BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Citra Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dalam iklan politik

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2009, partai politik dan kandidat peserta Pemilu mulai sibuk berkampanye. Menurut catatan Komisi Pemilihan Umum, ada 38 partai politik dan 6 partai lokal di Aceh yang bisa lolos menjadi peserta Pemilu tahun 2009 ini. Diperlukan usaha dan strategi kampanye dari masing-masing partai agar dapat menempati ruang khusus di hati masyarakat. Berbagai cara kampanye untuk mempersuasi masyarakat diterapkan guna meraih suara konstituen.

Dalam konstalasi politik menjelang Pemilu, peran citra dan popularitas Parpol atau kandidat menduduki posisi penting. Selain bertujuan untuk menjaring suara konstituen, popularitas juga berperan sebagai jalan untuk mengkonstruksi atau meningkatkan citra partai atau kandidat. Hasil studi Fritz Plasser et al (1999) sebagaimana dikutip Adman Nursal, menunjukkan fakor pertama yang mempengaruhi peluang kandidat untuk menang Pemilu di Eropa adalah image

atau citra. 1 Citra sebagai kunci kemenangan Pemilu juga menjadi keniscayaan di Indonesia sejak Pemilu 2004. Citra adalah gambaran manusia mengenai sesuatu,

atau jika mengacu pada Lippman, citra adalah persepsi akan sesuatu yang ada di

1 Adman Nursal, Political Marketing: Strategi Memenangkan Pemilu, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, halm 75 1 Adman Nursal, Political Marketing: Strategi Memenangkan Pemilu, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, halm 75

Citra bersifat abstrak dan tidak dapat diukur secara matematis, tetapi wujudnya bisa dirasakan dari penilaian baik atau buruk. Selain melalui penilaian baik atau buruk, citra dapat dirasakan melalui penerimaan tanggapan yang positif maupun negatif dari konstituen pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Tanggapan masyarakat tersebut berkaitan dengan timbulnya rasa hormat, kesan-kesan yang baik dan menguntungkan terhadap suatu citra partai politik atau kandidat.

Salah satu indikator berhasilnya pembentukan citra ini adalah dengan tingkat popularitas partai atau kandidat yang dinilai melalui survei yang diadakan kepada masyarakat. Kemudian dampak nyatanya berupa perolehan suara Parpol atau kandidat pada saat Pemilu berlangsung.

Pentingnya citra diri dalam peta politik juga dikemukakan oleh Yasraf Amir Piliang. Ia menyatakan dalam politik abad informasi, citra politik seorang tokoh yang dibangun melalui aneka media cetak dan elektronik seakan menjadi

2 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, hal 223 2 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, hal 223

menjadi politik pencitraan, yang merayakan citra ketimbang kompetensi politik. 3 Salah satu cara untuk mengkonstruksi citra Parpol atau kandidat yaitu

pengelolaan pesan melalui periklanan politik. Perubahan sistem Pemilu yang diselenggarakan secara langsung telah mendorong para kandidat politik menerapkan strategi kampanye yang menonjolkan figur, nama, tag line, seperti layaknya sebuah iklan. Konsekuensinya, saat menjelang Pemilu, masyarakat tidak hanya melihat produk shampo, kosmetik, atau mobil saja pada iklan-iklan di media massa, akan tetapi juga tampilan-tampilan dari tokoh peserta Pemilu dengan beragam jargon yang berbeda.

Nimmo mengatakan, jika dalam iklan komersial yang dipromosikan adalah penjualan produk barang atau jasa, maka dalam iklan politik yang dipromosikan adalah periklanan citra. Yaitu imbauan yang ditujukan untuk membina reputasi pejabat pemerintah atau yang menghendaki pejabat pemerintah, atau memberi informasi kepada khalayak tentang kualifikasi, pengalaman, latar belakang, dan kepribadian seorang politikus. Atau bisa juga untuk meningkatkan prospek

pemilihan kandidat atau mempromosikan program dan kebijakan tertentu. 4

3 Yasraf Amir Piliang, Narsisisme: Politik: Banalitas, Simplisitas, dan Minimalitas, dalam Sumbo Tinarbuko, Iklan Politik Dalam Realitas Media, Jalasutra, Yogyakarta, 2009, halm vii-xiii

4 Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999, hal 135

Periklanan politik, jika dibandingkan dengan propaganda atau retorika, merupakan salah satu cara kampanye yang dinilai lebih efisien di era kemajuan teknologi ini. Ade Armando mengatakan pada dasarnya kampanye dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu: kampanye melalui media massa (baik pemberitaan maupun iklan) dan kampanye melalui komunikasi sosial atau kampanye yang menggunakan jalur-jalur interpersonal. Keduanya saling melengkapi, namun efektifitas pilihan di antara keduanya sangat bergantung pada corak khalayak yang hendak dipengaruhi. Di pihak lain, dalam era banjir informasi saat ini, seorang kandidat yang tidak menggunakan sarana media massa

dengan baik hampir pasti akan gagal meraih dukungan masyarakat. 5 Diantara sekian banyak jenis media massa, televisi dianggap sebagai

media yang paling masif dalam mempersuasi konstituen. Dengan kecepatan penyampaian pesannya, televisi menjadi alternatif utama sebagai wahana kampanye yang efektif. Televisi dianggap lebih tepat sasaran karena daya jangkaunya luas dan mudah masuk dalam ingatan bawah sadar konstituen. Pengelolaan kesan lewat televisi, baik melalui berita, acara khusus atau iklan sangatlah penting karena televisi dapat melipatgandakan pengaruh impression

management 6 . Televisi bukan hanya bisa didengar tapi juga dilihat (audio visual). Pesannya lebih mudah direkam dalam benak pemirsanya, apalagi jika dibuat

menarik dan ditayangkan berkali-kali.

5 Ade Armando, Kampanye Melalui Media Massa: Keniscayaan di abad 21, dalam Maswadi Rauf et.al, Sistem Presidensial dan Sosok Presiden Ideal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, halm 181-

183 6 Dedy Mulyana, Nuansa-Nuansa Komunikasi, cet. Kedua, PT Remaja Rosdakarya, Bandung,

2001 halm. 90

Tak heran jika semakin mendekati waktu Pemilu, tingkat belanja iklan politik di media massa meningkat cukup tajam. Sepanjang 2008, riset AC Nielsen menunjukkan iklan politik menghabiskan dana Rp 2,2 triliun atau naik 66 persen dibandingkan tahun 2007. Sebesar Rp 1,31 triliun masuk media cetak, sisanya Rp

862 miliar di televisi dan Rp 86 miliar di majalah. 7 Sedangkan belanja iklan partai politik di media massa dalam kuartal pertama 2009 sudah mencapai Rp 1,065

triliun. Angka ini meningkat tiga kali lipat dibanding Pemilihan Umum 2004 lalu. 8 Beberapa partai politik yang mengalokasikan dana kampanyenya dalam porsi besar, terlihat gencar meramaikan belantika periklanan politik di televisi. Mereka antara lain Partai Golkar, Partai Gerindra, PDIP, dan Partai Demokrat. Hasil riset AC Nielsen dalam kuartal pertama 2009 memperlihatkan, Partai Golkar menempati posisi teratas dengan belanja iklan sebanyak Rp 185 Miliar dengan 16 ribu spot iklan. Disusul Partai Demokrat Rp 123 Miliar dalam 11 ribu spot dan

Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Rp 66 Miliar yakni 4 ribu spot iklan. 9 Semakin mendekati pelaksanaan waktu Pemilu, mereka gencar melakukan serangan udara lewat iklan politik dengan berbagai materi dan versi untuk mendongkrak popularitas dan membangun citra sehingga bisa menjaring suara konstituen.

Terkait dengan masalah citra dan politik, Neil Postman, seorang pedagog dan kritikus media, sebagaimana dikutip Aruman, mengatakan politik adalah show

7 Belanja Iklan Politik Habiskan Dana Rp 2,2 Triliun, http://www.liputan6.com/politik/?id=172256, diakses pada 25 Februari 2009, 06:47 WIB

8 Belanja Iklan Partai Politik Mencapai Rp 1 Triliun ,

http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2009/04/28/brk,20090428-173209,id.html, diakses pada

11 Mei 2009, 17.20 WIB

9 Ibid 9 Ibid

sebagian besar ditentukan oleh tokohnya. 10 Dari survei tersebut, ketika ditanya tentang ingatan apa yang muncul

ketika ditanyakan tentang partai politik, hampir semua responden menyebut nama tokoh. Misalnya, PDIP lekat dengan nama Megawati Soekarno Putri, Partai Gerindra dengan Prabowo Subianto, dan Partai Demokrat dengan Soesilo Bambang Yudhoyono. Dalam hal demikian, citra tokoh perlu dikemas sedemikian rupa sehingga agar memikat masyarakat. Ketika politik masih mengandalkan kharisma tokoh, maka figur sang tokoh harus dikemas sehingga semenarik mungkin.

Oleh karena itu, materi pesan iklan politik televisi yang banyak digunakan Parpol adalah menonjolkan figur tokoh yang identik dengan partai tersebut. Misalnya, isi pesan iklan PAN yang menonjolkan Sutrisno Bachir sebagai Ketua Umum PAN yang bertajuk ”Hidup adalah Perbuatan”. Lalu PDIP dengan pemimpinnya Megawati Soekarno Putri mengusung materi iklan ”Sembako Murah” untuk rakyat. Partai Gerindra dengan Prabowo Subianto-nya membawa ”Isu Perubahan” dalam berbagai versi iklannya. Serta Partai Demokrat dengan

10 Neil Postman dalam Aruman, ”Tirani Citra”, Majalah Mix Marketing Xtra, Edisi 01/VI/12 Januari-8 Februari 2009, hal 28 10 Neil Postman dalam Aruman, ”Tirani Citra”, Majalah Mix Marketing Xtra, Edisi 01/VI/12 Januari-8 Februari 2009, hal 28

Beragamnya isi pesan yang disampaikan melalui iklan politik menunjukkan betapa pentingnya mengemas pesan politik melalui sebuah

periklanan. Dalam Budi Setiyono 11 , Managing Director Frontier Research and Marketing Consultant, Handi, mengatakan bahwa partai politik harus

memperhatikan aspek komunikasi dalam membuat bentuk iklan. Dalam setting iklan, parpol perlu membuat dengan seksama pesan yang ingin disampaikan, media yang dipilih, dan strategi apakah yang dipilih untuk mengorbitkan tokoh, lambang atau program parpol.

Terkait dengan hal ini, Partai Demokrat dalam berbagai iklan politiknya selalu mengidentikkan dirinya dengan sosok SBY. Semua iklan dan atribut kampanye Partai Demokrat menampilkan pesan seragam: ”Partai Demokrat, bersama SBY.” Pada Pemilu 2004, Partai Demokat yang hanya menempati urutan kelima dengan perolehan suara dengan jumlah 7,45 persen suara nasional, bersama Partai Bulan Bintang dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, sukses mengantar SBY ke kursi presiden.

Dalam pembangunan citra Partai Demokrat, menurut Ketua Bidang Politik Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, memang disengaja dan disadari diidentikan

dengan figur Presiden SBY. 12 Berdasarkan hasil riset, Anas menyadari ada kesenjangan besar antara tingkat keterpilihan SBY dan Partai Demokrat. Oleh

karena itu, dalam strategi kampanye, mereka lalu memutuskan untuk mengatrol

11 Budi Setiyono, Iklan dan Politik: Menjaring Suara dalam Pemilihan Umum, AdGoal Com, Jakarta, 2008, halm 21

12 ”Anak Bawang Pembawa Bola,” Majalah Tempo Edisi 13-19 April 2009, halm 27-29 12 ”Anak Bawang Pembawa Bola,” Majalah Tempo Edisi 13-19 April 2009, halm 27-29

Konsekuensinya, sebagai partai yang berada di belakang pemerintah saat ini, citra Partai Demokrat pararel dengan citra Pemerintahan SBY. Setiap kali pemerintah mengambil keputusan tak populer, seperti kenaikan harga BBM, citra Yudhoyono merosot, begitu juga Partai Demokrat. Sebaliknya, citra Partai Demokrat akan terdongkrak jika pemerintah memutuskan kebijakan populis, seperti program BLT dan menurunkan harga BBM.

Hal ini pula lah yang dimanfaatkan Partai Demokrat dalam materi pesan iklan politiknya. Pada pertengahan Januari hingga pertengahan Februari 2009, Partai Demokrat mengeluarkan iklan politik bertajuk ”Berjuang untuk Rakyat” dengan berbagai versinya dan dengan jargon Lanjutkan!. Misalnya versi Penurunan Harga BBM dan Versi Harga Sembako I dan II, dan versi Anggaran Pendidikan Nasional.

Dalam iklan versi Penurunan Harga BBM, disebutkan bahwa Pemerintahan Presiden SBY berhasil menurunkan harga BBM sebanyak tiga kali dalam sejarah Indonesia, sehingga berimplikasi pada kesejahteraan rakyat kecil seperti supir angkutan, nelayan, dan petani karena setelah harga BBM turun, beban hidup mereka menjadi lebih ringan. Dalam iklan versi Anggaran Pendidikan Nasional, ditunjukkan bahwa pengalokasian 20% APBN untuk anggaran pendidikan nasional bisa membuat civitas akademis menjadi dimudahkan.

Sedangkan dalam iklan versi Penurunan Harga Sembako, disebutkan bahwa pemerintahan Presiden SBY berhasil menurunkan harga-harga seperti harga BBM, tarif listrik industri, minyak goreng, serta tarif angkutan umum. Sehingga tingkat kepuasan rakyat terhadap pemerintahan Presiden SBY semakin meningkat. Klaim-klaim keberhasilan SBY dalam iklan politik tersebut dikemas begitu rupa sehingga tidak penting apakah pemerintah benar-benar bekerja untuk itu.

Partai Demokrat dan SBY menggunakan isu sukses pemerintah sebagai materi iklan politiknya. Hal ini memang lebih mudah dilakukan oleh SBY dan Partai Demokrat. Sebagai incumbent, untuk mencitrakan diri, Presiden SBY mempunyai kesempatan besar dalam mengeksploitasi kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai berhasil dan menyentuh masyarakat lapisan bawah. Misalnya, adanya program Bantuan Langsung Tunai (BLT), pembagian beras untuk rakyat miskin (Raskin), pemberantasan korupsi, dan penurunan harga-harga seperti harga BBM, harga sembako, tarif listrik industri, dan tarif angkutan umum.

Pemanfaatan kebijakan-kebijakan populis tersebut digunakan untuk membangun citra diri SBY dan Partai Demokrat sebagai modal untuk menjaring suara konstituen saat Pemilu berlangsung. Hal ini karena kebijakan pemerintah terkait erat dengan pemimpin tertinggi Pemerintahan, yaitu Presiden. Partai Demokrat pun sebagai kendaraan politik SBY, juga mempunyai kesempatan yang sama untuk memanfaatkannya. Apalagi Presiden SBY sekaligus menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat.

Isi pesan iklan politik Partai Demokrat melalui televisi yang ditayangkan sejak awal 2009 terlihat cukup berhasil dalam mencitrakan figur SBY. Hal ini nampak dalam hasil survei berbagai lembaga yang konsisten menempatkan popularitas SBY selalu di urutan teratas. Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang diumumkan pada 4 Januari 2009, memperlihatkan popularitas SBY semakin jauh meninggalkan tokoh-tokoh lain. Dari hasil riset LSI bertema "Rasionalitas Pemilih Kontestasi Partai Menjelang Pemilu 2009", SBY menangguk 43 persen suara dari 2.200 responden. Angka tersebut jauh meninggalkan suara yang diperoleh Megawati yaitu 19 persen, serta tokoh-tokoh lainnya yang hanya

mendapat tak lebih dari 5 persen suara. 13 Perolehan SBY itu mengalami peningkatan dari hasil survei LSI

sebelumnya, di mana SBY hanya mendapat 32 persen suara. Menurut Direktur LSI, Saiful Mujani, kenaikan popularitas SBY lebih banyak disebabkan oleh citra kebijakan SBY yang dinilai baik oleh masyarakat. Menurutnya, sampai Desember 2008, publik menerima informasi tentang sukses pemerintah SBY dibanding pemerintah sebelumnya, secara lebih masif. Misalnya tentang penurunan harga BBM, pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan penurunan harga-harga.

Pada saat yang tidak jauh berbeda, popularitas Partai Demokrat pun juga meningkat. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan LSI pada 8-18 Februari 2009, menunjukkan 55,3 persen responden menyukai iklan partai Demokrat. Selain itu, jenis iklan yang paling berpengaruh terhadap para pemilih adalah iklan televisi dengan jumlah 59,7 persen. Sedangkan menurut hasil survei LP3ES, LIPI, CSIS,

13 Popularitas SBY Kian Menguat, http://politik.vivanews.com/news/read/19304- popularitas_sby_menguat, diakses pada 11 Agustus 2009, pukul 08.01 WIB

PUSKAPOL UI yang berlangsung pada 9-20 Februari 2009, seperti yang dirangkum Majalah Tempo, menunjukkan jika dibandingkan dengan partai besar lainnya --seperti PKS, PDIP, PKB, PPP dan Partai Golkar-- Partai Demokrat

dipilih responden diurutan teratas (31,8 %) karena faktor figur. 14 Sebelumnya, terutama pada Juni 2008, ketika pemerintahan SBY menaikkan harga bahan bakar minyak hingga tiga kali, Partai Demokrat hanya berada di posisi ketiga dalam survei Saiful, dengan angka 9%, jauh berada di bawah Golkar (20%) dan PDIP (24%). Namun setelah November 2008 hingga Maret 2009, Partai Demokrat makin melesat dalam setiap survei. Berdasarkan survei sejumlah lembaga seperti LSI, LP3ES, Lembaga Riset Informasi (LRI), Reform Institute, CSIS, LIPI dan Puskapol UI, memperlihatkan Partai Demokrat

selalu mendapat perolehan suara di atas 20%. 15

Dalam pandangan Direktur LSI, Kustrido Ambardi, naiknya perolehan suara Partai Demokrat sampai 200 persen lebih, disebabkan identifikasi partai ini dengan figur SBY. Selain itu, ada kecenderungan program-program pemerintah yang pro-rakyat diasosiasikan dengan figur SBY. Sedangkan menurut Direktur Lingkaran Survei Indonesia, Denny J.A, Partai Demokrat unggul dalam variabel

citra dan efek program BLT. 16 Melihat realita di atas, popularitas dan citra Parpol atau citra kandidat

salah satunya memang dipengaruhi oleh pemilihan isi pesan iklan politik televisi. Iklan politik televisi bertujuan informatif persuasif, namun ia hanya bersifat

14 “Contreng Partai, Bukan Caleg,” Majalah Tempo Edisi 30 Maret-5 April 2009, halm 89 15 ”Lompatan Jauh Partai Demokrat,” Majalah Gatra No. 22 Tahun XV Edisi 9-15 April 2009,

halm 14-17 16 Ibid halm 14-17 16 Ibid

Kesederhanaan pesan menjadi kunci dalam iklan politik televisi. Pesan yang sederhana mudah diingat, bahkan kalau populer, itu bisa terlontar begitu saja dalam percakapan sehari-hari, misalnya kata Lanjutkan! Apalagi kalau tema isi pesannya menyangkut isu-isu yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti harga BBM dan Harga Sembako. Semua itu demi citra sang kandidat atau Parpol yang beriklan. Pengelolaan pesan yang baik, akan menetukan berbagai makna yang terkandung di dalamnya. Dalam iklan politik televisi Partai Demokrat dengan berbagai versinya yang bertema “Berjuang untuk Rakyat”, jelas terlihat ingin mencitrakan dirinya dan Presiden SBY. Hal ini nampak pada isi pesan iklan tersebut yang selalu mengkaitkan dengan kinerja Presiden SBY selama menjabat hampir lima tahun, dan mengklaimnya sebagai sebuah keberhasilan.

Citra memang menentukan, oleh karena itu pembentukan citra melalui teks-teks iklan politik, betapapun kurang jujur dan penuh polesan, bisa menentukan keberhasilan kampanye. Apalagi tayangan yang ditampilkan dalam iklan televisi adalah realitas yang belum tentu sesuai dengan realitas sebenarnya. Realitas yang ditampilkan media adalah realitas yang sudah diseleksi. Televisi memilih setting-setting tertentu dengan mengesampingkan kondisi-kondisi yang

lain. 17 Karena televisi melaporkan dunia nyata secara selektif, sudah tentu bisa mempengaruhi pembentukan citra tentang obyek yang diiklankan. Hal tersebut

17 Jalaludin Rakhmat, Op Cit, halm 224 17 Jalaludin Rakhmat, Op Cit, halm 224

Menurut Garin Nugroho, persuasi yang terkandung dalam iklan politik bukan hanya sekedar untuk menjaring suara, namun juga memuat pertempuran berbagai unsur-unsur kekuasan yang kompleks. Misalnya pertempuran sosial masyarakat terhadap ketokohan, harga diri, mengembalikan kehormatan, maupun

pertunjukan kekuatan kekuasan di depan rakyat. 18 Dari pernyataan Garin di atas, sebuah iklan politik bisa membawa suatu wacana, misalnya tentang pertempuran kekuasaan.

Hal ini menunjukkan bahwa teks-teks iklan politik bisa membawa suatu wacana tertentu dalam materi isi pesannya. Oleh karena itu, peneliti akan meneliti lebih lanjut mengenai wacana-wacana tertentu, khususnya tentang citra Presiden SBY, yang ditampilkan di balik teks-teks pesan iklan politik televisi Partai Demokrat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan latar belakang masalah tersebut di atas, maka rumusan masalah pokok dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Wacana-wacana apa saja yang dikemas tentang citra Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dalam teks-teks iklan politik televisi Partai Demokrat versi Penurunan Harga BBM, versi Harga Sembako I dan II, dan versi Anggaran Pendidikan Nasional?

18 Garin Nugroho, Opera Sabun SBY, Televisi dan Komunikasi Politik, Nastiti, Jakarta, 2004, halm 161

2. Bagaimana wacana-wacana tentang citra Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono tersebut dikonstruksikan dalam teks-teks iklan politik televisi Partai Demokrat versi Penurunan Harga BBM, versi Harga Sembako I dan II, dan versi Anggaran Pendidikan Nasional?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini, sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui wacana-wacana apa saja yang dikemas tentang citra Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dalam teks-teks iklan politik televisi Partai Demokrat versi Penurunan Harga BBM, versi Harga Sembako I dan II, dan versi Anggaran Pendidikan Nasional.

2. Untuk mengetahui bagaimana wacana-wacana tentang citra Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono tersebut dikonstruksikan dalam teks-teks iklan politik televisi Partai Demokrat versi Penurunan Harga BBM, versi Harga Sembako I dan II, dan versi Anggaran Pendidikan Nasional.

D. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan akan dapat diperoleh manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah perkembangan dalam teori komunikasi, khususnya mengenai wacana iklan politik televisi, dan 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah perkembangan dalam teori komunikasi, khususnya mengenai wacana iklan politik televisi, dan

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai masukan bagi pembaca bahwa di balik pesan-pesan iklan politik yang disampaikan melalui televisi terdapat wacana-wacana yang ingin disampaikan, misalnya tentang pembentukan citra tokoh dan partai politik.

b. Sebagai masukan untuk praktisi periklanan bahwa pengelolaan pesan dalam iklan politik melalui televisi dapat digunakan untuk membangun citra tokoh atau partai politik sebagai salah satu usahanya untuk memenangi pemilihan umum.

E. Telaah Pustaka

1. Komunikasi sebagai Produksi dan Pertukaran Makna

Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis, yang berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna. 19 Hal ini misalnya ditunjukkan dalam sebuah percakapan. Komunikasi bisa terus berlangsung kalau orang-orang yang terlibat di dalamnya bisa memaknai percakapan tersebut.

Pengertian di atas masih bersifat dasar, sehingga masih banyak kemungkinan perluasan tentang arti komunikasi. Begitu banyak konseptualisasi mengenai komunikasi, dan konseptualisasi ini mengalami banyak perkembangan

19 Onong U Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, PT Remaja Rosdakarya, Bandung , 1995, hal 9 19 Onong U Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, PT Remaja Rosdakarya, Bandung , 1995, hal 9

Sedangkan Richard West dan Lynn Turner, seorang pakar komunikasi, mendefinisikan komunikasi sebagai proses sosial di mana individu-individu menggunakan simbol-simbol untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna

dalam lingkungan mereka. 21 Dengan demikian, komunikasi merupakan suatu proses yang juga melibatkan unsur-unsur budaya yang terdapat dalam lingkungan

mereka. John Fiske, dalam salah satu karyanya yang berjudul Cultural and Communication Studies, melihat adanya keterkaitan erat antara unsur-unsur budaya dan komunikasi dalam membangun relasi dan kehidupan bersama di tengah kemajuan teknologi komunikasi massa, khususnya televisi. Ia menegaskan bahwa komunikasi adalah sentral bagi kehidupan budaya kita. Tanpa komunikasi, kebudayaan apapun akan mati. Konsekuensinya, komunikasi melibatkan studi

kebudayaan dan berintegrasi. 22

20 Dan Nimmo, Op Cit, hal 6 21 Richard West & Lynn H Turner, Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi Edisi 3,

Salemba Humanika, Jakarta, 2008, halm 5 22 John Fiske, Cultural And Communication Studies, Sebuah Pengantar Paling Komperehensif,

cet. IV, Yogyakarta: Jalasutra, 2007, hal. xi

Secara umum, Fiske mendefinisikan komunikasi sebagai “interaksi sosial melalui pesan.” 23 Dari pernyataan tersebut, yang ditekankan dalam komunikasi adalah pada interaksi sosial dan pada pesannya. Oleh karena itu, ia membagi studi komunikasi ke dalam dua mahzab utama. Mahzab pertama melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Ia tertarik dengan bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan menerjemahkannya (decode). Serta bagaimana transmiter menggunakan saluran dan media komunikasi. Mahzab ini juga melihat komunikasi sebagai proses yang dengannya seorang pribadi

mempengaruhi pribadi yang lain dalam interaksi sosial. 24

Mahzab yang kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna . Ia berkenaan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang-orang dalam rangka menghasilkan makna; yakni ia berkenaan dengan peran teks dalam kebudayaan. Bagi mahzab ini, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan. Ia menilai interaksi sosial sebagai yang membentuk individu

sebagai anggota dari suatu budaya atau masyarakat tertentu. 25 Bagi mahzab yang melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran

makna, pesan merupakan suatu konstruksi tanda yang melalui interaksinya dengan penerima, kemudian menghasilkan makna. Pengirim, yang didefinisikan sebagai transmiter pesan, menurun arti pentingnya. Penekanan begeser pada teks dan bagaimana teks itu “dibaca”. Membaca adalah proses menemukan makna yang terjadi ketika pembaca berinteraksi atau bernegoisasi dengan teks. Negosiasi ini terjadi karena pembaca membawa aspek-aspek pengalaman budayanya untuk

23 Ibid, hal. 8 24 Ibid 25 Ibid, hal. 9 23 Ibid, hal. 8 24 Ibid 25 Ibid, hal. 9

menemukan makna yang berbeda pada teks yang sama. 26 Menurut Fiske, hal ini bukanlah bukti yang penting dari kegagalan komunikasi. Mencapai makna merupakan hal yang penting dalam proses komunikasi. Memahami pesan adalah tujuan dari semua proses pemaknaan. Makna, karenanya, mengharuskan aktor komunikasi untuk menilai pemikiran mereka mengenai pesan-pesan dan juga menilai bagaimana orang lain menginterpretasikan pesan tersebut.

2. Iklan Politik Sebagai Unsur Komunikasi Politik

Untuk mendefinisikan istilah komunikasi politik, sebelumnya harus diketahui terlebih dulu pengertian tentang komunikasi dan politik. Bagian sebelumnya telah disebutkan mengenai pengertian istilah komunikasi. Menurut Nimmo, komunikasi adalah proses interaksi sosial yang digunakan orang untuk menyusun makna yang merupakan citra mereka mengenai dunia (yang berdasarkan itu mereka bertindak) dan untuk bertukar citra itu melalui simbol- simbol.

Sedangkan istilah politik, sama seperti komunikasi, adalah sebuah proses, dan politik juga melibatkan pembicaraan. Ini bukan pembicaraan dalam arti sempit seperti kata yang diucapkan, melainkan pembicaraan dalam arti yang lebih

26 Ibid, hal 10 26 Ibid, hal 10

komunikasi politik dan akibat-akibat komunikasi politik. 28 Periklanan politik menurut Nimmo merupakan salah satu cara utama

mengenai persuasi politik. Jika dalam periklanan produk yang dipromosikan adalah penjualan barang atau jasa, maka dalam dunia politik menurut Nimmo yang ada ialah periklanan citra, yaitu imbauan yang ditujukan untuk membina reputasi pejabat pemerintah atau yang menghendaki menjadi pejabat pemerintah; memberi informasi kepada khalayak tentang kualifikasi, pengalaman, latar belakang, dan kepribadian seorang politikus; dan meningkatkan prospek

pemilihan kandidat atau mempromosikan program dan kebijakan tertentu. 29 Sebagai bagian dari komunikasi politik, di dalam iklan politik juga terdapat pembicaraan dalam arti inklusif seperti yang dijelaskan di atas, yaitu

27 Dan Nimmo, Op Cit, halm 8 28 Ibid, halm vii 29 Ibid, halm 135 27 Dan Nimmo, Op Cit, halm 8 28 Ibid, halm vii 29 Ibid, halm 135

Dalam Advertising Excellence, Bovee (1995) 30 mendeskripsikan iklan sebagai sebuah proses komunikasi, dimana terdapat: pertama, orang yang disebut

sebagai sumber munculnya ide iklan; kedua, media sebagai medium; ketiga, adalah audiens.

Masukan

Balik

Jika mereka Jika saya beli ini, membeli ini,

saya akan lebih mereka akan lebih

produktif produktif

Encoding decoding

Beli ini dan kamu akan bekerja lebih

produktif

Individu (noise)

Sumber Medium Audiens

Gambar 1.1 Iklan Sebagai Proses Komunikasi Sumber: Boove, 1995: 14 dalam Bungin (2008)

30 Bovee, Courdand L., Advertising Exellence, McGraw-Hill, Inc, New York, 1995, p.14, dalam Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, Kencana Prenada Group, Jakarta, 2008, hal 108

Gambar di atas memuat muatan ide seseorang atau kelompok, baik itu pemesan iklan (perusahaan pemilik produk) atau pencipta iklan (perusahaan periklanan), untuk memberi citra kepada sebuah produk (politik) yang diiklankan. Karena itu ide-ide tersebut harus dikomunikasikan kepada khalayak agar ide tersebut dapat diterima dan juga untuk materi masukan balik.

Terjadi proses dilaketika dalam proses komunikasi tersebut, dimana individu menciptakan ide yang dikomunikasikan dan audiens memberi respons serta memberi masukan terhadap ide-ide baru dalam proses komunikasi tersebut.

Dalam proses menuangkan ide ke dalam pesan, terjadi proses encoding dimana ide itu dituangkan dalam bahasa iklan yang meyakinkan orang. Media kemudian mengambil alih ide itu dan kemudian dikonstruksi menjadi bahasa media. Pada tahap ini terjadi decoding karena audiens menangkap bahasa media itu dan membentuk pengetahuan-pengetahuan atau realitas, dan pengetahuan itu bisa mendorongnya merespons balik kepada iklan tersebut.

3. Iklan Politik Televisi

Menurut Pawito, periklanan (politik) merupakan suatu strategi yang sangat penting dalam kampanye dan pemasaran politik modern. Periklanan bukan satu- satunya alat pemasaran politik. Partai politik atau kandidat pemasang iklan biasanya memberikan kontrol yang nyaris sempurna terhadap iklan mereka. Akan tetapi, karakter penyampaian pesan secara sangat massif dan menjangkau publik Menurut Pawito, periklanan (politik) merupakan suatu strategi yang sangat penting dalam kampanye dan pemasaran politik modern. Periklanan bukan satu- satunya alat pemasaran politik. Partai politik atau kandidat pemasang iklan biasanya memberikan kontrol yang nyaris sempurna terhadap iklan mereka. Akan tetapi, karakter penyampaian pesan secara sangat massif dan menjangkau publik

Menurut Nursal, promosi dalam bentuk iklan hanya merupakan satu subbagian dari strategi pemasaran politik. Pergulatan orang-orang periklanan hanyalah satu bagian dari beberapa mata rantai bauran pemasaran, yang lazim disingkat 4P (product, price, promotion, dan place). Jika memakai bauran pemasaran, product berarti partai, manusianya (misalnya ketua umum), dan gagasan-gagasan partai yang akan disampaikan kepada konstituen. Price bisa dilihat sebagai suatu harga untuk para pendukungnya misalnya iuran bulanan bagi pengurus maupun kader, bisa juga atribut dan merchandising dari partai tersebut. Selanjutnya adalah promotion atau suatu upaya periklanan, kehumasan, dan promosi untuk sebuah partai yang di-mix sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Place merupakan tempat konstituen dapat menemukan berbagai hal dari partai tersebut. Misalnya Posko PDI-P, yang sebenarnya diharapkan sebagai pos pengamanan.

31 Pawito, Komunikasi Politik: Media Massa dan Kampanye Pemilihan, Yogyakarta, Jalasutra, 2009, halm 239

32 Budi Setiyono, Op Cit, haml 18

Sedangkan Daniel J. Paré & Flavia Berger menyitir pendapat Scammell, terkait dengan political marketing mengemukakan sebagai berikut: 33 .... political marketing is primarily about tactical campaign issues (e.g.,

image advertising, branding) and the use of sales techniques during campaigns. Instead it postulates that political marketing is, fundamentally, about organizational behaviour and the design of political products. The “products” are seen to be comprised, foremost, of intangibles such as how

a political party performs in terms of its leadership, Members of Parliament and candidates, membership, staff, symbols, constitution, and its activities such as party conferences and policies.

Dari penjelasan di atas, periklanan citra sebagai salah satu teknik berkampanye merupakan bagian dari marketing politik. Selain itu, marketing politik juga merupakan perilaku organisasional dan bagian dari produk politik. Selain marketing politik, produk politik lainnya juga berupa anggota dan pengurus partai, ketentuan dan kebijakan Partai, serta lambang partai.

Salah satu karakter modernisasi kampanye adalah digunakannya televisi sebagai medium utama kampanye. Menurut Holtz-Bacha dan Kaid (2006) sebagaimana dikutip Danial, televisi digunakan oleh partai politik dan kandidat setidaknya melalui dua cara, yaitu melalui pemberitaan dan iklan politik. Dengan perkembangan baru di bidang teknologi komunikasi, Kaid dan Holtz-Bacha (1995) mendifinisikan iklan politik sebagai “any controlled message communicated through any channel designed to promote the political interest of individuals, parties, groups, goverments, or other organizations .” Definisi ini tidak saja menitikberatkan pada aspek kontrol dan promosional dari iklan politik

33 Daniel J. Paré & Flavia Berger, “Political Marketing Canadian Style? The Conservative Party and the 2006 Federal Election,” Canadian Journal of Communication, Vol 33, 2008, p. 39-63 33 Daniel J. Paré & Flavia Berger, “Political Marketing Canadian Style? The Conservative Party and the 2006 Federal Election,” Canadian Journal of Communication, Vol 33, 2008, p. 39-63

format dan saluran penyampaian pesan politik. 34

Iklan politik, khususnya iklan audiovisual, memainkan peranan strategis dalam political marketing. Riset Falkow & Cwalian dan Kaid menunjukkan, iklan

politik berguna untuk beberapa hal: 35

a. Membentuk citra kontestan dan sikap emosional terhadap kandidat.

b. Membantu para pemilih untuk terlepas dari ketidakpastian pilihan karena mempunyai kecenderungan untuk memilih kontestan tertentu.

c. Alat untuk melakukan rekonfigurasi citra kontestan.

d. Mengarahkan minat untuk memilih kontestan tertentu.

e. Mempengaruhi opini publik tentang isu-isu tertentu.

f. Memberi pengaruh terhadap evaluasi dan interpretasi para pemilih terhadap kandidat dan even-even politik.

Joslyn dalam Danial, menyebutkan ada dua macam fokus utama isi iklan politik televisi, yaitu iklan isu atau program dan iklan citra kandidat. Yang dimaksud dengan “iklan isu” adalah iklan-iklan politik televisi kandidat yang fokus pada isu-isu yang menjadi concern masyarakat secara umum atau posisi kebijakan, seperti kebijakan ekonomi, pajak, kebijakan luar negeri, topik-topik yang terkait dengan kesejahteraan sosial, dan lain-lain. Sedangkan yang dimaksud dengan iklan yang lebih menjual citra adalah iklan-iklan politik televisi yang lebih ”menjual” karakteristik personal atau kualitas yang ada pada sang kandidat, seperti latar belakang, pengalaman, langkah atau prestasi yang telah dibuat

sebelum pencalonan, karakter, dan sebagainya. 36

Iklan-iklan politik televisi di Indonesia, menurut Danial masih lebih fokus untuk menjual kandidat atau parpol serta hanya sampai pada level meningkatkan

34 Akhmad Danial, Iklan Politik TV: Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru, LKiS, Yogyakarta, 2009, halm 93-94

35 Budi Setiyono, Op Cit, halm 346-347 36 Akhmad Danial, Op Cit, halm 91 35 Budi Setiyono, Op Cit, halm 346-347 36 Akhmad Danial, Op Cit, halm 91

hanya menutupi track record kandidat yang sebenarnya. 37 Wiranto, dalam diskusi bertajuk “Dengan Iklan Politik Menuju Kontrak

Politik”, mengatakan iklan-iklan politik TV lahir karena perkembangan politik di Indonesia dewasa ini memang menempatkan citra sebagai prioritas penting. Hal ini dipicu oleh peran media yang telah sedemikian maju dibandingkan pada Pemilu-pemilu sebelumnya. Media telah digunakan untuk menjangkau target konstituen politik, mencapai tujuan politik, dan mengatasi hambatan-hambatan komunikasi secara geografis ataupun psikografis mengingat besarnya jumlah dan

luasnya sebaran konstituen. 38 Diantara sekian banyak jenis media massa, televisi memang dianggap

sebagai media yang paling masif dalam mempersuasi konstituen. Dengan kecepatan penyampaian pesannya, televisi menjadi alternatif utama sebagai wahana kampanye yang efektif. Televisi dianggap lebih tepat sasaran karena daya jangkaunya luas dan mudah masuk dalam ingatan bawah sadar konstituen. Pengelolaan kesan lewat televisi, baik melalui berita, acara khusus atau iklan sangatlah penting karena televisi dapat melipatgandakan pengaruh impression management (pengelolaan kesan).

37 Ibid, halm 232 38 H. Wiranto, SH, Ajakan untuk Saling Peduli, Makalah pada Diskusi Publik: Dengan Iklan

Politik Menuju Kontrak Politik, diselenggarakan oleh asosiasi Pascasarjana UI, Hotel Peninsula Jakarta, 19 November 2008, sebagaimana dikutip Akhmad Danial, Ibid, halm 190

Mengacu pada Schweiger dan Adami (1999), presentasi yang efektif tidak cukup dengan kata-kata melainkan juga gambar. Manusia adalah “binatang mata”. Menurut pepatah Cina, satu gambar menghasilkan seribu makna. Karena itu, gambar yang baik akan membantu efektivitas presentasi. Setidaknya ada empat alasan mengapa gambar mengahasilkan efek yang lebih baik dibandingkan dengan

kata-kata: 39

a. Dicamkan dan disimpan lebih dulu dibandingkan dengan kata-kata.

b. Merupakan alat aktivasi atau stimulus informasi yang lebih cepat dibandingkan teks.

c. Lebih mudah diingat dibandingkan dengan kata.

d. Bisa digunakan untuk menciptakan citra positif produk.

Televisi bersifat audio visual, sehingga teks-teksnya disesuaikan dengan sifat-sifat televisi. Spot iklan televisi yang rata-rata berdurasi 15 detik hingga 60 detik menuntut pesan yang bermakna dan mengena dirangkai dalam teks-teks yang singkat, sederhana dan mudah diingat. Terjadi proses pemilahan dan pemilihan kata-kata dan gambar-gambar yang akan ditayangkan. Dengan kata lain, realitas yang ditampilkan media (televisi) adalah realitas yang sudah diseleksi atau disebut dengan second hand reality. Televisi memilih setting-setting tertentu dengan mengesampingkan setting-setting yang lain.

Iklan politik melalui media massa, khususnya televisi, melaporkan dunia nyata secara selektif melalui penyeleksian kata-kata, teknik pengambilan gambar dan pemilihan setting-seting tertentu, sehingga bisa mempengaruhi pembentukan citra tentang lingkungan sosial yang kadang timpang, bias, dan kurang cermat.

39 Adman Nursal, Op Cit, halm 221

Hal ini disesuaikan dengan maksud si pembuat realitas (perancang iklan atau aktor politik yang beriklan).

Iklan dalam menyampaikan pesannya selalu menggunakan simbol-simbol. Karena simbol atau lambang adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu yang lainnya berdasarkan kesepakatan yang diyakini bersama oleh sekelompok orang. Penggunaan simbol memungkinkan perkembangan bahasa dan menangani hubungan antara manusia dengan objek (baik nyata ataupun

abstrak) tanpa kehadiran manusia dan objek tersebut. 40 Simbolisme dalam iklan memiliki tiga macam bentuk, 41 pertama adalah

citra atau image, yang bisa berupa representasi verbal maupun visual. Iklan lebih sering menggunakan bentuk-bentuk pictorial (visual) dan verbal secara simultan. Istilah citra sendiri sebetulnya bisa mengandung konotasi negatif. Hal ini terutama ketika citra diaplikasikan pada appearance yang hanya merupakan manipulasi karakter-karakter yang dangkal untuk tujuan misrepresentasi. Atau, ketika citra itu dianggap menyesatkan karena menyampaikan sesuatu yang tidak bisa diperdayakan atau memiliki daya tarik yang tidak jujur. Bentuk simbolisme yang kedua disebut ikon. Ikon sering disamakan dengan aspek pictorial citra. Ikon mengacu pada iklan yang elemen-elemen piktorial atau visualnya mendominasi pesan secara keseluruhan. Bentuk simbolisme yang ketiga adalah simbol, yaitu tanda tentang sesuatu yang bisa dilihat dan keberadaannya mengacu pada sesuatu yang lain. Periklanan modern begitu mengagungkan cara-cara komunikasi melalui

40 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2004, hal 84

41 Ratna Noviani, Jalan Tengah Memahami Iklan, Yogyakarta, Pustaka Pelahar, 2002, hal 28-29 41 Ratna Noviani, Jalan Tengah Memahami Iklan, Yogyakarta, Pustaka Pelahar, 2002, hal 28-29

4. Konstruksi Citra Dalam Iklan Politik Televisi

Dalam konteks kampanye pemilihan, citra adalah bayangan, kesan, atau gambaran tentang suatu objek terutama partai politik, kandidat, elite politik, dan pemerintah. Citra positif diyakini sebagai bagian terpenting dari tumbuhnya preferensi-preferensi calon pemilih terhadap partai atau kandidat. Citra terbentuk

oleh paduan antara informasi dengan pengalaman. 42

Berbagai studi di berbagai negara yang menerapkan pemilihan umum yang terbuka dan kompetitif menunjukkan bahwa yang paling penting di atas segalanya adalah citra (image favourability) si kandidat. Menurut Armando, bisa dikatakan, seorang kandidat yang sudah tercemar namanya secara serius di kalangan luas, tak

akan bisa lolos dalam kompetisi terbuka dan objektif. 43 Oleh karena itu pembentukan citra kandidat atau partai politik memegang peranan yang penting dalam kampanye pemilihan.

Menurut Pawito, 44 upaya membangun citra dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pertama, memberikan penonjolan-penonjolan pada kesuksesan atau keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai di masa lampau. Kedua, menumbuhkan asosiasi pemikiran tentang partai atau kandidat dengan kebesaran sejarah di masa lampau, seperti kejayaan bangsa, pemimpin kharismatis yang

42 Pawito, Komunikasi Politik: Media Massa dan Kampanye Pemilihan, halm 264 43 Ade Armando, Op Cit, dalam Maswandi Rauf, Op Cit, halm 185 44 Pawito, Komunikasi Politik: Media Massa dan Kampanye Pimilhan, halm 265 42 Pawito, Komunikasi Politik: Media Massa dan Kampanye Pemilihan, halm 264 43 Ade Armando, Op Cit, dalam Maswandi Rauf, Op Cit, halm 185 44 Pawito, Komunikasi Politik: Media Massa dan Kampanye Pimilhan, halm 265

Ketiga , memberikan penonjolan orientasi ke depan, misalnya dengan kecanggihan teknologi dan optimisme kemajuan-kemajuan di masa akan datang. Keempat , atau yang terakhir, menghadirkan tokoh-tokoh tertentu demi munumbuhkan dan memperkokoh keyakinan akan kuat atau luasnya dukungan termasuk tokoh-tokoh adat, tokoh masyarakat, dan pemimpin atau tokoh-tokoh dari negara lain.

Firmanzah, dalam bukunya yang berjudul Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas , mendefinisikan citra politik sebagai konstruksi atas representasi dan persepsi masyarakat (publik) akan suatu partai politik atau

individu mengenai semua hal yang terkait dengan aktivitas politik. Citra politik tidak selalu mencerminkan realitas objektif. Suatu citra politik juga dapat mencerminkan hal yang tidak real atau imajinasi yang terkadang bisa berbeda dengan kenyataan fisik. Citra politik dapat diciptakan, dibangun, dan diperkuat, namun bisa juga melemah, luntur dan hilang dalam sistem kognitif masyarakat. Citra politik memiliki kekuatan untuk memotivasi aktor atau individu agar melakukan suatu hal. Di samping itu, citra politik dapat pula mempengaruhi opini

publik sekaligus menyebarkan makna-makna tertentu. 45

Masih di dalam buku yang sama, Firmanzah mengatakan membangun suatu citra image politik tidak dapat dilakukan tanpa adanya komunikasi politik. Komunikasi politik yang dimaksud dalam hal ini adalah semua hal yang dilakukan

45 Firmanzah, Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, hal 230-231 45 Firmanzah, Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, hal 230-231

adalah pesan-pesan simbolis. 47

Dalam komunikasi, salah satu cara untuk membangun citra politik ini adalah melalui iklan politik. Biasanya pesan iklan atau konstruksi iklan memiliki klasifikasi tingkatan; pertama, untuk menyampaikan informasi produk; kedua, untuk menyampaikan informasi dan membangun citra (image); ketiga, pembenaran tindakan; keempat, menyampaikan informasi, membentuk citra

(image), pembenaran, dan persuasi tindakan. 48

46 Menurut Firmanzah, isu politik ini dilihat dalam perspektif yang sangat luas dan sangat terkait dengan usaha parpol untuk memposisikan dirinya dan membangun identitas dalam rangka

memperkuat image-nya dalam bermasyarakat; isu politik tersebut dapat berupa ideologi partai, program kerja partai, figur pemimpin partai, latar belakang pendirian partai, visi dan tujuan jangka panjang partai, dan permasalahan-permasalahan yang diungkapkannya. Lihat Ibid, halm 255

47 Firmanzah menjelaskannya dengan memberi contoh sebagai berikut. Misalnya, ketika parpol menyatakan bahwa angka pengangguran sudah melampaui ambang batas, pesan simbolik yang

ingin disampaikan adalah ketidakmampuan penguasa untuk mengatasinya. Tujuan utama pengungkapan data tentang pengangguran tidak hanya mempublikasikan cara menguranginya, tetapi juga menggiring pemahaman masyarakat bahwa hal-hal yang dilakukan pemerintah masih kurang tepat. Dengan cara ini, mereka mengarahkan pemahaman masyarakat bahwa pemerintah harus bertanggung jawab mengatasi angka pengangguran ini. Untuk selengkapnya, lihat Ibid, halm 257

48 Burhan Bungin, Op Cit, halm 157

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka Bungin menyimpulkan model konstruksi citra (image) dilakukan melalui tahap-tahap pada bagan dibawah ini:

Pembentuk konstruksi citra iklan

Pesan image:

budaya dan

permbenaran

Tindakan

kelas sosial

Bangunan realitas media atau konstruksi citra

Gambar 1.2. Model konstruksi Citra (image) Iklan

Dalam iklan, ada produk (politik) yang diiklankan. Kemudian ada pesan produk dengan menggunakan simbol-simbol kelas sosial, kemudian ada pula pembenaran. Penggunaan simbol kelas sosial dan pembenaran menggunakannya serta realitas yang tercipta melalui proses ini, merupakan bangunan realitas yang dibangun oleh iklan televisi untuk tujuan persuasi tindakan konsumen (calon pemilih).

5. Unsur Naratif dan Sinematik Dalam Iklan

Bahasa memegang peranan penting dalam sebuah wacana, karena wacana ditampilkan melalui penggunaan bahasa. Bahasa dipandang sebagai faktor penting untuk merepresentasikan maksud si pembuat wacana, termasuk juga dalam iklan televisi yang bersifat audio visual. Bahasa dalam iklan televisi dibentuk dari unsur Bahasa memegang peranan penting dalam sebuah wacana, karena wacana ditampilkan melalui penggunaan bahasa. Bahasa dipandang sebagai faktor penting untuk merepresentasikan maksud si pembuat wacana, termasuk juga dalam iklan televisi yang bersifat audio visual. Bahasa dalam iklan televisi dibentuk dari unsur

sinematik dapat membantu mewujudkan aspek naratif. 49 Bisa dikatakan bahwa unsur naratif adalah bahan (materi) yang akan diolah, sementara unsur sinematik

adalah cara (gaya) untuk mengolahnya. 50 Naratif adalah suatu rangkaian peristiwa yang berhubungan satu sama lain

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air merupakan salah satu sumberdaya alam yang keberadaannya paling melimpah di atas permukaan bumi, yaitu meliputi 70 dari permukaan bumi dan berjumlah kira-kira 1,3 - 1,4 juta ribu km3 . Namun dari sekian besar

0 0 94

1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Perencanaan dan perancangan interior amusement centre di Surakarta ( restaurant, bar dan kafe area )

0 2 40

BAB I PENDAHULUAN - Tradisi marawis di pasar kliwon (studi tentang budaya masyarakat Arab di Surakarta)

1 4 88

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Identifikasi bakat olahraga siswa putra kelas VII SMP se-Kecamatan Sapuran Kabupaten Wonosobo Tahun Ajaran 2007/2008

0 0 45

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Hubungan dosis pupuk kandang ayam dan konsentrasi em-4 terhadap pertumbuhan kacang tunggak (vigna unguiculata l. walp.)

1 4 33

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Penerapan model garch dan jaringan saraf tiruan backpropagation dalam peramalan IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan)

0 1 36

47 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis pengembangan agroindustri berbahan baku akar wangi di kabupaten garut

0 5 81

BAB I PENDAHULUAN - Peningkatan Kemampuan Mengucapkan Konsonan Bilabial Anak Tuna Rungu Melalui Metode Oral Pada Siswa

0 0 77

EFEK ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETANOL UMBI SARANG SEMUT (Myrmecodia pendens Merr. Perry) PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus L.) Naskah Publikasi - FEK ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETANOL UMBI SARANG SEMUT (Myrmecodia pendens Merr. & Perry) PADA TIKUS PUTIH (Rattus

0 0 20

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang - Prarancangan pabrik metil benzoat dari metanol dan asam benzoat kapasitas 10.000 ton/tahun

5 28 13