh beberapa para peneliti. Untuk memperoleh efektivitas aktivitas antimikroba dalam aplikasi pada makanan langsung, dibutuhkan konsentrasi minyak atsiri yang tinggi, yang mungkin berdampak pada flavor dan bau-bau yang tidak sesuai di produk. Oleh karena itu, riset terbaru perlu berfokus pada inkorporasi minyak atsiri kedalam edible film sebagai aplikasi pengganti di dalam pengemasan makanan. Pembuatan edible film antimikroba dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain yaitu dengan :

  1. Penambahan sachetspads (kantong kecil) berisi bahan antimikroba volatil ke dalam kemasan.

  2. Inkorporasi secara langsung bahan antimikroba volatil dan yang tidak volatil ke dalam polimer.

  3. Coating atau adsorpsi antimikroba pada permukaan polimer.

  4. Immobilisasi antimikroba pada polimer dengan ikatan ion atau kovalen.

  5. Penggunaan polimer yang memiliki sifat sebagai antimikroba. (Zuhra., 2012)

2.4. Plasticizer pada Edible Film

  Untuk memperbaiki sifat plastik maka ditambahkan berbagai jenis tambahan atau aditif. Bahan tambahan ini sengaja ditambahkan dan berupa komponen bukan plastik yang diantaranya berfungsi sebagai plasticizer, penstabil pangan, pewarna, penyerap UV dan lain-lain. Pemlastis dalam konsep sederhana adalah merupakan pelarut organik dengan titik didih tinggi atau suatu padatan dengan titik leleh rendah yang ditambahkan kedalam resin seperti PVC yang keras dan kaku, sehingga akumulasi gaya intermolekuler pada rantai panjang akan menurun. Hal ini menyebabkan bagian rantai lebih mudah bergerak akibatnya kelenturan, kelunakan dan pemanjangannya akan bertambah (Yadav and Satoskar, 1997). dan bahan yang tadinya keras dan kaku akan menjadi lembut pada suhu kamar (Cowd, 1991). Plasticizer dapat menurunkan viskositas lelehan, suhu transisi gelas (Tg) dan modulus elastisitas produk tanpa mengubah sifat-sifat kimiawi bahan plastik

  Proses plasticizer, pada prinsipnya adalah terjadinya dispersi molekul

  

plasticize r ke dalam fase polimer. Bilamana plasticizer mempunyai gaya interaksi

  dengan polimer, proses dispersi akan berlangsung dalam skala molekul dan terbentuk larutan polimer plasticizer sehingga keadaan ini disebut kompatibel. Interaksi antara plasticizer–polimer ini sangat dipengaruhi oleh sifat afinitas kedua komponen. Kalau afinitas polimer – plasticizer tinggi, maka molekul

  

plasticizer akan terdifusi ke dalam ruang yang berada diantara rantai polimer dan

mempengaruhi mobilitas rantai (Efendi,2000).

  Persyaratan yang harus dipenuhi harus kompatibel dan parmanen. Pemlastis harus larut dengan polimer dan menghasilkan gaya intramolekul yang sama diantara dua komponen tersebut, sehingga akan tercapai kompatibilitas yang baik. Permanence dari pemlastis ditentukan oleh titik didih, berat molekul pemlastis dan laju defusi pemlastis dalam polimer. Efesiensi pemlastis juga ditentukan oleh kadar pemlastis yang harus ditambahkan kedalam resin polimer (Bilmeyer, 1984 and Rudin, 1982). Sifat fisik dan mekanis yang terplastisasi merupakan fungsi distribusi dari sifat dan komposisi masing – masing komponen dalam sistem, karenanya ramalan karakterisasi polimer yang terplastisasi mudah dilakukan dengan variasi komposisi pemlastis. Secara umum variasi jumlah plasticizer akan efektif (mempunyai efek plastisasi) sampai bahan kompatibel.

  Hasil analisis mekanik yang dilakukan menunjukkan bahwa membran – membran yang lebih kuat dan lebih liat (kenyal) dihasilkan ketika sedikit

  plasticizer yang digunakan dalam membran. Hasil uji plasticizer ini menunjukkan

  bahwa plasticizer yang mempunyai berat molekul yang relatif rendah akan memperbaiki kekuatan dan keliatan membran. Ketika sejumlah kecil plasticizer ditambahkan pada suatu polimer, plasticizer ini akan menyebabkan molekul polimer bergerak ke dalam konfigurasi energi yang lebih rendah. Dalam konfigurasi ini molekul – molekul menjadi kurang bergerak, dengan demikian akan meningkatkan kekuatan dan keliatan yang baik dari polimer. Sebaliknya jika

  plasticizer yang ditambahkan terlalu banyak molekul – molekul polimer banyak

  bergerak, akibatnya terjadi penurunan kekuatan dan keliatan polimer (Efendi, 2000)

2.4.1. Gliserol

  Gliserol adalah salah satu plasticizer yang paling sering digunakan pada pembuatan film, disebabkan stabilitas dan kecocokan dengan rantai hidrofilik bio polimer. Fungsi utama gliserol adalah sebagai suatu zat yang berfungsi untuk menjaga kelembutan dan kelembaban. Gliserol dapat digunakan sebagai pelarut, pemanis, pengawet dalam makanan serta sebagai zat emollient dalam kosmetik. Berdasarkan sifatnya gliserol banyak digunakan sebagai plasticizer dan didalam industri resin untuk menjaga kelenturan.

  Gliserol memiliki rumus kimia C

  

3 H

5 (OH) 3 . Gliserol merupakan trihidrat

  alkohol, dimana mempunyai dua gugus hidroksil primer dan satu gugus hidroksil sekunder. Gliserol alami merupakan hasil samping konversi lemak dan minyak dari splitting lemah yang dapat diperoleh 15-20% larutan gliserol dalam air. Proses transesterifikasi menghasilkan 75-90% larutan gliserol dalam alkohol. Proses ini bergantung pada perbandingan jumlah alkohol dan lemak atau pun minyak dan konsentrasi katalis (Nouredini and Medikondura, 1997)

  Fungsi utama gliserol adalah sebagai humuctant (suatu zat yang berfungsi untuk menjaga kelembutan dan kelembaban). Gliserol juga dapat juga digunakan sebagai pelarut. Berdasarkan sifatnya, gliserol banyak digunakan sebagai zat pemlastis dan minyak pelumas dalam mesin pengolahan makanan dan minuman. Hal ini disebabkan karena gliserol tidak beracun. Gliserol juga dapat digunakan dalam industri resin untuk menjaga sifat kelenturan (Bommardeaux, 2006).

2.5. Karakteristik Edibel Film

  Keberhasilan suatu proses pembuatan film kemasan dapat dilihat dari karakteristik

  

film yang dihasilkan . Karakteristik utama yang diinginkan dari film adalah sifat

  laju transmisi uap air yang rendah dan kekuatan mekanis tinggi. Sifat Mekanik dari edible film (kekuatan tarik, uap air dan dapat menyerap air atau gas oksigen) berhubungan dengan peningkatan integritas mekanik dari makanan, pencegahan sifat mekanik, permeabilitas dan biodegradasi adalah penting untuk meramalkan bagaimana film nantinya berfungsi di dalam sistim makanan.

2.5.1. Sifat Mekanik

  Sifat mekanik dari suatu edible film sangat mempengaruhi hasil edible film yang dihasilkan Untuk mengetahui sifat-sifat mekanik dari suatu bahan harus dilakukan beberapa pengujian. Masing-masing pengujian memiliki cara yang berbeda-beda. Secara umum dapat dikatakan bahwa pembebanan secara statik dan pembebanan secara dinamik. Kuat tarik dan persen pemanjangan merupakan suatu sifat mekanis yang penting dari film. Kuat tarik merupakan kemampuan suatu bahan dalam menahan tekanan yang diberikan saat bahan tersebut berada dalam regangan maksimal. Peregangan maksimal menggambarkan tekanan maksimal yang dapat diterima oleh sampel. Persen pemanjangan adalah satu indikasi fleksibilitas film-film dan kemampuan meregang (sifat dapat-regang), yang ditentukan pada titik di mana film putus pada saat diregangkan dan dinyatakan sebagai persentase dari perubahan panjang spesimen akibat gaya yang diberikan.

  Dalam pengujiannya, bahan uji ditarik sampai putus. Secara sederhana, kekuatan tarik diartikan sebagai beban maksiumum (F maks ) yang dibutuhkan untuk memutuskan spesimen bahan, dibagi dengan luas penampang bahan. Karena selama dibawah pengaruh tegangan, spesimen mengalami perubahan bentuk (deformasi) maka defenisi kekuatan tarik dinyatakan sebagai besarnya beban maksimum yang dibutuhkan untuk memutuskan spesimen bahan, dibagi dengan luas penampang semula (Ao).

  = Jiks didefinisikan besaran kemuluran (

  ɛ) sebagai nisbah pertambahan panjang terhadap panjang spesimen semula adalah: −