BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penerapan Prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 704 k/Pdt.Sus/2012 Antara PT. Telkomsel Melawan PT. Prima Jaya Informatika)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam menjalankan bisnis pada dasarnya manusia tidak bisa melakukan

  sendiri, tetapi harus dilakukan secara bersama atau dengan mendapat bantuan dari

  1

  orang lain. Untuk itu diperlukan suatu perangkat hukum demi kegiatan bisnis yang

  2 atau sedang berjalan tersebut. Perangkat hukum itu disebut dengan perjanjian.

  Perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara dua pihak yang membuatnya, yaitu

  3 adanya hak dan kewajiban yang timbul di dalamnya.

  Menurut J. Satrio perjanjian dapat dibedakan menjadi beberapa jenis di

  4

  antaranya adalah perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak. Perjanjian timbal balik merupakan perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Hak dan kewajiban tersebut mempunyai hubungan satu dengan lainnya. Yang dimaksud dengan mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain adalah bahwa bilamana dalam perikatan yang muncul dari perjanjian tersebut, yang satu mempunyai hak, maka pihak yang lain berkedudukan sebagai pihak yang

  5 memikul kewajiban. 1 2 Faisal Santiago, Pengantar Hukum Bisnis, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2012), hal. 19 3 Ibid.

  Frans Satriyo Wicaksono, Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kontrak, (Jakarta: Visimedia, 2008), hal. 2. 4 5 J. Satrio, Perikatan pada Umumnya, (Bandung: Alumni, 1993), hal. 191.

  J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 43.

  

1 Pada setiap perjanjian timbal balik hak dan kewajiban di satu pihak berhadapan dengan hak dan kewajiban di pihak lain, sehingga dianggap selalu ada prinsip bahwa kedua belah pihak harus secara bersama-sama memenuhi kewajibannya dan sama-sama menerima haknya. Karena itu, tidak logis apabila salah satu pihak menuduh wanprestasi terhadap pihak lain sedangkan ia sendiri wanprestasi.

6 Riduan Syahrani mengemukakan bahwa:

  “Exceptio non adimpleti contractus

  adalah tangkisan yang menyatakan bahwa ia (debitur) tidak melaksanakan perjanjian sebagaimana mestinya justru karena kreditur sendiri tidak melaksanakan perjanjian itu sebagaimana mestinya. Bilamana debitur selaku tergugat dapat membuktikan kebenaran tangkisannya maka ia tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban apa-apa atas tidak dilaksanakannya perjanjian itu”.

  7 Salah satu pihak dalam perjanjian timbal balik yang lalai dalam memenuhi

  kewajibannya tidak dapat diminta pemenuhannya oleh pihak lain. Apabila salah satu pihak menuntut pemenuhan kepada pihak lain, maka pihak lain ini dapat menangkis dengan apa yang disebut prinsip exceptio non adimpleti contractus, karena si penggugat sendiri telah melakukan wanprestasi.

  8 Tangkisan berdasarkan prinsip exceptio non adimpleti contractus dapat diajukan dalam perkara kepailitan.

  Secara tata bahasa kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan pailit.

9 Istilah “pailit” dapat dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda,

  Perancis, Latin dan Inggris. Dalam bahasa Perancis, istilah faillite artinya pemogokan 6 H. Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: PT. Alumni, 2004), hal. 242. 7 ibid . 8 Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan dari UU)

  , (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 34. 9 Widjaja, Gunawan, Risiko Hukum dan Bisnis Bila Perusahaan Pailit, (Jakarta: Forum Sahabat, 2009), hal. 15. atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Orang yang mogok atau macet atau berhenti membayar utangnya disebut juga dengan le failli. Di dalam bahasa Belanda, dipergunakan istillah faillite yang mempunyai arti ganda, yaitu sebagai kata benda dan kata sifat, sedangkan dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah to fail dan dalam

  10

  bahasa latin dipergunakan istilah failure. Di negara-negara yang berbahasa Inggris,

  bankrupt

  untuk pengertian pailit dan kepailitan dipergunakan istilah dan

  11 bankruptcy.

  Menurut Subekti dan R. Tjitrosoedibio: “pailit adalah keadaan di mana

  12

  seorang debitor telah berhenti membayar utang-utangnya”. Kepailitan merupakan sita umum terhadap semua kekayaan debitor yang nantinya masuk dalam budel

  13

  pailit. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, disebutkan bahwa: “kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”.

  Permohonan pailit terhadap seorang debitor untuk dapat dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga apabila telah memenuhi syarat-syarat berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan 10 Kartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, (Jakarta: Pradya Pramita, 1974), hal. 11. 11 12 Sunarmi, Hukum Kepailitan Edisi 2, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2010), hal. 23. 13 Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradya Pramita, 1978), hal. 89.

  Edward Manik, Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan dan Penundaan Kewajiban , (Bandung: Penerbit Mandar Maju, Pembayaran Utang (Dilengkapi dengan Studi Kasus Kepailitan) 2012), hal. 31. Kewajiban Pembayaran Utang adalah: “Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”. Ketentuan ini tidak menyinggung mengenai kebangkrutan sebagai alasan debitor tidak membayar utang, mengingat pengertian “tidak membayar” dapat berarti tidak dapat membayar atau

  14 tidak mau membayar.

  Menurut Sunarmi bahwa hukum kepailitan di Indonesia baik dalam

15 Faillissement Verordening , Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 maupun

  Undang-undang nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak memberikan batasan yang jelas tentang “berhenti membayar” dengan “tidak membayar”. Padahal dalam konteks hukum kepailitan negara-negara common law system pada umumnya, keadaan insolvent debitor

  16

  biasanya diuji oleh pengadilan dengan menggunakan cash flow test atau practical

  17 insolvency 14 .

  Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2010) hal. 88. 15 Lihat Tesis Victorianus M.H Randa Puang, Penerapas Asas Pembuktian Sederhana dalam

Penjatuhan Pailit , 2006, hal. 4. Faillissement Verordening terdiri dari 2 (dua) Bab yaitu: Bab I tentang

kepailitan dimulai dari Pasal 1 s/d 211 dan Bab II Tentang Penundaan pembayaran (Surseance van

betaling ) dimulai dari Pasal 212 s/d 279. 16 Lihat Sunarmi, Prinsip Keseimbangan dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, (Medan:

  

Pustaka Bangsa Press, 2008), hal. 303-304. Cash flow test adalah pendekatan yang melihat solvabilitas

debitor diukur dengan fakta apakah ia membayar utangnya atau tidak. Jika ternyata debitor membayar

utangnya yang telah jatuh tempo, hal ini mengindikasikan debitor ada dalam keadaan solvent atau

sanggup membayar. Di samping pendekatan , pengadilan menggunakan pendekatan

cash flow test

alternatif lainnya yaitu balance sheet test atau asset test. Dalam pendekatan ini, pengadilan tidak

melihat solvabilitas debitor dari fakta apakah debitor membayar utangnya atau tidak tapi dari nilai

  Tidak adanya insolvency test dalam hukum kepailitan di Indonesia merupakan suatu kelemahan, sehingga debitor yang masih memiliki kekayaan yang cukup untuk membayar utang-utangnya dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan karena tidak

  18

  membayar utang. Dalam hal debitor tidak mampu membayar utangnya (insolvent), maka mekanisme hukum kepailitan menjadi pilihan yang tepat, namun dalam hal debitor tidak mau membayar, harus diperhatikan alasan dari debitor tidak mau membayar utang walaupun mampu (solvent), yaitu diantaranya karena yang dimaksudkan sebagai utang oleh kreditor, merupakan kewajiban debitor yang bersumber dari sebuah perjanjian timbal balik dan debitor tidak mau memenuhinya karena kreditor telah wanprestasi terlebih dahulu yang dalam hukum perjanjian

  19 dikenal sebagai prinsip exceptio non adimpleti contractus.

  Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terkait dengan pembuktian di dalam hukum acara kepailitan adalah: “Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah dipenuhi”. Yang dimaksud

  asset debitor, yaitu apakah assetnya yang dapat direalisasikan melebihi kewajibannya maka debitor dianggap solvent. 17 18 Sunarmi, Hukum Kepailitan Edisi 2, Op. cit, hal. 34.

  . 19 ibid Ricardo Simanjuntak, Hukum Kontrak; Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, (Jakarta: Kontan Publishing, 2011), hal. 236. dengan pembuktian secara sederhana adalah pembuktian yang lazim disebut dengan

  20 pembuktian secara sumir.

  Menurut Paulus E. Lotulung, pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan dapat dilakukan apabila pihak Termohon Pailit atau debitor tidak mengajukan tangkisan berdasarkan prinsip exceptio non adimpleti contractus, yaitu tangkisan yang menyatakan bahwa kreditor sendiri yang lebih dahulu tidak berprestasi. Prinsip

  exceptio non adimpleti contractus

  terdapat dalam perjanjian timbal balik, yang menyebabkan eksistensi utang masih diperdebatkan, sehingga pembuktiannya tidak

  

21

dapat dilakukan secara sederhana dan cepat.

  Pembuktian secara sederhana terlihat sangat jelas dan mudah untuk dilaksanakan, akan tetapi dalam kenyataannya tidaklah demikian, karena dalam suatu perkara kepailitan Pengadilan Niaga memberikan putusan bahwa “sudah terbukti secara sederhana”, tetapi setelah dilimpahkan ke Mahkamah Agung ternyata

  22 “dibatalkan” dan dikatakan bahwa “tidak terbukti secara sederhana”.

  Pada hari Jum’at tanggal 14 September 2012, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah membuat putusan yang cukup mengejutkan, yaitu PT. Telekomunikasi selular (untuk selanjutnya disebut PT. Telkomsel) dinyatakan Pailit. Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah memvonis pailit perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa 20 Martiman Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti

  

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Tentang Kepailitan , (Bandung, C.V Mandar Maju, 1999), hal. 13. 21 Paulus E. Lotulung, Pengertian Pembuktian Sederhana dalam Perkara Kepailitan, Majalah Ombudsman, No. 54/V/2004, hal 10. 22 Victorianus M.H. Randa Puang, Penerapan Asas Pembuktian Sederhana dalam Penjatuhan Putusan Pailit, (Bandung: Satu Nusa , 2011), hal 12. pelayanan telekomunikasi selular yaitu PT. Telkomsel atas permohonan pailit yang

  

23

diajukan oleh PT. Prima Jaya Informatika.

  Permohonan pailit bermula dari perjanjian kerjasama tentang penjualan produk telkomsel antara PT. Telkomsel dengan PT. Prima Jaya Informatika pada tanggal 01 Juni 2011. Menurut perjanjian ini PT. Telkomsel berkewajiban untuk menyediakan voucher isi ulang bertema khusus olah raga dalam jumlah sedikit- dikitnya 120.000.000 (seratus dua puluh juta) yang terdiri dari voucher isi ulang Rp. 25.000,00 (dua puluh lima ribu Rupiah) dan voucher isi ulang Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu Rupiah). PT. Telkomsel berkewajiban untuk menyediakan perdana kartu prabayar bertema khusus olah raga dalam jumlah sedikit-dikitnya 10.000.000,- (sepuluh juta) setiap tahun, sebaliknya PT. Prima Jaya Informatika berkewajiban untuk menjual.

  Bahwa kemudian di tahun kedua PT. Prima Jaya Informatika telah menyampaikan purchase order No.PO/PJI-AK/VI/2012/00000027, tanggal 20 Juni 2012 berjumlah Rp. 2.595.000.000,- (dua milyar lima ratus sembilan puluh lima juta Rupiah) dan pada tanggal 21 Juni 2012 telah pula menyampaikan purchase order 23 Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37

  Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyebutkan bahwa: dalam hal debitor adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau badan usaha milik negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat dilakukan oleh Menteri Keuangan. Berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang dimaksud dengan “Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik” adalah Badan Usaha Milik Negara yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham. PT. Telkomsel merupakan BUMN yang berbentuk Persero yang mana saham kepemilikannya sebagian besar atau sekurang-kurangnya 51 % dikuasai oleh negara. Dengan demikian Permohonan Pailit dapat diajukan selain oleh Menteri Keuangan, yaitu PT. Prima Jaya Informatika.

  No.PO/PJI-AK/VI/2012/00000028, tertanggal 21 Juni 2012, berjumlah Rp. 3.025.000.000,00 (tiga milyar dua puluh lima juta Rupiah) kepada PT. Telkomsel, namun terhadap kedua purchase order tersebut PT. Telkomsel menerbitkan penolakan melalui electronic mail (E-Mail) dan menghentikan sementara alokasi produk Prima tersebut.

  Dikarenakan adanya pelanggaran perjanjian kerjasama tersebut PT. Prima Jaya Informatika mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

  Pelanggaran perjanjian tersebut sebenarnya termasuk ke dalam tindakan wanprestasi. Wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau

  24

  dilakukan tidak menurut selayaknya. Debitor dapat dikatakan wanprestasi apabila dalam melaksanakan prestasi debitor telah lalai sehingga adanya keterlambatan dari waktu yang sudah ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan.

  Akhirnya pada 14 September 2012 majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengabulkan permohonan pernyataan pailit oleh PT. Prima Jaya Informatika dan menyatakan Termohon Pailit yaitu PT. Telkomsel, pailit dengan segala akibat hukum. Adapun yang menjadi pertimbangan hukum, bahwa Pemohon Pailit dapat membuktikan terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana.

  Bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam

  Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah terpenuhi. PT. Telkomsel terbukti 24 M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Penerbit Alumni, 1986), hal. 60. memiliki utang jatuh tempo yang dapat ditagih oleh PT. Prima Jaya Informatika sebesar Rp. 5.260.000.000,00 (lima milyar dua ratus enam puluh juta Rupiah).

  PT. Telkomsel terbukti adanya kreditor lain, yaitu PT. Extend Media Indonesia dengan utang sebesar Rp. 21.031.561.274,- (dua puluh satu milyar tiga puluh satu juta lima ratus enam puluh satu ribu dua ratus tujuh puluh empat Rupiah) dan Rp. 19.294.652.520,00- (sembilan belas milyar dua ratus sembilan puluh empat juta enam ratus lima puluh dua ribu lima ratus dua puluh Rupiah), sehingga permohonan Pemohon Pailit beralasan hukum dan karenanya harus dikabulkan berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

  Tidak puas dengan keputusan tersebut, PT. Telkomsel kemudian melakukan perlawanan dengan mengajukan kasasi di tingkat Mahkamah Agung. Dalam pemeriksaan tingkat kasasi tersebut majelis hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia, pada hari Rabu, tanggal 21 November 2012 telah membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 48/Pailit/2012/ PN.

  Niaga.Jkt.Pst. dengan putusan Nomor 704 K/pdt.Sus/2012.

  Adapun yang menjadi pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung bahwa alasan-alasan kasasi yang diajukan oleh PT. Telkomsel dapat dibenarkan, sebab setelah memeriksa dengan seksama putusan judex factie atau Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tersebut, ternyata judex factie telah salah menerapkan hukum, oleh karena apakah benar telah adanya utang Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit dalam perkara ini memerlukan pembuktian yang tidak sederhana.

  Bahwa dalil Pemohon Pailit tentang adanya utang Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit ternyata dibantah oleh Termohon Pailit, sehingga tidak memenuhi ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, oleh karena dalam perkara ini tentang kebenaran adanya utang Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit memerlukan adanya suatu pembuktian yang rumit dan tidak sederhana sehingga permohonan pailit dari Pemohon Pailit tidak memenuhi ketentuan

  Pasal 8 ayat (4) tersebut di atas sehingga penyelesaian perkara tersebut harus dilakukan melalui pengadilan negeri dan bukan Pengadilan Niaga. Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka yang ingin diteliti lebih lanjut dan disusun dalam tesis dengan judul: Penerapan prinsip exceptio non adimpleti

  contractus

  dalam perkara kepailitan (studi kasus putusan Mahkamah Agung No. 704 K/Pdt.Sus/2012 antara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya Informatika).

B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan uraian di atas, adapun yang menjadi pokok permasalahan yang ingin diteliti dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:

  1. Bagaimanakah aturan hukum prinsip exceptio non adimpleti contractus dalam hukum perjanjian?

  2. Bagaimanakah kaitan antara prinsip exceptio non adimpleti contractus dengan pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan PT. Telkomsel?

  3. Bagaimanakah penerapan prinsip exceptio non adimpleti contractus pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 704 K /Pdt.Sus/2012 antara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya Informatika?

  C. Tujuan Penelitian

  Berdasarkan dari latar belakang dan perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Untuk mengetahui aturan hukum prinsip exceptio non adimpleti contractus dalam hukum perjanjian.

  2. Untuk mengetahui kaitan antara prinsip exceptio non adimpleti contractus dengan pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan PT. Telkomsel.

  3. Untuk mengetahui penerapan prinsip exceptio non adimpleti contractus pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 704 K /Pdt.Sus/2012 antara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya Informatika.

  D. Manfaat Penelitian

  Penelitian ini diharapakan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis, masing-masing sebagai berikut:

  1. Secara teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat teoritis yang berupa sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum khususnya yang berkaitan dengan hukum kepailitan dan pembahasan terhadap masalah ini akan memberikan pemahaman dan pandangan yang baru mengenai kasus-kasus kepailitan yang sering terjadi.

  2. Secara Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan khasanah pengetahuan di bidang hukum tentang pengaturan prinsip exceptio non adimpleti

  contractus

  dan kaitan prinsip ini dengan pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan serta penerapan prinsip exceptio non adimpleti contractus dalam perkara kepailitan.

E. Keaslian Penelitian

  Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dan secara khusus di lingkungan Pascasarjana program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara penelitian tentang “Penerapan prinsip exceptio non adimpleti contractus dalam perkara kepailitan (studi kasus putusan Mahkamah Agung No. 704 K/Pdt.Sus.2012 antara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya Informatika)” tidak ditemukan judul penelitian yang sama, tetapi ditemukan penelitian karya ilmiah yang mengangkat tentang “penerapan prinsip pembuktian sederhana dalam penjatuhan putusan pailit” dengan perumusan masalah:

  1. Bagaimanakah penerapan prinsip pembuktian sederhana dalam praktik penjatuhan putusan pailit di Pengadilan Niaga.

  2. Kendala atau hambatan apa sajakah yang ditemui dalam penerapan prinsip pembuktian sederhana dalam penjatuhan putusan pailit.

  3. Upaya-upaya apa sajakah yang dilakukan dalam mengatasi kendala atau hambatan dalam penerapan Prinsip pembuktian sederhana dalam penjatuhan pailit.

  Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut, maka penelitian ini berbeda dari penelitian tersebut yang mana penelitian ini lebih difokuskan kepada prinsip exceptio

  non adimpleti contractus

  dan kajian terhadap pembuktian sederhana hanya difokuskan pada putusan Mahkamah Agung No. 704 K/Pdt.Sus.2012, dengan demikian penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keaslian dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara keilmuan akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

  Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai landasannya dan tugas teori hukum adalah: “untuk menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam, sehingga penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang dibahas dalam bahasa

  25 dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri”.

  Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori dan tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan

  26

  perbandingan dan pegangan teoritis. Teori bisa dipergunakan untuk menjelaskan 25 Jujun S. Suryasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), hal. 237. 26 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80.

  fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Oleh karena itu, kegunaan teori hukum dalam penelitian adalah sebagai pisau analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta

  27

  hukum yang diajukan dalam masalah penelitian. Teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum.

  Kepastian asal katanya pasti yang artinya tentu; sudah tetap; boleh tidak;

  28

  sesuatu hal yang sudah tentu. Menurut ajaran dogmatik normatif, hukum tak lain hanya kumpulan aturan dan tujuan hukum tidak lain sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum (John Austin dan Van Kan). Menurut aliran ini, meskipun aturan hukum atau penerapan hukum terasa tidak adil dan tidak memberikan manfaat yang besar bagi mayoritas warga masyarakat, hal itu tidak menjadi soal, asalkan kepastian

  29 hukum dapat terwujud.

  Aliran ini bersumber dari pemikiran kaum “legal positivism” di dunia hukum, yang cendrung melihat hukum hanya dalam wujudnya sebagai kepastian undang- undang, memandang hukum sebagai suatu yang otonom, karena hukum tak lain adalah kumpulan aturan-aturan hukum (legal rules), norma-norma hukum (legal

  30 norms ) dan asas-asas hukum (legal principles).

  27 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 16. 28 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai pustaka, 2006), hal. 847. 29 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta: PT.

  Toko Gunung Agung Tbk, 2002), hal. 83. 30 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence); Termasuk Interprestasi Undang-Undang (Legisprudence) Vol. 1Pemahaman Awal , (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2010), hal. 284.

  Dengan adanya hukum yang baik diharapkan tercipta ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat. Aturan tersebut berlaku untuk semua pihak, sebagaimana yang dikemukakan oleh Budiono Kusumohanidjojo:

  “Dalam keadaan tanpa patokan sukar bagi kita untuk membayangkan bahwa kehidupan masyarakat bisa berlangsung tertib, damai dan adil. Fungsi dari kepastian hukum adalah tidak lain untuk memberikan patokan bagi perilaku seperti itu. Konsekuensinya adalah hukum itu harus memiliki suatu kredibilitas dan kredibilitas itu hanya bisa dimilikinya bila penyelenggaraan hukum mampu memperlihatkan suatu alur konsistensi. Penyelenggaraan hukum yang tidak konsisten tidak akan membuat masyarakat mau mengandalkannya sebagai perangkat kaedah yang mengatur kehidupan bersama”.

31 Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya

  aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa saja yang boleh dilakukan atau perbuatan apa saja yang tidak boleh dilakukan dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan”.

32 Pada dasarnya putusan hakim merupakan bagian dari proses penegakan

  hukum yang bertujuan salah satunya untuk mencapai kepastian hukum. Dalam upaya 31 Budiono Kusumohanidjojo, Ketertiban Yang Adil Problem Filsafat Hukum, (Jakarta: Grasindo, 1999), hal. 150-151. 32 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2008), hal 158.

  menerapkan kepastian hukum, idealnya putusan hakim harus sesuai tujuan dasar dari suatu pengadilan. Idealnya putusan pengadilan harus mengandung kepastian hukum

  33

  sebagai berikut:

  a) Melakukan solusi autoritatif, artinya memberikan jalan keluar dari masalah hukum yang dihadapi oleh para pihak b) Efisiensi artinya dalam proses harus cepat, sederhana dan biaya ringan.

  c) Sesuai dengan tujuan undang-undang yang dijadikan dasar dari putusan hakim tersebut.

  d) Mengandung aspek stabilitas, yaitu dapat memberikan rasa tertib dan rasa aman dalam masyarakat.

  e) Mengandung equality, yaitu memberi kesempatan yang sama bagi pihak yang berperkara.

  Teori kepastian hukum ini dikemukakan dengan tujuan untuk menganalisi kepastian hukum mengenai aturan hukum prinsip exceptio non adimpleti contractus dalam hukum perjanjian dan menganalisi penerapan prinsip exceptio non adimpleti

  contractus

  pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 704 K /Pdt.Sus/2012 antara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya Informatika serta menganalisis kaitan antara prinsip exceptio non adimpleti contractus dengan pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan PT. Telkomsel yang dapat dilihat dalam putusan hakim yang merupakan hasil yang didasarkan pada fakta-fakta di persidangan yang relevan secara yuridis serta dipertimbangakan dengan hati nurani.

  Sistem pembuktian secara sederhana ini diatur dalam ketentuan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan 33 Artidjo Alkostar, Meningkatkan Kualitas Pengadilan dengan Persamaan Persepsi dalam

  , Penerapan

  Hukum https://www.mahkamahagung.go.id/images/uploaded/15f.Menegakkan_Hukum.pdf, diakses pada tanggal 10 Maret 2014. Kewajiban Pembayaran Utang yang menyebutkan bahwa: “Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam

  Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah dipenuhi”.

2. Kerangka Konsepsional

  Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian

  34

  yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan

  35

  dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis. Konsep merupakan salah satu bagian penting dari sebuah teori dalam suatu penelitian. Konsepsi dapat diartikan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkret, yang disebut sebagai definisi operasional. Definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.

  Bertitik tolak dari kerangka teori sebagaimana tersebut di atas, berikut disusun kerangka konsepsi yang dapat dijadikan sebagai definisi operasional, yaitu antara lain:

  a. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan 34 kewajiban kepada kedua belah pihak dan hak serta kewajiban itu mempunyai

  Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 7. 35 Satjipto Raharjo, Konsep Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal.397.

  hubungan satu dengan lainnya. Yang dimaksud dengan mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain adalah bahwa bilamana dalam perikatan yang muncul dari perjanjian tersebut, yang satu mempunyai hak, maka pihak

  36 yang lain berkedudukan sebagai pihak yang memikul kewajiban.

  b. Prinsip exceptio non adimpleti contractus adalah tangkisan yang menyatakan bahwa debitor tidak melaksanakan perjanjian sebagaimana mestinya justru karena kreditor sendiri tidak melaksanakan perjanjian itu sebagaimana

  37 mestinya.

  c. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. (Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).

  d. Wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya

  38 atau dilakukan tidak menurut selayaknya.

  e. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. (Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).

  f. Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang- 36 undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. (Berdasarkan 37 J. Satrio, Op.cit, hal. 43. 38 H. Riduan Syahrani, Loc.cit.

  M. Yahya Harahap, Op.cit, hal. 60. ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).

  g. Debitor Pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan pangadilan. (Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor

  37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).

  h. Pihak Pemohon Pailit adalah pihak yang mengajukan dan memohon kepada Pengadilan Niaga yang berwenang agar debitor dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya, kemudian ditunjuk kurator dan hakim pengawas

  39 terhadap harta kekayaan debitor pailit.

  i. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontigen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor. (Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).

G. Metode Penelitian

  Menurut Sunaryati Hartono, metode penelitian adalah cara atau jalan atau proses pemeriksaan atau penyelidikan yang menggunakan cara penalaran dan teori- teori yang logis-analitis (logika), berdasarkan dalil-dalil, rumus-rumus dan teori-teori 39 Lilik Mulyadi, Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Teori dan Praktik , (Bandung: PT Alumni, 2010), hal. 127. suatu ilmu (atau beberapa cabang ilmu) tertentu, untuk menguji kebenaran (atau mengadakan verifikasi) suatu hipotesis atau teori tentang gejala-gejala atau peristiwa

  40

  alamiah, peristiwa sosial atau peristiwa hukum tertentu. Metode penelitian hukum

  41 merupakan suatu cara yang teratur (sistematis) dalam melakukan sebuah penelitian.

  Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul di dalam

  42 gejala yang bersangkutan.

  Penelitian hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penelitian hukum normatif (doctrinal) yang condong bersifat kualitatif dan penelitian hukum empiris

  43

  atau sosiologis (non doctrinal) yang condong bersifat kuantitatif. Adapun metode penelitian yang dipergunakan dalam menjawab permasalahan yang timbul dalam tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis dan sifat Penelitian

  Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat preskriptif analitis yang mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validalitas aturan hukum, konsep- konsep hukum dan norma-norma hukum. Suatu penelitian yang ditujukan untuk 40 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 105. 41 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, cetakan ke-1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 57. 42 43 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 14.

  J. Supranto, Metode penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal. 2 mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi

  44

  masalah-masalah tertentu, dan apabila dilihat dari tujuannya termasuk dalam penelitian hukum normatif (normative legal research).

  Penelitian hukum normatif disebut penelitian hukum doktrinal atau penelitian perpustakaan, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain, sedangkan disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen karena penelitian ini lebih banyak

  45 dilakukan pada bahan hukum yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan”.

2. Sumber Data

  Penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Data yang diperoleh langsung dari masyarakat dinamakan data primer atau data dasar sedangkan yang

  46

  diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder. Penelitian dalam hukum normatif yang menitik beratkan pada studi kepustakaan dan berdasarkan pada data sekunder, bahan yang dipergunakan dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu: a. Bahan-bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas

  47 44 (autoritatif), meliputi seluruh peraturan perundang-undangan dan putusan- Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hal.10. 45 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal.

  13-14. 46 47 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.cit, hal. 12.

  Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal 47. putusan pengadilan yang relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, antara lain:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

  2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

  3. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Kepailitan Menjadi Undang-Undang.

  4. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

  5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

  6. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 23 K/N/1999 antara PT. Waskita Karya melawan PT. Mustika Princess Hotel.

  7. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 48/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst antara PT. Telkomsel melawan PT.

  Prima Jaya Informatika.

  8. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 704 K /Pdt.Sus/2012 antara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya Informatika.

  9. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 04 PK/N/2001 yang menguatkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:

  06 K/N/2001 yang membatalkan Putusan Pengadilan Niaga pada

  Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 04 Januari 2001 No. 81/Pailit/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst antara PT. Kadi Internasional melawan PT. Wisma Calindra.

  10. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 42/Pailit/1999/PN.Niaga.Jkt.Pst antara PT. Astria Raya Bank (dalam likuidasi) melawan Leo Andyanto.

  11. Putusan Pengadilan Niaga No. 14/Pailit/2002/PN.Niaga.Jkt.Pst antara

  Macmillan ELT dkk melawan PT. Sulcor Investindo.

  12. Putusan Pengadilan Niaga Medan Nomor 01/Pailit/2005/PN. Niaga.Mdn tanggal 16 November 2005 antara PT. Bahtera Lestari Sejahtera melawan PT. Duta Sahabat Abadi.

  b. Bahan-bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer sebagaimana yang terdapat dalam kumpulan pustaka yang bersifat sebagai penunjang dari bahan hukum primer,

  48

  yang terdiri dari:

  1. Buku-buku

  2. Hasil-hasil penelitian

  3. Artikel-artikel

48 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.cit, hal. 23.

  c. Bahan-bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk

  49

  maupun penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yang terdiri dari:

  1. Kamus bahasa Indonesia

  2. Kamus hukum 3. Media elektronik yang berkaitan dengan judul penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

  Pengumpulan data mempunyai hubungan erat dengan sumber bahan hukum, karena dengan pengumpulan data akan diperoleh bahan hukum yang diperlukan untuk selanjutnya dianalisis sesuai kehendak yang diharapkan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui

  

research

  penelitian kepustakaan (library ) yang dilakukan dengan cara menginventarisir, mempelajari dan mendalami bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang terkait dengan penelitian ini.

  Studi kepustakaan digunakan terutama untuk mengumpulkan bahan-bahan hukum melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur- literatur, tulisan-tulisan pakar hukum, dokumen resmi, publikasi dan hasil penelitian yang berkaitan dengan tulisan ini.

49 Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), hal. 338.

4. Analisis Data Analisis data merupakan tahap yang paling penting dalam suatu penelitian.

  Dalam penelitian ini data yang diperoleh akan diproses dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai didapat suatu kesimpulan yang nantinya akan menjadi hasil akhir dari penelitian. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data yang bersifat kualitatif.

  Analisis kualitatif dilakukan terhadap paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep dan bahan hukum yang merupakan modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada bahan hukum yang dikumpulkan. Hal ini dilakukan sehubungan bahan hukum yang dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang berbeda satu dengan lainnya. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif, yakni penyimpulan yang dilakukan dimulai dari yang umum

  50 ke yang khusus.

Dokumen yang terkait

Penerapan Prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 704 k/Pdt.Sus/2012 Antara PT. Telkomsel Melawan PT. Prima Jaya Informatika)

9 92 121

Hak dan Kewajiban Kurator Pasca Putusan Pembatalan Pailit Pada Tingkat Kasasi Oleh Mahkamah Agung (Studi Kasus Kepailitan PT. Telkomsel vs PT. Prima Jaya Informatika)

1 38 128

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertimbangan Hakim terhadap Penguasaan Tanah Secara Melawan Hukum: Studi terhadap Putusan Mahkamah Agung RI No. 2462 K/PDT/2015 Juncto Putusan Peng

0 0 15

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Terhadap Batas Waktu Di Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah (Studi Kasus Putusan Perkara Perdata No.577/Pdt.G/2013/ Pn-Mdn)

0 0 16

BAB II PERBUATAN MELAWAN HUKUM A. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum - Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel Meteran Milik PT. PLN (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No.694 K/Pdt/2008)

0 0 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel Meteran Milik PT. PLN (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No.694 K/Pdt/2008)

0 0 10

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertimbangan Hakim Menolak Kasasi Dalam Kasus Narkotika (Studi Kasus Putusan No. 2338/K.Pid.Sus/2013 Mahkamah Agung Republik Indonesia)

0 0 18

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Perbuatan Melawan Hukum Dalam Pengalihan Saham Perseroan Melalui Perjanjian Jual Beli Saham (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2678 K/Pdt/2011)

0 0 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Keagenen (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2363 K/Pdt/2011)

0 0 11

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penyelesaian Sengketa Perjanjian Pembangunan PLTM Silau 2 Simalungun antara PT. Hutama Karya (Persero) dengan PT. Bersaudara (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 146 K/PDT.SUS/2012)

0 0 12