Morfologi Kampung Nelayan Belawan Medan

(1)

TESIS

OLEH

INGGRID HOSIANNA SIMANJUNTAK

127020005

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

MORFOLOGI KAMPUNG NELAYAN

BELAWAN MEDAN

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Teknik Dalam Program Studi Teknik Arsitektur Pada Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

Oleh

INGGRID HOSIANNA SIMANJUNTAK

127020005/AR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PERNYATAAN

MORFOLOGI KAMPUNG NELAYAN

BELAWAN MEDAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, November2014


(4)

Judul Tesis : MORFOLOGI KAMPUNG NELAYAN BELAWAN MEDAN

Nama Mahasiswa : INGGRID HOSIANNA SIMANJUNTAK

Nomor Pokok : 127020005

Program Studi : TEKNIK ARSITEKTUR

Bidang Kekhususan : MANAJEMEN PEMBANGUNAN KOTA

Menyetujui Komisi Pembimbing,

(Dr. Ir. Dwira Nirfalini Aulia, M.Sc)

Ketua Anggota

(Hajar Suwantoro, ST, MT)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Dr. Ir. Dwira Nirfalini Aulia, M.Sc) (Prof. Dr. Ir. Bustami Syam, MSME)


(5)

Telah diuji pada

Tanggal: 19 November 2014

Panitia Penguji Tesis

Ketua Komisi Penguji : Dr. Ir. Dwira Nirfalini Aulia, M.Sc Anggota Komisi Penguji : 1. Hajar Suwantoro, ST, MT

2. Beny O.Y Marpaung, ST, MT, PhD 3. Ir. Samsul Bahri, MT


(6)

ABSTRAK

Kampung nelayan merupakan permukiman yang identik dengan komunitas masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan yang memiliki karakteristik berupa masyarakat tradisional dengan kondisi sosial ekonomi dan latar belakang pendidikan yang relatif terbatas.Kondisi sosial masyarakat kampung nelayan yang seperti ini membuat mereka sulit untuk mendapatkan kebutuhan bermukim yang memadai. Hal ini jugalah yang mendorong munculnya permukiman nelayan yang berada di sepanjang pinggiran sungai, di daerah yang tidak semestinya diperuntukkan sebagai area permukiman. Kondisi permukiman yang sangat memprihatinkan, dengan kepadatan bangunan yang tinggi serta kualitas bangunan yang rendah, jauh dari standar permukiman yang layak huni.

Lokasi penelitian adalah kampung nelayan Belawan Medan yang merupakan permukiman diatas air yang berada pada kawasan lindung hutan mangrove, yang tumbuh secara organik dan tidak terencana membentuk pola yang tidak beraturan. Perkembangan pola yang terbentuk akan dianalisa dengan pendekatan morfologi. Teknik pengumpulan data melalui metode observasi langsung dan wawancara.

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perkembangan yang cukup signifikan sejak awal terbentuknya kampung nelayan ini pada tahun 1957 hingga saat ini. Faktor kekerabatan menjadi faktor yang sangat kuat mempengaruhi pertumbuhan kampung nelayan Belawan Medan ini. Mata pencaharian penduduk kampung yang sebahagian besar adalah nelayan, mempengaruhi pola permukiman di kampung nelayan Belawan Medan ini. Kecenderungan untuk senantiasa dekat dengan sumber pencaharian mereka menyebabkan kampung nelayan Belawan Medan ini tumbuh secara organik mengikuti topografi kawasan dengan pola linier / sejajar dengan garis pantai. Hal ini menunjukkan kuatnya tarikan air yang merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat nelayan yang secara umum berada pada tingkat kehidupan ekonomi lemah.


(7)

ABSTRACT

Fisherman’s village is a settlement which is identical with the community that lives on fishing; they have the characteristics as a traditional community with relatively low in social economy and education. This condition has made them difficult to meet their basic needs. In consequence, they have to settle along the watershed of the river, an inappropriate place to live and to be called as a settlement. The condition causes concern with dense houses built on stilts with low quality, and they are far from the inhabitable standard.

The research location is at kampung nelayan (fisherman’s village) Belawan, Medan. It is on water settlement in the area of protected organic and unplanned mangrove so that it does not have orderly pattern. The formed pattern would be analyzed by using morphological approach. The data were gathered by conducting direct observation and interviews.

The result of the research shows that there has been significant development since the village was established in 1957. The factor of kinship highly influences the development of the fisherman’s village Belawan, Medan. Most of the villagers live on fishing, and it highly influences their settlement pattern. The inclination to be close to their livelihood source has caused the fisherman’s village Belawan, Medan, to grow organically, following the topography of an area with linear pattern of coastal line. This indicates that the attractive power of the sea is very strong since it is the source of life for the fishermen who generally have low income.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan kasih, berkat dan hikmat yang dianugerahkan kepada penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Ir. Dwira Nirfalini Aulia, M.Sc, sebagai ketua komisi pembimbing sekaligus Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Kota Magister Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara, dan Bapak Hajar Suwantoro, ST, MT, sebagai anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan serta dukungan moril kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Tidak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak dan Ibu staff pengajar Program Studi Manajemen Pembangunan Kota, atas ilmu yang sangat berharga yang telah diberikan kepada penulis. Terkhusus untuk Ibu Beny O.Y. Marpaung, ST, MT, PhD yang sejak awal memberikan banyak arahan dan motivasi kepada penulis.

Teruntuk keluargaku tercinta, kedua orangtuaku, suami, serta putri kecilku, penyemangat luar biasa, yang senantiasa memberikan dukungan dalam doa, moral dan materil sehingga penulis dapat menyelesaikan seluruh rangkaian pendidikan di Program Studi Manajemen Pembangunan Kota ini, penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga.


(9)

Ucapan terima kasih penulis juga sampaikan kepada Bapak Saffaruddin, sebagai Kepala Lingkungan XII Kampung Nelayan, yang telah memberikan banyak informasi dan mendukung kelancaran penulis pada saat survey. Serta seluruh keluarga besar penduduk kampung nelayan Belawan Medan atas kerjasama yang sangat baik selama penulis melakukan survey serta wawancara.

Teman-teman seperjuangan di Program Studi Manajemen Pembangunan Kota angkatan 2012 yang biarpun sedikit tapi sangat kompak, Edy, kak Rini, bang Damoz, bang Dasrizal, Fahmi, dan spesial untuk Wydia untuk kebersamaan di saat survey. Terima kasih untuk kebersamaan yang luar biasa ini.

Untuk Pimpinan serta rekan-rekan kerja di Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan Kota Medan yang memberikan dukungan bagi penulis dalam menyelesaikan studi pascasarjana ini, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan terima kasih.

Akhir kata, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kekurangan dalam penyusunan tesis ini. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk hasil yang lebih baik lagi di kemudian hari. Semoga tesis ini dapat memberikan masukan yang cukup bermanfaat bagi semua pihak yang membaca.

Medan, November 2014 Penulis


(10)

RIWAYAT HIDUP

A. DATA PRIBADI

Nama : Inggrid Hosianna Simanjuntak Tempat/Tanggal Lahir : Medan / 25 Desember 1984

Alamat : Jl. Menteng VII Gg. Kurnia No. 17 Medan

Agama : Kristen

Jenis Kelamin : Perempuan

B. RIWAYAT PENDIDIKAN

SD Kristen Kalam Kudus Medan (tamat tahun 1996) SMP Kristen Kalam Kudus Medan (tamat tahun 1999) SMUN 4 Medan (tamat tahun 2002)

Sarjana Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara (tamat tahun 2007)

C. RIWAYAT PEKERJAAN


(11)

DAFTAR ISI

Hal

ABSTRAK ... i

ABSTRACT………. ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ……… v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... ix DAFTAR TABEL ... xii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.5 Kerangka Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 9

2.1 Pengertian Morfologi ... 9

2.2 Pengertian Kampung ... 11

2.3 Permukiman yang Tumbuh Secara Organik ... 13

2.4 Permukiman di Pesisir Pantai ………..………... 17


(12)

2.5.1 Morfologi arah daratan ……….... 27

2.5.2 Morfologi arah air ………... 30

2.5.3 Morfologi selari (sejajar garis pantai) ………... 33

2.5.4 Morfologi atas air ……… 36

2.5.5 Morfologi muka muara ……….... 39

2.5.6 Morfologi gabungan ………... 40

2.6 Pola Sirkulasi Permukiman ………..…….. 40

2.7 Figure Ground Sebagai Pendekatan Penelitian Morfologi ……... 47

2.8 Pola Perkampungan Tepi Air di Kota Banjarmasin ………... 50

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 57

3.1 Metode yang Digunakan ... 57

3.2 Metode Pengumpulan Data ... 57

3.3 Data-data yang Diperlukan ... 67

3.4 Teknik Pengolahan Data ………... 70

3.5 Kawasan Penelitian ... 73

3.6 Metode Analisa Data ... 75

3.6.1 Metode analisa pola perkembangan penggunaan tanah ... 79

3.6.2 Metode analisa pola pertumbuhan sirkulasi ... 80

3.6.3 Metode analisa tipologi bangunan ... 80

3.7 Metode Menghasilkan Penemuan ... 81

BAB IV GAMBARAN UMUM KAMPUNG NELAYAN BELAWAN MEDAN... 83

4.1 Sejarah dan Kondisi Wilayah Belawan ………. 83

4.2 Potensi Perkembangan Wilayah Belawan ……….. 87

4.3 Awal Terbentuknya Kampung Nelayan Belawan ……….. 88


(13)

4.5 Kondisi Fisik Bangunan ………. 91

4.6 Tipe Rumah ……… 93

4.7 Sarana Penghubung ……… 94

BAB V ANALISIS MORFOLOGI KAMPUNG NELAYAN BELAWAN MEDAN... 96

5.1 Kedudukan Lokasi Penelitian Terhadap Kota Medan …………... 96

5.2 Permukiman Pertama Kampung Nelayan Belawan Medan ……... 99

5.3 Analisis Morfologi Kampung Nelayan Belawan Medan Ditinjau Berdasarkan Aspek Penggunaan Lahan ………. 100

5.3.1 Awal terbentuknya pada tahun 1957 ……….. 100

5.3.2 Interval tahun 1960-1986 ………... 104

5.3.3 Interval tahun 1987-1995 ………... 109

5.3.4 Interval tahun 1996-sekarang ………... 113

5.4 Analisis Morfologi Kampung Nelayan Belawan Medan Ditinjau Berdasarkan Pola Pertumbuhan Sirkulasi ……….…… 117

5.4.1 Awal terbentuknya pada tahun 1957 ………. 117

5.4.2 Interval tahun 1960-1986 ……….. 118

5.4.3 Interval tahun 1987-1995 ……….. 121

5.4.4 Interval tahun 1996-sekarang ………... 122

5.5 Analisis Morfologi Kampung Nelayan Belawan Medan Ditinjau Berdasarkan Tipologi Bangunan Yang Ada………..…. 126

5.5.1 Bangunan pada awal terbentuknya kampung nelayan Belawan Medan ………. 127

5.5.2 Bangunan yang ada saat ini ……….... 128

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI... 136

6.1 Kesimpulan ……….. 136

6.2 Rekomendasi ……… 138


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Hal.

1.1 Kerangka Penelitian ………... 8

2.1 Morfologi Arah Daratan ... 29

2.2 Morfologi Arah Air ………. 32

2.3 Morfologi Selari ……….. 35

2.4 Morfologi Atas Air ………. 38

2.5 Morfologi Muka Muara ……….. 39

2.6 Permukiman Kumuh Santa Rosa, Lima-Peru ………... 43

2.7 Permukiman Kumuh Dos de Mayo, Lima-Peru ………...….. 44

2.8 Permukiman Kumuh Cerro El Agustino, Lima-Peru ………. 44

2.9 Permukiman Kumuh Mamede, Salvador de Bahia-Brazil …….… 45

2.10 Permukiman Kumuh Vila Natal, Salvador de Bahia-Brazil ……... 46

2.11 Contoh Rute Paralel Terhadap Garis Kontur ………..… 46

2.12 Pola Tekstur Kawasan ……… 49

2.13 Perkembangan Tapak Permukiman di Tepian Sungai ……… 52

3.1 Peta Kelurahan Belawan 1 dan Peta Kecamatan ……… 74

4.1 Peta Kecamatan Medan Belawan ………... 86

4.2 Peta Kelurahan Belawan 1 dan Peta Kampung Nelayan ………… 90

4.3 Peta Pembagian Area Kampung Nelayan ………... 91


(15)

4.5 Papan Sebagai Material Dinding dan Lantai ……….. 92

4.6 Tiang-tiang Kayu Penopang Rumah ………... 93

4.7 Titian Papan Penghubung Rumah ke Jalan ……… 93

4.8 Jalur Sirkulasi Berupa Papan Titian ……… 95

4.9 Jalur Sirkulasi Beton ……….. 95

5.1 Peta Kedudukan Belawan Terhadap Selat Malaka ………. 97

5.2 Peta Kedudukan Lokasi Penelitian Terhadap Pelabuhan Belawan .. 98

5.3 Gambaran Permukiman Pertama Kampung Nelayan Tahun 1957 .. 100

5.4 Kawasan Penelitian yang Diperuntukkan sebagai Kawasan Lindung Hutan Bakau ………...…. 102

5.5 Hutan Bakau Beralih Fungsi menjadi Permukiman pada Tahun 1957 ………... 103

5.6 Permukiman Nelayan pada Interval Tahun 1960 – 1986 ……….. 108

5.7 Permukiman Nelayan pada Interval Tahun 1987– 1995 ……….. 112

5.8 Permukiman Nelayan pada Interval Tahun 1996– Sekarang …... 116

5.9 Kondisi Awal Kampung Tanpa Jalur Sirkulasi ………. 118

5.10 Jalur Sirkulasi Kampung Nelayan Tahun 1960 - 1986 …..……… 119

5.11 Potongan Titian Papan Sebagai Jalur Sirkulasi Kampung………. 120

5.12 Jalur Sirkulasi Kampung Nelayan Tahun 1987-1995 ………….... 122

5.13 Jalur Sirkulasi Kampung Nelayan di Tepian Pesisir ………. 123

5.14 Potongan Jalan Beton ……… 124

5.15 Jalur Sirkulasi Beton ………... 124


(16)

5.17 Pondok Persinggahan Nelayan ………... 127 5.18 Pondok Setengah Dinding ……… 127 5.19 Peta Penyebaran Bangunan Panggung di Darat ………... 129 5.20 Contoh Kondisi Bangunan Panggung di Darat Pada Saat Pasang... 130 5.21 Peta Penyebaran Bangunan Panggung di Atas Air ……….... 131 5.22 Penyebaran Bangunan Permanen di Kampung Nelayan

Belawan Medan ………. 133 5.23 Penyebaran Bangunan Semi Permanen di Kampung Nelayan

Belawan Medan ………. 134 5.24 Penyebaran Bangunan Tidak Permanen di Kampung Nelayan

Belawan Medan ………. 135 6.1 Perkembangan Morfologi Kampung Nelayan Belawan Medan … 137


(17)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Hal.


(18)

ABSTRAK

Kampung nelayan merupakan permukiman yang identik dengan komunitas masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan yang memiliki karakteristik berupa masyarakat tradisional dengan kondisi sosial ekonomi dan latar belakang pendidikan yang relatif terbatas.Kondisi sosial masyarakat kampung nelayan yang seperti ini membuat mereka sulit untuk mendapatkan kebutuhan bermukim yang memadai. Hal ini jugalah yang mendorong munculnya permukiman nelayan yang berada di sepanjang pinggiran sungai, di daerah yang tidak semestinya diperuntukkan sebagai area permukiman. Kondisi permukiman yang sangat memprihatinkan, dengan kepadatan bangunan yang tinggi serta kualitas bangunan yang rendah, jauh dari standar permukiman yang layak huni.

Lokasi penelitian adalah kampung nelayan Belawan Medan yang merupakan permukiman diatas air yang berada pada kawasan lindung hutan mangrove, yang tumbuh secara organik dan tidak terencana membentuk pola yang tidak beraturan. Perkembangan pola yang terbentuk akan dianalisa dengan pendekatan morfologi. Teknik pengumpulan data melalui metode observasi langsung dan wawancara.

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perkembangan yang cukup signifikan sejak awal terbentuknya kampung nelayan ini pada tahun 1957 hingga saat ini. Faktor kekerabatan menjadi faktor yang sangat kuat mempengaruhi pertumbuhan kampung nelayan Belawan Medan ini. Mata pencaharian penduduk kampung yang sebahagian besar adalah nelayan, mempengaruhi pola permukiman di kampung nelayan Belawan Medan ini. Kecenderungan untuk senantiasa dekat dengan sumber pencaharian mereka menyebabkan kampung nelayan Belawan Medan ini tumbuh secara organik mengikuti topografi kawasan dengan pola linier / sejajar dengan garis pantai. Hal ini menunjukkan kuatnya tarikan air yang merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat nelayan yang secara umum berada pada tingkat kehidupan ekonomi lemah.


(19)

ABSTRACT

Fisherman’s village is a settlement which is identical with the community that lives on fishing; they have the characteristics as a traditional community with relatively low in social economy and education. This condition has made them difficult to meet their basic needs. In consequence, they have to settle along the watershed of the river, an inappropriate place to live and to be called as a settlement. The condition causes concern with dense houses built on stilts with low quality, and they are far from the inhabitable standard.

The research location is at kampung nelayan (fisherman’s village) Belawan, Medan. It is on water settlement in the area of protected organic and unplanned mangrove so that it does not have orderly pattern. The formed pattern would be analyzed by using morphological approach. The data were gathered by conducting direct observation and interviews.

The result of the research shows that there has been significant development since the village was established in 1957. The factor of kinship highly influences the development of the fisherman’s village Belawan, Medan. Most of the villagers live on fishing, and it highly influences their settlement pattern. The inclination to be close to their livelihood source has caused the fisherman’s village Belawan, Medan, to grow organically, following the topography of an area with linear pattern of coastal line. This indicates that the attractive power of the sea is very strong since it is the source of life for the fishermen who generally have low income.


(20)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kampung nelayan merupakan permukiman yang identik dengan komunitas masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan. Namun, penduduk di kampung nelayan tidak seluruhnya menggantungkan hidup dari kegiatan menangkap ikan, akan tetapi masih ada bidang lain seperti usaha pengangkutan antar pulau, pedagang perantara/ eceran hasil tangkapan nelayan, dan usaha–usaha lainnya yang berhubungan dengan laut dan pesisir.

Penduduk yang tinggal di kampung nelayan memiliki karakteristik berupa masyarakat tradisional dengan kondisi sosial ekonomi dan latar belakang pendidikan yang relatif terbatas. Rumahtangga nelayan memiliki ciri khusus sepertipenggunaan wilayah pesisir dan laut (commonproperty) sebagai faktor produksi, jam kerja harus mengikut i kondisi oseanografis (melaut hanya rataratasekitar 20 hari dalam satu bulan, sisanyarelatif menganggur). Demikian juga pekerjaanmenangkap ikan adalah pekerjaan yang penuhresiko, sehingga pekerjaan ini umumnyadikerjakan oleh lelaki. Hal ini mengandung artibahwa keluarga yang lain tidak dapat membantu secara penuh, sehingga masyarakat yang tinggaldi wilayah pesisir pada umumnya seringdiidentikkan dengan masyarakat miskin.


(21)

Ada banyak penelitian tentangkehidupan sosial ekonomi rumahtangga nelayan.Hasilnya menunjukkan bahwa rumahtangganelayan yang pekerjaannya semata-matatergantung pada usaha menangkap ikanmemperoleh pendapatan yang hanya mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari,dan jika ada uang yang tersisa, itu biasanyadigunakan untuk biaya sekolah anak, membelipakaian, dan memperbaiki tempat tinggalnya.

Kondisi sosial masyarakat kampung nelayan yang seperti ini membuat mereka sulit untuk mendapatkan kebutuhan bermukim yang memadai. Bahkan masyarakat kampung nelayan cenderung menjadi subyek yang menanggung permasalahan yang terdapat di lingkungan tempat tinggal mereka. Hal ini terjadi dikarenakan beberapa faktor, yaitu rendahnya pengetahuan dan lemahnya ekonomi sehingga aktivitas mereka juga sering menyebabkan tekanan terhadap lingkungan kampung nelayan yang berlanjut pada kerusakan pada ekosistem yang ada disana.

Adapun bentuk kampung nelayan cenderung terjadi secara alamiah atau organik. Bentuk kampung nelayan cenderung ditentukan oleh orientasi rumah atau letak rumah-rumah yang membentuk sebuah kelompok atau terpusat (terkonsentrasi). Rumah-rumah berkumpul dalam satu lokasi yang sekaligus merupakan pusat lingkungan.

Kampung nelayan Belawan Medan merupakan kategori desa pesisir atau desa pantai, karena bentuknya ditentukan oleh bentuk pesisir. Apabila pesisirnya memanjang, maka bentuk kampung akan menyebar, memanjang sepanjang tepi pesisir.


(22)

3

Dalam perkembangan sejarahnya, Kampung Nelayan Belawan Medan telah membentuk suatu pola. Mempelajari perkembangan suatu pola dapat dilakukan melalui studi morfologi. Studi morfologi merupakan penelitian mencari perkembangan bentuk. Penelitian dalam rangka mencari perkembangan bentuk berkaitan dengan bentuk fisik kawasan kampung. Morfologi kampung nelayan terbentuk melalui proses yang panjang. Setiap perubahan bentuk kawasan kampung secara morfologis dapat memberikan arti serta manfaat yang berharga bagi penanganan perkembangan suatu kawasan kampung nelayan.

Dengan mengkaji morfologi suatu kampung nelayan dengan kasus Kampung Nelayan Belawan Medan, maka proses belajar dari pengalaman kegagalan dan keberhasilan masa lampau merupakan salah satu proses pembentukan morfologi kampung nelayan.

Hunian merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat Kampung Nelayan Belawan Medan. Sesuai dengan perkembangan peradaban masyarakatnya, permukiman kampung nelayan juga mengalami perkembangan. Perkembangan dimulai dari perkampungan kecil yang hanya terdiri dari beberapa rumah, sampai menjadi suatu kampung besar yang dihuni oleh penduduk 700 Kepala Keluarga.

Kampung Nelayan Belawan Medan ini sudah ada sejak tahun 1950-an. Awalnya, kawasan ini hanya dipakai sebagai tempat persinggahan sementara bagi para nelayan sehabis berlaut, melepas lelah sambil menunggu air surut untuk kembali ke rumah mereka yang berada di daratan Kota Medan. Kondisi ini terus berlanjut, sampai tahun 1970-an, mulai lah ada beberapa nelayan yang membangun rumahnya


(23)

di kawasan tersebut. Hanya ada beberapa rumah pada era tahun 1970-an tersebut, namun seiring berjalannya waktu, kondisi ini terus berkembang. Para nelayan mulai mengikuti jejak pendahulunya untuk membangun rumah nya di kampung nelayan tersebut. Apalagi sejak dibangunnya Sekolah Dasar Negeri di kampung nelayan tersebut, semakin banyak yang berminat untuk tinggal menetap di kampung tersebut. Hingga saat ini sekitar 700 Kepala Keluarga mendiami kampung tersebut.

Pentingnya mempelajari proses perkembangan Kampung Nelayan Belawan Medan, merupakan cara untuk membantu merekonstruksi kampung. Dalam hal ini adalah letak rumah-rumah, jalan, ruang luar, fasilitas umum, dan sebagainya. Untuk penelitian proses perkembangan Kampung Nelayan Belawan Medan ini membutuhkan data-data sejarah, seperti gambaran munculnya hunian, sirkulasi, ruang luar, dan sebagainya.

Kampung Nelayan Belawan Medan akan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan sosial budaya, ekonomi dan politik yang melatarbelakanginya. Adanya keinginan masyarakat kampung dan pihak lain dalam membangun, memperbaiki dan mengembangkan kawasan hunian dan lingkungan akan membawa implikasi pada morfologi Kampung Nelayan Belawan Medan. Pada prinsipnya, perkembangan mempunyai kecenderungan menghilangkan karakteristik suatu permukiman yang dibangun oleh masyarakat penghuninya. Usaha mempertahankan karakteristik suatu kampung, merupakan cara dalam mengembangkan ilmu morfologi kawasan.


(24)

5

Mengkaji morfologi Kampung Nelayan Belawan Medan, merupakan studi dalam mencari perkembangan bentuk. Morfologi Kampung Nelayan Belawan Medan terbentuk melalui proses yang panjang. Perkembangan bentuk fisik kampung melalui proses organik yaitu proses yang tidak direncanakan dan berkembang dengan sendirinya. Sehingga penelitian morfologi Kampung Nelayan Belawan Medan adalah meneliti proses perkembangan bentuk fisik kampung sebagai suatu proses organik.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam kurun waktu sejak tahun 1950-an sampai saat ini, Kampung Nelayan Belawan Medan mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Hal inilah yang memicu peneliti untuk melakukaan penelitian di wilayah tersebut. Bagaimana pola perkembangan penggunaan lahan yang terjadi di Kampung Nelayan Belawan Medan, bagaimana pola perkembangan sirkulasi / jalan yang terbentuk sehingga membentuk suatu pola kampung seperti saat ini, serta bagaimana pola perkembangan tipe-tipe bangunan di Kampung Nelayan Belawan Medan dari awal terbentuknya sampai kondisi saat ini. Oleh karena itu peneliti mencoba menggunakan pendekatan morfologi dalam pengkajian lebih mendalam.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah:

a. Menemukan pola perkembangan tata guna lahan di Kampung Nelayan Belawan Medan dari sejak awal terbentuk hingga saat ini.


(25)

b. Menemukan pola pertumbuhan sirkulasi/jalan di Kampung Nelayan Belawan Medan.

c. Menemukan tipologi bangunan yang terdapat di Kampung Nelayan Belawan Medan.

Setelah menemukan hasil penelitian ketiga pola di atas, dapat kita lihat apakah Kampung Nelayan Belawan Medan ini termasuk sebuah permukiman yang tumbuh secara organik yang terbentuk berdasarkan kondisi topografi kawasan serta adanya keinginan dan kesepakatan dari masyarakat itu sendiri, terbentuknya pusat kegiatan, dan adanya kaidah dan aturan sosial yang berlaku di masyarakatnya (Spiro Kostof, 2001), serta bagaimana pola morfologi yang terbentuk di kampung nelayan Belawan Medan ini.

1.4 Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian nantinya, dapat diketahui karakteristik lingkungan yang terbentuk secara alamiah yang merupakan proses perjalanan perkembangan morfologi Kampung Nelayan Belawan Medan, untuk memberikan masukan tentang arah yang tepat untuk menangani permasalahan yang dihadapi kampung nelayan tersebut.

Penelitian ini juga nantinya bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan tentang suatu bentuk kawasan permukiman yang tumbuh di tepi air yang terbentuk secara organik.

Selanjutnya, hasil studi ini dihrapkan dapat memberi manfaat sebagai bahan informasi bagi pembuat kebijakan pembangunan, khususnya memberikan masukan


(26)

7

pada penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK), agar dalam mengembangkan fungsi lahan dapat disesuaikan dengan karakter fisik lahan yang dilatarbelakangi budaya, kehidupan sosial serta mata pencaharian masyarakat yang mendiaminuya, sehingga lahan dapat dimanfaatkan secara optimal dan mencapai sasaran pembangunan.

1.5 Kerangka Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis berusaha berpikir secara sistematis dengan membuat kerangka penelitian terlebih dahulu. Dimana terlebih dahulu dicari latar belakang mengapa penelitian ini perlu dilakukan. Setelah latar belakang penelitian ini dibuat, maka akan muncul masalah yang terkait dengan penelitian yang nantinya akan berkaitan dengan hasil penemuan dari penelitian tersebut. Penelitian ini juga harus memiliki tujuan yang membuat penelitian tersebut penting untuk dilakukan. Setelahnya maka dilakukan tinjauan pustaka dari berbagai sumber yang berkaitan dengan penelitian tesebut, yang sejalan dengan studi mengenai lokasi penelitian dimaksud. Setelah data-data yang dibutuhkan terkait penelitian terkumpul, maka dilakukan analisa untuk kemudian menghasilkan suatu penemuan sehingga di akhir penelitian dapat ditarik sebuah kesimpulan. Kerangka penelitian ini terangkum seperti pada Gambar 1.1 berikut.


(27)

Latar Belakang

Kampung Nelayan Belawan Medan merupakan permukiman yang tumbuh di tepian laut sebagai implementasi budaya masyarakatnya yang senantiasa ingin dekat dengan sumber pencahariannya.

Masalah Penelitian

• Bagaimana pola perkembangan penggunaan tanah di Kampung Nelayan • Bagaimana pola perkembangan sirkulasi/jalan di Kampung Nelayan • Bagaimanatipologi bangunan yang ada di Kampung Nelayan

Tujuan Penelitian

• Menemukan pola perkembangan penggunaan tanah di Kampung Nelayan sejak awal terbentuk sampai saat ini

• Menemukan pola pertumbuhan sirkulasi/jalan di Kampung Nelayan

• Menemukan tipologi bangunan yang ada di Kampung Nelayan Belawan Medan

Analisa

1. Keberadaan masyarakat yang tinggal di Kampung Nelayan sejak awal terbentuknya.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya pola ruang dan sirkulasi

Penemuan

Pola perkembangan morfologi yang terbentuk di lokasi penelitian.

Kesimpulan Tinjauan Pustaka

1. Morfologi kampung 2. Pola sirkulasi 3. Tipologi bangunan 4. Organic pattern

Lokasi Penelitian

Lingkungan XII, Kelurahan Belawan 1, Kecamatan Medan Belawan, Kota Medan

Gambar1.1 Kerangka Penelitian Sumber : Hasil Analisis, 2014


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Morfologi

Dalam beberapa literatur, pengertian morfologi diartikan sebagai sebuah ilmu yang mempelajari bentuk, struktur, atau proses terjadinya bentuk dari bagian, unsur-unsur, atau elemen-elemen. Menurut Loeckx dan Vermeulen (dalam Adriana, 2007), morfologi adalah ilmu yang mempelajari bagaimana setiap elemen satuan membangun sebuah kota, bagaimana sebuah individual project berkontribusi pada collective project.

Morfologi terdiri dari dua suka kata yaitu morf yang berarti bentuk dan logos yang berarti ilmu. Secara sederhana morfologi kota berarti ilmu yang mempelajari produk bentuk-bentuk fisik secara logis. Morfologi merupakan pendekatan dalam memahami bentuk logis sebuah kota sebagai produk perubahan sosio-spatial. Disebabkan karena setiap karakteristik sosial-spatial di setiap tempat berbeda-beda maka istilah morfologi sangat erat kaitannya dengan istilah tipologi. Secara sederhana, Markus Zahn memberi pengertian istilah morfologi sebagai formasi sebuah objek bentuk kota dalam skala yang lebih luas. Morfologi biasanya digunakan untuk skala kota dan kawasan. Sedangkan tipologi sebagai klasifikasi watak atau karakteristik dari formasi objek-objek bentukan fisik kota dalam skala lebih kecil.


(29)

Istilah tipologi lebih banyak digunakan untuk mendefinisikan bentuk elemen-elemen kota seperti jalan, ruang terbuka hijau, bangunan dan lain sebagainya.

Menurut FDK Ching, (dalam Adriana, 2007), morfologi menyangkut kualitas gambaran ruang, dalam konteks wujud pembentuk ruang yang dapat dibaca melalui pola, hirarki, dan hubungan ruang satu dengan ruang lainnya. Morfologi lebih menekankan pada pembahasan bentuk geometrik sehingga untuk memberi makna pada ungkapan ruangnya harus dikaitkan dengan nilai ruang tertentu. Nilai ruang dapat disebabkan oleh hirarki ruang yaitu bagian yang menunjukkan adanya derajat kepentingan baik secara fungsional, formal maupun simbolik. Sistem tata nilai ruang bisa tercipta dengan adanya besaran atau ukuran yang berbeda, bentuk yang unik dan lokasi.

Menurut Tremlett, George (dalam Adriana, 2007), prinsip dari morfologi dalam konteks lingkungan permukiman adalah menghubungkan antara proses pertumbuhan dan pembentukan elemen-elemen fisik dengan elemen non fisik yang melatarbelakangi perwujudan bentuk ruang.

Menurut Aldo Rossi (dalam Widiangkoso, 2002), morfologi adalah mendeskripsikan suatu urban artefac. Pemahaman dari teori ini adalah tentang arti morfologi yang merupakan penggambaran proses atau perkembangan artefak sejarah yang terjadi di kawasan penelitian.

Menurut Schultz (dalam Widiangkoso, 2002), studi morfologi pada dasarnya menyangkut kualitas figurasi dalam konteks bentuk dari pembatasan ruang. Schultz


(30)

11

mengatakan bahwa sistem figurasi ruang dapat dihubungkan melalui pola, hirarki ruang, maupun hubungan ruang yang satu dengan ruang lainnya.

Menurut A. Loeckx (dalam Widiangkoso, 2002), studi morfologi merupakan pertalian struktural antara tipe-tipe peraturan dari koneksi, interrelasi, posisi, pendimensian, memfungsikan dan sebagainya, yang mengatur jalinan dari tipe-tipe yang berbeda ke dalam jaringan-jaringan organisasi.

Menurut Smailes (dalam Widiangkoso, 2002), terdapat 3 (tiga) unsur morfologi kota yaitu, unsur penggunaan lahan (land use), pola-pola jalan (street plan/layout), dan tipe-tipe bangunan.

Berdasarkan teori-teori yang dikemukakan, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa morfologi adalah penelusuran proses perkembangan suatu kawasan yang berkaitan dengan artefak sejarah di lokasi penelitian yang pada dasarnya menyangkut kualitas figurasi dalam konteks bentuk dari pembatas ruang, dan bentuk figurasi tersebut dapat dihubungkan melalui unsur tata ruang berupa tata guna lahan, pola-pola jalan, dan unsur tata bangunan berupa tipe-tipe bangunan.

2.2 Pengertian Kampung

Kampung, diambil dari kata Melayu, awalnya merupakan terminologi yang dipakai untuk menjelaskan sistem permukiman pedesaan. Istilah kampung seringkali dipakai untuk menjelaskan dikotomi antara kota dan desa. Kota diartikan dengan modernitas/kemajuan sementara desa atau kampung diartikan dengan keterbelakangan dan ketidakmajuan. Dalam bahasa Jawa, istilah ”kampungan”


(31)

seringkali dipakai untuk menjelaskan cara berpikir dan perilaku yang memalukan, jauh dari etika priyayi, dan tidak layak disandingkan dengan budaya priyayi di perkotaan.

Kampung, seringkali dikontraskan atau didikotomikan dengan perumahan ”gedongan” atau sekarang disebut sebagai perumahan ”real estate”. Kampung adalah untuk mereka yang miskin, warga biasa atau wong cilik, sedangkan perumahan ”gedongan” atau ”real estate” untuk mereka yang kaya dan mapan.

Memang, secara fisik, sebagian kampung dicirikan dengan ketidakteraturan, ketidakseragaman, ketidakmapanan, dan bahkan mungkin ketidakamanan serta ketidaksehatan. Dalam banyak hal, kekhasan kampung justru terletak pada pola-pola fisik yang beragam, organik, seringkali surprizing, di luar kadar kreatifitas arsitek yang jenius sekalipun. Setiap kampung adalah unik, karena tiap kampung merepresentasikan kekhasan sejarah, kemampuan, usaha, perjuangan, dan bahkan jiwa merdeka warganya.

Menurut Budiharjo (1992), kampung merupakan kawasan permukiman kumuh dengan ketersediaan sarana umum buruk atau tidak ada sama sekali, kerap kawasan ini disebut ‘slum’ atau ‘squater’. Turner(1972) menyatakan kampung merupakan lingkungan tradisional khas, ditandai ciri kehidupan yang terjalin dalam ikatan kekeluargaan yang erat, yang merupakan bentuk permukiman yang unik, tidak dapat disamakan dengan ‘slum’ dan ‘squater’ atau juga disamakan dengan permukiman penduduk berpenghasilan rendah. Perbedaan yang mendasari tipologi


(32)

13

permukiman kumuh adalah dari statuskepemilikan tanah dan Nilai Ekonomi Lokasi (NEL).

Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan, bahwa kampung kota adalah suatu bentuk permukiman di wilayah perkotaan yang khasIndonesia dengan ciri antara lain: penduduk masih membawa sifat dan prilakukehidupan pedesaan yang terjalin dalam ikatan kekeluargaan yang erat, kondisi fisik bangunan dan lingkungan kurang baik dan tidak beraturan,kerapatan bangunan dan penduduk tinggi, sarana pelayanan dasar serbakurang, seperti air bersih, saluran air limbah dan air hujan, pembuangansampah dan lainnya.

Pembangunan perumahan/permukiman yang sedemikian pesatnya menyebabkan banyak pertumbuhan permukiman yang tidak teratur dan terencana dengan baik. Rumah berperan sangat penting dalam kehidupan manusia. Rumah menjadi tempat dimana nilai-nilai sebuah keluarga berlangsung, menjadi ruang dimana manusia mengekspresikan cara melakoni kehidupan, berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang-orang terdekatnya. Rumah juga dijadikan alat untuk menampilkan citra dimana nilai norma dan tradisi lebih berpengaruh dalam citra, bentuk dan ruangnya (Rapoport, 1969).

2.3 Permukiman yang Tumbuh Secara Organik

Sebuah permukiman tercipta dan berkembang secara spontan, diatur menurut pendapat masyarakat secara umum yang sangat dipengaruhi oleh adat istiadat, kepercayaan, agama, sesuai dengan kondisi alamiah sehingga lahirlah suatu pola


(33)

permukiman organik, dengan karakteristik berorientasi pada alam dan mempunyai kohesi yang kuat.

Pola sebuah kota organik merupakan perwujudan dari bentuk kota ‘unplanned city’, yaitu kota yang tumbuh tanpa perencanaan formal, terbentuk dengan sendirinya menurut kaidah, norma, dan kebudayaan yang berlaku di masyarakat yang menempatinya (Spiro Kostof, 2001).

Pembentukan kota yang tidak direncanakan secara formal ini menimbulkan ketidakteraturan bentuk kota, namun tetap harmonis dan merupakan cerminan dari keinginan dan pemikiran masyarakat. Kota yang lahir, tumbuh dan berkembang karena aspirasi masyarakat, dan unplanned city merupakan produk masyarakat yang benar-benar murni dan telah disepakati.

Menurut Spiro Kostof (2001), faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan organic pattern meliput i:

1. Topografi (the role of topography), pola kota organik selalu mengikuti topografi yang ada, tidak merubah ataupun memodifikasinya. Keadaan topografi yang beragam pada satu wilayah akan menyebabkan ketidakteraturan pola kawasan, dan ketidakteraturan pola inilah yang menjadi salah satu indikator pola kota organik.

2. Pembagian Lahan (land division), pembagian lahan dalam usaha pemanfaatannya seringkali mengikuti keinginan masyarakat sehingga berdampak pada terjadinya ketidakteraturan pola kawasan hingga akhirnya terbentuk pola organik.


(34)

15

3. Synoecism, gejala synoecism menunjukkan suatu pola organik jika dilihat dari dua hal yaitu terbentuknya kawasan karena keinginan dan kesepakatan masyarakat setempat, dan terbentuknya pusat kegiatan.

4. Hukum dan Aturan Sosial (the law and social order), kaidah dan aturan sosial yang berlaku di masyarakat yang menciptakan suatu pola tertentu. Faktor alam dan faktor aspirasi masyarakat tersebut saling dikombinasikan dan diinteraksikan untuk menghasilkan suatu tata ruang kota yang harmonis antara kehidupan manusia dengan lingkungan alamnya. Perpaduan tersebut menghasilkan bentuk yang khas, yang memiliki ciri-ciri: irregular, non geometrik (dalam skala kecil), organik, dan fleksibel.

Sifat-sifat kawasan yang tumbuh secara organik, antara lain mempunyai hubungan sosial masyarakat yang sangat erat, rasa kebersamaan yang tinggi, terjalinnya hubungan yang harmonis antara manusia dan alam, dan terjadinya kelestarian lingkungan.

Konteks perkembangan permukiman di perkotaan sebagai bagian dari perkembangan perkotaan secara keseluruhan yang dipengaruhi oleh perkembangan berbagai faktor seperti sosial budaya, ekonomi, politik, teknologi dan keadaan alam. Permukiman tidak teratur (unplanned settlement) terbagi menjadi 2 (dua) tipe yaitu tipe kampung dan tipe rumah liar, dimana perbedaan utamanya terletak pada status legalitas baik tanah maupun bangunannya.

Aktifitas dan pola pergerakan manusia sangat mempengaruhi terbentuknya suatu permukiman, karena kawasan dimana manusia tinggal dan melakukan


(35)

aktifitasnya merupakan bentuk visual sebagai wadah atau tempat. Terbentuknya suatu permukiman sangat dipengaruhi oleh aktifitas manusia di dalamnya yang meliputi bidang politik, ekonomi, sosial budaya, agama dan faktor lain yang tak kalah pentingnya adalah faktor alam seperti geografi, geologi, topografi, demografi dan lain-lain.

Terbentuknya permukiman merupakan pengalaman manusia dalam menciptakan ruang bagi kehidupan pada suatu kondisi tapak tertentu. Pada kenyataannya, pola permukiman berkembang mengikuti kebutuhan dan aktifitas yang terjadi pada penduduknya. Hal inilah kemudian yang akan mempengaruhi munculnya macam-macam pola permukiman.

Pola suatu kawasan dapat sangat berbeda, karena perbedaan tekstur pola-pola tersebut mengungkapkan perbedaan rupa kehidupan dan kegiatan masyarakat perkotaan secara arsitektural. Maksudnya ialah dengan menggunakan analisis pola-pola tekstur perkotaan dan menemukan perbedaan data pada pola-pola tersebut, akan didapatkan informasi yang menunjukkan ciri khas tatanan kawasan tersebut dan lingkungannya. Namun dalam kenyataannya, yang sering terjadi ketika menganalisis suatu kawasan perkotaan adalah kurang jelasnya pola tempat tersebut.

Dalam penelitian mengenai morfologi Kampung Nelayan Belawan Medan ini, manfaat teori bentuk permukiman kota adalah menunjukkan bahwa tercipta dan berkembangnya suatu permukiman karena adanya pergerakan dan aktifitas masyarakat di kawasan tersebut.


(36)

17

2.4 Permukiman di Pesisir Pantai

Menurut Iwan Suprijanto (2003) secara garis besar karakteristik umum permukiman tepi air antara lain:

a. Karena belum adanya panduan penataan permukiman yang baku, kawasan permukiman di atas air cenderung rapat dan kumuh.

b. Tipologi bangunan menggunakan struktur dan konstruksi tradisional konvensional seperti rumah-rumah kayu dengan struktur sederhana.

c. Karakteristik penduduk tergolong ekonomi lemah terbelakang, dengan pendidikan yang relatif terbatas sehingga pengetahuan akan perumahan sehat cenderung masih kurang.

d. Dampak dari kondisi diatas terjadi kecenderungan akan berbagai kebiasaan tidak sadar lingkungan seperti: sifat mengotori dan mencemari sumber-sumber air, mencemari lingkungan yang berpengaruh terhadap air permukaan, dan memungkinkan penyebaran penyakit melalui pembuangan air limbah, terbatasnya teknologi terapan untuk penanganan masalah-masalah di atas seperti sistem pembuangan air limbah, sampah, pengelolaan air bersih .

Kay dan Alder (1999) menyatakan “ The band of dry land adjancent ocean space (water dan submerged land) in wich terrestrial processes and land uses directly affect oceanic processes and uses, and vice versa”. Diartikan bahwa wilayah pesisir adalah wilayah yang merupakan tanda atau batasan wilayah daratan dan


(37)

wilayah perairan yang mana proses kegiatan atau aktivitas bumi dan penggunaan lahan masih mempengaruhi proses dan fungsi kelautan.

Menurut Suprijanto (2003) wilayah pesisir adalah wilayah pertemuan antaradaratan dan laut ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasangsurut, angin laut, dan perembesan air asin. Sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di daratseperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena kegiatanmanusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.

Dari pengertian-pengertian diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwawilayah pesisir merupakan wilayah yang unik karena merupakan tempat percampuranantara daratan dan lautan, hal ini berpengaruh terhadap kondisi fisik dimana padaumumnya daerah yang berada di sekitar laut memiliki kontur yang relatif datar.

Adanya kondisi seperti ini sangat mendukung bagi wilayah pesisir dijadikan daerahyang potensial dalam pengembangan wilayah keseluruhan. Hal ini menunjukan garisbatas nyata wilayah pesisir tidak ada. Batas wilayah pesisir hanyalah garis khayalanyang letaknya ditentukan oleh kondisi dan situasi setempat. Di daerah pesisir yanglandai dengan sungai besar, garis batas ini dapat berada jauh dari garis pantai.Sebaliknya di tempat yang berpantai curam dan langsung berbatasan dengan lautdalam, wilayah pesisirnya akan sempit.


(38)

19

1. Karakteristik Fisik Lingkungan.

a. Secara topografi, merupakan pertemuan antara darat dan air, dataran landai, serta sering terjadi erosi, abrasi dan sedimentasi yang bisa menyebabkan pendangkalan badan perairan. Topografi tanah dapat dibedakan atas 3 (tiga) kategori, yaitu:

1. Daerah perbukitan dengan kemiringan dataran 20 - 60 % (di darat); 2. Daerah relatif datar/kemiringan 0 - 20 % (di darat, termasuk daerah

pasang surut);

3. Daerah rawa atau di atas air.

b. Secara hidrologi merupakan daerah pasang surut, mempunyai air tanah tinggi, terdapat tekanan air laut terhadap air tanah, serta merupakan daerah retensi sehingga run-off air rendah.

c. Secara geologi, sebagian besar mempunyai struktur batuan lepas, tanah lunak, serta rawan bencana tsunami.

d. Secara penggunaan lahan memiliki hubungan intensif antara air dan elemen kota.

e. Secara klimatologi memiliki dinamika iklim, cuaca, angin, suhu dan kelembaban tinggi.

f. Pergeseran fungsi badan perairan laut sebagai akibat kegiatan di sekitarnya menimbulkan beberapa permasalahan lingkungan, seperti pencemaran.


(39)

2. Karakteristik Perumahan dan Permukiman.

a. Sejarah awal keberadaan lingkungan perumahan/permukiman di kota pantai dapat dibedakan atas 2 (dua) kronologis, yaitu:

1. Perkembangan yang dimulai oleh kedatangan sekelompok etnis tertentu di suatu lokasi di pantai, yang kemudian menetap dan berkembang secara turun-temurun membentuk suatu klan/komunitas tertentu serta cenderung bersifat sangat homogen, tertutup dan mengembangkan tradisi dan nilai-nilai tertentu, yang pada akhirnya merupakan karakter dan ciri khas permukiman tersebut.

2. Perkembangan sebagai daerah alternatif permukiman, karena peningkatan arus urbanisasi, yang berakibat menjadi kawasan liar dan kumuh perkotaan.

b. Tahapan perkembangan kawasan perumahan/permukiman di kota pantai adalah:

1. Tahap awal ditandai oleh dominasi pelayanan kawasan perairan sebagai sumber air untuk keperluan hidup masyarakat. Kota masih berupa suatu kelompok permukiman di pantai dan di atas air.

2. Ketika kota membutuhkan komunikasi dengan lokasi lainnya (kepentingan perdagangan) maka kawasan perairan merupakan prasarana transportasi, dan dapat diduga perkembangan fisik kota yang cenderung memanjang di pantai (linier).


(40)

21

3. Perkembangan selanjutnya ditandai dengan semakin kompleksnya kegiatan fungsional, sehingga intensitas kegiatan di sekitar perairan makin tinggi. Jaringan jalan raya menawarkan lebih banyak kesempatan mengembangkan kegiatan. Walaupun begitu, jenis fungsi perairan tidak berarti mengalami penurunan, bahkan mengalami peningkatan (makin beragam).

c. Kawasan permukiman di atas air cenderung rapat (kepadatan bangunan tinggi dan jarak antar bangunan rapat) dan kumuh (tidak teratur, kotor, dll). Dominasi kawasan perumahan/permukiman nelayan, yang umumnya kumuh dan belum tertata.

d. Pola perumahan dipengaruhi oleh keadaan topografi, dibedakan atas 3 (tiga), yaitu:

1. Daerah perbukitan cenderung mengikuti kontur tanah;

2. Daerah relatif datar cenderung memiliki pola relatif teratur, yaitu pola Grid atau Linear dengan tata letak bangunan berada di kiri-kanan jalan atau linear sejajar dengan (mengikuti) garis tepi pantai;

3. Daerah atas air pada umumnya cenderung memiliki pola cluster, yang tidak teratur dan organik. Pada daerah-daerah yang telah ditata umumnya menggunakan pola grid atau linear sejajar garis badan perairan.

e. Orientasi bangunan semula umumnya menghadap perairan sesuai orientasi kegiatan berbasis perairan. Perkembangan selanjutnya orientasi kegiatan ke


(41)

darat semakin meningkat (bahkan lebih dominan), maka orientasi bangunan cenderung menghadap ke arah darat dan lebih mempertimbangkan aspek fungsional dan aksesibilitas.

f. Secara arsitektural, bangunan pada permukiman di kota pantai dibedakan atas:

1. Bangunan di atas tanah; 2. Bangunan panggung di darat; 3. Bangunan panggung di atas air;

4. Bangunan rakit di atas air (pernah ada dan saat ini sudah jarang dijumpai);

Arsitektural bangunan dibuat dengan kaidah tradisional maupun modern, sesuai dengan latar belakang budaya dan suku/etnis masing-masing.

g. Tipologi bangunan menggunakan struktur dan konstruksi sederhana, tradisional dan konvensional, yang kurang memperhitungkan pengaruh angin, tsunami, gempa, dll.

h. Sering terjadinya kebakaran karena kelalaian, penggunaan bahan/peralatan berbahaya dan mudah terbakar, serta belum tersedianya sarana dan pedoman penanggulangan kebakaran, khususnya untuk perumahan di atas air.

Kawasan pesisir rentan dengan berbagai permasalahan. Adapun permasalahan utama kawasan pesisir pantai:


(42)

23

1. Permasalahan Fisik Lingkungan.

a. Adanya abrasi dan akresi menyebabkan pengikisan dan sedimentasi sehingga garis pantai sering berubah, yang mengganggu aktivitas yang sedang maupun akan berlangsung. Sedimentasi mengakibatkan pendangkalan sehingga transportasi air terganggu.

b. Muka air tanah tinggi dan merupakan fungsi retensi menyebabkan sering terjadi genangan banjir, run-off rendah, lingkungan korosif, serta tingginya intrusi air laut ke air tanah. Arus pasang surut menimbulkan masalah pendaratan kapal.

c. Secara geologis, kawasan tersebut rawan bencana tsunami serta muka tanah turun.

d. Tata guna lahan dan pembangunan fisik yang tidak sesuai karakteristik area pantai akibat adanya kompetisi lokasi yang berhadapan dengan air. Hal ini mengakibatkan konflik kepentingan antara kawasan konservasi dan komersial.

e. Dilihat dari kondisi klimatologinya, kawasan tersebut mempunyai dinamika iklim, cuaca, angin, dan suhu, serta mempunyai kelembaban tinggi.

f. Pergeseran fungsi tepi laut/pantai mengakibatkan timbulnya:

1. Gejala erosi tanah yang terus meningkat sehingga terjadi pedangkalan perairan.


(43)

3. Pertentangan kepentingan.

4. Meningkatnya pencemaran air berakibat pada penurunan hasil perikanan. 5. Potensi perairan sebagai objek wisata sukar dimanfaatkan karena

kecenderungan menurunnya estetika lingkungan.

6. Terjadi kecenderungan kenaikan muka air laut sebagai bagian dari pemanasan global (global warming) dan dampak pembangunan pada kawasan tepi laut/pantai secara tidak berwawasan lingkungan.

7. Potensi perairan sebagai sumber air bersih penduduk menjadi tidak ekonomis lagi karena membutuhkan biaya tinggi untuk proses penjernihannya.

2. Permasalahan Perumahan dan Permukiman.

a. Sebagian besar perumahan nelayan dan perumahan di atas air belum memenuhi standar persyaratan kesehatan, kenyamanan, keamanan, ketertiban, keindahan dan berwawasan lingkungan.

b. Kondisi lingkungan perairan kurang mendukung, sehingga perlu penyelesaian sistem struktur tepat guna pada kondisi perairan, khususnya di daerah pasang surut.

c. Kecenderungan pengembangan kawasan pemukiman, terutama di atas air akan bersaing dengan lajunya pengembangan wilayah pelabuhan.

d. Belum adanya pengaturan perencanaan, pelaksanaan, juga pengawasan dan pemeliharaan kawasan perumahan di pantai, terutama perumahan di atas air.


(44)

25

e. Belum maksimalnya teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk kawasan ini, baik dari aspek fisik bangunan, maupun teknologi sistem pendukungnya. Alternatif-alternatif teknologi yang dapat diterapkan umumnya relatif modern dan cenderung memakan biaya tidak murah, sehingga menjadi tidak efektif, mengingat daya jangkau relatif terbatas. Perlu beberapa teknologi murah dan tepat guna.

f. Tidak didukung penyediaan material berkualitas yang cukup (jumlah semakin terbatas dan relatif semakin mahal).

3. Permasalahan Status Hukum (Legalitas) Kawasan

a. Meskipun eksitensi fisik diakui, namun pengakuan dan dukungan secara hukum masih terkesan ragu-ragu, yang mungkin disebabkan oleh beberapa faktor:

1. Pengertian sempadan pantai masuk dalam kelompok kawasan lindung. 2. Pengertian permukiman: bagian lingkungan hidup di luar kawasan

lindung, baik berupa kawasan pedesaan maupun perkotaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

3. Pengertian persyaratan pembakuan dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan dan rencana tata ruang lingkungan tempat tinggal atau hunian untuk membangun, hanya dapat terwujud di atas sebidang tanah yang disebut kavling tanah matang.


(45)

b. Karena kawasan di atas air tumbuh tanpa aturan yang jelas dengan sendirinya status hukumnya menjadi tidak jelas.

c. Belum memungkinkan menjadikan bangunan/sarana dan prasarana sebagai jaminan/agunan kredit, khususnya pada lembaga-lembaga keuangan/perbankan yang ada.

Kawasan pesisir pantai juga mempunyai potensi, antara lain:

1. Merupakan dataran subur dan sebagian besar memiliki sumber daya mineral.

2. Muka air tanah tinggi sehingga memiliki cukup banyak ketersediaan air. 3. Keunggulan lokasi kawasan yang mempunyai akses langsung ke air

mengakibatkan percepatan pengembangan kawasan.

4. Merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah penyediaan perumahan sebagai akibat kekurangan/kesulitan lahan baru (semakin mahal, dan terbatas).

5. Adanya perumahan di pinggiran air dan/atau di atas air merupakan potensi wisata yang dapat dikembangkan.

2.5Morfologi Perkampungan Kawasan Pesisir

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Hassan (2001), secara umum jenis perkampungan nelayan yang berada di kawasan pesisir yang terbentuk merupakan hasil dari perkembangan morfologi penempatan yang berbeda antara satu dengan


(46)

27

yang lainnya yang dipengaruhi oleh rupa bentuk geografi masing-masing. Corak permukiman ini dapat diklasifikasikan dalam 6 (enam) bentuk, yaitu:

2.5.1 Morfologi Arah Daratan

Morfologi arah daratan ini merupakan perkembangan permukiman kampung nelayan yang paling umum. Kebanyakan kampung nelayan terbentuk berdasarkan morfologi ini. Pada awalnya, tumpuan penempatan perumahan yang dibangun berkembang dari pinggiran sungai ke arah daratan seperti terlihgat pada Gambar 2.1. Awalnya, rumah-rumah dibangun di pinggiran sepanjang muara sungai karena kawasan tersebut sangat tepat bagi masyarakat yang ingin mendirikan rumah sekaligus bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Posisi ini juga paling strategis untuk membangun dermaga sebagai tempat pendaratan perahu para nelayan. Rumah-rumah dibangun dengan teknik pertukangan sederhana, dan menjadi sangat rapat antara satu dengan yang lainnya, karena masing-masing rumah ingin mempunyai akses langsung terhadap tempat pendaratan perahu mereka.

Apabila kawasan pesisir mulai penuh, konsentrasi morfologi tersebut bertumpu ke arah daratan. Secara tidak langsung, lapisan kedua bangunan yang dibangun berdasarkan garis topografi lapisan pertama rumah-rumah yang sudah lebih dahulu terbentuk. Biasanya, sebuah jalan besar dibangun sebagai akses utama untuk penduduk kampung tersebut, yang tidak berpeluang membangun rumah mereka di tepi sungai, sehingga dapat terhubung dengan titian pendaratan perahu mereka. Jalan utama ini juga merupakan faktor penting dalam pembentukan lapisan perumahan yang dibangun selanjutnya. Semakin jauh rumah-rumah itu dari perumahan di lapisan


(47)

yang pertama, maka semakin berkurang tumpuan rumah-rumah itu dibangun berdasarkan topografi pinggiran sungai tersebut. Rumah-rumah pada lapisan selanjutnya ini, lebih bertumpu pada jalan utama kampung tersebut. Hal ini terjadi dikarenakan jalan utama tersebut juga menjadi kawasan pasar dan warung-warung yang menjual kebutuhan sehari-hari penduduk kampung tersebut. Pada proses perkembangannya, morfologi kampung tersebut berbentuk piramid, dimana penempatan rumah-rumah di sekitar tepi sungai lebih lebar daripada penempatan rumah-rumah di ujung jalan utama. Pertemuan dermaga dengan jalan utama menjadi jalur sirkulasi utama sebagai akses pengangkutan barang-barang untuk dipasarkan.

Pada tingkat akhir perkembangan morfologi tersebut, rumah-rumah dibangun pada tapak kawasan yang masih kosong. Beberapa kawasan digunakan sebagai lokasi pendirian industri kecil karena selain menangkap ikan di laut, para nelayan yang dibantu keahlian anggota keluarganya juga menjalankan pembuatan kerupuk, roti, terasi, ikan kering, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan hasil tangkapan mereka. Jalan-jalan sekunder juga terbentuk sebagai akses alternatif bagi penduduk kampung yang bersangkutan. Jalur sirkulasi ini juga terbentuk mengikuti topografi dan dibangun menuju jalan utama. Jalan-jalan kecil lainnya juga dibangun ke arah dermaga-dermaga nelayan supaya para nelayan yang tinggal di lapisan dalam dapat menggunakannya sebagai jalan pintas menuju perahu mereka.


(48)

29

Gambar 2.1 Morfologi Arah Daratan


(49)

2.5.2 Morfologi Arah Air

Morfologi ini terjadi apabila desakan untuk menampung kepadatan unit rumah menjadi semakin tinggi disebabkan bertambahnya jumlah penduduk kampung. Sehingga para penduduk mulai membangun dermaga yang lebih panjang ke arah sungai, ke arah lokasi yang lebih dalam, dan penempatan rumah-rumah kemudian berada di sepanjang dermaga tersebut seperti terlihat pada Gambar 2.2. Topografi juga merupakan faktor yang sangat penting yang mempengaruhi terbentuknya morfologi ini. Gradien sungai tidak terlalu besar dari tepian sungai sampai ke ujung dermaga yang dibangun tersebut. Rumah-rumah nelayan yang didirikan di atas air dan ke arah sungai seperti ini biasanya terdapat di kawasan sungai berukuran kecil. Oleh sebab itu gradien dasar sungainya sangat kecil dan cukup dalam sehingga sangat sesuai digunakan sebagai tempat pendaratan perahu-perahu nelayan. Kelandaiannya memungkinkan pembangunan tiang-tiang di dasar sungai dan tiang-tiang ini cukup kuat untuk menyokong beban pelataran yang dibangun. Pelataran ini biasanya memiliki ketinggian 2.5 hingga 5 meter dari dasar sungai. Pelataran yang dibangun ini merupakan sumber utama pembentukan rumah-rumah yang berikutnya dibangun di sepanjang pelataran tersebut. Dermaga yang dibangun ini menjadi tolak ukur bagi penduduk dalam mendirikan rumahnya. Jika dermaga tersebut tidak roboh, berarti itu menunjukkan rumah-rumah juga dapat dibangun sampai jarak tersebut. Hal ini dikarenakan bahan yang digunakan sebagai tiang adalah kayu, yang berasal dari hutan bakau yang berdekatan.


(50)

31

Walau bagaimanapun, bahan bangunan tersebut mempunyai batasan, dimana bahan tersebut tidak dapat digunakan sebagai tiang rumah dan dermaga apabila dasar sungainya sangat dalam. Hal ini karena pohon bakau yang digunakan sebagai bahan bangunan berukuran kecil, berbeda dengan pepohonan hutan tropis. Pohon-pohon ini rata-rata hanya memiliki panjang 12 meter, dengan diameter 0.25 sampai 1 meter, sehingga panjang dan tebal kayu yang dihasilkan juga terbatas. Sehingga kekuatan untuk menopang konstruksi bangunan maupun dermaga relatif kecil.

Seperti perkampungan nelayan lain, faktor topografi juga sangat mempengaruhi morfologi pembentukan jenis kampung nelayan ini. Kampung ini biasanya dikelilingi oleh hutan bakau yang tanahnya berawa, sehingga kurang sesuai untuk penempatan perkampungan nelayan dan pendaratan perahu-perahu nelayan. Hal ini dikarenakan struktur konstruksi pada tanah berawa membutuhkan teknik pertukangan yang cukup sulit. Pendaratan perahu-perahu nelayan pada daerah berawa ini juga akan sangat mengalami kesulitan.

Pembangunan yang pesat dan perkembangan kawasan bandar juga merupakan faktor penting mengapa kampung bercorak seperti ini terbentuk. Sebagian besar bandar terletak di muara-muara sungai karena kawasan tersebut sesuai untuk ditempatkan sebagai pelabuhan. Di samping itu, bentuk asal topografi di muara sungai itu juga sangat sesuai untuk digunakan sebagai tempat pendaratan perahu-perahu nelayan. Untuk itulah kampung-kampung nelayan berdiri di lokasi tersebut.


(51)

Gambar 2.2 Morfologi Arah Air Sumber :Hassan, 2001


(52)

33

2.5.3 Morfologi Selari (Sejajar dengan garis pantai)

Yang dimaksud dengan morfologi selari yaitu perkembangan permukiman yang sejajar dengan topografi tebing sungai. Para nelayan tidak membangun rumah mereka ke arah daratan karena topografi kawasan tersebut tidak memungkinkan pembangunan perumahan dengan cara sederhana. Salah satunya dikarenakan kawasan ke arah daratan merupakan kawasan rawa yang sangat sulit untuk dibangun. Penyebab lainnya dikarenakan kawasan tersebut adalah kawasan yang sangat curam dan berbukit. Oleh sebab itu, mereka membangun rumah di sepanjang pinggiran sungai.

Pada awalnya, sekelompok nelayan membangun rumahnya di tepi muara sungai. Hal ini terjadi karena kecenderungan para nelayan yang ingin dekat dengan sumber mata pencahariannya. Seperti apa yang berlaku dalam Morfologi Arah Daratan, kawasan di tebing sungai merupakan kawasan yang paling berharga dan strategis. Kawasan yang dapat digunakan untuk penempatan perumahan ke arah daratan sangat terbatas. Kawasan tepian sungai ini cukup luas, namun memanjang.

Sungai merupakan satu-satunya akses jalur transportasi dan komunikasi kampung tersebut ke kampung-kampung lainnya. Hal ini dikarenakan kampung tersebut tidak mempunyai jalan yang dapat menghubungkannya melalui daratan karena kawasan sekitarnya berbukit bakau, dan juga dikelilingi oleh hutan bakau dan rawa. Oleh sebab itu, peranan sungai sangatlah penting. Setiap orang yang ingin menuju ke perkampungan nelayan ini haruslah menggunakan perahu nelayan untuk mencapainya.


(53)

Dalam Morfologi Selari, semua rumah berorientasi kepada sungai. Dermaga-dermaga kecil dibangun di hadapan masing-masing rumah, dan saling berhubungan dengan dermaga-dermaga lainnya, sehingga membentuk suatu jalur bagi penduduk kampung tersebut untuk berlalu lalang. Biasanya, dermaga ini dibangun secara bergotong royong, yaitu kerjasama seluruh penduduk kampung. Di sebagian kampung lain, jalur sirkulasi umum dibangun di belakang rumah dan dermaga-dermaga pribadi dibangun di depan rumah. Pembuatan dermaga-dermaga dan jalur sirkulasi dipengaruhi oleh faktor geografi di kawasan tersebut seperti kedangkalan sungai dan gradient daratan yang bersangkutan. Berdasarkan faktor ini, penduduk kampung mengambil keputusan bahwasannya jalur sirkulasi juga perlu dibangun di depan rumah. Rumah-rumah yang dibangun selalu mengikuti topografi sungai yang biasanya berbentuk melengkung dan memanjang sejajar dengan garis pantai seperti terlihat pada Gambar 2.3.

Apabila tapak kawasan yang dapat dibangun di sekitar tebing sungai sudah habis digunakan, maka perkembangan perumahan selanjutnya berada di belakang rumah-rumah lapisan pertama yang sudah ada. Orientasi bangunan pada lapisan kedua ini disesuaikan dengan jalur sirkulasi kampung yang dibuat oleh penduduk. Demikian seterusnya, lapisan-lapisan perumahan terbentuk seiring dengan pertambahan penduduk kampung. Orientasi bangunan kemudian mengikuti jalan-jalan yang dibangun kemudian.


(54)

35

Gambar 2.3 Morfologi Selari Sumber :Hassan, 2001


(55)

2.5.4 Morfologi Atas Air

Sejumlah perkampungan nelayan dibangun di atas muara-muara sungai dan terpisah dari daratan seperti terlihat pada Gambar 2.4. Pasang surut air merupakan faktor yang berperan sangat penting dalam pembentukan morfologi ini. Apabila suatu kawasan berada bertepatan dengan posisi bulan, maka akan terjadi air pasang di kawasan tersebut, akibat adanya gravitasi bulan yang mempengaruhi permukaan laut tersebut. Begitu juga sebaliknya, apabila posisi bulan tidak tepat berada pada kawasan tersebut, maka air laut akan surut, permukaan air laut di lokasi tersebut akan turun. Apabila terjadi hal seperti ini, sejumlah kawasan di muara-muara tidak tenggelam oleh air sungai.

Kawasan tersebut menjadi tumpuan utama oleh para nelayan untuk membangun kawasan permukiman dan lokasi pendaratan perahunya. Jenis kampung ini timbul apabila tukang-tukang bangunan sudah memiliki kemampuan yang cukup baik yang menyebabkan mereka mampu membangun dermaga dan rumah-rumah yang dengan tiang-tiang yang panjang. Pada awal terbentuknya kampung tersebut, sekelompok nelayan mendirikan rumah di kawasan yang dangkal dan sesuai sebagai tempat pendaratan perahu-perahu kecil mereka. Mereka mengetahui bahwa kawasan ini cukup baik dibangun berdasarkan pengalaman dan mereka melihat kawasan ini timbul dan tenggelam apabila air pasang-surut terjadi. Kampung ini biasanya berada di kawasan yang terlindung secara langsung dari laut lepas. Sebagian besar terletak di selat-selat kecil yang berhubungan dengan muara-muara sungai. Di depan kampung-kampung ini biasanya terdapat pulau-pulau kecil yang melindungi


(56)

37

kedudukan mereka dari angina kencang dan ombak besar yang dapat merobohkan dermaga dan rumah-rumah di kampung mereka.

Pada awal pembangunan perkampungan ini, para nelayan membangun rumah-rumah di tapak yang menurut mereka sesuai dan cukup aman ditempati. Tapak ini mereka pilih berdasarkan penglihatan mereka pada saat terjadinya pasang dan surut air. Masyarakat nelayan merupakan golongan yang sangat peka terhadap segala hal yang berkaitan dengan laut dan cuaca. Hal ini juga dikarenkan faktor-faktor tersebut begitu berpengaruh terhadap mata pencaharian mereka. Dari penelitian yang dilakukan, para nelayan membangun rumah-rumah mereka di kawasan muara pada saat air surut. Oleh sebab itu topografi kawasan muara sangat mempengaruhi bentuk penempatannya. Permukiman ini kemudian berkembang di sekitar kawasan tanah yang timbul pada apabila air surut. Para nelayan membangun dermaga-dermaga sampai ke kawasan yang cukup dalam untuk pendaratan perahu-perahu mereka.

Seperti juga halnya perkampungan yang terbentuk secara Morfologi Arah Air dan Selari, sungai juga merupakan satu-satu nya jalur transportasi bagi penduduk kampung tersebut. Tidak terdapat jalur lintas dari arah daratan yang dapat digunakan karena kawasan tersebut dikelilingi oleh hutan bakau dan tanah berbukit bakau. Biasanya pusat perniagaan terpusat di salah satu sudut kampung, yang biasanya merupakan kawasan yang pertama kali dibangun. Pusat perniagaan ini merupakan tempat pendaratan para nelayan untuk memasarkan hasil tangkapan mereka, dan juga menjadi tempat berniaga barang-barang kebutuhan sehari-hari penduduk kampung.


(57)

Gambar 2.4 Morfologi Atas Air Sumber :Hassan, 2001


(58)

39

2.5.5 Morfologi Muka Muara

Perkembangan morfologi ini berada di sepanjang permukaan muara sungai di atas tanah rawa berlumpur yang menjadi semakin tinggi karena sungai membawa hasil pengikisan tanah, lumpur dan pasir, dan membawanya di muka muara (Gambar 2.5). Apabila ketinggian tanah berlumpur ini mencapai satu tahap, ia menjadi kawasan yang sesuai untuk ditempati. Sungai-sungai ini biasanya tidak lebar dan kecil. Tingkat kederasan airnya juga tidak terlalu kuat dan hal ini memungkinkan pembangunan rumah-rumah nelayan di kedua belah tepi sungai. Perkembangannya biasanya bertumpu ke arah delta-delta sungai apabila sebagian besar rumah dibangun ke arah daratan bila permukaan muara sungai telah dipenuhi dengan permukiman.

Gambar 2.5 Morfologi Muka Muara


(59)

2.5.6 Morfologi Gabungan

Morfologi ini merupakan gabungan dari beberapa jenis morfologi yang telah dikemukakan sebelumnya. Beberapa kampung nelayan terbentuk berdasarkan Morfologi Arah Daratan dan Morfologi Arah Air karena topografi kawasan tersebut sesuai dengan kedua jenis morfologi tesebut. Karena adanya kampung nelayan yang terbentuk berdasarkan morfologi gabungan ini, bentuk penempatan mereka sangat kompleks dan sulit ditentukan bentuk kampung tersebut jika dilihat sekilas. Hal ini terjadi karena kawasannya sangat terbatas dan adanya desakan untuk pembangunan rumah-rumah berikutnya untuk menampung jumlah penduduk yang terus bertambah.

2.6 Pola Sirkulasi Permukiman

Sirkulasi dapat diartikan sebagai suatu tali yang mengikat ruang-ruang suatu bangunan atau deretan ruang-ruang dalam maupun luar menjadi saling berhubungan. Kampung yang pada awalnya berangkat dari pengertian ‘desa’ merupakan sebuah wilayah yang pada umumnya berpola hunian dengan bentuk sirkulasi yang tidak teratur (irregular pattern).Keadaan ini berlanjut sesuai dengan budaya pembagian lahan (tanah keluarga) dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Secara umum konfigurasi alur gerak sirkulasi yang ada berupa konfigurasi linear, griddan bersifat network. Konfigurasi linearumumnya terjadi di bagian akses utama pencapaian ke kampung tersebut, konfigurasi gridumumnya terjadi di pusat kampung, serta pola network yang biasanya terbentuk di wilayah perbatasan antara rukun warga yang satu dengan yang lainnya.


(60)

41

Pola linear yang terjadi pada suatu kampung umumnya terbentuk karena status kepemilikan lahan yang bukan merupakan tanah keluarga. Jadi merupakan hak milik pribadi (perorangan), tidak ada kecenderungan untuk mempertahankan tanah tersebut agar dimiliki oleh anggota keluarga yang sama, meskipun sebagaian besar penduduk di wilayah tersebut berasal dari satu keturunan keluarga yang sama.

Pada bagian pusat kampung, biasanya konfigurasi sirkulasi yang ada berpola grid.Pola yang terdiri dari dua buah jalan atau lebih yang sejajar dan saling berpotongan pada jarak yang relatif sama dan menciptakan suatu wilayah berbentuk bujursangkar atau kawasan-kawasan ruang segi empat.

Selain itu terdapat sirkulasi yang terbentuk dengan pola network. Suatu bentuk jaringan yang terdiri dari beberapa jalan yang menghubungkan titik-titik tertentu di dalam ruang, bahkan sering ditemukan adanya jalan-jalan yang berakhir dengan ruang. Selain ditempati oleh penduduk yang menempati rumah-rumah sewa, sirkulasi yang berpola seperti itu menunjukkan pula suatu bentuk komunitas masyarakat yang memiliki kekerabatan khusus, baik berada dalam satu keluarga besar atau kelompok kelompok tertentu. Biasanya kelompok yang sama berdasarkan mata pencaharian.

Sirkulasi yang terbentuk pada suatu permukiman berfungsi sebagai elemen pengikatyang menghubungkan suatu tempat atau lingkungan dengan tempat atau lingkungan lainnya. Bagi suatu lingkungan permukiman sirkulasi sangat menentukan aksesibilitas dari lingkungan tersebut ke dalam maupun ke luar. Disamping itu pola sirkulasi jalan (gang), juga menunjukkan tingkat hirarki permukiman


(61)

tersebut.Didalam sutau lingkungan permukiman, jalan/sirkulasi dapat terbentuk oleh tatanan massanya.

Beberapa bagian sirkulasi yang memiliki potensi bagi perbaikan/penataan kampung serta memberikan karakteristik pada suatu kota antara lain wilayah yang menjadi:

1. Ruang-ruang terbuka sebagai ruang pemersatu antara keluarga. Ruang tersebut menggambarkan suatu strategic space atau compound space. Strategic space merupakan pusat dari sistem jalan masuk dan perkembangan suatu kawasan yang bersifat publik dan merupakan titik berkumpulnya sistem-sistem sirkulasi dari segala arah. CompoundSpace dianalogikan sebagai suatu bentuk cangkokan ruang terbuka pada sebuah elemen jalan.

2. Pola sirkulasi yang bersifat linear. Pada pola tersebut terbentuk sebagai penghubung antara ruang satu dengan ruang lainnya sebagai poin-poin utama dalam sekumpulan massa bangunan dalam satu koloni keluarga. 3. Pola sirkulasi yang terbentuk secara alamiah karena adanya sistem

pengkaplingan tanah-tanah keluarga. Pola-pola sirkulasi yang terbentuk umumnya berpola irregular.

Menurut Fernandez (2011), terdapat beberapa tipe pola sirkulasi pada permukiman kumuh yang rentan terhadap bencana, antara lain:


(62)

43

1. Garis grid teratur

Suatu permukiman dengan jalan-jalan paralel dan transversal dimensi yang hampir seragam, dalam bentuk grid atau kotak-kotak, yang terletak di daerah yang datar. Pola seperti ini banyak ditemui pada dataran Amerika Latin, terlihat pada Gambar 2.6.

2. Garis grid tidak teratur

Konfigurasi fisik dan spasial bentuk grid yang tidak beraturan ini sering dijumpai pada lahan yang berbatu dan juga tanah datar. Pada pola ini terlihat pola grid yang nyata namun tidak beraturan arah, seperti terlihat pada Gambar 2.7 berikut ini.

Gambar 2.6

Permukiman Kumuh Santa Rosa, Lima - Peru Sumber :Fernandez, 2011


(63)

3. Pola yang disesuaikan dengan topografi lahan

Suatu permukiman kumuh yang menyesuaikan dengan kondisi topografi lahannya, dimana jalur sirkulasi berkembang tanpa adanya perencanaan. Jalan dan koridor yang terbentuk berdasarkan kebutuhan penduduk setempat. Merupakan jalur sirkulasi yang sempit dan berliku-liku membentuk jaringan yang kompleks yang timbul di antara dinding-dinding rumah, terlihat pada Gambar 2.8.

Gambar 2.7

Permukiman Kumuh Dos de Mayo, Lima - Peru Sumber :Fernandez, 2011

Gambar 2.8

Permukiman Kumuh Cerro El Agustino, Lima - Peru Sumber :Fernandez, 2011


(64)

45

4. Pola dengan koridor pusat

Permukiman dengan koridor pusat adalah lingkungan yang walaupun memiliki banyak cabang sirkulasi, namun semuanya berkumpul menuju koridor pusat, yang memberikan kesan fokus aksial utama. Pada Gambar 2.9, dapat kita lihat suatu permukiman dengan pola koridor pusat. Pada gambar terlihat suatu akses utama yang menjadi koridor pusat permukiman.

5. Pola radial

Bentuk radial pada permukiman kumuh merupakan sesuatu yang ditetapkan, meskipun dalam kenyataannya jalan dibuat secara acak, namun telah diperoleh konfigurasi fisik dengan aspek radial. Pada Gambar 2.10, terlihat pola radial pada permukiman kumuh Vila Natal di Brazil.

Gambar 2.9

Permukiman Kumuh Mamede, Salvador de Bahia - Brazil Sumber :Fernandez, 2011


(65)

6. Sirkulasi panggung

Sirkulasi seperti ini terdapat pada lahan berkontur dengan kemiringan yang cukup curam. Dimana jalan akses utama dikembangkan sejajar dengan kontur tanah, terlihat pada Gambar 2.11 berikut.

Gambar 2.10

Permukiman Kumuh Vila Natal, Salvador de Bahia - Brazil Sumber :Fernandez, 2011

Gambar 2.11

Contoh Rute Paralel terhadap Garis Kontur Sumber :Fernandez, 2011


(66)

47

2.7 Figure Ground sebagai Pendekatan Penelitian Morfologi

Roger Trancik dalam bukunya Finding Lost Space menekankan bagaimana mencapai suatu integrasi elemen-elemen suatu kawasan, dalam bentuk integrasi antar bangunan dalam satu kesatuan ruang secara tiga dimensional dan integrasi terhadap pengguna atau manusianya dan untuk menciptakan suatu rancangan spasial perlu memahami tentang karakteristik suatu kawasan yang menjadi ciri khas dari kawasan itu, sehingga ruang akan bermakna sebagai tempat (place) bagi masyarakat yang menggunakannya.

Ruang secara morfologis banyak tercipta karena suatu keadaan yang tidak terstruktur, ketidak jelasan hirarki, tidak memberikan integrasi kepada bangunan-bangunan, yang terbentuk dari massa bangunan (solid) dan ruang terbuka (void). Hal ini menciptakan the lost space (ruang yang hilang), dimana bangunan-bangunan berdiri sendiri, sehingga tercipta ketidakharmonisan antar bangunan sehingga sering tidak tercipta rasa pada ruang tersebut, tercipta kawasan yang kurang diminati, tidak aman dan tidak terawat.

Roger Trancik dalam bukunya Finding Lost Space mengemukakan tipe integrasi arsitektur dan ruang kota dalam tiga teori, yaitu: Figure Ground Theory, Linkage Theory, dan Place Theory. Namun, dalam penelitian ini, yang digunakan adalah pendekatan figure ground.

Pendekatan figure ground adalah suatu bentuk usaha untukmemanipulasi atau mengolah pola existing figure grounddengan cara penambahan, pengurangan, atau


(67)

pengubahanpola geometris dan juga merupakan bentuk analisa hubunganantara massa bangunan dengan ruang terbuka.

Merupakan sebuah integrasi yang kuat antara massa bangunan dan ruang sehingga membentuk kesatuan antara solid dan void dalam urban design. Solid merupakan unsur massive (massa bangunan) yang berfungsi sebagai wadah manusia dalam beraktifitas, memberikan volume objek pada jalan dan tapak.

Tipe urban solid terdiri dari: 1. Massa bangunan, monumen.

2. Persil lahan blok hunian yang ditonjolkan. 3. Edges yang berupa bangunan.

Sedangkan Void merupakan ruang terbuka dalam sebuah kawasan. Elemen void sendiri terbagi atas internal voiddan eksternal void.Internal void merupakan ruang terbuka dalam lingkup bangunan, yang sifatnya privat untuk pemilik bangunan, dan kualitasnya dipengaruhi oleh fasade bangunan. Eksternal void merupakan ruang terbuka diluar lingkup bangunan.

Beberapa kawasan dapat dirasakan mempunyai pola yang mengarahpada pola lama dan atau pola baru harus ada sehingga sebuahtempat dapat dimunculkan polanya.Pola-pola tersebut selalu dapat menggambarkan suatu kesesuaian antara organisasi ruang fisik dan organisasi ruang sosial.Pemakaian analisis figure ground sangat membantu dalampembahasan pola-pola tekstural sebuah tempat.

Figure adalah istilah untuk massa yang dibangun (biasanya dalamgambar-gambar ditunjukkan dengan warna hitam). Ground adalah istilah untuk semua ruang


(68)

49

di luar massa itu (biasanyaditunjukkan dengan warna putih). Kadang-kadang sebuah figure ground juga digambarkan dengan warnasebaliknya supaya dapat mengekspresikan efek tertentu.

Ada enam pola kawasan secara tekstural (Gambar 2.12): 1. Grid

2. Angular 3. Kurvilinear 4. Radial konsentris 5. Aksial

6. Organis

Gambar 2.12 Pola Tekstur Kawasan Sumber : Zahnd, 2006


(69)

Dengan membuat figure ground plan dapat diketahui antara lain pola/tipologi, konfigurasi solid dan void yang merupakan sifat elemental kawasan atau pattern kawasan penelitian.

2.8 Pola Perkampungan Tepi Air di Kota Banjarmasin

Perkampungan yang ada di tepi air dapat kita lihat di kota Banjarmasin, dimana kota ini secara geologis dibentuk oleh endapan alluvial dari Sungai Barito dan Sungai Martapura. Bentang alam kota yang relatif landai ini menyebabkan terbentuknya kawasan lahan rawa.

Untuk pertumbuhan kota Banjarmasin, permukiman penduduk pada awalnya terkonsentrasi pada tepian sungai, terutama daerah aliran Sungai Barito dan anak sungainya. Di wilayah tersebut banyak terdapat kantong permukiman sampai berdirinya pusat kerajaan (Saleh, 1981; Atmojo, 2002 dalam Dahliani, 2012). Permukiman penduduk memanjang di tepian sungai membentuk pola linier dengan aliran sungai sebagai poros. Rumah-rumah dibangun menghadap sungai, dan di depan rumah biasanya terdapat derrmaga yang dipakai untuk tempat menyandarkan atau mengikat alat transportasi berupa perahu (Daud, 1997 dalam Dahliani, 2012).

Pola permukiman seperti ini sangat memperhatikan keseimbangan ekosistem, karena masih mempertimbangkan sungai sebagai potensi alam. Tetapi pada perkembangan permukiman berikutnya, mulai tumbuh rumah-rumah di bagian belakang dan samping rumah utama (lapis pertama). Hal ini disebabkan karena sistem kekerabatan yang masih sangat erat, dan ada kecenderungan orangtua sulit berpisah


(70)

51

dengan anaknya walaupun anak sudah menikah dan mempunyai keluarga, maka dibuatlah rumah di bagian samping atau di bagian belakang rumah utama untuk anak-anak dan keluarganya seperti terlihat pada Gambar 2.13. Penduduk awal yang bermukim di kampung tersebut, biasanya memiliki tapak perumahan yang cukup luas, dimana mereka sudah memikirkan untuk menyediakan tapak perumahan bagi keturunannya kelak.

Arsitektur rumah tradisional yang berlokasi di tepian sungai menggunakan konstruksi rumah panggung dari bahan kayu ulin dan pancangan kayu galam, dikarenakan struktur tanah pada lokasi ini yang merupakan tanah berawa (Huzairin, 2004 dalam Dahliani, 2012). Material yang digunakan untuk membangun rumah-rumah mereka biasanya merupakan bahan-bahan yang dihasilkan dari lokasi setempat. Tradisi ini berlanjut sampai ke daerah daratan yang berair dan berawa menyesuaikan dengan kondisi geomorfologis kota Banjarmasin. Sehingga di bagian bawah bangunan masih terdapat ruang-ruang untuk area resapan dan penampungan air. Pondasi pada rumah tradisional ini juga merupakan wujud fisik kebudayaan masyarakat yang hidup di lingkungan lahan rawa yang menyesuaikan dengan tapak permukimannya. Hal ini merupakan kearifan lokal untuk mengatasi permasalahan setempat (Muhammad, 2007 dalam Dahliani, 2012).


(1)

137

kegiatan di tengah kampung tidak mempengaruhi pola permukiman menjadi

bertumpu pada bagian tengah kampung. Hal ini menunjukkan kuatnya tarikan air

yang merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat nelayan yang secara umum

berada pada tingkat kehidupan ekonomi lemah.

Pada Gambar 6.1 di bawah dapat dilihat peta perkembangan morfologi

kampung nelayan Belawan Medan sejak awal terbentuk sampai saat ini.

Gambar 6.1

Perkembangan Morfologi Kampung Nelayan Belawan Medan Sumber : Hasil Analisis, 2014


(2)

138

Dari hasil analisis yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa kampung nelayan

Belawan Medan ini merupakan sebuah permukiman yang tumbuh secara organik

berdasarkan faktor topografi kawasan, sistem kekerabatan yang kuat serta keinginan

dan kesepakatan masyarakatlah yang menyebabkan terjadinya pola organik tersebut.

6.2 Rekomendasi

Pertumbuhan permukiman kampung nelayan Belawan Medan tidak disertai

dengan pengawalan dari pemerintah kota sehingga kawasan tersebut berkembang

tanpa keteraturan, serta kondisi ekonomi masyarakatnya yang berada di garis

kemiskinan menyebabkan kawasan ini tumbuh menjadi kawasan kumuh.

Adapun rekomendasi yang dapat disampaikan kepada pemerintah kota

setempat yaitu perlunya dibuat kebijakan mengenai penataan kawasan yang sesuai

dengan rencana kota sebelum kawasan ini semakin berkembang tanpa terkendali.

Keberadaan masyarakat kampung nelayan ini tidak dapat diacuhkan begitu saja oleh

pemerintahan setempat. Kuantitas mereka yang cukup besar jumlahnya haruslah

diperhitungkan. Oleh sebab itu pemerintah sudah seharusnya memikirkan bagaimana

memberikan legalitas tempat mereka bermukim, mengingat kondisi ekonomi

masyarakat nelayan tersebut yang rata-rata berada di bawah garis kemiskinan

sehingga tidak memungkinkan untuk meminta mereka mencari tempat tinggal lain

yang mempunyai legalitas hukum yang tentunya membutuhkan biaya yang tidak


(3)

139

Ditinjau dari kondisi fisik kampung nelayan Belawan Medan ini, yang

merupakan kawasan yang rentan terhadap bencana, maka sangatlah perlu diadakan

berbagai penyuluhan kepada warga setempat mengenai bagaimana cara-cara yang

tepat dalam penanggulangan bencana yang mungkin terjadi. Selain itu juga,

penyuluhan mengenai kawasan hunian yang sehat sangatlah diperlukan oleh

masyarakat kampung nelayan tersebut.

Pemerintah juga sudah selayaknya memikirkan potensi yang dapat digali dari

keberadaan kampung nelayan Belawan Medan ini. Air yang menjadi sumber

kehidupan bagi masyarakat kampung nelayan tersebut dapat menjadi objek yang

sangat kuat yang memungkinkan kawasan kampung nelayan ini menjadi suatu objek

wisata bahari. Dengan penataan yang tepat, kampung ini dapat diubah dari sebuah

kawasan hunian yang kumuh menjadi sebuah kawasan yang berpotensi wisata.

Dengan demikian diharapkan pertumbuhan permukiman kawasan kampung

nelayan tersebut dapat terkendali dan dapat memberikan kualitas kehidupan yang


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Adriana, Marlia (2007), Transformasi Morfologi Permukiman di Tepian Sungai Martapura, Tesis Program Studi Perumahan dan Permukiman, Institut Teknologi Bandung.

Bogdan, R.C. dan Biklen, S.K. (2003), Qualitative Research for Education : An Introduction to Theories and Methods, Pearson Education Group, New York. Budihardjo, E dan Sudanti H (1993), Kota Bewawasan Lingkungan, Penerbit Alumni,

Bandung.

Dahliani (2012), Konsep Pengolahan Tapak Permukiman di Lahan Rawa Banjarmasin, Jurnal Arsitektur Lanting, Volume 1 no. 2.

Darmiwati, Ratna (2001), Perencanaan Permukiman Nelayan di Pantai Timur Surabaya, Jurnal Arsitektur Dimensi, Volume 29 no. 2.

Fauzy, Bachtiar, dkk (2011), Memahami Relasi Konsep Fungsi, Bentuk dan Makna Arsitektur Rumah Tinggal Masyarakat Kota Pesisir Utara di Kawasan Jawa Timur, Jurnal Arsitektur Dimensi, Volume 38 no. 2.

Fedous, Farhana (2008), Organic Morphology And Cultural Spaces : The Case Of Old Dhaka, Jurnal Ilmiah, Asiatic Society.

Fernandez, Rosa Flores (2011), Physical And Spatial Characteristics of Slum Territories Vulnerable to Natural Disasters, Journal Les Cahiers d’Afrique de l’Est, no. 44.

Gartiwa, Marcus (2011), Morfologi Bangunan dalam Konteks Kebudayaan, Penerbit Muara Indah, Bandung.

Hassan, Ahmad Sanussi dan Ku Azhar Ku Hassan (2001), Corak Perumahan Tradisional Berkepadatan Tinggi; Perkampungan di Sepanjang Pantai Barat Semenanjung Malaysia, Penerbit Universiti Sains Malaysia, Malaysia.

Kay, R. dan J. Alder (1999), Coastal Planning and Management, E&FN Spon, London.


(5)

Kostof, Spiro (2001), The City Shaped; Urban Pattern and Meanings Through History, Penerbit Bulfinch Press, US.

Moh Nazir (2003),Metode Penelitian, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.

Moleong, Lexy J. (2007), Metodologi penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.

Nugroho, Agung Cahyo (2009), Kampung Kota Sebagai Sebuah Titik Tolak Dalam Membentuk Urbanitas Dan Ruang Kota Berkelanjutan, Jurnal Ilmiah Rekayasa, Volume 13 no. 3.

Ramelan, Rubianto, dkk (2007), “Gang” Kampung Kota – Sarana Sirkulasi Multi Fungsi, Penelitian Hibah Fundamental, FPTK UPI Bandung.

Rapoport, Amos (1969), House Form and Culture, Prentice Hall, Eeglewood Cliffs, New York.

Soetomo, Sugiono (2013), Urbanisasi dan Morfologi, Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta.

Somantri, Gumilar Rusliwa (2005), Memahami Metode Kualitatif, Jurnal Makara Sosial Humaniora, Volume 9 no. 2.

Sugiyono (2012), Memahami Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung.

Suprijanto, Iwan (2003), Karakteristik Spesifik, Permasalahan dan Potensi Pengembangan Kawasan Kota Tepi Laut/Pantai (Coastal City) di Indonesia, Proceeding Studi Dampak Timbal Balik Antar Pembangunan Kota dan Perumahan di Indonesia dan Lingkungan Global.

Syarifuddin (2005), Kondisi Fisik Permukiman Penduduk Di Pesisir Pantai Teluk Palu, Jurnal Ilmiah Smartek, Volume 3 no. 3.

Triyuly, Wienty (2013), Pola Perkembangan Permukiman Kampung Assegaf Palembang, Jurnal Berkala Teknik, Volume 3 no. 2.

Turner, John FC (1972), Freedom to Build, Dweller Control of The Housing Process, The Macmilan Company, New York.


(6)

Widiangkoso, G. Epri (2002), Morfologi Kampung Melayu, Studi Kasus : Morfologi Koridor Layur Semarang, Tesis Magister Teknik Arsitektur, Universitas Diponegoro, Semarang.

Wulandari, Lisa Dwi (2010), Proses Perubahan Ruang Spasial di Permukiman Dusun Baran Kidal Malang, Jurnal Ilmiah Local Wisdom, Volume 2 no. 3. Yunus, Hadi Sabari (2000), Struktur Tata Ruang Kota, Penerbit Pustaka Pelajar,

Yogyakarta.

Zahnd, Markus (2006), Perancangan Kota Secara Terpadu, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.