Penerapan Prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 704 k/Pdt.Sus/2012 Antara PT. Telkomsel Melawan PT. Prima Jaya Informatika)

(1)

PT. PRIMA JAYA INFORMATIKA

TESIS

Oleh

YULIA

127011092/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PT. PRIMA JAYA INFORMATIKA

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

YULIA

127011092/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PRIMA JAYA INFORMATIKA

Nama Mahasiswa : YULIA

Nomor Pokok : 127011092

Program Studi : MAGISTER KENOTARIATAN

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Sunarmi, SH, MHum) (Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Anggota : 1. Prof. Dr. Sunarmi, SH, MHum

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum 3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 4. Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn


(5)

Nama : YULIA

Nim : 127011092

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : PENERAPAN PRINSIP EXCEPTIO NON ADIMPLETI

CONTRACTUS DALAM PERKARA KEPAILITAN

(STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.

704 K/PDT.SUS/2012 ANTARA PT. TELKOMSEL

MELAWAN PT. PRIMA JAYA INFORMATIKA

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :YULIA


(6)

wanprestasi. Permohonan pailit PT. Telkomsel yang diajukan oleh PT. Prima Jaya Informatika bermula dari pelanggaran perjanjian kerjasama (wanprestasi), berupa penolakan kedua purchase order yang menimbulkan utang bagi PT. Telkomsel. Permasalahan pada penelitian ini adalah bagaimana aturan hukum prinsip exceptio non adimpleti contractus dalam hukum perjanjian, bagaimana kaitan antara prinsip exceptio non adimpleti contractus dengan pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan PT. Telkomsel dan bagaimana penerapan prinsip exceptio non adimpleti contractus pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 704 K /Pdt.Sus/2012 antara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya Informatika.

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif analitis. Teknik pengumpulan data menggunakan penelitian kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan logika berfikir deduktif.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa prinsip exceptio non adimpleti contractus diatur dalam hukum perjanjian, yaitu: pertama, peraturan perundang-undangan yang diatur dalam ketentuan Pasal 1478 KUHPerdata. Kedua, diatur dalam yurisprudensi. Kaitan antara prinsip exceptio non adimpleti contractus dengan pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan PT. Telkomsel adalah dengan adanya exceptio non adimpleti contractus yang diajukan oleh PT. Telkomsel membuat pembuktian dalam perkara kepailitan tersebut menjadi tidak sederhana karena yang ditangkis oleh PT. Telkomsel bukan besar atau kecilnya utang melainkan ada atau tidaknya utang, sehingga perkara tersebut harus dibuktikan melalui gugatan perdata pada Pengadilan Negeri. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 704 K/Pdt.Sus/2012 antara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya Informatika telah dengan tepat dan benar menerapkan prinsipexceptio non adimpleti contractusdengan membenarkan alasan-alasan kasasi yang diajukan oleh PT. Telkomsel berdasarkan prinsip exceptio non adimpleti contractus, meskipun di dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim Mahkamah Agung tidak membahas mengenaiexceptio non adimpleti contractus.

Disarankan terhadap fakta-fakta hukum yang sama majelis hakim mempunyai pendapat yang sama dalam memutuskan suatu perkara dan sebaiknya majelis hakim selain berdasarkan pada peraturan perundang-undangan juga memperhatikan yurisprudensi serta kepada pihak yang telah dirugikan terlebih dahulu karena adanya wanprestasi hendaknya mengajukan permintaan pembatalan perjanjian kepada hakim demi adanya kepastian hukum.


(7)

contract. The file for bankruptcy of PT Telkomsel to PT Prima Jaya Informatika began when the cooperation agreement was breached, the objection to two purchase orders which caused the debt of PT Telkomsel. The problems in the research were as follows: how about the law of the principle of exceptio non adimpleti contractus in the contract law, how about the correlation between the principle of exceptio non adimpleti contractus and the simple evidence in the case of bankruptcy of PT Telkomsel, and how about the implementation of the principle of exceptio non adimpleti contractus in the Ruling of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 704 K/Pdt.Sus/2012 between PT Telkomsel and PT Prima Jaya Informatika.

The research used judicial normative and prescriptive analytic approaches. The data were gathered by conducting library research for the secondary data which consisted of primary, secondary, and tertiary legal materials. The gathered data were analyzed by using qualitative analysis and the conclusions were drawn by using deductive thinking logic.

From the result of the research, it could be concluded that the principle of exceptio non adimpleti contractus was regulated in the cooperation agreement: first, legal provisions regulated in Article 1478 of the Civil Code; secondly, they were regulated in the jurisprudence. The correlation between the principle of exceptio non adempleti contractus and the simple evidence in the case of bankruptcy of PT Telkomsel was that the existence of the principle of exceptio non adimpleti contractus filed by PT Telkomsel had caused the evidence in the case of bankruptcy not to be simple any more because what was objected by PT Telkomnsel was not the amount of the debt but whether there was a debt or not so that the case had to be proved through the civil complaint in the District Court. The Ruling of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 704 K/Pdt.Sus/2012 between PT Telkomsel and PT Prima Jaya Informatika had the right path in implementing the principle of exceptio non adimpleti contractus by confirming the reasons for cassation appeal filed by PT Telkomsel, based on the principle of exceptio non adimpleti contractus, although in the legal consideration of the Panel of Judges of the Supreme Court the principle of exceptio non adimpleti contractus was not discussed.

It is recommended that in the same case as it has been mentioned above, the panel of judges have the same point of view in reaching a verdict on such a case; their verdict should not only be based on legal provisions but also on jurisprudence; and those who have been harmed by the default should file a complaint of the contract cancellation to the panel of judges for the sake of legal certainty.


(8)

puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan taufik dan rahmat-Nya dengan memberikan kesehatan dan kekuatan sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. Juga disampaikan shalawat dan salam kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabatnya, para tabi`in dan pengikutnya sampai akhir zaman. Adapun judul tesis ini adalah “Penerapan Prinsip Exceptio Non Adimpleti ContractusDalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 704 k/Pdt.Sus/2012 Antara PT. Telkomsel Melawan PT. Prima Jaya Informatika)".

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan dorongan baik berupa masukan maupun saran, sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku pembimbing utama, Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum., selaku pembimbing kedua dan Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku pembimbing ketiga yang telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis dangan penuh kesabaran, ketekunan dan keikhlasan dari awal penyusunan proposal sampai selesainya penulisan tesis ini.

Kemudian juga, kepada Dosen Penguji yang terhormat dan amat terpelajar Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum dan Bapak Notaris Dr. Syahril Sofyan, S.H., MKn yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah. Dalam kesempatan ini penulis juga dengan tulus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan pada


(9)

Universitas Sumatera Utara, yang telah memberi kesempatan dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Seluruh Guru Besar beserta Dosen dan Staf Pengajar pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya dan membuka cakrawala berpikir penulis yang sangat bermanfaat dikemudian hari.

5. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang selalu membantu kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan.

6. Seluruh teman-teman Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara khususnya kelas reguler angkatan 2012.

7. Terima kasih kepada teman terdekat yang telah memberikan motifasi dan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini, yaitu: Merlyn, Oliv, Rita, Ana, Fitri, Riska, Netty, Ipon, Kak Fenty, Kak Vina, Kak Halimah, Mike, Ica dan Iin.

8. Secara Khusus penulis hanturkan beribu terimakasih kepada orang tua penulis yakni Ayahanda tercinta Ir. M. Hanafiah dan Ibunda tercinta Yusna, yang telah mendidik, membesarkan, mencurahkan kasih sayang, memberi doa dan dorongan serta bantuan baik moril maupun materil serta Saudara-saudaraku tercinta yakni: Reza Fahlevi, Novita S.H dan Yunita Intan Tari yang senantiasa memberikan motivasi dan doa.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa, agar


(10)

dari substansi maupun dari cara penyajiannya, karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis. Segala kritik dan saran yang bersifat membangun akan penulis terima. Akhir kata penulis mengharapkan tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan penulis berdoa semoga ilmu yang telah diperoleh dapat dipergunakan untuk kepentingan bangsa dan agama.

Medan, Juli 2014 Penulis


(11)

Nama : Yulia

Tempat/Tanggal Lahir : Jeumpa, 26 Mei 1990 Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Belum Menikah

Agama : Islam

Alamat : Jl. R. Soeprapto, Ruko Genta Plaza, Blok F No. 6, Kel. Buliang, Kec. Batu Aji Kota Batam

II. KELUARGA

Nama Ayah : Ir. M. Hanafiah

Nama Ibu : Yusna

Nama Abang : Reza Fahlevi Nama Kakak : Novita, S.H Nama Adik : Yunita Intan Tari

III. PENDIDIKAN

Tahun 1996-2002 : SDN 002 Batam

Tahun 2002-2005 : SMP Babussalam Pekanbaru Tahun 2005-2008 : SMA Negeri 1 Batam

Tahun 2008-2012 : S-1 Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

Tahun 2012-2014 : S-2 Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan


(12)

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR SINGKATAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penelitian ... 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13

1. Kerangka Teori ... 13

2. Kerangka Konsepsional ... 17

G. Metode Penelitian ... 19

1. Jenis dan sifat penelitian ... 20

2. Sumber Data ... 21

3. Teknik Pengumpulan data ... 24

4. Analisis Data ... 25

BAB II ATURAN HUKUM PRINSIP EXCEPTIO NON ADIMPLETI CONTRACTUSDALAM HUKUM PERJANJIAN ... 26

A. PrinsipExceptio Non Adimpleti Contractus ... 26

B. Aturan Hukum Prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus Dalam Hukum Perjanjian ... 32


(13)

DALAM PERKARA KEPAILITAN PT. TELKOMSEL ... 52

A. Pembuktian Sederhana ... 52

1. Pengertian Pembuktian Sederhana ... 52

2. Pembuktian Sederhana dalam Hukum Kepailitan ... 54

B. Kaitan Antara PrinsipExceptio Non Adimpleti Contractus dengan Pembuktian Sederhana dalam Perkara Kepailitan PT. Telkomsel ... 61

1. Debitor Tidak Membayar Lunas Sedikitnya Satu Utang yang Telah Jatuh Waktu dan Dapat Ditagih ... 62

2. Debitor Mempunyai 2 (Dua) atau Lebih Kreditor ... 69

BAB IV PENERAPAN PRINSIP EXCEPTIO NON ADIMPLETI CONTRACTUS PADA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 704 K/Pdt.Sus/2012 ANTARA PT. TELKOMSEL MELAWAN PT. PRIMA JAYA INFORMATIKA ... 77

A. Kasus Posisi ... 77

B. Amar Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat ... 83

C. Alasan Pokok Kasasi ... 84

D. Analisis Putusan Mahkamah Agung Dalam Penerapan PrinsipExceptio Non Adimpleti Contractus ... 88

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 97

A. Kesimpulan ... 97

B. Saran ... 98


(14)

2. F.V :Faillissement Verordening 3. P.T : Perseroan Terbatas

4. Telkomsel : Telekomunikasi Seluler 5. E-Mail :Electronic Mail

6. Dkk : Dan Kawan-kawan 7. PKS : Perjanjian Kerjasama 8. Pdt.Sus : Perdata Khusus

9. Jo. :Juncto

10. Pte. Ltd. :Privite Limited 11. PO :Purchase Order


(15)

wanprestasi. Permohonan pailit PT. Telkomsel yang diajukan oleh PT. Prima Jaya Informatika bermula dari pelanggaran perjanjian kerjasama (wanprestasi), berupa penolakan kedua purchase order yang menimbulkan utang bagi PT. Telkomsel. Permasalahan pada penelitian ini adalah bagaimana aturan hukum prinsip exceptio non adimpleti contractus dalam hukum perjanjian, bagaimana kaitan antara prinsip exceptio non adimpleti contractus dengan pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan PT. Telkomsel dan bagaimana penerapan prinsip exceptio non adimpleti contractus pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 704 K /Pdt.Sus/2012 antara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya Informatika.

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif analitis. Teknik pengumpulan data menggunakan penelitian kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan logika berfikir deduktif.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa prinsip exceptio non adimpleti contractus diatur dalam hukum perjanjian, yaitu: pertama, peraturan perundang-undangan yang diatur dalam ketentuan Pasal 1478 KUHPerdata. Kedua, diatur dalam yurisprudensi. Kaitan antara prinsip exceptio non adimpleti contractus dengan pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan PT. Telkomsel adalah dengan adanya exceptio non adimpleti contractus yang diajukan oleh PT. Telkomsel membuat pembuktian dalam perkara kepailitan tersebut menjadi tidak sederhana karena yang ditangkis oleh PT. Telkomsel bukan besar atau kecilnya utang melainkan ada atau tidaknya utang, sehingga perkara tersebut harus dibuktikan melalui gugatan perdata pada Pengadilan Negeri. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 704 K/Pdt.Sus/2012 antara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya Informatika telah dengan tepat dan benar menerapkan prinsipexceptio non adimpleti contractusdengan membenarkan alasan-alasan kasasi yang diajukan oleh PT. Telkomsel berdasarkan prinsip exceptio non adimpleti contractus, meskipun di dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim Mahkamah Agung tidak membahas mengenaiexceptio non adimpleti contractus.

Disarankan terhadap fakta-fakta hukum yang sama majelis hakim mempunyai pendapat yang sama dalam memutuskan suatu perkara dan sebaiknya majelis hakim selain berdasarkan pada peraturan perundang-undangan juga memperhatikan yurisprudensi serta kepada pihak yang telah dirugikan terlebih dahulu karena adanya wanprestasi hendaknya mengajukan permintaan pembatalan perjanjian kepada hakim demi adanya kepastian hukum.


(16)

contract. The file for bankruptcy of PT Telkomsel to PT Prima Jaya Informatika began when the cooperation agreement was breached, the objection to two purchase orders which caused the debt of PT Telkomsel. The problems in the research were as follows: how about the law of the principle of exceptio non adimpleti contractus in the contract law, how about the correlation between the principle of exceptio non adimpleti contractus and the simple evidence in the case of bankruptcy of PT Telkomsel, and how about the implementation of the principle of exceptio non adimpleti contractus in the Ruling of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 704 K/Pdt.Sus/2012 between PT Telkomsel and PT Prima Jaya Informatika.

The research used judicial normative and prescriptive analytic approaches. The data were gathered by conducting library research for the secondary data which consisted of primary, secondary, and tertiary legal materials. The gathered data were analyzed by using qualitative analysis and the conclusions were drawn by using deductive thinking logic.

From the result of the research, it could be concluded that the principle of exceptio non adimpleti contractus was regulated in the cooperation agreement: first, legal provisions regulated in Article 1478 of the Civil Code; secondly, they were regulated in the jurisprudence. The correlation between the principle of exceptio non adempleti contractus and the simple evidence in the case of bankruptcy of PT Telkomsel was that the existence of the principle of exceptio non adimpleti contractus filed by PT Telkomsel had caused the evidence in the case of bankruptcy not to be simple any more because what was objected by PT Telkomnsel was not the amount of the debt but whether there was a debt or not so that the case had to be proved through the civil complaint in the District Court. The Ruling of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 704 K/Pdt.Sus/2012 between PT Telkomsel and PT Prima Jaya Informatika had the right path in implementing the principle of exceptio non adimpleti contractus by confirming the reasons for cassation appeal filed by PT Telkomsel, based on the principle of exceptio non adimpleti contractus, although in the legal consideration of the Panel of Judges of the Supreme Court the principle of exceptio non adimpleti contractus was not discussed.

It is recommended that in the same case as it has been mentioned above, the panel of judges have the same point of view in reaching a verdict on such a case; their verdict should not only be based on legal provisions but also on jurisprudence; and those who have been harmed by the default should file a complaint of the contract cancellation to the panel of judges for the sake of legal certainty.


(17)

A. Latar Belakang

Dalam menjalankan bisnis pada dasarnya manusia tidak bisa melakukan sendiri, tetapi harus dilakukan secara bersama atau dengan mendapat bantuan dari orang lain.1 Untuk itu diperlukan suatu perangkat hukum demi kegiatan bisnis yang atau sedang berjalan tersebut. Perangkat hukum itu disebut dengan perjanjian.2 Perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara dua pihak yang membuatnya, yaitu adanya hak dan kewajiban yang timbul di dalamnya.3

Menurut J. Satrio perjanjian dapat dibedakan menjadi beberapa jenis di antaranya adalah perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak.4 Perjanjian timbal balik merupakan perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Hak dan kewajiban tersebut mempunyai hubungan satu dengan lainnya. Yang dimaksud dengan mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain adalah bahwa bilamana dalam perikatan yang muncul dari perjanjian tersebut, yang satu mempunyai hak, maka pihak yang lain berkedudukan sebagai pihak yang memikul kewajiban.5

1

Faisal Santiago,Pengantar Hukum Bisnis,(Jakarta: Mitra Wacana Media, 2012), hal. 19

2Ibid. 3

Frans Satriyo Wicaksono, Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kontrak, (Jakarta: Visimedia, 2008), hal. 2.

4

J. Satrio,Perikatan pada Umumnya, (Bandung: Alumni, 1993), hal. 191.

5

J. Satrio,Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 43.


(18)

Pada setiap perjanjian timbal balik hak dan kewajiban di satu pihak berhadapan dengan hak dan kewajiban di pihak lain, sehingga dianggap selalu ada prinsip bahwa kedua belah pihak harus secara bersama-sama memenuhi kewajibannya dan sama-sama menerima haknya. Karena itu, tidak logis apabila salah satu pihak menuduh wanprestasi terhadap pihak lain sedangkan ia sendiri wanprestasi.6 Riduan Syahrani mengemukakan bahwa:

“Exceptio non adimpleti contractusadalah tangkisan yang menyatakan bahwa ia (debitur) tidak melaksanakan perjanjian sebagaimana mestinya justru karena kreditur sendiri tidak melaksanakan perjanjian itu sebagaimana mestinya. Bilamana debitur selaku tergugat dapat membuktikan kebenaran tangkisannya maka ia tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban apa-apa atas tidak dilaksanakannya perjanjian itu”.7

Salah satu pihak dalam perjanjian timbal balik yang lalai dalam memenuhi kewajibannya tidak dapat diminta pemenuhannya oleh pihak lain. Apabila salah satu pihak menuntut pemenuhan kepada pihak lain, maka pihak lain ini dapat menangkis dengan apa yang disebut prinsip exceptio non adimpleti contractus, karena si penggugat sendiri telah melakukan wanprestasi.8 Tangkisan berdasarkan prinsip exceptio non adimpleti contractusdapat diajukan dalam perkara kepailitan.

Secara tata bahasa kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan pailit.9 Istilah “pailit” dapat dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris. Dalam bahasa Perancis, istilahfailliteartinya pemogokan

6

H. Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: PT. Alumni, 2004), hal. 242.

7 ibid.

8

Purwahid Patrik,Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan dari UU), (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 34.

9

Widjaja, Gunawan, Risiko Hukum dan Bisnis Bila Perusahaan Pailit, (Jakarta: Forum Sahabat, 2009), hal. 15.


(19)

atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Orang yang mogok atau macet atau berhenti membayar utangnya disebut juga denganle failli. Di dalam bahasa Belanda, dipergunakan istillah faillite yang mempunyai arti ganda, yaitu sebagai kata benda dan kata sifat, sedangkan dalam bahasa Inggris dipergunakan istilahto faildan dalam bahasa latin dipergunakan istilahfailure.10Di negara-negara yang berbahasa Inggris, untuk pengertian pailit dan kepailitan dipergunakan istilah bankrupt dan bankruptcy.11

Menurut Subekti dan R. Tjitrosoedibio: “pailit adalah keadaan di mana seorang debitor telah berhenti membayar utang-utangnya”.12 Kepailitan merupakan sita umum terhadap semua kekayaan debitor yang nantinya masuk dalam budel pailit.13 Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, disebutkan bahwa: “kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”.

Permohonan pailit terhadap seorang debitor untuk dapat dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga apabila telah memenuhi syarat-syarat berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan

10

Kartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, (Jakarta: Pradya Pramita, 1974), hal. 11.

11

Sunarmi,Hukum Kepailitan Edisi 2, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2010), hal. 23.

12

Subekti dan R. Tjitrosoedibio,Kamus Hukum,(Jakarta: Pradya Pramita, 1978), hal. 89.

13

Edward Manik, Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Dilengkapi dengan Studi Kasus Kepailitan), (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2012), hal. 31.


(20)

Kewajiban Pembayaran Utang adalah: “Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”. Ketentuan ini tidak menyinggung mengenai kebangkrutan sebagai alasan debitor tidak membayar utang, mengingat pengertian “tidak membayar” dapat berarti tidak dapat membayar atau tidak mau membayar.14

Menurut Sunarmi bahwa hukum kepailitan di Indonesia baik dalam Faillissement Verordening15, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 maupun Undang-undang nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak memberikan batasan yang jelas tentang “berhenti membayar” dengan “tidak membayar”. Padahal dalam konteks hukum kepailitan negara-negara common law system pada umumnya, keadaan insolvent debitor biasanya diuji oleh pengadilan dengan menggunakan cash flow test16 atau practical insolvency.17

14

Man S. Sastrawidjaja,Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2010) hal. 88.

15

Lihat Tesis Victorianus M.H Randa Puang,Penerapas Asas Pembuktian Sederhana dalam Penjatuhan Pailit, 2006, hal. 4.Faillissement Verordeningterdiri dari 2 (dua) Bab yaitu: Bab I tentang kepailitan dimulai dari Pasal 1 s/d 211 dan Bab II Tentang Penundaan pembayaran (Surseance van betaling) dimulai dari Pasal 212 s/d 279.

16

Lihat Sunarmi, Prinsip Keseimbangan dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hal. 303-304.Cash flow testadalah pendekatan yang melihatsolvabilitas

debitor diukur dengan fakta apakah ia membayar utangnya atau tidak. Jika ternyata debitor membayar utangnya yang telah jatuh tempo, hal ini mengindikasikan debitor ada dalam keadaan solvent atau sanggup membayar. Di samping pendekatan cash flow test, pengadilan menggunakan pendekatan alternatif lainnya yaitu balance sheet test atau asset test. Dalam pendekatan ini, pengadilan tidak melihatsolvabilitas debitor dari fakta apakah debitor membayar utangnya atau tidak tapi dari nilai


(21)

Tidak adanyainsolvency testdalam hukum kepailitan di Indonesia merupakan suatu kelemahan, sehingga debitor yang masih memiliki kekayaan yang cukup untuk membayar utang-utangnya dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan karena tidak membayar utang.18Dalam hal debitor tidak mampu membayar utangnya (insolvent), maka mekanisme hukum kepailitan menjadi pilihan yang tepat, namun dalam hal debitor tidak mau membayar, harus diperhatikan alasan dari debitor tidak mau membayar utang walaupun mampu (solvent), yaitu diantaranya karena yang dimaksudkan sebagai utang oleh kreditor, merupakan kewajiban debitor yang bersumber dari sebuah perjanjian timbal balik dan debitor tidak mau memenuhinya karena kreditor telah wanprestasi terlebih dahulu yang dalam hukum perjanjian dikenal sebagai prinsipexceptio non adimpleti contractus.19

Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terkait dengan pembuktian di dalam hukum acara kepailitan adalah: “Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah dipenuhi”. Yang dimaksud

asset debitor, yaitu apakah assetnya yang dapat direalisasikan melebihi kewajibannya maka debitor dianggapsolvent.

17

Sunarmi,Hukum Kepailitan Edisi 2,Op. cit, hal. 34.

18 ibid.

19

Ricardo Simanjuntak, Hukum Kontrak; Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, (Jakarta: Kontan Publishing, 2011), hal. 236.


(22)

dengan pembuktian secara sederhana adalah pembuktian yang lazim disebut dengan pembuktian secarasumir.20

Menurut Paulus E. Lotulung, pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan dapat dilakukan apabila pihak Termohon Pailit atau debitor tidak mengajukan tangkisan berdasarkan prinsip exceptio non adimpleti contractus, yaitu tangkisan yang menyatakan bahwa kreditor sendiri yang lebih dahulu tidak berprestasi. Prinsip exceptio non adimpleti contractus terdapat dalam perjanjian timbal balik, yang menyebabkan eksistensi utang masih diperdebatkan, sehingga pembuktiannya tidak dapat dilakukan secara sederhana dan cepat.21

Pembuktian secara sederhana terlihat sangat jelas dan mudah untuk dilaksanakan, akan tetapi dalam kenyataannya tidaklah demikian, karena dalam suatu perkara kepailitan Pengadilan Niaga memberikan putusan bahwa “sudah terbukti secara sederhana”, tetapi setelah dilimpahkan ke Mahkamah Agung ternyata “dibatalkan” dan dikatakan bahwa “tidak terbukti secara sederhana”.22

Pada hari Jum’at tanggal 14 September 2012, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah membuat putusan yang cukup mengejutkan, yaitu PT. Telekomunikasi selular (untuk selanjutnya disebut PT. Telkomsel) dinyatakan Pailit. Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah memvonis pailit perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa

20

Martiman Prodjohamidjojo,Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Tentang Kepailitan, (Bandung, C.V Mandar Maju, 1999), hal. 13.

21

Paulus E. Lotulung,Pengertian Pembuktian Sederhana dalam Perkara Kepailitan, Majalah Ombudsman, No. 54/V/2004, hal 10.

22

Victorianus M.H. Randa Puang,Penerapan Asas Pembuktian Sederhana dalam Penjatuhan Putusan Pailit,(Bandung: Satu Nusa , 2011), hal 12.


(23)

pelayanan telekomunikasi selular yaitu PT. Telkomsel atas permohonan pailit yang diajukan oleh PT. Prima Jaya Informatika.23

Permohonan pailit bermula dari perjanjian kerjasama tentang penjualan produk telkomsel antara PT. Telkomsel dengan PT. Prima Jaya Informatika pada tanggal 01 Juni 2011. Menurut perjanjian ini PT. Telkomsel berkewajiban untuk menyediakan voucher isi ulang bertema khusus olah raga dalam jumlah sedikit-dikitnya 120.000.000 (seratus dua puluh juta) yang terdiri dari voucher isi ulang Rp. 25.000,00 (dua puluh lima ribu Rupiah) dan voucher isi ulang Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu Rupiah). PT. Telkomsel berkewajiban untuk menyediakan perdana kartu prabayar bertema khusus olah raga dalam jumlah sedikit-dikitnya 10.000.000,-(sepuluh juta) setiap tahun, sebaliknya PT. Prima Jaya Informatika berkewajiban untuk menjual.

Bahwa kemudian di tahun kedua PT. Prima Jaya Informatika telah menyampaikan purchase order No.PO/PJI-AK/VI/2012/00000027, tanggal 20 Juni 2012 berjumlah Rp. 2.595.000.000,- (dua milyar lima ratus sembilan puluh lima juta Rupiah) dan pada tanggal 21 Juni 2012 telah pula menyampaikan purchase order

23

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyebutkan bahwa: dalam hal debitor adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau badan usaha milik negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat dilakukan oleh Menteri Keuangan. Berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang dimaksud dengan “Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik” adalah Badan Usaha Milik Negara yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham. PT. Telkomsel merupakan BUMN yang berbentuk Persero yang mana saham kepemilikannya sebagian besar atau sekurang-kurangnya 51 % dikuasai oleh negara. Dengan demikian Permohonan Pailit dapat diajukan selain oleh Menteri Keuangan, yaitu PT. Prima Jaya Informatika.


(24)

No.PO/PJI-AK/VI/2012/00000028, tertanggal 21 Juni 2012, berjumlah Rp. 3.025.000.000,00 (tiga milyar dua puluh lima juta Rupiah) kepada PT. Telkomsel, namun terhadap kedua purchase order tersebut PT. Telkomsel menerbitkan penolakan melalui electronic mail (E-Mail) dan menghentikan sementara alokasi produk Prima tersebut.

Dikarenakan adanya pelanggaran perjanjian kerjasama tersebut PT. Prima Jaya Informatika mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Pelanggaran perjanjian tersebut sebenarnya termasuk ke dalam tindakan wanprestasi. Wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya.24 Debitor dapat dikatakan wanprestasi apabila dalam melaksanakan prestasi debitor telah lalai sehingga adanya keterlambatan dari waktu yang sudah ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan.

Akhirnya pada 14 September 2012 majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengabulkan permohonan pernyataan pailit oleh PT. Prima Jaya Informatika dan menyatakan Termohon Pailit yaitu PT. Telkomsel, pailit dengan segala akibat hukum. Adapun yang menjadi pertimbangan hukum, bahwa Pemohon Pailit dapat membuktikan terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana.

Bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah terpenuhi. PT. Telkomsel terbukti

24M. Yahya Harahap,


(25)

memiliki utang jatuh tempo yang dapat ditagih oleh PT. Prima Jaya Informatika sebesar Rp. 5.260.000.000,00 (lima milyar dua ratus enam puluh juta Rupiah).

PT. Telkomsel terbukti adanya kreditor lain, yaitu PT. Extend Media Indonesia dengan utang sebesar Rp. 21.031.561.274,- (dua puluh satu milyar tiga puluh satu juta lima ratus enam puluh satu ribu dua ratus tujuh puluh empat Rupiah) dan Rp. 19.294.652.520,00- (sembilan belas milyar dua ratus sembilan puluh empat juta enam ratus lima puluh dua ribu lima ratus dua puluh Rupiah), sehingga permohonan Pemohon Pailit beralasan hukum dan karenanya harus dikabulkan berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Tidak puas dengan keputusan tersebut, PT. Telkomsel kemudian melakukan perlawanan dengan mengajukan kasasi di tingkat Mahkamah Agung. Dalam pemeriksaan tingkat kasasi tersebut majelis hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia, pada hari Rabu, tanggal 21 November 2012 telah membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 48/Pailit/2012/ PN. Niaga.Jkt.Pst. dengan putusan Nomor 704 K/pdt.Sus/2012.

Adapun yang menjadi pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung bahwa alasan-alasan kasasi yang diajukan oleh PT. Telkomsel dapat dibenarkan, sebab setelah memeriksa dengan seksama putusan judex factie atau Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tersebut, ternyata judex factie telah salah menerapkan hukum, oleh karena apakah benar telah adanya utang Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit dalam perkara ini memerlukan pembuktian yang tidak sederhana.


(26)

Bahwa dalil Pemohon Pailit tentang adanya utang Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit ternyata dibantah oleh Termohon Pailit, sehingga tidak memenuhi ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, oleh karena dalam perkara ini tentang kebenaran adanya utang Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit memerlukan adanya suatu pembuktian yang rumit dan tidak sederhana sehingga permohonan pailit dari Pemohon Pailit tidak memenuhi ketentuan Pasal 8 ayat (4) tersebut di atas sehingga penyelesaian perkara tersebut harus dilakukan melalui pengadilan negeri dan bukan Pengadilan Niaga.

Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka yang ingin diteliti lebih lanjut dan disusun dalam tesis dengan judul: Penerapan prinsip exceptio non adimpleti contractusdalam perkara kepailitan (studi kasus putusan Mahkamah Agung No. 704 K/Pdt.Sus/2012 antara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya Informatika).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, adapun yang menjadi pokok permasalahan yang ingin diteliti dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah aturan hukum prinsip exceptio non adimpleti contractus dalam hukum perjanjian?

2. Bagaimanakah kaitan antara prinsip exceptio non adimpleti contractus dengan pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan PT. Telkomsel?


(27)

3. Bagaimanakah penerapan prinsip exceptio non adimpleti contractus pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 704 K /Pdt.Sus/2012 antara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya Informatika?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan dari latar belakang dan perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui aturan hukum prinsip exceptio non adimpleti contractus dalam hukum perjanjian.

2. Untuk mengetahui kaitan antara prinsip exceptio non adimpleti contractus dengan pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan PT. Telkomsel.

3. Untuk mengetahui penerapan prinsip exceptio non adimpleti contractus pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 704 K /Pdt.Sus/2012 antara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya Informatika.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapakan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis, masing-masing sebagai berikut:

1. Secara teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat teoritis yang berupa sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum khususnya yang berkaitan dengan hukum kepailitan dan pembahasan terhadap masalah ini akan memberikan


(28)

pemahaman dan pandangan yang baru mengenai kasus-kasus kepailitan yang sering terjadi.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan khasanah pengetahuan di bidang hukum tentang pengaturan prinsip exceptio non adimpleti contractus dan kaitan prinsip ini dengan pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan serta penerapan prinsip exceptio non adimpleti contractus dalam perkara kepailitan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dan secara khusus di lingkungan Pascasarjana program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara penelitian tentang “Penerapan prinsip exceptio non adimpleti contractus dalam perkara kepailitan (studi kasus putusan Mahkamah Agung No. 704 K/Pdt.Sus.2012 antara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya Informatika)” tidak ditemukan judul penelitian yang sama, tetapi ditemukan penelitian karya ilmiah yang mengangkat tentang “penerapan prinsip pembuktian sederhana dalam penjatuhan putusan pailit” dengan perumusan masalah:

1. Bagaimanakah penerapan prinsip pembuktian sederhana dalam praktik penjatuhan putusan pailit di Pengadilan Niaga.

2. Kendala atau hambatan apa sajakah yang ditemui dalam penerapan prinsip pembuktian sederhana dalam penjatuhan putusan pailit.


(29)

3. Upaya-upaya apa sajakah yang dilakukan dalam mengatasi kendala atau hambatan dalam penerapan Prinsip pembuktian sederhana dalam penjatuhan pailit.

Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut, maka penelitian ini berbeda dari penelitian tersebut yang mana penelitian ini lebih difokuskan kepada prinsipexceptio non adimpleti contractus dan kajian terhadap pembuktian sederhana hanya difokuskan pada putusan Mahkamah Agung No. 704 K/Pdt.Sus.2012, dengan demikian penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keaslian dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara keilmuan akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai landasannya dan tugas teori hukum adalah: “untuk menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam, sehingga penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri”.25

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori dan tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan dan pegangan teoritis.26 Teori bisa dipergunakan untuk menjelaskan

25

Jujun S. Suryasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), hal. 237.


(30)

fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Oleh karena itu, kegunaan teori hukum dalam penelitian adalah sebagai pisau analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam masalah penelitian.27 Teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum.

Kepastian asal katanya pasti yang artinya tentu; sudah tetap; boleh tidak; sesuatu hal yang sudah tentu.28 Menurut ajaran dogmatik normatif, hukum tak lain hanya kumpulan aturan dan tujuan hukum tidak lain sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum (John Austin dan Van Kan). Menurut aliran ini, meskipun aturan hukum atau penerapan hukum terasa tidak adil dan tidak memberikan manfaat yang besar bagi mayoritas warga masyarakat, hal itu tidak menjadi soal, asalkan kepastian hukum dapat terwujud.29

Aliran ini bersumber dari pemikiran kaum “legal positivism” di dunia hukum, yang cendrung melihat hukum hanya dalam wujudnya sebagai kepastian undang-undang, memandang hukum sebagai suatu yang otonom, karena hukum tak lain adalah kumpulan aturan-aturan hukum (legal rules), norma-norma hukum (legal norms) dan asas-asas hukum (legal principles).30

27

Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad,Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 16.

28

W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai pustaka, 2006), hal. 847.

29

Achmad Ali,Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung Tbk, 2002), hal. 83.

30

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence); Termasuk Interprestasi Undang-Undang (Legisprudence) Vol. 1Pemahaman Awal, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2010), hal. 284.


(31)

Dengan adanya hukum yang baik diharapkan tercipta ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat. Aturan tersebut berlaku untuk semua pihak, sebagaimana yang dikemukakan oleh Budiono Kusumohanidjojo:

“Dalam keadaan tanpa patokan sukar bagi kita untuk membayangkan bahwa kehidupan masyarakat bisa berlangsung tertib, damai dan adil. Fungsi dari kepastian hukum adalah tidak lain untuk memberikan patokan bagi perilaku seperti itu. Konsekuensinya adalah hukum itu harus memiliki suatu kredibilitas dan kredibilitas itu hanya bisa dimilikinya bila penyelenggaraan hukum mampu memperlihatkan suatu alur konsistensi. Penyelenggaraan hukum yang tidak konsisten tidak akan membuat masyarakat mau mengandalkannya sebagai perangkat kaedah yang mengatur kehidupan bersama”.31

Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa saja yang boleh dilakukan atau perbuatan apa saja yang tidak boleh dilakukan dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan”.32

Pada dasarnya putusan hakim merupakan bagian dari proses penegakan hukum yang bertujuan salah satunya untuk mencapai kepastian hukum. Dalam upaya

31

Budiono Kusumohanidjojo, Ketertiban Yang Adil Problem Filsafat Hukum, (Jakarta: Grasindo, 1999), hal. 150-151.

32

Peter Mahmud Marzuki,Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2008), hal 158.


(32)

menerapkan kepastian hukum, idealnya putusan hakim harus sesuai tujuan dasar dari suatu pengadilan. Idealnya putusan pengadilan harus mengandung kepastian hukum sebagai berikut:33

a) Melakukan solusi autoritatif, artinya memberikan jalan keluar dari masalah hukum yang dihadapi oleh para pihak

b) Efisiensi artinya dalam proses harus cepat, sederhana dan biaya ringan.

c) Sesuai dengan tujuan undang-undang yang dijadikan dasar dari putusan hakim tersebut.

d) Mengandung aspek stabilitas, yaitu dapat memberikan rasa tertib dan rasa aman dalam masyarakat.

e) Mengandungequality, yaitu memberi kesempatan yang sama bagi pihak yang berperkara.

Teori kepastian hukum ini dikemukakan dengan tujuan untuk menganalisi kepastian hukum mengenai aturan hukum prinsipexceptio non adimpleti contractus dalam hukum perjanjian dan menganalisi penerapan prinsip exceptio non adimpleti contractus pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 704 K /Pdt.Sus/2012 antara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya Informatika serta menganalisis kaitan antara prinsip exceptio non adimpleti contractus dengan pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan PT. Telkomsel yang dapat dilihat dalam putusan hakim yang merupakan hasil yang didasarkan pada fakta-fakta di persidangan yang relevan secara yuridis serta dipertimbangakan dengan hati nurani.

Sistem pembuktian secara sederhana ini diatur dalam ketentuan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan

33

Artidjo Alkostar,Meningkatkan Kualitas Pengadilan dengan Persamaan Persepsi dalam

Penerapan Hukum,

https://www.mahkamahagung.go.id/images/uploaded/15f.Menegakkan_Hukum.pdf, diakses pada tanggal 10 Maret 2014.


(33)

Kewajiban Pembayaran Utang yang menyebutkan bahwa: “Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah dipenuhi”.

2. Kerangka Konsepsional

Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.34 Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis.35 Konsep merupakan salah satu bagian penting dari sebuah teori dalam suatu penelitian. Konsepsi dapat diartikan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkret, yang disebut sebagai definisi operasional. Definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.

Bertitik tolak dari kerangka teori sebagaimana tersebut di atas, berikut disusun kerangka konsepsi yang dapat dijadikan sebagai definisi operasional, yaitu antara lain:

a. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak dan hak serta kewajiban itu mempunyai

34

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 7.


(34)

hubungan satu dengan lainnya. Yang dimaksud dengan mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain adalah bahwa bilamana dalam perikatan yang muncul dari perjanjian tersebut, yang satu mempunyai hak, maka pihak yang lain berkedudukan sebagai pihak yang memikul kewajiban.36

b. Prinsip exceptio non adimpleti contractus adalah tangkisan yang menyatakan bahwa debitor tidak melaksanakan perjanjian sebagaimana mestinya justru karena kreditor sendiri tidak melaksanakan perjanjian itu sebagaimana mestinya.37

c. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. (Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).

d. Wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya.38

e. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. (Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).

f. Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. (Berdasarkan

36

J. Satrio,Op.cit, hal. 43.

37

H. Riduan Syahrani,Loc.cit. 38M. Yahya Harahap,Op.cit, hal. 60.


(35)

ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).

g. Debitor Pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan pangadilan. (Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).

h. Pihak Pemohon Pailit adalah pihak yang mengajukan dan memohon kepada Pengadilan Niaga yang berwenang agar debitor dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya, kemudian ditunjuk kurator dan hakim pengawas terhadap harta kekayaan debitor pailit.39

i. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontigen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor. (Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).

G. Metode Penelitian

Menurut Sunaryati Hartono, metode penelitian adalah cara atau jalan atau proses pemeriksaan atau penyelidikan yang menggunakan cara penalaran dan teori-teori yang logis-analitis (logika), berdasarkan dalil-dalil, rumus-rumus dan teori-teori-teori-teori

39

Lilik Mulyadi,Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Teori dan Praktik, (Bandung: PT Alumni, 2010), hal. 127.


(36)

suatu ilmu (atau beberapa cabang ilmu) tertentu, untuk menguji kebenaran (atau mengadakan verifikasi) suatu hipotesis atau teori tentang gejala-gejala atau peristiwa alamiah, peristiwa sosial atau peristiwa hukum tertentu.40 Metode penelitian hukum merupakan suatu cara yang teratur (sistematis) dalam melakukan sebuah penelitian.41

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.42

Penelitian hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penelitian hukum normatif (doctrinal) yang condong bersifat kualitatif dan penelitian hukum empiris atau sosiologis (non doctrinal) yang condong bersifat kuantitatif.43 Adapun metode penelitian yang dipergunakan dalam menjawab permasalahan yang timbul dalam tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis dan sifat Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat preskriptif analitis yang mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validalitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Suatu penelitian yang ditujukan untuk

40

Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 105.

41

Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, cetakan ke-1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 57.

42

Zainuddin Ali,Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 14.


(37)

mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu,44 dan apabila dilihat dari tujuannya termasuk dalam penelitian hukum normatif (normative legal research).

Penelitian hukum normatif disebut penelitian hukum doktrinal atau penelitian perpustakaan, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain, sedangkan disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen karena penelitian ini lebih banyak dilakukan pada bahan hukum yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan”.45

2. Sumber Data

Penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Data yang diperoleh langsung dari masyarakat dinamakan data primer atau data dasar sedangkan yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder.46 Penelitian dalam hukum normatif yang menitik beratkan pada studi kepustakaan dan berdasarkan pada data sekunder, bahan yang dipergunakan dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu:

a. Bahan-bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas (autoritatif),47 meliputi seluruh peraturan perundang-undangan dan

putusan-44

Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hal.10.

45

Bambang Waluyo,Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal. 13-14.

46

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Op.cit, hal. 12.


(38)

putusan pengadilan yang relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, antara lain:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

3. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Kepailitan Menjadi Undang-Undang. 4. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

6. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 23 K/N/1999 antara PT. Waskita Karya melawan PT. MustikaPrincessHotel.

7. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 48/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst antara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya Informatika.

8. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 704 K /Pdt.Sus/2012 antara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya Informatika.

9. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 04 PK/N/2001 yang menguatkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 06 K/N/2001 yang membatalkan Putusan Pengadilan Niaga pada


(39)

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 04 Januari 2001 No. 81/Pailit/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst antara PT. Kadi Internasional melawan PT. Wisma Calindra.

10. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 42/Pailit/1999/PN.Niaga.Jkt.Pst antara PT. Astria Raya Bank (dalam likuidasi) melawan Leo Andyanto.

11. Putusan Pengadilan Niaga No. 14/Pailit/2002/PN.Niaga.Jkt.Pst antara Macmillan ELTdkk melawan PT. Sulcor Investindo.

12. Putusan Pengadilan Niaga Medan Nomor 01/Pailit/2005/PN. Niaga.Mdn tanggal 16 November 2005 antara PT. Bahtera Lestari Sejahtera melawan PT. Duta Sahabat Abadi.

b. Bahan-bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer sebagaimana yang terdapat dalam kumpulan pustaka yang bersifat sebagai penunjang dari bahan hukum primer,48yang terdiri dari:

1. Buku-buku

2. Hasil-hasil penelitian 3. Artikel-artikel


(40)

c. Bahan-bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder,49 yang terdiri dari:

1. Kamus bahasa Indonesia 2. Kamus hukum

3. Media elektronik yang berkaitan dengan judul penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data mempunyai hubungan erat dengan sumber bahan hukum, karena dengan pengumpulan data akan diperoleh bahan hukum yang diperlukan untuk selanjutnya dianalisis sesuai kehendak yang diharapkan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan (library research) yang dilakukan dengan cara menginventarisir, mempelajari dan mendalami bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang terkait dengan penelitian ini.

Studi kepustakaan digunakan terutama untuk mengumpulkan bahan-bahan hukum melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan pakar hukum, dokumen resmi, publikasi dan hasil penelitian yang berkaitan dengan tulisan ini.

49

Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), hal. 338.


(41)

4. Analisis Data

Analisis data merupakan tahap yang paling penting dalam suatu penelitian. Dalam penelitian ini data yang diperoleh akan diproses dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai didapat suatu kesimpulan yang nantinya akan menjadi hasil akhir dari penelitian. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data yang bersifat kualitatif.

Analisis kualitatif dilakukan terhadap paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep dan bahan hukum yang merupakan modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada bahan hukum yang dikumpulkan. Hal ini dilakukan sehubungan bahan hukum yang dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang berbeda satu dengan lainnya. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif, yakni penyimpulan yang dilakukan dimulai dari yang umum ke yang khusus.50

50

Tampil Anshari Siregar,Metodologi Penelitian Hukum Penulisan Skripsi, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2005), hal. 16.


(42)

BAB II

ATURAN HUKUM PRINSIPEXCEPTIO NON ADIMPLETI CONTRACTUS

DALAM HUKUM PERJANJIAN

A. PrinsipExceptio Non Adimpleti Contractus

Menurut Paul Scolten bahwa: “prinsip atau asas hukum merupakan pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam sistem hukum masing-masing yang dirumuskan dalam aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim”.51 Prinsip hukum diperlukan sebagai dasar pembentukan aturan hukum dan sekaligus sebagai dasar dalam menyelesaikan persoalan hukum yang timbul manakala aturan hukum yang tersedia tidak memadai.

Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkret, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret yang terdapat di dalam sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkret tersebut.52

Prinsip hukum merupakan metanorma yang dapat dijadikan landasan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan dan dapat pula dijadikan dasar bagi hakim di dalam menemukan suatu hukum terhadap kasus-kasus yang sedang dihadapinya untuk diputuskan ketika hakim tidak dapat merujuk kepada aturan hukum positif.53

51

M. Hadi Subhan,Op.cit, hal. 26.

52

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2005), hal. 34.


(43)

Dalam perjanjian timbal balik, terdapat sebuah prinsip hukum yang menegaskan bahwa kedua pihak harus sama-sama melakukan kewajibannya dan sama-sama menerima haknya.54 Masing-masing pihak dalam perjanjian tersebut bertindak sebagai kreditor dan debitor. Tidak dipenuhinya prestasi oleh salah satu pihak akan berhubungan langsung dengan pemenuhan prestasi oleh pihak lainnya.55 Karena itu tidak logis apabila salah satu pihak menuduh wanprestasi terhadap pihak lain sedangkan pihak itu sendiri dalam keadaan wanprestasi. Oleh karena itu, pihak yang dituduh lalai dan dimintakan pertanggungjawabannya atas kelalaian tersebut dapat membela dirinya dengan mengajukan tangkisan yang disebut exceptio non adimpleti contractus.56

Berdasarkan kamus Istilah Hukum Belanda-Indonesia, prinsip exceptio non adimpleti contractus diartikan sebagai sangkalan dalam suatu persetujuan timbal balik yang dikemukakan oleh suatu pihak bahwa pihak lawan juga berada dalam keadaan lalai (in gebreke) dan dengan demikian tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi.57

Pengertian prinsip exceptio non adimpleti contractus, dipahami sebagai suatu bentuk tangkisan dengan jalan mengungkap keadaan nyata yang mana sesungguhnya kreditor yang menggugat sebenarnya tidak berhak mengajukan tuntutan untuk memaksa debitor memenuhi prestasinya karena kreditor telah wanprestasi terlebih dahulu.58

54

Harlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan; Buku Ke dua, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2010), hal. 202.

55

H. Ridwan Syahrani,Loc.cit. 56

Ibid. 57

Fockema Andreae,Kamus Istilah Hukum Belanda-Indonesia, (Bandung: Bina Cipta, 1983), hal. 127.


(44)

Achmad Ali berpendapat bahwa: prinsip exceptio non adimpleti contractus merupakan pembelaan bagi debitor untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi akibat tidak dipenuhinya perjanjian, dengan alasan kreditorpun lalai.59 Riduan Syahrani mengemukakan bahwa:

“Exceptio non adimpleti contractusadalah tangkisan yang menyatakan bahwa ia (debitur) tidak melaksanakan perjanjian sebagaimana mestinya justru karena kreditur sendiri tidak melaksanakan perjanjian itu sebagaimana mestinya. Bilamana debitur selaku tergugat dapat membuktikan kebenaran tangkisannya maka ia tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban apa-apa atas tidak dilaksanakannya perjanjian itu”.60

Selanjutnya J. Satrio mengemukakan bahwa: prinsip exceptio non adimpleti contractus adalah suatu tangkisan, yang menyatakan bahwa kreditor sendiri belum berprestasi dan karenanya kreditor tidak patut untuk menuntut debitor berprestasi. Tangkisan ini dikemukakan untuk melawan tuntutan kreditor akan pemenuhan perjanjian. Sudah bisa diduga, bahwa tangkisan ini hanya berlaku untuk perjanjian timbal balik saja.61

Debitor yang menggunakan tangkisan atau pembelaan berdasarkan prinsip exceptio non adimpleti contractus tentunya ingin menghindar dari kewajibannya untuk melaksanakan perjanjian sebagaimana yang telah disepakati. Kewajiban tersebut merupakan kewajiban untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu yang disebut dengan prestasi.62

59

Achmad Ali,Op.cit, hal. 248.

60

H. Riduan Syahrani,Op.cit,hal. 242.

61

J. Satrio,Beberapa Segi Hukum Tentang Somasi (Bagian IV), Kamis 11 November 2010, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4cdb67c58d247/beberapa-segi-hukum-tentang-somasi-bagian-iv-brioleh-j-satrio-, diakses pada tanggal 06 Juni 2014.

62


(45)

Prinsipexceptio non adimpleti contractusmerupakan prinsip yang berasal dari hukum Romawi yang menyatakan bahwa: “apabila salah satu pihak dalam perjanjian timbal balik tidak memenuhi kewajibannya atau tidak berprestasi, pihak lainpun tidak perlu memenuhi kewajibannya”.63 Prinsip exceptio non adimpleti contractus telah mendapatkan tempat di dalam KUHPerdata yang mengikuti ketentuan Code Civil Perancis.64

Dalam sejarah hukum perjanjian, semula yang berlaku dalam suatu perjanjian timbal balik, yaitu antara kewajiban dari masing-masing pihak dalam suatu perjanjian saling berdiri sendiri dan terlepas satu sama lain. Konsekuensinya dalam perjanjian timbal balik, jika salah satu pihak tidak melaksanakan prestasinya (wanprestasi), maka pihak lain harus tetap melaksanakan prestasinya sampai selesai.65

Hal ini dirasakan sangat tidak adil, sehingga kewajiban dari masing-masing pihak dalam suatu perjanjian saling berdiri sendiri dan terlepas satu sama lain ini sudah lama ditinggalkan, antara lain karena munculnya konstruksi hukum sebagai berikut: “pihak yang digugat telah melakukan wanprestasi dapat membela diri dengan membuktikan bahwa pihak lawan juga sudah terlebih dahulu melakukan wanprestasi”.66

63

H. Riduan Syahrani,Op.cit,hal. 203.

64

J. Satrio,Ketika Penggugat dan Tergugat Sama-Sama Dihukum,Kamis, 23 Agustus 2007, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17439/ketika-penggugat-dan-tergugat-sama-sama-dihukum, diakses pada tanggal 08 Juni 2014.

65

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) Buku Ke dua, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 126.

66


(46)

Dalam sejarah hukum di Inggris dan Amerika Serikat misalnya, semula juga berlaku kewajiban dari masing-masing pihak dalam suatu perjanjian timbal balik saling berdiri sendiri dan terlepas satu sama lain, yakni berlaku sampai pertengahan abad ke-18 (delapan belas). Baru kemudian diparuh abad ke-18 (delapan belas), muncul putusan-putusan pengadilan yang tidak lagi memberlakukan hal tersebut. Kasus terkenal (landmark case) yang tidak lagi memberlakukan kewajiban dari masing-masing pihak dalam suatu perjanjian timbal balik saling berdiri sendiri dan terlepas satu sama lain adalah yang dikenal dengan kasus Kigston melawan Preston (diputuskan di Inggris pada tahun 1773).67

Duduk perkara dari kasus Kigstonmelawan Preston adalah tergugat menjual bisnisnya kepada penggugat di mana pembeli dapat membayarnya secara cicilan. Penjualan bisnis ini disertai dengan pemberian jaminan utang yang dapat dieksekusi oleh penjual manakala pihak pembeli tidak dapat membayar cicilan harga belinya itu. Kemudian, pihak pembeli tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk menyediakan jaminan utang, sehingga pihak penjual tidak mau menjual bisnisnya. Akan tetapi pihak pembeli menggugat pihak penjual ke pengadilan karena dengan tidak dijualnya lagi bisnis tersebut kepada pembelinya. Dalam hal ini pihak penjual dikatakan telah melakukan wanprestasi atau ingkar janji oleh pihak pembeli.68

Putusan menyatakan bahwa tidak dijualnya lagi bisnis kepada pembeli bukanlah tindakan wanprestasi, karena pihak pembeli telah terlebih dahulu

67 Ibid. 68


(47)

wanprestasi. Pengadilan menyatakan bahwa pengikatan jaminan utang merupakan syarat bagi penjualan bisnis. Sebab jika pihak penjual diharuskan untuk menjual bisnisnya, sementara pihak pembeli nyata-nyata tidak melakukan kewajibannya, hal tersebut akan menjadi sangat tidak adil (the greatest injustice).69

Prinsip exceptio non adimpleti contractus berlaku dalam hukum perjanjian Indonesia. Meskipun demikian, masih ditemukan kasus bahwasannya majelis hakim mengabulkan permintaan penggugat dalam perjanjian timbal balik dengan alasan pihak tergugat telah melakukan wanprestasi, padahal pihak penggugat juga telah melakukan wanprestasi terlebih dahulu. Seperti pada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam kasus PT. Surya Mas Duta melawan Bank Niaga. Hakim memutuskan bahwa pihak tergugat (Bank Niaga) harus menambah lagi kreditnya kepada penggugat sesuai yang diperjanjikan, meskipun pihak penggugat sudah tidak membayar terhadap kredit yang diambilnya.70

Berdasarkan perjanjian timbal balik yang mana kewajiban para pihak berhubungan sangat erat antara satu sama lain, maka kiranya bisa diterima, bahwa jika pihak yang satu menuntut pemenuhan kewajiban dari pihak yang lain, maka pihak tersebut sudah seharusnya melaksanakan kewajiban sebagaimana yang telah disepakati di dalam perjanjian. Menurut Nieuwenhuis, prinsipexceptio non adimpleti

69 Ibid.


(48)

contractusdapat diterapkan dalam perjanjian timbal balik, sekurang-kurangnya dapat diterapkan pada jual beli.71

B. Aturan Hukum Prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus dalam Hukum Perjanjian

1. Peraturan Perundang-undangan

Hukum perjanjian di Indonesia masih menggunakan aturan hukum peninggalan Belanda, yaitu yang diatur di dalam Buku III KUHPerdata, yang berjudul tentang perikatan yang terdiri dari ketentuan umum dan ketentuan khusus. Ketentuan-ketentuan tersebut masih berlaku di Indonesia berdasarkan ketentuan Pasal II aturan peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa: “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang dasar ini”.

Perkataan perikatan (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “perjanjian”, sebab dalam Buku III KUHPerdata diatur perihal perhubungan-perhubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechmatige daat) dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaak waarneming). Namun, sebagian besar dari Buku III KUHPerdata ditujukan kepada

71


(49)

perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian, jadi isinya mengenai hukum perjanjian.72

Buku III KUHPerdata yang berjudul tentang perikatan, keseluruhannya terdiri atas delapan belas bab (bab I sampai dengan bab XVIII). Bab I sampai dengan IV yang mengatur tentang:

Bab I : ketentuan perikatan pada umumnya (Pasal 1233-1312 KUHPerdata) Bab II : Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari persetujuan atau perjanjian (Pasal 1313-1351 KUHPerdata).

Bab III : Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang (Pasal 1352-1350 KUHPerdata)

Bab IV : Mengatur tentang hapusnya perikatan (Pasal 1381-1456 KUHPerdata)

Bab V sampai dengan Bab XVIII mengatur tentang perjanjian-perjanjian khusus yang merupakan tipe-tipe dari perjanjian-perjanjian yang selalu terjadi dalam masyarakat dan lazim disebut dengan perjanjian bernama. Secara garis besar, Bab I sampai dengan Bab IV mengatur tentang pokok-pokok perikatan, sedangkan bab V sampai dengan Bab XVIII memuat pembahasan lebih lanjut, kadang-kadang pengulangan dari bagian umum. Jadi bagian umum dari Buku III tersebut pada dasarnya berlaku terhadap semua perjanjian, baik bernama maupun yang tidak bernama. Misalnya: Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur syarat-syarat sahnya

72


(50)

perikatan, haruslah diberlakukan pada semua perjanjian yang ada dalam Bab V sampai Bab XVIII.73

Prinsip exceptio non adimpleti contractus diatur dalam hukum perjanjian, yaitu yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 1478 KUHPerdata. Pasal 1478 KUHPerdata menyebutkan bahwa: “si penjual tidak diwajibkan menyerahkan barangnya, jika si pembeli belum membayar harganya, sedangkan si penjual tidak telah mengizinkan penundaan pembayaran kepadanya”.

Adanya kata “tidak diwajibkan” pada ketentuan Pasal 1478 KUHPerdata bermakna penjual diperbolehkan untuk tidak melaksanakan kewajibannya, dengan ketentuan pembeli tidak melaksanakan kewajibannya terlebih dahulu sesuai dengan yang disepakati. Ketentuan Pasal 1478 KUHPerdata bertujuan agar terdapat suatu keadilan yang mana salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian, jangan sampai dapat memaksakan pihak lainnya untuk melaksanakan kewajiban sebagaimana yang diperjanjikan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1513 KUHPerdata menyebutkan bahwa: “Kewajiban utama si pembeli ialah membayar harga pembelian, pada waktu dan di tempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian”. Pasal 1514 KUHPerdata menyebutkan bahwa: “jika pada waktu membuat persetujuan tidak ditetapkan tentang itu,74 si pembeli harus membayar di tempat dan pada waktu di mana penyerahan harus dilakukan.

73 Ibid. 74


(51)

Pasal 1517 KUHPerdata menyebutkan bahwa: “Jika si pembeli tidak membayar harga pembelian, si penjual dapat menuntut pembatalan pembelian menurut ketentuan-ketentuan Pasal 1266 dan 1267”. Dalam hal ini terdapat ketentuan bahwasannya si pembeli harus melaksanakan kewajibannya melakukan pembayaran terlebih dahulu untuk dapat menerima haknya yang merupakan kewajiban dari si penjual.

Asser-Rutten berpendapat bahwa exceptio non adimpleti contractus dapat diajukan mengingat dalam perjanjian timbal balik para pihak telah menjanjikan prestasi yang saling bergantungan antara satu dengan yang lain. Di dalam jual beli, baik pihak pembeli hendak membeli sebuah rumah maupun karena penjual juga telah sepakat dengan harga jual belinya. Sepakat akan benda yang dibeli tergantung pada harga yang telah disetujui. Ini berarti prestasi untuk membayar harga jual beli bergantung langsung pada prestasi untuk menyerahkan bendanya. Akibatnya pihak yang telah menolak memenuhi prestasi yang telah dijanjikan, tetapi menuntut pelaksanaan prestasi oleh pihak lawan bertindak tanpa itikad baik (kepatutan dan kesusilaan).75

2. Yurisprudensi

Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu

75


(52)

perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.

Di dalam praktik terdapat hukum yurisprudensi (yurisprudentie recht) yang timbul dari putusan-putusan pengadilan, terutama putusan-putusan Mahkamah Agung.76 Menurut C.S.T Kansil, yurisprudensi adalah keputusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudian mengenai masalah yang sama di masa yang akan datang.77

Yuriprudensi terbagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu:

a. Yurisprudensi (biasa), merupakan seluruh putusan pengadilan yang telah telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), yang terdiri dari putusan perdamaian dalam perkara perdata, putusan pengadilan negeri yang tidak dibanding, putusan pengadilan tinggi yang tidak dikasasi dan seluruh putusan Mahkamah Agung.78

b. Yurisprudensi tetap (vaste jurisprudentie), merupakan putusan hakim yang terjadi karena rangkaian keputusan yang serupa dan yang menjadi dasar bagi pengadilan (standard arresten) untuk mengambil keputusan.79

Adapun yurisprudensi mengenai prinsip exceptio non adimpleti contractus dapat dilihat pada :

76

R. Soeroso,Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 158.

77

Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Media Group, 2008), hal. 317.

78

Ahmad Ali,Op. cit, hal. 125.


(53)

a. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 15 Mei 1957 Nomor 156 K/SIP/1955, yang menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta pada tanggal 2 Desember 1953 Nomor 218/1953, yang telah menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta pada tanggal 29 September 1951 Nomor 767/1950 G dalam perkara perdata antara PT. Pacific Oil Companymelawan Oei Ho Liang.

Perkara ini bermula dari tuntutan PT.Pacific Oil Company kepada tergugat Oei Ho Liang selaku penjual dalam perjanjian jual beli karet untuk menyerahkan sejumlah karet yang diperjanjikan dan membayar ganti kerugian yang diderita penggugat karena kelalaian tergugat. Bahwa tergugat dalam suratnya tertanggal 27 Januari 1950 telah menyatakan bahwa tergugat tidak akan menyerahkan barang-barangnya tersebut, dengan demikian tergugat telah menyatakan dirinya lalai.

Selanjutnya ditangkis oleh tergugat dengan menyatakan bahwa penggugat sendiri telah lalai melaksanakan janjinya, yaitu tidak membayar harga pembelian karet tersebut tepat pada waktunya yaitu selambat-lambatnya pada tanggal 21 Januari 1950 pukul 12.00 WIB. Tuntutan penggugat akhirnya ditolak oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan memutuskan perkara tersebut dengan pertimbangan, bahwa penggugat sendiri telah lalai sehingga ia tidak berhak mengajukan tuntutan sebagaimana diatur dalam Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Putusan tersebut dalam pemeriksaan


(54)

banding telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi di Jakarta dengan putusan tertanggal 2 Desember 1953 No. 218/1953P.T. Perdata.

Selanjutnya PT. Pacific Oil Company mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dengan keberatan-keberatan, yaitu:

1) Keputusan Pengadilan Tinggi tersebut tidak berdasarkan alasan-alasan yang cukup.

2) Bahwa perjanjian tidak dengan sendirinya batal menurut hukum sehingga sesuatu “wanprestasi” tidaklah secara langsung membebaskan pihak lawan dari kewajibannya untuk memenuhi perjanjian tersebut.

3) Untuk membebaskan dirinya dari kewajiban tersebut pihak lawan tersebut seharusnya memajukan suatu gugatan balasan untuk membatalkan perjanjian tersebut.

4) Penggugat untuk kasasi itu karena suatu keadaan darurat (overmacht) tidak dapat melakukan pembayaran pada 21 Januari 1950 sebelum pukul 12.00 WIB.

5) Andaikan penggugat untuk kasasi pada saat itu dengan cara lain misalnya dengan membayar uang tunai dapat melakukan pembayaran, maka tergugat dalam kasasi tidak akan dapat memenuhi kewajibannya oleh karena dokumen-dokumen yang bersangkutan ada di kantor Cirebon, yang mana kantor tersebut sedang ditutup.


(55)

Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam pertimbangan hukumnya menolak keselurahan alasan-alasan kasasi dengan pertimbangan hukum yaitu: Penggugat telah melakukan wanprestasi terlebih dahulu, maka Penggugat tidak dapat menuntut pemenuhan perjanjian kerjasama tersebut.80

b. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 23 K/N/1999 yang menguatkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 30 Juni 1999 Nomor 35/Pailit/1999/PN.Niaga/i.Jkt.Pst. kepailitan. Dalam perkara kepailitan antara PT. Waskita Karya melawan PT. Mustika Princess Hotel.

Permohonan pailit ini bermula dari perjanjian kerjasama tentang pembangunan gedung. PT. Waskita Karya sebagai Pemohon Pailit adalah kontraktor yang ditunjuk oleh Termohon Pailit sebagai pemilik gedung hotel Sheraton Mustika Princess untuk membangun atau sebagai pelaksana pembangunan gedung berdasarkan surat perjanjian kerja sama.

Pemohon Pailit telah melaksanakan seluruh pekerjaan dengan baik dan penuh tanggung jawab namun Termohon Pailit tidak membayar kewajibannya pada Pemohon Pailit sebesar Rp. 2.085.608.726.23 (dua milyar delapan puluh lima juta enam ratus delapan ribu tujuh ratus dua puluh enam Rupiah dua puluh tiga sen).

80

Lihat I. Rubini, R. Roechimat dan M. Chidir Ali, Hukum Acara Perdata dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung (1955-1975), (Bandung: Penerbit Alumni, 1982), hal. 148-173.


(56)

Bahwa karena pekerjaan telah diselesaikan namun Termohon Pailit tidak membayar meskipun telah ditagih oleh Pemohon Pailit, maka berdasarkan perjanjian-perjanjian tersebut Termohon Pailit berhutang pada Pemohon Pailit dan utang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Ditangkis oleh Termohon Pailit bahwa Pemohon Pailit tidak melaksanakan perjanjian sesuai dengan yang diperjanjikan sehingga menimbulkan kerugian bagi Termohon Pailit baik karena robohnya bangunan jembatan layang menuju hotel maupun karena keterlambatan pengoperasian hotel.

Tuntutan Pemohon Pailit akhirnya ditolak oleh hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang memeriksa dan memutuskan perkara tersebut dengan pertimbangan bahwa Pemohon Pailit dan Termohon Pailit telah mengadakan perjanjian, Pemohon Pailit selaku kontraktor membangun hotel milik Termohon Pailit.

Dari hubungan hukum antara kedua pihak tersebut timbul suatu keadaan yang mana Pemohon Pailit telah menyelesaikan pekerjaannya tetapi Termohon Pailit tidak bersedia membayar, yaitu sebesar Rp. 2.085.688.726,23,- (dua milyar delapan puluh lima juta enam ratus delapan puluh delapan ribu tujuh ratus dua puluh enam Rupiah dua puluh tiga sen). Prestasi sejumlah uang yang dituntut oleh Pemohon Pailit yang tidak dibayar oleh Termohon Pailit, merupakan utang Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit.


(1)

Ibrahim, Johnny,Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2005.

Jono,Hukum Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986.

Kelsen, Hans sebagaimana diterjemahkan oleh Somardi,General Theory Of Law and State, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, Jakarta: BEE Media Indonesia, 2007.

Kartono,Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Jakarta: Pradya Pramita, 1974.

Lubis, M. Solly,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994.

Manik, Edward, Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Dilengkapi dengan Studi Kasus Kepailitan), Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2012.

Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2008.

---,Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2005. Meliala, Djaja S., Hukum Perdata dalam Perspektif BW, Bandung: Nuansa

Aulia,2012.

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Mulyadi, Lilik, Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Teori dan Praktik, Bandung: PT Alumni, 2010.

Nasir, M.,Hukum Acara Perdata, Jakarta: Djambatan, 2003.

Nurdin, Andriani,Kepailitan BUMN Persero Berdasarkan Prinsip Kepastian Hukum, Bandung: PT. Alumni, 2012.


(2)

Patrik, Purwahid, Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan dari UU), Bandung: Mandar Maju, 1994.

Purba, Hasim, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum, Medan: CV. Cahaya ilmu, 2006.

Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2006.

Prodjohamidjojo, Martiman, proses kepailitan menurut peraturan pemerintah pengganti undang-undang Nomor 1 tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang tentang kepailitan, Bandung: C.V Mandar Maju, 1999.

Puang, Victorianus M.H. Randa, Penerapan Prinsip Pembuktian Sederhana dalam Penjatuhan Putusan Pailit,Bandung: Satu Nusa, 2011.

Raharjo, Satjipto,Konsep Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.

Rubini, I., dkk, Hukum Acara Perdata dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung (1955-1975), Bandung: Penerbit Alumni, 1982.

Santiago, Faisal,Pengantar Hukum Bisnis,Jakarta: Mitra Wacana Media, 2012. Sastrawidjaja, Man S, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang, Bandung: Alumni, 2010.

Setiawan, R.,Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung: Putra Bardin, 1999.

Sidabalok, Janus, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010.

Simanjuntak, Ricardo, Hukum Kontrak; Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, Jakarta: Kontan Publishing, 2011.

Situmorang, Victor M, dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.


(3)

Subekti, R.,Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradnya Paramita, 1995.

Sunggono, Bambang,Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 2010. Suryasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan, 1997.

Syahrani, H. Riduan,Seluk Beluk dan Prinsip-Prinsip Hukum Perdata, Bandung: PT. Alumni, 2004.

Satrio, J,Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995.

---,Perikatan pada Umumnya, Bandung: Alumni, 1993.

Satriyo Wicaksono, Frans,Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kontrak, Jakarta: Visimedia, 2008.

Shubhan, M. Hadi, Hukum Kepailitan Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Surabaya: Kencana Prenada Media Group, 2008.

Sinaga, Syamsudin M.,Hukum Kepailitan Indonesia, Jakarta: Tatanusa, 2012.

Siregar, Tampil Anshari, Metodologi Penelitian Hukum Penulisan Skripsi, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2005.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.

Subekti, R, Aneka Perjanjian Cetakan Kesepuluh, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 1995.

Sunarmi,Hukum Kepailitan Edisi 2, Jakarta: PT. Sofmedia, 2010.

---, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008.


(4)

Syahdeini, Sutan Remy, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan, Jakarta: Pustaka Utama Grafity, 2009.

Triwulan Tutik, Titik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Kencana Media Group, 2008.

Waluyo, Bambang,Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 2002. Widjaja, Gunawan,Risiko Hukum dan Bisnis Bila Perusahaan Pailit, Jakarta: Forum

Sahabat, 2009. B. Kamus

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka 2002.

Subekti dan R. Tjitrosoedibio,Kamus Hukum, Jakarta: Pradya Pramita, 1978. J.C.T. Simorangkir, dkk.,Kamus Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. C. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang Kepailitan Menjadi Undang-Undang.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

D. Putusan Pengadilan

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 23 K/N/1999. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 48/Pailit/2012/PN.NIAGA. JKT.PST.


(5)

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 704 K /Pdt.Sus/2012. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 30 PK/pdt.sus.Pailit/2013 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 04 PK/N/2001

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 06 K/N/2001

Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 04 Januari 2001 No. 81/Pailit/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst.

Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor: 42/Pailit/1999/PN.Niaga.Jkt.Pst antara PT. Astria Raya Bank (dalam likuidasi) melawan Leo Andyanto.

Putusan Pengadilan Niaga No. 14/Pailit/2002/PN.Niaga.Jkt.Pst antara Macmillan ELT dkk melawan PT. Sulcor Investindo

putusan Pengadilan Niaga Medan Nomor 01/Pailit/2005/PN. Niaga.Mdn tanggal 16 November 2005 antara PT. Bahtera Lestari Sejahtera melawan PT. Duta Sahabat Abadi.

E. Internet dan Majalah

Artidjo Alkostar, Meningkatkan Kualitas Pengadilan dengan Persamaan Persepsi

dalam Penerapan Hukum, https:

//www.mahkamahagung.go.id/images/uploaded/15f.Menegakkan_Hukum.pdf, diakses pada tanggal 10 Maret 2014.

Diana Kusumasari, Purchase Order (PO) Bisa Dianggap Sebagai Perjanjian,

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4ed4544e20d4b/apakah-purchase-order-%28po%29-bisa-dianggap-sebagai-perjanjian, diakses pada tanggal 10 Maret 2014.

Ineke Febriana, Analisis Proses PO (Purchase Order) Pada PT. Kusumahadi Santosa,http://eprints.uns.ac.id/2207/1/79832107200904361.pdf, diakses pada tanggal 15 Maret 2014.

J. Satrio, Beberapa Segi Hukum Tentang Somasi (Bagian IV), http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4cdb67c58d247/beberapa-segi-hukum-tentang-somasi-bagian-iv-brioleh-j-satrio-, diakses pada tanggal 06 Juni 2014.


(6)

J. Satrio, Ketika Penggugat dan Tergugat Sama-Sama Dihukum, Kamis, 23 Agustus2007,http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17439/ketika-penggugat-dan-tergugat-sama-sama-dihukum, diakses pada tanggal 08 Juni 2014.

Paulus E. Lotulung, Pengertian Pembuktian Sederhana Dalam Perkara Kepailitan, Majalah Ombudsman, No. 54/V/2004.


Dokumen yang terkait

Eksistensi Presidential Threshold Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/Puu-Xi/2013

6 131 94

Hak dan Kewajiban Kurator Pasca Putusan Pembatalan Pailit Pada Tingkat Kasasi Oleh Mahkamah Agung (Studi Kasus Kepailitan PT. Telkomsel vs PT. Prima Jaya Informatika)

1 38 128

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

3 55 122

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penerapan Prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 704 k/Pdt.Sus/2012 Antara PT. Telkomsel Melawan PT. Prima Jaya Informatika)

0 0 25

Penerapan Prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 704 k/Pdt.Sus/2012 Antara PT. Telkomsel Melawan PT. Prima Jaya Informatika)

0 0 14

Penerapan Prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 704 k/Pdt.Sus/2012 Antara PT. Telkomsel Melawan PT. Prima Jaya Informatika)

0 0 14