BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektivitas 2.1.1 Pengertian Efektivitas - Penerapan Analisis Jalur Untuk Mengetahui Faktor Yang Mempengaruhi Laju Inflasi Di Indonesia Tahun 2011-2012

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Efektivitas

2.1.1 Pengertian Efektivitas

  Pada kamus besar Bahasa Indonesia, efektivitas diartikan sebagai sesuatu yang ada efeknya (akibatnya,pengaruhnya) dapat diartikan dapat membawa hasil, berhasil guna serta dapat pula berarti mulai berlaku. Selanjutnya Bahasa Inggris, kata efektif yaitu effective yang berarti berhasil atau sesuatu yang dilakukan itu berhasil dengan baik. Efektivitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan di dalam setiap organisasi. Organisasi biasanya berada dalam lingkungan yang bergejolak dengan sumber data yang terbatas. Lingkungan yang berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman, perubahan tersebut akan mempengaruhi efektivitas organisasi. Dalam lingkungan demikian organisasi harus tanggap dan pandai mengantisipasi perubahan agar organisasi tetap dapat mempertahankan keberadaannya dan dapat berfungsi maka organisasi itu harus efektif (Thoha, 2007:98).

  Efektivitas adalah hubungan antara output dan tujuan. Dalam artian efektivitas merupakan ukuran seberapa jauh tingkat output, kebijakan dan prosedur dari organisasi mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam pengertian teoritis dan praktis, tidak ada persetujuan yang universal mengenai apa yang dimaksud dengan efektivitas. Berbagai pandangan yang dikemukakan oleh para ahli berbeda-beda tentang pengertian dan konsep efektivitas dipengaruhi oleh latar belakang dari keahlian yang berbeda pula. Hidayat menyatakan efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target kuantitas, kualitas dan waktu telh tercapai. Semakin besar persentase target yang dicapai, maka semakin tinggi efektivitasnya. Gibson juga berpendapat efektivitas adalah pencapaian sasaran yang telah disepakati atas usaha bersama (Ibnu, 2009).

  Berdasarkan berbagai pengertian tersebut, ada empat hal yang merupakan unsur-unsur efektifitas yaitu sebagai berikut:

  1. Pencapaian tujuan, suatu kegiatan dikatakan efektif apabila dapat mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan sebelumnya.

  2. Ketepatan waktu, sesuatu yang dikatakan efektif apabila penyelesaian atau tercapainya tujuan sesuai atau bertepatan dengan waktu yang telah ditentukan.

  3. Manfaat, sesuatu yang dikatakan efektif apabila tujuan itu memberikan manfaat bagi masyarakat sesuai dengan kebutuhannya.

  4. Hasil, sesuatu kegiatan dikatakan efektif apabila kegiatan itu memberikan hasil.

  Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan efektifitas adalah tercapainya tujuan yang telah di tetapkan. Adanya ketentuan waktu dalam memberikan pelayanan serta adanya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan padanya. Dilihat dari perspektif efektivitas organisasi, Gaertner dan Ramnarayan mengatakan, efektifitas dalam suatu organisasi bukan suatu benda, atau suatu tujuan, atau suatu karakteristik dari output atau perilaku organisasi, tetapi cukup suatu pernyataan dari relasi-relasi di dalam dan di antara jumlah yang relevan dari organisasi tersebut. Suatu organisasi yang efektif adalah yang dapat membuat laporan tentang dirinya dan aktivitas- aktivitasnya menurut cara-cara dalam mana jumlah-jumlah tersebut dapat diterima. Pandangan efektivitas sebagai suatu proses ini mencerminkan aspek politik dari pada aspek ekonomi atas bidang produktivitas. Gerakan produktivitas tidak begitu disebabkan oleh dorongan ekonomi. Menjadi produktif adalah menjadi tanggap secara politik. (Gomes,2003:163).

  Unsur yang penting dalam konsep efektivitas adalah; yang pertama adalah pencapaian tujuan yang sesuai dengan apa yang telah disepakati secara maksimal, tujuan merupakan harapan yang dicita-citakan atau suatu kondisi tertentu yang ingin dicapai oleh serangkaian proses. Diketahui bahwa efektivitas merupakan suatu konsep yang sangat penting karena mampu memberikan gambaran mengenai keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai sasarannya atau dapat dikatakan bahwa efektivitas merupakan tingkat ketercapaian tujuan dari aktivasiaktivasi yang telah dilaksanakan dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya. Pada beberapa literatur ilmiah mengemukakan bahwa efektivitas merupakan pencapaian tujuan secara tepat atau memilih tujuan-tujuan yang tepat dari serangkaian alternatif atau pilihan cara dan menentukan pilihan dari beberapa pilihan lainnya. Efektivitas juga bisa diartikan sebagai pengukuran keberhasilan dalam pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Sebagai contoh jika sebuah tugas dapat selesai dengan pemilihan cara-cara yang sudah ditentukan, maka cara tersebut adalah benar atau efektif.

  Dalam pengukuran efektifitas terdapat kompetensi pengelolaan pembelajaran yaitu kemampuan agen pemberdayaan dalam memciptakan proses belajar kepada masyarakat dalam mengubah perilakunya yaitu meningkatkan kemampuan, kualitas hidup, dan kesejahteraannya. Melalui belajar masyarakat diharapkan mampu menguasai dan menerapkan inovasi yang lebih menguntungkan bagi diri dan keluarganya. Ada juga kompetisi pengelolaan pelatihan, dalam organisasi kegiatan pelatihan merupakan aspek penting sebagai upaya meningkatkan kinerja pegawainya. Begitupula dalam kehidupan dimasyarakat seperti petani atau nelayan, kegiatan pelatihan dan kursus lainnya, atau istilah sejenis lainnya merupakan aspek penting guna meningkatkan kemampuan mereka menuju peningkatan kualitas hidupnya. Dalam pelaksanaan pelatihan seringkali dihadapkan dalam permasalahan. Menurut Rothell (1994 ) ada empat permasalahan dalam pendekatan pelatihan yaitu: 1) kegiatan pelatihan seringkali tidak fokus terutama berkaitan dengan materi yang diberikan, 2) lemahnya dukungan manajemen, 3)pelatihan kadang tidak direncanakan dan diselenggarakan secara sistematis, 4) dan materi pelatihan tidak sesuai dengan kebutuhan ( Oos, 2013: 68- 70).

  Berdasarkan beberapa pendapat dan teori efektivitas yang telah diuraikan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam mengukur efektivitas suatu kegiatan atau aktifitas perlu diperhatikan beberapa indikator, yaitu: 1.

  Pemahaman program 2. Tepat sasaran 3. Tepat waktu 4. Tercapainya tujuan 5. Perubahan nyata sebelum dan sesudah adanya program

  (Sutrisno, 2007: 125-126)

2.1.2 Pendekatan Efektivitas

  Pendekatan efektifitas digunakan untuk mengukur sejauh mana aktifitas itu efektif. Ada beberapa pendekatan yang digunakan terhadap efektivitas yaitu:

1. Pendekatan sasaran (Goal Approach)

  Pendekatan ini mencoba mengukur sejauh mana suatu lembaga berhasil merealisasikan sasran yang hendak dicapai. Pendekatan sasaran dalam pengukuran efektivitas dimulai dengan identifikasi sasaran organisasi dan mengukur tingkatan keberhasilan organisasi dalam mencapai sasaran tersebut (Price, 1972: 15).

  Sasaran yang penting diperhatikan dalam pengukuran efektivitas dengan pendekatan ini adalah sasaran resmi “Offical Goal” dengan memperhatikan permasalahan yang ditimbulkannya, dengan memusatkan perhatian terhadap aspek output yaitu dengan mengukur keberhasilan program dalam mencapai tingkat output yang direncanakan. Dengan demikian, pendekatan ini mencoba mengukur sejauh mana organisasi atau lembaga berhasil merealisasikan sasaran yang hendak dicapai. Efektivitas juga selalu memperhatikan faktor waktu pelaksanaan. Oleh karena itu dalam efektivitas selalu terkandung unsur waktu pelaksanaan dan tujuan tercapainya dengan waktu yang tepat maka program tersebut akan lebih efektif. Pendekatan sasaran dalam pelaksanaan program pelatihan keterampilan dilihat dari pendampingan kepada anak tunanetra yang menjadi anggota binaan dalam mengarahkan tujuan yang ingin dicapai.

2. Pendekatan Sumber (System Resource Approach)

  Pendekatan sumber mengukur efektivitas melalui keberhasilan suatu lembaga dalam mendapatkan berbagai macam sumber yang dibutuhkannya.

  Seatu lembaga harus dapat memperoleh berbagai macam sumber dan juga memelihara keadaan dan system agar dapat menjadi efektif. Pendekatan ini didasarkan pada teori mengenai keterbukaan sistem suatu lembaga terhadap lingkungannya, karena lembaga mempunyai hubungan yang merata dalam lingkungannya dimana dari lingkungan diperoleh sumber-sumber yang terdapat pada lingkungan sering kali bersifat langka dan bernilai tinggi.

  Pendekatan sumber dalam kegiatan program pelatihan keterampilan ini dilihat dari seberapa jauh hubungan antara anggota binaan program pelatihan keterampilan dengan lingkungan sekitarnya.

3. Pendekatan Proses ( Internal Process Approach)

  Pendekatan proses menganggap sebagai efisiensi dan kondisi kesehatan dari suatu lembaga internal berjalan dengan lancar, dimana kegiatan bagian- bagian yang ada berjalan secara terkoordinasi. Pendekatan ini tidak memperhatikan lingkungan melainkan memusatkan perhatian terhadap kegiatan yang dilakukan terhadap sumber-sumber yang dimiliki lembaga yang menggambarkan tingkat efisiensi serta kesehatan lembaga.

2.2 Pengertian Program

  Program adalah tahap-tahap dalam penyelesaian rangkaian yang berisi langkah-langkah yang akan dikerjakan untuk mencapai tujuan dan merupakan unsur pertama yang harus ada demi tercapainya kegiatan implementasi. Menurut Manila (dalam Jones, 1996: 4) mengemukakan bahwa program akan menunjang implementasi, program tersebut memuat berbagai aspek antara lain: a.

  Adanya tujuan yang ingin dicapai b. Adanya kebijaksanaa-kebijaksanaan yang diambil dalam mencapai tujuan c.

  Adanya aturan-aturan yang harus dipegang dalam prosedur yang harus dilalui d.

  Adanya perkiraan anggaran yang dibutuhkan e. Adanya strategi dalam pelaksanaan

  Melalui program maka segala bentuk rencana akan lebih terorganisir dan lebih mudah untuk dioprasionalkan. Hal tersebut sesuai dengan pengertian program yang diuraikan.

  Menurut Charles O. Jones, pengertian program adalah cara yang disahkan untuk mencapai tujuan dari beberapa karakteristik tertentu yang dapat membantu seseorang untuk mengidentifikasi suatu aktivitas sebagai program atau tidak yaitu: 1.

  Program cenderung membutuhkan staf, misalnya untuk melaksanakan atau sebagai pelaku program

2. Program biasanya memiliki anggaran tersendiri, program kadang biasanya juga diidentifikasi melalui anggaran.

3. Program memiliki identitas sendiri, program yang berjalan efektif dapat diakui oleh publik.

  Program terbaik didunia adalah program yang didasarkan pada model teoritis yang jelas, yakni: sebelum menentukan masalah sosial yang diatasi dan memulai melakukan intervensi, sebelumnya harus ada pemikiran yang serius terhadap bagaimana dan mengapa masalah itu terjadi dan apa yang menjadi solusi terbaik ( Jones, 1996: 295).

2.3 Pelatihan Pelatihan Keterampilan Penyandang Cacat

  Pelatihan keterampilan adalah setiap usaha untuk memperbaiki performansi pekerja pada suatu pekerjaan tertentu yang sedang menjadi tanggungjawabnya, atau satu pekerjaan yang ada kaitannya dengan pekerjaannya. Supaya efektif, pelatihan biasanya harus mencakup pengalaman belajar (learning

  

experience ), aktivitas-aktivitas yang terencana (be a planned organizational

activity ), dan didesain sebagai jawaban atas kebutuhan-kebutuhan yang berhasil

  diidentifikasikan. Secara ideal, pelatihan harus didesain untuk mewujudkan tujuan-tujuan organisasi, yang pada waktu yang bersamaan juga mewujudkan tujuan-tujuan dari para pekerja secara perorangan (Gomes, 2003: 197).

  Pelatihan keterampilan sering dianggap sebagai aktivitas yang paling dapat dilihat dan paling umum dari semua aktivitas. Para penyelenggara menyokong pelatihan karena melalui pelatihan para peserta, dalam hal ini klien anak tunanetra akan menjadi lebih terampil dan lebih produktif. Pelatihan lebih sebagai sasran yang ditujukan pada upaya untuk lebih memberdayakan seseorang yang kurang berdaya dari sebelumnya, mengurangi dampak-dampak negatif yang dikarenakan kurangnya pendidikan, pengalaman yang terbatas atau kurangnya kepercayaan diri dari klien anak tunanetra.

  Keterampilan adalah kegiatan yang berhubungan dengan urat-urat syaraf dan otot-otot yang lazimnya tampak dalam kegiatan jasmania seperti menulis, mengetik, olahraga, dan sebagainya. Meskipun sifatnya motorik, namun keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang diteliti dan kesadaran yang tinggi. Dengan demikian, klien anak tunanetra yang melakukan gerakan motorik dengan koordinasi dan kesadaran yang rendah dapat dianggap kurang atau tidak terampil. Sedangkan (Reber, dalam Syah, 2005: 121) mengatakan, bahwa keterampilan adalah kemampuan melakukan pola-pola tingkahlaku yang kompleks dan tersusun rapi secara mulus dan sesuai dengan keadaan untuk mencapai hasil tertentu. Adapun pelatihan ketrampilan yang diusahakan oleh Yapentra yaitu pelatihan musik (tradisional dan modern), pelatihan pijat (tradisional dan modern), pelatihan pertukangan, pelatihan pertanian, pelatihan peternakan.hal ini merupakan kegiatan yang tidak mudah dan seringkali mereka mengalami hambatan.

  Keterampilan merupakan mata pelajaran yang memberikan kesempatan kepada anak asuh untuk terlibat dalam berbagai pengalaman apresiasi maupun pengalaman berkreasi untuk menghasilkan suatu produk berupa benda nyata yang bermanfaat langsung bagi kehidupan mereka. Anak tunanetra melakukan interaksi dengan benda-benda produk kerajian dan teknologi yang ada di lingkungannya saat pelatihan keterampilan, kemudian berkreasi menciptakan berbagai produk kerajinan maupun produk teknologi, sehingga diperoleh pengalaman konseptual, pengalaman apresiatif dan pengalaman kreatif. Pembelajaran keterampilan dirancang sebagai proses komunikasi belajar untuk mengubah perilaku anak asuh cekat, cepat dan tepat melalui pembelajaran kerajinan, teknologi rekayasa dan teknologi pengolahan (Sudjana, 1996: 17 ).

  Perilaku terampil ini dibutuhkan dalam keterampilan hidup manusia di masyarakat. Melihat uraian tersebut, secara substansi bidang keterampilan mengandung kinerja kerajinan dan teknologis. Istilah kerajinan berangkat dari kecakapan melaksanakan, mengolah dan menciptakan dengan dasar kinerja keterampilan psimotorik. Maka, keterampilan kerajinan berisi kerajinan tangan membuat benda pakai atau fungsional. Keterampilan teknologi terdiri dari teknologi rekayasa dan teknologi pengolahan.

  Metode pelatihan merupakan bentuk yang dipilih dalam pelatihanpelatihan yang menyediakan langsug keterampilan-keterampilan untuk para peserta.

  Adapun prinsip umum bagi metode pelatihan harus memenuhi sebagai berikut: (1) Memotivasi para peserta latihan untuk belajar keterampilan baru (2) Memperlihatkan keterampilan-keterampilan yang diinginkan untuk dipelajari, (3) Harus konsisten dengan isi (misalnya, dengan menggunakan pendekatan interaktif untuk mengajarkan keterampilan-keterampilan interpersonal), (4) Memungkinkan partisipasi aktif, (5) Memberikan kesempatan berpraktek dan perluasan keterampilan, (6) Memberikan feedback mengenai performansi selama pelatihan, (7) Mendorong adanya pemindahan yang positif dari pelatihan ke pekerjaan, dan (8) Harus efektif dari segi biaya (Gomes, 2003: 208).

  Sehingga metode pelatihan tidak terlepas dari pelatihan-pelatihan yangmenyediakan langsung keterampilan untuk peserta. Menjadikan peserta perilaku-perilaku yang terampil untuk kemandirian diri sendiri dalam kehidupan sehari-hari dan dalam hidup bermasyarakat.

2.4 Pengertian Penyandang Cacat

  Istilah “Disabilitas” mungkin kurang akrab di sebagian masyarakat Indonesia berbeda dengan “Penyandang Cacat”, istilah ini banyak yang mengetahui atau sering digunakan di tengah masyarakat. Istilah Disabilitas merupakan kata bahasa Indonesia berasal dari serapan kata bahasa Inggris disability (jamak: disabilities) yang berarti cacat atau ketidakmampuan. Namun, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “Disabilitas” belum tercantum. Disabilitas adalah istilah baru pengganti Penyandang Cacat. Penyandang cacat dapat diartikan individu yang mempunyai keterbatasan fisik atau mental/intelektual ( http://bahasa.kompasiana.com. Diakses tanggal 01 Juni 2014 pukul 10.00 wib).

  Dalam UU RI No. 4 tahun 1977 disebutkan tentang “Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari: a. penyandang cacat fisik;

  b. penyandang cacat mental; c. penyandang cacat fisik dan mental.

  Mengenai hak dan kewajiban penyandang cacat disebutkan bahwa setiap penyandang cacat mempunyai kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Sedangkan kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat dalam aspek kehidupan dan penghidupan dilaksanakan melalui penyediaan aksesbilitas. Selanjutnya yang dimaksud dengan aspek kehidupan dan penghidupan adalah meliputi antara lain aspek agama, kesehatan, politik, pertahanan keamanan, olahraga, rekreasi dan informasi yang layak sesuai dengan derajat kecacatan, pendidikan dan kemampuannya.

  Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1997 (tentang penyandang cacat) Bab II Pasal 6 menyatakan “Setiap penyandang cacat berhak memperoleh :

  1. Pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan

  2. Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan dan kemampuannya.

  3. Perlakuannya yang sama untuk bergerak dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya.

  4. Aksesbilitas dalam rangka kemandirian.

  5. Rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial dan

  6. Hak yang sama untuk menumbuhkankembangkan, kemampuan dan kehidupan sosialnya, terutama penandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

2.5 Tuna Netra

2.5.1 Pengertian Tuna Netra

  Dalam bidang pendidikan luar biasa, anak dengan gangguan penglihatan lebih akrab disebut anak tunanetra. Pengertian tunanetra tidak saja mereka yang buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari terutama dalam belajar. Jadi, anak-anak dengan kondisi penglihatan yang termasuk “setengah melihat”, “Low Vision”, atu rabun adalah bagian dari kelompok anak tuna netra.

  Dari uraian di atas, pengertian anak tunanetra adalah individu yang indra penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerimaan informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas. Anak- anak dengan gangguan penglihatan ini dapat diketahui kondisinya berikut:

   Ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang awas  Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu  Posisi mata sulit dikendalikan oleh syaraf otak  Posisis mata sulit dikendalikan oleh syaraf otak  Terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan penglihatan

  Dari kondisi-kondisi diatas, pada umumnya yang digunakan sebagai patokan apakah seorang anak termasuk tunanetra atau tidak ialah berdasarkan pada tingkat ketajaman penglihatannya (Somantri, 2006: 65).Untuk mengetahui ketunanetraan dapat digunakan suatu tes yang dikenal sebagai tes Snellen Card. Perlu ditegaskan bahwa anak dikatakan tunanetra bila ketajaman penglihatannya (visusnya) kurang dari 6/21. Artinya, berdasarkan tes, anak hanya mampu membaca huruf pada jarak 6 meter yang oleh orang awas dapat dibaca pada jarak 21 meter.

  Berdasarkan acuan tersebut, anak tunanetra dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu :

1. Buta

  Dikatakan buta jika anak sama sekali tidak mampu menerima rangsangan cahaya dari luar (visusnya = 0)

2. Low Vision

  Bila anak masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih dari 6/21, atau jika anak hanya mampu membaca headline pada surat kabar (Somantri , 2006: 66).

  2.5.2 klasifikasi Tunanetra

  Klasifikasi ketunanetraan, secara garis besar yaitu dibagi menjadi dua, antara lain :

  1. Waktu terjadinya kecacatan: yakni sejak kapan anak menderita tunanetra yang dapat digolongkan sebagai berikut : a) Penderita tunanetra sebelum dan sejak lahir, yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman penglihata. b) Penderita tunanetra sesudah lahir atau pada usia kecil, yaitu mereka yang sudah memiliki kesan-kesan serta pengalaman visual, tetapi belum kuat dan mudah terlupakan .

  c) Penderita tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja; kesan kesan pengalaman visual meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan pribadi.

  d) Penderita tunanetra pada usia dewasa, yang dengan segala kesadaran masih mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.

  e) Penderita tunanetra dalam usia lanjut, yaitu mereka yang sebagian besar sudah sulit mengalami latihan-latihan penyesuaian diri.

  2. Pembagian berdasarkan kemampuan daya lihat yaitu :

  a) Penderita tunanetra ringan (low vision), yakni mereka yang mempunyai kelainan atau kekurangan daya penglihatan, seperti para penderita rabun, juling, myopia ringan. Mereka ini masi dapat mengikuti program pendidikan biasa di sekolah-sekolah umum atau masih mampu melakukan pekerjaan- pekerjaan yang membutuhkan penglihatan dengan baik.

  b) Penderita tunanetra setengah berat (partially sighted), yaitu mereka yang mengalami sebagian daya penglihatan. Hanya dengan menggunakan kacamata pembesar mereka masih bisa mengikuti program pendidikan biasa atau mampu membaca tulisan yang berhuruf tebal.

  c) Penderita tunanetra berat (totally blind), yaitu mereka yang sama sekali tidak dapat melihat atau yang sering disebut adalah buta (Pradopo, 1977: 12- 13).

  2.5.3 faktor Penyebab Tunanetra

1. Pre-natal

  Faktor penyebab ketunanetraan pada masa pre-natal sangat erat hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan, antara lain:

  a. Keturunan Ketunanetraan yang disebabkan oleh faktor keturunan terjadi dari hasil perkawinan bersaudara, sesama tunanetra atau mempunyai orang tua yang tunanetra. Ketunanetraan akibat faktor keturunan antara lain Retinitis

  

Pigmentosa, penyakit pada retina yang umumnya merupakan keturunan. Penyakit

  ini sedikit demi sedikit menyebabkan mundur atau memburuknya retina. Gejala pertama biasanya sukar melihat di malam hari, diikuti dengan hilangnya penglihatan periferal, dan sedikit saja penglihatan pusat yang tertinggal.

  b. Pertumbuhan seorang anak dalam kandungan Ketunanetraan yang disebabkan karena proses pertumbuhan dalam kandungan dapat disebabkan oleh:

  1. Gangguan waktu ibu hamil.

  2. Penyakit menahun seperti TBC, sehingga merusak sel-sel darah tertentu selama pertumbuhan janin dalam kandungan.

  3. Infeksi atau luka yang dialami oleh ibu hamil akibat terkena rubella atau cacar air, dapat menyebabkan kerusakan pada mata, telinga, jantung dan sistem susunan saraf pusat pada janin yang sedang berkembang.

  4. Infeksi karena penyakit kotor, toxoplasmosis, trachoma dan tumor. Tumor dapat terjadi pada otak yang berhubungan dengan indera penglihatan atau pada bola mata itu sendiri.

  5. Kurangnya vitamin tertentu, dapat menyebabkan gangguan pada mata sehingga hilangnya fungsi penglihatan.

  2. Post-natal

  Penyebab ketunanetraan yang terjadi pada masa post-natal dapat terjadi sejak atau setelah bayi lahir antara lain: a. Kerusakan pada mata atau saraf mata pada waktu persalinan, akibat benturan alat-alat atau benda keras.

  b. Pada waktu persalinan, ibu mengalami penyakit gonorrhoe, sehingga baksil gonorrhoe menular pada bayi, yang pada ahkirnya setelah bayi lahir mengalami sakit dan berakibat hilangnya daya penglihatan.

  c. Mengalami penyakit mata yang menyebabkan ketunanetraan, misalnya: 1.

  Xeropthalmia; yakni penyakit mata karena kekurangan vitamin A.

  2. Trachoma; yaitu penyakit mata karena virus chilimidezoon trachomanis.

  3. Catarac; yaitu penyakit mata yang menyerang bola mata sehingga lensa mata menjadi keruh, akibatnya terlihat dari luar mata menjadi putih.

  4. Glaucoma; yaitu penyakit mata karena bertambahnya cairan dalam bola mata, sehingga tekanan pada bola mata meningkat.

  5. Diabetik Retinopathy; adalah gangguan pada retina yang disebabkan karena diabetis. Retina penuh dengan pembuluh-pembuluh darah dan dapat dipengaruhi oleh kerusakan sistem sirkulasi hingga merusak penglihatan.

  6. Macular Degeneration; adalah kondisi umum yang agak baik, dimana daerah tengah dari retina secara berangsur memburuk. Anak dengan retina degenerasi masih memiliki penglihatan perifer akan tetapi kehilangan kemampuan untuk melihat secara jelas objek-objek di bagian tengah bidang penglihatan.

  7. Retinopathy of prematurity; biasanya anak yang mengalami ini karena lahirnya terlalu prematur. Pada saat lahir masih memiliki potensi penglihatan yang normal. Bayi yang dilahirkan prematur biasanya ditempatkan pada inkubator yang berisi oksigen dengan kadar tinggi, sehingga pada saat bayi dikeluarkan dari inkubator terjadi perubahan kadar oksigen yang dapat menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah menjadi tidak normal dan meninggalkan semacam bekas luka pada jaringan mata. Peristiwa ini sering menimbulkan kerusakan pada selaput jala (retina) dan tunanetra total.

  d. Kerusakan mata yang disebabkan terjadinya kecelakaan, seperti masuknya benda keras atau tajam, cairan kimia yang berbahaya, kecelakaan dari kendaraan (http://www.pkplkdikmen.di akses tanggal 04 Juni 2014, Pukul 10.00 Wib).

2.5.4 Dampak Ketunanetraan

  Aktvitas manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar akan efektif apabila mengikutsertakan alat- alat indra yang dimiiki, seperti penglihatan, perabaan, pembau, pengecap, baik dilakukan secara sendiri- sendiri mupun bersama- sama. Dengan pemanfaatan beberapa alat indra secara simultan memudahkan seseorang melakukan apersepsi terhadap peristiwa atau objek yang diobservasi, terutama untuk membentuk suatu penglihatan yang utuh. Dengan tanggungnya salah satu atau lebih alat indranya ( penglihatan, pendengaran, pengecap, pembau maupun peraba), akan mempengaruhi terhadap indra- indra yang lain. Pada gilirannya akan membawa konsekuensi tersendiri terhadap kemempuan dirinya berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Misalnya, pada anak tunanetra dengan kehilangan sebagian atau keseluruhan fungsi penglihatan pada anak tunanetra akan menimbulkan dampak negatif atas kemampuaanya yang lain, seperti pengembangan psikis dan penyesuaian sosial ( Efendi, 2005: 36-37)

2.6 Pelayanan Sosial

2.6.1 Pengertian Pelayanan Sosial

  Pelayanan sosial merupakan aksi atau tindakan untuk mengeahui masalah sosial. Pelayanan sosial dapat diartikan sebagai perangkat program yang ditujukan untuk membantu individu atau kelompok yang menglami hambatan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Jika keadaan individu atau sekelomok tersebut dibiarkan, maka akan timbul masalah sosial, seperti kemiskinan, kelantaran dan kriminalitas. Kategorisasi pelayan sosial biasanya dikelompokkan berdasarkan sasaran pelayanan (misalnya peayanan atau perawatan anak, remaja, lanjut usia ),

  

setting atau tempatnya (misalnya: pelayanan sosial disekolah, tempat kerja,

  penjara, rumah sakit) atau berdasarkan jenis atau sektor (misalnya: pelayanan konseling, kesehatan mental, pendidikan khususus dan vokasi, jaminan sosial dan perumahan).

  Pelayanan sosial adalah kegiatan terorganisir utuk meningkatkan kondisi orang- orang yang kurang beruntung dalam mayarakat. Pemerintah Indonesia, khususnya Departemen Sosial dan sejumlah besar organisasi- organisasi non pemerintah telah memaknai peran penting dalam bidang pelayanan sosial. Dana yang dipergunakan lembaga- lembaga pemerintah bagi pelayanan sosial biasanya diperoleh dari pajak. Sedangkan, pelayanan sosial yang diselenggarakan badan- badan non pemerintah sering kali didanai oleh sumbangan individu, pengusaha atau lembaga donor internasional.

2.6.2 Fungsi-Fungsi Pelayanan Sosial

  Pelayanan sosial dapat dikategorikan dalam berbagai cara tergantung daritujuan klasifikasi. PBB mengemukakan bahwa fungsi pelayanan sosial adalah:

  1. Perbaikan secara progresif daripada kondisi kehidupan orang.

  2. Pengembangan sumber-sumber daya manusia.

  3. Berorientasi orang terhadap perubahan sosial dan penyesuaian diri.

  4. Penggerakan dan penciptaan sumber-sumber komunitas untuk tujuan-tujuan pembangunan.

  5. Penyediaan struktur-struktur institusional untuk pelayanan-pelayanan yang terorganisasi lainnya.

  Fungsi pelayanan sosial ditinjau dari persfektif masyarakat menurut (Muhidin, 1992: 43) adalah sebagai berikut:

  1. Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang diciptakan untuk lebih meningkatkan kesejahteraan individu, kelompok, dan masyarakat, untuk saat ini dan masa yang akan datang.

  2. Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang diciptakan sebagai suatu investasi yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial.

  3. Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang untuk melindungi masyarakat.

  4. Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang diciptakan sebagai program kompensasi bagi orang-orang yang tidak mendapatkan pelayanan sosial.

  Menurut (Murdin, 1989: 50-51) mengatakan bahwa bentuk-bentuk pelayanan sosial sesuai dengan fungsi-fungsinya adalah:

  1. Pelayanan akses, mencakup pelayanan informasi, pemberian nasihat dan partisipasi. Tujuannya untuk membantu orang agar dapat mencapai atau menggunakan fasilitas pelayanan yang tersedia.

  2. Pelayanan terapi, mencakup pertolongan terapi dan rehabilitasi, termasuk didalamnya perlindungan dan perawatan. Misalnya pelayanan yang diberikan oleh badan-badan yang menyediakan konseling, pelayanan kesejahteraan anak, pelayanan kesejahteraan sosial medis dan sekolah, serta perawatan bagi orangorang jompo (lanjut usia).

  3. Pelayanan sosial dan pengembangan, misalnya taman penitipan bayi dan anak, keluarga berencana, pendidikan keluarga, pelayanan rekreasi bagi pemuda, dan kegiatan masyarakat yang dipusatkan (community centre).

2.7 Kerangka Pemikiran

  Anak tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya (kedua- duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas. Untuk mengetahui ketunanetraan dapat digunakan suatu tes yang dikenal sebagai tes Snellen Card. Perlu ditegaskan bahwa anak dikatakan tunanetra bila ketajaman penglihatannya (visusnya) kurang dari 6/21. Artinya, berdasarkan tes, anak hanya mampu membaca huruf pada jarak 6 meter yang oleh orang awas dapat dibaca pada jarak 21 meter.

  Di indonesia secara umum banyak terdapat lembaga sosial maupun organisasi sosial baik non pemerintah maupun yang pemerintah, namun dalam operasionalnya tidak sesuai dengan tujuan yang hendak diharapkan. Hal ini dikarenakan banyak lembaga sosial maupun organisasi sosial yang masih bersifat penerimaan saja dan memiliki sarana dan prasarana yang minim dan kurang memiliki pengembangan untuk kedepannya. Salah satunya adalah Yayasan Pendidikan Tuna Netra Sumatera (YAPENTRA ). Dimana, Yapentra merupakan salah satu bentuk yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan dan pelatihan keterampilan bagi tunanetra. Yapentra lahir melalui gagasan gereja GKPI. Oleh sebab itu Yapentra merupakan suatu lembaga yang memperhatikan anak-anak tunanetra yang mampuuntuk menolong mereka untuk dapat hidup mandiri dan dapat melatih kemampuandan memberi keterampilan dan pendidikan untuk mencapai cita-cita dan masa depanmereka. Adapun pelatihan ketrampilan yang diusahakan oleh Yapentra yaitu pelatihan musik (tradisional dan modern), pelatihan pijat (tradisional dan modern), pelatihan pertukangan, pelatihan pertanian, pelatihan peternakan.

  Melihat keefektipan program pelatihan keterampilan bagi klien anak tunanetra di Yapentra dapat dilihat dari indikator menurut (Sustrisno, 2007: 125- 126) yang sesuai untuk dapat mencapai keberhasilan dalam mencapai sasaran dan tujuan kegiatan, yaitu:

  1. Pemahaman program, yaitu dilihat dari sejauh mana klien penyandang cacat tunanetra dapat memahami kegiatan program pelatihan keterampilan yang diberikan oleh pihak YAPENTRA.

  2. Tepat sasaran, yaitu dilihat dari apakah klien penyandang cacat tunanetra yang sudah diberikan pemahaman pengetahuan dan pelatihan keterampilan adalah sasaran yang sesuai dengan program pelatihan keterampilan.

  3. Tepat waktu, yaitu dilihat dari apakah penggunaan waktu untuk program pelatihan keterampilan bagi klien penyandang cacat tunanetra di YAPENTRA sudah dilakukan sesuai dengan apa yang telah ditentukan.

4. Tercapainya tujuan, yaitu dilihat dari cara pencapaian tujuan yang ditetapkan melalui kegiatan program pelatihan keterampilan.

  5. Perubahan nyata, yaitu dilihat dari bagaimana kegiatan tersebut memberikan efek atau dampak yang baik maupun adanya perubahan nyata bagi klien penyandang cacat tunanetra.

  Adapun untuk memperjelas kerangka pemikiran tersebut, dapat dilihat dari pada bagian alir pemikiran berikut ini.

Bagan 2.1 Alir Pikir

  Yayasan Pendidikan Tunanetra Sumatera (YAPENTRA)

  Tanjung Morawa, Kab. Deli Serdang

  Jenis-jenis keterampilan : 1.

  Keterampilan Musik (tradisional dan moderen)

  2. Keterampilan Pijat (tradisional dan moderen)

3. Keterampilan anyaman 4.

  Keterampilan budi daya tanaman

  Penyandang  Cacat Tunanetra  Indikator  efektivitas  pelaksanaan  program  keterampilan  menurut  ( Sutrisno, 2007: 125- 126): 1.

  Pemahaman program  2. Tepat sasaran  3. Tepat waktu  4. Tercapainya tujuan  5. Perubahan nyata  Tidak

       Efektif    efektif 

2.7 Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional

2.7.1 Defenisi Konsep

  Defenisi konsep adalah batasan arti dan gambaran hubungan dari antara unsur-unsur yang ada di dalamnya (Siagian, 2011:56). Konsep penelitian bertujuan untuk merumuskan istilah dan mendefenisikan istilah-istilah yang digunakan secara mendasarkan agar tercipta suatu persamaan persepsi dan tidak muncul salah pengertian pemakaian istilah yang dapat mengaburkan tujuan penelitian. Untuk memperjelas penelitian ini, maka peneliti membatasi konsep- konsep yang digunakan sebagai berikut : 1.

  Efektifitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (seperti reaksi, belajar, perilaku dan hasil organisasi ) yang telah dicapai oleh manajemen, yang mana target tersebut sudah ditentukan terlebih dahulu. Dengan demikian, suatu usaha atau kegiatan dikatakan efektif apabila tujuan atau sasaran dapat dicapai sesuai dengan waktu yang telahditentukan sebelumnya dan dapat memberikan manfaat yang nyata sesuai dengan kebutuhan.

  2. Penyandang cacat tunanetra adalah individu yang indra penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerimaan informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas.

  3. Pelayanan Sosial disebut juga pelayanan kesejahteraan sosial mencakup program pertolongan dan perlindungan kepada golongan yang tidak beruntung seperti pelayanan sosial bagi anak terlantar, keluarga miskin, cacat, tuna sosial dan sebagainya.

  4. Program merupakan tahap-tahap dalam penyelesaian rangkaian kegiatan yang berisi langkah-langkah yang akan dikerjakan untuk mencapai tujuan dan merupakan unsur pertama yang harus ada demi tercapainya kegiatan implementasi.

  5. Program pelatihan keterampilan adalah suatu program atau kumpulan proyek-proyek yang berhubungan dengan keterampilan telah dirancang untuk mengembangkan keterampilan penyandang cacat tunanetra agar bisa lebih mandiri dengan keterampilan yang telah dimilikinya.

2.7.2 Defenisi Operasional

  Defenisi operasional adalah proses operasionalisasi konsep yaitu upaya transformasi konsep ke dunia nyata sehingga konsep-konsep penelitian dapat diobservasi (Siagian, 2011: 141). Dengan defenisi operasional dapat diketahui indikator-indikator apa saja yang akan diukur dan dianalisa dalam variabel yang ada.

  Defenisi operasional dalam Efektivitas Pelaksanaan Program Pelatihan Keterampilan Bagi Anak Tunanetra di Yayasan Pendidikan Tunanetra Sumatera (YAPENTRA) Tanjung Morawa, Kab. Deli Serdang dapat diukur melalui indikator menurut (Sustrisno, 2007: 125-126), sebagai berikut:

1. Pemahaman program, meliputi: a.

  Sumber informasi responden tentang program pelatihan keterampilan. b.

  Tingkat pemahaman dan ketertarikan responden setelah mendapatkan informasi tentang program pelatihan keterampilan.

  Frekuensi mendapat program pelatihan keterampilan.

  Perlu tidaknya program pelatihan keterampilan.

  c.

  Meningkatkan kemandirian dan keterampilan diri sendiri bagi anak tunanetra.

  b.

  Meningkatkan pengetahuan klien anak tunanetra.

  4. Tercapainya tujuan, meliputi: a.

  Ketepatan waktu mendapatkan program pelatihan keterampilan c.

  c.

  Mulai kapan saudara mendapat bantuan program pelatihan keterampilan b.

  3. Tepat waktu, meliputi: a.

  Anak atau remaja responden termasuk kedalam sasaran program pelatihan keterampilan.

  b.

  Pihak yang diutamakan adalah klien anak tunanetra.

  2. Tepat sasaran, meliputi: a.

  Pengetahuan responden mengenai tujuan program pelatihan keterampilan.

  5. Perubahan nyata, meliputi: No Kriteria Sebelum mengikuti program pelatihan keterampilan

  Setelah mengikuti program pelatihan keterampilan

  1

  2

  3

  4

  5 Kreatifitas Motivasi kesiapan diri ( kemandirian) bersosialisasi pada lingkungan luar kepercayaan diri

Dokumen yang terkait

Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Laju Inflasi Tahun 2011-2012

1 54 71

Penerapan Analisis Jalur Untuk Mengetahui Faktor Yang Mempengaruhi Laju Inflasi Di Indonesia Tahun 2011-2012

1 76 130

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pasar Modal - Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Return Saham Perusahaan LQ 45 Di Bursa Efek Indonesia

1 1 21

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Sejarah Analisis Jalur - Penerapan Analisis Jalur Dalam Menentukan Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan Di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010

0 0 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pengertian Profitabilitas - Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Profitabilitas Perbankan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 0 21

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Regresi - Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Fluktuasi Harga Beras Di Sumatera Utara Tahun 2011-2012

0 0 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bank 2.1.1 Pengertian Bank - Efektivitas Kredit Usaha Rakyat dalam Pengembangan Usaha Mikro dan Kecil

0 1 21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektivitas 2.1.1 Pengertian Efektivitas - Efektivitas Pelaksanaan Program Keluarga Harapan Di Kelurahan Titi Kuning Kecamatan Medan Johor

1 0 46

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektivitas 2.1.1 Pengertian Efektivitas - Efektivitas Pelaksanaan Program Simpan Pinjam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan di Kelurahan Setianegara Kecamatan Siantar Sitalasari Kota Pematang Siantar

1 1 40

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Regresi - Analisis Regresi Berganda Terhadap Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Laju Inflasi Tahun 2011-2012

0 0 15