4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan 2.1.1 Morfologi tumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

  2.1.1 Morfologi tumbuhan

  Eceng gondok (Eichhornia crassipes(Mart.) Solms) merupakan tanaman yang hidup terapung pada air yang memiliki aliran tenang, termasuk terna air dengan tinggi 30 – 50 cm,memiliki bunga berwarna biru-lembayung muda dengan lapisan berwarna kuning di bagian atas daun mahkota (Heyne, 1995; Putera, 2012). Daun eceng gondok berwarna hijau terang dengan permukaan daun licin, tangkai berbentuk silinder memanjang kadang-kadanng mencapai 1 meter dengan diameter 1-2 cm, berisi serat dan mengandung banyak air (Harahap, dkk., 2003). Memiliki buah berbentuk kotak, beruang tiga, dan berwarna hijau. Biji berbentuk bulat, hitam, akarnya serabut dan berwarna hitam (Widyaningrum, 2011).

  2.1.2 Sistematika tumbuhan

  Sistematika dari tumbuhan eceng gondok adalah sebagai berikut (Putera, 2012; Foundation, 2011) : Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Suku :Pontederiaceae Marga : Eichhornia Jenis : Eichhornia crassipes (Mart.) Solms Nama lokal : Eceng gondok.

  2.1.3 Nama daerah

  Eceng gondok di Indonesia dikenal dengan nama yang berbeda-beda seperti kelipuk (Palembang), ringgak (Lampung), ilung-ilung (Dayak), mampau (Kutai), bengok (Banten), kembang bopong, weweyan (Jawa), tumpe (Manado) (Widyaningrum, 2011).

  2.1.4 Kandungan kimia

  Kandungan kimia eceng gondok terdiri atas 60% selulosa, 8% hemiselulosa dan 17% lignin (Ahmed, dkk., 2012), juga senyawa alkaloid, antrakuinon, flavonoid, flobatanin, glikosida jantung, saponin, steroid, terpenoid, kuinon, tanin dan polifenol (Lata dan Dubey, 2010; Widyaningrum, 2011)

  2.1.5 Khasiat

  Eceng gondok (Eichhornia crassipes (Mart.) Solms.) berkhasiat untuk mengobati bengkak, biduran, tenggorokan panas dan pencahar air seni. Sebanyak ± 10 gram tangkai daun ditumbuk halus lalu ditempelkan pada bagian yang bengkak, untuk tenggorokan yang terasa panas, biduran, bisul, dan abses (Widyaningrum, 2011). Eceng gondok juga berguna sebagai antiinflamasi (Jayanthi, 2013), antikoagulasi (Rafiqua, 2012), antibakteri (Jayanthi., 2013), antijamur, antioksidan, antikanker (Ahmed, 2011).

2.2 Uraian Kandungan Kimia Tumbuhan

2.2.1 Alkaloida

  Menurut Harborne (1987), alkaloid adalah senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen yang terletak dalam sistem siklik yang mempunyai aktivitas fisiologi yang dapat digunakan dalam bidang pengobatan.Alkaloid biasanya tanwarna, sering sekali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan pada suhu kamar.

  Manfaat alkaloid dalam bidang kesehatan antara lain adalah memicu sistem saraf, menaikkan atau menurunkan tekanan darah, dan melawan infeksi mikroba (Widi dan Indriati, 2007).

  2.2.2 Flavonoida

  • Golongan flavonoid dapat digambarkan sebagai deretan senyawa C -C

  6

  3 C 6, artinya, kerangka karbonnya terdiri atas dua gugus C 6 (cincin benzene

  tersubstitusi) disambungkan oleh rantai alifatik tiga karbon. Beberapa fungsi flavonoid bagi tumbuhan adalah sebagai pengatur tumbuh, pengatur fotosintesis (Robinson, 1995).

  Senyawa flavonoida memiliki aktifitas antioksidan, antibiotik (Roslizawaty, dkk., 2013) antikoagulan, antimikrobadan antiinflamasi(Lata dan Dubey, 2010). Makanan yang kaya flavonoid digunakan untuk mengobati penyakit-penyakit seperti kanker dan penyakit jantung (Heinrich, dkk., 2005).

  2.2.3 Saponin

  Saponin adalah sekelompok senyawa dengan struktur triterpenoid yang mengikat satu atau lebih gula sehingga memiliki sisi hidrofil dan lipofil dengan penggocokan akan menimbulkan buih (Harbone, 1987).

  Saponin mula-mula diberi nama demikian karena sifatnya yang menyerupai sabun (bahasa Latin sapo berarti sabun). Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat yang menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah merah.

  Dalam larutan yang sangat encer saponin sangat beracun untuk ikan. Beberapa saponin bekerja sebagai antimikroba. Saponin merupakan senyawa berasa pahitdan mengakibatkan iritasi terhadap selaput lender (Robinson, 1995).

  Uji saponin adalah dengan mengocok ekstrak alkohol air dari tumbuhan dalam tabung reaksi, maka akan terbentuk busa yang bertahan lama pada permukaan cairan (Harborne, 1987).

  2.2.4 Tanin

  Tanin adalah kelompok polifenol yang larut dalam air dengan berat molekul antara 500-3000 g/mol. Berwarna putih kekuning-kuningan sampai coklat terang tergantung sumber tanin tersebut (Ismarani, 2012). Kondisi larutan basa, beberapa turunan tanin dapat mengabsorbsi oksigen contohnya katekin (Fajriati, 2006).

  Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae terdapat khusus dalam jaringan kayu. Senyawa tanin dapat bereaksi dengan protein membentuk kopolimer mantap yang tak larut dalam air. Pada kenyataannya, sebagian besar tumbuhan yang banyak bertanin dihindari oleh hewan pemakan tumbuhan karena rasanya yang sepat. Secara kimia terdapat dua jenis tanin yaitu tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis (Harborne,1987).

  2.2.5 Glikosida

  Glikosida adalah suatu golongan senyawa bila dihidrolisis akan terurai menjadi gula (glikon) dan senyawa lain (aglikon atau genin). Umumnya glikosida mudah terhidrolisis oleh asam mineral atau enzim. Hidrolisis oleh asam memerlukan panas, sedangkan hidrolisis oleh enzim tidak memerlukan panas (Sirait, 2007). Gula yang paling sering dijumpai dalam glikosida adalah glukosa. Sacara kimia dan fisiologi, glikosida alam cenderung dibedakan berdasarkan bagian aglikonnya (Robinson, 1995).

  Berdasarkan ikatan antara glikon dan aglikon(Sirait, 2007), glikosida dapat dibedakan menjadi : a.

  Tipe O-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui jembatan O

  Gambar 2.1Kuersetin b.

  Tipe S-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui jembatan S. Contoh: sinigrin

Gambar 2.2 Sinigrin c.

  Tipe N-glikosida, ikatan antara bagian dari glikon dengan aglikon melalui jembatan N. Contoh: nikleosidin

  Gambar 2.3Nikleosidin d.

  Tipe C-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui jembatan C. Contoh: aloin.

Gambar 2.4 Aloin

  2.2.6 Glikosida antrakuinon

  Golongan kuinon alam terbesar terdiri dari antrakuinon. Beberapa antrakuinon merupakan zat warna penting dan yang lainnya sebagai pencahar (Robinson, 1995).

  2.2.7 Steroid/triterpenoid

  Triterpenoid adalah kelompok senyawa turunan terpenoid dengan kerangka karbon yang dibangun oleh enam C-5 yang disebut unit isopren.

  Triterpenoid yang tersebar luas adalah triterpenoid pentasiklik (Nassar, dkk., 2010).

  Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C asiklik,

  30

  yaitu skualen. Senyawa tersebut mempunyai struktur siklik yang relatif kompleks, kebanyakan merupakan suatu alkohol, aldehid atau asam karboksilat. Senyawa triterpenoidmerupakan komponen aktif dalam tumbuhan obat yang telah digunakan untuk penyakit termasuk diabetes, gangguan menstruasi, patukan ular, gangguan kulit, kerusakan hati. Senyawa tanpa warna, berbentuk kristal, sering kali bertitik leleh tinggi dan aktif optik, dapat dibagi atas 4 kelompok senyawa yaitu triterpen sebenarnya, steroid, saponin dan glikosida jantung (Harborne, 1987). Struktur kimia isopren dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Struktur kimia isopren

  Pembagian triterpenoid berdasarkan jumlah cincin yang terdapat pada struktur molekulnya (Robinson, 1995), antara lain: a. Triterpenoid asiklik, yaitu triterpenoid yang tidak mempunyai cincin tertutup dalam cincin molekulnya, contohnya skualen.

  b. Triterpenoid trisiklik, yaitu triterpenoid yang mempunyai tiga cincin tertutup dalam cincin molekulnya, contohnya ambrein.

  c. Triterpenoid tetrasiklik, yaitu triterpenoid yang mempunyai empat cincin tertutup dalam cincin molekulnya, contohnya lanosterol.

  d. Triterpenoid pentasiklik, yaitu triterpenoid yang mempunyai lima cincin tertutup dalam cincin molekulnya, contohnya α-amirin. Contoh struktur kimia triterpenoid dapat dilihat pada Gambar 2.6. struktur dasar triterpene

  OH

  skualen ` ambrein

  H H OH OH

  lanosterol α-amirin

Gambar 2.6 Struktur kimia triterpenoid

  Senyawa triterpenoid menunjukkan aktifitas farmakologi seperti antivirus, antibakteri, antiinflamasi, inhibisi terhadap sintesis kolesterol, antikanker (Nassar, dkk., 2010), antitumor (Lage, dkk., 2010) dan aktifitas sitotoksik terhadap sel pangkreatik (Sanchez, dkk., 2010)

  Steroid adalah senyawa yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana perhidrofenanten (Harborne, 1987). Dapat dilihat pada Gambar 2.7 21 22 berikut ini: 11 12 13 18 17 20 16 24 23 25 26 27 2 1 10 19 C 9 8

14

D 15 B 3 A 4 5 6 7 Gambar 2.7 Struktur dasar steroid dan sistem penomorannya

  Senyawa steroid dahulu dianggap sebagai senyawa yang hanya terdapat pada hewan tetapi sekarang ini makin banyak senyawa steroid yang ditemukan dalam tumbuhan (fitosterol). Fitosterol merupakan senyawa steroid yang berasal dari tumbuhan. Senyawa fitosterol yang biasa terdapat pada tumbuhan tinggi yaitu sitosterol, stigmasterol dan kampesterol (Harborne, 1987).

  Senyawa golongan steroid memiliki sifat fisiologis dan bioaktif yang penting, misalnya berperan dalam pembentukan struktur membran, pembentukan hormon kelamin dan hormon pertumbuhan serta pembentukan vitamin D, sebagai penolak dan penarik serangga dan sebagai antimikroba (Robinson, 1995).

2.3 Metode Ekstraksi

  Ekstraksi adalah penyarian komponen aktif dari suatu jaringan tumbuhan atau hewan dengan menggunakan pelarut yang cocok, biasa digunakan untuk memisahkan dua zat berdasarkan perbedaan kelarutan (Handa, dkk., 2008).Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut yaitu:

  A. Cara dingin

  1. Maserasi Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan cara perendaman menggunakan pelarut dengan sesekali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar. Penyarian zat aktif dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari yang sesuai pada temperatur kamar, tertutup dengan wadah yang gelap dan terlindung dari cahaya. Maserasi dengan pengadukan secara terus-menerus disebut maserasi kinetik sedangkan yang dilakukan pengulangan panambahan pelarut setelahdilakukan penyaringan terhadap maserat pertama dan seterusnya disebut remaserasi.

  2. Perkolasi Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperature kamar. Proses penyarian simplisia dengan jalan melewatkan pelarut yang sesuai secara lambat pada simplisia dalam suatu percolator. Zat berkhasiat tertarik seluruhnya dan biasanya dilakukan untuk zat berkhasiat yang tahan ataupun tidak tahan pemanasan (Depkes RI, 2000).

  B. Cara panas

  1. Refluks Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Ekstraksi refluks digunakan untuk mengekstraksi bahan-bahan yang tahan terhadap pemanasan.

  2. Digesti Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada temperatur lebih tinggi daripada temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50°C.

  3. Sokletasi Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang selalu baru, dilakukan dengan menggunakan alat soklet sehingga menjadi ekstraksi kontinu dengan pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

  4. Infudasi Infudasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 15 menit.

  5. Dekoktasi Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 30 menit (Depkes RI, 2000).

2.4 Kromatografi

  Kromatografi adalah suatu metode pemisahan berdasarkan perbedaan perpindahan dari komponen-komponen senyawa diantara dua fase yaitu fase diam (dapat berupa gas atau zat cair) dan fase gerak (dapat berupa gas atau zat cair). Fase gerak membawa zat terlarut melalui fase diam sehingga terpisah dari zat terlarut lainnya yang terelusi lebih awal atau paling akhir karena perbedaan afinitas antara masing-masing zat terlarut dengan fase diam (Sundari, 2010). Fase diam berupa zat padat maka cara tersebut dikenal sebagai kromatografi serapan, jika zat cair dikenal sebagai kromatografi partisi (Sastrohamidjojo, 1991).

  Cara-cara kromatografi dapat digolongkan sesuai dengan sifat-sifat dari fase diam, yang berupa zat padat atau cair. Jika fase diam berupa zat padat disebut kromatografi serapan, jika berupa zat cair disebut kromatografi partisi. Sistem kromatografi terbagi menjadi 4 macam, yaitu:

1. Fase gerak zat cair - fase diam padat (kromatografi serapan):

  Kromatografi lapis tipis

  • Kromatografikolom - 2.

  Fase gerak gas -fase diam padat Kromatografi gas - padat

  • 3.

  Fase gerak zat cair -fase diam zat cair (kromatografi partisi) Kromatografi kertas

  • 4.

  Fase gerak gas-fase diam cair

  Kromatografi gas - cair

  • Kromatografi kolom kapiler
  • Pemisahan dengan kromatografi tergantung pada kenyataan bahwa senyawa-senyawa yang dipisahkan terdistribusi diantara fase gerak dan fase diam dalam perbandingan yang sangat berbeda-beda dari satu senyawa terhadap senyawa yang lain (Sastrohamidjojo, 1991).

2.4.1 Kromatografi lapis tipis

  Kromatografi lapis tipis merupakan metode pemisahan campuran analit dengan mengelusi analit melalui suatu lempeng kromatografi lalu melihat komponen/analit yang terpisah dengan penyemprotan atau pengecatan (Abdul dan Gholib, 2007).

  Fase diam dalam KLT berupa padatan penyerap yang dihasilkan pada sebuah plat datar dari gelas, plastik, atau alumina sehingga membentuk lapisan tipis dengan ketebalan tertentu. Fase diam atau penyerap yang bisa digunakan

  2

  2

  3

  sebagai pelapis plat adalah silika gel (SiO ), selulosa dan alumina (Al O ) kebanyakan penyerap yang digunakan adalah silika gel (Sundari, 2010).

  Pendeteksian bercak hasil pemisahan dapat dilakukan dengan beberapa cara, untuk senyawa tak berwarna cara yang paling sederhana adalah dilakukan pengamatan dengan sinar ultraviolet (Stahl, 1985). Beberapa senyawa organik bersinar atau berfluorosensi jika disinari dengan sinar ultraviolet gelombang pendek (254 nm) atau gelombang panjang (366 nm), jika dengan cara itu senyawa tidak dapat dideteksi maka harus dicoba disemprot dengan pereaksi yang membuat bercak tersebut tampak yaitu pertama tanpa pemanasan, kemudian bila perlu dengan pemanasan (Gritter, dkk., 1991). a. Fase diam (Lapisan penyerap) Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penyerap berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 µm. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensi dan resolusinya. Penyerap yang paling sering digunakan adalah silika dan serbuk selulosa, sementara mekanisme sorpsi yang utama pada KLT adalah partisi dan adsorpsi. Lapisan tipis yang digunakan sebagai penyerap juga dapat dibuat dari silika yang telah dimodifikasi, resin penukar ion, gel ekslusi dan siklodekstrin (Rohman, 2007).

  b. Fase gerak (Pelarut pengembang) Pelarut sebagai fasa gerak atau eluen merupakan faktor yang menentukan gerakan komponen-komponen dalam campuran (Sundari, 2010). Fase gerak yang digunakan pada KLT dapat dipilih dari pustaka-pustaka, tetapi lebih sering dengan mencoba-coba. Biasanya fase gerak yang digunakan berisi dua campuran pelarut organik dan pelarut yag digunakan harus memiliki tingkat kemurnian yang tinggi sehingga dapat memberikan pemisahan yang baik. Biasanya untuk memisahkan sterol digunakan campuran pelarut kloroform-aseton (Abdul dan Gholib, 2012).

  c. Harga Rf Rf atau faktor retardasi didefinisikan sebagai perbandingan antara jarak yang ditempuh solut dengan jarak yang ditempuh oleh fase gerak. Nilai Rf ini terkait dengan faktor perlambatan dan nilai ini bukanlah suatu nilai fisika absolut untuk suatu komponen, meskipun demikian dengan pengendalian kondisi KLT secara hati-hati, nilai Rf dapat digunakan sebagai cara identifikasi untuk kualitatif.

  Nilai maksimum Rf adalah 1 dan nilai minimumnya adalah 0 (Abdul dan Gholib, 2012).

  ℎ =

  ℎ

2.4.2 Kromatografi lapis tipis preparatif

  Kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif merupakan salah satu metode pemisahan dengan menggunakan peralatan sederhana. Ketebalan penyerap yang sering dipakai adalah 0,5-2 mm, ukuran plat kromatografi biasanya 20x20 cm. Pembatasan ketebalan lapisan dan ukuran plat sudah tentu mengurangi jumlah bahan yang dapat dipisahkan dengan KLT preparatif. Penyerap yang paling umum digunakan adalah silika gel (Gritter, dkk., 1991).

  Penotolan cuplikan dilakukan dengan melarutkan cuplikan dalam sedikit pelarut. Cuplikan ditotolkan berupa pita dengan jarak sesempit mungkin karena pemisahan tergantung pada lebar pita. Pelarut yang digunakan adalah berupa pelarut campuran dari pelarut organik dengan tujuan untuk memperoleh pemisahan yang lebih baik. Pemisahan pelarut berdasarkan kepolaritasnya, sehingga akan diperoleh sistem pengembang yang cocok (Gritter, dkk., 1991).

  Pengembangan plat KLT preparatif dilakukan dalam bejana kaca yang dapat menampung beberapa plat. Bejana dijaga tetapjenuh dengan pelarut pengembang dengan bantuan kertas saring yang diletakkan berdiri disekeliling permukaan bagian dalam bejana. Pita ditampakkan dengan cara yang tidak merusak maka senyawa yang tidak berwarna dengan penyerap dikerok dari plat kaca. Cara ini berguna untuk memisahkan campuran beberapa senyawa sehingga diperoleh senyawa murni (Gritter, dkk., 1991).

2.4.3 Kromatografi lapis tipis dua arah

  KLT dua arah atau KLT dua dimensi ini bertujuan untuk meningkatkan resolusi sampel ketika komponen-komponen solut mempunyai karakteristik kimia yang hampir sama, karena nilai Rf juga hampir sama, selain itu dua sistem fase gerak yang sangat berbeda dapat digunakan secara berurutan pada suatu campuran tertentu sehingga memungkinkan untuk melakukan pemisahan analit yang mempunyai tingkat polaritas yang hampir sama (Rohman, 2009).

  KLT dua arah dilakukan dengan melakukan penotolan sampel disalah satu sudut lapisan lempeng tipis dan mengembangkannya sebagaimana biasa dengan eluen pertama. Lempeng kromatografi selanjutnya dipindahkan dari chamber yang menggunakan eluen kedua sehingga pengembangan dapat terjadi pada arah kedua yang tegak lurus dengan arah pengembangan yang pertama. Suksesnya pemisahantergantung pada kemampuan untuk memodifikasi selektifitas eluen kedua dibandingkan dengan selektifitas eluen pertama (Rohman, 2009).

2.5 Spektrofotometri

2.5.1 Spektrofotometri ultraviolet

  Spektrum ultraviolet adalah suatu gambaran yang menyatakan hubungan antara panjang gelombang atau frekuensi serapan terhadap intensitas serapan (transmitansi atau adsorbansi).Serapan cahaya oleh molekul dalam daerah spektrum ultra violet tergantung pada struktur elektronik dari molekul yang bersangkutan. Spektrum ulraviolet biasanya digunakan untuk molekul dan ion anorganik atau kompleks di dalam larutan. Sinar ultraviolet berada pada panjang gelombang 200-400 nm (Dachriyanus, 2004). Spektrofotometer UV pada umumnya digunakan untuk:

  1. Menentukan jenis kromofor, ikatan rangkap terkonjugasi dan auksokrom dari suatu senyawa organik

  2. Menjelaskan informasi dari struktur berdasarkan panjang gelombang maksimum suatu senyawa.

  3. Mampu menganalisis senyawa organik secara kuantitatif dengan menggunakan hukum Lambert-Beer (Sastrohamidjojo, 1991).

  Ketika suatu atom atau molekul menyerap cahaya maka energi tersebut akan menyebabkan tereksitasinya elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Tipe eksitasi tergantung panjang gelombang cahaya yang diserap. (Dachriyanus, 2004).

2.5.2 Spektrofotometri sinar inframerah

  Spektra inframerah mengandung banyak serapan yang dihubungkan dengan sistem vibrasi yang berinteraksi dalam molekul dan karena mempunyai karakteristik yang unik untuk setiap molekul maka dalam spektrum memberikan pita-pita serapan yang karakteristik juga (Sastrohamidjojo, 1991).

  Spektrofotometer inframerah pada umumnya digunakan untuk menentukan gugus fungsi yang tedapat dalam suatu senyawa organik dan untuk mengetahui informasi tentang struktur suatu senyawa organik dengan membandingkan daerah sidik jarinya. Daerah spektra infrared dibagi dalam tiga kisaran yaitu IR dekat

  • 1 -1 -1

  (12500-4000 cm ), IR tengah (4000-400 cm ) dan IR jauh (400-10 cm ) (Gandjar dan Rohman, 2012). Daerah IR tengah merupakan daerah yang digunakan untuk penentuan gugus fungsi (Dachriyanus, 2004).

  Identifikasi setiap absorbsi ikatan yang khas dari setiap gugus fungsi merupakan basis dari interpretasi spektrum inframerah. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam menginterpretasikan spektrum, yaitu:

  1. Spektrum harus tajam dan jelas serta memiliki intensitas yang tepat 2.

  Spektrum harus berasal dari senyawa yang murni 3. Spektrofotometer harus dikalibrasi sehingga akan menghasilkan pita atau serapan pada bilangan gelombang yang tepat

  4. Metode penyiapan sampel harus dinyatakan jika digunakan pelarut, maka jenis pelarut, konsentrasi dan tebal sel harus diketahui (Dahriyanus, 2004).

Dokumen yang terkait

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebakaran Hutan - Pemetaan Daerah Rawan Kebakaran Hutan Di Propinsi Sumatera Utara Berdasarkan Data Satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission)

0 1 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Persepsi Pengguna Jalan Terhadap Jalur Pejalan Kaki Di Jalan Gatot Subroto Medan

0 0 35

BAB I PENDAHULUAN - Persepsi Pengguna Jalan Terhadap Jalur Pejalan Kaki Di Jalan Gatot Subroto Medan

0 0 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perjanjian Terapeutik 2.1.1. Pengertian Perjanjian Terapeutik - Analisis Penerapan Informed Consent Di Bagian SMF Bedah dan SMF Kandungan RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam

0 1 31

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Analisis Penerapan Informed Consent Di Bagian SMF Bedah dan SMF Kandungan RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam

0 0 18

Perubahan Nilai Indeks Probabilitas Gramling pada Pasien Maloklusi Klas II yang Dirawat dengan Pencabutan dan Tanpa Pencabutan Di RSGMP FKG USU

0 0 27

2.1 Maloklusi Klas II - Perubahan Nilai Indeks Probabilitas Gramling pada Pasien Maloklusi Klas II yang Dirawat dengan Pencabutan dan Tanpa Pencabutan Di RSGMP FKG USU

0 0 21

Perubahan Nilai Indeks Probabilitas Gramling pada Pasien Maloklusi Klas II yang Dirawat dengan Pencabutan dan Tanpa Pencabutan Di RSGMP FKG USU

0 0 18

BAB II LANDASAN TEORITIS A. KEMATANGAN KARIR 1. Pengertian Kematangan Karir - Hubungan antara Kemandirian dengan Kematangan Karir Pada Siswa Kelas XII SMA Negeri I Lubuk Pakam

0 1 16

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Hubungan antara Kemandirian dengan Kematangan Karir Pada Siswa Kelas XII SMA Negeri I Lubuk Pakam

0 1 9