BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Morfologi Kampung Nelayan Belawan Medan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Morfologi
Dalam beberapa literatur, pengertian morfologi diartikan sebagai sebuah ilmu yang mempelajari bentuk, struktur, atau proses terjadinya bentuk dari bagian, unsur- unsur, atau elemen-elemen. Menurut Loeckx dan Vermeulen (dalam Adriana, 2007), morfologi adalah ilmu yang mempelajari bagaimana setiap elemen satuan membangun sebuah kota, bagaimana sebuah individual project berkontribusi pada collective project .
Morfologi terdiri dari dua suka kata yaitu morf yang berarti bentuk dan logos yang berarti ilmu. Secara sederhana morfologi kota berarti ilmu yang mempelajari produk bentuk-bentuk fisik secara logis. Morfologi merupakan pendekatan dalam memahami bentuk logis sebuah kota sebagai produk perubahan sosio-spatial.
Disebabkan karena setiap karakteristik sosial-spatial di setiap tempat berbeda-beda maka istilah morfologi sangat erat kaitannya dengan istilah tipologi. Secara sederhana, Markus Zahn memberi pengertian istilah morfologi sebagai formasi sebuah objek bentuk kota dalam skala yang lebih luas. Morfologi biasanya digunakan untuk skala kota dan kawasan. Sedangkan tipologi sebagai klasifikasi watak atau karakteristik dari formasi objek-objek bentukan fisik kota dalam skala lebih kecil.
9 Istilah tipologi lebih banyak digunakan untuk mendefinisikan bentuk elemen-elemen kota seperti jalan, ruang terbuka hijau, bangunan dan lain sebagainya.
Menurut FDK Ching, (dalam Adriana, 2007), morfologi menyangkut kualitas gambaran ruang, dalam konteks wujud pembentuk ruang yang dapat dibaca melalui pola, hirarki, dan hubungan ruang satu dengan ruang lainnya. Morfologi lebih menekankan pada pembahasan bentuk geometrik sehingga untuk memberi makna pada ungkapan ruangnya harus dikaitkan dengan nilai ruang tertentu. Nilai ruang dapat disebabkan oleh hirarki ruang yaitu bagian yang menunjukkan adanya derajat kepentingan baik secara fungsional, formal maupun simbolik. Sistem tata nilai ruang bisa tercipta dengan adanya besaran atau ukuran yang berbeda, bentuk yang unik dan lokasi.
Menurut Tremlett, George (dalam Adriana, 2007), prinsip dari morfologi dalam konteks lingkungan permukiman adalah menghubungkan antara proses pertumbuhan dan pembentukan elemen-elemen fisik dengan elemen non fisik yang melatarbelakangi perwujudan bentuk ruang.
Menurut Aldo Rossi (dalam Widiangkoso, 2002), morfologi adalah mendeskripsikan suatu urban artefac. Pemahaman dari teori ini adalah tentang arti morfologi yang merupakan penggambaran proses atau perkembangan artefak sejarah yang terjadi di kawasan penelitian.
Menurut Schultz (dalam Widiangkoso, 2002), studi morfologi pada dasarnya menyangkut kualitas figurasi dalam konteks bentuk dari pembatasan ruang. Schultz mengatakan bahwa sistem figurasi ruang dapat dihubungkan melalui pola, hirarki ruang, maupun hubungan ruang yang satu dengan ruang lainnya.
Menurut A. Loeckx (dalam Widiangkoso, 2002), studi morfologi merupakan pertalian struktural antara tipe-tipe peraturan dari koneksi, interrelasi, posisi, pendimensian, memfungsikan dan sebagainya, yang mengatur jalinan dari tipe-tipe yang berbeda ke dalam jaringan-jaringan organisasi.
Menurut Smailes (dalam Widiangkoso, 2002), terdapat 3 (tiga) unsur morfologi kota yaitu, unsur penggunaan lahan (land use), pola-pola jalan (street
plan/layout) , dan tipe-tipe bangunan.
Berdasarkan teori-teori yang dikemukakan, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa morfologi adalah penelusuran proses perkembangan suatu kawasan yang berkaitan dengan artefak sejarah di lokasi penelitian yang pada dasarnya menyangkut kualitas figurasi dalam konteks bentuk dari pembatas ruang, dan bentuk figurasi tersebut dapat dihubungkan melalui unsur tata ruang berupa tata guna lahan, pola-pola jalan, dan unsur tata bangunan berupa tipe-tipe bangunan.
2.2 Pengertian Kampung
Kampung, diambil dari kata Melayu, awalnya merupakan terminologi yang dipakai untuk menjelaskan sistem permukiman pedesaan. Istilah kampung seringkali dipakai untuk menjelaskan dikotomi antara kota dan desa. Kota diartikan dengan modernitas/kemajuan sementara desa atau kampung diartikan dengan keterbelakangan dan ketidakmajuan. Dalam bahasa Jawa, istilah ”kampungan” seringkali dipakai untuk menjelaskan cara berpikir dan perilaku yang memalukan, jauh dari etika priyayi, dan tidak layak disandingkan dengan budaya priyayi di perkotaan.
Kampung, seringkali dikontraskan atau didikotomikan dengan perumahan ”gedongan” atau sekarang disebut sebagai perumahan ”real estate”. Kampung adalah untuk mereka yang miskin, warga biasa atau wong cilik, sedangkan perumahan ”gedongan” atau ”real estate” untuk mereka yang kaya dan mapan.
Memang, secara fisik, sebagian kampung dicirikan dengan ketidakteraturan, ketidakseragaman, ketidakmapanan, dan bahkan mungkin ketidakamanan serta ketidaksehatan. Dalam banyak hal, kekhasan kampung justru terletak pada pola-pola fisik yang beragam, organik, seringkali surprizing, di luar kadar kreatifitas arsitek yang jenius sekalipun. Setiap kampung adalah unik, karena tiap kampung merepresentasikan kekhasan sejarah, kemampuan, usaha, perjuangan, dan bahkan jiwa merdeka warganya.
Menurut Budiharjo (1992), kampung merupakan kawasan permukiman kumuh dengan ketersediaan sarana umum buruk atau tidak ada sama sekali, kerap kawasan ini disebut ‘slum’ atau ‘squater’. Turner(1972) menyatakan kampung merupakan lingkungan tradisional khas, ditandai ciri kehidupan yang terjalin dalam ikatan kekeluargaan yang erat, yang merupakan bentuk permukiman yang unik, tidak dapat disamakan dengan ‘slum’ dan ‘squater’ atau juga disamakan dengan permukiman penduduk berpenghasilan rendah. Perbedaan yang mendasari tipologi permukiman kumuh adalah dari statuskepemilikan tanah dan Nilai Ekonomi Lokasi (NEL).
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan, bahwa kampung kota adalah suatu bentuk permukiman di wilayah perkotaan yang khasIndonesia dengan ciri antara lain: penduduk masih membawa sifat dan prilakukehidupan pedesaan yang terjalin dalam ikatan kekeluargaan yang erat, kondisi fisik bangunan dan lingkungan kurang baik dan tidak beraturan,kerapatan bangunan dan penduduk tinggi, sarana pelayanan dasar serbakurang, seperti air bersih, saluran air limbah dan air hujan, pembuangansampah dan lainnya.
Pembangunan perumahan/permukiman yang sedemikian pesatnya menyebabkan banyak pertumbuhan permukiman yang tidak teratur dan terencana dengan baik. Rumah berperan sangat penting dalam kehidupan manusia. Rumah menjadi tempat dimana nilai-nilai sebuah keluarga berlangsung, menjadi ruang dimana manusia mengekspresikan cara melakoni kehidupan, berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang-orang terdekatnya. Rumah juga dijadikan alat untuk menampilkan citra dimana nilai norma dan tradisi lebih berpengaruh dalam citra, bentuk dan ruangnya (Rapoport, 1969).
2.3 Permukiman yang Tumbuh Secara Organik
Sebuah permukiman tercipta dan berkembang secara spontan, diatur menurut pendapat masyarakat secara umum yang sangat dipengaruhi oleh adat istiadat, kepercayaan, agama, sesuai dengan kondisi alamiah sehingga lahirlah suatu pola permukiman organik, dengan karakteristik berorientasi pada alam dan mempunyai kohesi yang kuat.
Pola sebuah kota organik merupakan perwujudan dari bentuk kota ‘unplanned
city’ , yaitu kota yang tumbuh tanpa perencanaan formal, terbentuk dengan sendirinya
menurut kaidah, norma, dan kebudayaan yang berlaku di masyarakat yang menempatinya (Spiro Kostof, 2001).
Pembentukan kota yang tidak direncanakan secara formal ini menimbulkan ketidakteraturan bentuk kota, namun tetap harmonis dan merupakan cerminan dari keinginan dan pemikiran masyarakat. Kota yang lahir, tumbuh dan berkembang karena aspirasi masyarakat, dan unplanned city merupakan produk masyarakat yang benar-benar murni dan telah disepakati.
Menurut Spiro Kostof (2001), faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan
organic pattern meliput i: 1.
Topografi (the role of topography), pola kota organik selalu mengikuti topografi yang ada, tidak merubah ataupun memodifikasinya. Keadaan topografi yang beragam pada satu wilayah akan menyebabkan ketidakteraturan pola kawasan, dan ketidakteraturan pola inilah yang menjadi salah satu indikator pola kota organik.
2. Pembagian Lahan (land division), pembagian lahan dalam usaha pemanfaatannya seringkali mengikuti keinginan masyarakat sehingga berdampak pada terjadinya ketidakteraturan pola kawasan hingga akhirnya terbentuk pola organik.
3. Synoecism, gejala synoecism menunjukkan suatu pola organik jika dilihat dari dua hal yaitu terbentuknya kawasan karena keinginan dan kesepakatan masyarakat setempat, dan terbentuknya pusat kegiatan.
4. Hukum dan Aturan Sosial (the law and social order), kaidah dan aturan sosial yang berlaku di masyarakat yang menciptakan suatu pola tertentu.
Faktor alam dan faktor aspirasi masyarakat tersebut saling dikombinasikan dan diinteraksikan untuk menghasilkan suatu tata ruang kota yang harmonis antara kehidupan manusia dengan lingkungan alamnya. Perpaduan tersebut menghasilkan bentuk yang khas, yang memiliki ciri-ciri: irregular, non geometrik (dalam skala kecil), organik, dan fleksibel.
Sifat-sifat kawasan yang tumbuh secara organik, antara lain mempunyai hubungan sosial masyarakat yang sangat erat, rasa kebersamaan yang tinggi, terjalinnya hubungan yang harmonis antara manusia dan alam, dan terjadinya kelestarian lingkungan.
Konteks perkembangan permukiman di perkotaan sebagai bagian dari perkembangan perkotaan secara keseluruhan yang dipengaruhi oleh perkembangan berbagai faktor seperti sosial budaya, ekonomi, politik, teknologi dan keadaan alam. Permukiman tidak teratur (unplanned settlement) terbagi menjadi 2 (dua) tipe yaitu tipe kampung dan tipe rumah liar, dimana perbedaan utamanya terletak pada status legalitas baik tanah maupun bangunannya.
Aktifitas dan pola pergerakan manusia sangat mempengaruhi terbentuknya suatu permukiman, karena kawasan dimana manusia tinggal dan melakukan aktifitasnya merupakan bentuk visual sebagai wadah atau tempat. Terbentuknya suatu permukiman sangat dipengaruhi oleh aktifitas manusia di dalamnya yang meliputi bidang politik, ekonomi, sosial budaya, agama dan faktor lain yang tak kalah pentingnya adalah faktor alam seperti geografi, geologi, topografi, demografi dan lain-lain.
Terbentuknya permukiman merupakan pengalaman manusia dalam menciptakan ruang bagi kehidupan pada suatu kondisi tapak tertentu. Pada kenyataannya, pola permukiman berkembang mengikuti kebutuhan dan aktifitas yang terjadi pada penduduknya. Hal inilah kemudian yang akan mempengaruhi munculnya macam-macam pola permukiman.
Pola suatu kawasan dapat sangat berbeda, karena perbedaan tekstur pola-pola tersebut mengungkapkan perbedaan rupa kehidupan dan kegiatan masyarakat perkotaan secara arsitektural. Maksudnya ialah dengan menggunakan analisis pola- pola tekstur perkotaan dan menemukan perbedaan data pada pola tersebut, akan didapatkan informasi yang menunjukkan ciri khas tatanan kawasan tersebut dan lingkungannya. Namun dalam kenyataannya, yang sering terjadi ketika menganalisis suatu kawasan perkotaan adalah kurang jelasnya pola tempat tersebut.
Dalam penelitian mengenai morfologi Kampung Nelayan Belawan Medan ini, manfaat teori bentuk permukiman kota adalah menunjukkan bahwa tercipta dan berkembangnya suatu permukiman karena adanya pergerakan dan aktifitas masyarakat di kawasan tersebut.
2.4 Permukiman di Pesisir Pantai
Menurut Iwan Suprijanto (2003) secara garis besar karakteristik umum permukiman tepi air antara lain: a.
Karena belum adanya panduan penataan permukiman yang baku, kawasan permukiman di atas air cenderung rapat dan kumuh.
b.
Tipologi bangunan menggunakan struktur dan konstruksi tradisional konvensional seperti rumah-rumah kayu dengan struktur sederhana.
c.
Karakteristik penduduk tergolong ekonomi lemah terbelakang, dengan pendidikan yang relatif terbatas sehingga pengetahuan akan perumahan sehat cenderung masih kurang.
d.
Dampak dari kondisi diatas terjadi kecenderungan akan berbagai kebiasaan tidak sadar lingkungan seperti: sifat mengotori dan mencemari sumber- sumber air, mencemari lingkungan yang berpengaruh terhadap air permukaan, dan memungkinkan penyebaran penyakit melalui pembuangan air limbah, terbatasnya teknologi terapan untuk penanganan masalah- masalah di atas seperti sistem pembuangan air limbah, sampah, pengelolaan air bersih . Kay dan Alder (1999) menyatakan “ The band of dry land adjancent ocean
space (water dan submerged land) in wich terrestrial processes and land uses
directly affect oceanic processes and uses, and vice versa” . Diartikan bahwa wilayah
pesisir adalah wilayah yang merupakan tanda atau batasan wilayah daratan dan wilayah perairan yang mana proses kegiatan atau aktivitas bumi dan penggunaan lahan masih mempengaruhi proses dan fungsi kelautan.
Menurut Suprijanto (2003) wilayah pesisir adalah wilayah pertemuan antaradaratan dan laut ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasangsurut, angin laut, dan perembesan air asin. Sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di daratseperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena kegiatanmanusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.
Dari pengertian-pengertian diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwawilayah pesisir merupakan wilayah yang unik karena merupakan tempat percampuranantara daratan dan lautan, hal ini berpengaruh terhadap kondisi fisik dimana padaumumnya daerah yang berada di sekitar laut memiliki kontur yang relatif datar.
Adanya kondisi seperti ini sangat mendukung bagi wilayah pesisir dijadikan daerahyang potensial dalam pengembangan wilayah keseluruhan. Hal ini menunjukan garisbatas nyata wilayah pesisir tidak ada. Batas wilayah pesisir hanyalah garis khayalanyang letaknya ditentukan oleh kondisi dan situasi setempat. Di daerah pesisir yanglandai dengan sungai besar, garis batas ini dapat berada jauh dari garis pantai.Sebaliknya di tempat yang berpantai curam dan langsung berbatasan dengan lautdalam, wilayah pesisirnya akan sempit.
1. Karakteristik Fisik Lingkungan.
a. Secara topografi, merupakan pertemuan antara darat dan air, dataran landai, serta sering terjadi erosi, abrasi dan sedimentasi yang bisa menyebabkan pendangkalan badan perairan. Topografi tanah dapat dibedakan atas 3 (tiga) kategori, yaitu:
1. Daerah perbukitan dengan kemiringan dataran 20 - 60 % (di darat);
2. Daerah relatif datar/kemiringan 0 - 20 % (di darat, termasuk daerah pasang surut);
3. Daerah rawa atau di atas air.
b. Secara hidrologi merupakan daerah pasang surut, mempunyai air tanah tinggi, terdapat tekanan air laut terhadap air tanah, serta merupakan daerah retensi sehingga run-off air rendah.
c. Secara geologi, sebagian besar mempunyai struktur batuan lepas, tanah lunak, serta rawan bencana tsunami.
d. Secara penggunaan lahan memiliki hubungan intensif antara air dan elemen kota.
e. Secara klimatologi memiliki dinamika iklim, cuaca, angin, suhu dan kelembaban tinggi.
f. Pergeseran fungsi badan perairan laut sebagai akibat kegiatan di sekitarnya menimbulkan beberapa permasalahan lingkungan, seperti pencemaran.
2. Karakteristik Perumahan dan Permukiman.
a. Sejarah awal keberadaan lingkungan perumahan/permukiman di kota pantai dapat dibedakan atas 2 (dua) kronologis, yaitu:
1. Perkembangan yang dimulai oleh kedatangan sekelompok etnis tertentu di suatu lokasi di pantai, yang kemudian menetap dan berkembang secara turun-temurun membentuk suatu klan/komunitas tertentu serta cenderung bersifat sangat homogen, tertutup dan mengembangkan tradisi dan nilai-nilai tertentu, yang pada akhirnya merupakan karakter dan ciri khas permukiman tersebut.
2. Perkembangan sebagai daerah alternatif permukiman, karena peningkatan arus urbanisasi, yang berakibat menjadi kawasan liar dan kumuh perkotaan.
b. Tahapan perkembangan kawasan perumahan/permukiman di kota pantai adalah:
1. Tahap awal ditandai oleh dominasi pelayanan kawasan perairan sebagai sumber air untuk keperluan hidup masyarakat. Kota masih berupa suatu kelompok permukiman di pantai dan di atas air.
2. Ketika kota membutuhkan komunikasi dengan lokasi lainnya (kepentingan perdagangan) maka kawasan perairan merupakan prasarana transportasi, dan dapat diduga perkembangan fisik kota yang cenderung memanjang di pantai (linier).
3. Perkembangan selanjutnya ditandai dengan semakin kompleksnya kegiatan fungsional, sehingga intensitas kegiatan di sekitar perairan makin tinggi. Jaringan jalan raya menawarkan lebih banyak kesempatan mengembangkan kegiatan. Walaupun begitu, jenis fungsi perairan tidak berarti mengalami penurunan, bahkan mengalami peningkatan (makin beragam).
c. Kawasan permukiman di atas air cenderung rapat (kepadatan bangunan tinggi dan jarak antar bangunan rapat) dan kumuh (tidak teratur, kotor, dll).
Dominasi kawasan perumahan/permukiman nelayan, yang umumnya kumuh dan belum tertata.
d. Pola perumahan dipengaruhi oleh keadaan topografi, dibedakan atas 3 (tiga), yaitu:
1. Daerah perbukitan cenderung mengikuti kontur tanah;
2. Daerah relatif datar cenderung memiliki pola relatif teratur, yaitu pola Grid atau Linear dengan tata letak bangunan berada di kiri-kanan jalan atau linear sejajar dengan (mengikuti) garis tepi pantai;
3. Daerah atas air pada umumnya cenderung memiliki pola cluster, yang tidak teratur dan organik. Pada daerah-daerah yang telah ditata umumnya menggunakan pola grid atau linear sejajar garis badan perairan.
e. Orientasi bangunan semula umumnya menghadap perairan sesuai orientasi kegiatan berbasis perairan. Perkembangan selanjutnya orientasi kegiatan ke darat semakin meningkat (bahkan lebih dominan), maka orientasi bangunan cenderung menghadap ke arah darat dan lebih mempertimbangkan aspek fungsional dan aksesibilitas.
f. Secara arsitektural, bangunan pada permukiman di kota pantai dibedakan atas:
1. Bangunan di atas tanah;
2. Bangunan panggung di darat;
3. Bangunan panggung di atas air;
4. Bangunan rakit di atas air (pernah ada dan saat ini sudah jarang dijumpai); Arsitektural bangunan dibuat dengan kaidah tradisional maupun modern, sesuai dengan latar belakang budaya dan suku/etnis masing-masing.
g. Tipologi bangunan menggunakan struktur dan konstruksi sederhana, tradisional dan konvensional, yang kurang memperhitungkan pengaruh angin, tsunami, gempa, dll.
h. Sering terjadinya kebakaran karena kelalaian, penggunaan bahan/peralatan berbahaya dan mudah terbakar, serta belum tersedianya sarana dan pedoman penanggulangan kebakaran, khususnya untuk perumahan di atas air.
Kawasan pesisir rentan dengan berbagai permasalahan. Adapun permasalahan utama kawasan pesisir pantai:
1. Permasalahan Fisik Lingkungan.
a.
Adanya abrasi dan akresi menyebabkan pengikisan dan sedimentasi sehingga garis pantai sering berubah, yang mengganggu aktivitas yang sedang maupun akan berlangsung. Sedimentasi mengakibatkan pendangkalan sehingga transportasi air terganggu.
b.
Muka air tanah tinggi dan merupakan fungsi retensi menyebabkan sering terjadi genangan banjir, run-off rendah, lingkungan korosif, serta tingginya intrusi air laut ke air tanah. Arus pasang surut menimbulkan masalah pendaratan kapal.
c.
Secara geologis, kawasan tersebut rawan bencana tsunami serta muka tanah turun.
d.
Tata guna lahan dan pembangunan fisik yang tidak sesuai karakteristik area pantai akibat adanya kompetisi lokasi yang berhadapan dengan air. Hal ini mengakibatkan konflik kepentingan antara kawasan konservasi dan komersial.
e.
Dilihat dari kondisi klimatologinya, kawasan tersebut mempunyai dinamika iklim, cuaca, angin, dan suhu, serta mempunyai kelembaban tinggi.
f.
Pergeseran fungsi tepi laut/pantai mengakibatkan timbulnya:
1. Gejala erosi tanah yang terus meningkat sehingga terjadi pedangkalan perairan.
2. Jumlah air permukaan menuju badan air naik, sehingga timbul banjir.
3. Pertentangan kepentingan.
4. Meningkatnya pencemaran air berakibat pada penurunan hasil perikanan.
5. Potensi perairan sebagai objek wisata sukar dimanfaatkan karena kecenderungan menurunnya estetika lingkungan.
6. Terjadi kecenderungan kenaikan muka air laut sebagai bagian dari pemanasan global (global warming) dan dampak pembangunan pada kawasan tepi laut/pantai secara tidak berwawasan lingkungan.
7. Potensi perairan sebagai sumber air bersih penduduk menjadi tidak ekonomis lagi karena membutuhkan biaya tinggi untuk proses penjernihannya.
2. Permasalahan Perumahan dan Permukiman.
a.
Sebagian besar perumahan nelayan dan perumahan di atas air belum memenuhi standar persyaratan kesehatan, kenyamanan, keamanan, ketertiban, keindahan dan berwawasan lingkungan.
b.
Kondisi lingkungan perairan kurang mendukung, sehingga perlu penyelesaian sistem struktur tepat guna pada kondisi perairan, khususnya di daerah pasang surut.
c.
Kecenderungan pengembangan kawasan pemukiman, terutama di atas air akan bersaing dengan lajunya pengembangan wilayah pelabuhan.
d.
Belum adanya pengaturan perencanaan, pelaksanaan, juga pengawasan dan pemeliharaan kawasan perumahan di pantai, terutama perumahan di atas air. e.
Belum maksimalnya teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk kawasan ini, baik dari aspek fisik bangunan, maupun teknologi sistem pendukungnya. Alternatif-alternatif teknologi yang dapat diterapkan umumnya relatif modern dan cenderung memakan biaya tidak murah, sehingga menjadi tidak efektif, mengingat daya jangkau relatif terbatas. Perlu beberapa teknologi murah dan tepat guna.
f.
Tidak didukung penyediaan material berkualitas yang cukup (jumlah semakin terbatas dan relatif semakin mahal).
3. Permasalahan Status Hukum (Legalitas) Kawasan a.
Meskipun eksitensi fisik diakui, namun pengakuan dan dukungan secara hukum masih terkesan ragu-ragu, yang mungkin disebabkan oleh beberapa faktor: 1. Pengertian sempadan pantai masuk dalam kelompok kawasan lindung.
2. Pengertian permukiman: bagian lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan pedesaan maupun perkotaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
3. Pengertian persyaratan pembakuan dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan dan rencana tata ruang lingkungan tempat tinggal atau hunian untuk membangun, hanya dapat terwujud di atas sebidang tanah yang disebut kavling tanah matang. b.
Karena kawasan di atas air tumbuh tanpa aturan yang jelas dengan sendirinya status hukumnya menjadi tidak jelas.
c.
Belum memungkinkan menjadikan bangunan/sarana dan prasarana sebagai jaminan/agunan kredit, khususnya pada lembaga-lembaga keuangan/perbankan yang ada. Kawasan pesisir pantai juga mempunyai potensi, antara lain: 1.
Merupakan dataran subur dan sebagian besar memiliki sumber daya mineral.
2. Muka air tanah tinggi sehingga memiliki cukup banyak ketersediaan air.
3. Keunggulan lokasi kawasan yang mempunyai akses langsung ke air mengakibatkan percepatan pengembangan kawasan.
4. Merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah penyediaan perumahan sebagai akibat kekurangan/kesulitan lahan baru (semakin mahal, dan terbatas).
5. Adanya perumahan di pinggiran air dan/atau di atas air merupakan potensi wisata yang dapat dikembangkan.
2.5Morfologi Perkampungan Kawasan Pesisir
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Hassan (2001), secara umum jenis perkampungan nelayan yang berada di kawasan pesisir yang terbentuk merupakan hasil dari perkembangan morfologi penempatan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya yang dipengaruhi oleh rupa bentuk geografi masing-masing. Corak permukiman ini dapat diklasifikasikan dalam 6 (enam) bentuk, yaitu:
2.5.1 Morfologi Arah Daratan
Morfologi arah daratan ini merupakan perkembangan permukiman kampung nelayan yang paling umum. Kebanyakan kampung nelayan terbentuk berdasarkan morfologi ini. Pada awalnya, tumpuan penempatan perumahan yang dibangun berkembang dari pinggiran sungai ke arah daratan seperti terlihgat pada Gambar 2.1.
Awalnya, rumah-rumah dibangun di pinggiran sepanjang muara sungai karena kawasan tersebut sangat tepat bagi masyarakat yang ingin mendirikan rumah sekaligus bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Posisi ini juga paling strategis untuk membangun dermaga sebagai tempat pendaratan perahu para nelayan. Rumah-rumah dibangun dengan teknik pertukangan sederhana, dan menjadi sangat rapat antara satu dengan yang lainnya, karena masing-masing rumah ingin mempunyai akses langsung terhadap tempat pendaratan perahu mereka.
Apabila kawasan pesisir mulai penuh, konsentrasi morfologi tersebut bertumpu ke arah daratan. Secara tidak langsung, lapisan kedua bangunan yang dibangun berdasarkan garis topografi lapisan pertama rumah-rumah yang sudah lebih dahulu terbentuk. Biasanya, sebuah jalan besar dibangun sebagai akses utama untuk penduduk kampung tersebut, yang tidak berpeluang membangun rumah mereka di tepi sungai, sehingga dapat terhubung dengan titian pendaratan perahu mereka. Jalan utama ini juga merupakan faktor penting dalam pembentukan lapisan perumahan yang dibangun selanjutnya. Semakin jauh rumah-rumah itu dari perumahan di lapisan yang pertama, maka semakin berkurang tumpuan rumah-rumah itu dibangun berdasarkan topografi pinggiran sungai tersebut. Rumah-rumah pada lapisan selanjutnya ini, lebih bertumpu pada jalan utama kampung tersebut. Hal ini terjadi dikarenakan jalan utama tersebut juga menjadi kawasan pasar dan warung-warung yang menjual kebutuhan sehari-hari penduduk kampung tersebut. Pada proses perkembangannya, morfologi kampung tersebut berbentuk piramid, dimana penempatan rumah-rumah di sekitar tepi sungai lebih lebar daripada penempatan rumah-rumah di ujung jalan utama. Pertemuan dermaga dengan jalan utama menjadi jalur sirkulasi utama sebagai akses pengangkutan barang-barang untuk dipasarkan.
Pada tingkat akhir perkembangan morfologi tersebut, rumah-rumah dibangun pada tapak kawasan yang masih kosong. Beberapa kawasan digunakan sebagai lokasi pendirian industri kecil karena selain menangkap ikan di laut, para nelayan yang dibantu keahlian anggota keluarganya juga menjalankan pembuatan kerupuk, roti, terasi, ikan kering, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan hasil tangkapan mereka. Jalan-jalan sekunder juga terbentuk sebagai akses alternatif bagi penduduk kampung yang bersangkutan. Jalur sirkulasi ini juga terbentuk mengikuti topografi dan dibangun menuju jalan utama. Jalan-jalan kecil lainnya juga dibangun ke arah dermaga-dermaga nelayan supaya para nelayan yang tinggal di lapisan dalam dapat menggunakannya sebagai jalan pintas menuju perahu mereka.
Gambar 2.1 Morfologi Arah Daratan
Sumber :Hassan, 2001
2.5.2 Morfologi Arah Air
Morfologi ini terjadi apabila desakan untuk menampung kepadatan unit rumah menjadi semakin tinggi disebabkan bertambahnya jumlah penduduk kampung.
Sehingga para penduduk mulai membangun dermaga yang lebih panjang ke arah sungai, ke arah lokasi yang lebih dalam, dan penempatan rumah-rumah kemudian berada di sepanjang dermaga tersebut seperti terlihat pada Gambar 2.2. Topografi juga merupakan faktor yang sangat penting yang mempengaruhi terbentuknya morfologi ini. Gradien sungai tidak terlalu besar dari tepian sungai sampai ke ujung dermaga yang dibangun tersebut. Rumah-rumah nelayan yang didirikan di atas air dan ke arah sungai seperti ini biasanya terdapat di kawasan sungai berukuran kecil. Oleh sebab itu gradien dasar sungainya sangat kecil dan cukup dalam sehingga sangat sesuai digunakan sebagai tempat pendaratan perahu-perahu nelayan. Kelandaiannya memungkinkan pembangunan tiang-tiang di dasar sungai dan tiang-tiang ini cukup kuat untuk menyokong beban pelataran yang dibangun. Pelataran ini biasanya memiliki ketinggian 2.5 hingga 5 meter dari dasar sungai. Pelataran yang dibangun ini merupakan sumber utama pembentukan rumah-rumah yang berikutnya dibangun di sepanjang pelataran tersebut. Dermaga yang dibangun ini menjadi tolak ukur bagi penduduk dalam mendirikan rumahnya. Jika dermaga tersebut tidak roboh, berarti itu menunjukkan rumah-rumah juga dapat dibangun sampai jarak tersebut. Hal ini dikarenakan bahan yang digunakan sebagai tiang adalah kayu, yang berasal dari hutan bakau yang berdekatan.
Walau bagaimanapun, bahan bangunan tersebut mempunyai batasan, dimana bahan tersebut tidak dapat digunakan sebagai tiang rumah dan dermaga apabila dasar sungainya sangat dalam. Hal ini karena pohon bakau yang digunakan sebagai bahan bangunan berukuran kecil, berbeda dengan pepohonan hutan tropis. Pohon-pohon ini rata-rata hanya memiliki panjang 12 meter, dengan diameter 0.25 sampai 1 meter, sehingga panjang dan tebal kayu yang dihasilkan juga terbatas. Sehingga kekuatan untuk menopang konstruksi bangunan maupun dermaga relatif kecil.
Seperti perkampungan nelayan lain, faktor topografi juga sangat mempengaruhi morfologi pembentukan jenis kampung nelayan ini. Kampung ini biasanya dikelilingi oleh hutan bakau yang tanahnya berawa, sehingga kurang sesuai untuk penempatan perkampungan nelayan dan pendaratan perahu-perahu nelayan.
Hal ini dikarenakan struktur konstruksi pada tanah berawa membutuhkan teknik pertukangan yang cukup sulit. Pendaratan perahu-perahu nelayan pada daerah berawa ini juga akan sangat mengalami kesulitan.
Pembangunan yang pesat dan perkembangan kawasan bandar juga merupakan faktor penting mengapa kampung bercorak seperti ini terbentuk. Sebagian besar bandar terletak di muara-muara sungai karena kawasan tersebut sesuai untuk ditempatkan sebagai pelabuhan. Di samping itu, bentuk asal topografi di muara sungai itu juga sangat sesuai untuk digunakan sebagai tempat pendaratan perahu- perahu nelayan. Untuk itulah kampung-kampung nelayan berdiri di lokasi tersebut.
Gambar 2.2 Morfologi Arah Air
Sumber :Hassan, 2001
2.5.3 Morfologi Selari (Sejajar dengan garis pantai)
Yang dimaksud dengan morfologi selari yaitu perkembangan permukiman yang sejajar dengan topografi tebing sungai. Para nelayan tidak membangun rumah mereka ke arah daratan karena topografi kawasan tersebut tidak memungkinkan pembangunan perumahan dengan cara sederhana. Salah satunya dikarenakan kawasan ke arah daratan merupakan kawasan rawa yang sangat sulit untuk dibangun. Penyebab lainnya dikarenakan kawasan tersebut adalah kawasan yang sangat curam dan berbukit. Oleh sebab itu, mereka membangun rumah di sepanjang pinggiran sungai.
Pada awalnya, sekelompok nelayan membangun rumahnya di tepi muara sungai. Hal ini terjadi karena kecenderungan para nelayan yang ingin dekat dengan sumber mata pencahariannya. Seperti apa yang berlaku dalam Morfologi Arah Daratan, kawasan di tebing sungai merupakan kawasan yang paling berharga dan strategis. Kawasan yang dapat digunakan untuk penempatan perumahan ke arah daratan sangat terbatas. Kawasan tepian sungai ini cukup luas, namun memanjang.
Sungai merupakan satu-satunya akses jalur transportasi dan komunikasi kampung tersebut ke kampung-kampung lainnya. Hal ini dikarenakan kampung tersebut tidak mempunyai jalan yang dapat menghubungkannya melalui daratan karena kawasan sekitarnya berbukit bakau, dan juga dikelilingi oleh hutan bakau dan rawa. Oleh sebab itu, peranan sungai sangatlah penting. Setiap orang yang ingin menuju ke perkampungan nelayan ini haruslah menggunakan perahu nelayan untuk mencapainya.
Dalam Morfologi Selari, semua rumah berorientasi kepada sungai. Dermaga- dermaga kecil dibangun di hadapan masing-masing rumah, dan saling berhubungan dengan dermaga-dermaga lainnya, sehingga membentuk suatu jalur bagi penduduk kampung tersebut untuk berlalu lalang. Biasanya, dermaga ini dibangun secara bergotong royong, yaitu kerjasama seluruh penduduk kampung. Di sebagian kampung lain, jalur sirkulasi umum dibangun di belakang rumah dan dermaga- dermaga pribadi dibangun di depan rumah. Pembuatan dermaga dan jalur sirkulasi dipengaruhi oleh faktor geografi di kawasan tersebut seperti kedangkalan sungai dan gradient daratan yang bersangkutan. Berdasarkan faktor ini, penduduk kampung mengambil keputusan bahwasannya jalur sirkulasi juga perlu dibangun di depan rumah. Rumah-rumah yang dibangun selalu mengikuti topografi sungai yang biasanya berbentuk melengkung dan memanjang sejajar dengan garis pantai seperti terlihat pada Gambar 2.3.
Apabila tapak kawasan yang dapat dibangun di sekitar tebing sungai sudah habis digunakan, maka perkembangan perumahan selanjutnya berada di belakang rumah-rumah lapisan pertama yang sudah ada. Orientasi bangunan pada lapisan kedua ini disesuaikan dengan jalur sirkulasi kampung yang dibuat oleh penduduk.
Demikian seterusnya, lapisan-lapisan perumahan terbentuk seiring dengan pertambahan penduduk kampung. Orientasi bangunan kemudian mengikuti jalan- jalan yang dibangun kemudian.
Gambar 2.3 Morfologi Selari
Sumber :Hassan, 2001
2.5.4 Morfologi Atas Air
Sejumlah perkampungan nelayan dibangun di atas muara-muara sungai dan terpisah dari daratan seperti terlihat pada Gambar 2.4. Pasang surut air merupakan faktor yang berperan sangat penting dalam pembentukan morfologi ini. Apabila suatu kawasan berada bertepatan dengan posisi bulan, maka akan terjadi air pasang di kawasan tersebut, akibat adanya gravitasi bulan yang mempengaruhi permukaan laut tersebut. Begitu juga sebaliknya, apabila posisi bulan tidak tepat berada pada kawasan tersebut, maka air laut akan surut, permukaan air laut di lokasi tersebut akan turun. Apabila terjadi hal seperti ini, sejumlah kawasan di muara-muara tidak tenggelam oleh air sungai.
Kawasan tersebut menjadi tumpuan utama oleh para nelayan untuk membangun kawasan permukiman dan lokasi pendaratan perahunya. Jenis kampung ini timbul apabila tukang-tukang bangunan sudah memiliki kemampuan yang cukup baik yang menyebabkan mereka mampu membangun dermaga dan rumah-rumah yang dengan tiang-tiang yang panjang. Pada awal terbentuknya kampung tersebut, sekelompok nelayan mendirikan rumah di kawasan yang dangkal dan sesuai sebagai tempat pendaratan perahu-perahu kecil mereka. Mereka mengetahui bahwa kawasan ini cukup baik dibangun berdasarkan pengalaman dan mereka melihat kawasan ini timbul dan tenggelam apabila air pasang-surut terjadi. Kampung ini biasanya berada di kawasan yang terlindung secara langsung dari laut lepas. Sebagian besar terletak di selat-selat kecil yang berhubungan dengan muara-muara sungai. Di depan kampung-kampung ini biasanya terdapat pulau-pulau kecil yang melindungi kedudukan mereka dari angina kencang dan ombak besar yang dapat merobohkan dermaga dan rumah-rumah di kampung mereka.
Pada awal pembangunan perkampungan ini, para nelayan membangun rumah- rumah di tapak yang menurut mereka sesuai dan cukup aman ditempati. Tapak ini mereka pilih berdasarkan penglihatan mereka pada saat terjadinya pasang dan surut air. Masyarakat nelayan merupakan golongan yang sangat peka terhadap segala hal yang berkaitan dengan laut dan cuaca. Hal ini juga dikarenkan faktor-faktor tersebut begitu berpengaruh terhadap mata pencaharian mereka. Dari penelitian yang dilakukan, para nelayan membangun rumah-rumah mereka di kawasan muara pada saat air surut. Oleh sebab itu topografi kawasan muara sangat mempengaruhi bentuk penempatannya. Permukiman ini kemudian berkembang di sekitar kawasan tanah yang timbul pada apabila air surut. Para nelayan membangun dermaga-dermaga sampai ke kawasan yang cukup dalam untuk pendaratan perahu-perahu mereka.
Seperti juga halnya perkampungan yang terbentuk secara Morfologi Arah Air dan Selari, sungai juga merupakan satu-satu nya jalur transportasi bagi penduduk kampung tersebut. Tidak terdapat jalur lintas dari arah daratan yang dapat digunakan karena kawasan tersebut dikelilingi oleh hutan bakau dan tanah berbukit bakau.
Biasanya pusat perniagaan terpusat di salah satu sudut kampung, yang biasanya merupakan kawasan yang pertama kali dibangun. Pusat perniagaan ini merupakan tempat pendaratan para nelayan untuk memasarkan hasil tangkapan mereka, dan juga menjadi tempat berniaga barang-barang kebutuhan sehari-hari penduduk kampung.
Gambar 2.4 Morfologi Atas Air
Sumber :Hassan, 2001
2.5.5 Morfologi Muka Muara
Perkembangan morfologi ini berada di sepanjang permukaan muara sungai di atas tanah rawa berlumpur yang menjadi semakin tinggi karena sungai membawa hasil pengikisan tanah, lumpur dan pasir, dan membawanya di muka muara (Gambar 2.5). Apabila ketinggian tanah berlumpur ini mencapai satu tahap, ia menjadi kawasan yang sesuai untuk ditempati. Sungai-sungai ini biasanya tidak lebar dan kecil. Tingkat kederasan airnya juga tidak terlalu kuat dan hal ini memungkinkan pembangunan rumah-rumah nelayan di kedua belah tepi sungai. Perkembangannya biasanya bertumpu ke arah delta-delta sungai apabila sebagian besar rumah dibangun ke arah daratan bila permukaan muara sungai telah dipenuhi dengan permukiman.
Gambar 2.5 Morfologi Muka Muara
Sumber :Hassan, 2001
2.5.6 Morfologi Gabungan
Morfologi ini merupakan gabungan dari beberapa jenis morfologi yang telah dikemukakan sebelumnya. Beberapa kampung nelayan terbentuk berdasarkan Morfologi Arah Daratan dan Morfologi Arah Air karena topografi kawasan tersebut sesuai dengan kedua jenis morfologi tesebut. Karena adanya kampung nelayan yang terbentuk berdasarkan morfologi gabungan ini, bentuk penempatan mereka sangat kompleks dan sulit ditentukan bentuk kampung tersebut jika dilihat sekilas. Hal ini terjadi karena kawasannya sangat terbatas dan adanya desakan untuk pembangunan rumah-rumah berikutnya untuk menampung jumlah penduduk yang terus bertambah.
2.6 Pola Sirkulasi Permukiman
Sirkulasi dapat diartikan sebagai suatu tali yang mengikat ruang-ruang suatu bangunan atau deretan ruang-ruang dalam maupun luar menjadi saling berhubungan.
Kampung yang pada awalnya berangkat dari pengertian ‘desa’ merupakan sebuah wilayah yang pada umumnya berpola hunian dengan bentuk sirkulasi yang tidak teratur (irregular pattern).Keadaan ini berlanjut sesuai dengan budaya pembagian lahan (tanah keluarga) dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Secara umum konfigurasi alur gerak sirkulasi yang ada berupa konfigurasi linear, griddan bersifat network. Konfigurasi linearumumnya terjadi di bagian akses utama pencapaian ke kampung tersebut, konfigurasi gridumumnya terjadi di pusat kampung, serta pola network yang biasanya terbentuk di wilayah perbatasan antara rukun warga yang satu dengan yang lainnya.
Pola linear yang terjadi pada suatu kampung umumnya terbentuk karena status kepemilikan lahan yang bukan merupakan tanah keluarga. Jadi merupakan hak milik pribadi (perorangan), tidak ada kecenderungan untuk mempertahankan tanah tersebut agar dimiliki oleh anggota keluarga yang sama, meskipun sebagaian besar penduduk di wilayah tersebut berasal dari satu keturunan keluarga yang sama.
Pada bagian pusat kampung, biasanya konfigurasi sirkulasi yang ada berpola grid.Pola yang terdiri dari dua buah jalan atau lebih yang sejajar dan saling berpotongan pada jarak yang relatif sama dan menciptakan suatu wilayah berbentuk bujursangkar atau kawasan-kawasan ruang segi empat.
Selain itu terdapat sirkulasi yang terbentuk dengan pola network. Suatu bentuk jaringan yang terdiri dari beberapa jalan yang menghubungkan titik-titik tertentu di dalam ruang, bahkan sering ditemukan adanya jalan-jalan yang berakhir dengan ruang. Selain ditempati oleh penduduk yang menempati rumah-rumah sewa, sirkulasi yang berpola seperti itu menunjukkan pula suatu bentuk komunitas masyarakat yang memiliki kekerabatan khusus, baik berada dalam satu keluarga besar atau kelompok kelompok tertentu. Biasanya kelompok yang sama berdasarkan mata pencaharian.
Sirkulasi yang terbentuk pada suatu permukiman berfungsi sebagai elemen pengikatyang menghubungkan suatu tempat atau lingkungan dengan tempat atau lingkungan lainnya. Bagi suatu lingkungan permukiman sirkulasi sangat menentukan aksesibilitas dari lingkungan tersebut ke dalam maupun ke luar. Disamping itu pola sirkulasi jalan (gang), juga menunjukkan tingkat hirarki permukiman tersebut.Didalam sutau lingkungan permukiman, jalan/sirkulasi dapat terbentuk oleh tatanan massanya.
Beberapa bagian sirkulasi yang memiliki potensi bagi perbaikan/penataan kampung serta memberikan karakteristik pada suatu kota antara lain wilayah yang menjadi: 1.
Ruang-ruang terbuka sebagai ruang pemersatu antara keluarga. Ruang tersebut menggambarkan suatu strategic space atau compound space.
Strategic space merupakan pusat dari sistem jalan masuk dan
perkembangan suatu kawasan yang bersifat publik dan merupakan titik berkumpulnya sistem-sistem sirkulasi dari segala arah. CompoundSpace dianalogikan sebagai suatu bentuk cangkokan ruang terbuka pada sebuah elemen jalan.
2. Pola sirkulasi yang bersifat linear. Pada pola tersebut terbentuk sebagai penghubung antara ruang satu dengan ruang lainnya sebagai poin-poin utama dalam sekumpulan massa bangunan dalam satu koloni keluarga.
3. Pola sirkulasi yang terbentuk secara alamiah karena adanya sistem pengkaplingan tanah-tanah keluarga. Pola-pola sirkulasi yang terbentuk umumnya berpola irregular. Menurut Fernandez (2011), terdapat beberapa tipe pola sirkulasi pada permukiman kumuh yang rentan terhadap bencana, antara lain:
1. Garis grid teratur
Suatu permukiman dengan jalan-jalan paralel dan transversal dimensi yang hampir seragam, dalam bentuk grid atau kotak-kotak, yang terletak di daerah yang datar. Pola seperti ini banyak ditemui pada dataran Amerika Latin, terlihat pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6 Permukiman Kumuh Santa Rosa, Lima - Peru
Sumber :Fernandez, 2011 2. Garis grid tidak teratur
Konfigurasi fisik dan spasial bentuk grid yang tidak beraturan ini sering dijumpai pada lahan yang berbatu dan juga tanah datar. Pada pola ini terlihat pola grid yang nyata namun tidak beraturan arah, seperti terlihat pada Gambar 2.7 berikut ini.
Gambar 2.7 Permukiman Kumuh Dos de Mayo, Lima - Peru
Sumber :Fernandez, 2011 3. Pola yang disesuaikan dengan topografi lahan
Suatu permukiman kumuh yang menyesuaikan dengan kondisi topografi lahannya, dimana jalur sirkulasi berkembang tanpa adanya perencanaan.
Jalan dan koridor yang terbentuk berdasarkan kebutuhan penduduk setempat. Merupakan jalur sirkulasi yang sempit dan berliku-liku membentuk jaringan yang kompleks yang timbul di antara dinding-dinding rumah, terlihat pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8 Permukiman Kumuh Cerro El Agustino, Lima - Peru
Sumber :Fernandez, 2011
4. Pola dengan koridor pusat
Permukiman dengan koridor pusat adalah lingkungan yang walaupun memiliki banyak cabang sirkulasi, namun semuanya berkumpul menuju koridor pusat, yang memberikan kesan fokus aksial utama. Pada Gambar 2.9, dapat kita lihat suatu permukiman dengan pola koridor pusat. Pada gambar terlihat suatu akses utama yang menjadi koridor pusat permukiman.
Gambar 2.9 Permukiman Kumuh Mamede, Salvador de Bahia - Brazil
Sumber :Fernandez, 2011 5. Pola radial
Bentuk radial pada permukiman kumuh merupakan sesuatu yang ditetapkan, meskipun dalam kenyataannya jalan dibuat secara acak, namun telah diperoleh konfigurasi fisik dengan aspek radial. Pada Gambar 2.10, terlihat pola radial pada permukiman kumuh Vila Natal di Brazil.
Gambar 2.10 Permukiman Kumuh Vila Natal, Salvador de Bahia - Brazil
Sumber :Fernandez, 2011 6. Sirkulasi panggung
Sirkulasi seperti ini terdapat pada lahan berkontur dengan kemiringan yang cukup curam. Dimana jalan akses utama dikembangkan sejajar dengan kontur tanah, terlihat pada Gambar 2.11 berikut.
Gambar 2.11 Contoh Rute Paralel terhadap Garis Kontur
Sumber :Fernandez, 2011
2.7 Figure Ground sebagai Pendekatan Penelitian Morfologi
Roger Trancik dalam bukunya Finding Lost Space menekankan bagaimana mencapai suatu integrasi elemen-elemen suatu kawasan, dalam bentuk integrasi antar bangunan dalam satu kesatuan ruang secara tiga dimensional dan integrasi terhadap pengguna atau manusianya dan untuk menciptakan suatu rancangan spasial perlu memahami tentang karakteristik suatu kawasan yang menjadi ciri khas dari kawasan itu, sehingga ruang akan bermakna sebagai tempat (place) bagi masyarakat yang menggunakannya.
Ruang secara morfologis banyak tercipta karena suatu keadaan yang tidak terstruktur, ketidak jelasan hirarki, tidak memberikan integrasi kepada bangunan- bangunan, yang terbentuk dari massa bangunan (solid) dan ruang terbuka (void). Hal ini menciptakan the lost space (ruang yang hilang), dimana bangunan-bangunan berdiri sendiri, sehingga tercipta ketidakharmonisan antar bangunan sehingga sering tidak tercipta rasa pada ruang tersebut, tercipta kawasan yang kurang diminati, tidak aman dan tidak terawat.
Roger Trancik dalam bukunya Finding Lost Space mengemukakan tipe integrasi arsitektur dan ruang kota dalam tiga teori, yaitu: Figure Ground Theory,
Linkage Theory , dan Place Theory. Namun, dalam penelitian ini, yang digunakan
adalah pendekatan figure ground.Pendekatan figure ground adalah suatu bentuk usaha untukmemanipulasi atau mengolah pola existing figure grounddengan cara penambahan, pengurangan, atau pengubahanpola geometris dan juga merupakan bentuk analisa hubunganantara massa bangunan dengan ruang terbuka.
Merupakan sebuah integrasi yang kuat antara massa bangunan dan ruang sehingga membentuk kesatuan antara solid dan void dalam urban design. Solid merupakan unsur massive (massa bangunan) yang berfungsi sebagai wadah manusia dalam beraktifitas, memberikan volume objek pada jalan dan tapak.
Tipe urban solid terdiri dari: 1.
Massa bangunan, monumen.