Pengaruh Konsentrasi Pemlastis Gliserol Terhadap Karakteristik Edible Film Kalsium Alginat

(1)

PENGARUH KONSENTRASI PEMLASTIS GLISEROL

TERHADAP KARAKTERISTIK EDIBLE FILM

KALSIUM ALGINAT

SKRIPSI

FERNANDUS SIMANJUNTAK 110822023

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(2)

PERSETUJUAN

Judul : PENGARUH KONSENTRASI PEMLASTIS

GLISEROL TERHADAP KARAKTERISTIK EDIBLE FILM KALSIUM ALGINAT

Kategori : SKRIPSI

Bidang : KIMIA ORGANIK

Nama : FERNANDUS SIMANJUNTAK

Nomor Induk Mahasiswa : 110822023

Program Studi : KIMIA (S1) EKSTENSI

Departement : KIMIA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

Disusun di Medan, Juli 2013

Pembimbing II Pembimbing I

Dr. Adil Ginting . MSc

NIP. 195307041980031002 NIP. 195106301980021001 Prof. Dr. Jamaran Kaban, M.Sc

Diketahui/Disetujui oleh

Ketua Depertemen Kimia FMIPA USU

NIP. 195408301985032001 Dr.Rumondang Bulan,MS


(3)

PENGARUH KONSENTRASI PEMLASTIS GLISEROL

TERHADAP KARAKTERISTIK EDIBLE FILM

KALSIUM ALGINAT

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar sarjanan sains

FERNANDUS SIMANJUNTAK 110822023

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(4)

PERNYATAAN

PENGARUH KONSENTRASI PEMLASTIS GLISEROL TERHADAPKARAKTERISTIK EDIBLE FILM

KALSIUM ALGINAT

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Juli 2013

Fernandus Simanjuntak 110822023


(5)

PENGHARGAAN

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini sesuai rencana dan kehendak-Nya. Banyak hal sebagai pembelajaran dan pembentukan dalam setiap waktu penulis rasakan sehingga semakin melihat dan merasakan kebaikan dan kebesarannya. Dalam pelaksaan penelitian hingga penyelesaian skripsi ini, penulis menyadari banyak mendapat bantuan, motivasi dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Jamaran Kaban M.Sc sebagai pembimbing I dan juga seleku ketuan bidang Kimia Organik FMIPA USU dan Bapak Dr. Adil Ginting M.Sc sebagai pembimbing II yang dengan sabar telah memberikan dorongan, bimbingan dan saran sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. 2. Ibu Dr.Rumondang Bulan,M.S dan Bapak Drs.Albert pasaribu, M.Sc

sebagai Ketua dan sekretaris Departemen Kimia FMIPA USU.

3. Koordinator Kimia Ekstensi FMIPA USU Bapak Dr. Darwin Yunus Nasution, M.S

4. Kepala Laboratorium Kimia Organik FMIPA USU Medan Bapak Dr Mimpin Ginting,MS beserta Dosen dan Staf Laboratorium Kimia Organik FMIPA USU.

5. Bapak/ibu staf pengajar kimia ekstensi yang telah memberikan pengetahuan kepada kami selama perkuliahan

6. Kepada Asisten Laboratorium Kimia Organik

7. Kepada semua teman, sahabat, dan semua pihak yang membantu terlaksananya dan selesainya penelitian ini.

Akhirnya saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada orangtua saya (L. Simanjuntak dan T. Situmeang) yang telah memberi seluruh dukungan materi, sarana dan prasarana serta semangat bahkan dengan setia terus membantu penulis dalam doa.


(6)

PENGARUH KONSENTRASI PEMLASTIS GLISEROL TERHADAP KARAKTERISTIK EDIBLE FILM

KALSIUM ALGINAT

ABSTRAK

Pembuatan edible film kalsium alginat dilakukan dengan cara mereaksikan natrium alginat dengan kalsium klorida (CaCl2) sehingga terbentuk gel kalsium alginat. Dalam hal ini digunakan gliserol sebagai pemlastis dengan kadar 10%, 20%, 30% dan tanpa gliserol. Karakterisasi edible film seperti ketebalan, keteguhan tarik, kemuluran, DTA, SEM, swelling, biodegradable dan spektroskopi inframerah. Hasil karakterisasi edible film diperoleh ketebalan 0,128 – 0,164 mm, keteguhan tarik 0,355 – 1,660 MPa, kemularan 7,18 – 31,8 %. Hasil SEM menunjukkan dengan penambahan gliserol permukaan lebih rata, DTA menunjukkan dengan adanya penambahan gliserol suhu pelepasan uap air meningkat. Hasil FT-IR menunjukkan dengan penambahan pemlastis gliserol maka terjadi pita melebar pada daerah 3436,0 cm-1, sedangkan untuk uji biodegradible menunjukkan adanya penurunan berat edible film serta penguraian pada hari ke-21.


(7)

THE EFFECT OF CONCENTRATION GLYCEROL PLASTICIZER ON THE CHARACTERISTICS OF CALCIUM ALGINATE

EDIBLE FILM

ABSTRACT

The formation of calcium alginate edible film made by reacting sodium alginate with calcium chloride (CaCl2) to form calcium alginate gel. In this case the use of glycerol as a plasticizer content of 10%, 20%, 30% and without glycerol. Characterization of edible films such as thickness, tensile strength, elongation, DTA, SEM, swelling, biodegradable and infrared spectroscopy. Characterization results obtained edible film thickness from 0.128 to 0.164 mm, thckness from 0.355 to 1.660 MPa, elongation 7.18 to 31.8%. SEM results showed the addition of glycerol over flat surfaces, DTA shows with the addition of glycerol release temperature water vapor increases. FT-IR results showed that the addition of glycerol plasticizer occurred widened bands in the region 3436.0 cm-1, whereas for biodegradible test showed a decrease in weight of edible films and decomposition on day 21.


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN

Persetujuan ii

Pernyataan iii

Penghargaan iv

Abstrak v

Abstract vi

Daftar Isi vii

Daftar Tabel x

Daftar Gambar xi

Daftar Grafik xii

Daftar Lampiran xiii

BAB 1 Pendahuluan 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Permasalahan 4

1.3. Pembatasan Masalah 4

1.4. Tujuan Penelitian 4

1.5. Manfaat Penelitian 4

1.6. Lokasi Penelitian 5

1.7. Metodologi Penelitian 5

BAB 2 Tinjauan Pustaka 6

2.1. Alginat 6

2.1.1. Produksi 7

2.1.2. Struktur Kimia dan Komposisi 7

2.1.3. Sifat Fisika dan Kimia 11

2.1.3.1. Sifat Fisika 11

2.1.3.2. Sifat Kimia 12

2.1.4. Pembentukan Gel 13


(9)

2.1.6. Kengunaan Alginat 16

2.2. Edibble Fackaging 17

2.2.1. Edible Coating 19

2.2.2. Edible Film 21

2.2.2.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Edible Film 24

2.3. Edible Film Anti Mikroba 25

2.4. Plasticizer pada Edible Film . 27

2.4.1. Gliserol 28

2.5. Karakteristik Edible Film 29

2.5.1. Sifat Mekanik 29

2.5.2. Biodegradable 31

2.5.3. Scanning Electron Microscopy (SEM) 32 2.5.4. Defferential Thermal Analysis (DTA) 33

2.5.5. Infra Merah (IR) 33

2.5.6. Swelling 34

BAB 3 Metodologi Penelitian 36

3.1. Bahan dan Alat 36

3.1.1. Bahan 36

3.1.2. Alat 36

3.2. Prosedur Penelitian 37

3.2.1. Pembuatan Edible Film Kalsium Alginat 37

3.3. Karakterisasi Edible Film 37

3.3.1. Uji Ketebalan Edible Film 37

3.3.2. Uji Keteguhan Tarik 37

3.3.3. Uji Persen Perpanjangan 38

3.3.4. Uji Defferential Thermal Analysis (DTA) 39 3.3.5. Uji Morfologi Permukaan Edible Film (ASTM E 638) 39 3.3.5.1. Pelaksanaan Pereparasi Sampel 39

3.3.5.2. Pengujian Sampel 41

3.3.6. Uji Swelling Pelapis Edible Film Kalsium Alginat 44

3.3.7. Uji Biodegradable 45


(10)

3.4. Bagan Penelitian 46 3.4.1. Bagan Penelitian Pembuatan Edible Film Kalsium Alginat

tanpa gliserol 46

3.4.2. Bagan Penelitian Pembuatan Edible Film Kalsium alginat

dengan penambahan gliserol 47

BAB 4 Hasil dan Pembahasan 48

4.1. Hasil Penelitian 48

4.1.1. Ketebalan Edible Film 48

4.1.2. Hasil Uji keteguhan Tarik dan Kemuluran 48 4.1.3. Hasil Uji Defferential Thermal Analysis (DTA) 49 4.1.4. Hasil Scanning Electron Microscope (SEM) 50

4.1.5. Hasil Uji Swelling 52

4.1.6. Uji Biodegradable Edible Film 54

4.1.7. Hasil Analisa Infra Merah (FT-IR) 55 4.1.3.1. Spektrofotometer Natrium Alginat 55 4.1.3.2. Spektrofotometer Kalsium Alginat 56 4.1.3.3. Spektrofotometer Kalsium Alginat dengan

Penambahan Pemlastis Gliserol 56

4.2. Pembahasan 57

4.2.1. Uji Ketebalan Edible Film 57

4.2.2. Hasil Uji Tarik dan Kemuluran 57

4.2.3. Hasil Analisa Differential Thermal Analysis (DTA) 59 4.2.4. Hasil Analisis Scanning Electron Microscope (SEM) 60

4.2.5. Hasil Uji Swelling 61

4.2.6. Hasil Uji Biodegradable Edible Film 63 4.2.7. Uji Spektrofotometer Inframerah (FT-IR) 64

BAB 5 Kesimpulan dan Saran 66

5.1. Kesimpulan 66

5.2. Saran 66

Daftar Pustaka 67


(11)

DAFTAR TABEL

No. Judul

4.1. Keteban Edible Film Kalsium Alginat dengan Pemlastis dan Tanpa

Pemlastis 48

4.2 . Harga Keteguhan Tarik dan Kemuluran 49

4.3. Hasil Uji DTA Terhadap Edible Film Kalsium Alginat dan edible film

kalsium alginat dengan Pemlastis Gliserol 49

4.4. Persentase Swelling Edible Film Kalsium Alginat tanpa Pemlastis Gliserol53 4.5. Persentase Swelling Edible Film Kalsium Alginat Pemberian Pemlastis

Gliserol 10% 53

4.6. Persentase Swelling Edible Film Kalsium Alginat Pemberian Pemlastis

Gliserol 20% 53

4.7. Persentase Swelling Edible Film Kalsium Alginat Pemberian Pemlastis

Gliserol 30% 54

4.8. Biodegradable Edible Film Kalsium Alginat tanpa gliserol dengan Edible film Kalsium Alginat menggunakan pemlastis gliserol 54


(12)

DAFTAR GRAFIK

No. Judul

4.1. Kurva Pengaruh Variasi Konsentrasi Gliserol Terhadap Keteguhan Tarik

dari Edible Film 58

4.2. Kurva Pengaruh Variasi Konsentrasi Gliserol Terhadap Kemuluran Edible

Film 59

4.3. Berat Edible Film Kalsium Alginat Dengan Variasi Waktu

Perendaman 62

4.4. %Swelling Edible Film Kalsium Alginat (Tanpa Menggunakan Pemlastis

Gliserol) dengan Variasi Waktu Perendaman 62

4.5. %Swelling Edible Film Kalsium Alginat (Menggunakan Pemlastis

Gliserol) Dengan Variasi Waktu Perendaman 63

4.6. Biodegradible Edible Film Kalsium Alginat Tanpa Gliserol Versus Edible Film Kalsium Alginat dengan Penambahan Variasi Pemlastis Gliserol yaitu 10%, 20% dan 30% dengan Menggunakan Jamur Aspergillus niger

sp. 64


(13)

DAFTAR GAMBAR

No Judul

2.1. Struktur Kimia Alginat 9

2.2. Ikatan 1,4 Di-equatorial dari Natrium Manuronat 9

2.3. Ikatan 1,4 Di-axial dari Asam Guluronat 10

2.4. Alginat Sebagai Ligan 13

2.5. Pembentukan Gel dalam Alginat 14

2.6. Ion Ca2+ pada Gugus COO- dari Blok G yang Parallel 14

2.7. Kurva Tegangan – Regangan Bahan Polimer 30

3.1. Bentuk Sampel Pengujian Keteguhan Tarik dengan Standar

ASTM D-638 38

3.2. Alat SEM (Scanning Electron Microscope) jenis JEOL JSM6360 LA

-EDX JED-2200 Series 44

4.1. Foto SEM Edible Film Kalsium Alginat tanpa Pemlastis Gliserol dengan

Pembesaran 5000x 50

4.2. Foto SEM Edible Film Kalsium Alginat + 10% Gliserol dengan

Pembesaran 5000x 51

4.3. Foto SEM Edible Film Kalsium Alginat + 20% Gliserol dengan

pembesaran 5000x 51

4.4. Foto SEM Edible Film Kalsium Alginat + 30 Gliserol dengan Pembesaran

5000x 52

4.5. Data Spektrum FT-IR dari Natrium Alginat 55

4.6. Data Spektrum FT-IR Edible Film Kalsium Alginat 56 4.7. Data Spektrum FT-IR Edible Film Klasium Alginat dengan Penambahan

Pemlastis Gliserol 56


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul

1. Hasil Perhitungan Keteguhan Tarik dan Kemuluran 72

2. Grafik Uji Keteguhan Tarik dan Kemuluran 73

3. Rumus Perhitungan %Swelling 74

4. Grafik Hasil Uji DTA Edible Film Kalsium Alginat Tanpa Gliserol 75 5. Grafik Hasil Uji DTA Edible Film Kalsium Alginat + 10% Gliserol 76 6. Grafik Hasil Uji DTA Edible Film Kalsium Alginat + 20% Gliserol 77 7. Grafik Hasil Uji DTA Edible Film Kalsium Alginat + 30% Gliserol 78 8. Proses Biodegradible Edible Film Kalsium Alginat Tanpa Gliserol dengan

Edible Film Kalsium Alginat + Pemlastis Gliserol dengan Menggunakan

Jamur Aspergillus niger sp. 79


(15)

PENGARUH KONSENTRASI PEMLASTIS GLISEROL TERHADAP KARAKTERISTIK EDIBLE FILM

KALSIUM ALGINAT

ABSTRAK

Pembuatan edible film kalsium alginat dilakukan dengan cara mereaksikan natrium alginat dengan kalsium klorida (CaCl2) sehingga terbentuk gel kalsium alginat. Dalam hal ini digunakan gliserol sebagai pemlastis dengan kadar 10%, 20%, 30% dan tanpa gliserol. Karakterisasi edible film seperti ketebalan, keteguhan tarik, kemuluran, DTA, SEM, swelling, biodegradable dan spektroskopi inframerah. Hasil karakterisasi edible film diperoleh ketebalan 0,128 – 0,164 mm, keteguhan tarik 0,355 – 1,660 MPa, kemularan 7,18 – 31,8 %. Hasil SEM menunjukkan dengan penambahan gliserol permukaan lebih rata, DTA menunjukkan dengan adanya penambahan gliserol suhu pelepasan uap air meningkat. Hasil FT-IR menunjukkan dengan penambahan pemlastis gliserol maka terjadi pita melebar pada daerah 3436,0 cm-1, sedangkan untuk uji biodegradible menunjukkan adanya penurunan berat edible film serta penguraian pada hari ke-21.


(16)

THE EFFECT OF CONCENTRATION GLYCEROL PLASTICIZER ON THE CHARACTERISTICS OF CALCIUM ALGINATE

EDIBLE FILM

ABSTRACT

The formation of calcium alginate edible film made by reacting sodium alginate with calcium chloride (CaCl2) to form calcium alginate gel. In this case the use of glycerol as a plasticizer content of 10%, 20%, 30% and without glycerol. Characterization of edible films such as thickness, tensile strength, elongation, DTA, SEM, swelling, biodegradable and infrared spectroscopy. Characterization results obtained edible film thickness from 0.128 to 0.164 mm, thckness from 0.355 to 1.660 MPa, elongation 7.18 to 31.8%. SEM results showed the addition of glycerol over flat surfaces, DTA shows with the addition of glycerol release temperature water vapor increases. FT-IR results showed that the addition of glycerol plasticizer occurred widened bands in the region 3436.0 cm-1, whereas for biodegradible test showed a decrease in weight of edible films and decomposition on day 21.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang sebagian wilayahnya terdiri dari laut. Perairan laut Indonesia mempunyai berbagai macam keunggulan karena terletak di daerah tropis dan memiliki keanekaragaman hayati yang besar sehingga komoditas hayati yang dapat dikembangkan juga beragam. Salah satu sumber daya hayati yang cukup potensial dari perairan laut Indonesia adalah rumput laut dengan berbagai jenis. Rumput laut merupakan bagian dari tanaman perairan, yang termasuk dalam kelas makro alga (Sulastri, 2010). Rumput laut termasuk dalam anggota alga (tumbuhan memiliki klorofil atau zat hijau daun). Rumput laut hidup di perairan dangkal dan menempel pada karang yang mati. Rumput laut dibagi kedalam empat kelas besar, yaitu Rhodophyceae (alga merah), Phaeophyceae (alga coklat), Chlorophyceae (alga hijau) dan Cyanophyceae (alga biru hijau). Alga Sargassum merupakan salah satu marga Sargassum yang termasuk dalam kelas Phaeophyceae. Sargassum sp. adalah salah satu jenis makroalga coklat yang tumbuh di Indonesia dan tersebar dibanyak lingkungan perairan Indonesia. Sargassum banyak diekspor karena kandungan polisakaridanya yaitu alginat. Alginat adalah salah satu hasil ekstraksi karbohidrat yang terdapat pada Sargassum, yang mempunyai nilai ekonomis. Sampai saat ini pemanfaatan Sargassum lebih kepada kandungan polisakarida alginatnya (Alamsjah., dkk 2011). Asam alginat diproduksi dengan cara ekstraksi alga coklat (Phaeophyceae) dan banyak digunakan sebagai bahan pembentuk gel dan pengental yang bersifat thermoreversibel dalam berbagai bidang industri, juga dipakai sebagai suspending emulsifying, dan stabilizing agent. Senyawa Alginat yang umum dikenal adalah Natrium Alginat.

Diberapa Negara seperti Jepang, Cina dan Amerika Serikat telah berhasil diproduksi alginat secara komersial. Alginat bersifat tidak beracun dan mudah terurai oleh mikroorganisme, sehingga dapat dimanfaatkan secara luas diberbagai


(18)

bidang terutama industri tekstil ( 50%), industri makanan (30%), industri kertas, farmasi, biokimia dan lain-lain. Penggunaan alginat yang begitu besar karana alginat dapat berperan sebagai pengental, pengkhelat, penstabil, pembungkus yang dapat dimakan, immobilisasi enzim, pelapis tablet dan lain-lain (Zhanjiang, 1990; McCromick, 2001; McHugh, 2003).

Selama kurun waktu terakhir ini, bahan pengemas makanan yang berasal dari plastik banyak digunakan. Hal ini disebabkan karena plastik memiliki berbagai keunggulan seperti fleksibel, mudah dibentuk, transparan, tidak mudah pecah dan harganya relatif murah. Namun, polimer plastik juga mempunyai berbagai kelemahan yaitu sifatnya yang tidak tahan panas, mudah robek, dan paling penting adalah dapat menyebabkan kontaminasi melalui transmisi monomernya kebahan yang dikemas. Kelemahan lain dari plastik adalah sifatnya yang tidak dapat dihancurkan secara alami (non-biodegradable), sehingga menyebabkan beban bagi lingkungan. Oleh karena itu, mulai dikembangkan pengemas bahan organik yang memiliki sifat mirip plastik maupun bersifat biodegradable, dapat langsung dimakan misalnya pengemas edible kalsium alginat.

Edible packaging dapat dibedakan dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu yang berfungsi sebagai pelapis (edible coating) dan yang berbentuk lembaran (edible film). Bahan pelapis jenis ini dimakan dengan produk yang dikemas, sebagai penghambat transfer massa (misalnya kelembaban, oksigen, lemak dan zat larut) dan atau sebagai carrier bahan makanan atau aditif dan untuk meningkatkan penanganan makanan. Edibel film itu sendiri dapat dibuat dari tiga jenis bahan yakni hidrokoloid (alginat, karaginan, pati), lipid (lilin/wax, asam lemak), dan komposit dari keduanya (Kinasih, 2010).

Salah satu alkil terhidrat yang penting adalah gliserol (propa-1,2,3-triol) CH2OHCHOHCH2OH. Senyawa ini kebanyakan ditemukan hampir pada semua lemak hewani dan minyak nabati sebagai ester gliserin dari asam palmitat dan oleat (Austin, 1995). Sehubungan dengan struktur gliserol yang mempunyai gugus alkohol sekunder dan dua gugus alkohol primer, maka akan memberikan banyak kemungkinan terjadinya banyak reaksi untuk mengembangkan senyawa turunan alkohol (Finar, 1980)


(19)

Cutter (2001) telah menggunakan gliserol dan propilena glikol sebagai bahan pemlastis matriks polietilena dan polietilen oksida pada penyedian film layak makan. Prosedur peyedian kemasan layak makan berbasis matriks hidroksipropil metilselulosa, untuk bahan makanan, telah dipatenkan di Amerika (US Patent 6616958, 2003) dengan menggunakan pemlastis gliserol (kandungan 20-70%) untuk film yang layak untuk dimakan dengan basis campuran pati, natrium alginat dan lain-lain. Berdasarkan sifatnya, gliserol banyak digunakan sebagai zat pemlastis dan minyak pelumas dalam mesin pengolahan makanan dan minuman.

Beberapa penelitian terdahulu telah berhasil dalam pembuatan membran kalsium alginat dan pengujian sifat difusinya. Demikian juga studi karakterisasi dan aplikasi film pelapis kelat alkali tanah alginat- kitosan diperoleh morfologi permukaan film pelapis yang masih kasar, kekuatan tarik yang rendah yang dihasilkan masih rendah dan mudah robek (Kaban., 2009). Sebayang., (2009) telah meneliti tentang karakterisasi film pelapis khelat kalsium alginat-kitosan dengan bahan pemlastis gliserol.

. Cahayana (2012), telah meneliti tentang pembuatan coating alginat dan chitosan alginat untuk penghambat pertumbuhan bakteri pada pada buah melon kupasan. Edible film yang dihasilkan digunakan sebagai pelapis yang berfungsi sebagai bahan pelapis untuk memperlambat pertumbuhan bakteri pada buah kupasan dengan menggunakan analisis mikroba.

Dari latar belakang diatas, penulis tertarik untuk meneliti pembuat edible film kalsium alginat dengan penambahan gliserol sebagai bahan pemlastis. Diharapkan dengan adanya pengaruh konsentrasi pemlastis gliserol, sehingga diharapkan adanya intraksi dari gliserol terhadap edible film Ca-alginat. Sehingga dapat menghasilkan edible film yang mempunyai sifat lebih kokoh dan juga sifat elastis yang lebih baik.


(20)

1.2. Permasalahan

Bagaimanakah pengaruh penambahan 10%, 20%, 30% dan tanpa pemlastis gliserol terhadap karakteristik edible film kalsium alginat.

1.3. Pembatasan masalah

1. Variasi konsentrasi pemlastis gliserol yang digunakan untuk edible film kalsium alginat adalah 10%, 20% dan 30%.

2. Karakterisasi edible film kalsium alginat meliputi ketebalan, tensile strength, elongation, SEM (Scanning Electron Microscope), DTA (Differential Thermal Analysis), swelling, Biodegradable, dan uji spektrofotometer inframerah (FT-IR)

1.4. Tujuan penelitian

Menentukan karakteristik edible film kalsium alginat yang ditambahkan pemlastis gliserol dengan variasi konsentrasi 10%, 20% dan 30.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Memperluas penggunaan edible film dari polimer alam, khususnya alginat sebagai bahan pengemas makanan yang biodegradable, dan untuk memberikan gambaran tentang karakteristik dari kalsium alginat sebagai edible film.

2. Memberikan gambaran tentang perbandingan karakteristik edible film Ca-alginat tanpa gliserol dan dengan penambahan gliserol sebagai bahan pemlastis, serta pemanfaatan alginat sebagai bahan pengemas.


(21)

1.6. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Organik FMIPA USU Medan, Uji keteguhan tarik dilakukan di Laboratorium Penelitian FMIPA USU, DTA dilakukan di Laboratorium PTKI Medan, SEM dilakukan di Laboratorium Geologi Kuarter PPGL Bandung, biodegradable dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi FMIPA USU, analisa spektrofotometer inframerah dilakukan disalah satu Laboratorium swasta dimedan, swelling dan ketebalan dilakukan di Laboratorium Kimia Organik FMIPA USU Medan.

1.7. Metodologi Penelitian

Penelitian ini bersifat ekseprimen laboratorium, dimana obyek dari penelitian ini adalah karakteristik edible film kalsium alginat tanpa pemlastis gliserol dan menggunakan pemlastis gliserol. Edible film kalsium alginat tanpa gliserol diperoleh dengan menambahkan kalsium klorida (CaCl2 0,1 M) kedalam larutan natrium alginat selanjutnya dibiarkan 24 jam dan dicuci dengan aquadest dan kemudian dikeringkan pada oven dengan suhu 40oC

Sedangkan untuk pembuatan kalsium alginat dengan penambahan pemlastis gliserol diperoleh dengan menambahkan CaCl2 0,1 M kedalam larutan natrium alginat selanjutnya dibiarkan 24 jam kemudian dicuci dengan aquadest dan dikeringkan pada suhu 40oC. Edible film yang diperoleh diuji karakteristiknya meliputi ketebalan, tensile strength, elongation, DTA (Differential Thermal Analysis), SEM (Scanning Electron Microscope), Swelling, Biodegradable, dan Spektrofotomer Inframerah (FTIR).


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Alginat

Alginat adalah polisakarida alam yang umumnya terdapat pada dinding sel dari semua spesies alga coklat (Pheaophyceae). Asam alginat pertama kali dan dipatenkan oleh seorang ahli kimia dari Stanford Inggris tahun 1881 dengan mengekstrak Lamanaria stenophylla (Anonim II, 2005). Asam alginat dalam alga coklat umumnya terdapat sebagai garam-garam kalsium, magnesium, natrium. Tahap pertama pembuatan alginat adalah mengubah kalsium alginat dan magnesium alginat yang tidak larut menjadi natrium alginat yang larut dalam air dengan pertukaran ion dibawah kondisi alkalin (Zhanjiang, 1990).

Dimana: M adalah kation bivalen seperti Ca2+, Mg2+ dan lain-lain Alg adalah alginat.

Proses pertukaran ion dari alginat dilakukan dengan mineral asam sebelum diekstraksi dengan alkali, persamaan rekasinya sebagai berikut:

Larutan natrium alginat kasar yang diperoleh difiltrasi dan diendapkan dengan Ca2+ untuk membentuk garam kalsium yang tidak larut. Selanjutnya pemisahan dilakukan dengan proses asidifikasi untuk memisahkan asam alginat dan ion-ion kalsium.

Kemudian gel asam alginat yang terbentuk didehidrasi lalu dicampur dengan alkali (Na2CO3) untuk membuat kembali garam natrium yang larut.


(23)

Akhirnya diperoleh pasta natrium alginat, lalu dikeringkan dan digiling untuk memperoleh bubuk natrium alginat ( Zhanjiang, 1990).

2.1.1. Produksi

Penyedian alginat secara komersial diperoleh dari hasil ekstraksi alga coklat, sebagaian besar dari laminaria hyperbore, Macrocystis pryfera, Laminaria digitata, Ascophyllumnodosum, Laminaria joponica, Ecklonia maxima, Lessonia nigrescens, dan Durvillaea antarctive. Komposisi alginat dari ganggang laut tidak sama variasinya tergantung pada musim dan kondisi pertumbuhannya, ketidak samaan ini tergantung pada sifat dari tumbuhan itu (Bernd, 2009).

Ada beberapa Negara yang telah memproduksi alginat secara komersial diantaranya adalah Amerika Serikat. Pada Tahun 1927 Thornley membangun perusahan untuk memproduksi alginat di San Diego kemudian diorganisasi kembali tahun 1929 dengan nama Kelco Company. Produksi di United Kingdom dimulai oleh Alginate Industries Ltd. selama periode 1934-1939. Dan sekarang ada dua perusahaan terbesar di Amerika Serikat yaitu Kelco dan Alginat Industries yang memproduksi sekitar 70% alginat dari seluruh dunia (Zhanjiang, 1990). Di China produksi alginat dimulai tahun 1957 di Qingdao yang berasal dari spesies Sargassum Pollidum. Negara – negara penghasil alginat terbesar lainya yaitu Jepang dan Prancis.

2.1.2.Struktur Kimia dan Komposisi

Alginat merupakan polimer linear yang mengandung lebih dari 700 residu asam uronat yaitu β-D asam manuronat dan α-L asam guluronat dengan ikatan 1,4. Rantai alginat yang mengandung residu asam manuronat disebut blok M, rantai alginat yang hanya mengandung residu asam gluronat disebut blok G dan rantai alginat yang mengandung residu asam manuronat serta asam gluronat disebut blok MG ( Masakatsu dan Inukai, 1999).


(24)

Dengan adanya nitrogen dalam struktur polimer dari polisakarida, stanford mengusulkan dengan pasti jalan keluar dari penelitian tentang struktur algina, asam uronik merupakan penyusun utama dari struktur dasar alginat yang dipatenkan pada tahun 1926 (Bernd, 2009). Struktur dasar dari monomer alginat adalah cinci 1C. β -D-manuronat di alam terdapat dalam konfigurasi C1. Pada konfigurasi 1C α-D-manuronat, interaksi -COOH pada C-5 dan -OH pada C-3 akan kaku, sedangkan pada C1 gugus-gugus ini berada pada posisi ekuatorial sehingga lebih stabil. Sebaliknya, untuk alasan yang sama, α -L-guluronat terdapat dalam konfigurasi 1C dibandingkan C1.

Polimer alginat dibentuk dari hubungan antara C-1 dan C-4 tia dan dihubungkan oleh ikatan eter oksigen. Polimer alginat terdiri dari 3 jenis, yaitu blok M (mannuronat), blok G (guluronat), dan polimer MG Polimer M dibentuk dari struktur ekuatorial gugus C-1 dan C-4 dan membentuk polimer lurus, sedangkan polimer G dibentuk dari struktur aksial. Perbedaan struktur polimer ini menyebabkan polimer G lebih banyak digunakan untuk proses pembentukan gel alginat dengan penambahan ion Ca2+. Ion tesebut akan menggantikan ion H+ pada gugus karboksilat dan membentuk jembatan ion penghubung antara polimer G yang satu dengan yang lainnya. Hubungan antara polimer G ini akan membentuk struktur egg-box.

Alginat merupakan polimer linear yang mengandung β-(1,4) linked D-asam

manuronat (M) dan α-(1-asam gluronat) (G). Gambar 2.1 menunjukkan dalam

rantai polimer, monomer dapat tersusun sebagai blok GG, blok MM dan blok GM (Donati dan Paoletti, 2009).


(25)

Residu asam manuronat mempunyai ikatan C 1,4 di-equtorial sehingga bentuknya rata seperti pita. Struktur ini menjadi stabil dengan adanya ikatan H antara proton dari OH dan C3 dengan cincin O dari residu tetangganya, seperti gambar 2.2 dibawah ini:

Gambar 2.2. Ikatan 1,4 di-equatorial dari natrium manuronat.

Struktur asam guluronat berbeda dengan asam manuronat. Residu asam gluronat mempunyai ikatan C 1,4 di-axial sehingga struktur pita dari polimer ini melengkung, berlawanan dengan bentuk merata dari manuronat. Struktur ini stabil Gambar 2.1. Struktur Kimia Alginat, a.Konformasi 4C1 Garam Natrium dari Asam Β-D-Mannuronat (M) dan Konformasi 1C4 Garam Natrium dari Asam Α-L-Guluronat (G). b. Komposisi Blok Alginat yaitu Blok G, Blok M dan Blok MG


(26)

dengan adanya ikatan H antara gugus OH pada atom C2 dari residu yang satu dengan gugus COO- dari residu tetangganya ( Anonim II, 2005)

Gambar 2.3. Ikatan 1,4 di-axial dari asam guluronat.

Masing-masing spesies alga coklat mengandung tipe alginat atau ratio M/G yang berbeda tergantung dari waktu panen dan bagian anatomi tumbuhan (Robinson, 1987). Alginat yang mengandung asam guluronat yang tinggi akan cendrung mempunyai struktur rigid (kaku) serta mempunyai porositas yang besar, sedangkan alginat yang mengandung asam manuronat yang tinggi mempunyai struktur yang tidak rigid. Unit G dan M diatur dalam rantai dan keseluruhan rasio, M / G, dari dua unit dalam rantai dapat bervariasi dari satu jenis rumput laut dengan yang lain. Dengan kata lain semua "alginat" tidak selalu sama. Jadi beberapa rumput laut dapat menghasilkan alginat yang memberikan viskositas yang tinggi ketika dilarutkan dalam air, sedangkan yang lain dapat menghasilkan viskositas rendah. Kondisi-kondisi dari prosedur ekstraksi dapat juga mempengaruhi viskositas. Demikian pula, kekuatan gel yang dibentuk oleh penambahan garam kalsium dapat bervariasi dari satu alginat dengan yang lain. Umumnya alginat dengan kandungan G yang lebih tinggi akan memberikan gel yang lebih kuat, dikatakan alginat memiliki rasio M / G rendah.

Penentuan rasio M/G dapat dilakukan dengan menghidrolisis parsil alginat dengan asam organik encer seperti asam oksalat 1 M, dimana sebagian alginat akan larut. Residu yang tidak larut dapat dipisahkan ke dalam fraksi yang kaya akan guluronat (blok G) yang tidak larut pada pH 2,85 tersebut. Fraksi yang larut oleh hidrolisis parsil mengandung uronat M dan G (blok MG) ( Zhanjiang, 1990).


(27)

2.1.3. Sifat-sifat Fisika dan Kimia

2.1.3.1. Sifat Fisika

Kelarutan dan kemampuan mengikat air dari alginat bergantung pada jumlah ion karboksilat, berat molekul dan pH. Kemampuan mengikat air meningkat bila jumlah ion karboksilat semakin banyak dan jumlah residu kalsium alginat kurang dari 500, sedangkan pH di bawah 3 terjadi pengendapan. Secara umum, alginat dapat diabsorpsi air dan bisa digunakan sebagai pengemulsi dengan viskositas yang rendah (Kaban, 2008).

Asam alginat tidak larut dalam media berair, akan tetapi bila pH dinaikkan maka sebagian asam alginat diubah menjadi garam yang larut. Total netralisasi terjadi pada pH sekitar 4, dimana asam alginat secara sempurna diubah menjadi garam yang sesuai (ISP, 2001). Garam alginat yang larut dalam air adalah alginat yang mengandung logam alkali, amonia dan amina dengan berat molekul rendah serta senyawa amonium kuartener. Garam alginat dengan logam polivalen bersifat tidak larut dalan air kecuali magnesium alginat.

Alginat tidak stabil terhadap panas, oksigen, ion logam dan sebagainya. Dalam keadaan yang demikian, alginat akan mengalami degradasi. Selama penyimpanan, alginat secepatnya mengalami degradasi dengan adanya oksigen terutama dengan naiknya kelembaban udara. Alginat dengan viskositas sedang atau rendah. Urutan stabilisasi alginat selama penyimpanan adalah: Natrium alginat > amonium alginat > asam alginat. Alginat komersial mudah terdegradasi oleh mikroorganisme yang terdapat di udara, kerena bahan tersebut mengandung partikel alga dan zat nitrogen. Semua larutan alginat akan mengalami depolimerisasi dengan kenaikan suhu (Zhanjiang, 1990)

Larutan natrium alginat stabil pada pH sekitar 4-10. Pembentukan gel atau pengendapan alginat dapat terjadi pada pH dibawah 4, dengan berubahnya garam alginat menjadi asam alginat yang tidak larut. Penyimpanan larutan alginat yang lama diluar batasan pH diatas tidak dianjurkan, karena dapat menyebabkan depolimerisasi senyawa polimer akibat hidrolisis. Asam alginat tidak larut dalam air, sehingga yang bisa digunakan dalam industri adalah garam natrium alginat atau kalium alginat. Natrium alginat adalah bubuk warna kram, larut dalam air


(28)

dengan membentuk koloid, kental, tidak larut dalam alkohol, klorofom, eter dan larutan asam jika pH dibawah 3. Propilen glikol alginat menunjukkan stabilitas yang sangat baik dalam larutan asam khusus efektif pada batasan pH 2,5-4. Kondisi ini dihindari karena efek pelindung dari gugus ester akan hilang secara cepat disebabkan terjadinya saponifikasi (ISP, 2001).

2.1.3.2. Sifat Kimia

Metil ester alginat dibuat dengan mereaksikan asam alginat dengan diazometan atau asam klorida dalam metanol atau melalui reaksi antara dimetilsulfat dengan natrium alginat yang tersuspensi dalam larutan tidak berair. Ester dapat dibentuk pada kondisi yang biasa dengan 1,2-alkilen oksida. Jika digunakan propilen oksida, dapat dihasilkan propilen glikol eter yang dapat digunakan sebagai zat tambahan dalam makanan seperti jelly dalam bentuk garam kalsium.

Esterifikasi gugus hidroksil dari alginat dapat dilakukan melalui reaksi antara asetil klorida dengan adanya basa organik atau reaksi katalitik dengan anhidrida asetat. Amonium diasetil alginat bersifat larut dalam air, tidak larut dalam pelarut organik dan mengembang dalam alkohol encer, membentuk gel atau mengendap dengan tembaga (II), timah (II) dan ion trivalen atau tetravalen. Tidak mengendap atau membentuk gel dengan kalsium, barium, besi (II), mangan (II), atau seng. Ester alginat sulfat diperoleh dengan asam sulfat yang digunakan dalam bidang medis sebagai zat anti beku darah (Muzzarelli, 1973)

Ester alginat seperti asam karboksimetil alginat diperoleh dalam bentuk garam natrium, melalui reaksi antara natrium alginat dengan asam kloroasetat dalam natrium hidroksida. Garam basa organik dari alginat dapat mempengaruhi kelarutan asam alginat dalam pelarut organik. Sebagai contoh, tributilamin, feniltrimetilamonium dan benziltrimetilamonium alginat larut dalam etanol absolut sedangkan trietanolamin alginat larut dalam etanol 75%. Senyawa amonium kuartener dengan hidrokarbon seperti asetil trimetil amonium bromida bereaksi dengan asam alginat membentuk endapan asetil trimetil amonium alginat (Kaban, 2007).


(29)

2.1.4. Pembentukan Gel

Alginat dapat membentuk gel dengan adanya kation-kation divalent seperti Ca2+, Mn2+, Cu2+, dan Zn2+ dimana ikatan silang terjadi karena adanya kompleks khelat antara ion-ion divalent dengan anion karboksilat dari blok G-G. Intraksi ion logam dengan gugus COO- dari alginat terjadi pada inter dan intra molekul. Disamping intraksi ion logam dengan gugus COO- dari alginat, gugus OH dari polimer juga ikut berperan (Zhanjiang, 1990). Ion Ca2+ mempunyai orbital d yang kosong sehingga alginat sebagai ligan dapat menyumbangkan elektronnya kepada Ca2+. Ion Ca2+ yang merupakan jambatan penghubung inter molekul alginat hanya dapat menerima 5 ligan oksigen, sementara alginat berpotensi menyumbangkan 10 ligan oksigen dari kedua rantai yang paralel yaitu masing-masing dari OH pada C2 dan C3. Ikatan O yang menghubungkan 1-4 dan sebuah gugus karboksil serta cincin O dari residu tetangganya (Chaplin, 2005), seperti gambar 2.4 dibawah ini:

Gambar 2.4. Alginat sebagai ligan

Seperti dijelaskan diatas , rantai asam guluronat melengkung sedangkan rantai asam manuronat merata. Hal ini menyebabkan keduanyai mempunyai perbedaan dalam berikatan dengan ion Ca2+. Penambahan Ca2+ pada asam guluronat menjadikannya bentuk gel, seperti Ca2+ masuk kedalam egg box antara unit monomer, seperti gambar dibawah ini:


(30)

Gambar 2.5. Pembentukan gel kalsium alginat

Ion Ca2+ dapat mengadakan ikatan dengan gugus COO- pada masing-masing blok yang paralel, seperti gambar 2.6 dibawah ini:

Gambar 2.6. Ion Ca2+ pada gugus COO- dari blok G yang paralel

Rantai blok M yang seperti pita mendatar dapat berikatan dengan Ca2+ dan ini diharapkan terjadi pada konsentrasi kation yang tinggi. Akibat adanya perbedaan struktur antara blok M dan G maka gel yang dibentuk dari blok M bersifat elastis, sedangkan gel dari blok G sifat rigid. Kekuatan dari gel yang dibentuk dengan penambahan garam Ca bervariasi dari satu alginat dengan alginat lain. Alginat dengan kandungan blok G yang tinggi, seperti Macrocytis memberikan alginat dengan viskositas yang sedang. Sargassum memberikan hasil viskositas yang rendah, Laminaria digitata menghasilkan kekuatan gel yang


(31)

lembut sampai sedang sementara Laminaria hyperborea dan Durvillaea menghasilkan gel yang kuat (McHugh, 2003).

2.1.5. Pertukaran Ion dalam Pembentukan Kalsium Alginat

Pertukaran ion adalah elektrolit tak larut yang mengandung gugus ion positif atau ion negatif yang dapat dipertukarkan dengan ion lain dari larutan disekitarnya, tanpa mengalami perubahan struktur dalam resin. Ada dua tipe resin penukar ion yaitu resin kation dan resin anion. Resin kation adalah ion yang bermuatan positif, mampu mempertukarkan kation yang berada dalam resin dengan kation dari larutan disekitar resin, misalnya Ca, Mg, Fe, dan H. Resin penukar anion adalah ion yang bermuatan negatif, mampu mempertukarkan anion dalam resin dengan anion dari larutan yang mengalir melewati resin, misalnya Cl, SO, dan OH (Benefield, 1982).

Alginat yang tidak larut menunjukkan reaksi seperti resin pertukaran ion. Kemampuan dari ion-ion logam divalent berikatan dengan alginat tergantung pada jumlah relatif dari unit asam D-manuronat dan L-guluronat dalam alginat. Pembentukan gel alginat terjadi karena adanya pertukaran ion Na+ dengan kation divalent, sehingga dari yang bersifat larut dalam air menjadi tidak larut dalam air (Zhianjiang, 1990).

Jumalah ion divalent yang dibutuhkan untuk mengendapkan alginat meningkat sesuai dengan sesuai dengan tingkatan berikut: Pb, Cu < Ca < Co, Ni, Zn < Mn. Sifat pertukaran ion dari alginat tergantung pada komposisi kimia dari alginat. Alginat yang kaya asam manuronat seperti pada Laminaria digitata mempunyai affinitas yang rendah terhadap Ca dalam reaksi pertukaran ion Na-Ca, dibandingkan dengan alginat yang kaya akan unit guluronat seperti pada Laminaria hyperborea (Muzzarelli, 1973)

Kemampaun alginat untuk berikatan dengan ion-ion divalent akan berkurang sesuai dengan urutan dibawah ini

a) Untuk alginat yang kaya akan blok M dari Laminaria digitata Pb > Cu > Cd > Ba > Sr > Ca > Co, Ni, Zn, Mn > Mg


(32)

Pb > Cu > Ba > Sr > Cd > Ca > Co, Ni, Zn, Mn > Mg

Sementara konsentrasi dari ion yang dibutuhkan untuk pembentukan gel alginat dari kedua jenis ganggang coklat diatas adalah sama, yaitu semakin meningkat Ba < Pb < Cu < Sr < Cd < Ca < Zn < Ni < Co < Mn, Fe < Mg. ( Zhanjiang, 1990).

2.1.6.Kegunaan Alginat

Kegunaan alginat didasarkan pada tiga sifat utamanya yaitu kemampuan untuk: 1. Larut dalam air serta meningkatkan viskositas larutan

2. Membentuk gel

3. Membentuk film dan serat ( McHugh, 2003)

Alginat dapat digunakan dalam berbagai bidang industri antara lain industri makanan, tekstil, medis/farmasi dan kosmotik (McCormick, 2001). Dalam industri tekstil, alginat digunakan sebagai pengental pesta yang megandung zat warna. Alginat tidak bereaksi dengan zat pewarna dan dengan mudah dicuci dari tekstil sehingga alginat menjadi pengental yang terbaik untuk zat warna.

Dalam bidang makanan, sifat kekentalan alginat dapat digunakan dalam pembuatan saus serta sirup, sebagai penstabil dalam pembuatan es krim (McHugh, 2003). Film kalsium alginat juga digunakan sebagai pembungkus ikan, buah, daging dan makanan lain untuk pengawetan dan merupakan pengepak alternatif karena mudah terurai oleh mikroorganisme sehingga bersifat ramah lingkungan.

Sebagai pembungkus yang dapat dimakan, alginat berperan sebagai komponen diet seperti serat karena hanya meningkatkan volume usus, tidak diabsorbsi dalam saluran pencernaan, berkalori rendah dan tidak berpotensi untuk merusak (Cancela, 2003). Film pelapis kalsium alginat dapat digunakan untuk membantu mengawetkan ikan beku, jika ikan dibekukan dengan jeli kalsium alginat maka ikan dilindungi dari udara sehingga proses oksidasi dihambat. Jika jelli mencair bersama ikan, dengan mudah dapat dipisahkan. Potongan daging yang dibungkus dengan flim kalsium alginat sebelum dibekukan menyebabkan juice daging akan diabsorbsi kembali kedalam daging selama proses pencairan, sehingga pembungkus dapat melindungi daging dari kontaminasi bakteri (McHugh, 2003).


(33)

Dalam bidang farmasi, alginat dapat digunakan sebagai pembalut luka yang dapat menyembuhkan luka karena dapat mengabsorpsi cairan dari luka, dimana kalsium alginat dalam serat diubah oleh cairan tubuh menjadi natrium alginat yang larut (McHugh, 2003). Alginat dalam bentuk garam dapat digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan polimer pembentuk gel lainya untuk mengontrol pelepasan obat dari matriks tablet. Dalam cairan lambung, natrium alginat terhidrasi dan dikonversi menjadi bentuk asam alginat yang tidak dapat larut, sehingga menekan pelepasan obat dalam perut ( ISP, 2001 ; McHugh, 2003).

Alginat dapat dibuat menjadi membran dengan melarutkan natrium alginat dalam air kemudian dibiarkan satu malam. Larutan tersebut kemudian dituang kedalam plat kaca dan dibiarkan selama 1 jam sampai ketebalannya homogen, lalu cetakan gelas diimersikan ke dalam larutan CaCl2 0,1 M selama satu malam. Cetakan gelas yang berisi membran alginat kemudian dicuci dengan air dan selanjutnya dibiarkan pada suhu kamar sehingga mengering, maka diperoleh lapisan tipis yaitu membran kalsium laginat (Inukai and Masakatsu, 1999).

Gel alginat dalam bentuk butiran dapat digunakan sebagai biokatalis enzim untuk sel. Proses yang menggunakan immobilisasi biokatalis adalah menghasilkan etanol dari pati, membuat beer dengan immobilisasi ragi, fermentasi untuk menghasilkan butanol dan isopropanol serta produk lanjutan dari yoghurt ( McHugh, 2003)

2.2.Edible Packaging ( Kemasan yang Dapat Dimakan)

Penggunaan kemasan yang dapat dimakan dalam industri bahan makanan telah menjadi suatu topik yang menarik karena sangat potensial untuk meningkatkan masa berlaku dari banyak produk makanan. Kemasan yang dapat dimakan digabungkan dengan aditif bahan makanan dan zat lain dapat meningkatkan warna, flavor, tekstur serta mengontrol pertumbuhan mikroba. Anti mokroba ditambahkan ke kemasan yang dapat dimakan berfungsi untuk menghalangi pertumbuhan ragi, jamur dan bakteri selama penyimpanan dan distribusi.


(34)

Antimikroba yang umum digunakan termasuk asam benzoat, natrium benzoat, asam sorbat, kalium sorbat dan asam propinoat. (Kaban, 2007).

Penambahan antioksidan ke kemasan yang dapat dimakan dapat meningkatkan stabilisasi dan mempertahankan nilai gizi dan warna dari produk makanan dengan cara melindungi produk tersebut terhadap ketengikan akibat oksidasi, degradasi dan diskolorasi. Tipe dari antioksidan makanan yaitu asam (juga dalam bentuk garam dan esternya) dan senyawa phenolat (Kaban, 2008). Asam yang digunakan seperti asam sitrat, asam askorbat dan esternya, bertindak sebagai zat pengkelat logam sinergis apabila digunakan tersendiri atau dikombinasikan antioksidan phenolat. Senyawa phenolat seperti butylated hydroxyanisole (BHA), butylated hydroxytoluene (BHT), tertiary buttylated hydroxyquinone (TBHQ), propil gallat dan tekoferol menghambat oksidasi lemak dan minyak yang terdapat pada bahan makanan.

Proses secara minimal telah banyak diterapkan pada buah-buahan. Proses secara minimal mencakup operasi pencucian, sortasi, pengupasan, perajangan dan pengemasan sehingga buah siap dikomsumsi dalam keadaan segar (Krochta et al, 1994). Masalah yang sering muncul pada buah hasil proses minimal adalah meningkatnya kecepatan kerusakan akibat proses respirasi, produksi etilen yang meningkat karena jaringan rusak serta aktifnya enzim polifenolase penyebab pencoklatan. Akibat terjadi peningkatan proses biokimia sehingga terjadi perubahan flavor, tekstur dan kualitas gizi (Brecht, 1995). Untuk itu diperlukan pengetahuan dan teknik baru dalam pengemasan dan penyimpanan pasca proses minimal, sehingga kecepatan respirasi dapat ditekan dan kenampakan organoleptik mampu dipertahankan.

Penanganan produk buah proses minimal dengan aplikasi pengemas dari kemasan yang dapat dimakan (edible packaging) merupakan salah satu alternatif yang aman bagi kesehatan konsumen dan ramah lingkungan (Krochta et al, 1994). Fungsi kemasan pada bahan pangan adalah untuk mencegah atau mengurangi kerusakan, melindungi dari pencemaran serta gangguan fisik seperti gesekan, benturan dan getaran. Kemasan juga berfungsi sebagai wadah untuk memberi bentuk dan memudahkan penyimpanan, pengangkutan dan pendistribusiannya.


(35)

Selain itu kemasan juga berfungsi untuk menambahkan daya tarik (appearance) dari bahan pangan tersebut sebagai tujuan promosi.

Terdapat lima syarat kemasan untuk bahan pangan yaitu: penampilan, perlindungan, fungsi, biaya, dan limbah kemasan tersebut bersifat ramah lingkungan. Dengan adanya persyaratan ramah lingkungan, maka penggunaan edible packaging adalah sangat menjanjikan. Edible packaging adalah kemasan yang dapat langsung dimakan dan aman bagi lingkungan. Edible packaging dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian yaitu kemasan yang berfungsi sebagai penyalut (edible coating) dan kemasan yang berfungsi sebagai dalam bentuk pelapis dalam bentuk lembaran tipis (edible film).

Komponen dari penyalut dan pelapis yang dapat dimakan dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu hidrokoloid, lipida, dan komposit. Hidrokoloid yang sesuai termasuk protein, turunan selulosa, alginat, pektin, starch dan asam lemak. Komposit mengandung kedua komponen lipida dan hidrokoloid dan lapisan kedua adalah lipida, atau sebagai kesatuan dimana komponen lipida dan hidrokoloid berselang-seling sepanjang kemasan.

2.2.1. Edible Coating (Lapisan penyalut yang dapat dimakan)

Edibel coating telah banyak digunakan untuk penyalut bahan pangan seperti daging beku, makanan semi basah, produk konfeksionari, ayam beku, produk hasil laut, sosis, buah-buahan dan sebagai penyalut kapsul obat-obatan (Krochta et al, 1994). Beberapa jenis penyalut yang sering digunakan adalah penyalut lilin dan minyak, penyalut turunan polimer alam dan polimer sintesis.

Penggunaan secara komersial dari lilin terutama pada jeruk, apel, tomat dan timun secara terbatas juga digunakan untuk alpokat, pisang, cherry, anggur, jambu biji, mangga, nanas, melon, dan lain-lain. Penyalut juga digunakan untuk sayur-sayuran seperti asparagus, biji-bijian, wortel, umbi-umbian dan lain-lain. Penyalut lilin dibuat dengan lilin alam, lilin sintesis dan asam lemak, minyak (minyak tumbuhan-tumbuhan dan minyak meneral), resin, pengemulsi, pemlastis, zat anti buih, surfaktan, dan pengawet.


(36)

Penyalut dengan bahan polisakarida telah dikembangkan, terutama untuk produk buah dan biji yang sudah diproses. Penyalut pektin dibuat dari pektin metoksil rendah (kandungan metoksil 2-20%), kalsium klorida (sebagai pengikat silang), plastisizer dan dalam keadaan tertentu asam-asam organik (Miers et al, 1953 ; Schultz et al, 1984). Permasalahn dengan penggunaan penyalut paktin adalah sangat permeabel terhadap uap air. Penyalut pektin metoksil rendah (kandungan metoksil 3,8%, viskositas intrinsik 3,2 dan ketebalan parafin beeswax, emulsifier, tritanolamina, atau minyak kelapa dan karboksimetil selulosa, dan asam oleat atau natrium oleat.

Penyalut komposit larut dalam air dengan sifat menahan uap air yang baik disebabkan kelarutan uap air yang bertambah dan penyalut, menghasilkan permeabilitas uap air yang tinggi. Penyalut ini digunakan pada peaches yang disimpan pada temperatur kamar dengan RH 57-63% menghasilkan permeabilitas O2 dan fermentasi yang rendah.

Nature-seal adalah penyalut komposit menggunakan turunan sellulosa pembentuk film, tapi tidak mengandung ester asam lemak sukrosa. Pada pengujian laboratorium, nature-seal menahan pemasakan buah tomat dan mengga dan menunda pencoklatan carambolas (Nisperos-Carriedo et al, 1992 ; Sanches 1990). Penyalut yang terdiri dari kitosan dan asam laurat kurang parmeabel terhadap uap air, tetapi lebih permeabel terhadap gas dibandingkan kitosan sendiri.

Penyalut bilayer adalah penyalut yang merupakan kombinasi dari penyalut lipida dan panyalut polisakarida. Penyalut lipida bersifat penahan air yang baik sedangkan penyalut polisakarida mempunyai sifat permeabilitas gas yang baik. Salah satu contoh penyalut seperti ini terdiri dari lapisan asam palmitat dan asam stearat dan lapisan hidroksipropil selulosa, banyak sekali mengurangi transfer air (Kamper dan Fennema, 1985). Penyalut yang lain terdiri dari 53% hidroksipropil metil selulosa dan 45% asam stearat mempunyai permeabilitas 0,17g air Mil/(m2/hari/mmgH) pada 85% RH dibandingkan dengan 48 g air Mil/ (m2/hari/mmgH) hanya hidroksipropil metilselulos (Kaban, 2008).

Protein juga telah dikembangkan untuk digunakan sebagai penyalut untuk buah dan sayur-sayuran. Protein untuk penyalut yang dapat dimakan dapat


(37)

diperoleh dari jagung, gandum, kacang kedelai dan collogen (gelatin) dan ini menghasikan penghalang yang terbaik terhadap O2 dan CO2 tapi tidak demikian terhadap air.

Penyalut komposit jagung yang mengandung minyak nabati, gliserin, asam sitrat, dan antioksidan mencegah ketengikan dalam produk seperti biji dengan bertindak sebagai penghalang kelembaban tapi juga barangkali transport O2 dibatasi disamping bertindak sebagai pembawa antioksidan. Zein telah digunakan dalam formulasi penyalut yang dapat dimakan untuk tablet farmasi dan produk konfeksionari termasuk nut dan buah kering, sering pengganti sebagai shelac. Penyalut zein dilaporkan menghambat kemasakan tomat. Penyalut gluten gandum baik sebagai penghambat terhadap O2 dan CO2 dan sifat mekaniknya sama dengan penyalut polimer, tetapi penyalut ini mempunyai permeabilitas air yang tinggi disebabkan sifat hidropiliknya (Kaban, 2008).

2.2.2. Edible Film (Lapisan tipis yang dapat dimakan)

Lapisan tipis hidrokoloid dapat digunakan dalam aplikasi dimana mengontrol migrasi uap air bukan sebagai tujuan. Lapisan tipis ini mmiliki sifat penahan yang baik terhadap oksigen, karbon dioksida dan lipida. Kebanyakan dari lapisan tipis ini juga mempunyai sifat mekanik yang diinginkan membuatnya berguna untuk meningkatkan integritas struktur dari produk yang rapuh. Kealarutan dalam air dari lapisan tipis polisakarida menguntungkan dalam situasi dimana lapisan tipis akan dikonsumsi dengan suatu produk yang dipanaskan sebelum dikomsumsi. Selama pemanasan, lapisan tipis hidrokoloid akan terlarut dan idealnya tidak mengubah sifat sensori dari makanan.

Hidrokoloid yang digunakan sebagai film pelapis dapat diklasifikasikan menurut komposisinya, muatan molekul dan kelarutannya dalam air. Dari segi komposisi, hidrokoloid dapat merupakan karbohidrat atau protein. Karbohidrat pembentuk film meliputi starch, gum tumbuh-tumbuhan (sebagai contoh alginat, pektin, dan gum arabic) dan starch yang dimodifikasi secara kimia.

Protein pembentuk film meliputi glatin, casein, protein kacang kedelai, whey protein, wheat gluten, dan zein. Keadaan muatan dari hidrokoloid dapat


(38)

digunakan untuk pembentukan film. Alginat dan pektin membutuhkan adisi dari ion polivalen, pada umumnya kalsium untuk memfasilitasi pembentukan film. Hidrokoloid yang bermuatan tersebut, sama seperti protein, mudah dipengaruhi perubahan pH karena adanya muatannya. Untuk beberapa aplikasi, keuntungan dapat diperoleh melalui penggabungan hidrokoloid yang mempunyai muatan yang berlawanan seperti glatin dan gum arabic.

Meskipun film hidrokoloid pada umumnya mempunyai daya tahan yang rendah terhadap uap air karena sifat hidropiliknya, tapi untuk hidrokoloid yang mempunyai kelarutan yang sedang didalam air seperti etilselulosa, wheat gluten, dan zein memberikan daya tahan yang lebih besar terhadap lewatnya uap air dibandingkan hidrokoloid yang larut dalam air (Donhow, 1994).

Film lipida sering digunakan sebagai penahan terhadap uap air. Penggunaannya dalam bentuk murni sebagai free-standing film dibatasi, karena integritas dan durabilitas kurang memadai. Lilin pada umunya digunakan untuk pelapis buah dan sayur-sayuran menahan respirasi dan mengurangi kelembaban. Formulasi untuk pelapis lilin sering berbeda dan komposisi sering ditentukan peruntukannya. Meskipun asam lemak dan alkohol asam lemak adalah penahan efektif terhadap uap air, sifat kerapuhannya membutuhkan penggunaan dengan suatu matriks pendukung.

Banyak lipida berada dalam bentuk kristal dan kristal individunya tidak dapat ditembus (kedap) terhadap gas dan uap air. Sajak parmeate dapat lewat diantara kristal, sifat penahan kristal lipida sangat tergantung pada susunan kumpulan intrakristal. Lipida terdiri dari kristal yang dapat pada memberikan daya tahan yang besar terhadap difusi gas dibandingkan kristal yang tersusun renggang. Lipida yang terdapat dalam keadaan cair atau mempunyai perbandingan yang besar dari komponen cair memberikan daya tahan yang kurang terhadap gas dan transmisi uap dibanding dengan yang dalam keadaan padat (Kemper and Fennema, 1994; Kester and Fennema, 1989). Sifat barrier dari lipida yang mempunyai sifat kristal dapat dipengaruhi oleh kekerasan dan bentuk polimorphis (Kester and Fennema, 1989).

Film komposit dapat diformulasi dengan menggabungkan keunggulan dari komponen lipida dan hidrokoloid dan mengurangi kelemahan masing-masing.


(39)

Apabila penahan terhadap uap air diinginkan, komponen lipida dapat memenuhi fungsi ini sedangkan komponen hidrokoloid memberikan durabilitas yang diperlukan. Sifat-sifat film bilayer lipida-hidrokoloid telah dipelajari secara luas (Greener and Fennema, 1989). Film komposit terdiri dari gabungan casein dan monogliserida terasetilasi telah dipelajari oleh Krochta et al. (1990). Film komposit dari gum acasia dan gliserol monostearat dilaporkan mempunyai sifat penahan uap air yang baik pada gradien kelembaban relatif 43,8-23,6 % (Martin-Polo and Voilley, 1990).

Fungsi organoleptik nutrisi dan sifat mekanik dari suatu edible film dapat diubah dengan penambahan berbagai-bagai bahan kimia dalam jumlah yang sedikit. Plastisizer seperti gliserol, monogliserida terasetilasi, polietilena glikol dan sukrosa sering digunakan untuk modifikasi sifat mekanik dari film. Penggabungan dari aditif ini menyebabkan perubahan yang signifikan dalam sifat barrier dari film. Sebagai contoh, penambahan plastisizer hidropilik pada umumnya menambahkan permeabilitas uap air pada film. Tipe lain dari aditif yang sering diujumpai dalam formulasi adalah zat antimikroba, vitamin, antioksidan, flavor dan pigmen.

Banyak teknik yang ditentukan untuk pembentukan film secara langsung pada permukaan makanan atau secara terpisah self-supporting film. Beberapa tehnik pembentukan film dapat digunakan dengan beberapa tehnik aplikasi berikut yaitu pencelupan (dipping), penyemprotan (spraying) dan penuangan (casting). Metode pencelupan melekatkan film ke produk makanan yang membutuhkan beberapa aplikasi atau keseragaman pada permukaan yang tidak teratur. Setelah pencelupan, kelebihan bahan pelapis dibiarkan mengering dari produk, dan kemudian dikeringkan dan dibiarkan memadat. Metode ini telah digunakan untuk film monogliserida terasetilasi terhadap daging, ikan dan ayam serta pelapisan lilin terhadap buah dan sayuran.

Film yang diaplikasi dengan penyemprotan dapat dibentuk dalam thinner, cara yang seragam dibandingkan dengan cara pencelupan. Penyemprotan, tidak seperti pencelupan, adalah lebih sesuai untuk penggunaan film kepada bahan makanan yang hanya satu permukaan ditutupi. Hal ini dikehendaki apabila perlindungan dibutuhkan pada hanya satu permukaan, misalnya apabila pizza


(40)

crust diarahkan ke saus lembab. Penyemprotan dapat juga digunakan untuk pelapis kedua yang tipis, seperti larutan kation yang dibutuhkan membentuk ikatan silang alginat atau pelapis pektin.

Teknik penuangan (casting) berguna untuk pembentukan lapisan tipis yang berdiri sendiri (free-standing film) dipinjamkan dari metode yang dikembangkan untuk film yang tidak dapat dimakan (non-edible film). Pelapisan adalah sederhana dan membiarkan ketebalan film dikontrol secara teliti pada permukaan yang halus dan rata. Penuangan dapat dilakukan melalui penyebaran dengan ketebalan terkontrol atau dengan penuangan. Penyebaran dengan ketebalan terkontrol membutuhkan pembentang (spreader) dengan suatu reservoir produk dan pintu penyesuaian, tinggi yang dapat diatur dengan teliti dan dengan pengulangan yang baik. Pembentang digerakkan diatas permukaan penerima, menghasilkan suatu lapisan dari larutan pembentuk film dengan ketebalan yang diinginkan, yang dilanjutnya dikeringkan. Alternatif lain, larutan pembentukan film dapat dituangkan kedalam area yang dibatasi dari suatu level permukaan yang menerima dan selanjutnya dikeringkan.

2.2.2.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Edible film

Dalam pembuatan edible film, faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah: suhu, konsentrasi polimer, dan plasticizer.

1. Suhu

Perlakuan suhu diperlukan untuk membentuk edible film yang utuh, tanpa adanya perlakuan panas kemungkinan terjadinya interaksi molekuler sangatlah kecil. Sehingga pada saat film dikeringkan akan menjadi retak dan berubah menjadi potongan-potongan kecil. Perlakuan panas diperlukan untuk membuat pati tergelatinisasi, sehingga terbentuk pasta pati yang merupakan bentuk awal dari edible film. Kisaran suhu gelatinisasi pati rata-rata 64,5

0

C - 700 C (McHugh 2003 dan Krochta, 1994)

2. Konsentrasi Polimer

Konsentrasi pati ini sangat berpengaruh, terutama pada sifat fisik edible film yang dihasilkan dan juga menentukan sifat pasta yang dihasilkan. Menurut


(41)

Krochta dan Johnson (1997), semakin besar konsentrasi pati maka jumlah polimer penyusun matrik film semakin banyak sehingga dihasilkan film yang tebal.

3. Plasticizer

Plasticizer ini merupakan bahan nonvolatile, yang ditambahkan ke dalam

formula film akan berpengaruh terhadap sifat mekanik dan fisik film yang terbentuk

karena akan mengurangi sifat intermolekuler dan menurunkan ikatan hidrogen internal. Plasticizer ini mempunyai titik didih tinggi dan penambahan plasticizer

dalam film sangat penting karena diperlukan untuk mengatasi sifat rapuh film yang

disebabkan oleh kekuatan intermolekuler ekstensif. Menurut Krochta dan Jonhson (1997), plasticizer polyol yang sering digunakan yakni seperti gliserol dan sorbitol.

Konsentrasi gliserol 1 - 2 % dapat memperbaiki karakteristik film.

2.3.Edible Film Anti Mikroba

Salah satu cara tradisional untuk mengendalikan pertumbuhan mikroba dalam produk makanan untuk meningkatkan keselamatan dan menunda kerusakan adalah dengan memasukkan bahan antimikroba atau menyemprot pada permukaan. Dalam aplikasi ini, efisiensi dari unsur antimikroba terbatas disebabkan migrasi tidak dikendalikan dalam makanan dan aktivasi parsial dari senyawa aktif karena interaksi dengan komponen makanan. Pada pengemas antimikroba, bahan antimikroba diinkorporasi ke dalam bahan pengemas, melapisi permukaan film pengemas atau satu sachet campuran antimikroba dapat ditambahkan ke dalam kemasan (Emiroglu et al, 2010). Ketika sistem pengemas makanan diberi aktifitas antimikroba, bahan pengemas akan membatasai atau menghalangi mikroba untuk tumbuh pada permukaan makanan, dengan demikian akan memperpanjang umur simpan dan meningkatkan keamanan terhadap mikroba tersebut. Antimikroba yang terdapat dalam bahan pangan dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), bakteristatik (menghambat pertumbuhan bakteri), fungisidal (membunuh kapang), fungistatik (menghambat pertumbuhan kapang) dan germisidal (menghambat germinasi spora bakteri). Mekanisme senyawa antimikroba dalam menghambat pertumbuhan bakteri dengan beberapa cara, yaitu (i) merusak struktur dinding sel dengan cara menghambat proses pembentukannya atau menyebabkan lisis pada dinding sel yang sudah terbentuk;


(42)

(ii) mengubah permeabilitas membran sitoplasma yang akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan atau matinya sel; (iii) mendenaturasi protein; (iv) menghambat kerja enzim didalam sel yang mengakibatkan terganggunya metabolisme atau dinding sel.

Edible film dapat digunakan sebagai pembawa zat aditif seperti antioksidan, antimikroba, pewarna, flavors. Metode yang berbeda dari aplikasi langsung seperti inkorporasi bahan antimikroba kedalam edible film atau edible coating memberikan efek yang fungsional pada permukaan makanan. Film antimikroba adalah pengemas yang dapat mengurangi, mencegah atau memperlambat pertumbuhan mikroorganisme patogenik didalam pembungkusan makanan dan bahan pengemas. Penelitian mengenai film antimikroba sedang dikembangkan pada saat ini untuk mengkontrol aktivitas mikribiologi pembusuk dari makanan yang tidak tahan lama. Beberapa bahan organik maupun anorganik aktif dapat dimasukkan dalam struktur polimer untuk mencegah mikroba pembusuk yang tidak diinginkan selama masa penyimpanan. Bahan antimikroba yang digunakan dalam aplikasi pada makanan antara lain dapat berupa minyak atsiri, asam organik, bacteriocin, enzim, alkohol dan asam lemak. Kemampuan minyak atsiri untuk melindungi makanan-makanan melawan mikroorganisme patogen dan perusak telah dilaporkan oleh beberapa para peneliti. Untuk memperoleh efektivitas aktivitas antimikroba dalam aplikasi pada makanan langsung, dibutuhkan konsentrasi minyak atsiri yang tinggi, yang mungkin berdampak pada flavor dan bau-bau yang tidak sesuai di produk. Oleh karena itu, riset terbaru perlu berfokus pada inkorporasi minyak atsiri kedalam edible film sebagai aplikasi pengganti di dalam pengemasan makanan. Pembuatan edible film antimikroba dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain yaitu dengan : 1. Penambahan sachetspads (kantong kecil) berisi bahan antimikroba volatil ke

dalam kemasan.

2. Inkorporasi secara langsung bahan antimikroba volatil dan yang tidak volatil ke dalam polimer.

3. Coating atau adsorpsi antimikroba pada permukaan polimer.

4. Immobilisasi antimikroba pada polimer dengan ikatan ion atau kovalen. 5. Penggunaan polimer yang memiliki sifat sebagai antimikroba. (Zuhra., 2012)


(43)

2.4.Plasticizer pada Edible Film

Untuk memperbaiki sifat plastik maka ditambahkan berbagai jenis tambahan atau aditif. Bahan tambahan ini sengaja ditambahkan dan berupa komponen bukan plastik yang diantaranya berfungsi sebagai plasticizer, penstabil pangan, pewarna, penyerap UV dan lain-lain. Pemlastis dalam konsep sederhana adalah merupakan pelarut organik dengan titik didih tinggi atau suatu padatan dengan titik leleh rendah yang ditambahkan kedalam resin seperti PVC yang keras dan kaku, sehingga akumulasi gaya intermolekuler pada rantai panjang akan menurun. Hal ini menyebabkan bagian rantai lebih mudah bergerak akibatnya kelenturan, kelunakan dan pemanjangannya akan bertambah (Yadav and Satoskar, 1997). dan bahan yang tadinya keras dan kaku akan menjadi lembut pada suhu kamar (Cowd, 1991). Plasticizer dapat menurunkan viskositas lelehan, suhu transisi gelas (Tg) dan modulus elastisitas produk tanpa mengubah sifat-sifat kimiawi bahan plastik tersebut (Meier, 1990).

Proses plasticizer, pada prinsipnya adalah terjadinya dispersi molekul plasticizer ke dalam fase polimer. Bilamana plasticizer mempunyai gaya interaksi dengan polimer, proses dispersi akan berlangsung dalam skala molekul dan terbentuk larutan polimer plasticizer sehingga keadaan ini disebut kompatibel. Interaksi antara plasticizer–polimer ini sangat dipengaruhi oleh sifat afinitas kedua komponen. Kalau afinitas polimer – plasticizer tinggi, maka molekul plasticizer akan terdifusi ke dalam ruang yang berada diantara rantai polimer dan mempengaruhi mobilitas rantai (Efendi,2000).

Persyaratan yang harus dipenuhi harus kompatibel dan parmanen. Pemlastis harus larut dengan polimer dan menghasilkan gaya intramolekul yang sama diantara dua komponen tersebut, sehingga akan tercapai kompatibilitas yang baik. Permanence dari pemlastis ditentukan oleh titik didih, berat molekul pemlastis dan laju defusi pemlastis dalam polimer. Efesiensi pemlastis juga ditentukan oleh kadar pemlastis yang harus ditambahkan kedalam resin polimer (Bilmeyer, 1984 and Rudin, 1982). Sifat fisik dan mekanis yang terplastisasi merupakan fungsi distribusi dari sifat dan komposisi masing – masing komponen dalam sistem, karenanya ramalan karakterisasi polimer yang terplastisasi mudah


(44)

dilakukan dengan variasi komposisi pemlastis. Secara umum variasi jumlah plasticizer akan efektif (mempunyai efek plastisasi) sampai bahan kompatibel.

Hasil analisis mekanik yang dilakukan menunjukkan bahwa membran – membran yang lebih kuat dan lebih liat (kenyal) dihasilkan ketika sedikit plasticizer yang digunakan dalam membran. Hasil uji plasticizer ini menunjukkan bahwa plasticizer yang mempunyai berat molekul yang relatif rendah akan memperbaiki kekuatan dan keliatan membran. Ketika sejumlah kecil plasticizer ditambahkan pada suatu polimer, plasticizer ini akan menyebabkan molekul polimer bergerak ke dalam konfigurasi energi yang lebih rendah. Dalam konfigurasi ini molekul – molekul menjadi kurang bergerak, dengan demikian akan meningkatkan kekuatan dan keliatan yang baik dari polimer. Sebaliknya jika plasticizer yang ditambahkan terlalu banyak molekul – molekul polimer banyak bergerak, akibatnya terjadi penurunan kekuatan dan keliatan polimer (Efendi, 2000)

2.4.1. Gliserol

Gliserol adalah salah satu plasticizer yang paling sering digunakan pada pembuatan film, disebabkan stabilitas dan kecocokan dengan rantai hidrofilik bio polimer. Fungsi utama gliserol adalah sebagai suatu zat yang berfungsi untuk menjaga kelembutan dan kelembaban. Gliserol dapat digunakan sebagai pelarut, pemanis, pengawet dalam makanan serta sebagai zat emollient dalam kosmetik. Berdasarkan sifatnya gliserol banyak digunakan sebagai plasticizer dan didalam industri resin untuk menjaga kelenturan.

Gliserol memiliki rumus kimia C3H5(OH)3. Gliserol merupakan trihidrat alkohol, dimana mempunyai dua gugus hidroksil primer dan satu gugus hidroksil sekunder. Gliserol alami merupakan hasil samping konversi lemak dan minyak dari splitting lemah yang dapat diperoleh 15-20% larutan gliserol dalam air. Proses transesterifikasi menghasilkan 75-90% larutan gliserol dalam alkohol. Proses ini bergantung pada perbandingan jumlah alkohol dan lemak atau pun minyak dan konsentrasi katalis (Nouredini and Medikondura, 1997)


(45)

Fungsi utama gliserol adalah sebagai humuctant (suatu zat yang berfungsi untuk menjaga kelembutan dan kelembaban). Gliserol juga dapat juga digunakan sebagai pelarut. Berdasarkan sifatnya, gliserol banyak digunakan sebagai zat pemlastis dan minyak pelumas dalam mesin pengolahan makanan dan minuman. Hal ini disebabkan karena gliserol tidak beracun. Gliserol juga dapat digunakan dalam industri resin untuk menjaga sifat kelenturan (Bommardeaux, 2006).

2.5.Karakteristik Edibel Film

Keberhasilan suatu proses pembuatan film kemasan dapat dilihat dari karakteristik film yang dihasilkan. Karakteristik utama yang diinginkan dari film adalah sifat laju transmisi uap air yang rendah dan kekuatan mekanis tinggi. Sifat Mekanik dari edible film (kekuatan tarik, uap air dan dapat menyerap air atau gas oksigen) berhubungan dengan peningkatan integritas mekanik dari makanan, pencegahan kehilangan kelembaban dan penampilan produk akhir. Suatu analisa yang lengkap sifat mekanik, permeabilitas dan biodegradasi adalah penting untuk meramalkan bagaimana film nantinya berfungsi di dalam sistim makanan.

2.5.1. Sifat Mekanik

Sifat mekanik dari suatu edible film sangat mempengaruhi hasil edible film yang dihasilkan Untuk mengetahui sifat-sifat mekanik dari suatu bahan harus dilakukan beberapa pengujian. Masing-masing pengujian memiliki cara yang berbeda-beda. Secara umum dapat dikatakan bahwa pembebanan secara statik dan pembebanan secara dinamik. Kuat tarik dan persen pemanjangan merupakan suatu sifat mekanis yang penting dari film. Kuat tarik merupakan kemampuan suatu bahan dalam menahan tekanan yang diberikan saat bahan tersebut berada dalam regangan maksimal. Peregangan maksimal menggambarkan tekanan maksimal yang dapat diterima oleh sampel. Persen pemanjangan adalah satu indikasi fleksibilitas film-film dan kemampuan meregang (sifat dapat-regang), yang ditentukan pada titik di mana film putus pada saat diregangkan dan dinyatakan sebagai persentase dari perubahan panjang spesimen akibat gaya yang diberikan.


(46)

Dalam pengujiannya, bahan uji ditarik sampai putus. Secara sederhana, kekuatan tarik diartikan sebagai beban maksiumum (Fmaks) yang dibutuhkan untuk memutuskan spesimen bahan, dibagi dengan luas penampang bahan. Karena selama dibawah pengaruh tegangan, spesimen mengalami perubahan bentuk (deformasi) maka defenisi kekuatan tarik dinyatakan sebagai besarnya beban maksimum yang dibutuhkan untuk memutuskan spesimen bahan, dibagi dengan luas penampang semula (Ao).

��=�����

��

Jiks didefinisikan besaran kemuluran (ɛ) sebagai nisbah pertambahan panjang terhadap panjang spesimen semula adalah:

��������� (�) =� − ��

�� �100%

Hasil pengamatan sifat kekuatan tarik dinyatakan dalam bentuk kurva tegangan, yakni nisbah beban dengan luas penampang (F/A) terhadap panjang bahan (regangan) yang disebut dengan kurva tegangan-regangan (Wirjosentono, 1995). Bentuk kurva tegangan-regangan ini merupakan karakteristik yang menunjukkan indikasi sifat mekanis bahan yang lunak, keras, kuat, lemah, rapuh dan liat.

Gambar 2.7 Kurva Tegangan – Regangan Bahan Polimer

T

ega

nga

n

Tegangan pada yield

Kemuluran pada yield

Kekuatan tarik akhir


(47)

2.5.2. Biodegradable

Plastik sintetik (non-biodegradable) sangat berpotensi menjadi material yang mengancam kelangsungan hidup di bumi ini. Untuk menyelamatkan lingkungan dari bahaya plastik, saat ini telah dikembangkan plastik biodegradable, artinya plastik ini dapat diuraikan kembali oleh mikroorganisme secara alami menjadi senyawa yang ramah lingkungan. Biasanya plastik konvensioanl berbahan dasar petroleum, gas alam atau batu bara. Sementara plastik biodegradable terbuat dari material yang dapat diperbaharui, yaitu dari senyawa senyawa yang terdapat dalam tanaman, misalnya pati, selulosa, kolagen, kasein, protein atau lipid yang terdapat dalam hewan. Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat biodegradabilitas kemasan setelah kontak dengan mikroorganisme, yakni : sifat hidrofobik, bahan aditif, proses produksi, struktur polimer, morfologi dan berat molekul bahan kemasan Plastik biodegradable berbahan dasar pati/amilum dapat didegradasi bakteri pseudomonas dan bacillus memutus rantai polimer menjadi monomer-monomernya.

Senyawa-senyawa hasil degradasi polimer selain menghasilkan karbondioksida dan air, juga menghasilkan senyawa organik lain yaitu asam organik dan aldehid yang tidak berbahaya bagi lingkungan. Plastik berbahan dasar pati/amilum aman bagi lingkungan. Sebagai pembanding, plastik tradisional membutuhkan waktu sekitar 50 tahun agar dapat terdekomposisi alam, sementara plasik biodgradable dapat terdekomposisi 10 hingga 20 kali lebih cepat. Hasil degradasi plastik ini dapat digunakan sebagai makanan hewan ternak atau sebagai pupuk kompos. Platsik biodegradable yang terbakar tidak menghasilkan senyawa kimia berbahaya. Kualitas tanah akan meningkat dengan adanya plastik biodegradable, karena hasil penguraian mikroorganisme meningkatkan unsur hara dalam tanah (Zuhra, 2012.)

Prosedur analitik untuk mengamati biodegradasi antara lain: pengamatan visual, perubahan sifat mekanik dan massa molar, pengukuran pengurangan berat (penentuan polimer residu), konsumsi O2 dan perubahan CO2, penentuan biogas,


(48)

pelebelan radio aktif, penurunan ukuran partikel, dan penentuan asam bebas. Standarisasi uji biodegradable terbagi berdasarkan lingkungan uji yakni: pengujian kompas, pengujian biodegradasi anerobik, pengujian biodegradasi di tanah (Muller, 2005)

2.5.3. Scanning Electron Microscopy (SEM)

SEM adalah adalah alat yang dapat membentuk bayangan permukaan spesimen secara mikroskopik. struktur permukaan suatu benda diuji dapat dipelajari dengan menggunakan scanning electron mikroskop karena jauh lebih mudah untuk mempelajari struktur permukaan ini secara langsung.

Dengan berkas sinar elektron difokuskan kesuatu titik dengan diameter sekitar 100 Å dan digunakan untuk melihat permukaan dalam suatu layar. Elektron-elektron dari benda diuji difokuskan dengan suatu elektroda elektrostatik pada suatu alat pemantul yang dimiringkan. Sinar yang dihasilkan diteruskan melalui suatu pipa sinar pantulan kesuatu alat pembesar foto dan sinyal yang dapat digunakan untuk memodulasikan terangnya suatu titik osikoskop yang melalui suatu layar dengan adanya persesuaian dengan berkas sinar elektron pada permukaan benda uji.

Sebagai pengertian awal, mikroskop elektron payaran menggunakan hamburan elektron-elektron (dengan E = 30 kV) yang merupakan energi datang dan elektron-elektron sekunder (dengan E = 100 eV) yang dipantulkan dari benda uji. Karena elektro-elektron sekunder mempunyai energi yang rendah, maka elektron-elektron tersebut dapat dibelokkan membentuk sudut dan menimbulkan banyangan topografi. Intensitas dari hamburan balik elektron yang cendrung tertimbun karena energi yang lebih tinggi maka tidak mudah dikumpulkan oleh sistem kolektor normal seperti yang digunakan pada elektron payaran. Jika elektron-elektron sekunder akan terkumpul, maka kisi didepan detektor akan mengalami kemiringn sekitar 200 V (Smallman, 1991).

Sampel yang dianalisa dengan teknik ini harus mempunyai permukaan dengan konduktivitas tinggi. Karena polimer mempunyai konduktivitas rendah maka bahan perlu dilapisi dengan bahan konduktor (bahan pengantar) yang tipis.


(49)

Bahan yang biasa digunakan adalah perak, tetapi juga dianalisa dalam waktu yang lama, lebih baik digunakan emas atau campuran emas dan palladium (Rusdi, 2008).

2.5.4. Differential Thermal Analysis (DTA)

Analisa thermal dalam pengertian luas adalah pengukuran sifat kimia fisika bahan sebagai fungsi suhu. Penetapan dengan metode ini dapat memberikan informasi pada kesempurnaan kristal, polimorfisma, titik lebur, sublimasi, transisi kaca, dehidrasi, penguapan, pirolisis, intraksi padat-padat dan kemurnian. Data semacam ini berguna untuk karakterisasi senyawa yang memandang kesesuaian, stabilitas, kemasan, dan pengawasan kualitas.

Differential Thermal Analysis merupakan teknik yang paling tua, dimulai oleh LeChatelier pada abad 19, tetapi pada sampai tahun 1960-an tidak diterapkan dalam bahan-bahan polimer. DTA merupakan suatu teknik/metode dimana suatu sampel polimer dan referensi inert dipanaskan, biasanya dalam atmosfer nitrogen, dan kemudian transisi-transisi termal dalam sampel tersebut dideteksi dan diukur. Pemengang sampel yang paling umum dipakai adalah cangkir alluminium sangat kecil (emas atau grafit dipakai untuk analisis-analisis diatas 800oC), referensi berupa cangkir kosong atau cangkir yang mengandung bahan inert dalam daerah temperatur yang diingikan, misalnya alluminium bebas air. Dengan DTA, sampel dan referensi keduanya dipanaskan oleh sumber pemanasan yang sama, dan dicatat beda temperaturnya (ΔT) antara keduanya (Stevens, 2007).

2.5.5.Infra Merah (IR)

Atom molekul bergetar dengan berbagai cara, tetapi pada tingkat energi yang berbeda. Jika kita perlakukan atom-atom sebuah molekul beratom banyak sebagai bola yang terangkai oleh pegas yang fleksibel, hukum gerak menyatakan bahwa akan ada 3n-6 cara (ragam) geratan. Energi getaran rentang untuk molekul organik bersesuaian dengan radiasi infrahmerah dengan bilangan gelombang antara 1200 dan 4000 cm-1. Bagaian tersebut dari spektrum inframerah khususnya


(50)

berguna untuk mendeteksi adanya gugus fungsi dalam senyawa organik. Daerah ini sering dinyatakan sebagai gugus fungsi karena kebanyakan gugus fungsi yang dianggap penting oleh para kimiawan organik mempunyai serapan khas dan nisbi tetap pada panjang gelombang tersebut (Pine, 1980).

Spektroskopi inframerah dapat digunakan untuk mengkarakterisasi gugus fungsi suatu polimer. Indentifikasi dari sampel polimer dapat dibuat dengan menggunakan daerah sidik jari, dimana identifikasi sampel pada akhirnya mungkin satu polimer untuk mempertunjukkan spektrum yang sama persis seperti yang lain. Daerah ini terletak dalam jangka 6,67 sampai 12,50 µm (Cowie, 1973)

Kelebihan FT-IR mencangkup persyaratan ukuran sampel yang sedikit, perkembangan spektrum yang cepat, dan karena instrumen ini memiliki sistem komputerisasi terdeteksi, kemampuan untuk menyimpan dan menipulasi spektrum. FTIR sangat berguna dalam penelitian struktur polimer. Karena spektrum-spektrum bias di-scan, disimpan, dan transformasikan dalam hitungan detik. Teknik ini memudahkan penelitian reaksi-reaksi polimer seperti degradasi dan ikatan silang (Stevens, 2007)

2.5.6.Swelling

Fenomena ini merupakan mekanisme dimana gel dapat menyerap cairan dari system sehingga volume pada gel dapat bertambah dan airnya akan terperangkap dalam matriks yang terbentuk pada gel. Swelling merupakan kebalikan dari fenomena syneresis dimana terjadi penyerapan cairan oleh suatu gel dengan diikuti oleh peningkatan volume. Gel juga dapat menyerap sejumlah cairan tanpa peningkatan volume yang dapat diukur, ini disebut inibisi. Cairan-cairan yang dapat mengakibatkan penggembungan adalah cairan-cairan yang dapat mensolvasi suatu gel (Martin, 1993).

Daya larut merupakan salah satu sifat fisik edible film yang menunjukkan

persentase berat kering terlarut setelah dicelupkan dalam air selama 24 jam (Gontard

et al, 1993). Daya larut film sangat ditentukan oleh sumber bahan dasar pembuatan film. Edible film berbahan dasar pati tingkat kelarutannya dipengaruhi oleh ikatan

gugus hidroksi pati. Makin lemah ikatan gugus hidroksil pati, makin tinggi kelarutan


(51)

dikonsumsi. Kadang-kadang pati mengalami masalah terhadap kelarutannya, dalam hal ini setelah mengalami gelatinisasi. Kelarutan edible film juga dipengaruhi oleh

gliserol, selain sebagai plasticizer. Sedangkan Flores et al (2007) menyatakan bahwa

kelarutan film adalah sama pada semua cara (metode) pembuatan film, tetapi

kelarutan meningkat secara signifikan jika menggunakan kalium sorbat dalam film


(52)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3. 1. Bahan dan Alat 3.1.1. Bahan

1. Natrium Alginat Wako

2. CaCl2. H2O E’Merek

3. CaCl2 0,1M 4. Aquadest

5. Gliserol E’Merek

6. Potato Dextrose Agar (PDA) E’Merek 7. Jamur Aspergillus niger sp

3.1.2. Alat – alat

1. Gelas ukur 250 ml Pyrex

2. Beaker gelas 250 ml Pyrex

3. Cawan petri

4. Erlenmayer 250 ml Pyrex

5. Magnetik stirer 6. Neraca analitik 7. Jangka sorong 8. Pipet tetes

9. Labu takar 50 ml Pyrex

10. Tabung reaksi Pyrex

11. Oven 12. Plat kaca

13. DTA (Defferential Thermal Analysis)

14. SEM (Scanning Electron Microscope) JOEL JSM-6360LA–EDX JED-2200

15. Spektrometer IR (Infrah Read)


(53)

3.2. Prosedur Penelitian

3.2.1. Pembuatan Edible Film Kalsium Alginat

Na-alginat ditimbang sebanyak 2 g pada neraca analitik kemudian dilarutkan kedalam 100 ml aquadest sambil diaduk dengan magnetik stirer sampai merata kemudian didiamkan selama 1 malam. Larutan alginat tersebut kemudian dituangkan ke dalam plat kaca yang mempunyai penyangga dan didiamkan selama 60 menit hingga permukaan menjadi rata. Plat kaca yang mengandung larutan alginat diimersikan kedalam larutan CaCl2 0,1M, kemudian didiamkan selama 24 jam hingga larutan alginat tersebut terkoagulasi. Setelah koagulan terbentuk kemudian diimersikan kembali kedalam air dan dikeringkan pada suhu 40oC sehingga diperoleh lapisan tipis edible film kalsium alginat yang transparan pada plat kaca, kemudian edible film kalsium alginat yang diperoleh dikarakterisasi meliputi: ketebalan (Thickness), keteguhan tarik (tensile strength), elongation (%Perpanjangan), DTA (Differensial Thermal Analysis), SEM (Scanning Electron Microscopy), swelling, biodegradable dan spektroskopi FT-IR. Dengan cara yang sama dikerjakan pembuatan dan karakterisasi untuk edible film kalsium alginat menggunakan pemlastis gliserol 10%, 20% dan 30%.

3.3. Karakterisasi Edible Film

3.3.1. Uji Ketebalan Edible Film

Ketebalan film diukur dengan menggunakan alat micrometer. Pengukuran dibuat pada lima lokasi yang berbeda pada film kemudian dihitung rata-ratanya.

3.3.2. Uji Keteguhan Tarik (ASTM D 638, 1991)

Sampel yang akan diuji terlebih dahulu dikondisikan dalam ruang ke dalam oven. Sampel yang akan diuji dipotong sesuai standar. Pengujian dilakukan dengan cara kedua ujung sampel dijepit mesin penguji tensile. Selanjutnya dicatat panjang awal dan ujung tinta pencatat diletakkan pada posisi 0 pada grafik. Knob start dinyalakan dan alat akan menarik sampel sampai putus dan dicatat gaya kuat tarik


(54)

(F) dan panjang setelah putus. Selanjutnya dilakukan pengujian lembar berikutnya. Kuat tarik ditentukan menggunakan perhitungan sebagai berikut :

������ℎ�������(���)

(��2) =

������������� (�)

������������� (�)

3.3.3. Uji Persen Pemanjangan (% Elongation) (ASTM D 638, 1991)

Elongation menunjukkan perubahan panjang film maksimum saat memperoleh gaya tarik sampai film putus dibandingkan dengan panjang awalnya. Berdasarkan analisis statistik, ketebalan tidak berpengaruh nyata terhadap elongation (Fhit = 3, 863, p = 0,056 ). Pengukuran elongation dilakukan dengan cara yang sama dengan pengujian kuat tarik. Elongation dinyatakan dalam persentase melalui perhitungan berikut:

��������� (%) =�������������ℎ����� − �����������

����������� � 100%

D L G

19 mm 11 mm

AO We W WO

R 4 mm T

50 mm 155 mm 165 mm Lo


(55)

3.3.4. Uji Differential Thermal Analysis (DTA)

Analisa DTA ini bertujuan untuk mengetahui perubahan termal dari suatu bahan sebagai fungsi temperatur dengan mengukur perbedaan temperatur diantara sampel dan bahan pembanding yang stabil terhadap panas seperti Alumina (Al2O3). Analisa ini dilakukan di laboratorium mikroskop elektron PTKI medan. Dengan menggunakan temperatur 1-700oC, laju differential thermal analysis kurang lebih 250 µv, kecepatan pemanasan yaitu 10oC/ menit, dan kecepatan pembacaan grafik yaitu 2,5 mm/ menit. Dimana pembacaan grafik dihitung dari tiga baris dari batas maksimumnya yaitu 15 mm.

3.3.5. Uji Morfologi Permukaan Edible Film (ASTM E 2015, 1991)

Prosedur pengujian sampel yang dilakukan di Laboratorium Geologi Quarter Pusat Survei Geologi, Bandung dengan Menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope) jenis JOEL JSM-6360 LA) -EDX (JED-2200 Series

3.3.5.1. Pelaksanaan Preparasi Sampel

Pada dasarnya semua jenis batuan dan mineral dapat diuji dengan menggunakan SEM. Pada pelaksanaan praktek kerja ini sampel yang diuji adalah berbentuk edible film kalsium alginat dan dalam preparasi sampel ini hanya terbatas pada preparasi sampel dengan coating saja.

Langkah-langkah dalam preparasi sampel dalam bentuk edible film dengan coating adalah :

1. Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan pada kondisi siap pakai. 2. Pemotongan sampel edible film terpilih yang berukuran ± 0,3 cm x 0,2 cm.

Didalam pemotongan sampel diusahakan untuk lebih rapih yaitu mempunyai bidang yang rata, karena akan berpengaruh terhadap hasil uji yaitu berhubungan dengan fokus yang nantinya akan mempengaruhi hasil yang tidak rata jika dilakukan pengujian khususnya secara area analysis


(1)

Lampiran 3

Rumus Perhitungan %Swelling %�=� − ��

�� �100%

Dimana:

%S = Persentase Pengembangan Edible Film

P = Berat Edible Film Setalah Dicelupkan pada Selang Waktu Tertentu Po = Berat Edible Film Kering

Contoh:

Perhitungan %Swelling dari Edible Film Kalsium Alginat tanpa Gliserol Diman: P = 1,37

Po = 1,33

���������� 5 ����� %�=1,37−1,33

1,33 �100% = 3,007%

Dilakukan perhitungan yang sama untuk waktu 10, 20, 30, 60, 90, dan 120 menit dan juga untuk edible film kalsium alginat + pemlastis gliserol 10%, 20% dan 30%.


(2)

Gmbar 2. Grafik Hasil Uji DTA Edible Film Kalsium Alginat Tanpa Gliserol


(3)

Lampiran 5

Grafik Hasil Uji DTA Edible Film Kalsium Alginat + 10% Gliserol


(4)

Gambar 4: Grafik Hasil Uji DTA Edible Film Kalsium Alginat + 20% Pemlastis Gliserol


(5)

Lampiran 7

Grafik Hasil Uji DTA Edible Film Kalsium Alginat + 30% Gliserol


(6)

Gambar 8: Proses biodegradible edible film kalsium alginat tanpa gliserol dengan edible film kalsium alginat + pemlastis gliserol dengan

menggunakan jamur Aspergillus niger sp.

Edible film kalsium alginat tanpa gliserol sebelum diletakkan jamur Aspergillus niger sp

Edible film kalsium alginat tanpa gliserol setelah 18 hari

Edible film kalsium alginat + gliserol sebelum diletakkan jamur Aspergillus niger sp

Edible film kalsium alginat + gliserol setelah 18 hari