1 BAB I PENDAHULUAN - Hubungan DPR RI dan Presiden dalam Konstruksi Sistem Multi Partai Pada Pemerintahan SBY-Boediono Tahun 2009-2014

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara

  sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip

  checks and balances .

  Negara Indonesia merupakan salah satu negara di dunia ini yang menanamkan pemahaman demokrasi sejak Indonesia merdeka. Demokrasi di Indonesia dari masa ke masa mengalami perubahan setiap zamannya. Hal ini ditandai oleh banyaknya sistem demokrasi yang dianut Indonesia hingga di era reformasi saat ini. Dengan adanya refomasi politik maka amat penting dilakukan reformasi sistem dan jumlah partai, serta budaya politik atas dasar paradigma baru yang sama sekali berbeda dan yang lebih baik. Maka setiap bentuk dan sistem partai politik harus berorientasi pada kepentingan nasional (bangsa), kepentingan seluruh rakyat, serta menghindarikan kepentingan golongan. Dengan demikian berdirinya suatu pertain didasarkan atas prinsip keberpihakan kepada kepentingan bersama, kepentingan rakyat yang

   majemuk .

  Sistem politik Indonesia telah menempatkan Partai Politik sebagai pilar utama penyangga demokrasi. Artinya, tak ada demokrasi tanpa Partai Politik. Dengan kondisi Partai Politik yang sehat dan fungsional, maka memungkinkan untuk melaksanakan rekrutmen pemimpin atau proses pengkaderan, pendidikan politik dan kontrol sosial yang sehat. Dengan Partai Politik pula, konflik dan konsensus dapat tercapai guna mendewasakan masyarakat. Konflik yang tercipta tidak lantas dijadikan alasan untuk memecah belah partai, tapi konflik yang timbul dicarikan konsensus guna menciptakan partai yang sehat dan fungsional. Pentingnya keberadaan Partai Politik dalam menumbuhkan demokrasi harus dicerminkan dalam peraturan perundang-undangan. Seperti diketahui hanya Partai Politik yang berhak mengajukan calon dalam Pemilihan Umum. Makna dari ini semua adalah, bahwa proses politik dalam Pemilihan Umum (Pemilu), jangan sampai mengebiri atau bahkan menghilangkan peran dan eksistensi Partai Politik. Kalaupun saat ini masyarakat mempunyai penilaian negatif terhadap Partai Politik, bukan berarti lantas menghilangkan eksistensi partai dalam sistem ketatanegaraan. Semua yang terjadi sekarang hanyalah bagian dari proses demokrasi.

1 Al Chidar, 1 syawal 1419 H, Pemilu; Pertarungan Ideologi Partai-Partai Islam Versus Partai-Partai Sekuler,

  Jakarta:Dalrul Falah, Hal 3

  Partai-partai yang jumlahnya yang begitu banyak itu diakomodir dalam suatu sistem yang kita kenal dengan sistem multi-partai. Sistem multi-partai merupakan suatu sistem yang terdiri atas lebih dari dua partai yang dominan sistem ini merupakan produk dari struktur masyarakat yang majemuk, baik secara cultural maupun secara sosial ekonomi. Setiap golongan dalam masyarakat cenderung memelihara keterikatan dengan asal usul budayanya dan memperjuangkan kepentingan melalui wadah politik tersendiri karena banyak partai yang bersaing untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan melaui pemilihan umum, yang terjadi adalah pemerintahan koalisi dengan dua atau lebih partai yang secara bersama-

  

sama dapat mencapai mayoritas di parlemen .

  Pasca berakhirnya rezim orde baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto dalam konteks kepartaian ada tuntutan agar masyarakat mendapatkan kesempatan untuk mendirikan partai, atas dasar itu pemerintah mengeluarkan UU No.2/1999 tentang partai politik. Perubahan yang didambakan adalah suatu sistem dimana partai- partai tidak mendominasi kehidupan politik secara berlebihan, akan tetapi juga tidak memberikan peluang kepada eksekutif untuk terlalu kuat. Sebaliknya, kekuatan eksekutif dan legislatif diharapkan menjadi setara sebagaimana diamanatkan didalam UUD 1945. Partai politik tumbuh seperti jamur dimusim hujan. Hal itu memungkinkan dalam sistem Kepartaian Indonesia yaitu sistem kepartaian multi partai yang kompititif.

2 Ramlan Surbakti, 2010, Memahami Ilmu Politik, Jakarta : KPG, Hal,161-162

  Pada pemilihan umum 1999 jumlah partai politik yang memenuhi syarat menjadi peserta pemilu adalah 48 partai politik, dimana perolehan suara sepuluh besar dalam pemilu 1999 yaitu: PDIP dengan 33,11% suara dengan 153 kursi, Partai Golkar dengan 25,97% suara dan 120 kursi, PPP dengan 12,55% suara dan 58 kursi, PKB dengan 11,03% suara dan 51 kursi, PAN dengan 7,35% suara dan 34 kursi, PBB dengan 2,81% suara dan 13 kursi, Partai Keadilan dengan 1,4% suara dan 7 kursi, PKP dengan 1,0% suara dan 4 kursi, PNU dengan 0,6% suara dan 5 kursi, PDKB

  

  dengan 0,5% suara dan 5 kursi. PDIP yang memperoleh suara palingbanyak, ternyata tidak dapat menjadikan Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum PDIP) menjadi presiden RI yang keempat. Dengan adanya koalisi partai islam dan beberapa partai baru yang menjadi kubu tersendiri di DPR, yang dikenal sebagai poros tengah, posisi PDIP menjadi lemah. Pada saat itu koalisi partai-partai islam berhasil memenangkan KH. Abdurrahman Wahid dari PKB yang hanya memperoleh 51 kursi di DPR menjadi Presiden Keempat RI.

  Pada pemilihan umu tahun 2004 yang lolos verifikasi ada 24 partai politik. Dimana hasil pemilu 2004 yang menempati sepuluh besar yaitu: Partai Golkar dengan 21,58% suara dan 128 kursi, PDIP dengan 18,53 suara dan 109 kursi, PKB dengan 10,57% suara dan 52 kursi, PPP dengan 8,15% dan 58 kursi, Partai Demokrat 7,45% suara dan 57 kursi, PKS dengan 7,34% dan 45 kursi, PAN dengan 6,44% suara dan 52 kursi, PBB dengan 2,62% suara dan 11 kursi, PBR dengan 2,44% suara dan 13 kursi,

3 Sigit Pamungkas, 2011, Partai politik Teori dan Praktik di Indonesia, Yogyakarta; Institute of

  Democracy and Welfarism (IDW), Hal; 183

  

  serta PDR 2,13% suara dan 12 kursi. Pemilu tahun 2004 merupakan pemilihan umum pertama di Indonesia yang presiden dan wakil presidennya dipilih langsung oleh rakyat. Dimana menurut pasal 5 UU No.23 tahun 2003 tentang syarat partai politik mencalonkan presiden dan wakil presiden adalah 15% jumlah kursi DPR atau 20% dari perolehan suara sah secara nasional dalam pemilu legislatifhal ini jelas bahwa hanya Partai Gokar dan PDIP yang dapat mencalonkan Presiden dan wakil presiden sendiri. Namun faktanya justru Partai Demokrat yang hanya memperoleh 7,45% suara berhasil menghantarkan Ketua Dewan Pembinanya yaitu Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Presiden Kelima RI dengan dibantu koalisi PKS, PBB, PKPI.

  Pemilihan umum selanjutnya adalah tahun 2009 yang terdapat 38 partai politik nasional. Dimana hasil pemilihan umum tahun 2009 yaitu: Partai Demokrat dengan 28, 85% suara dan 150 kursi, Partai Golkar dengan 14,45% suara dan 107 kursi, PDIP dengan 14,03% suara dan 97 kursi, PKS dengan 7,88% suara dan 57 kursi, PPP dengan 5,32% suara dan 37 kursi, PKB dengan 4,94% suara dan 27 kursi, Partai GERINDRA dengan 4, 46% suara dan 26 kursi, serta Partai HANURA dengan 3,77% suara dan 18 kursi.Dari hasil pemilu tahun 2009, perolehan suara Partai Demokrat mencapai 300 persen . partai yang belum genap satu dasawarsa ini tidak hanya mampu melipatgandakan perolehan sura partai sajtetapi sekaligus mengalahkan partai-partai besar yang selama ini mendominasi politik kepartaian pasca reformasi. 4 Partai Golkar dan PDIP turun drastis dan berada dibawah perolehan suara Partai

  Sigit Pamungkas, Ibid, Hal; 192 Demokrat. Begitu pula pada pemilu presiden dan wakil presiden, pasangan yang di usung oleh Partai Demokrat dan koalisinya Sosilo Bambang Yudhoyono-Boediono

   juga mampu mengalahkan pasangan Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto.

  Sistem presidensial merupakan sistem pemerintahan negara republik di mana kekuasan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasan legislatif, dalam sistem presidensial, presiden memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan karena rendah subjektif seperti rendahnya dukungan politik. Namun masih ada mekanisme untuk mengontrol presiden. Jika presiden melakukan pelanggaran konstitusi, pengkhianatan terhadap negara, dan terlibat masalah kriminal, posisi presiden bisa dijatuhkan. Bila ia diberhentikan karena pelanggaran-pelanggaran tertentu, biasanya seorang wakil presiden akan menggantikan posisinya. Dalam sistem presidensial, pemilu diadakan dua kali pertama untuk memilih anggota parlemen dan

   kedua untuk memilih presiden.

  Sejarah pemerintahan presidensial Indonesia dimulai sejak diberlakukannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai konstitusi negara. Pelembagaan sistem presidensial itu dimulai bersamaan dengan kelahiran Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Tepatnya sehari setelah proklamasi kemerdekaan RI, UUD sebagai konstitusi tertinggi yang kemudian dikenal dengan UUD 1945 disahkan dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sejak 18 Agustus 1945, sistem presidensial secara resmi dilembagakan melalui

  5 6 Sigit Pamungkas, Ibid, Hal; 201 Hanta Yuda. 2010. Presidensialisme Setengah Hati. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. hal 66

  

  konstitusi. Sistem presidensial yang digunakan oleh UUD 1945 memberikan kekuasaan yang besar bagi presiden, disamping sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, presiden juga memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR. Hal ini tercantum pada pasal 5 ayat 1 UUD 1945 sebelum amandemen.

  Sistem kepartaian berhubungan erat dengan stabilitas dan instabilitas pemerintahan. Hal ini terkait erat dengan kompatibilitas dengan sistem pemerintahan, sistem dua partai sering disebut sebagai sitem kepartaian yang paling ideal untuk semua sistem pemerintahan, baik sistem presidensial maupun sistem parlementer.

  Sedangkan sistem multi partai hanya cocok pada sistem parlementer. Sistem multi partai dengan sistem presidensialisme dianggap kombinasi yang tidak sesuai. Sistem multi partai dalam pemerintahan presidensialisme berakibat rendahnya keberlanjutan

   stabilitas demokrasi.

  Bagaimana dengan Indonesia yang menggunakan sistem multi partai dan sitem pemerintahan presidensialisme? Ada beberapa persoalan yaitu; pertama, upaya membatasi jumlah partai peserta pemilu agar tidak terlampau banyak sulit dicapai. Kedua, sistem check and balance menjadi tidak terwujud atau tidak jelas. Pemerintahan diisi beberapa wakil dari parpol, tetapi tidak tergabung dalam koalisi yang permanen. Begitu pula pihak oposisi. Tidak ada koalisi oposisi yang mantap.

  Akibatnya, kebijakan pemerintah acapkali ditolak oleh parpol yang notabene punya 7 wakil di kabinet. “Koalisi” Parpol bersatu tergantung pada isyunya. Ketiga, 8 Hanta Yuda, Ibid¸ Hal: 78 Sigit Pamungkas, Opcit, Hal; 55 terwujudnya persaingan dan kerjasama parpol yang tidak jelas. Bayangkan, parpol- parpol di tingkat Pusat, Provinsi, dan Kabupaten tidak diisi atau didukung oleh parpol-parpol yang sama. Kabinet didukung oleh parpol-parpol yang di beberapa provinsi bersaing menjadi lawan dalam pemilihan kepala daerah.

  Pada pemerintahan yang dibangun oleh Susilo bambang yudhoyono-Boediono atau pada sistem presidensial tahun 2009-2014. Presiden masih terjebak dalam logika politik insentif. Dimana presiden menggunakan model trnsaksionla, dimana loyalitas dukungan dari partai koalisi ditukar dengan akomodasi posisi dalam kabinet pemerintahan. Sehingga posisi dalam kabinet adalah insentif untuk loyal. Model insentif itu ternyata tidak selamanya berhasil karena dalam perjalanannya, partai koalisi justru seringkali terbelah dalam menyikapi kebijakan presiden. Itu artinya dukungan dari kubu-kubu partai yang berkoalisi terhadap inisiatif kebijakan presiden berubah-ubah dan tidak bersifat permanen. Bahkan, partai-partai koalisi seringkali terlibat dalam pusaran konflik dalam proses pengambilan keputusan di parlemen.

  Dalam konteks semacam itu, Presiden SBY sering kali mengambil dua pilihan strategis: pertama, mengancam untuk menghukum (punishment) partaiyang tidak loyal untuk dikeluarkan dari kabinet pemerintahan. Kedua, memperbesar politik akomodasi (insentif) dalam pembagian kekuasaan sehingga partai koalisi tetap loyal dengan kebijakan presiden. Kedua strategi ini ditunjukan dengan wacana reshuffle kabinet serta akomodasi kepentingan partai koalisi dalam Sekretariat Gabungan (Setgab), sampai saat ini, penggunaan ancaman untuk membangun kepatuhan partai koalisi, hanya menghentikan keributan, tetapi tidak sepenuhnya efektif. Dalam momen berikutnya, partai-partai tetap saja bermanuver di parlemen dengan beragam

   kepentingannya.

  Sementara itu, sistem multi partai yang kita anut dapat menyebabkan ketidakharmonisan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif yang bisa mengarah pada kebuntuan antar kedua lembaga tersebut apabila yang menguasai lembaga kepresidenan dan yang menguasai lembaga legislatif berasal dari partai yang berbeda. Salah satu kelemahan sistem dalam hal ini adalah ketegangan antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif. Jika presiden mewakili partai lan, maka kesempatan presiden untuk bisa menyelesaikan kegiatan sesuai dengan UU akan terlambat sekalipun keadaan yang terbaik ia tetap saja membutuhkan para politisi di parlemen.

  Kondisi pemerintahan presidensial di Indonesia pada periode 2009-2014 yang tidak stabil dan tidak konsisten dalam mengimplementasikan UUD 1945 tentang sistem presidensial di Indonesia. Koalisi kabinet yang terbangan di Indonesia pada priode ini merupaka koalisi yang sifatnya sementara dan pragmatis karena hanya didasarkan pada kepentingan partai politik.koalisi yang terbangun bukan didasari oleh ideologi atau persamaan tujuan dan cita-cita partai tersebut. Hal tersebut yang membuat penulis tertarikuntuk meneliti tentang Bagaimana Hubugnan DPR RI dan Presiden dalam Kerangka Sistem multi partai dan sistem presidensial di Indonesia tahun 2009-2014

  9

http://budisansblog.blogspot.com/2013/03/koalisi-dan-ketidakberdayaan-presiden.htm., diakses pada

tanggal 17 November 2013 Pukul 16:22

I.2. Perumusan Masalah

  Pada sistem presidensial yang dijalankan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama ini, yang telah berjalan 10 tahun dinilai tidak efektif.

  Dalam pemerintahannya Pressiden Susilo Bambang Yudhoyono membangun suatu koalisi untuk memperkuat kekuasaannya. Koalisi yang dibangun memunculkan sebuah anomali sistem politik di Indonesia dan itu terus berlansung dalam pemerintahan SBY priode 2009-2014. Anomali yang dimaksud ialah sistem presidensial berjalan seiring multipartai. Partai politik bahkan cenderung menjadi dominan. Hal itu dapat dilihat dari proses pemilihan umum presiden yang dinilai sangat brgantung pada pemilihan legislatif. Maka yang menjadi perumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimana Hubugnan DPR RI dan Presiden dalam Kerangka Sistem multi partai dan sistem presidensial di Indonesia tahun 2009-2014.?

I.3. Pembatasan Masalah

  Pembatasan masalah adalah usaha untuk menetapkan masalah dalam batasan penelitian yang akan diteliti. Batasan masalah ini berguna untuk mengidentifikasi faktor mana saja yang termasuk kedalam masalah penelitian dan faktor mana saja yang tidak termasuk kedalam ruang penelitian tersebut. Maka untuk memperjelas dan membatasi ruang lingkup penelitian dengan tujuan menghasilkan uraisan yang sitematis diperlukan adanya batasan masalah. Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti oleh penulis yaitu :

1. Faktor tebentuknya partai-partai koalisi yang mengusung Susilo Bambang

  Yudhoyono menjadi Presiden Indonesia 2009-2014 2. Hubugnan DPR RI dan Presiden dalam Kerangka Sistem multi partai dan sistem presidensial di Indonesia tahun 2009-2014.

  I.4. Tujuan Penelitian

  Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk: 1.

  Mengetahui bagaimana sistem multi-partai di Indonesia 2. Memahami bagaimana sistem presidensial di Indonesia 3. Mendeskripsikan dan memahami bagaimana Bagaimana Hubugnan DPR RI dan Presiden dalam Kerangka Sistem multi partai dan sistem presidensial di

  Indonesia tahun 2009-2014

  I.5. Signifikansi Penelitian 1.

  Secara pribadi penelitian mampu mengasah kemampuan peneliti dalam melakukan sebuah proses penelitian yang bersifat ilmiah dan memberikan pengetahuan yang baru bagi peneliti sendiri.

  2. Secara teoritis, penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yang diharapkan mampu memberikan kontribusi pemikiran mengenai Partai Politik dan sistem Pemerintahan.

  3. Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi atau sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam Ilmu Politik, dan menjadi referensi/kepustakaan bagi Departemen Ilmu Politik Fisip USU.

I.6. Konseptualisasi dan Teori

6.1 Sistem Pemerintahan

  Sistem pemerintahan diartikan sebagai tatanan yang terdiri dari komponen pemerintahan yang saling mempengaruhi dalam pencapaian tujuan dan menjaa pemerintahan. Sistem pemerintahan mempunyai sistem dan tujuan untuk menjaga kestabilan suatu Negara itu. Secara luas berarti sistem pemerintahan itu menjaga kestabilan masyarakat, menjaga kekuatan politik, pertanahan, ekonomi, keamanan sehingga menjadi sistem pemerintahan yang kontinu dan demokrasi dimana seharusnya masyarakat busa ikut turut andil dalam pembangunan sistem pemerintahan tersebut. Secara sempit, sistem pemerintahan hanya sebagai sarana kelompok untuk menjalankan roda pemerintahan guna menjaga kestabilan Negara dalam waktu relatif lama dan mencegah adanya perilaku reaksioner maupun radikal dari rakyat itu sendiri.

  Sebagaimana kita ketahui bahwa tidak ada satupun sistem pemerintahan suatu neara ynag benar-benar sama dengan sistem pemerintahan nagara yang lainya, jadi oleh karena itu sering kita temui hanyalah perbandingan pemerintahan dengan patokan-patokan perbandingan tertentu. Namun dapat juga digolongkan kedalam beberapa sistem pemerintahan yang ada di dunia sekarangini. Pengelompokan sistem pemerintahan ini tidak lain untuk lebih jauh melihat perbedaan dan kesamaan dari berbagai sistem pemerintahan, dengan mengetahui tolak ukur pertanggungjawaban pemerintah suatu negara terhadap rakyat yang diurusnya.

6.1.1 Sistem Pemerintahan Presidensial

  Dalam sistem presidensial peran dan karakter individu presiden lebih menonjol dibanding dengan peran kelompok, organisasi, atau partai politik. Oleh karena itu, jabatan presiden hanya dijabat oleh seorang yang dipilih rakyat dalam pemilu yang berarti presiden bertanggung jawab langsung pada rakyat. Dalam sistem ini presiden presiden dipilh oleh rakyat maka sebagai kepala eksekutif ia hanya bertanggung jawab kepadan rakyat sehingga kedudukan eksekutif tidak bergantung pada parlemen. Sebagai kepala eksekutif presiden menunjuk pembantu-pembantunya yang akan memimpin departemennya masing-masing dan mereka hanya bertanggung jawab kepada presiden. Karena pembentukan kabinet tidak tergantung dan tidak memerlukan dukungan kepercayaan dari parlemen, maka para menteri tidak bisa dihentikan oleh parlemen.

  Komposisi kabinet dalam sistem presidensial bukan berasal dari proses tawar menawar dengan partai politik yang berarti sifat kabinet adalah kabinet profesional atau kabinet keahlian. Jabatan menteri tidak didasrkan pada latar belakang politik tetapi pada penilaian visi, pengetahuan dan kemampuan mengelolah departemen. Dalam sistem presidensial, kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang langsung oleh presiden. Selaku kepala negara presiden adalah simbol representasi negara atau simbaol pemersatu bangsa sementara selaku kepala pemerintahan presiden harus bertanggung jawab penuh pada jalannya pemerintahan.

  Prinsip-pronsip dasar atau ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial, yaitu

   1.

  Majelis tetap menjadi majelis saja, tidak ada peleburan fungsi eksekutif da legislatif : 2.

  Ekssekutif tidak dibagi, hanya ada seorang presiden yang dipilih oleh rakyat untuk masa jabatan tertentu. Presiden dipilih untuk masa jabatan yang pasti, dan dibatasi untuk beberapa kali masa jabatan 3. Kepala pemerintahan adalah kepala Negara 4. Presiden mengangkat kepala departemen/menteri yang merupakan bawahannya

  5. Presiden adalah eksekutif tunggal, pemerintahan presidensial cenderung bersifat individual

  6. Anggota majelis tidak boleh menduduki jabatan pemerintahan dan sebaliknya

  7. Eksekutif bertanggungjawab kepada konstitusi. Majelis meminta presiden bertanggung jawab kepada konstitusi melalui proses dakwaan atau mosi tidak percaya

10 Hanta Yuda, Op,cit,. hal 10

  8. Presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa majelis. Majelis tidak dapat mencopot presiden dari jabatannya, begitupun presiden tidak dapat membubarkan majelis. Sistem ini merupakan sistem check and balance. Sistem ini memperlihatkan kesalingtergantungan antara eksekutif dengan legislative 9. Majelis bekedudukan lebih tinggi dari bagian-bagian pemerintahan lain dan tidak ada peleburan bagian eksekutif dengan legislative seperti dalam sebuah parlemen. Badan eksekutif dan legislative akan saling mengawasi dan mengimbangi dan tidak satupun yang lebih dimonan

  10. Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada para pemilih, pemerintah presidensial bergantung pada suara rakyat, apabila anggota majelis mewakili konstituennya, maka presiden mewakili seluruh rakyat

11. Tidak ada fokus atau konsentrasi kekuasaan dalam sistem politik, yang ada adalah pembagian atau fragmentasi kekuasaan.

   Matthew Soberg Shugart menyatakan bentuk murni dari presidensial adalah : 1.

  Eksekutif dikepalai oleh presiden yang dipilih oleh rakyat secara langsung dan ia merupakan “Kepala Eksekutif”

  2. Posisi eksekutif dan legislatif didefenisikan secara jelas dan keduanya tidak sling bergantung

11 Seta Basri, Pengantar Ilmu Politik, 2001, Yogyakarta: Indiebookcorner, hal: 51

  3. Presiden memilih dan mengarahkan cabinet dan memiliki sejumlah kewenangan pembuatan legislasi yang diatur secara konstitusional Bagi Shugart, posisi hubungan eksekutif dan legislative adalah transsksional. Keduanya independen satu dengan lain karena dipilih rakyat lewat dua pemilu yang berbeda. Posisi legislative tidak lebih tinggi disbanding eksekutif dan demikian pula sebaliknya. Namun, eksekutif dan legislative terlibat dalam hubungan pertukaran (transaksional) seputar keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan politik bergantung dengan permasalahan yang mengemuka.

  Sesuai amanat konstitusi hasil amandemen, sistem pemerintahan yang kini berlaku di Indonesia adalah sistem pemerintahan presidensial. Konstitusi itu sendiri tidak secara eksplisit menyebut istilah sistem presidensial dalam keseluruhan batang tubuh UUD Negara Republik Indonesia. Secara subtansial hampir semua prindip pokok sistem presidensial memang telah dianut oleh konstitusi Indonesia, terlepas dari persoalan bahwa konstitusi merupakan hasil

   dari amandemen .

  6.2 Partai Politik Banyak ahli yang mendefenisikan arti dari partai politik seperti “Carl

  Friedrich”, ia mendefenisikan partai politik ialah sekelompok manusia yang 12 terorganisir yang stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan

  

Syamsudin Haris, Partai, Pemilu, dan parlemen Era Reformasi, 2014, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, hal: 5 pemerintahan bagi pimpinan partai dan berdasarkan penguasaan ini akan memberikan manfaat bagi anggota partainya, baik idealisme maupun kekayaan material serta

  

  perkembangan lainnya . Sedangkan menurut “Miriam Budiarjo” partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara

   konstitusional untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka .

  Berdasarkan defenisi-defenisi para ahli di atas dapat disimpulkan, bahwa partai politik merupakan sekelompok orang yang mempunyai tujuan yang sama dalam sebuah lembaga yang memiliki orientasi untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan agar dapat mewujudkan kebijakan-kebijakan sesuai dengan cita-cita partai tersebut.

  Fungsi utama partai politik ialah mencari dan mempertahankan kekuasaan guna mewujudan program-program yang disusun berdasarkan ideologi tertentu.

   Berikut ini dikemukakan sejumlah fungsi partai politik :

  a. Sosialisasi Politik Sosialisasi politik adalah proses pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat. Melalui proses sosialiasasi politik inilah para anggota masyarakat memperoleh sikap dan orientasi terhadap kehidupan politik yang 13 berlangsung dalam masyarakat. Proses ini berlangsung seumur hidup yang diperoleh 14 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 2008 Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Hal: 160 15 Miriam Budiardjo, Op,.cit,. hal 160 Ramlan Surbakti, Op,.cit,hal 149-154

  baik secara sengaja melalui pendidikan formal, nonformal, dan informal maupun secara tidak sengaja melalui kontak dan pengalaman sehari-hari, baik dalam kehidupan keluarga dan tetangga maupun dalam kehidupan masyarakat.

  b. Rekrutmen Politik Rekrutmen politik ialah seleksi dan pemilihan atau seleksi dan pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintahan pada khususnya. Fungsi ini semakin besar porsinya manakala partai politik itu merupakan partai tunggal seperti dalam sistem politik totaliter, atau manakala partai ini merupakan partai mayoritas dalam badan perwakilan rakyat sehingga berwenang membentuk pemerintahan dalam sistem politik demokrasi. Fungsi rekrutmen merupakan kelanjutan dari fungsi mencari dan mempertahankan kekuasaan. Selain itu, fungsi rekrutmen politik sangat penting bagi kelangsungan sistem politik sebab tanpa elit yang mampu melaksanakan peranannya, kelangsungan hidup sistem politik akan terancam.

  c. Partisipasi Politik Partisipasi politik ialah kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintahan. Kegiatan yang dimaksud antara lain mengajukan tuntutan, membayar pajak, melaksanakan keputusan, mengajukan kritik dan koreksi atas pelaksanaan suatu kebijakan umum, dan mendukung atau menentang calon pemimpin tertentu, mengajukan alternatif pemimpin, dan memilih wakil rakyat dalam pemilihan umum. Dalam hal ini, partai politik mempunyai fungsi untuk membuka kesempatan, mendorong, dan mengajak para anggota dan anggota masyarakat yang lain untuk menggunakan partai politik sebagai saluran kegiatan mempengaruhi proses politik.

  Jadi, partai politik merupakan wadah partisipasi politik.

  d. Agregasi Kepentingan Dalam masyarakat, terdapat sejumlah kepentingan yang berbeda bahkan acapkali bertentangan, seperti antara kehendak mendapatkan keuntungan sebanyak- banyaknya dan kehendak untuk mendapatkan barang dan jasa dengan harga murah tetapi mutu; antara kehendak untuk mencapai efisiensi dan penerapan teknologi yang canggih, tetapi memerlukan tenaga kerja yang sedikit, dengan kehendak untuk mendapatkan dan mempertahankan pekerjaan.Untuk menampung dan memadukan berbagai kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan, maka partai politik dibentuk.

  e. Komunikasi Politik Komunikasi politik ialah proses penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintah kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada pemerintah. Dalam hal ini partai politik berfungsi sebagai komunikator politik yang tidak hanya menyampaikan segala keputusan dan penjelasan pemerintah kepada masyarakat sebagaimana diperankan oleh partai politik dinegara totaliter tetapi juga menyampaikan aspirasi dan kepentingan berbagai kelompok masyarakat kepada pemerintah. Keduanya dilaksanakan oleh partai-partai politik dalam sistem politik demokrasi.

  Dalam melaksanakan fungsi ini partai politik tidak langsung menyampaikan informasi dari pemerintah kepada masyarakat atau dari masyarakat keperintah, tetapi merumuskan sedemikian rupa sehingga penerima informasi dapat dengan mudah memahami dan kemudian memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.

  f. Pengendalian Konflik Konflik yang dimaksud disini adalah dalam arti luas, mulai dari perbedaan pendapat sampai pada pertikaian fisik antar individu atau kelompok dalam masyarakat. Dalam negara demokrasi, setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak menyampaikan dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya sehingga konflik merupakan gejala yang sukar dielakkan. Partai politik sebagai salah satu lembaga demokrasi berfungsi untuk mengendalikan konflik melalui cara berdialog dengan pihak-pihak yang berkonflik, menampung dan memadukan berbagai aspirasi dan kepentingan dari pihak-pihak yang berkonflik dan membawa permasalahan kedalam musyawarah badan perwakilan rakyat untuk mendapatkan penyelesaian berupa keputusan politik.

6.3 Sistem Kepartaian

  Secara umum terdapat tiga pendekatan umumyang menjelaskan terbentuknya sistem kepartaian, yaitu pendekatan institusional, pendekatan sosiologis, serta pendekatan tabula rasa. Pendekatan institusional dibangun dengan asumsi utama bahwa sistem kepartaian dikonstruksi oleh sistem pemilu. Pendekatan ini diperkenalkan oleh Duverger (1946), ia menyebutkan bahwa pada sisstem pluralitas/mayoritas akan membentuk sistem dua partai, sedangkan pada sistem proporsional akan cenderung membentuk sistem multi partai.

  Dengan mengacu pada pemikiran Duverger dapat dikatakan sistem proporsional mempermudah fragmentasi partai dan timbulnya partai-partai baru.

  Situasi itu akan sangat mempengaruhi bagaimana konsensus atau konfrontasi antara

  

  badan legislatif dengan badan eksekutif. Berdasarkan pendekatan diatas, jika dilihat dari sistem kepartaian Indonesia termasuk kedalam negara yang menggunakan sistem kepartaian multi partai sesuai dengan sistem proporsional yang digunakan dalam sistem pemilu di Indonesia.

6.3.1 Sistem Multi Partai

  Sistem multi partai merupakan suatu sistem yang terdiri atas lebih dari dua partai politik yang dominan. Sistem ini merupakan produk dari struktur masyarakat yang majemuk, baik secara kultural maupun sosial ekonomi. Setiap golongan dalam masyarakat cenderung memelihara keterikatan dengan asal usul budayanya dan memperjuangkan kepentingan melalui wadah politik tersendiri karena banyak partai yang bersaing untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan melaui pemilihan umum, yang terjadi adalah pemerintahan koalisi dengan dua atau lebih partai yang

   secara bersama-sama dapat mencapai mayoritas di parlemen .

  16 17 Sigit Pamungkas, Opcit, Hal; 50-51 Ramlan Surbakti, Op,.cit,hal 161-162

  Penyebab adanya sistem multi partai ini adalah karena adanya aneka ragam suku, agama, ras, dan golongan yang ada dalam suatu negara. Dalam sistem multi partai, jika tidak ada partai yang meraih suara mayorritas, maka terpaksa dibentuk pemerintahan koalisi. Penentu suara, mayoritas adalah setengah tambah satu dari jumlah anggota parlemen.

  Pola multipartai umumnya diperkuat oleh sistem pemilihan perwakilan berimbang (proportional representation) yang memberikan kesempatan luas bagi pertumbuhan partai-partai dan golongan-golongan kecil. Melalui sistem ini partai- partai kecil dapat menarik keuntungan dari ketentuan bahwa kelebihan suara yang diperolehnya disuatu daerah pemilihan dapat ditarik kedaerah pemilihan lain untuk

   menggenapkan jumlah suara yang diperlukan .

6.4 Parlemen Sebagai Lembaga Perwalian

  Teori perwakilan politik, Alfred de Grazio mengemukakan bahwa perwakilan diartikan sebagi hubungan dimana dua pihak, yaitu wakil dengan terwakil dimana wakil memegang kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan yang berkenaan dengan kesepakatan yang dibuatnya. Perwakilan dalam pengertian bahwa seseorang melakukan tindakan baik yang diperuntukan kepada orang lain. Keterwakilan politik diartikan sebagai terwakilnya kepentingan anggota masyarakat oleh wakil-wakil mereka di dalam lembaga parlemen dan proses politik.

18 Miriam Budiardjo. 1996. Demokrasi di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. hal. 210

  Dalam negara modern dewasa ini, raktyat menyelenggarakan kedaultan yang dimilikinya melalui wakil-wakil yang dipilhnya. Parlemen dinegara demokrasi disusun sehingga mewakili mayoritas dari rakyat. Anggota-anggota parlemen umumnya mewakili rakyat melalui partai politik (political representation). Dengan demikian masyarakat adalah pihak yang diwakili yang mennyerahkan kekuasaan atau mandat untuk mewakili kepentingannya kepada lembaga perwakilannya dalam proses politik dan pemerintahan. Bekerjanya peran dan fungsi badan perwakilan rakyat di satu pihak ditentukan oleh eksistensinya sebagai suatu lembaga politik dan dipihak lain ditentukan oleh perwujudan sebagai organisasi yang mewadahi proses politik. Legislatif adalah struktur politik yang berfungsi menbuat undang-undang. Dimasa kini, lembaga tersebut disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat (Indonesia), House of Representation (Amerika Serikat), atau House of Common (Inggris). Lembaga- lembaga ini dipilh melalui pemilihan umum yang diadakan secara periodik dan

   berasal dari partai-partai politik .

  Parlemen dipandang tidak hanya sebagai lembaga perwakilan rakyat dalam negara demokrasi, melainkan lebih dipandang sebagai lembaga yang menjalankan tugas pelaksana kedaulatan rakyat secara luas yakni melaksanakan kerja-kerja kontinui termasuk melaksanakan pengawasan terhadap presiden dan pemerintah. Jika dilihat parlemen sebagai pelaksana fungsi legislasi yang melibatkan kerja sama dengan eksekutif maka hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif dapat 19 dihubungkan dalam dua kelompok peranan. Pertama, peranan yang bertujuan

  Arni Sabit, Perwakilan Politik di Indonesia, Jakarta; CV. Rajawali, 1985, hal: 20-23 menyalurkan kepentingan dan partisipasi rakya. Kedua, peranan yang bermakna bagi pemupukan kewibawaan eksekutif atau memberikan legitimasi kepada lembaga eksekutif. Implementasi dari peranan tersebut dapat mengarahkan interaksi parlemen dengan eksekutif kepada situai konfrotatif atau saling memperlemah atau meletakkan parlemen dan eksekutif dalam jalur yang searah dan daling memperkuat.

6.4.1 Fungsi dan Wewenang Parlemen

  Diantara fungsi badan legislatif yang piling penting adalah menentukan policy (kebijaksanaan) dan membuat undang-undang. Untuk Dewan Perwakilan Rakyat diberi hak inisiatif yaitu hak untuk mengadakan amandemen terhadap rancangan undang-undang yang disusun oleh pemerintah. Selain itu berfungsi mengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga supaya semua tindakan badan eksekutif sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditetapkan. Pengawasan dilakukan melalui sidang panitia

  

  legislatif dan melalui hak-hak kontrol yang khusus seperti : a.

  Hak Interpelasi Badan legislatif memiliki hak interpelasi yaitu hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijaksanaanya dalam suatu bidang. Dalam hal dipergunakannya hak interpelasi ini oleh DPR, presiden berkewajiban memberikan penjelasan dalam sidang plen. Pada sistem pemerintahan 20 presidensial diterima atau tidaknya penjelasan tesebut tidak memberikan

  

Miriam Budiarjo dan Ibrahim Ambong , Fungsi Legislatif dalam Sistem politik Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993, hal: 184-186 dampak langsung terhadap kedudukan presiden. Apabila keterangan yang diberikan eksekutif kurang memuaskan maka hal ini merupakan tanda peringatan bagi pemerintah bahwa kebijaksanaanya diragukan.

  b.

  Hak petisi Bebeda dengan hak interpelasi pertanyaan biasanya tidak diikuti oleh perdebatan terbuka karena sifatnya yang hanya mengharapkan jawaban sesuai dengan materi jawabannya. Pertanyaan tersebut dapat diajukan baik lisan maupun tulisan kepada pihak pemerintah untuk kemudian diberikan jawaban atas pertanyaan tersebut yang dapat dilakukan secara lisan dan tulisan.

  c.

  Hak Angket Hak angket adalah hak anggota badan legislatif untuk mengadakan penyelidikan sendiri. Dalam pelaksanaan penyelidikan tersebut, legislatif yang mengajukan akan membentuk suatu panitia angket yang akan melaporkan hasil penyelidikannya kepada seluruh anggota legislatif yang bersangkutan.

6.5 Teori Checks and Balances

  Kamus hukum mendefinisikan prinsip check and balances sebagai sebuah sistem aturan yang menegaskan adanya mekanisme saling kontrol di antara cabang kekuasaan baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif yang didesain untuk mencegah terkonsentrasinya kekuasaan dalam satu cabang sehingga mendominasi cabang kekuasaan yang lain.

  Butterworths Concise Australian Legal Dictionary mendefinisikan Checks and Balances sebagai berikut; “A system of rules diversifying the membership of, and mutually countervailing controls interconnecting the executive, legislative, judicial branches of government, designed to prevent concentration of power within any one branch at the expense of the others.”

  Secara konseptual, prinsip check and balance dimaksudkan agar tidak terjadi overlapping atau tumpang tindih antara kewenangan lembaga negara sehingga kekuasaan dalam negara haruslah diatur dengan seksama. Namun demikian, kelemahan dari pelaksanaan mekanisme check and balance merupakan teori tanpa ujung, saling mengontrol dan berputar.

  Dengan mendasarkan pada spektrum pelaksanaannya, prinsip checks and balances dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yakni, pertama, pelaksanaan checks and balances internal dalam cabang kekuasaan tertentu. Kedua, adanya pelaksanaan checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan. Prinsip pemisahan kekuasaan membagi tanggungjawab pemerintahan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sedangkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi disini memiliki fungsi mencegah cabang-cabang kekuasaan dari penyalahgunaan kekuasaan, seperti penyalahgunaan untuk tujuan-tujuan khusus , dan kompromi politik. Sebagai ilustrasi bisa dilihat dari uraian berikut; undang-undang dibuat atas persetujuan bersama DPR dan Presiden sebagai implementasi fungsi legislasi. Namun cabang kekuasaan yudikatif dapat membatalkan produk hukum tersebut dengan fungsi judicial review yang dimilikinya yakni hak untuk menguji apakah suatu undang-undang berlawanan dengan konstitusi Implikasi prinsip pemisahan kekuasaan ini adalah kedua lembaga tidak dapat saling menjatuhkan secara politik. Parlemen memiliki kemandirian karena tidak ada ancaman pembubaran parlemen oleh presiden. Sebaliknya preiden pun secara kelembagaan lebih mandiri karena tidak mudah dijatuhkan.

  Fungsi utama parlemen dalam sistem presidensial adalah melaksanakan fungi pengawasa, fungsi legislasi, fungsi anggaran. Instrument yang dapat digunakan paarlemen untuk menjalankan fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintahan secara efektif adalah hak-hak yang dimiliki oleh anggota parlemen, misalkan hak angket, hak interpelasi, dan hak petisi. Semua hak tersebut sangat penting sebagai

   instrument untuk menjalankan fungsi pengawasanterhadap jalanya pemerintahan.

6.6 Teori Pemisahan Kekuasaan

  Setiap orang yang telah dengan jelas mengetahui tentang teori pemisahan kekuasaan, tentunya sangat mengenal dengan akrab nama Montesquieu yang merupakan filsuf Perancis pencetus doktrin pemisahan kekuasaan ( separation of

  

power ) dengan teori yang dinamakan dengan Trias Politica. Menyusul setelah

  lahirnya teori tersebut kemudian menjadi perdebatan di berbagai belahan dunia, baik 21 dalam bentuk diskusi baik langsung maupun secara tidak langsung serta menghiasi 22 Hanta Yuda,,Op.cit. hal: 20 Henry J. Schmandt, Filsafat Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hal. 374 berbagai buku yang merupakan karya-karya para ahli terutama yang bergerak di bidang ketatanegaraan. Tentunya sampai sekarangpun berkaitan dengan teori Trias Politica ternyata masih banyak yang mendiskusikannya bahkan menjadi sebuah perdebatan hangat di seputar kenegaraan, baik dalam bentuk dukungan sepenuhnya terhadap gagasan tersebut maupun yang tidak menyetujuinya terutama terhadap gagasannya tentang adanya pemisahan mutlak terhadap kekuasaan ( separation of

  power ).

  Trias Politika merupakan konsep pemerintahan yang kini banyak dianut diberbagai negara di aneka belahan dunia. Konsep dasarnya adalah, kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda. Trias Politika yang kini banyak diterapkan adalah, pemisahan kekuasaan kepada 3 lembaga berbeda: Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Legislatif adalah lembaga untuk membuat undang-undang; Eksekutif adalah lembaga yang melaksanakan undang-undang; dan Yudikatif adalah lembaga yang mengawasi jalannya pemerintahan dan negara secara keseluruhan, menginterpretasikan undang-undang jika ada sengketa, serta menjatuhkan sanksi bagi lembaga ataupun perseorangan manapun yang melanggar

   undang-undang.

  Dengan terpisahnya 3 kewenangan di 3 lembaga yang berbeda tersebut, diharapkan jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari korupsi 23 pemerintahan oleh satu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and

  Ahmad suhelmi, Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama, 2007 Hal: 226-228 balances (saling koreksi, saling mengimbangi). Kendatipun demikian, jalannya Trias Politika di tiap negara tidak selamanya serupa, mulus atau tanpa halangan.

I.7 Metodologi Penelitian Adapun metode penelitian yang digunakan penulis adalah metode deskriptif.

  Metode deskriptif diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga maupun masyarakat dan lain-lain pada saat sekarang bardasarkan

   fakt-fakta yang tampak sebagaimana adanya .

  Tujuan dasar penelitian deskriptif ini adalah membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, seta hubungan antara fenomena yang diselidiki. Jenis penelitian ini tidak sampai mempersoalkan jalinan hubungan antar variabel yang ada, tidak dimaksudkan untuk menarik generalisasi yang menjelaskan variabel-variabel yang menyebabkan suatu gejala atau kenyataan sosial. Karenanya pada penelitian deskriptif tidak menggunakan atau tidak melakukan pengujian hipotesa seperti yang dilakukan pada penelitian ekspalanatif berarti tidak dimaksudkan untuk membangun dan mengembangkan

   perbendaharaan teori.

  24 25 Hadawari Nawawi, 1987, Metodologi Penelitian Ilmu Sosial, Yogjakarta: Gajah Mada University press, hal 63

Sanafiah Faisal, 1995. Format Penelitian Sosial Dasar-Dasar Aplikasi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,

Hal. 20.

  7.1 Jenis Penelitian

  Studi ini pada dasarnya bertumpu pada penelitian kualitatif. Aplikasi penelitian kualitaif ini adalah konsekuensi metodologis dari penggunaan metode deskriptif. Bogdan dan Taylor mengungkapkan bahwa ”metodelogi kualitaif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau

  

  lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan atau proses penjaringan informasi dari kondisi sewajarnya dalam kehidupan suatu obyek, dihubungkan dengan pemecahan masalah, baik dari sudut pandang teoritis maupun praktis.

  7.2. Teknik Pengumpulan Data Data-data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui teknik dokumentasi.

  Data-data yang bersumber dari beragam media (buku, jurnal, buletin, majalah, skripsi, dan sebagainya) yang relevan dengan topik penelitian tersebut setelah dihimpun kemudian dipilah melalui proses pembacaan yang cermat dan pencatatan dalam rangka untuk menemukan data-data pokok yang dinilai sebagai bahan utama penelitian yang akan mempermudah penulis dalam melakukan langkah-langkah (proses) penelitian selanjutnya.

  7.3. Teknik Analisis Data

  Teknik data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan 26 teknik analisis data deskriptif kualitatif, dimana teknik ini melakukan analisa atas Mohammad Natsir, 1983. Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia, hal. 105. masalah yang ada sehingga diperoleh gambaran jelas tentang objek yang akan diteliti dan kemudian dilakukan penarikan kesimpulan

I.8. Sistematika Penulisan

  Untuk mendapatkan suatu gambaran yang jelas dan lebih terperinci serta untuk mempermudah isi, maka penelitian ini terdiri ke dalam 4 (empat) bab, yakni:

BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini akan menguraikan dan menjelaskan mengenai latar

  belakang masalah, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian, dan sistematika penelitian.

  BAB II : KONFIGURASI POLITIK PEMERINTAHAN SBY- BOEDIONO 2009-2014 Dalam bab ini akan menggambarkan segala sesuatu yang mengenai

  objek penelitian yaitu bagaimana Kekuasaan Eksekutif, Kekuasaan Legislatif, Partai Politik Indonesia dan Sistem Kepartaian serta Sistem Presidensial Indonesia

  BAB III : ANALISIS DATA Bab ini nantinya akan berisikan tentang penyajian data dan fakta yang

  diperoleh dari buku-buku, jurnal, majalah, koran, serta internet dan juga akan menyajikan pembahasan dan analisis data dan fakta tersebut.

  BAB IV : PENUTUP Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan yang diperoleh

  dari hasil analisis data pada bab-bab sebelumnya serta berisi kemungkinan adanya saran-saran yang peneliti peroleh setelah melakukan penelitian.